Anda di halaman 1dari 10

Corak-Corak Penafsiran Al-Qur’an (Alwan/Thuruq al-Tafsir)

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Madzhab Tafsir
Dosen Pengampu : Endang Saiful Anwar, L.c.,MA.

oleh

Resa Miswal Nugraha (181320085)


Noviasari (191320

FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB


ILMU AL-QUR’AN DAN ATFSIR
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
TAHUN 2021/1442 H
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai jalan untuk memahami agama Allah yang diajarkan kepada Nabi
Muhammad saw, peran Al-Qur’an adalah al-bayan, dimana untuk menjelaskan ajaran Allah.
Dengan kalam inilah manusia akan samapai kepada petunjuk Allah. Al-Qur’an sebagai al-bayan,
ketika sampai pada pemahaman manusia, itupun menimbulkan berbagai pemahaman, ini
dipengaruhi oleh latar belakang, budaya, bahasa, dan perdaban suatu kelompok masyarakat.
Iniliah yang dinamakan penafsiran, dan timbulah apa yang dinamakan ilmu tafsir. Ilmu tafsir
sendiri sudah mulai tumbuh sejak zaman Rasulullah SAW.
Ketika rasulullah masih hidup, hak sepenuhnya menafsirkan Al-Qur’an hanyalah
rasulullah, para sahabat tidak berani sembarang menafsirkan pemahaman, kalau nabi sendiri
belum menyampaikannya kepada mereka. Ini menunjukkan bahwa rasul sendiri, telah
mempraktikkan ilmu tafsir dalam menyampaiakan pemahaman Al-Qur’an kepada para
sahabatnya.
Setelah wafatnya rasulullah, tafsir Al-Qur’an berkembang mengikuti irama
perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiapmasa dan
generasi menghasilakan tafsir-tafsir Al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan dan keperluan
generasi itu dengan tidak menyimpang dari hukum-hukum agama ini pun melahirkan corak-
corak, metode-metode ataupun pendekatan-pendekatan yang dilakukan para mufasirin, sejak
sahabat sampai saat ini. Selanjutnya dengan keragaman pendekatan, metode atau kaidah yang
digunakanpun telah melahirkan tafsir yang beragam. Keragaman warna tafsir ini dipengaruhi
oleh latar belakang para mufasirin itu sendiri.
Setiap pemikiran terkait dengan kandungan pemikiran dan metode berpikir yang
mendasarinya (manhaj al-fikr). Begitu juga tafsir Alqur’an terdiri dari dua aspek, yaitu
kandungan penafsiran yang merupakan produk berpikir penafsir dan metode penafsiran yang
merupakan cara yang ditempuh oleh penafsir dalam menafsirkan Alqur’an, baik yang terkait
dengan bentuknya, seperti tafsir dengan riwayat dan tafsir dengan nalar. Metodenya seperti
tahlili, ijmali, muqarran dan maudhu’i, maupun corak, seperti tafsir dengan corak fiqih, ‘ilmi,
isyari dan falsafi.
Dalam makalah ini akan sedikit mengulas tentang al-Alwan tafsir (warna tafsir) dan at-
Thuruq tafsir (cara/metode).
BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Alwan At-Tafsir


Alwan At-Tafsir yang bermakna corak atau warna, yaitu corak penafsiran ayat-ayat Al-
Qur’an. Seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an tentu akan menggunakan corak atau
warna tertentu dari penafsiran itu sendiri. Sedangkan alwan macam-macam penafsiran, misalnya
seorang filosof dalam menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi oleh corak
atau warna menfasirkan dengan menggunakan rasio.1
Macam-macam Alwan At-Tafsir
a. Tafsir Fikih
Tafsir al-Fiqh adalah tafsir yang berorientasi atau memusatkan perhatian kepada fiqih
(hukum Islam). Karena itu, para mufassir corak ini biasanya adalah ahli fiqih yang berupaya
memberikan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan hukum
Islam. Tafsir ini muncul bersamaan dengan munculnya Tafsir bi al-Ma’tsur.

b. Tafsir al-Shufi
Tafsir al-Shufi adalah tafsir yang ditulis para sufi. Sesuai dengan pembagian dalam ilmu
tasawuf. Yaitu tafsir yang diwarnai oleh teori atau pemikiran tasawuf, baik tasawuf teoritis (at-
tasawuf an-nazzhari) maupun tasawuf praktis (at-tasawuf al-amali). Tafsir shufi dinilai oleh
banyak kalangan sebagai penyimpangan dalam tafsir, karena cenderung menjustifikasi teori-teori
dan ajaran shufiyah yang belum tentu benar adanya bahkan bertentangan dengan syariat Islam
terutama tasawuf falsafi atau teoritis.
Tafsir tasawuf memiliki dua macam, yaitu:
1) Tasawuf nadzari (teoritis), yaitu tafsir yang cenderung menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan teori atau paham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir
ayat dan menyimpang dari pengertian bahasa. Tafsir corak ini selalu mengaitkan
penafsirannya dengan teori tasawuf untuk mendukung teori tersebut.2

1
Azumardi Azra. Sejarah & ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-3. Hal. 174.
2
 M. Yusuf Kadar. Studi Al-Qur’an… Hal-159
2) Tasawuf amali (praktis), yaitu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan isyarat-
isyarat tersirat yang tampak oleh sufi dalam suluknya. Jenis tafsir oleh para ahli tafsir
disebut tafsir isyari bias diterima, dengan syarat:
a) Mempunyai dasar rujukan dari ajaran agama yang sekaligus berfungsi sebagai
penguatnya,
b) Tidak bertentangan dengan ajaran agama dan akal
c) Tidak menanggap bahwa penafsiran model itu yang paling benar sesuai dengan
kehendak Tuhan.
Dari sini dapat diketahui bahwa karakteristik tafsir shufi adalah dengan manhaj isyari atau
isyarat-isyarat bathiniyah dengan corak teori dan perbuatannya dalam dunia tasawuf
(pengalaman spiritual).

c. Tafsir al-Falsafi
Tafsir al-Falsafi adalah tafsir yang membahas persoalan-persoalan filsafat, baik yang
menerima pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang berkembang di dunia Islam seperti Ibn Sina
dan Al-Farabi maupun yang menolak pemikiran filsafat itu. Dengan kata lain, tafsir filsafat
adalah tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yaang berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir
yang bercorak filsafat, artinya dalam menjelaskan makna suatu ayat mufassir mengutip atau
merujuk pendapat para filosof. Persoalan perbincangan dalam suatu ayat dimaknai atau di
definisikan berdasarkan pandangan para ahli filsafat, makna suatu ayat ditakwilkan sehingga
sesuai dengan pandangan mereka. Hal ini seperti penafsiran Ibnu Sina terhadap surah An-Nur
ayat 35.
Corak rasional telah melahirkan berbagai nuansa tafsir bersamaan dengan
berkembangnya paham-paham dalam umat Islam. Kaum Mu’tazilah tampil dengan menakwlikan
ayat Al-Qur’an sesuai dengan teologi mu’tazilah. Begitu juga dengan teologi yang lainnya.
Dalam tambahan penjelasan Quraish Shihab, corak tafsir falsafi dipengaruhi dari
pemahaman atau teori filsafat dan penerjemahan karya-karya filsafat, masuknya pemikiran
agama-agama lain yang menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam
penafsiran mereka.3

3
 M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992. Hal-72-73
d. Tafsir al-Ilmi
Tafsir al-Ilmi adalah penafsiran Al_Qur’an dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan. Ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan corak ini terutama adalah
ayat-ayat al-kawniyyah (ayat-ayat yang berkenaan dengan kejadian alam).

e. Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i


Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah corak
penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan
yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya Al-
Qur’an. Lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial.4

B. Pengertian Thuruq Al-Tafsir


Thuruq Al-Tafsir (metodologi tafsir) adalah ilmu tentang metode penafsiran Al-Qur’an.
Dapat dibedakan antara metode tafsir dan metodologi tafsir. Metode tafsir adalah cara-cara
menafsirkan Al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu tentang cara penafsiran Al-
Qur’an. Pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin (perbandingan), umpamanya
disebut analisis metodologi. Namun jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan
metode terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, hal itu disebut pembahasan metodik. Adapun cara
penyajian atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni menafsirkan. Jadi,
metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an, sedangkan seni atau tekniknya adalah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang
tertuang di dalam metode.

Metode-Metode dalam Tafsir


1. Metode Tahlili
Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.5 Metode tafsir
dengan cara meneliti, menguraikan dan menganalisis, dimulai dari uraian makna kosakata,
kalimat, dan maksud setiap ungkapan kaitan antar pemisah (munasabah) sampai sisi-sisi

4
Azumardi Azra, op. cit. hal. 184.
5
Ibid. Hal. 173.
keterkaitan munasabah itu (wajhal munasabah) dengan bantuan asbabun nuzul, riwayat-riwayat
yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, sahabat dan tabiin.

2. Metode Ijmali (Global)


Secara lughowi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlah. Jadi tafsir
ijmali ialah penafsiran Al-Qur’an dengan cara mengemukakan isi dan kandungannya melalui
pembahasan yang panjang dan luas, tidak secara rinci. 6 Para mufassir berupaya menjelaskan
makna-makna Al-Qur’an dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah, sehingga dapat
difahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan luas sampai orang yang
berpengetahuan sekedarnya.7
Dalam menyajikan makna-makna Al-Qur’an para mufassir menggunakan ungkapan-
ungkapan yang diambil dari Al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-
kalimat penghubung, sehingga memberi kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an melalui metode ini mufassir juga meneliti, mengkaji
dan menyajikan asbabun nuzul turunnya ayat dengan cara meneliti hadits-hadits yang
berhubungan dengannya. Pembahasan tafsir ijmali ini hanya meliputi beberapa aspek dan dalam
bahasa.
Metode Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
cara mengemukakan makna global. Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna ayat-ayat
Al-Qur’an secara garis besar. Sistematikanya mengikuti urutan surah-surah Al-Qur’an, sehingga
makna-maknanya dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna ini mufassir
menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari Al-Qur’an sendiri dengan menambahkan
kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung, sehingga member kemudahan kepada para pembaca
untuk memahaminya.8
Kelebihan dari metode ini adalah, praktis dan mudah difahami, bebas dari penafsiran
Israiliyat, akrab dengan bahasa Al-Qur’an.
Kekurangannya yaitu,
a) Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsila dan tidak utuh.
b) Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.

6
Ahmad Izzan. Metodologi Tafsir. Tafakur. Hal-105.
7
Rosihan Anwar. Metode Tafsir Maudhui. Jakarta: Pustaka Setia. Hal-26.
8
Azumardi Azra, op. cit.Hal. 185.
3. Metode Muqarran (Perbandingan)
Metode tafsir muqarran yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara
mengambil sejumlah ayat Al-Qur’an kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir
terhadap ayat-ayat itu, baik mereka termasuk ulama salaf maupun ulama hadits yang metode dan
kecenderungan mereka berbeda-beda, baik penafsiran mereka berdasarkan riwayat yang
bersumber dari Rasulullah SAW, para sahabat atau tabi’in (tafsir bi al-Matsur) atau berdasarkan
rasio (ijtihad, tafsir bi al-Ra’yi), dan menggunakan pendapat mereka serta membandingkan segi-
segi dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Kelebihan dalam metode ini adalah,
a) Memberikan wawasan yang luas.
b) Membuka diri untuk selalu bersikap toleran.
c) Dapat mengetahui berbagai penafsiran.
d) Membuat mufassir lebih berhat-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Kekurangan yaitu, tidak cocok untuk pemula, kurang tepat untuk memecahkan masalah
kontemporer, dan menimbulkan kesan pengulanagn pendapat para mufassir.

4. Metode Maudhu’i
Tafsir maudhu’i (tematik) ialah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai
tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul atau topik tertentu dan menertibkannya
sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian
memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan
hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.9
Menurut segi etimologis para ulama, metode tematik adalah menghimpun seluruh ayat
Al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Setelah itu kalau mungkin disusun
berdasarkan kronologis turunnya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah
selanjutnya adalah menguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali.
Hasilnya diukur dengan timbangan-timbangan teori akurat sehingga mufassir dapat menyajikan
tema secara utuh dan sempurna.10
Kelebihan dalam metode ini adalah,
9
Abdul Hayy Al-Farmawi, Mu’jam Al-Alfaz wa Al-A’lam Al-Our’aniyah. Dar Al-‘Ulum, Kairo, 1968, hal. 52.
10
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya. Bandung: Pustaka Setia, 2002, Hal 44.
a) Dapat menjawab semua persoalan masyarakat sesuai dengan kondisinya.
b) Lebih praktis dan sistematis.
c) Sangat dinamis.
d) Menafsirkannya lebih utuh tidak secara parsial.
Kekurangannya adalah, memenggal ayat Al-Qur’an dan membatasi pemahaman ayat.

BAB III
Penutup

Kesimpulan
Daftar Pustaka

Al-Farmawi, Abdul Hayy.Metode Tafsir maudhu’i dan Cara Penerapannya. Bandung: Pustaka
Setia, 2002, Cet. Ke-1
____________________  Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Matba’ah Al-Hadarah
Al-‘Arabiyah, Kairo, 1977.
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Azra, Azumardi. Sejarah & ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, Cet. Ke-3
Kadar, M. Yusuf. Studi Al-Qur’an. Jakarta: Amzah, 2010.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Mizan: Bandung, 1999.

Anda mungkin juga menyukai