Makalah MK Filsafat Ilmu
Makalah MK Filsafat Ilmu
Oleh:
Misbahul Munir
Nim. 201606
Eko Purnama
Nim.201610
Penulis ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, nikmat,
rahmat, serta hidayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga dengan
Penulis ucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan arahan
Ilmiah ini, namun penulis juga menyadari ada banyak kekurangan pada diri
penulis dan itu berdampak pada banyaknya kekurangan yang ada pada penulisan
Karya Tulis Ilmiah ini, untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran
Penulis
MISBAHUL MUNIR
EKO PURNAMA
ii
DAFTAR ISI
PENGANTAR ..................................................................................................i
Daftar Pustaka…………………………………………………………………13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Dendi Sutarto, “Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif M. Amin Abdullah dan Resolusi
Konflik”, JURNAL Trias Politika, Vol 1. No.2 (Oktober 2017), 76.
1
umum dan agama yang lebih erat dimasa yang akan datang. Dengan
pendekatan interdisiplinery2 dikedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas
antar berbagai disiplin ilmu-ilmu kealaman dengan disiplin ilmu-ilmu sosial,
dan disiplin humanities serta ilmu-ilmu agama perlu di upayakan secara terus
menerus, sehingga kedepannya mampu menjawab berbagai tantangan
modernisasi, globalisasi dan perkembangan zaman dengan berbagai
problematikanya kehidupan yang kompleks.
Di dalam tulisan ini akan membincangkan kembali pemikiran M.
Amin Abdullah tentang “Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif
dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan”. Hal ini tentu sangat penting untuk
diperbincangkan terkait berbagai persoalan keagamaan dan kemanusiaan
yang masih menyisahkan berbagai problematikanya. Terutama bagaimana
relevansi epistimologi Interkonektif-Integratif terhadap penyelesaian berbagai
konflik yang terjadi di Indonesia khususnya. Terkaiat dengan tema
pembahasan kita, penulis pikir ada dua artikel yang sangat penting menjadi
tema pokok yang di tulis oleh M. Amin Abdullah, yaitu; “Etika Tauhidik
sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama: Dari
Posistivistik-Sekuleristik ke Teoantroposentristik-Integralistik” dan “Design
Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN: Dari Pendekatan Dikotomistik-
Atomistik ke Integrastif-Interkonektif”.2
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah M. Amin Abdullah?
2. Bagaimana Integrasi-Interkonektif Amin Abdullah?
3. Apa Implikasinya Bagi Menurut Islam?
C. Tujuan Pembahasan
2
Dendi Sutarto, “Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif M. Amin Abdullah dan Resolusi
Konflik”, JURNAL Trias Politika, Vol 1. No.2 (Oktober 2017), 77.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Dendi Sutarto, “Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif M. Amin Abdullah dan Resolusi
Konflik”, JURNAL Trias Politika, Vol 1. No.2 (Oktober 2017), 77.
3
Pustaka Pelajar, 2006). Serta berbagai karya terjemahan dan berbagai
artikel dan makalah seminar Nasional dan Internasional
Kiprah intelektual M. Amin Abdullah, tidak hanya samapai di situ,
namun lebih jauh beliau tetap memberikan kuliah di berbagai perguruan
tinggi di Indonesia, khususnya di UIN Suna Kalijaga Yogyakarta.
Sedangkan secara struktural-organisatoris, perna terlibat di HMI, PPI
Turki, PP Muhammadiyah, Pembantu Rektor I (Bidang Akademik), dan
Rektor dari 2002-2005, peridoe ke-2 2005 samapai 2008.4
4
adanya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama. Masing-masing
berdiri sendiri-sendiri, tanpa merasa perlu saling bertegur sapa. Kesulitan
epistemologi ini rupanya berdampak secara struktural-politis dengan berdirinya
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama di awal
kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga dalam perkembangannya jurang
pemisah atau gap antara keduanya, khususnya dalam wilayah pendidikan
semakin tampak.
Paradigma “interkoneksitas” berasumsi bahwa untuk memahami
kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap
bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama (termasuk agama Islam dan
agama-agama yang lain), keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak
dapat berdiri sendiri. Begitu ilmu pengetahuan tertentu mengklaim dapat
berdiri berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan persoalan secara sendiri,
tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, maka self
sufficiency (cukup sendiri) ini cepat atau lambat akan beruba menjadi
narrowmindeness (berpandangan sempit) untuk tidak menyebutnya fanatisme
partikularitas disiplin keilmuan. Karena dengan adanya kerjasama, saling tegur
sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar
disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu manusia memahami
kompleksitas kehidupan yang di dijalaninya dan sekaligus memecahkan
berbagai persoalan yang dihadapinya.
Paradigma interkoneksitas, secara aksiologi, ingin menawarkan
pandangan dunia (word view) manusia beragama dan ilmuan yang baru, yang
lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan, dapat
dipertanggungjawabkan secara publik dan berpandangan ke depan. Sedangkan
secara ontologis, hubungan antara berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin
terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara budaya
pendukung keilmuan agama yang bersumber pada teks-teks (Hadlarah alNash),
dan budaya pendukung keilmuan faktual-historis-empiris yakni ilmu-ilmu
sosial dan ilmu-ilmu kealaman (Hadlarah al-Ilm) serta budaya pendukung
keilmuan etis-fiosofis (Hadlarah al-Falsafah) masih tetap saja ada. Hanya saja,
5
cara berpikir dan sikap ilmuwan yang membidangi dan menekuni ilmu-ilmu ini
yang perlu berubah.
Sehingga di dalam studi agama tidak hanya didekati dan dipahami
melalui pendekatan teologis-normatif semata, sesuai dengan konteks yang ada.
Maka terjadilah pergeseran paradigma pemahaman terhadap “Agama” (dari
“doktrin” ke arah entitas “sosiologis”). Sehingga kemudian banyak ruang untuk
melihat dan menginterpretasi “Agama” secara aspektual, dimensional dan
bahkan multi-dimensional approaches. Di sini lain “tradisi” agama sulit
dipisahakan dari faktor “human construction” yang dipengaruhi oleh perjalanan
sejarah sosial, ekonomi-politik, dan kultur. Lebih lanjut M. Amin Abdullah
membedakan antara agama Islam dan pemikiran keislaman seperti (kalam,
tasawuf, fiqih dan falsafah), keempat hal tersebut dapat diubah dan diperlukan
betuk ijtihad.
Namun meskipun telah mencoba masuk ke tradisi keilmuan baru,
seperti filsafat, antopologi, sosiologi, religious studies dan lain-lain. Namun
kesinambungan dengan budaya nash atau teks-teks keagamaan sebelumnya
tetap dipelihara. Sehingga hubungan ini bisa dalam bentuk melanjutkan,
memperdalam, mengkritik, mengoreksi, memperluas, memformulasi ulang
rumusan keilmuan terdahulu dan begitu seterusnya. Sehingga dalam upaya
mendorong kerjasama dan tegur sapa antara penganut tradisi tekstual-filologi
dan kontekstual-sosiologis ditambah perlunya transendensi-filosofi untuk dapat
keluar dari belenggu dan jebakan-jebakan kultur-sosiologis, lebih-lebih politis
yang tidak dapat dihindari.
Terkait ketiga hal tersebut di atas, kemudian M. Amin Abdullah
memasukkan pendekatan humanisties-kontemporer, seperti hermeneutik,
linguistis kontemporer, ilmu-ilmu kealaman, berbarengan dengan mengungkap
kembali kekuatan khazanah keilmuan Bayani, Burhani dan Irfani dalam tradisi
budaya Islam. Kedua tradisi tersebut dicoba dibandingkan dalam matrik dan
kemudian mengantarkan pada suatu pilihan format bangunan keislaman di
Perguruan Tinggi yang lebih bersifat integratif dan interkonektif.6
6
Dendi Sutarto, “Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif M. Amin Abdullah dan Resolusi
Konflik”, JURNAL Trias Politika, Vol 1. No.2 (Oktober 2017), 80.
6
C. DARI PARADIGMA POSITIVISTIK-SEKULERISTIK KE ARAH
TEOANTROPOSENTRIK-INTEGRALISTIK
Sampai saat ini, masih kuatnya anggapan dalam masyarakat luas yang
mengatakan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa
dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, yang terpisah
satu dengan yang lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode
penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun
status teori masing-masing dan bahkan sampai pada institusi penyelenggara.
Dengan kata lain, ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak
mempedulikan ilmu. Sehingga batas dikotomik antara pengetahuan umum dan
pengetahuan agama harus diubah menjadi bangunan keilmuan baru yang lebih
holistik-integralistik atau paling tidak bersifat komplementer.
Karena tantangan di era globalisasi menuntut respon tepat dan cepat dari
sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum Muslimin tidak hanya
ingin sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan
ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka reorientasi pemikiran
pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan
keniscayaan. Karena globalisasi berdampak pada hampir seluruh aspek
kehidupan, baik fisik, sosial, kejiwaan ataupun agama, sehingga globalisasi
ilmu dan budaya tidak menutup kemungkinan akan melahirkan “culture
shock” bagi yang belum siap.
7
paradigm (pergeseran gugus keilmuan). Karena ilmu pengetahuan selama ini
bersifat historis, karena di bangun oleh akal budi manusia secara historis.
8
sesungguhnya juga sarat oleh berbagai “kepentingan”. Sehingga sangat sulit
menjumpai agama tanpa “interest”, betapa tingginya nilai transendental dan
sosial yang dikandung oleh kepentingan.
8
Dendi Sutarto, “Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif M. Amin Abdullah dan Resolusi
Konflik”, JURNAL Trias Politika, Vol 1. No.2 (Oktober 2017),80-82.
9
Paradigma yang ditawarkan oleh Amin Abdullah ini secara konseptual
sangat relevan dengan perkembangan keilmuan Islam. Itu dapat dilihat dengan
adanya dialog antar disiplin ilmu dan mengakibatkan semakin kuatnya
keilmuan Islam dalam menghadapi tantangan zaman dengan segala perubahan
yang ada. Seperti yang telah dijelaskan di atas, jika hanya menuntut kepada
keilmuan agama saja tanpa mempelajari keilmuan umum maka akan
berdampak kepada kemajuan keilmuan itu sendiri. kehidupan semakin hari
semakin maju dan terus melahirkan penemuan-penemuan yang baru. Begitu
juga dengan keilmuan umum. Jika hanya mengandalkan keilmuan umum
tanpa disandarkan dengan keilmuan agama maka bisa saja ilmuan itu tidak
memahami nilai-nilai agama dan hanya mengandalkan ilmu umum saja. Oleh
sebab itu, antara keduan keilmuan baik agama dan umum saling berhubungan.
Integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum muncul di tengah kesadaran
beragama yang sarat dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi.
9
Atika Yulanda, “Epistemologi Keilmuan Integratif Interkonektif M. Amin Abdullah Dan
Implementasinya Dalam Keilmuan Islam”, JURNAL TAJDID, Vol 18. No.1 (Januari-Juni 2019), 100-
102.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
interkonektif ini memang sangat relevan dengan kebutuhan zaman saat ini.
11
Koneksitas ini diharapkan mampu menjawab kebuntuan dalam keilmuan
Islam dan lebih jauh lagi dapat menjawab kompleksitas problem kemanusiaan
di era globalisasi. Namun paradigma ini tidak mudah untuk diaplikasikan, hal
ini bisa dilihat ketika paradigma ini coba diterapkan dalam pengembangan
penyatuan ini diharapkan tidak ada lagi dikotomi antara pendidikan agama
DAFTAR PUSTAKA
Amin Abdullah Dan Implementasinya Dalam Keilmuan Islam”, JURNAL TAJDID, Vol 18.
20200708.pdf
10
Atika Yulanda, “Epistemologi Keilmuan Integratif Interkonektif M. Amin Abdullah Dan
Implementasinya Dalam Keilmuan Islam”, JURNAL TAJDID, Vol 18. No.1 (Januari-Juni 2019), 102.
12
Dendi Sutarto, (Oktober 2017), “Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif M. Amin
Abdullah dan Resolusi Konflik”, JURNAL Trias Politika, Vol 1. No.2, 75-88.
file:///C:/Users/acer/Downloads/1064-2720-1-PB.pdf
13