Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HUBUNGAN CIREBON DAN MATARAM


Disusun sebagai salah satu tugas terstruktur Mata Kuliah Cirebonologi
Dosen Pengampu: H. Hasbiyallah, M.Si

Disusun Oleh:
Juwita (1908308045)
Tamim Alwani (1908308050)
Rangga Ferdiansyah (2008308009)

KELAS A
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON

2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur mari kita panjatkan kepada allah SWT karena atas limpahan
nikmat sehatnya baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran dan yang telah memberikan
kelancaran dalam mengerjakan makalah ini sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya tentunya penulis tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada
nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat nanti.

Penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang membantu untuk


menyelesaikan makalah ini. Tak lupa penulis mengucapkan terimasih kepada Bapak H.
Hasbiyallah, M.Si selaku dosen yang mengampu mata kuliah Cirebonologi yang telah
memberikan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul
“Hubungan Cirebon dan Mataram”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah yang dibuat biasa memberi manfaat untuk
kedepanya.

Cirebon, 22 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
A. Gambaran Umum Cirebon Sebelum Relasi dengan Mataram........................................3
B. Bentuk Jalinan Hubungan Antara Cirebon Dan Mataram..............................................6
C. Pasang Surut Hubungan Cirebon Dan Mataram...........................................................11
BAB III PENUTUP..................................................................................................................16
A. Kesimpulan...................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 1546, Cirebon merupakan salah satu kesultanan yang merdeka di pulau
Jawa selain Pajang, Banten, Giri, koalisi Surabaya dan Blambangan setelah runtuhnya
kesultanan Demak. Letaknya itu berada di bagian daerah Pasundan, namun
sebenarnya Cirebon enggan berada di bawah kekuasaan Pajang karena Pajang
menganut paham Syiah sedangkan Cirebon berpaham Sunni. Beberapa puluh tahun
semenjak runtuhnya kesultanan Demak, kesultanan-kesultanan merdeka tersebut tidak
memperebutkan wilayah satu dengan yang lain, masing-masing kesultanan
mengkonsolidasikan kesultanan mereka masing-masing.

Setidaknya suasana tenang tersebut terus berjalan hingga akhir abad ke-16, tepatnya
pada tahun 1585 yang disebabkan oleh kekuatan Mataram di pedalaman Jawa karena
menjadi ancaman serius terhadap kemerdekaan politis kesultanan yang ada di pulau
Jawa, sehingga kemudian satu persatu kesultanan yang ada di pulau Jawa berada di
bawah kekuasaan Mataram. Awal bangkitnya kekuasaan Mataram dalam hegemoni
politik di pulau Jawa terjadi setelah kalahnya Pajang oleh Mataram yang berada di
bawah pimpinan Senopati.

Karena jatuhnya Pajang oleh Mataram menjadikannya berada di bawah kekuasaan


Mataram. Telah dibahas juga sebelumnya bahwa Cirebon merupakan daerah yang
berada di bawah kekuasaan Pajang. Maka dari itu, dalam makalah ini, kelompok kami
akan membahas terkait keterhubungan yang terjalin antara Cirebon dengan Mataram
guna selain sebagai tema tugas kelompok yang diberikan kepada kami, juga semoga
menjadi manfaat dalam wawasan pembaca mengenai Cirebon di masa lampau ketika
Cirebon masih memiliki hubungan dengan kesultanan Mataram.

B. Rumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, penulis membatasi pembahasan dalam makalah ini
menjadi beberapa poin, antara lain;

1. Bagaimana gambaran umum Cirebon saat itu?


2. Bagaimana jalinan hubungan antara Cirebon dan Mataram saat itu?
3. Bagaimana pasang surut hubungan Cirebon dan Mataram saat itu?

1
C. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan makalah ini terdapat beberapa tujuan yang bisa kita pelajari, antara
lain;

1. Untuk mengetahui gambaran umum Cirebon saat itu.


2. Untuk mengetahui jalinan hubungan antara Cirebon dan Mataram saat itu.
3. Untuk mengetahui pasang surut hubungan Cirebon dan Mataram saat itu.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Cirebon Sebelum Relasi dengan Mataram

1. Kondisi Geografis.

Cirebon merupakan wilayah yang letaknya diapit antara tanah Pasundan dan
pesisir.Secara etnografis, orang orang Cirebon didalam wilayahnya beraktifitas
berteknikan Sunda dan Jawa di bagian pesisirnya.Dengan demikian wilayah
Cirebon merupakan wilayah pertemuan dan perpaduan antara budaya Sunda dan
budaya jawa.Cirebon secara geografisnya terletak antara lintang Utara 108°,35
bujur timur dan 9°,30 lintang selatan.

Hasil hasil laut selalu berkaitan dengan wilayah pesisir dari segi tradisionalnya
baik dipantai utara maupun dipantai selatan.jika dilihat di pantai Utara yang
ombaknya cukup tenang, menjadikan pantai Utara sebuah tempat peradaban kuno
hingga modern dipulau Jawa yang tumbuh,dimulai dari masa Hindu Budha
Sampai Islam. Pantai satunya yaitu pantai selatan yang berada secara
geografis,malah tidak adanya perkembangan,dikarenakan untuk menjangkaunya
harus melalui laut, ombak yang sangat besar kapal kapal pun sangat kesulitan
untuk melintasi jalur tersebut dan dipantai tersebut juga terdapat bebatuan yang
tajam dan terjal oleh karena itu kapal kapal tidak dapat melintas.Oleh sebab itu
Cirebon di nobatkan menjadi wilayah penghasil yang sangat baik di bidang
pangan. Sebelum penguasaan Mataram (1613), Semua wilayah yang berada di
oanatai Utara Karawang Sampai sungai cimapali di Brebes, menjadi kekuasaan
Cirebon. Sebelumnya bahkan sampai mencapai Jayakarta dan Banten di tahun
1527. Setelah tahun 1552, Banten berdiri sendiri dan Jayakarta berada di bawah
pengawasan Banten. Selanjutnya pada tahun 1613, Cirebon hanya berwilayahkan
Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan Galuh (Ciamis). Sedangkan
daerah Karawang, Sumedang, dan ukur (Bandung), dikuasai oelh Mataram di
bawah pengawasan sumedang.lalu lintas menuju Cirebon dapat di lalui jalur darat
dan laut. Untuk menuju Cirebon dari pusat pemerintahannya Mataram, bisa di
lintas melalui jalur darat lewat Tegal, Banyumas, kemudian ke arah timur melalui
mangir. Sedangkan jalur darat yang kedua bisa melintas ke daerah Pekalongan dan
Batang. Lewat kedu dan trayem (Boyolali). Namun, jika perjalanan di lalui
melalui jalur laut, perjalanan bisa dimelalui pelabuhan Semarang, Kendal, dan
Batang, kemudian di lanjutkan melalui transportasi darat melewati kedu atau
trayem, waktu yang di tempuh dari Cirebon ke ibu kota Mataram sekitar 8-9 hari
jika melalui jalur darat, tetapi jika melalui jalur laut, bisa di tempuh dalam kurung
waktu 6-8 hari, sehari perjalanan laut dari Cirebon ke Semarang atau Kendal,
kemudian diteruskan melalui perjalanan menggunakan kuda atau cikar.32
Sedangkan jalan menuju Banten atau Jayakarta, dapat di tempuh melalui jalur

3
laut, sebab jalur darat harus memutar memlailui Galuh, Sumedang, Cianjur, dan
pakuan.33 Butuh waktu selama dua Minggu untuk Sampai ke Banten atau
Jayakarta. Jika melalui jalur laut, perjalanan dapat di singkat hingga 2-3 hari
perjalanan.

2. Kondisi Politik

Sepanjang perjalanan Cirebon menjadi sebuah kesultanan, beberapa Kali Cirebon


telah melampaui masa beberapa kesultanan besar sebelum Mataram. Di bidang
politik, Cirebon juga berada di dua sisi yang berbeda, Di satu sisi sebagai pewaris
kesultanan Pajajaran, di sisi lain sebagai pewaris Demak. Cirebon sebelum Islam
secara politik, dibagi dua, yaitu: Cirebon Larang yang berada di pesisir dan
Cirebon Girang yang berada di Pedalaman. Cirebon Girang dipimpin oleh, Ki
Gedeng Kusmaya, dan Cirebon Larang dipimpin oleh Ki Gedeng Jumajan Jati.
Silsilah Cirebon yang dirunut dari Pajajaran, agak sulit dikoneksikan Dengan baik,
karena cerita-cerita yang ada banyak versinya. Meskipun Begitu semua cerita-
cerita yang ada merujuk pada satu titik, yaitu Prabu Siliwangi sendiri. Pada satu
versi cerita, Prabu Siliwangi (Prabu Wastubang Larang, puteri Ki Jumajan Jati.
Dari perkawinan itu lahirlah dua orang putra dan satu orang putri yang bernama
larasantang,didalam cerita ini di sebutkan bahwa larasantang pergi haji bersama
kakaknya dan ketika telah datang di Mekah larasantang menikah dengan seorang
raja mesir dan memiliki gelar Syarifah madaim.

Cirebon menurut versi lain adalah cerita kesultanan demak,menyatakan bahwa


Cirebon adalah kekuasaan wilayah Demak yang di kuasakan kepada sunan
gunung jati sesudah penaklukan Sunda kalapa dan Banten pada tahun 1527-1528,
semua wilayah pesisir Pasundan berada di bawah kekuasaan demak dengan sunan
gunung jati sebagai pemimpin di wilayah tersebut,sesudah hancurnya Demak pada
tahun 1546,Cirebon berdiri sendiri sebagai wilayah yang merdeka sedangkan di
wilayah timur,pajang menyatakan bahwa dirinya sebagai pihak yang mewarisi
Demak,cerita cerita ini menyatakan bahwa sunan gunung jati adalah anak dari
Sultan Trenggono disisi lain adalah menantu Sultan.

Setelah itu wilayah Cirebon di bagi menjadi 2 satu wilayah di bagian timur,sungai
Citarum di bawah pengawasan panembahan ratu dan bagian lainnya yaitu di
sebelah barat sungai Citarum di bawah pengawasan Maulana Yusuf (putra Sultan
Hasanuddin) yang berkuasa sejak 1570-1580. Mulai dari itu Banten dan Cirebon
mulai berdiri sendiri sendiri.pakungwati adalah nama lain sebelum Cirebon
dikenal.nama ini di ambil karena sunan gunu jati memiliki seorang istri yang
bernama Dewi pakungwati,yang menurunkan Cirebon setelahnya.

3. Kondisi Ekonomi

Hasil ekonomi Cirebon ada pada laut dan bumi,hasil laut yang di hasilkan adalah
udang yang kemudian diolah menjadi terasi selain itu Cirebon sebagai wilayah
penghasil beras,sayur mayur hasil ternak,kayu minyak dan gula kelapa. Dari

4
penghasilan itu di jual ke wilayah lain atau ke wilayah selain cirebon.kemudian
ada juga barang barang hasil impor keramik, emas,tembaga,timah,sutera dan
barang lainnya yang tidak di hasilkan oleh Cirebon sendiri. Selain itu Cirebon
juga sebagai Wilayah jasa pembuatan kapal sebab kayu kayu yang di hasilkan di
Cirebon kualitasnya baik. Cirebon juga sebelum adanya VOC menjadi pelabuhan
terbesar di wilayah pesisir Pasundan Munculnya Banten dalam kancah
perdagangan, kemudian memudarkan Cirebon sebagai bandar dagang yang ada di
pantai utara Jawa setelah tahun 1570.

Seorang ekspedisi Cheng ho mengatakan bahwa telah adanya Komunitas Muslim


di Cirebon baik dari Tionghoa maupun dari arab bahkan ada juga yang dari
Malaka,karena ada seorang kepala pedagang di Malaka bernama Patih
Kadir,konon dari cirebon.Uang yang digunakan dalam proses perdagangan,
menggunakan Mata uang caixa atau uang kepeng dari Tiongkok.

4. Kondisi Agama

Sesudah jatuhnya Sunda Kelapa kepada pasukan Demak dan Penaklukkan Banten
pada tahun 1527-1528, Cirebon sudah ada sebagai Sebuah entitas politik dan pusat
keagamaan Islam yang terpenting di bagian Barat pulau Jawa. Pendirinya yaitu
rajanya ulama, yaitu Sunan Gunung Sesudah hancurnya Demak pada tahun 1546,
otomatis Cirebon menjadi Salah satu atau bahkan yang terbesar, sebagai titik pusat
penyebaran agama Islam di wilayah Pasundan bagian timur. Secara berturut turut
dikalahkan oleh Cirebon, seperti Galuh sampai ke wilayah Sumedang. Daerah
daerah yang Dikalahakan dari kesultanan Pajajaran tersebut, menyebarlah Islam
sampai Ke pedalaman Sunda. Pada tahun 1579, Banten berhasil memporak
porandakan

Kekuatan terakhir Hindu Sunda di Pakuan (Bogor). Kejadian tersebut Mencirikan


hadirnya Islam secara masif di tanah Pasundan. Akan tetapi, Sunan Gunung Jati
menyatakan untuk pulang ke Cirebon dari pada tinggal di Banten pada tahun
1570.Menurut Sultan Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat, Tradisi
keagamaan yang muncul di Cirebon, telah ada muali dari zaman kewalian.
Cirebon sendiri merupakan salah satu pusat kajian Islam yang penting di masa
Lalu, oleh sebab itu dapat dianggap Cirebon merupakan penjaga tradisi keislaman
Yang saat ini masih terjaga dan terus berlangsung hingga saat ini. Menurutnya
pula, Banyak pusaka-pusaka yang ada di kraton Kasepuhan Cirebon, Mencirikan
pengamalan Islam oleh penguasa Cirebon di masa lalu, yang Lebih dekat ke
ajaran tasawufnya.Banyak bangunan spiritual di wilayah kraton Cirebon dan
sekitar Kota Cirebon, bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintahan Sunan
Gunung Jati, di Antaranya sumur 7, komplek pemakamannya di daerah Gunung
Jati dan Bangunan lainnya di luar kota Cirebon contohnya masjid di daerah
Sumber dan Mata air di daerah Kuningan, semua dibuat atas prakarsa Sunan
Gunung Jati, oleh sebab itu tidak banyak penguasa Cirebon sesudahnya yang
membangun Kesultanan Cirebon seperti halnya Sunan Gunung Jati.

5
D. Bentuk Jalinan Hubungan Antara Cirebon Dan Mataram

Hubungan yang dimiliki antara Cirebon dan Mataram memiliki beberapa sisi, antara
lain;

1. Politik Perkawinan

Politik perkawinan adalah salah satu sisi hubungan yang dimiliki antara Cirebon
dan Mataram. Walaupun begitu, hubungan ini tidak hanya dijalankan oleh
Mataram terhadap Cirebon, melainkan dengan beberapa daerah yang memiliki
kekuatan politik di Jawa. Selain itu, lewat politik perkawinan, Mataram memiliki
beberapa motif antara lain adalah penguasaan dengan jalan damai, non-militer,
dan juga pengakuan serta penguasaan dengan politik ekonomi serta legitimasi
rreligius.

Selain melalui jalur politik perkawinan, Mataram juga berusaha menguasai


kawasan Pesisir bagian barat melalui bidang pendidikan. Politik perkawinan
dilakukan Mataram dengan menjalin hubungan kekerabatan antara keluarga
Cirebon dengan keluarga inti Mataram. Walaupun demikian, karena Mataram
menjadi negara Protektorat Cirebon, hubungan tersebut seringkali tidak imbang.
Adapun Mataram seringkali untuk mendidik para calon penguasa daerah dengan
cara magang di istana selama ayah dari para calon penguasa daerah masih
menjabat sebagai bupati di darerahnya. Walaupun dikatakan seperti itu, hal ini
bisa juga disebut menahan anak sebagai simbol kesetiaan terhadap penguasa
Mataram.

Adapun beberapa penjelasan mengenai dua hal di atas sebagai berikut;

a. Hubungan Kekerabatan

Hubungan tersebut dijalin sejak masa Panembahan Ratu I dan Panembahan


Senopati yang dilatar belakangi oleh bantuan dari Panembahan Senopati
dalam membangun tembok Kraton Cirebon. Bantuan yang dimaksud adalah
dikirimnya ahli bangunan dan para pekerjanya ke Pakungwati karena pihak
Mataram memandang bahwa Cirebon adalah perbatasan Mataram di bagian
barat.

Setelah jatuhnya Demak di tahun 1546 dan Pajang, Panembahan Senopati


mengklaim bahwa dirinya adalah pewaris keduanya, termasuk daerah yang
telah menjadi kekuasaan Demak dan Pajang. Hal ini tidak diketahui dengan
pasti oleh Panembahan Ratu I, namun tidak ada konflik terbuka antara Cirebon
(Pakungwati) dengan Mataram. Melainkan hubungan yang terjalin
berlangsung damai. Hubungan keduanya juga semakin erat sejak pernikahan
Sultan Agung dengan Ratu Ayu Sakih, yaitu kakak dari Panembahan Ratu I
sekitar awal tahun 1600-an.

6
Puncak relasi antara Cirebon dan Mataram membentuk suatu aliansi di antara
keduanya terjadi dengan ikatan kekerabatan dengan pernikahan antara
Panembahan Ratu II dengan putri dari Sunan Amangkurat I. pernikahan
tersebut. Anak dari pernikahan antara Panembahan Ratu II dengan putri Sunan
Amangkurat I menjadi pewaris tahta Cirebon, yaitu Pangeran Martawijaya,
Pangeran Kartawijaya dan Pangeran Wangsakerta.

Cirebon dilepas dari protektorat Mataram ketika Sunan Pakubuwono I naik


tahta pada tahun 1705 meski tahun 1680 secara de facto Cirebon sudah berada
di bawah protektorat VOC. Maka dari itu tidak ada jaminan agar langgengnya
relasi politik antara keduanya sebab pasti ada kalanya salah satu pihak akan
mengalami kesulitan. Ada pun di satu sisi, Cirebon adalah sebuah kesultanan
yang sejajar dengan Mataram, namun Mataram menganggap Cirebon sebagai
vassal atau protektoratnya. Begitu pula hubungan Cirebon dan Banten, alih-
alih Cirebon membantu Banten dalam perang melawan pemberontak
Trunojoyo, ikatan kekerabatan keduanya malah menjadi objek pengganggu
hubungan politik Cirebon dan Mataram.

b. Tradisi Magang Tahun 1625-1677

Tradisi magang tersebut menyiratkan bahwa Mataram ingin menjalankan


politik jaminan kesetiaan dari para penguasa daerah. Selain sebagai tempat
pendidikan bagi calon kepada daerah atau penguasa wilayah untuk dapat
memimpin wilayahnya kelak, tradisi di istana Mataram tersebut dianggap
seperti ruang tahanan karena para calon penguasa tersebut selalu berada di
istana Mataram, baik di Kerto maupun Plered, lebih detailnya penguasa
Mataram menyediakan tempat di sekitar kraton yaitu dekat dengan raja..

Adapun tempat tinggal khusus diberikan oleh raja Mataram di sekitar istana
dengan penyebutan sesuai dengan asal daerah para putra penguasa daerah
tersebut seperti Sampangan yang berasal dari Sampang Madura, Kasurbayan
yang berasal dari Surabaya dan Kacirebonan yang berasal dari Cirebon.

Walaupun masing-masing kekuatan politis tertentu yang melindungi raja,


tradisi magang tersebut banyak berakhir dengan sikap ketidaksetiaan yang
didasari oleh rasa takut, bukan sikap pengabdian. Contohnya adalah tradisi
magang yang dijalankan oleh Raden Trunojoyo dari Madura.

Pihak Cirebon yang mengikuti tradisi Mataram pada saat itu antara lain adalah
Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya dan anak-anaknya; Pangeran
Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya. Lalu setelah kraton Mataram pindah
ke Kartasura pada tahun 1680, tidak ada lagi tradisi magang dari Cirebon
karena Cirebon sudah menjadi daerah gadaian Mataram kepada VOC. Adapun
wilayah yang telah diserahkan Mataram kepada VOC pada tahun 1677 hingga
1680 adalah Karawang, Ukur, sepanjang bagian barat sungai Cimanuk di
Pamanukan dan Cirebon hingga batas sungai Cilosari.

7
2. Kebijakan Mataram Terhadap Cirebon

Selama terjadinya relasi antara Cirebon dan Mataram, ada dua bentuk yang dapat
dilihat dari relasi tersebut karena dasar pemikiran antara penguasa atas dan
penguasa bawah, yaitu;

a. Penerapan struktur

Dari tingkat tinggi hingga bawah, struktur birokrasi Mataram memiliki


lapisan-lapisan tersendiri. Pada lapisan tingkat tinggi terdapat raja Mataram
dan keluarganya, serta patih atau tumenggung sebagai panglima tentara. Pada
lapisan bawah terdapat adipati, wedana dan demang.

Struktur birokrasi daerah Mataram pun dibagi menjadi 6 bagian, antara lain

1) Kutharaja, bisa disebut juga sebagai ibu kota, tempat kraton sebagai pusat
pemerintahan berdiri.
2) Nagaragung, yaitu suatu wilayah yang masih berada dalam jangkauan
pengawasan raja yang diatur oleh patih dengan bantuan bupati.
3) Mancanegara, yaitu wilayah yang diatur di bawah pengawasan bupati,
wilayah ini berada di luar daerah nagaragung namun masih berada di
pedalaman.
4) Pesisir, yaitu struktur kewilayahan Mataram, salah satunya adalah
Cirebon. Walaupun memiliki penguasa tersendiri dan bukan disebut bupati
melainkan Panembahan dan Pangeran, wilayah tersebut berada di
pengawasan bupati Tegal.
5) Bang, yaitu wilayah yang menjadi perbatasan antara Mataram dengan yang
lain. Bagian barat berbatasan dengan Banten dan VOC, sedangkan bagian
Timur berbatasan dnegan Gelgel Bali.
6) Tanah sabrang, yaitu wilayah yang berada di luar pulau Jawa, seperti
Palembang, Jambi dan Sukadana.

Struktur jabatan birokrasi Mataram dari raja hingga tingkat rakyat hampir
sama seperti yang diterapkan oleh Mataram di daerah lainnya. Namun
penguasa Mataram melihat derajat Cirebon bukan sebagai daerah bawahan,
melainkan sebagai daerah protektorat sehingga tata cara penerapan
birokrasinya sangat berbeda.

Walaupun berada di wilayah struktur kewilayahan terluar dari Mataram, para


penguasa tidak pernah mengantarkan upeti. Hal ini dikarenakan istri Sultan
Agung dan ibu Sunan Amangkurat I serta ketiga pangeran dari Cirebon adalah
keluarga besar Mataram, sehingga Cirebon berada di dalam ruang lingkup
keluarga inti Mataram dan bukan dilihat sebagai bawahan, maka dari itu tidak
mungkin untuk mengaturkan upeti.

8
b. Asosiasi simbol

Asosiasi simbolis adalah ikatan yang terjalin secara simbolik dari relasi antara
Cirebon dan Mataram. Adapun asosiasi simbolis yang terjadi selama relasi
antara lain adanya tatanan baik berupa bahasa, etika maupun berupa hasil
kebendaan.

Pelapisan sosial juga berkaitan erat dengan dekatnya kehidupan para pejabat
bawahan di pusat kekuasaan. hubungan tersebut ditentukan oleh adat yang
berlaku yang diwujudkan dengan sikap hormat dari lapisan terbawah. Hal
tersebut bisa dilihat dari sisi penggunaan struktur dalam bahasa Jawa, ngoko,
krama madya dan krama inggil. Ada pula struktur sosial yang diperlihatkan
titel dalam lingkaran istana. Ada beberapa bidang asosiasi simbolis yang
melekat erat selama masa relasi, antara lain;

1) Bidang Religius

Disebabkan karena adanya ikatan pernikahan dan politik, muncul sikap


saling menghargai dan juga adanya upaya peniruan dari satu pihak ke
pihak yang lain dengan suatu maksud. Salah satu peniruan Mataram dari
gaya Cirebon serta mengangkat dan menjaga kewibawaannya adalah
peniruan pembangunan makam dari Sunan Gunung Jati. Hal ini pula
menjadi salah satu pengaruh terhadap Mataram hingga Cirebon bisa lepas
dari Mataram.

Di bidang tasawuf, ketika Sultan Agung adalah pemimpin tarekat


Syadzaliyyah, yaitu tarekat yang kebanyakan dari pengikutnya adalah
kaum petani dan pengusaha. Pada saat itu, Sultan Agung menganggap
Panembahan Ratu I adalah gurunya.

Ketika pemimpin Giri menolak untuk mengakui Sultan Agung dan


Mataram sebagai penguasa tertinggi, kesultanan wali Giri dihancurkan
serta dihapuskan pada tahun 1638. Walaupun begitu, hasilnya berlainan
dengan yang diterima oleh Cirebon melalui Panembahan Ratu I dan II
walaupun ada keengganan untuk menerima Mataram sebagai protektornya,
Cirebon menjadi tetap aman dan lebih dihargai daripada sebelumnya.

Selama relasi antara Cirebon dan Mataram, para raja Cirebon selalu berada
dalam lingkaran istana Mataram sehingga para penguasa Cirebon yang
wafat pun dimakamkan di dekat kraton Mataram di Plered. Seperti makam
Sultan Agung di Imagiri, makam Panembahan Ratu I berada di dekat
makam Sultan Agung, sedangkan makam Panembahan Ratu II berada di
bukit Girilaya, yaitu sebelah utara dari kompleks pemakaman Imagiri.
Adapun pembangunan makam-makam tersebut juga terpengaruhi oleh
makam keluarga Cirebon di Gunung Jati.

9
Relasi di bidang religius ini menjadi surut sepeninggalan Sultan Agung
sebagai raja pengganti Sunan Amangkurat I. Hal ini berlanjut pada raja-
raja pengganti selanjutnya, bahkan menjadi tidak berhasrat untuk
melanjutkan relasi di bidang ini. Kemungkinan yang menjadi penyebab
utamanya adalah karena selalu terjadinya pemberontakan yang menguras
tenaga dan pikiran para raja tersebut.

Relasi religius antara Cirebon dan Mataram akhirnya putus pada masa
Sunan Pakubuwono I. Kemudian Sunan Pakubuwono I mengganti relasi
tersebut dengan beralih kepada keluarga Demak keturunan Sunan
Kalijaga, yaitu Panembahan Kadilangu. Hal ini disebabkan oleh masalah
politik yang terjadi antara Cirebon-Mataram-Banten dan VOC selama
peralihan tahun 1680-1705.

Putusnya relasi religius antara Cirebon dan Mataram dilatar belakangi oleh
Sunan Pakubuwono I yang beranggapan bahwa wibawa religius Cirebon
sudah tidak mengangkat wibawa religius tahta Mataram. Ada pula
pernyataan Sunan Pakubuwono I ketika mengtahui bahwa seluruh pusaka
kraton Mataram hilang dibawa pergi oleh Sunan Amangkurat III, “Selama
masih ada Masjid Demak dan makam Kadilangu, maka biarlah itu menjadi
pusaka tanah Jawa”. Dalam pernyataannya ini menyiratkan bahwa wibawa
religius keturunan Kadilangu menjadi pengganti dari keagungan wibawa
religius keturunan Cirebon.

2) Bidang Kesenian dan Pendidikan

Pendidikan yang disediakan Mataram untuk para calon penguasa wilayah


dalam tradisi magang di istana adalah contoh dari relasi pendidikan.
Tradisi tersebut mengajarkan beberapa hal kepada para calong penguasa
daerah seperti etika, tata krama serta pelajaran-pelajaran tertentu di istana
Mataram. Seluruhnya itu adalah upaya dari penerapan asosiasi simblis dari
pusat ke daerah.

Adapun di bidang kesenian, relasi terbentuk dari kesenian musik dan


wayang. Keduanya sama-sama berasal dari Sunan Kalijaga karena Sunan
Kalijaga pernah bertemu dengan penguasa Cirebon dan Mataram Awal.
Meskipun kesenian tersebut di Cirebon sudah ada sebelum Mataram,
umumnya kesenian musik dan wayang terpengaruhi dari Mataram. Juga
kesamaan dari sisi gruu sosio-spiritual ini juga menjadi salah satu sebab
eratnya relasi religius antara Cirebon dan Mataram.

Dari segi tata kota dalam relasi kesenian, Cirebon dan bekas ibu kota
Kerto dan Plered memiliki kemiripan. Kemiripan yang dimaksud antara
lain adalah struktur dasar dari ciri-ciri kesultanan seperti alun-alun, kraton,
pasar dan masjid agung. Setiap tata kota di kawasan Pesisir, pendopo
Kabupaten milik Mataram menghadap ke selatan, sedangkan di Cirebon,

10
Kabupaten mengjadap ke utara. Hal tersebut dikarenaka pendopo
Kabupaten milik Cirebon bukan berupa pendopo Kabupaten bawahan,
melainkan sebagai kraton bagi Panembahan Ratu Cirebon.

Ketinggian derajat dan pendidikan spiritual yang dianut oleh para


penguasa Pesisir sebelum Mataram merupakan hasil dari pendidikan
religius sejak zaman Wali Songo, Sunan Ampel untuk penguasa Surabaya
dan Sunan Gunung Jati untuk Cirebon. Hal tersebut tidak dimiliki oleh
Mataram karena merupakan negeri baru dari pedalaman karena belum
memiliki seperangkat penunjang kebudayaan Jawa yang luhur. Akhirnya
Mataram meniru gaya dan sistem pendidikan dari Pesisir untuk
dikembalikan lagi arti simbolisnya ke seluruh daerah kekuasaa Mataram,
termasuk Cirebon.

Keruntuhan dari asosiasi simbolis terjadi bukan karena kemandegan


pendidikan melainkan awal penyebabnya adalah karena kehancuran
hubungan antara vasal dan pusat politik negara protektoratnya. Selain itu,
ada juga yang menjadi penyebab melemahnya aspek timbal balik asosiasi
simbolik dua kebudayaan Jawa yaitu antara Pesisir dan pedalaman oleh
Sunan Amangkurat I. Maka dari itu pedalaman menjadi hegemonik
terhadap kebudayaan Pesisir dan kemudian tergantung dari pusat di
pedalaman. Hal tersebut menyebabkan ketergantungan secara politik dan
ekonomi yang dilakukan oleh oleh penguasa Mataram sehingga daerah-
daerah kesulitan membayar pajak ke pusat dan mudah tersulut jika ada
sedikit api pemberontakan.

E. Pasang Surut Hubungan Cirebon Dan Mataram

1. Cirebon Sebagai Mediator Relasi Politik di Pulau Jawa


Kebutuhan yang diperlukan Mataram, yang terutama adalah kebutuhan politik,
dengan menjadi penengah atau mediator, dalam konflik yang terjadi antara VOC,
Banten dan Mataram selama terjadinya relasi.
a. Mediasi dengan VOC
Saat Mataram telah memulai politik ekspansinya selama masa Sultan Agung,
Cirebon bertindak sebagai mediator dalam relasinya dengan VOC. Pada saat
utusan VOC pada tahun 1622 datang mendahului kedatangan Panembahan
Ratu I dari Cirebon, Sultan Agung dengan wajah yang masam, baru mau
menerima utusan VOC di kratonnya setelah Panembahan Ratu I kemudian
datang. Mataram memang memandang tinggi para penguasa Cirebon selama
masa Sultan Agung (1613-1645). Ketika Giri dihancurkan Mataram pada
tahun 1638, Cirebon telah benar-benar sangat tinggi derajatnya, terutama
untuk mengangkat wibawa Mataram di bidang religius.

Melalui Cirebon pula, Sultan Agung mengirim banyak penduduk dan


logistiknya (sekitar 6.000 orang) untuk membangun kota Karawang di
tahun 1632. Di bawah pimpinan Tumenggung Martasari dan
11
Singaperbangsa, Mataram berusaha membangun benteng di bang kulon,
guna menghadapi kembali VOC kelak di kemudian hari.

Relasi Cirebon dengan VOC terbentuk atas dasar perniagaan semata.


Belum ada niatan VOC untuk mengambil Cirebon seluruhnya dari
Mataram. Sunan Pakubuwono I sudah melihat bahwa dapat terjalin
hubungan langsung antara Mataram dengan VOC, tanpa bantuan Cirebon
lagi. VOC sudah dapat dihubungi langsung di Semarang, karena
kedudukannya sebagai propinsial VOC sejak tahun 1692.

b. Medaisi dengan Banten

Naik tahtanya Panembahan Ratu II menjadi penguasa Cirebon di tahun 1650,


memaksa Cirebon untuk mewujudkan rasa setianya pada Sunan Amangkurat I,
dengan lebih dahulu menyerang Banten. Cirebon mendahului menyerang
Banten di Pontang dengan kekuatan 2.000 hingga 3.000 pasukan yang
diangkut dengan 60 kapal, tanpa dukungan pihak Mataram. Pasukan Cirebon
dipimpin oleh Pangeran Martasari dan Ngabehi Panjang Jiwa, berhadapan
dengan pasukan Banten di bawah pimpinan Lurah Astrasusila. Upaya
penyerangan tersebut berakhir dengan mengerikan dan menyedihkan, karena
hampir semua pasukan Cirebon tewas dalam pertempuran.

Kekalahan Cirebon dalam peristiwa Pagerage, adalah kekalahan dari


Mataram juga, sebab dengan kekalahan tersebut para pengacau dari Banten,
mulai merasuk ke wilayah bang kulon Mataram di sekitar Pakuan dan
Karawang di tahun 1657. Upaya damai tidak dapat lagi diusahakan, karena
masing-masing pihak sama-sama kukuh pendiriannya. Bataviapun tidak
luput dari ancaman perusuh tersebut di bagian selatan.

2. Surutnya Hubungan Cirebon-Mataram

Surutnya relasi antara Cirebon-Mataram, tidak lepas dari adanya berbagai


gangguan dan sikap, yang mempengaruhi hubungan itu sendiri. Adapun
penjelasannya yakni:

a. Perebutan Tahta di Istana Mataram

Cirebon sebenarnya berhak atas tahta Mataram, terutama antara Pangeran


Shahwawrat dan Pangeran Sayidin. Pangeran Shahwawrat adalah kakak dari
Pangeran Sayidin, yang menurut G. Moedjanto berasal dari ibu Ratu Cirebon,
sedangkan Pangeran Sayidin berasal dari Ratu Batang, namun menurut H.J de
Graaf, berasal dari ibu yang sama. Mungkin pengaruh Cirebon lebih terlihat
kepada Pangeran Shahwawrat daripada ke Pangeran Sayidin, karena
pengasuhan Tumenggung Mataram terhadap Pangeran Sayidin yang lebih
condong ke Mataram.

12
Masalah tahta itu muncul di saat-saat terakhir kekuasaan Sultan Agung di
tahun 1640-an. Di pusat kraton Kerto (kraton Mataram yang didirikan oleh
Sultan Agung) terjadi kehebohan, karena Pangeran Sayidin yang diangkat
menjadi Putra Mahkota, melakukan tindakan yang dianggap asusila, yaitu
dituduh melakukan serong terhadap salah satu selir dari panglima militer
Mataram.

Pangeran Kartawijaya dan Pangeran Martawijaya kemudian diambil oleh


Sultan Ageng Tirtayasa dari tangan pemberontak Trunojoyo di Kediri ke
Banten, lalu Cirebon dibagi menjadi tiga kesultanan. Pangeran Martawijaya
didudukkan menjadi Sultan Kasepuhan Cirebon, Pangeran Kartawijaya
menjadi Sultan Kanoman Cirebon dan Pengeran Wangsakerta menjadi
Panembahan Cirebon pada tahun 1680.

b. Gangguan Banten

Setelah penyerangan Cirebon atas nama Mataram yang gagal di tahun 1650,
Banten merasa terus selalu diintai oleh Mataram dan terus merasa terganggu
oleh Mataram. Banten yang merupakan bagian dari keluarga besar keturunan
Sunan Gunung Jati, merasa ikut prihatin atas keputusan Cirebon mendukung
tahta Mataram selama masa pemerintahan Sultan Agung dan Sunan
Amangkurat I.

Saat itu Sultan Ageng Tirtayasa sedang berkonflik dengan VOC dan jatuhnya
Makassar ke tangan VOC di tahun 1669 dalam perjanjian Bongaya, telah ikut
menjepit Banten di bidang politik. Banten tetap tidak mau berkompromi
dengan VOC. 92Pengaruh Banten mulai masuk ke dalam istana Cirebon yang
hanya diwakili oleh Pangeran Wangsakerta sejak tahun 1676. Meskipun
pemberontakan tersebut berhasil dihancurkan oleh VOC untuk menegakkan
kembali tahta Mataram, misi Sultan Ageng Tirtayasa berhasil dengan dapat
dikembalikannya anggota keluarga Cirebon dan mendudukkannya menjadi
penguasa Cirebon yang semi mandiri. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil
memainkan politik gangguan terhadap relasi Cirebon-Mataram, tanpa
diketahui oleh pihak Mataram dan VOC. Pengaruh Banten di Cirebon
kemudian perlahan lenyap, seiring jatuhnya Banten ke tangan VOC sejak
tahun 1681.

c. Munculnya Sikap Pasif Cirebon Terhadap Konflik di Mataram

Sikap pasif Cirebon yang muncul terhadap semua konflik yang terjadi di
Mataram, dikarenakan dua hal; pertama, kedudukan derajat keluarga
keturunan Cirebon yang langsung sampai ke trah raja Mataram, sehingga
tidak akan mungkin menangani langsung konflik, kedua, karena sistem
politik Mataram, yang tidak akan membiarkan penguasa daerah
(protektoratnya) menjadi mandiri. Sikap pasif yang muncul dari Cirebon
terhadap keadaan Mataram, erat kaitannya dengan kebijakan penguasa

13
Mataram sendiri, selama dalam jalinan relasi Cirebon-Mataram.

3. Lepasnya Cirebon dari Pengaruh Mataram

Cirebon dilepaskan dari pengaruh Mataram dikarenakan dua hal, pertama karena
posisi Cirebon yang strategis dan kedua karena Cirebon merupakan daerah terkuat
milik Mataram yang ada di sebelah barat setelah Karawang jatuh ke tangan VOC
sejak tahun 1677. Sebab-sebab utama dipisahkannya Cirebon dari pengaruh
Mataram oleh VOC karena Cirebon mempunyai potensi militer dan ekonomi bagi
Mataram, sehingga VOC berkeinginan agar Cirebon berada di bawah proteksinya.

a. Dilepasnya Cirebon Dari Protektorat Mataram

Hasil akhir dari pemberontakan Trunojoyo adalah dilepaskannya wilayah-


wilayah bagian barat Mataram, untuk diserahkan pada VOC atas bantuan
militernya terhadap penegakan tahta Mataram di tahun 1677. Mataram praktis
hanya mengandalkan Cirebon sebagai batas kekuasaannya di bagian barat.
Bahkan saat Cirebon dijauhkan dari pengaruh Maratam pada tahun 1680 dan
mendapat pengaruh VOC, Cirebon berharap dapat menjadi kekuatan politik
yang mandiri kembali.

Sayang kebebasan penguasa Cirebon menjadi terbatas dan Cirebon kemudian


dibelah menjadi tiga kesultanan kecil. Cirebon dibagi antara putra-putra
Panembahan Ratu II, yaitu Pangeran Kartawijaya, Pangeran Martawijaya dan
Pangeran Wangsakerta. Pangeran Kartawijaya memimpin kraton Kanoman,
Pangeran Martawijaya memimpin kraton Kasepuhan dan Pangeran
Wangsakerta memimpin Kacirbonan, tetapi dia sendiri tidak punya kraton dan
hanya bertindak sebagai patih.

Setelah pelepasan hak Mataram atas tanah Priangan dan Cirebon, para bupati
Priangan seluruhnya, kemudian berada di bawah yurisdiksi VOC dan berada
dalam pengawasan Sultan Cirebon. Para bupati Priangan mengangkat sumpah
setia pada VOC di hadapan Sultan Kasepuhan Cirebon pada 5 Oktober 1705.

b. Cirebon di Bawah Protektorat VOC

Keputusan Cirebon menerima protektorat VOC, dilakukan tanpa persetujuan


raja Mataram yang dijabat oleh Sunan Amangkurat II. Hal itu kemudian
menimbulkan rasa tidak suka sang raja terhadap keputusan tersebut. Sunan
Amangkurat II yang telah dibantu oleh VOC selama masa pemberontakan
pun, sebenarnya tidak dapat melakukan tindakan apa-apa, karena diapun telah
berada dalam pengaruh VOC melalui Gubernur.

14
Setelah Cirebon berada dalam protektorat VOC secara de facto, indeks
perdagangan antara Cirebon dan Batavia menjadi meningkat. Cirebon
kemudian berada di bawah kendali VOC. Apapun yang dikehendaki oleh
VOC adalah, kebebasan dari berimpor yang sebelumnya pernah dikenakan
oleh Keraton sebesar 2% dari nilai barang. Perjanjian itu juga ikut mengartur
bahwa pelayaran pribumi harus mendapatkan lisensi dari VOC dan sangat
dibatasi. Tidak semua kapal boleh masuk kecuali atas izin dari VOC.
Tanaman lada yang diusahakan di wilayah Cirebon diatur oleh VOC dan VOC
pula yang menentukan harganya.

Setelah Cirebon berada di bawah protektorat VOC secara de jure di tahun


1705, Cirebon menikmati banyak keuntungan, salah satunya adalah
ekonomi.Sultan Cirebon didudukkan oleh VOC menjadi Wedana Bupati di
samping Sumedang.Sistem Tanam Paksa kopi yang diterapkan oleh VOC di
daerah pedalaman Priangan, mendatangkan keuntungan bagi Sultan Cirebon
dan para bupati di Priangan.Makin banyak jumlah pikul kopi yang
terkumpul di gudang-gudang VOC, makin banyak pula keuntungan banyak
pula pundi-pundi uang di kantong bupati dan Sultan. Lagipula saat Cirebon
berada di bawah protektorat Mataram, begitu sedikit keuntungan finansial
yang didapat, karena memang Mataram tidak berkenan agar penguasa
daerah miskin secara politik dan finansial.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebelum menjalin relasi dengan kesultanan Mataram, berikut adalah gambaran umum
Cirebon berdasarkan 4 aspek;

1. Geografis
Cirebon merupakan wilayah yang berada di pulau Jawa yang letaknya diapit
antara Pasundan dan Pesisir dengan letak geografisnya berada 108°,35 bujur timur
dan 9°,30 lintang selatan. Secara etnografis, orang-orang Cirebon dalam
wilayahnya beraktifitas berteknikan Sunda dan Jawa di bagian pesisirnya, maka
dari itu Cirebon merupakan wilayah pertemuan dan perpaduan antara budaya
Sunda dan Jawa.

2. Politik
Dalam bidang politik sebelum, terdapat dua sisi yang berbeda di Cirebon. Pada
satu sisi Cirebon sebagai pewaris kesultanan Pajajaran dan sisi lainnya sebagai
pewaris Demak. Sedangkan keadaan politik Cirebon sebelum islam datang,
Cirebon memiliki dua sisi yaitu Cirebon Girang yang dipimpin oleh Ki Gedeng
Kusmaya dan Cirebon Larang yang dipimpin oleh Ki Gedeng Jumajan Jati.

3. Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Cirebon dikenal dengan hasil lautnya yang berupa udang
(yang kemudian diolah menjadi terasi). Selain itu Cirebon juga dikenal sebagai
penghasil beras, sayur mayur hasil ternak, kayu minyak dan gula kelapa. Ada juga
barang-barang hasil impor berupa keramik, emas, tembaga, timah, sutera dan
barang tidak di hasilkan oleh cirebon sendiri.

4. Agama
Setelah jatuhnya Sunda Kelapa kepada kekuasaan Demak dan Penaklukan Banten
pada tahaun 1527-1528, Cirebon sudah memiliki sebuah entitas politik dan pusat
keagamaan Islam yang terpenting di bagian Barat pulau Jawa dengan pendirinya
seorang rajanya ulama yaiu Sunan Gunung Jati. Maka dari itu pada tahun 1546
Cirebon merupakan salah satu titik pusat penyebaran Islam di wilayah Pasundan
bagian timur.

Adapun bentuk jalinan hubungan yang tercipta antara Cirebon dan Mataram memiliki
beberapa sisi, antara lain;

1. Politik perkawinan

16
Yaitu salah satu hubungan yang terjalin antara Cirebon dan Mataram yang
dijalankan oleh Mataram dengan beberapa wilayah lainnya dengan motif untuk
menguasai wilayah-wilayah dengan jalan damai. Dalam hubungan ini, Mataram
berusaha menguasai kawasan Pesisir barat melalui bidang pendidikan yang
dikenal sebagai tradisi magang untuk para calon penguasa daerah dan hubungan
kekerabatan yang terjalin karena bantuan Panembahan Senopati dalam
membangun tembok Kraton Cirebon.

2. Kebijakan Mataram terhadap Cirebon


Selama terjadinya relasi antara Cirebon dan Mataram, ada dua bentuk kebijakan
yang ditetapkan dalam relasinya, antara lain;

a. Penerapan struktur, yaitu pembagian wilayah-wilayah menjadi 6 yaitu;


kutharaja, nagaragung, mancanegara, pesisir, bang dan tanah sabrang. Dan
Cirebon merupakan salah satu wilayah yang berada dalam kategori Pesisir
b. Asosiasi simbol, yaitu ikatan yang terjalin secara simbolik baik berupa bahasa,
etika maupun kebendaan. Contohnya adalah peniruan yang dilakukan adalah
peniruan terhadap pembangunan makam dari Sunan Gunung Jati.
Sedangkan terjadinya pasang surut hingga terlepasnya Cirebon dari kekuasaan Mataram
melalui beberapa tahap, antara lain;

1. Cirebon sebagai mediator relasi politik di pulau Jawa


Dalam konflik yang terjadi antara VOC, Banten dan Mataram, Cirebon berperan
sebagai penengah dalam kebutuhan konfliknya, terutama kebutuhan politik.
Selama menjadi mediasi dengan VOC, Cirebon menjalin relasi dengan VOC atas
dasar perniagaan saja dan VOC belum ada niatan untuk mengambil Cirebon dari
Mataram. Adapun Cirebon menyerang Banten sebagai wujud rasa setia pada
Sunan Amangkurat I namun berakhir kekalahan yang sekarang dikenal sebagai
peristiwa Pagerage dan hal tersebut menjadi kekalahan Mataram juga karena
peristiwa tersebut para pengacau dari Banten mulai merasuk ke wilayah bang
kulon Mataram.

2. Surutnya hubungan Cirebon dengan Mataram.


Penyebab yang menjadi surutnya hubungan dari keduanya disebuabkan oleh
berbagai gangguan dan sikap yang menjadi pengaruh terhadap hubungan itu
sendiri antara lain;

a. Perebutan tahta di istana Mataram


b. Gangguan Banten
c. Munculnya sikap pasif Cirebon terhadap konflik di Mataram
3. Lepasnya Cirebon dari Pengaruh Mataram.
Lepasnya Cirebon ini diawali oleh keputusan Cirebon menerima protektorat VOC
tanpa persetujuan raja Mataram pada saat itu yaitu Sunan Amangkurat II. Yang
mana hal tersebut membuat raja Mataram tidak suka. Kemudian hubungan

17
protektorat VOC terhadap Cirebon ini menghasilkan keuntungan secara de facto
dan de jure, salah satunya di bidang ekonomi. Hubungan ini lebih menguntungkan
karena ketika berada di bawah protektoran Mataram, Cirebon hanya mendapatkan
begitu sedikit keuntungan finansial yang disebabkan Mataram tidak berkenan jika
penguasa daerah miskin secara politik dan finansial

18
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Moh. Rahmat. (2017). Skripsi: Cirebon di Bawah Kekuasaan Mataram Tahun 1613
– 1705: Kajian Historis Mengenai Hubungan Politik, Sosial dan Agama. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai