Lapkas DBD
Lapkas DBD
PENDAHULUAN
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Nn. M
Umur : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Alamat : Mess Pujasera, Jelutung, Kota Jambi
Pekerjaan : Mahasiswi
Status Perkawinan : Belum menikah
Tanggal masuk RS : 11 November pukul 22.40
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 11 November 2021
Keluhan Utama :
Status Gizi
BB : 39 kg
TB : 152 cm
IMT : 16,8 kg/m2 (underweight)
Kulit
Warna : Sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan Parut : (-)
Keringat : (-)
Pertumbuhan Rambut : Distribusi merata, tidak mudah dicabut, normal
Suhu : 39,9oC
Turgor : Normal, kembali cepat
Ikterus : (-)
Lapisan lemak : Tipis/kurang
5
nyeri tekan tragus (-/-)
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba, kuat angkat di ICS V linea
midklavicularis sinistra
Perkusi : Batas Jantung
Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Pinggang Jantung : ICS III linea midclavicular sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II Regular, Gallop (-),
Paru-paru (anterior dan posterior)
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, spider nevi (-)
sikatriks (-)
Palpasi : Fremitus taktil kanan sama dengan kiri
Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, spider nevi (-), Striae (-)
6
Sinistra : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-),
Inferior
Dextra : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-),
Sinistra : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-),
7
2. Glukosa Darah (11 November 2021)
Kesan: Normal
8
Kesan : Piuria, hematuria,
- Demam tifoid
- Chikungunya
- Malaria
- Sistitis
- Pielonefritis akut
2.7 Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
1. Tirah Baring
2. Diet nasi biasa
3. Observasi tanda-tanda vital
6. Edukasi :
Farmakologis:
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxon 2x 1 gr IV
Po domperidon 3x1
2.8 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Etiologi
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh infeksi virus Dengue dari
genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang terdiri atas 4 serotipe. Virus ini dapat
masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantaraan nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok
Indonesia, kecuali di tempat- tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas
permukaan laut. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit
penyakit demam berdarah dengue, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk
penularnya sudah tersebar luas di perumaban penduduk maupun di tempat-tempat
umum diseluruh Indonesia.9
Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti mengalami proses metamorphosis
sempurna mulai dari telur, larva, kepompong dan nyamuk dewasa. Jentik nyamuk
sendiri terbentuk dalam fase larva. Di dalam fase larva dikenal 4 tingkatan larva yang
masing-masing dinamakan instar. Pada instar ketiga dan keempat bulu-bulu telah
tumbuh secara lengkap sehingga apabila ingin mengidentifikasi larva maka yang
diambil adalah larva pada instar keempat. Fase larva membutuhkan waktu selama 1
mingguuntuk menjadi fase kepompong. Larva nyamuk Aedes Aegypti memiliki sifat
yaitu ukurannya 0,5 sampai 1 cm, memiliki ciri khas gerakan yang berulang-ulang
dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas kemudian turun lagi dan seterusnya.
Menurut Soegijanto (2004), kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva
dipengaruhi oleh faktor temperatur, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan
11
yang terdapat pada tempat hidupnya.10
3.1.3 Epidemiologi
Sejarah mencatat, DBD pertama kali ditemukan pada akhir abad ke-18 dan
memengaruhi Asia, Afrika, dan Amerika Utara. Diperkirakan 50 juta infeksi dengue
terjadi di seluruh dunia setiap tahun (WHO, 2011). Dari kasus ini, 500.000 kasus
berkembang menjadi DBD yang menyebabkan 22.000 kematian sebagian besar anak-
anak. Selama tahun 1960 sampai 2010, kasus DBD telah meningkat 30 kali lipat di
seluruh dunia.11 Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia
semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlah kasus maupun penyebaran
wilayahnya. Diperkirakan 3,9 milyar orang di 128 negara berdomisili di daerah yang
berisiko terinfeksi virus dengue Oleh karena itu upaya pengendalian perlu
ditingkatkan. Tahun 2016 tercatat kasus DBD di Indonesia sebanyak 204.171
kejadian, dengan kematian 1.598 orang. Kasus di NTT sebanyak 1.015 kejadian
dengan kematian 2 orang.12
Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi di Indonesia dengan
jumlah kasus 68.407 tahun 2017 mengalami penurunan yang signifikan dari tahun
2016 sebanyak 204.171 kasus. Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi terjadi di 3
(tiga) provinsi di Pulau Jawa, masing-masing Jawa Barat dengan total kasus sebanyak
10.016 kasus, Jawa Timur sebesar 7.838 kasus dan Jawa Tengah 7.400 kasus.
Sedangkan untuk jumlah kasus terendah terjadi di Provinsi Maluku Utara dengan
jumlah 37 kasus.2 Penyakit DBD di Indonesia tergolong fluktuatif sehingga perlu
adanya evaluasi program pengendalian DBD yang selama ini telah berjalan guna
mencegah peningkatan kasus DBD pada tahun-tahun berikutnya.13
b. Pemeriksaan Fisik 17
Tanda Patognomonisuntuk demam berdarah dengue
- Suhu > 37,5 derajat celcius
- Ptekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa
- Rumple Leed (+)
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa tanda-tanda efusi pleura dan
asites.
- Hematemesis atau melena
c. Pemeriksaan Penunjang17
- Leukosit: leukopenia cenderung pada demam dengue
- Adanya bukti kebocoran plasma yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
pembuluh darah pada Demam Berdarah Dengue dengan manifestasi peningkatan
hematokrit diatas 20% dibandingkan standard sesuai usia dan jenis kelamin dan atau
menurun dibandingkan nilai hematokrit sebelumnya > 20% setelah pemberian terapi
cairan.
- Trombositopenia (Trombosit <100.000/ml)ditemukan pada Demam Berdarah
18
Dengue.
Pemeriksaan Laboratorium
Ada beberapa jenis pemeriksaan laboratorium pada penderita infeksi dengue antara lain:18
1) Hematologi/Darah Rutin
a. Leukosit
- Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil.
- Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB) > 4% di darah
tepi yang biasanya dijumpai pada hari sakit ketiga sampai hari ke tujuh. 11
b. Trombosit
Pemeriksaan trombosit antara lain dapat dilakukan dengan cara:
- Semi kuantitatif (tidak langsung)
- Langsung (Rees-Ecker)
- Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi
Jumlah trombosit ≤100.000/μl biasanya ditemukan diantara hari ke 3-7 sakit. Pemeriksaan
trombosit perlu diulang setiap 4-6 jam sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam
batas normal atau keadaan klinis penderita sudah membaik. 13
c. Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan adanya kebocoran pembuluh darah.
Penilaian hematokrit ini, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan
plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya
penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsertrasi dengan
peningkatan hematokrit > 20% (misalnya nilai Ht dari 35% menjadi 42%), mencerminkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian,
bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan Namun
perhitungan selisih nilai hematokrit tertinggi dan terendah baru dapat dihitung setelah
mendapatkan nilai Ht saat akut dan konvalescen (hari ke-7). Pemeriksaan hematrokrit
antara lain dengan mikro-hematokrit centrifuge. 13
Nilai normal hematokrit:
- Anak-anak : 33 - 38 vol%
- Dewasa laki-laki : 40 - 48 vol%
- Dewasa perempuan : 37 - 43 vol%
Untuk puskesmas yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan
estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.
19
2) Radiologi
Pada foto toraks posisi “Right Lateral Decubitus” dapat mendeteksi adanya efusi pleura
minimal pada paru kanan. Sedangkan asites, penebalan dinding kandung empedu dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan Ultra Sonografi (USG). 13
3) Serologis
Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada penderita terinfeksi virus
Dengue.
a. Uji Serologi Hemaglutinasi Inhibisi (Haemaglutination Inhibition Test)
Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai uji baku emas (gold standard). Namun
pemeriksaan ini memerlukan 2 sampel darah (serum) dimana spesimen harus diambil pada
fase akut dan fase konvalensen (penyembuhan), sehingga tidak dapat memberikan hasil
yang cepat.
b. ELISA (IgM/IgG)
Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi primer atau sekunder dengan menentukan
rasio limit antibodi dengue IgM terhadap IgG. Dengan cara uji antibodi dengue IgM dan
IgG, uji tersebut dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu sampel darah (serum)
saja, yaitu darah akut sehingga hasil cepat didapat. Saat ini tersedia Dengue Rapid Test
(misalnya Dengue Rapid Strip Test) dengan prinsip pemeriksaan ELISA. 13
3.1.7 Tatalaksana
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protocol penatalaksanaan DBD pada
pasien dewasa berdasarkan kriteria:8
- penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi.
- praktis dalam pelaksanaannya.
- mempertimbangkan cost effectiveness.
21
Gambar 1: Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di Unit Gawat Darurat 8
b. Protokol 2 :
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang
22
c. Protokol 3 :
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematocrit > 20 %
23
d. Protokol 4 :
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
24
e. Protokol 5 :
Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa
3.1.8 Komplikasi
Penyakit DBD dapat memunculkan berbagai komplikasi yang paling sering
seperti terjadinya ensefalopati ataupun gagal ginjal akut.
25
a. Ensefalopati dengue:
Pada pasien DBD dengan ensefalopati biasanya ditemukan penurunan kesadaran
yaitu somnolen, gastric bleeding (+), akral dingin, hipotensi sampai tidak terukur,
nadi teraba cepat dan lemah, pernafasan sesak dan apnea, serta peningkatan kadar
SGOT/SGPT.
3.1.9 Pencegahan
Secara umum upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di Indonesia
merupakan aktivitas utama upaya pencegahan DBD yang melibatkan peran serta
masyarakat.19 Upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) merupakan aktivitas
utama upaya pencegahan DBD yang melibatkan peran serta dari seluruh masyarakat.
Program ini sudah dilaksanakan sejak tahun 1992 dengan gerakan 3M, terdiri atas
Menguras-Menutup-Mengubur.20 Pengendalian pelayanan kesehatan dapat dilakukan
dengan meningkatkan peran serta Puskesmas dalam membantu masyarakat
memantau jentik nyamuk di setiap rumah dan lingkungan yang berpotensi sebagai
tempat perkembangbiakan nyamuk serta menggalakkan promosi kesehatan terutama
berkaitan dengan masalah DBD.10 Pada bulan Juni 2015 Kemenkes sudah
mengenalkan gerakan 1 rumah 1 jumantik (juru pemantau jentik). Gerakan ini
dimaksudkan untuk mengajak setiap keluarga dan seluruh masyarakat agar mencegah
munculnya perindukan nyamuk Aedes Aegypti di rumah.21
PSN 3M akan memberikan hasil yang baik apabila dilakukan secara luas dan
serentak, terus menerus dan berkesinambungan. PSN 3M sebaiknya dilakukan
sekurang-kurangnya seminggu sekali sehingga terjadi pemutusan rantai pertumbuhan
nyamuk pra dewasa tidak menjadi dewasa. Yang menjadi sasaran kegiatan PSN 3M
adalah semua tempat potensial perkembangbiakan nyamuk Aedes, antara lain tempat
26
penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, tempat penampungan air bukan
untuk keperluan sehari-hari (non-TPA) dan tempat penampungan air alamiah. 22
PSN 3M dilakukan dengan cara, antara lain :
1. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi/wc,
drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1)
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan
lain-lain (M2)
3. Memanfaatkan atau mendaur ulangn barang-barang bekas yang dapat menampung
air hujan (M3).
PSN 3M diiringi dengan kegiatan Plus lainya, antara lain :
- Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang
sejenis seminggu sekali.
- Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
- Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan tanah,
dan lain-lain).
- Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di
daerah yang sulit air
- Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air
- Memasang kawat kasa
- Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
- Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai• Menggunakan
kelambu
- Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
- Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah.
Keberhasilan kegiatan PSN 3M antara lain dapat diukur dengan angka bebas
jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD
dapat dicegah atau dikurangi.22
3.1.10 Prognosis
Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia ad bonam, karena hal ini
10
tergantung dari derajat beratnya penyakit. Obesitas, bayi, diabetes melitus, ibu
hamil, hipertensi, dalam terapi antikoagulan, penyakit hemolitik dan
hemoglobinopati, penyakit jantung bawaan dan kelainan jantung sistemik, serta
27
pasien dalam pengobatan steroid memperburuk prognosis demam berdarah
dengue.22
3.2.2 Epidemiologi
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi sistem nomor dua paling sering
setelah infeksi saluran napas yang terjadi pada populasi dunia dengan rata-rata 9,3%
pada wanita di atas 65 tahun dan 2,5 – 11% pada pria di atas 65 tahun. ISK
merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan pada pasien rawat
jalan maupun pasien rawat inap, yang mencapai kira-kira 40-60% dari infeksi
nosokomial. ISK merupakan infeksi dengan keterlibatan bakteri tersering di
komunitas dan hampir 10% orang pernah terkena ISK dalam hidupnya. Data dari
WHO tahun 2011 menunjukkan sekitar 150 juta penduduk di seluruh dunia tiap
tahunnya terdiagnosis menderita ISK. Prevalensinya sangat bervariasi berdasarkan
umur dan jenis kelamin. ISK dapat mengenai pasien dari segala usia mulai dari bayi
baru lahir hingga orang tua. Pada umumnya wanita lebih sering mengalami episode
ISK daripada pria, hal ini dikarenakan panjang uretra wanita yang lebih pendek
daripada laki-laki. Di negara berkembang, ISK menempati posisi kedua tersering
(23,9%) setelah infeksi luka operasi (29,1%) sebagai infeksi yang paling sering
didapatkan oleh pasien di fasilitas kesehatan.4,6
Data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2014 menunjukkan bahwa
28
jumlah penderita ISK mencapai 90 – 100 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Data penelitian epidemiologi klinik di Indonesia tahun 2015 melaporkan bahwa
hampir 25-35% perempuan dewasa pernah mengalami ISK selama hidupnya. Pada
individu perempuan, prevalensi ISK pada usia sekolah adalah 1%, yang meningkat
menjadi 5% pada fase seksual aktif.7
3.2.3 Etiologi
30
Pasien juga dapat mengalami ISK rekuren. Secara umum ISK rekuren dibagi
menjadi 2, yakni:
1. Re-infeksi, pada umumnya episode infeksi berlangsung dengan interval > 6
minggu dengan mikroorganisme yang berlainan,
2. Relaps, setiap kali infeksi diakibatkan oleh mikroorganisme yang sama,
disebabkan oleh pemberian terapi yang tidak adekuat.
Wanita yang aktif secara seksual cenderung memiliki risiko untuk terkena ISK
lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak aktif secara seksual. Wanita dengan
pasangan seksual yang berganti-ganti memiliki resiko yang lebih besar lagi untuk
terkena ISK.
3. Jenis Alat KB
Wanita yang menggunakan diafragma untuk KB dapat memiliki risiko lebih tinggi
untuk terkena ISK, begitu juga dengan wanita yang menggunakan agen
spermisidal.
4. Menopause
3.2.6 Patogenesis
Pada sebagian besar ISK, bakteri akan naik menginfeksi secara asendens
dari uretra ke kandung kemih. Bakteri secara asendens akan terus naik melalui
ureter ke ginjal dan akan menyebabkan infeksi parenkim ginjal. Namun,
masuknya bakteri ke dalam kandung kemih tidak lanngsung menyebabkan infeksi
yang berkelanjutan dan bergejala. Interaksi faktor inang (host), patogen, dan
lingkungan menentukan apakah akan terjadi invasi jaringan dan infeksi
simtomatik. Sebagai contoh, bakteri sering memasuki kandung kemih setelah
melakukan hubungan seksual, tetapi mekanisme berkemih dan pertahanan
inangbawaan akan menghilangkan organisme ini. Benda asing apa pun dalam
saluran kemih, seperti kateter atau batu kemih, memberikan permukaan lembab
untuk kolonisasi bakteri. Miktruisi abnormal dan/atau volume urin residual yang
signifikan akan meningkatkan risiko infekemungkinan bakteri memasuki kandung
kemih dan menetap di sana akan meningkatkan risiko ISK. 4,24,25
3.2.7 Patofisiologi
Saluran kemih atau urin bebas dari mikroorganisme atau steril. Infeksi saluran
kemih terjadi pada saat mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih dan
32
berkembang biak di dalam media urin. Mikroorganisme memasuki saluran kemih
melalui 4 cara, yaitu ascending, hematogen, limfogen, atau langsung dari organ
sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau eksogen sebagai akibat dari
pemakaian instrumen.
Dua jalur utama masuknya bakteri ke saluran kemih adalah jalur hematogen
dan asending, tetapi asending lebih sering terjadi.
1. Infeksi hematogen (desending)
Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan
tubuh rendah, karena menderita suatu penyakit kronik, atau pada pasien yang
sementara mendapat pengobatan imunosupresif. Penyebaran hematogen dapat
juga terjadi akibat adanya fokus infeksi di salah satu tempat. Contoh
mikroorganisme yang dapat menyebar secara hematogen adalah
Staphylococcus aureus, Salmonella sp, Pseudomonas, Candida sp., dan
Proteus sp.
Ginjal yang normal biasanya mempunyai daya tahan terhadap infeksi
E.coli karena itu jarang terjadi infeksi hematogen E.coli. Ada beberapa tindakan
yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal yang dapat meningkatkan
kepekaan ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen. Hal ini dapat
terjadi pada keadaan sebagai berikut :
a. Adanya bendungan total aliran urin
b. Adanya bendungan internal baik karena jaringan parut maupun
terdapatnya presipitasi obat intratubular, misalnya sulfonamide
c. Terdapat faktor vaskular misalnya kontriksi pembuluh darah
d. Pemakaian obat analgetik
e. Pijat ginjal
f. Penyakit ginjal polikistik
g. Penderita diabetes melitus
2. Infeksi asending
a. Kolonisasi uretra dan daerah introitus vagina
Saluran kemih yang normal umumnya tidak mengandung
mikroorganisme kecuali pada bagian distal uretra yang biasanya juga dihuni
oleh bakteri normal kulit seperti basil difteroid, streptpkokus. Di samping
bakteri normal flora kulit, pada wanita, daerah 1/3 bagian distal uretra ini
disertai jaringan periuretral dan vestibula vaginalis yang juga banyak dihuni
33
oleh bakteri yang berasal dari usus karena letak usus tidak jauh dari tempat
tersebut. Pada wanita, kuman penghuni terbanyak pada daerah tersebut adalah
E.coli di samping enterobacter dan S.fecalis. Kolonisasi E.coli pada wanita
didaerah tersebut diduga karena :
adanya perubahan flora normal di daerah perineum
Berkurangnya antibodi lokal
Bertambahnya daya lekat organisme pada sel epitel wanita
b. Masuknya mikroorganisme dalam kandung kemih
Proses masuknya mikroorganisme ke dalam kandunh kemih belum
diketahui dengan jelas. Beberapa faktor yang mempengaruhi masuknya
mikroorganisme ke dalam kandung kemih adalah :
1. Faktor anatomi
Kenyataan bahwa infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada wanita
daripada laki-laki disebabkan karena :
Uretra wanita lebih pendek dan terletak lebih dekat anus
Uretra laki-laki bermuara saluran kelenjar prostat dan sekret prostat
merupakan antibakteri yang kuat
2. Faktor tekanan urin pada waktu miksi
Mikroorganisme naik ke kandung kemih pada waktu miksi karena tekanan urin.
Selama miksi terjadi refluks ke dalam kandung kemih setelah pengeluarann urin.
34
kecepatan proliferasi bakteri dan daya tahan mukosa kandung kemih.Eradikasi
bakteri dari kandung kemih menjadi terhambat jika terdapat hal sebagai berikut :
adanya urin sisa, miksi yang tidak kuat, benda asing atau
3.2.8 Diagnosis
Secara umum presentasi klinis ISK atas dan bawah dapat dibedakan
berdasarkan lokasi infeksi. Pada ISK atas dapat ditemui gejala seperti demam,
kram, nyeri punggung, muntah, skoliosis dan penurunan berat badan. Sebagai
contoh pada pielonefritis akut (PNA) dapat ditemukan panas tinggi 39,5 – 40,5°C,
disertai menggigil dan sakit pinggang. Presentasi klinis PNA ini sering didahului
gejala ISK bawah (sistitis). Pada ISK bawah dapat ditemui gejala seperti nyeri
suprapubik, disuria, frekuensi, hematuria, urgensi dan stranguria. Sebagai contoh
pada sistitis didapatkan nyeri suprapubik, polakisuria, nokturia, disuria, dan
stranguria. Pada sindrom uretra akut (SUA) presentasi klinisnya sulit dibedakan
dengan sistitis. SUA sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 tahun.
Presentasi klinis SUA sangat minim (hanya disuria dan frekuensi) disertai cfu/mL
urin <105; sering disebut sistitis abakterialis. SUA dibagi 3 kelompok pasien,
yaitu:
a) Kelompok pertama pasien dengan piuria, biakan urin dapat diisolasi E. coli
dengan cfu/ml urin 103-105. Sumber infeksi berasal dari kelenjar peri-uretral
atau uretra sendiri. Kelompok pasien ini memberikan respon baik terhadap
antibiotik standar seperti ampisilin.
35
b) Kelompok kedua pasien lekosituri 10-50/lapang pandang tinggi dan kultur
urin steril. Kultur (biakan) khusus ditemukan Chlamydia trachomatis atau
bakteri anaerobik.
c) Kelompok ketiga pasien tanpa piuri dan biakan urin steril.
36
Gambar 3. Pendekatan Diagnosis Pada Infeksi Saluran Kemih7
38
4. Tes Dip slide (tes plat-celup)
Untuk menentukan jumlah bakteri per cc urin. Kelemahan cara ini tidak mampu
mengetahui jenis bakteri.
40
hal – hal yang menyebabkan gangguan fungsional saluran kemih. Pemeriksaan
tersebut antara lain berupa:
a. Foto polos abdomen
Dapat mendeteksi sampai 90% batu radio opak
b. Pielografi intravena (PIV)
Memberikan gambaran fungsi eksresi ginjal, keadaan ureter, dan distorsi
system pelviokalises. Untuk penderita: pria (anak dan bayi setelah episode
infeksi saluran kemih yang pertama dialami, wanita (bila terdapat
hipertensi, pielonefritis akut, riwayat infeksi saluran kemih, peningkatan
kreatinin plasma sampai < 2 mg/dl, bakteriuria asimtomatik pada
kehamilan, lebih dari 3 episode infeksi saluran kemih dalam setahun. PIV
dapat mengkonfirmasi adanya batu serta lokasinya. Pemeriksaan ini juga
dapat mendeteksi batu radiolusen dan memperlihatkan derajat obstruksi
serta dilatasi saluran kemih. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setelah
6 minggu infeksi akut sembuh, dan tidak dilakukan pada penderita yang
berusia lanjut, penderita DM, penderita dengan kreatinin plasma > 1,5
mg/dl, dan pada keadaan dehidrasi.
c. Sistouretrografi saat berkemih
Pemeriksaan ini dilakukan jika dicurigai terdapat refluks vesikoureteral,
terutama pada anak – anak.
d. Ultrasonografi ginjal
Untuk melihat adanya tanda obstruksi/hidronefrosis, scarring process,
ukuran dan bentuk ginjal, permukaan ginjal, masa, batu, dan kista pada
ginjal.
e. Pielografi antegrad dan retrograde
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat potensi ureter, bersifat invasive
dan mengandung factor resiko yang cukup tinggi. Sistokopi perlu dilakukan
pada refluks vesikoureteral dan pada infeksi saluran kemih berulang untuk
mencari factor predisposisi infeksi saluran kemih.
f. CT-scan
Pemeriksaan ini paling sensitif untuk menilai adanya infeksi pada parenkim
ginjal, termasuk mikroabses ginjal dan abses perinefrik. Pemeriksaan ini
dapat membantu untuk menunjukkan adanya kista terinfeksi pada penyakit
ginjal polikistik. Perlu diperhatikan bahwa pemeriksaan in lebih baik
41
hasilnya jika memakai media kontras, yang meningkatkan potensi
nefrotoksisitas.
3.2.10 Tatalakasana7,
A. Infeksi Saluran Kemih ( ISK ) Bawah
Prinsip manajemen ISK bawah meliputi intake cairan yang banyak ,
antibiotika yang adekuat , dan kalau perlu terapi simtomatik untuk
alkalinisasi urin.
Hampir 80 % pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan
antibiotika tunggal ; seperti ampisilin 3 gram , trimetoprim 200 mg
Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis ( lekosuria )
diperlukan terapi konvensional selama 5-10 hari
Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan bila
semua gejala hilang dan tanpa lekosiuria.1
43
Gambar 1. Pilihan antimikroba pada sistitis akut 26
44
Gambar 2. Stratetgi Tatalaksana sistitis akut non komplikata 8
45
1
Tabel 2. Indikasi Rawat Inap Pasien dengan Pielonefritis Akut
Apabila respon klinik buruk setelah 48-72 jam terapi, perlu dilakukan re-evaluasi bagi
adanya faktor pencetus komplikasi dan efektivitas obat, serta dipertimbangkan
perubahan obat atau cara pemberiannya
46
Gambar 3. Sediaan yang direkomendasikan untuk terapi antimikroba oral pada
pielonefritis non komplikata9
47
Gambar 4 Regimen yang direkomendasikan untuk terapi antimikroba
parenteral dalam pielonefritis non komplikata9
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi
antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui MO sebagai
penyebabnya :
- Fluorokuinolon
- Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin
- Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida
48
3.1.9 Pencegahan
Beberapa pencegahan infeksi saluran kemih dan mencegah terulang kembali, yaitu:
a. Jangan menunda buang air kecil, sebab menahan buang air kecil merupakan sebab
terbesar dari infeksi saluran kemih
b. Perhatikan kebersihan secara baik, misalnya setiap buang air kecil, bersihkan dari
arah depan ke belakang.
c. Ganti selalu pakaian dalam setiap hari
e. Hindari memakai celana ketat yang dapat mengurangi ventilasi udara dan dapat
mendorong perkembangbiakan bakteri
49
BAB IV
ANALISIS KASUS
50
peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi. Ini menandai dimulainya fase kritis.
Pada titik ini, pasientanpa peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik,
sementara yang memiliki permeabilitas kapiler meningkat menjadi lebih buruk
akibat kehilangan volume plasma. Syok terjadi saat volume kritis plasma hilang
melalui kebocoran. Hal ini sering didahului dengan tanda peringatan. Suhu tubuh
mungkin subnormal saat terjadi syok.
3. Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan
dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya.
Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik
stabil dan diuresis membaik, gejala gastrointestinal mereda. Beberapa pasien
mungkin mengalami ruam. Beberapa mungkin mengalami pruritus umum.
Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi umum terjadi pada tahap ini.
Hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusional dari
reabsorpsi cairan. Jumlah sel darah putih biasanya mulai meningkat segera setelah
defervescence namun pemulihan jumlah trombosit biasanya lebih tinggi daripada
jumlah sel darah putih. Gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan asites yang
besar akan terjadi kapan saja jika cairan intravena berlebihan telah diberikan. 3
Pemeriksaan laboratorium darah rutin pada pasien ini didapatkan
trombositopenia <100.000, untuk hemoglobin dan hematokrit dalam batas normal.
Pasien dengan keluhan DBD dengan hasil pemeriksaan darah rutin dapat
dikategorikan pasien yang di observasi rawat jalan dengan pasien yang di rawat.
Pemeriksaan NS1Ag juga dilakukan pada pasien ini dengan hasil positif,
dimana pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya infeksi dengue pada penderita
tersebut pada fase awal demam, tanpa perlu menunggu terbentuknya antibodi.
Sesuai dengan kepustakaan , pasien ini menderita penyakit demam
berdarah dengue derajat 1 karena mengalami demam tinggi disertai gejala klinik
yang khas ditambah hasil manifestasi perdarahan berupa uji tourniquet positif ,
trombositopenia, dan hemokonsentrasi serta tidak didapatkan adanya perdarahan
spontan.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut bagian bawah sejak 3 hari SMRS.
Pasien mengaku sering menahan kencing. Nyeri saat kencing dan air kencing
berwarna kuning pekat seperti teh. Pada urinalisa ditemukan urin berwarna kuning
keruh , dan di dapatkan hematuria dan piuria
Pada pasien ini, selain didapatkan ada riwayat demam sejak 3 hari SMRS,
51
pasien juga didapatkan riwayat kebiasaan yang suka menahan buang air kecil yang
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya infeksi saluran kemih. Pasien
perempuan juga merupakan faktor risiko terjadinya infeksi saluran kemih karena
berdasarkan patofisiologi ISK dimana jalur masuk pathogen adalah secara
ascending. Pada wanita kejadian ISK lebih sering karena urethra wanita yang
pendek. Infeksi saluran kemih diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya
dimana infeksi tersebut terjadi, yaitu ISK atas dan ISK Bawah. Berdasarkan
kepustakaan, gejala demam, nyeri suprapubik, nyeri saat berkemih merupakan
presentasi klinis dari ISK bawah yaitu sistitis.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan maka pasien diagnosa utama dengan Febris
Ec Demam berdarah dengue grade 1. Sementara diagnosa sekunder pasien
adalah Infeksi Saluran Kemih . Pasien didiagnosa banding dengan Demam
tifoid, chikungunya, malaria, sistitis dan pielonefritis akut.
Pada pasien ini mendapatkan terapi non-farmakologi antara lain; Tirah
baring, diet nasi biasa, observasi tanda-tanda vital dan edukasi keluarga pasien
mengenai penyakit pasien. Dan terapi farmakologi yang di dapat antara lain; IVFD
RL 20 tpm, Inj. Omeprazol 2x 40 mg, Po. Paracetamol 3 X 500 mg (jika T >380c).
Untuk demam diberikan antipiretika golongan asetaminofen (paracetamol),
hindari memberikan golongan salisilat karena dapat menyebabkan bertambahnya
perdarahan. Antipiretika terkadang diperlukan, namun perllu diperhatikan bahwa
antipiretika tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol
direkomendasikan untuk mempertahankan suhu dibawah 39°C dengan dosis500-
1000 mg per kali, diberikan tiap 4-6 jam.maksimum 4 gram per hari.
Untuk mual dan muntah pada pasien ini diberikan omeprazol merupakan
obat golongan proton pump inhibitor dimana obat ini bekerja sebagai menghambat
kerja enzim (K+H+ATPase yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi
yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCL dari kanalikuli sel parietal ke
dalam lumen lambung.
Hal yang penting dalam penanggulangan DBD adalah pengendalian vektor
dan kebersihan lingkungannya. Nyamuk Aedes aegypti yang menyebarkan virus
dengue berbeda dengan nyamuk rumah biasa. Strategi pencegahan DBD pada
rumah tangga yang lama dikenal adalah 3M Plus. Perlu diketahui bahwa 3M terdiri
dari menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air (TPA), dan mendaur
52
ulang barang bekas. Sebaiknya pengurasan bak dilakukan setiap 1 minggu sekali,
sesuai dengan daur hidup nyamuk. Untuk genangan air yang tidak terjangkau dan
tidak dapat dikuras (seperti talang air hujan), dapat ditaburkan bubuk larvasida
(abate). Tindakan Plus lain yang dapat dilakukan adalah penggunaan kelambu saat
tidur dan lotion anti nyamuk, serta pemeliharaan ikan sebagai predator nyamuk.
Fogging (pengasapan) hanya bermanfaat untuk membasmi nyamuk dewasa, jentik
tidak dapat mati dengan pengasapan.
Pada pasien ini juga diberikan terapi untuk mengobati ISK nya dengan
prinsip manajemen ISK meliputi intake cairan yang banyak , antibiotika yang
adekuat , dan juga terapi simtomatikPada pasien ini telah diberikan intake cairan
yang adekuat lewat parenteral dengan cairan RL sesuai kebutuhan cairan pasien.
Untuk pemilihan antibiotic, berdasarkan kepustakaan, menurut The
Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi
antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui MO sebagai
penyebab ISK :
-Fluorokuinolon
-Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin
-Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida
53
BAB V
KESIMPULAN
Pada laporan kasus ini disimpulkan bahwa pasien Ny.M, umur 22 tahun, jenis
kelamin perempuan , setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang terhadap pasien maka pasien didiagnosis sebagai Febris
ec Demam Berdarah Dengue grade 1 + Infeksi Saluran Kemih. Untuk tatalaksana
yang diberikan berupa tatalaksana penyebab dan simptomatik.
54
DAFTAR PUSTAKA
55
12. Tokan P, Sekunda M. Analisis TIngkat Kepadatan Jentik Aedes Aegypty dengan
Risiko Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue. 2019;4(2):76–81.
13. Nur Itsna I. Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Dalam Menanggulangi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Desa Karangmalang
Kedungbanteng. JPKMI (Jurnal Pengabdi Kpd Masy Indones. 2020;1(1):35–41.
14. Hidayat WA, Yaswir R, Murni AW. Hubungan jumlah trombosit dengan nilai
hematokrit pada penderita demam berdarah dengue dengan manifestasi
perdarahan spontan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. J Kesehat Andalas.
2017;6(2):446–51.
15. Leovani V, Sembiring L, Wirnarto. Gambaran Klinis dan komplikasi pasien
demam berdarah dengue derajat III dan IV di bagian penyakit dalam RSUD
Arifin Achmad Provinsi Riau. jom FK. 2015;2(2):1–15.
16. Kemenkes. Dengue Update. Suwandono A, editor. Jakarta: LIPI Press; 2019.
p.29
17. IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Kemenkes; 2017. 162–164 p.
18. Kemenkes RI. Pedoman Demam Berdarah Dengue Indonesia. 2017;12–38.
19. Respati T, Nurhayati E, Mahmudah -, Feriandi Y, Budiman -, Yulianto FA, et al.
Pemanfaatan Kalender 4M Sebagai Alat Bantu Meningkatkan Peran Serta
Masyarakat dalam Pemberantasan dan Pencegahan Demam Berdarah. Glob Med
Heal Commun. 2016;4(2):121.
20. Respati T, Piliang B, Nurhayati E, Yulianto FA, Feriandi Y. Perbandingan
Pengetahuan dengan Sikap dalam Pencegahan Demam Berdarah Dengue di
Daerah Urban dan Rural. Glob Med Heal Commun. 2016;4(1):53.
21. Lisastri Syahrias. Faktor Perilaku Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD)
di Kelurahan Mangsang, Kota Batam. J Dunia Kesmas. 2018;7:134–41.
22. 20. Kemenkes RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah
Dengue Di Indonesia. 2017. 36 p.
23. IRAWAN, ERNA. "Faktor-faktor penyebab infeksi saluran kemih
(ISK)(literature review)." Prosiding Seminar Nasional dan Penelitian Kesehatan
2018. Vol. 1. No. 1. 2018.
24. Bono MJ, Reygaert WC. Urinary tract infection [Updated 2021 Jun 23] In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
25. Purnomo BB. Dasar-Dasar Urologi. Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto;2003.
56
26. Seputra KP, Tamono, Moegroho BS, Movhtar CA, Wahyudi I, Renaldo J dkk.
Guideline Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria 2021.
Ikatan Ahli urologi Indonesia (IAUI). 2020
27. Schoenstadt, Arthur. Urinary Tract Infection Prevention. Available from :
http://www.honafrica.org . 2008
57