Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti
dan Aedes Albocpictus.Virus dengue virus dengue termasuk ke dalam famili
Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3 dan DEN-4.Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi
intrinsik) berkisar antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis
rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi
ekstrinsik ( di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.1
World Health Organization atau WHO menyimpulkan bahwa insiden
terjadinya DD di dunia mengalami perkembangan yang sangat pesat karena
diperkirakan 390 juta terinfeksi oleh virus dengue per tahun. Kasus di Amerika,
Asia Tenggara, dan Pasifik Barat diperkirakan lebih dari 3,2 juta terjangkit DBD
pada tahun 2015.2 DBD masih menjadi permasalahan kesehatan yang ada di
Indonesia dimana jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2015 sebanyak
129.650 kasusdengan jumlah kematian sebanyak 1.071 orang. 3Gejala yang akan
muncul seperti ditandai dengan demam mendadak, sakit kepala, nyeri belakang
bola mata, mual dan menifestasi perdarahan seperti mimisan atau gusi berdarah
serta adanya kemerahan di bagian permukaan tubuh pada penderita. 1

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan adanya infeksi (biasanya


perkembangbiakan bakteri) pada saluran kemih meliputi uretra hingga ginjal
dengan jumlah bakteriuria yang bermakna. Bakteriuria bermakna adalah bila
ditemukan pada biakan urin pertumbuhan bakteri sejumlah >100.000 per mL urin
segar atau 105 cfu/mL atau leukosituria >10/LPB(yang diperoleh dengan cara
pengambilan yang steril atau tanpa kontaminasi). 4,8
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi sistem nomor dua paling sering
setelah infeksi saluran napas yang terjadi pada populasi dunia dengan rata-rata 9,3%
pada wanita di atas 65 tahun dan 2,5 – 11% pada pria di atas 65 tahun. ISK
merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan pada pasien rawat
jalan maupun pasien rawat inap, yang mencapai kira-kira 40-60% dari infeksi
1
nosokomial. ISK merupakan infeksi dengan keterlibatan bakteri tersering di
komunitas dan hampir 10% orang pernah terkena ISK dalam hidupnya. Data dari
WHO tahun 2011 menunjukkan sekitar 150 juta penduduk di seluruh dunia tiap
tahunnya terdiagnosis menderita ISK. Prevalensinya sangat bervariasi berdasarkan
umur dan jenis kelamin. ISK dapat mengenai pasien dari segala usia mulai dari bayi
baru lahir hingga orang tua. Pada umumnya wanita lebih sering mengalami episode
ISK daripada pria, hal ini dikarenakan panjang uretra wanita yang lebih pendek
daripada laki-laki. Di negara berkembang, ISK menempati posisi kedua tersering
(23,9%) setelah infeksi luka operasi (29,1%) sebagai infeksi yang paling sering
didapatkan oleh pasien di fasilitas kesehatan. 4,6
Penegakkan diagnosis dibuat berdasarkan gejala dan presisi diagnostik
ditingkatkan oleh pemeriksaan urinalisis. Gejala yang umum ditemui pada pasien
ISK adalah perubahan frekuensi, disuria, urgensi, dan ada atau tidaknya vaginal
discharge. Walaupun angka morbiditas ISK telah jauh menurun akibat ketersediaan
dan penggunaan bermacam-macam antibiotika, namun telaah ilmiah masih perlu
terus dilakukan untuk diagnosis dini hingga pencegahan berulangnya penyakit.4-8

1.2 Tujuan Penulisan


Laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang
diagnosis dan tatalaksana pasien dengan DBD grade I + ISK.

1.3 Metode Penulisan


Laporan kasus ini ditulis dengan menggunakan metode diskusi yang
merujuk dari berbagai literatur.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Nama : Nn. M
Umur : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Alamat : Mess Pujasera, Jelutung, Kota Jambi
Pekerjaan : Mahasiswi
Status Perkawinan : Belum menikah
Tanggal masuk RS : 11 November pukul 22.40

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 11 November 2021

Keluhan Utama :

Demam tinggi ± 3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan demam tinggi sejak 3 hari SMRS.
Demam timbul mendadak dirasakan terus menerus. Pasien sudah minum obat
parasetamol untuk menurunkan demam, namun demam hanya turun sebentar
dan naik kembali. Keluhan demam disertai dengan keringat dingin (+), sakit
kepala (+), badan terasa lemas (+), mual (+), muntah (+) sudah 2x berisi apa
yang dimakan sebanyak lebih kurang 2 gelas belimbing , nyeri ulu hati (+),
nafsu makan menurun (+) berat badan menurun (+) dari 42 kg menjadi 39 kg,
nyeri otot dan sendi (+). Keluhan mimisan dan gusi berdarah disangkal.
3
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut bagian bawah sejak 2 hari
SMRS. Pasien mengaku sering menahan kencing. Nyeri saat kencing (+),
kencing tersendat-sendat (-) , kencing terasa panas dan perih (-), hematuri (-),
kencing batu/pasir (-), keputihan (-). Air kencing berwarna kuning pekat
seperti teh. BAB normal.

Riwayat Penyakit Dahulu:

 Riwayat operasi usus buntu pada 2 tahun yang lalu

 Riwayat penyakit asam lambung sejak 5 tahun yang lalu

 Riwayat batu ginjal (-)

 Riwayat hipertensi (-)

 Riwayat diabetes melitus (-)

 Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:

 Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (-)

 Riwayat demam berdarah (-)

 Riwayat infeksi saluran kemih (-)

 Riwayat batu ginjal (-)

 Riwayat hipertensi (-)

 Riwayat diabetes melitus (-)

 Riwayat alergi (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis; GCS 15 (E4V5M6)
Vital Sign
 Tekanan darah : 130/80 mmHg
4
 Nadi : 80 x/menit (kuat angkat dan reguler)
 Nafas : 20 x/menit (tipe torakoabdominal)
 Suhu : 39,9°C
 SpO2 : 99 %

Status Gizi
 BB : 39 kg
 TB : 152 cm
 IMT : 16,8 kg/m2 (underweight)

Kulit
 Warna : Sawo matang
 Efloresensi : (-)
 Pigmentasi : (-)
 Jaringan Parut : (-)
 Keringat : (-)
 Pertumbuhan Rambut : Distribusi merata, tidak mudah dicabut, normal
 Suhu : 39,9oC
 Turgor : Normal, kembali cepat
 Ikterus : (-)
 Lapisan lemak : Tipis/kurang

Kepala dan leher


 Rambut : Tidak mudah dicabut, warna hitam
 Kepala : Bentuk simetris, normocephal, deformitas (-)
 Wajah : Simetris, edema (-), sianosis (-)
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), edema palpebral (-/-)
pupil isokor, refleks cahaya (+/+),

exopthalmus (-/-), sklera ikterik (-)


 Hidung : Deviasi septum (-), epistaksis (-), sekret (-)
 Mulut : Bentuk normal, sianosis (-), bibir kering (+),
pucat (-)
 Tenggorokan : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Telinga : Sekret minimal, liang telinga hiperemis (-/-),

5
nyeri tekan tragus (-/-)
 Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorax
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba, kuat angkat di ICS V linea
midklavicularis sinistra
 Perkusi : Batas Jantung
Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Pinggang Jantung : ICS III linea midclavicular sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II Regular, Gallop (-),
Paru-paru (anterior dan posterior)
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, spider nevi (-)
sikatriks (-)
 Palpasi : Fremitus taktil kanan sama dengan kiri

Nyeri tekan (-)


 Perkusi : Sonor pada dinding dada kanan dan kiri
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen
 Inspeksi : Datar, simetris, spider nevi (-), Striae (-)

 Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

 Palpasi : Nyeri Tekan Epigastrik (+), Nyeri Tekan


Supra Pubik(+), Hepatomegali(-),
Splenomegali (-)
 Perkusi : Timpani, Nyeri Ketuk CVA (-)
Ektremitas
 Superior
Dextra : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), Rumple leed (+)

6
Sinistra : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-),
Inferior
Dextra : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-),
Sinistra : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-),

2.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Darah Rutin (11/11/ 2021)


2.
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Interpretasi
Eritrosit 4.93 3,5-5,5 x 1012/L N
MCV 79,6 75-100 fl N
RDW% 14.3 11-16 % N
RDWa 67,5 30-150 fl N
Hematocrit 39.2 35-55 % N
Trombosit 63 150-400 x 109/L L
MPV 9,8 8-11 fl N
PDW 15.1 0,1-9,99 fl H
PCT 0,06 0,01-9,99 % N
LPCR 29.1 0,1-99,9 % N
Leukosit 13,0 4-10 x 109/L H
Hemoglobin 13,7 11,5-16,5 g/dl N
MCH 27,7 25-35 pg N
MCHC 34,8 31-38 g/dl N
Limfosit 5.9 0,5-5 x 109/L H
Granulosit 4.9 1,2-8 x 109/L N
MID 2.2 0,1-1,5 x 109/L H
Limfosit% 45.7 15-50 % N
Granulosit% 38,2 35-80 % N
MID% 16.1 2-15 % H

Kesan: Trombositopenia , Leukositosis

7
2. Glukosa Darah (11 November 2021)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Glukosa Darah Sewaktu 74 <200

Kesan: Normal

3. Urinalisis ( 11 November 2021)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Interpretasi


Warna Kuning Tua Kuning Muda TN

Kejernihan Agak Keruh Jernih TN


Reaksi/pH 6,0 4-8,5
Berat Jenis 1.015 1.005-1.030
Protein - Negative
Glukosa / reduksi - Negative
Keton - Negative
Blood/darah +3 Negative TN
Bilirubin - Negative
Urobilin - Negative
Urobilinogen - Normal
Nitrit - Negative
Leukosit 9-10 /LPB 0-3 / LPB TN
Eritrosit 20-25/LPB 0-2 / LPB TN
Sel Epitel 2-3 /LPK 0-5 /LPK

8
Kesan : Piuria, hematuria,

4. Tes Serologi ( 11 November 2021)

Widal H/O/AH/AO Hasil Nilai Rujukan


NS1Ag Positif Negatif

2.5 Diagnosis Kerja

 Primer : Febris et causa Demam Berdarah Dengue Grade 1

 Sekunder : Infeksi Saluran Kemih

2.7 Diagnosis Banding

- Demam tifoid

- Chikungunya

- Malaria

- Sistitis

- Pielonefritis akut

2.6 Pemeriksaan Yang Dianjurkan


 Cek Darah Rutin / 12 Jam

 Serologi DBD igG dan igM

 Cek ulang urinalisis

 USG abdomen dan saluran kemih

2.7 Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
1. Tirah Baring
2. Diet nasi biasa
3. Observasi tanda-tanda vital

4. Asupan cairan yang banyak


9
5. Menjaga kebersihan dan hygiene daerah genital dan sekitarnya

6. Edukasi :

 Jelaskan mengenai penyakit yang dialami pasien

 Jelaskan mengenai faktor resiko yang menyebabkan keluhan pasien

 Minum obat yang diberikan secara teratur

Farmakologis:
 IVFD RL 20 tpm

 Inj. Omeprazole 2x40 mg IV

 Inj. Ceftriaxon 2x 1 gr IV

 Po. Azitromicin 1x 500 mg

 Po domperidon 3x1

 Po paracetamol Tab 3x 500 mg, jika T : > 38o

2.8 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Demam Berdarah Dengue


3.1.1 Definisi
Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) (dengue
haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.8

3.1.2 Etiologi
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh infeksi virus Dengue dari
genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang terdiri atas 4 serotipe. Virus ini dapat
masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantaraan nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok
Indonesia, kecuali di tempat- tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas
permukaan laut. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit
penyakit demam berdarah dengue, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk
penularnya sudah tersebar luas di perumaban penduduk maupun di tempat-tempat
umum diseluruh Indonesia.9
Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti mengalami proses metamorphosis
sempurna mulai dari telur, larva, kepompong dan nyamuk dewasa. Jentik nyamuk
sendiri terbentuk dalam fase larva. Di dalam fase larva dikenal 4 tingkatan larva yang
masing-masing dinamakan instar. Pada instar ketiga dan keempat bulu-bulu telah
tumbuh secara lengkap sehingga apabila ingin mengidentifikasi larva maka yang
diambil adalah larva pada instar keempat. Fase larva membutuhkan waktu selama 1
mingguuntuk menjadi fase kepompong. Larva nyamuk Aedes Aegypti memiliki sifat
yaitu ukurannya 0,5 sampai 1 cm, memiliki ciri khas gerakan yang berulang-ulang
dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas kemudian turun lagi dan seterusnya.
Menurut Soegijanto (2004), kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva
dipengaruhi oleh faktor temperatur, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan

11
yang terdapat pada tempat hidupnya.10

Faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit demam


berdarah diantaranya: lingkungan rumah (jarak rumah, tata rumah, jenis kontainer,
10
ketinggian tempat dan iklim), lingkungan biologi, dan lingkungan sosial.
a. Lingkungan rumah
Jarak antara rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah
kerumah lain, semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah nyamuk menyebar
kerumah sebelah. Bahan-bahan pembuat rumah,konstruksi rumah, warna dinding dan
pengaturan barang-barang dalam rumah menyebabkan rumah tersebut disenangi atau
tidak disenangi oleh nyamuk. Berbagai penelitian penyakit menular membuktikan
bahwa kondisi perumahan yang berdesak-desakan dan kumuh mempunyai
kemungkinan lebih besar terserang penyakit. Macam kontainer, termasuk macam
kontainer disini adalah jenis/bahan kontainer, letak kontainer, bentuk, warna,
kedalaman air, tutup dan asal air mempengaruhi nyamuk dalam pemilihan tempat
bertelur. Ketinggian tempat, pengaruh variasi ketinggian berpengaruh terhadap
syarat-syarat ekologis yang diperlukan oleh vektor penyakit. Di Indonesia nyamuk
Aedesaegypti dan Aedes albopictus dapat hidup pada daerah dengan ketinggian 1000
meter diatas permukaan laut. Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan
fisik, yang terdiri dari: suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan
angin. 10
b. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi yang mempengaruhi penularan DBD terutama adalah
banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang mempengaruhi kelembaban
dan pencahayaan didalam rumah. Adanya kelembaban yang tinggi dan kurangnya
pencahayaan dalam rumah merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap
beristirahat.10 Kelembaban yang tinggi dengan suhu berkisar antara 28-320C
membantu nyamuk Aedes bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama. 11
c. Lingkungan Sosial
Lingkungan Sosial, kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan
kurang memperhatikan kebersihan lingkungan seperti kebiasaan menggantung baju,
kebiasaan tidur siang, kebiasaan membersihkan TPA, kebiasaan membersihkan
halaman rumah, dan juga partisipasi masyarakat khususnya dalam rangka
12
pembersihan sarang nyamuk, maka akan menimbulkan resiko terjadinya transmisi
penularan penyakit DBD di dalam masyarakat. Kebiasaan ini akan menjadi lebih
buruk dimana masyarakat sulit mendapatkan air bersih, sehingga mereka cenderung
untuk menyimpan air dalam tandon bak air, karena TPA tersebut sering tidak dicuci
dan dibersihkan secara rutin pada akhirnya menjadi potensial sebagai tempat
perindukan nyamuk Aedes aegypti

3.1.3 Epidemiologi
Sejarah mencatat, DBD pertama kali ditemukan pada akhir abad ke-18 dan
memengaruhi Asia, Afrika, dan Amerika Utara. Diperkirakan 50 juta infeksi dengue
terjadi di seluruh dunia setiap tahun (WHO, 2011). Dari kasus ini, 500.000 kasus
berkembang menjadi DBD yang menyebabkan 22.000 kematian sebagian besar anak-
anak. Selama tahun 1960 sampai 2010, kasus DBD telah meningkat 30 kali lipat di
seluruh dunia.11 Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia
semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlah kasus maupun penyebaran
wilayahnya. Diperkirakan 3,9 milyar orang di 128 negara berdomisili di daerah yang
berisiko terinfeksi virus dengue Oleh karena itu upaya pengendalian perlu
ditingkatkan. Tahun 2016 tercatat kasus DBD di Indonesia sebanyak 204.171
kejadian, dengan kematian 1.598 orang. Kasus di NTT sebanyak 1.015 kejadian
dengan kematian 2 orang.12
Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi di Indonesia dengan
jumlah kasus 68.407 tahun 2017 mengalami penurunan yang signifikan dari tahun
2016 sebanyak 204.171 kasus. Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi terjadi di 3
(tiga) provinsi di Pulau Jawa, masing-masing Jawa Barat dengan total kasus sebanyak
10.016 kasus, Jawa Timur sebesar 7.838 kasus dan Jawa Tengah 7.400 kasus.
Sedangkan untuk jumlah kasus terendah terjadi di Provinsi Maluku Utara dengan
jumlah 37 kasus.2 Penyakit DBD di Indonesia tergolong fluktuatif sehingga perlu
adanya evaluasi program pengendalian DBD yang selama ini telah berjalan guna
mencegah peningkatan kasus DBD pada tahun-tahun berikutnya.13

3.1.4 Patofisiologi dan patogenesis


Patofisiologi utama yang terjadi pada DBD yaitu peningkatan permeabilitas
vaskuler dan hemostasis yang abnormal. Permeabilitas vaskuler yang meningkat
mengakibatkan kebocoran plasma, hipovolemia, dan syok. Gangguan hemostasis
13
dapat menimbulkan trombositopenia, sehingga memunculkan menifestasi perdarahan.
Trombosit merupakan sel darah yang berfungsi dalam hemostasis. Sel ini tidak
memiliki nukleus dan dihasilkan oleh megakariosit dalam sumsum tulang. Pada
pasien DBD terjadi trombositopenia akibat munculnya antibodi terhadap trombosit
karena kompleks antigen-antibodi yang terbentuk. Nilai hematokrit adalah
konsentrasi (dinyatakan dalam persen) eritrosit dalam 100 mL darah lengkap. Nilai
hematokrit akan meningkat (hemokonsentrasi) karena peningkatan kadar sel darah
atau penurunan kadar plasma darah, misalnya pada kasus DBD. Sebaliknya nilai
hematokrit akan menurun (hemodilusi) karena penurunan seluler darah atau
peningkatan kadar plasma darah, seperti pada anemia. 14
Demam pada dasarnya merupakan reaksi fisiologis tubuh yang kompleks
terhadap kehadiran penyakit, yang ditandai oleh peningkatan temperatur tubuh di atas
normal akibat rangsangan pirogen eksogen (infeksi dan non-infeksi) dan endogen
sebagai substansi penyebab demam pada pusat pengaturan temperatur tubuh
(thermostat) di hipotalamus. Infeksi virus dengue dapat menyebabkan terbentuknya
kompleks antigen –antibodi yang mengaktivasi sistem komplemen, menyebabkan
agregrasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan endotel
pembuluh darah. Pelekatan kompleks antigen – antibodi pada membran trombosit
merangsang pengeluaran adenosine diphospat (ADP) yang menyebabkan sel – sel
trombosit saling melekat, oleh sistem retikuloendotel / retiuloendothelial system
(RES) kelompok trombosit dihancurkan sehingga mengakibatkan terjadi
trombositopeni dan akhirnya dapat mencetuskan terjadinya perdarahan masif pada
pasien DBD.15
Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
a) respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE),
b) limfosit T baik T-helper(CD4) dan T- sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun selular terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
c) monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
14
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan sekresi sitokin oleh makrofag;
d) selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun meyebabkan terbentuknya
C3a dan C5a.8

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis F secondary heterologous


infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus
dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi
8
sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga
virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan
interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi
berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-
6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks
virus- antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 8
1) Supresi sumsum tulang,
2) destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan
keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan
terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme
kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui
pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit
selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit
terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-
tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit. Koagulopati
terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi
endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
15
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktifasi koagulasi pada demam berdarah
dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). jalur intrinsij
juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak
(kalikrein C1-inhibitor complex). 8

3.1.5 Manifestasi Klinik


Setelah masa inkubasi, sebagian besar pasien mengalami serangan demam
mendadak selama 2–7 hari dan sering disertai dengan gejala mialgia, arthralgia,
anoreksia, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan ruam pada kulit. Penggunaan acuan
klinis diagnosis dan klasifikasi infeksi dengue dari awal hingga kini beberapa kali
diperbarui merujuk pada klasifikasi WHO 1997, 2009, dan 2011. 16
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul
gejala prodormal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan
perasaan lelah.
a. Demam Dengue (DD) probable dengue: 8
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih
manifestasi klinis sebagai berikut:
- Nyeri kepala.
- Nyeri retro-orbital.
- Mialgia
- Artralgia.
- Ruam kulit.
- Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif).
- Leukopenia.(leuko < 5000)
- Trombosit < 150.000
- Hematokrit naik 5-10%
Dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD yang
sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
b.Demam Berdarah Dengue (DBD): 8
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah
ini dipenuhi :
- Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
- terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
1. Uji bendung positif.
16
2. Petekie, ekimosis, atau purpura.
3. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan
dari tempat lain.
4. Hematemesis atau melena.
- Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).
- terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
1. Peningkatan hematokrit > 2 0 % dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin
2. Penurunan hematokrit > 2 0 % setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematocrit sebelumnya.
3. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah
ditemukan kebocoran plasma pada DBD.8

Gambar. Klasifikasi derajat DBD

3.1.6 Alur Diagnosis


a. Anamnesis17
Keluhan:
1) Demam tinggi, mendadak, terus menerus selama 2 – 7 hari.
2) Manifestasi perdarahan, seperti: bintik-bintik merah di kulit, mimisan, gusi
berdarah, muntah berdarah, atau buang air besar berdarah.
17
3) Gejala nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital.
4) Gejala gastrointestinal, seperti: mual, muntah, nyeri perut (biasanya di ulu hati
atau di bawah tulang iga)
5) Kadang disertai juga dengan gejala lokal, seperti: nyeri menelan, batuk, pilek.
6) Pada kondisi syok, anak merasa lemah, gelisah, atau mengalami penurunan
kesadaran.
7) Pada bayi, demam yang tinggi dapat menimbulkan kejang.
Faktor Risiko:
1) Sanitasi lingkungan yang kurang baik, misalnya: timbunan sampah, timbunan
barang bekas, genangan air yang seringkali disertai di tempat tinggal pasien
sehari-hari.
2) Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti pada genangan air di tempat tinggal
pasien sehari-hari.
3) Adanya penderita demam berdarah dengeu (DBD) disekitar pasien.

b. Pemeriksaan Fisik 17
Tanda Patognomonisuntuk demam berdarah dengue
- Suhu > 37,5 derajat celcius
- Ptekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa
- Rumple Leed (+)
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa tanda-tanda efusi pleura dan
asites.
- Hematemesis atau melena
c. Pemeriksaan Penunjang17
- Leukosit: leukopenia cenderung pada demam dengue
- Adanya bukti kebocoran plasma yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
pembuluh darah pada Demam Berdarah Dengue dengan manifestasi peningkatan
hematokrit diatas 20% dibandingkan standard sesuai usia dan jenis kelamin dan atau
menurun dibandingkan nilai hematokrit sebelumnya > 20% setelah pemberian terapi
cairan.
- Trombositopenia (Trombosit <100.000/ml)ditemukan pada Demam Berdarah
18
Dengue.

Pemeriksaan Laboratorium
Ada beberapa jenis pemeriksaan laboratorium pada penderita infeksi dengue antara lain:18
1) Hematologi/Darah Rutin
a. Leukosit
- Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil.
- Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB) > 4% di darah
tepi yang biasanya dijumpai pada hari sakit ketiga sampai hari ke tujuh. 11
b. Trombosit
Pemeriksaan trombosit antara lain dapat dilakukan dengan cara:
- Semi kuantitatif (tidak langsung)
- Langsung (Rees-Ecker)
- Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi
Jumlah trombosit ≤100.000/μl biasanya ditemukan diantara hari ke 3-7 sakit. Pemeriksaan
trombosit perlu diulang setiap 4-6 jam sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam
batas normal atau keadaan klinis penderita sudah membaik. 13
c. Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan adanya kebocoran pembuluh darah.
Penilaian hematokrit ini, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan
plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya
penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsertrasi dengan
peningkatan hematokrit > 20% (misalnya nilai Ht dari 35% menjadi 42%), mencerminkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian,
bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan Namun
perhitungan selisih nilai hematokrit tertinggi dan terendah baru dapat dihitung setelah
mendapatkan nilai Ht saat akut dan konvalescen (hari ke-7). Pemeriksaan hematrokrit
antara lain dengan mikro-hematokrit centrifuge. 13
Nilai normal hematokrit:
- Anak-anak : 33 - 38 vol%
- Dewasa laki-laki : 40 - 48 vol%
- Dewasa perempuan : 37 - 43 vol%
Untuk puskesmas yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan
estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.
19
2) Radiologi
Pada foto toraks posisi “Right Lateral Decubitus” dapat mendeteksi adanya efusi pleura
minimal pada paru kanan. Sedangkan asites, penebalan dinding kandung empedu dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan Ultra Sonografi (USG). 13
3) Serologis
Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada penderita terinfeksi virus
Dengue.
a. Uji Serologi Hemaglutinasi Inhibisi (Haemaglutination Inhibition Test)
Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai uji baku emas (gold standard). Namun
pemeriksaan ini memerlukan 2 sampel darah (serum) dimana spesimen harus diambil pada
fase akut dan fase konvalensen (penyembuhan), sehingga tidak dapat memberikan hasil
yang cepat.
b. ELISA (IgM/IgG)
Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi primer atau sekunder dengan menentukan
rasio limit antibodi dengue IgM terhadap IgG. Dengan cara uji antibodi dengue IgM dan
IgG, uji tersebut dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu sampel darah (serum)
saja, yaitu darah akut sehingga hasil cepat didapat. Saat ini tersedia Dengue Rapid Test
(misalnya Dengue Rapid Strip Test) dengan prinsip pemeriksaan ELISA. 13

c. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Dengue Rapid Test


Dengue Rapid Test mendiagnosis infeksi virus primer dan sekunder melalui penentuan cut-
off kadar IgM dan IgG dimana cut-off IgM ditentukan untuk dapat mendeteksi antibodi
IgM yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue primer dan sekunder, sedangkan
cut off antibodi IgG ditentukan hanya mendeteksi antibodi kadar tinggi yang secara khas
muncul pada infeksi virus dengue sekunder (biasanya IgG ini mulai terdeteksi pada hari ke-
2 demam) dan disetarakan dengan titer HI > 1:2560 (tes HI sekunder) sesuai standar WHO.
Hanya respons antibodi IgG infeksi sekunder aktif saja yang dideteksi, sedangkan IgG
infeksi primer atau infeksi masa lalu tidak dideteksi. Pada infeksi primer IgG muncul pada
setelah hari ke-14, namun pada infeksi sekunder IgG timbul pada hari ke-2.Interpretasi
hasil adalah apabila garis yang muncul hanya IgM dan kontrol tanpa garis IgG, maka
Positif Infeksi Dengue Primer (DD). Sedangkan apabila muncul tiga garis pada kontrol,
IgM, dan IgG dinyatakan sebagai Positif Infeksi Sekunder (DBD). Beberapa kasus dengue
sekunder tidak muncul garis IgM, jadi hanya muncul garis kontrol dan IgG saja.
Pemeriksaan dinyatakan negatif apabila hanya garis kontrol yang terlihat. Ulangi
20
pemeriksaan dalam 2-3 hari lagi apabila gejala klinis kearah DBD. Pemeriksaan dinyatakan
invalid apabila garis kontrol tidak terlihat dan hanya terlihat garis pada IgM dan/atau IgG
saja.18

3.1.7 Tatalaksana
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protocol penatalaksanaan DBD pada
pasien dewasa berdasarkan kriteria:8
- penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi.
- praktis dalam pelaksanaannya.
- mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :


a. Protokol 1 : Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok

21
Gambar 1: Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di Unit Gawat Darurat 8

b. Protokol 2 :
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang

Gambar 2: Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruang rawat 8

22
c. Protokol 3 :
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematocrit > 20 %

Gambar 3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20% 8

23
d. Protokol 4 :
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa

Gambar 3: Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD Dewasa8

24
e. Protokol 5 :
Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa

Gambar 5: Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa8

3.1.8 Komplikasi
Penyakit DBD dapat memunculkan berbagai komplikasi yang paling sering
seperti terjadinya ensefalopati ataupun gagal ginjal akut.
25
a. Ensefalopati dengue:
Pada pasien DBD dengan ensefalopati biasanya ditemukan penurunan kesadaran
yaitu somnolen, gastric bleeding (+), akral dingin, hipotensi sampai tidak terukur,
nadi teraba cepat dan lemah, pernafasan sesak dan apnea, serta peningkatan kadar
SGOT/SGPT.

b. Gagal ginjal akut:


Pada pasien DBD dengan gagal ginjal akut ditemukan adanya peningkatan
kadar ureum dan kreatinin. Kelainan ginjal pada penderita DBD yang mengalami
syok disebabkan karena hipoperfusi ginjal, azotemia pre renal dan nekrosis tubuler
akut. Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal akibat syok yang
tidak teratasi dengan baik, yang ditandai dengan penurunan jumlah urin dan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin.15

3.1.9 Pencegahan
Secara umum upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di Indonesia
merupakan aktivitas utama upaya pencegahan DBD yang melibatkan peran serta
masyarakat.19 Upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) merupakan aktivitas
utama upaya pencegahan DBD yang melibatkan peran serta dari seluruh masyarakat.
Program ini sudah dilaksanakan sejak tahun 1992 dengan gerakan 3M, terdiri atas
Menguras-Menutup-Mengubur.20 Pengendalian pelayanan kesehatan dapat dilakukan
dengan meningkatkan peran serta Puskesmas dalam membantu masyarakat
memantau jentik nyamuk di setiap rumah dan lingkungan yang berpotensi sebagai
tempat perkembangbiakan nyamuk serta menggalakkan promosi kesehatan terutama
berkaitan dengan masalah DBD.10 Pada bulan Juni 2015 Kemenkes sudah
mengenalkan gerakan 1 rumah 1 jumantik (juru pemantau jentik). Gerakan ini
dimaksudkan untuk mengajak setiap keluarga dan seluruh masyarakat agar mencegah
munculnya perindukan nyamuk Aedes Aegypti di rumah.21
PSN 3M akan memberikan hasil yang baik apabila dilakukan secara luas dan
serentak, terus menerus dan berkesinambungan. PSN 3M sebaiknya dilakukan
sekurang-kurangnya seminggu sekali sehingga terjadi pemutusan rantai pertumbuhan
nyamuk pra dewasa tidak menjadi dewasa. Yang menjadi sasaran kegiatan PSN 3M
adalah semua tempat potensial perkembangbiakan nyamuk Aedes, antara lain tempat
26
penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, tempat penampungan air bukan
untuk keperluan sehari-hari (non-TPA) dan tempat penampungan air alamiah. 22
PSN 3M dilakukan dengan cara, antara lain :
1. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi/wc,
drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1)
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan
lain-lain (M2)
3. Memanfaatkan atau mendaur ulangn barang-barang bekas yang dapat menampung
air hujan (M3).
PSN 3M diiringi dengan kegiatan Plus lainya, antara lain :
- Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang
sejenis seminggu sekali.
- Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
- Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan tanah,
dan lain-lain).
- Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di
daerah yang sulit air
- Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air
- Memasang kawat kasa
- Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
- Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai• Menggunakan
kelambu
- Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
- Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah.

Keberhasilan kegiatan PSN 3M antara lain dapat diukur dengan angka bebas
jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD
dapat dicegah atau dikurangi.22

3.1.10 Prognosis
Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia ad bonam, karena hal ini
10
tergantung dari derajat beratnya penyakit. Obesitas, bayi, diabetes melitus, ibu
hamil, hipertensi, dalam terapi antikoagulan, penyakit hemolitik dan
hemoglobinopati, penyakit jantung bawaan dan kelainan jantung sistemik, serta
27
pasien dalam pengobatan steroid memperburuk prognosis demam berdarah
dengue.22

3.2 Infeksi Saluran Kemih


3.2.1 Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan adanya infeksi (biasanya
perkembangbiakan bakteri) pada saluran kemih meliputi uretra hingga ginjal
dengan jumlah bakteriuria yang bermakna. Bakteriuria bermakna adalah bila
ditemukan pada biakan urin pertumbuhan bakteri sejumlah >100.000 per mL urin
segar atau 105 cfu/mL atau leukosituria >10/LPB(yang diperoleh dengan cara
pengambilan yang steril atau tanpa kontaminasi).Berbagai istilah pada infeksi
saluran kemih dan definisinya:
1. Pielonefritis : infeksi pada ginjal;
2. Ureteritis : infeksi pada ureter;
3. Sistitis : infeksi pada kandung kemih/buli;
4. Uretritis : infeksi pada uretra.4,5

3.2.2 Epidemiologi

Infeksi saluran kemih merupakan infeksi sistem nomor dua paling sering
setelah infeksi saluran napas yang terjadi pada populasi dunia dengan rata-rata 9,3%
pada wanita di atas 65 tahun dan 2,5 – 11% pada pria di atas 65 tahun. ISK
merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan pada pasien rawat
jalan maupun pasien rawat inap, yang mencapai kira-kira 40-60% dari infeksi
nosokomial. ISK merupakan infeksi dengan keterlibatan bakteri tersering di
komunitas dan hampir 10% orang pernah terkena ISK dalam hidupnya. Data dari
WHO tahun 2011 menunjukkan sekitar 150 juta penduduk di seluruh dunia tiap
tahunnya terdiagnosis menderita ISK. Prevalensinya sangat bervariasi berdasarkan
umur dan jenis kelamin. ISK dapat mengenai pasien dari segala usia mulai dari bayi
baru lahir hingga orang tua. Pada umumnya wanita lebih sering mengalami episode
ISK daripada pria, hal ini dikarenakan panjang uretra wanita yang lebih pendek
daripada laki-laki. Di negara berkembang, ISK menempati posisi kedua tersering
(23,9%) setelah infeksi luka operasi (29,1%) sebagai infeksi yang paling sering
didapatkan oleh pasien di fasilitas kesehatan.4,6
Data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2014 menunjukkan bahwa
28
jumlah penderita ISK mencapai 90 – 100 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Data penelitian epidemiologi klinik di Indonesia tahun 2015 melaporkan bahwa
hampir 25-35% perempuan dewasa pernah mengalami ISK selama hidupnya. Pada
individu perempuan, prevalensi ISK pada usia sekolah adalah 1%, yang meningkat
menjadi 5% pada fase seksual aktif.7
3.2.3 Etiologi

Di dunia dilaporkan bahwa Escherichia colimerupakan penyebab terbanyak


infeksi saluran kemih (ISK) yaitu mencapai 85% untuk infeksi community-acquired
dan 60% infeksi hospital-acquired. Pada infeksi community-acquiredjuga dijumpai
kuman enterobactericeae gram negatif lain sepertiProteus mirabilis dan Klebsiella
pneumoniae, sementara untuk gram positif didapati kuman seperti Enterococcus
faecalis dan Staphylococcus saprophyticus. Pada ISK komplikata atau nosokomial
disebabkan oleh E. faecalis, Klebsiella, Enterobacter, Citrobacter, Serratia,
Pseudomonas aeruginosa, Providencia, dan S. epidermidis. Di Indonesia pada
tahun 2002-2004 dari 3 senter pendidikan yaitu Jakarta (Bagian Mikrobiologi &
Bagian Patologi Klinik), Bandung (Bagian Patologi Klinik Sub Bagian
Mikrobiologi) dan Surabaya (Bagian Mikrobiologi) didapati pola kuman isolat urin
terbanyak yaitu pada Tabel 1.7

Tabel 1. Pola Kuman Isolat Urin Terbanyak7


Kuman Jumlah
Escherichia coli 1161 (34,85%)
Klebsiella sp 554 (16,63%)
Pseudomonas sp 498 (14,95%)
Staphylococcus epidermidis 165 (4,95%)
Enterobacter aerogenes 153 (4,59%)
Lain-lain 800 (24,01%)

3.2.4 Klasifikasi ISK

Menurut pembagian anatomisnya ISK dibagi menjadi 4,6,7


1. Infeksi Saluran Kemih Bawah (ISK-B), meliputi infeksi dan peradangan
pada:
a. Perempuan: meliputi sistitis yakni suatu presentasi infeksi kandung
kemih disertai bakteriuria bermakna, dan sindrom uretra akut (SUA)
yakni adanya presentasi sistitis tanpa adanya mikroorganisme/steril.
29
b. Laki-laki: sistitis, prostatitis, epididimitis, dan urethritis.
2. Infeksi Saluran Kemih Atas (ISK-A) meliputi pielonefritis akut (PNA) yakni
adanya proses inflamasi pada parenkim ginjal yang disebabkan oleh infeksi
bakteri, dan pielonefritis kronis (PNK) yang merupakan kondisi lanjut dari
adanya infeksi akut sejak masa kecil, obstruksi saluran kemih dan refluks
vesikoureter dengan maupun tanpa adanya bakteriuria kronik dan sering
diikuti terjadinya jaringan parut pada ginjal.
Menurut tanda klinisnya ISK dibagi menjadi
1. Bakteriuria asimptomatik/covert bacteriuria, merupakan kondisi
ditemukannya bakteriuria bermakna yang tidak disertai adanya keluhan
ataupun tanda-tanda klinis. Kondisi ini sering diakibatkan oleh:
a. Pasien telah mendapatkan/sedang menggunakan terapi antimikroba
b. Terapi diuretika
c. Minum banyak
d. Waktu pengambilan sampel tidak tepat
e. Peranan bakteriofag
2. Bakteriuria simptomatik, merupakan kondisi ditemukannya bakteriuria
bermakna yang juga diikuti oleh adanya keluhan maupun tanda-tanda klinis
suatu ISK.

Menurut komplikasinya, ISK dibagi menjadi:

1. Infeksi saluran kemih sederhana (uncomplicated)


Bersifat akut, sporadik atau berulang (bagian bawah) (sistitis non komplikata)
dan / atau pielonefritis (bagian) atas (tidak rumit), terbatas pada wanita tidak
hamil tanpa kelainan anatomi dan fungsional yang diketahui dan relevan
dengan saluran kemih atau komorbiditas
2. Infeksi saluran kemih berkomplikasi (complicated)
Infeksi saluran kemih komplikata adalah sebuah infeksi yang diasosiasikan
dengan suatu kondisi, misalnya abnormalitas struktural atau fungsional
saluran genitourinari atau adanya penyakit dasar yang mengganggu dengan
mekanisme pertahanan diri individu, yang meningkatkan risiko untuk
mendapatkan infeksi atau kegagalan terapi

30
Pasien juga dapat mengalami ISK rekuren. Secara umum ISK rekuren dibagi
menjadi 2, yakni:
1. Re-infeksi, pada umumnya episode infeksi berlangsung dengan interval > 6
minggu dengan mikroorganisme yang berlainan,
2. Relaps, setiap kali infeksi diakibatkan oleh mikroorganisme yang sama,
disebabkan oleh pemberian terapi yang tidak adekuat.

3.2.5 Faktor Resiko


ISK umum terjadi pada wanita, dan banyak wanita mengalami ISK lebih
dari sekali dalam hidupnya. Beberapa faktor risiko ISK yang spesifik pada wanita
antara lain:4,7,8,23
1. Anatomi Saluran Kemih

Wanita memiliki uretra yang lebih pendek dibandingkan pria, sehingga


mempermudah bakteri untuk bermigrasi mencapai lokasi infeksi yang lebih
tinggi, seperti vesika urinaria.
2. Aktivitas Seksual

Wanita yang aktif secara seksual cenderung memiliki risiko untuk terkena ISK
lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak aktif secara seksual. Wanita dengan
pasangan seksual yang berganti-ganti memiliki resiko yang lebih besar lagi untuk
terkena ISK.
3. Jenis Alat KB

Wanita yang menggunakan diafragma untuk KB dapat memiliki risiko lebih tinggi
untuk terkena ISK, begitu juga dengan wanita yang menggunakan agen
spermisidal.

4. Menopause

Setelah menopause, penurunan pada estrogen dalam darah menyebabkan


perubahan pada saluran kemih yang mengakibatkan wanita lebih rentan terkena
ISK.
Faktor risiko lainnya yang berperan dalam menyebabkan seseorang terkena ISK
ialah:
1. Abnormalitas Saluran Kemih
Bayi yang lahir dengan abnormalitas saluran kemih yang menyebabkan urin tidak
dapat diekskresikan dengan normal atau menyebabkan urin kembali lagi ke uretra
31
memiliki risiko terkena ISK lebih tinggi.

2. Obstruksi Salura Kemih


Batu ginjak atau pembesaran prostat dapat menyebabkan urin terperangkap di
vesika urinaria dan meningkatkan risiko ISK.
3. Sistem Imun yang Menurun
Diabetes atau penyakit lainnya yang mengganggu sistem imun dapat meningkatan
risiko terkena ISK.
4. Penggunaan Kateter
Orang-orang yang menggunakan kateter, seperti pasien- pasien yang dirawat inap
di rumah sakit, orang-orang dengan kelainan neurologis sehingga tidak dapat
mengontrol buang air kecil, memiliki risiko lebih tinggi terkena ISK.
5. Tindakan pada Saluran Kemih
Pembedahan saluran kemih atau pemeriksaan pada saluran kemih yang
menggunakan alat-alat medis dapat meningkatkan risiko berkembangnya ISK. 24

3.2.6 Patogenesis

Pada sebagian besar ISK, bakteri akan naik menginfeksi secara asendens
dari uretra ke kandung kemih. Bakteri secara asendens akan terus naik melalui
ureter ke ginjal dan akan menyebabkan infeksi parenkim ginjal. Namun,
masuknya bakteri ke dalam kandung kemih tidak lanngsung menyebabkan infeksi
yang berkelanjutan dan bergejala. Interaksi faktor inang (host), patogen, dan
lingkungan menentukan apakah akan terjadi invasi jaringan dan infeksi
simtomatik. Sebagai contoh, bakteri sering memasuki kandung kemih setelah
melakukan hubungan seksual, tetapi mekanisme berkemih dan pertahanan
inangbawaan akan menghilangkan organisme ini. Benda asing apa pun dalam
saluran kemih, seperti kateter atau batu kemih, memberikan permukaan lembab
untuk kolonisasi bakteri. Miktruisi abnormal dan/atau volume urin residual yang
signifikan akan meningkatkan risiko infekemungkinan bakteri memasuki kandung
kemih dan menetap di sana akan meningkatkan risiko ISK. 4,24,25

3.2.7 Patofisiologi

Saluran kemih atau urin bebas dari mikroorganisme atau steril. Infeksi saluran
kemih terjadi pada saat mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih dan
32
berkembang biak di dalam media urin. Mikroorganisme memasuki saluran kemih
melalui 4 cara, yaitu ascending, hematogen, limfogen, atau langsung dari organ
sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau eksogen sebagai akibat dari
pemakaian instrumen.
Dua jalur utama masuknya bakteri ke saluran kemih adalah jalur hematogen
dan asending, tetapi asending lebih sering terjadi.
1. Infeksi hematogen (desending)
Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan
tubuh rendah, karena menderita suatu penyakit kronik, atau pada pasien yang
sementara mendapat pengobatan imunosupresif. Penyebaran hematogen dapat
juga terjadi akibat adanya fokus infeksi di salah satu tempat. Contoh
mikroorganisme yang dapat menyebar secara hematogen adalah
Staphylococcus aureus, Salmonella sp, Pseudomonas, Candida sp., dan
Proteus sp.
Ginjal yang normal biasanya mempunyai daya tahan terhadap infeksi
E.coli karena itu jarang terjadi infeksi hematogen E.coli. Ada beberapa tindakan
yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal yang dapat meningkatkan
kepekaan ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen. Hal ini dapat
terjadi pada keadaan sebagai berikut :
a. Adanya bendungan total aliran urin
b. Adanya bendungan internal baik karena jaringan parut maupun
terdapatnya presipitasi obat intratubular, misalnya sulfonamide
c. Terdapat faktor vaskular misalnya kontriksi pembuluh darah
d. Pemakaian obat analgetik
e. Pijat ginjal
f. Penyakit ginjal polikistik
g. Penderita diabetes melitus
2. Infeksi asending
a. Kolonisasi uretra dan daerah introitus vagina
Saluran kemih yang normal umumnya tidak mengandung
mikroorganisme kecuali pada bagian distal uretra yang biasanya juga dihuni
oleh bakteri normal kulit seperti basil difteroid, streptpkokus. Di samping
bakteri normal flora kulit, pada wanita, daerah 1/3 bagian distal uretra ini
disertai jaringan periuretral dan vestibula vaginalis yang juga banyak dihuni
33
oleh bakteri yang berasal dari usus karena letak usus tidak jauh dari tempat
tersebut. Pada wanita, kuman penghuni terbanyak pada daerah tersebut adalah
E.coli di samping enterobacter dan S.fecalis. Kolonisasi E.coli pada wanita
didaerah tersebut diduga karena :
 adanya perubahan flora normal di daerah perineum
 Berkurangnya antibodi lokal
 Bertambahnya daya lekat organisme pada sel epitel wanita
b. Masuknya mikroorganisme dalam kandung kemih
Proses masuknya mikroorganisme ke dalam kandunh kemih belum
diketahui dengan jelas. Beberapa faktor yang mempengaruhi masuknya
mikroorganisme ke dalam kandung kemih adalah :
1. Faktor anatomi
Kenyataan bahwa infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada wanita
daripada laki-laki disebabkan karena :
 Uretra wanita lebih pendek dan terletak lebih dekat anus
 Uretra laki-laki bermuara saluran kelenjar prostat dan sekret prostat
merupakan antibakteri yang kuat
2. Faktor tekanan urin pada waktu miksi
Mikroorganisme naik ke kandung kemih pada waktu miksi karena tekanan urin.
Selama miksi terjadi refluks ke dalam kandung kemih setelah pengeluarann urin.

c. Multiplikasi bakteri dalam kandung kemih dan pertahanan kandung


kemih
Dalam keadaan normal, mikroorganisme yang masuk ke dalam kandung
kemih akan cepat menghilang, sehingga tidak sempat berkembang biak dalam urin.
Pertahanan yang normal dari kandung kemih ini tergantung tiga faktor yaitu :
1) Eradikasi organisme yang disebabkan oleh efek pembilasan dan
pemgenceran urin
2) Efekantibakteri dari urin, karena urin mengandung asam organik yang
bersifat bakteriostatik. Selain itu, urin juga mempunyai tekanan osmotik yang
tinggi dan pH yang rendah
3) Mekanisme pertahanan mukosa kandung kemih yang intrinsik permukaan
mukosa. Terjadinya infeksi sangat tergantung pada keseimbangan antara

34
kecepatan proliferasi bakteri dan daya tahan mukosa kandung kemih.Eradikasi
bakteri dari kandung kemih menjadi terhambat jika terdapat hal sebagai berikut :
adanya urin sisa, miksi yang tidak kuat, benda asing atau

d. Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal


Hal ini disebabkan oleh refluks vesikoureter dan menyebarnya infeksi dari
pelvis ke korteks karena refluks internal. Refluks vesikoureter adalah keadaan
patologis karena tidak berfungsinya valvula vesikoureter sehingga aliran urin
naik dari kandung kemih ke ginjal. Tidak berfungsinya valvula vesikoureter ini
disebabkan karena :
 Memendeknya bagian intravesikel ureter yang biasa terjadi secara
kongenital
 Edema mukosa ureter akibat infeksi
 Tumor pada kandung kemih
 Penebalan dinding kandung kemih4,7,24,25

3.2.8 Diagnosis

Secara umum presentasi klinis ISK atas dan bawah dapat dibedakan
berdasarkan lokasi infeksi. Pada ISK atas dapat ditemui gejala seperti demam,
kram, nyeri punggung, muntah, skoliosis dan penurunan berat badan. Sebagai
contoh pada pielonefritis akut (PNA) dapat ditemukan panas tinggi 39,5 – 40,5°C,
disertai menggigil dan sakit pinggang. Presentasi klinis PNA ini sering didahului
gejala ISK bawah (sistitis). Pada ISK bawah dapat ditemui gejala seperti nyeri
suprapubik, disuria, frekuensi, hematuria, urgensi dan stranguria. Sebagai contoh
pada sistitis didapatkan nyeri suprapubik, polakisuria, nokturia, disuria, dan
stranguria. Pada sindrom uretra akut (SUA) presentasi klinisnya sulit dibedakan
dengan sistitis. SUA sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 tahun.
Presentasi klinis SUA sangat minim (hanya disuria dan frekuensi) disertai cfu/mL
urin <105; sering disebut sistitis abakterialis. SUA dibagi 3 kelompok pasien,
yaitu:
a) Kelompok pertama pasien dengan piuria, biakan urin dapat diisolasi E. coli
dengan cfu/ml urin 103-105. Sumber infeksi berasal dari kelenjar peri-uretral
atau uretra sendiri. Kelompok pasien ini memberikan respon baik terhadap
antibiotik standar seperti ampisilin.

35
b) Kelompok kedua pasien lekosituri 10-50/lapang pandang tinggi dan kultur
urin steril. Kultur (biakan) khusus ditemukan Chlamydia trachomatis atau
bakteri anaerobik.
c) Kelompok ketiga pasien tanpa piuri dan biakan urin steril.

Gambar 3. Pendekatan Diagnosis Pada Infeksi Saluran Kemih4

36
Gambar 3. Pendekatan Diagnosis Pada Infeksi Saluran Kemih7

3.2.9 Pemeriksaan Penunjang4,7,25

Pemeriksaan penunjang dalam protokol standar untuk pendekatan diagnosis


ISK terdiri dari analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa putar,
kultur urin, serta jumlah kuman/mL urin.
Pemeriksaan infeksi saluran kemih, digunakan urin segar (urin pagi). Urin
pagi adalah urin yang pertama – tama diambil pada pagi hari setelah bangun tidur.
Digunakan urin pagi karena yang diperlukan adalah pemeriksaan pada sedimen
dan protein dalam urin. Sampel urin yang sudah diambil, harus segera diperiksa
37
dalam waktu maksimal 2 jam. Apabila tidak segera diperiksa, maka sampel harus
disimpan dalam lemari es atau diberi pengawet seperti asam format.
Bahan untuk sampel urin dapat diambil dari:
3. Urin porsi tengah, sebelumnya genitalia eksterna dicuci dulu dengan air
sabun dan NaCl 0,9%.
4. Urin yang diambil dengan kateterisasi 1 kali.
5. Urin hasil aspirasi supra pubik.
6. Bahan yang dianjurkan adalah dari urin porsi tengah dan aspirasi supra pubik.

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya adalah


sebagai berikut:
1. Analisa Urin (urinalisis)
Pemeriksaan urinalisis meliputi:
 Leukosuria (ditemukannya leukosit dalam urin).
Dinyatakan positif jika terdapat 5 atau lebih leukosit (sel darah putih) per
lapangan pandang dalam sedimen urin.
 Hematuria (ditemukannya eritrosit dalam urin).
Merupakan petunjuk adanya infeksi saluran kemih jika ditemukan eritrosit
(sel darah merah) 5-10per lapangan pandang sedimen urin. Hematuria bisa
juga karena adanya kelainan atau penyakit lain, misalnya batu ginjal dan
penyakit ginjal lainnya.

2. Pemeriksaan bakteri (bakteriologis)


Pemeriksaan bakteriologis meliputi:
 Mikroskopis.
Bahan: urin segar (tanpa diputar, tanpa pewarnaan).
Positif jika ditemukan 1 bakteri per lapangan pandang.
 Biakan bakteri.
Untuk memastikan diagnosa infeksi saluran kemih.
3. Pemeriksaan kimia
Tes ini dimaksudkan sebagai penyaring adanya bakteri dalam urin. Contoh, tes
reduksi griess nitrate, untuk mendeteksi bakteri gram negatif. Batasan:
ditemukan lebih 100.000 bakteri. Tingkat kepekaannya mencapai 90 % dengan
spesifisitas 99%.

38
4. Tes Dip slide (tes plat-celup)
Untuk menentukan jumlah bakteri per cc urin. Kelemahan cara ini tidak mampu
mengetahui jenis bakteri.

5. Pemeriksaan penunjang lain


Meliputi: radiologis (rontgen), IVP (pielografi intra vena), USG dan Scanning.
Pemeriksaan penunjang ini dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya batu
atau kelainan lainnya.

Pemeriksaan penunjang dari infeksi saluran kemih terkomplikasi:


1. Bakteriologi / biakan urin
Tahap ini dilakukan untuk pasien dengan indikasi:
 Penderita dengan gejala dan tanda infeksi saluran kemih (simtomatik).
 Untuk pemantauan penatalaksanaan infeksi saluran kemih.
 Pasca instrumentasi saluran kemih dalam waktu lama, terutama pasca
keteterisasi urin.
 Penapisan bakteriuria asimtomatik pada masa kehamilan.
 Penderita dengan nefropati / uropati obstruktif, terutama sebelum dilakukan

Sering terdapat kesulitan dalam mengumpulkan sampel urin yang


murni tanpa kontaminasi dan kerap kali terdapat bakteriuria bermakna tanpa
gejala, yang menyulitkan penegakkan diagnosis infeksi saluran kemih.
Berdasarkan jumlah CFU, maka interpretasi dari biakan urin adalah sebagai
berikut:
a. Pada hitung koloni dari bahan porsi tengah urin dan dari urin kateterisasi.
 Bila terdapat > 105 CFU/ml urin porsi tengah disebut dengan
bakteriuria bermakna
 Bila terdapat > 105 CFU/ml urin porsi tengah tanpa gejala klinis
disebut bakteriuria asimtomatik
 Bila terdapat mikroba 102 – 103 CFU/ml urin kateter pada wanita
muda asimtomatik yang disertai dengan piuria disebut infeksi
saluran kemih.
b. Hitung koloni dari bahan aspirasi supra pubik.
Berapapun jumlah CFU pada pembiakan urin hasil aspirasi supra pubik
39
adalah infeksi saluran kemih.
Interpretasi praktis biakan urin oleh Marsh tahun 1976, ialah sebagai
berikut:
Kriteria praktis diagnosis bakteriuria. Hitung bakteri positif bila didapatkan:
 > 100.000 CFU/ml urin dari 2 biakan urin porsi tengah yang
dilakukan seara berturut – turut.
 > 100.000 CFU/ml urin dari 1 biakan urin porsi tengah dengan
leukosit > 10/ml urin segar.
 > 100.000 CFU/ml urin dari 1 biakan urin porsi tengah disertai
gejala klinis infeksi saluran kemih.
 > 10.000 CFU/ml urin kateter.
 Berapapun CFU dari urin aspirasi suprapubik.
Berbagai faktor yang mengakibatkan penurunan jumlah bakteri biakan urin
pada infeksi saluran kemih:
1) Faktor fisiologis
 Diuresis yang berlebihan
 Biakan yang diambil pada waktu yang tidak tepat
 Biakan yang diambil pada infeksi saluran kemih dini (early
state)
 Infeksi disebabkan bakteri bermultiplikasi lambat
 Terdapat bakteriofag dalam urin
2) Faktor iatrogenic
 Penggunaan antiseptic pada waktu membersihkan genitalia
 Penderita yang telah mendapatkan antimikroba sebelumnya
Cara biakan yang tidak tepat:
 Media tertentu yang bersifat selektif dan menginhibisi
 Infeksi E. coli (tergantung strain), baketri anaerob, bentuk K, dan
basil tahan asam
 Jumlah koloni mikroba berkurang karena bertumpuk.
.
2. Pemeriksaan radiologis dan penunjang lainnya
Prinsipnya adalah untuk mendeteksi adanya faktor predisposisi infeksi
saluran kemih, yaitu hal – hal yang mengubah aliran urin dan stasis urin, atau

40
hal – hal yang menyebabkan gangguan fungsional saluran kemih. Pemeriksaan
tersebut antara lain berupa:
a. Foto polos abdomen
Dapat mendeteksi sampai 90% batu radio opak
b. Pielografi intravena (PIV)
Memberikan gambaran fungsi eksresi ginjal, keadaan ureter, dan distorsi
system pelviokalises. Untuk penderita: pria (anak dan bayi setelah episode
infeksi saluran kemih yang pertama dialami, wanita (bila terdapat
hipertensi, pielonefritis akut, riwayat infeksi saluran kemih, peningkatan
kreatinin plasma sampai < 2 mg/dl, bakteriuria asimtomatik pada
kehamilan, lebih dari 3 episode infeksi saluran kemih dalam setahun. PIV
dapat mengkonfirmasi adanya batu serta lokasinya. Pemeriksaan ini juga
dapat mendeteksi batu radiolusen dan memperlihatkan derajat obstruksi
serta dilatasi saluran kemih. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setelah
6 minggu infeksi akut sembuh, dan tidak dilakukan pada penderita yang
berusia lanjut, penderita DM, penderita dengan kreatinin plasma > 1,5
mg/dl, dan pada keadaan dehidrasi.
c. Sistouretrografi saat berkemih
Pemeriksaan ini dilakukan jika dicurigai terdapat refluks vesikoureteral,
terutama pada anak – anak.
d. Ultrasonografi ginjal
Untuk melihat adanya tanda obstruksi/hidronefrosis, scarring process,
ukuran dan bentuk ginjal, permukaan ginjal, masa, batu, dan kista pada
ginjal.
e. Pielografi antegrad dan retrograde
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat potensi ureter, bersifat invasive
dan mengandung factor resiko yang cukup tinggi. Sistokopi perlu dilakukan
pada refluks vesikoureteral dan pada infeksi saluran kemih berulang untuk
mencari factor predisposisi infeksi saluran kemih.
f. CT-scan
Pemeriksaan ini paling sensitif untuk menilai adanya infeksi pada parenkim
ginjal, termasuk mikroabses ginjal dan abses perinefrik. Pemeriksaan ini
dapat membantu untuk menunjukkan adanya kista terinfeksi pada penyakit
ginjal polikistik. Perlu diperhatikan bahwa pemeriksaan in lebih baik
41
hasilnya jika memakai media kontras, yang meningkatkan potensi
nefrotoksisitas.

3.2.10 Tatalakasana7,
A. Infeksi Saluran Kemih ( ISK ) Bawah
Prinsip manajemen ISK bawah meliputi intake cairan yang banyak ,
antibiotika yang adekuat , dan kalau perlu terapi simtomatik untuk
alkalinisasi urin.
 Hampir 80 % pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan
antibiotika tunggal ; seperti ampisilin 3 gram , trimetoprim 200 mg
 Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis ( lekosuria )
diperlukan terapi konvensional selama 5-10 hari
 Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan bila
semua gejala hilang dan tanpa lekosiuria.1

Lama pemberian antibiotik tergantung dari obat yang digunakan dan


berkisar dari 1-7 hari. Dapat dipertimbangkan penggunaan Fosfomycin
trometamol 3 gram dosis tunggal, pivmecillinam atau nitrofurantoin sebagai
terapi lini pertama untuk sistitis non komplikata pada wanita. Tidak
direkomendasikan menggunakan aminopenicillin atau sefalosporin untuk
terapi sistitis non-komplikata dikarenakan resistensi E coli yang tinggi di
seluruh dunia.
Terapi antibiotik jangka pendek dapat dipikirkan untuk terapi sistitis
non komplikata pada kehamilan, Secara umum terapi sistitis pada kehamilan
dapat diberikan penisilin, sefalosporin, fosfomisin, nitrofurantoin (tidak
boleh pada kasus defisiensi G6PD dan pada masa akhir kehamilan),
trimethoprim (tidak boleh pada masa awal kehamilan), dan sulfonamide
(tidak boleh pada masa akhir kehamilan).
Terapi sistitis pada pria direkomendasikan paling sedikit selama 7 hari,
dengan pilihan antibiotik TMP-SMX atau fluoroquinolone, dengan catatan
ada uji sensitivitas, karena sistitis pada pria jarang tanpa melibatkan prostat,
yang masuk golongan komplikata.

Pada pasien dengan insufisiensi ginjal tidak perlu dosis penyesuaian


42
sampai dengan GFR < 20 ml/menit, kecuali antibiotik dengan potensi
nefrotoksik seperti, aminoglikosida.
Terapi antimikroba jangka pendek dapat dipertimbangkan untuk
penanganan sistitis pada wanita hamil, tetapi tidak semua antimikroba
sesuai untuk kehamilan. Secara umum, penisilin, cefalosporin, fosfomisin,
nitrofurantoin,(tidak pada kasus dengan defisiensi glukosa 6 fosfat
dehidrogenase) dan dalam keadaan akhir dari kehamilan),
trimetoprim(jangan pada trimester pertama) dan sulfonamid(jangan pada
trimester akhir) dapat dipertimbangkan.9

43
Gambar 1. Pilihan antimikroba pada sistitis akut 26

44
Gambar 2. Stratetgi Tatalaksana sistitis akut non komplikata 8

B. Infeksi Saluran Kemih ( ISK ) Atas


Pielonefrits akut . Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan
rawat inap untuk memelihara satus hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling
1
sedikit 48 jam . Indikasi rawat inap pielonefritis akut seperti terungkap pada tabel 4 .

45
1
Tabel 2. Indikasi Rawat Inap Pasien dengan Pielonefritis Akut

Kegagalan mempertahankan hidrasi normal atau toleransi


terhadap antibiotika oral

Pasien sakit berat atau debilitasi

Terapi antibiotik oral selama rawat jalan mengalami


kegagalan

Diperlukan investigasi lanjutan

Faktor predisposisi untuk ISK tipe berkomplikasi

Komorbiditas seperti kehamilan , diabetes melitus , usia


lanjut

Waktu pemberian antibiotika berkisar antara 10 – 14 hari, sementara pilihan antibiotika


disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemberian antibiotika juga harus memperhatikan
pola resistensi kuman dan uji sensitivitasnya. Fluorokuinolon dan sefalosporin adalah
satu-satunya sediaan antimikroba yang dapat direkomendasikan untuk pengobatan oral
empiris pielonefritis tanpa komplikasi. Namun, sefalosporin oral mencapai darah dan
konsentrasi urin secara signifikan lebih rendah daripada sefalosporin intravena.
Sediaan lain seperti nitrofurantoin, fosfomisin oral, dan pivmecillinam harus dihindari
karena sediaan ini tidak mencapai tingkat jaringan ginjal yang memadai. Pasien
dengan pielonefritis tanpa komplikasi yang membutuhkan rawat inap harus diobati
pada awalnya dengan sediaan antimikroba intravena mis. fluoroquinolone,
aminoglikosida (dengan atau tanpa ampisilin), atau sefalosporin atau penisilin
spektrum luas. Pertimbangkan karbapenem hanya pada pasien dengan hasil kultur awal
yang menunjukkan adanya organisme multi drug resistance (MDR)

Apabila respon klinik buruk setelah 48-72 jam terapi, perlu dilakukan re-evaluasi bagi
adanya faktor pencetus komplikasi dan efektivitas obat, serta dipertimbangkan
perubahan obat atau cara pemberiannya

46
Gambar 3. Sediaan yang direkomendasikan untuk terapi antimikroba oral pada
pielonefritis non komplikata9

47
Gambar 4 Regimen yang direkomendasikan untuk terapi antimikroba
parenteral dalam pielonefritis non komplikata9
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi
antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui MO sebagai
penyebabnya :
- Fluorokuinolon
- Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin
- Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida

48
3.1.9 Pencegahan
Beberapa pencegahan infeksi saluran kemih dan mencegah terulang kembali, yaitu:
a. Jangan menunda buang air kecil, sebab menahan buang air kecil merupakan sebab
terbesar dari infeksi saluran kemih
b. Perhatikan kebersihan secara baik, misalnya setiap buang air kecil, bersihkan dari
arah depan ke belakang.
c. Ganti selalu pakaian dalam setiap hari

d. Pakailah bahan katun sebagai bahan pakaian dalam

e. Hindari memakai celana ketat yang dapat mengurangi ventilasi udara dan dapat
mendorong perkembangbiakan bakteri

f. Minum air yang banyak27

49
BAB IV

ANALISIS KASUS

Seorang Perempuan , Ny. S berusia 50 tahun datang ke IGD RSUD H. Abdul


Manap jambi dengan keluhan demam tinggi sejak 3 hari SMRS. Demam timbul
mendadak dirasakan terus menerus. Keluhan demam disertai dengan keringat
dingin, sakit kepala, badan terasa lemas, mual, muntah , nyeri ulu hati, nafsu makan
menurun, berat badan menurun , nyeri otot dan sendi. Keluhan mimisan dan gusi
berdarah disangkal. Uji tourniquet atau rumple leed test positif. Pada pemeriksaan
penunjang, pemeriksaan darah rutin ditemukan trombositopenia dan leukositosis,
serta serologi NS1Ag didapatkan positif .
Pada pasien ini didapatkan demam tinggi yang timbul secara mendadak
dimana sesuai dengan kepustakaan mengenai Demam berdarah dengue merupakan
penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi
klinis sebagai berikut: nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, ruam kulit,
manifestasi perdarahan (ptekie atau uji bendung), leukopenia (leuko < 5000),
trombosit <150.000, hematokrit naik 5-10%
Pada pemeriksaan fisik, untuk pemeriksaan suhu pasien mengalami demam
tinggi karena masih pada hari ke-4. Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3
fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan.
1. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai
muka kemerahan (facial flushing), eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia,
artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi
farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula
ditemukan tanda perdarahan seperti petekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang
dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal. Uji
tourniquet positif pada fase ini meningkatkan probabilitas demam berdarah.
2. Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan
suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma
yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Leukopenia progresif diikuti oleh
penurunan jumlah trombosit yang cepat biasanya mendahului kebocoran plasma.
Pada fase ini dapat terjadi syok.Merupakan kisaran waktu defervescence, ketika
suhu turun menjadi 37,5-38oC atau kurang dan tetap di bawah tingkat ini, biasanya
pada hari 3-7 dari penyakit, peningkatan permeabilitas kapiler secara paralel dengan

50
peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi. Ini menandai dimulainya fase kritis.
Pada titik ini, pasientanpa peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik,
sementara yang memiliki permeabilitas kapiler meningkat menjadi lebih buruk
akibat kehilangan volume plasma. Syok terjadi saat volume kritis plasma hilang
melalui kebocoran. Hal ini sering didahului dengan tanda peringatan. Suhu tubuh
mungkin subnormal saat terjadi syok.
3. Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan
dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya.
Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik
stabil dan diuresis membaik, gejala gastrointestinal mereda. Beberapa pasien
mungkin mengalami ruam. Beberapa mungkin mengalami pruritus umum.
Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi umum terjadi pada tahap ini.
Hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusional dari
reabsorpsi cairan. Jumlah sel darah putih biasanya mulai meningkat segera setelah
defervescence namun pemulihan jumlah trombosit biasanya lebih tinggi daripada
jumlah sel darah putih. Gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan asites yang
besar akan terjadi kapan saja jika cairan intravena berlebihan telah diberikan. 3
Pemeriksaan laboratorium darah rutin pada pasien ini didapatkan
trombositopenia <100.000, untuk hemoglobin dan hematokrit dalam batas normal.
Pasien dengan keluhan DBD dengan hasil pemeriksaan darah rutin dapat
dikategorikan pasien yang di observasi rawat jalan dengan pasien yang di rawat.
Pemeriksaan NS1Ag juga dilakukan pada pasien ini dengan hasil positif,
dimana pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya infeksi dengue pada penderita
tersebut pada fase awal demam, tanpa perlu menunggu terbentuknya antibodi.
Sesuai dengan kepustakaan , pasien ini menderita penyakit demam
berdarah dengue derajat 1 karena mengalami demam tinggi disertai gejala klinik
yang khas ditambah hasil manifestasi perdarahan berupa uji tourniquet positif ,
trombositopenia, dan hemokonsentrasi serta tidak didapatkan adanya perdarahan
spontan.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut bagian bawah sejak 3 hari SMRS.
Pasien mengaku sering menahan kencing. Nyeri saat kencing dan air kencing
berwarna kuning pekat seperti teh. Pada urinalisa ditemukan urin berwarna kuning
keruh , dan di dapatkan hematuria dan piuria
Pada pasien ini, selain didapatkan ada riwayat demam sejak 3 hari SMRS,
51
pasien juga didapatkan riwayat kebiasaan yang suka menahan buang air kecil yang
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya infeksi saluran kemih. Pasien
perempuan juga merupakan faktor risiko terjadinya infeksi saluran kemih karena
berdasarkan patofisiologi ISK dimana jalur masuk pathogen adalah secara
ascending. Pada wanita kejadian ISK lebih sering karena urethra wanita yang
pendek. Infeksi saluran kemih diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya
dimana infeksi tersebut terjadi, yaitu ISK atas dan ISK Bawah. Berdasarkan
kepustakaan, gejala demam, nyeri suprapubik, nyeri saat berkemih merupakan
presentasi klinis dari ISK bawah yaitu sistitis.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan maka pasien diagnosa utama dengan Febris
Ec Demam berdarah dengue grade 1. Sementara diagnosa sekunder pasien
adalah Infeksi Saluran Kemih . Pasien didiagnosa banding dengan Demam
tifoid, chikungunya, malaria, sistitis dan pielonefritis akut.
Pada pasien ini mendapatkan terapi non-farmakologi antara lain; Tirah
baring, diet nasi biasa, observasi tanda-tanda vital dan edukasi keluarga pasien
mengenai penyakit pasien. Dan terapi farmakologi yang di dapat antara lain; IVFD
RL 20 tpm, Inj. Omeprazol 2x 40 mg, Po. Paracetamol 3 X 500 mg (jika T >380c).
Untuk demam diberikan antipiretika golongan asetaminofen (paracetamol),
hindari memberikan golongan salisilat karena dapat menyebabkan bertambahnya
perdarahan. Antipiretika terkadang diperlukan, namun perllu diperhatikan bahwa
antipiretika tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol
direkomendasikan untuk mempertahankan suhu dibawah 39°C dengan dosis500-
1000 mg per kali, diberikan tiap 4-6 jam.maksimum 4 gram per hari.
Untuk mual dan muntah pada pasien ini diberikan omeprazol merupakan
obat golongan proton pump inhibitor dimana obat ini bekerja sebagai menghambat
kerja enzim (K+H+ATPase yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi
yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCL dari kanalikuli sel parietal ke
dalam lumen lambung.
Hal yang penting dalam penanggulangan DBD adalah pengendalian vektor
dan kebersihan lingkungannya. Nyamuk Aedes aegypti yang menyebarkan virus
dengue berbeda dengan nyamuk rumah biasa. Strategi pencegahan DBD pada
rumah tangga yang lama dikenal adalah 3M Plus. Perlu diketahui bahwa 3M terdiri
dari menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air (TPA), dan mendaur
52
ulang barang bekas. Sebaiknya pengurasan bak dilakukan setiap 1 minggu sekali,
sesuai dengan daur hidup nyamuk. Untuk genangan air yang tidak terjangkau dan
tidak dapat dikuras (seperti talang air hujan), dapat ditaburkan bubuk larvasida
(abate). Tindakan Plus lain yang dapat dilakukan adalah penggunaan kelambu saat
tidur dan lotion anti nyamuk, serta pemeliharaan ikan sebagai predator nyamuk.
Fogging (pengasapan) hanya bermanfaat untuk membasmi nyamuk dewasa, jentik
tidak dapat mati dengan pengasapan.

Pada pasien ini juga diberikan terapi untuk mengobati ISK nya dengan
prinsip manajemen ISK meliputi intake cairan yang banyak , antibiotika yang
adekuat , dan juga terapi simtomatikPada pasien ini telah diberikan intake cairan
yang adekuat lewat parenteral dengan cairan RL sesuai kebutuhan cairan pasien.
Untuk pemilihan antibiotic, berdasarkan kepustakaan, menurut The
Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi
antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui MO sebagai
penyebab ISK :
-Fluorokuinolon
-Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin
-Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida

Pada pasien ini diberikan antibiotic ceftriaxone secara parenteral intravena,


yang merupakan antibiotic golongan sefalosporin generasi ke 3. Pemberian
ceftriaxone pada pasien ini diberikan selama 3 hari. Hal ini sesuai dengan teori
diatas. Dosis ceftriaxone untuk infeksi saluran kemih yaitu 1-2 gram setiap hari.
Dosis pada pasien ini juga sudah tepat

Prognosis DD/DBD ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya


penanganan diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DD/DBD derajat I dan
II umumnya baik. DD/DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat
maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol
sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2
%.

53
BAB V

KESIMPULAN

Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) (dengue


haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Infeksi dengue disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dengue, yaitu
DENV-1, 2, 3, dan yang merupakan virus RNA single-stranded dari famili
Flaviviridae dan genus Flavivirus. PAPDI bersama dengan Divisi Penyakit Tropik
dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protocol penatalaksanaan DBD pada pasien
dewasa. Terdapat 5 protokol dalam penatalaksanaan DBD. Upaya pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) merupakan aktivitas utama upaya pencegahan DBD yang
melibatkan peran serta dari seluruh masyarakat.

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan adanya infeksi (biasanya


perkembangbiakan bakteri) pada saluran kemih meliputi uretra hingga ginjal
dengan jumlah bakteriuria yang bermakna. Bakteriuria bermakna adalah bila
ditemukan pada biakan urin pertumbuhan bakteri sejumlah >100.000 per mL urin
segar atau 105 cfu/mL atau leukosituria >10/LPB(yang diperoleh dengan cara
pengambilan yang steril atau tanpa kontaminasi)

Pada laporan kasus ini disimpulkan bahwa pasien Ny.M, umur 22 tahun, jenis
kelamin perempuan , setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang terhadap pasien maka pasien didiagnosis sebagai Febris
ec Demam Berdarah Dengue grade 1 + Infeksi Saluran Kemih. Untuk tatalaksana
yang diberikan berupa tatalaksana penyebab dan simptomatik.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Promosi Kesehatan Demam Berdarah Dengue. 2016


(diakses pada 21 Desember 2020).
2. Suhendro, Leonard Nainggolan, Khie Chen, Herdiman T. Pohan. Demam
Berdarah Dengue dalam buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi VI. Jakarta.
2015.
3. WHO SEARO. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue
and dengue haemorhagic fever. Revised and expanded edition. 2017.
4. E. Sukandar, "Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa," in Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Keenam Jilid I, Jakarta, Interna Publishing, 2014, pp. 2129-2136.
5. Chris T, Frans L, Sonia H, Eka AP. Kapita selekta kedokteran Edisi IV Jilid 2.
Jakarta: Media Aeculapius. 2014
6. Alwi, S. Salim, R. Hidayat, J. Kurniawan and D. L. Tahapary, Penatalaksanaan
di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis, Jakarta: Interna
Publishing, 2015.
7. K. P. Seputra, Tarmono, B. S. Noegroho, C. A. Mochtar, I. Wahyudi, J.
Renaldo,R. Hamid, I. W. Yudiana and T. Ghinorawa, "Guideline Penatalaksanaan
Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria," in Ikatan Ahli Urologi Indonesia,
Surabaya, 2015.
8. Setiati S, Alwi I, Sudoyono A, editors. Ilmu Penyakit Dalam. VI Jilid I. Jakarta:
Interna Publishing; 2017. 529–548 p.
9. Simaremare AP, Simanjuntak NH, Simorangkir SJ V. Hubungan Pengetahuan ,
Sikap , dan Tindakan terhadap DBD dengan Keberadaan Jentik di Lingkungan
Rumah Masyarakat Kecamatan Medan Marelan Tahun 2018 Community
Behaviour on DHF in Relationship With Mosquito Larvae Presence in Marelan
District Area of Medan. J Vektor Penyakit. 2020;14(1):1–8.
10. Widyatama EF. Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Demam
Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Pare. J Kesehat Lingkung.
2018;10(4):417–23.
11. Ismail AR. Angka Kejadian Pasien dan Penyebab Penyakit Demam Berdarah
Dengue serta Peran Puskesmas dalam Upaya Penyembuhan dan Pencegahan
pada Tahun 2018. 2019;

55
12. Tokan P, Sekunda M. Analisis TIngkat Kepadatan Jentik Aedes Aegypty dengan
Risiko Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue. 2019;4(2):76–81.
13. Nur Itsna I. Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Dalam Menanggulangi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Desa Karangmalang
Kedungbanteng. JPKMI (Jurnal Pengabdi Kpd Masy Indones. 2020;1(1):35–41.
14. Hidayat WA, Yaswir R, Murni AW. Hubungan jumlah trombosit dengan nilai
hematokrit pada penderita demam berdarah dengue dengan manifestasi
perdarahan spontan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. J Kesehat Andalas.
2017;6(2):446–51.
15. Leovani V, Sembiring L, Wirnarto. Gambaran Klinis dan komplikasi pasien
demam berdarah dengue derajat III dan IV di bagian penyakit dalam RSUD
Arifin Achmad Provinsi Riau. jom FK. 2015;2(2):1–15.
16. Kemenkes. Dengue Update. Suwandono A, editor. Jakarta: LIPI Press; 2019.
p.29
17. IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Kemenkes; 2017. 162–164 p.
18. Kemenkes RI. Pedoman Demam Berdarah Dengue Indonesia. 2017;12–38.
19. Respati T, Nurhayati E, Mahmudah -, Feriandi Y, Budiman -, Yulianto FA, et al.
Pemanfaatan Kalender 4M Sebagai Alat Bantu Meningkatkan Peran Serta
Masyarakat dalam Pemberantasan dan Pencegahan Demam Berdarah. Glob Med
Heal Commun. 2016;4(2):121.
20. Respati T, Piliang B, Nurhayati E, Yulianto FA, Feriandi Y. Perbandingan
Pengetahuan dengan Sikap dalam Pencegahan Demam Berdarah Dengue di
Daerah Urban dan Rural. Glob Med Heal Commun. 2016;4(1):53.
21. Lisastri Syahrias. Faktor Perilaku Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD)
di Kelurahan Mangsang, Kota Batam. J Dunia Kesmas. 2018;7:134–41.
22. 20. Kemenkes RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah
Dengue Di Indonesia. 2017. 36 p.
23. IRAWAN, ERNA. "Faktor-faktor penyebab infeksi saluran kemih
(ISK)(literature review)." Prosiding Seminar Nasional dan Penelitian Kesehatan
2018. Vol. 1. No. 1. 2018.
24. Bono MJ, Reygaert WC. Urinary tract infection [Updated 2021 Jun 23] In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
25. Purnomo BB. Dasar-Dasar Urologi. Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto;2003.
56
26. Seputra KP, Tamono, Moegroho BS, Movhtar CA, Wahyudi I, Renaldo J dkk.
Guideline Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria 2021.
Ikatan Ahli urologi Indonesia (IAUI). 2020
27. Schoenstadt, Arthur. Urinary Tract Infection Prevention. Available from :
http://www.honafrica.org . 2008

57

Anda mungkin juga menyukai