Anda di halaman 1dari 19

HUKUM ACARA

PIDANA
Riki Zulfiko, SH.,MH
Pembelajaran 1

SISTEM PERADILAN PIDANA


Adversary Model dan Non Adversary Model.

• Dikotomi dalam sistem peradilan pidana telah kehilangan


ketajaman perbedaannya dengan ditemukannya “the
mixed type”, sehingga batas batas pengertian antara
inkuisitur dan akusatur sudah tidak dapat lagi dilihat
secara tegas.
• Untuk mengindari kesimpangsiuran dalam sistem
peradilan pidana, maka di negara-negara yang menganut
“Common Law System”, dikenal adanya dua model dalam
penyelenggaraan peradilan pidana.
• Kedua model itu adalah: the Adversary Model dan the
Non Adversary Model.
Adversary Model dan Non Adversary Model.

• Dikotomi dalam sistem peradilan pidana telah kehilangan


ketajaman perbedaannya dengan ditemukannya “the
mixed type”, sehingga batas batas pengertian antara
inkuisitur dan akusatur sudah tidak dapat lagi dilihat
secara tegas.
• Untuk mengindari kesimpangsiuran dalam sistem
peradilan pidana, maka di negara-negara yang menganut
“Common Law System”, dikenal adanya dua model dalam
penyelenggaraan peradilan pidana.
• Kedua model itu adalah: the Adversary Model dan the
Non Adversary Model.
Adversary Model dan Non Adversary Model.

• Dikotomi dalam sistem peradilan pidana telah kehilangan


ketajaman perbedaannya dengan ditemukannya “the
mixed type”, sehingga batas batas pengertian antara
inkuisitur dan akusatur sudah tidak dapat lagi dilihat
secara tegas.
• Untuk mengindari kesimpangsiuran dalam sistem
peradilan pidana, maka di negara-negara yang menganut
“Common Law System”, dikenal adanya dua model dalam
penyelenggaraan peradilan pidana.
• Kedua model itu adalah: the Adversary Model dan the
Non Adversary Model.
Prinsip-prinsip yang dianut Adversary Model

1. Prosedur peradilan merupakan suatu sengketa (dispute)


antara tersangka/terdakwa dengan penuntut umum
dalam kedudukan yang sama di muka pengadilan.
2. Tujuan prosedur adalah penyelesaian sengketa yang
timbul karena adanya suatu kejahatan;
3. Pengunaan cara mengajukan sanggahan dan pernyataan
(pleading) serta adanya lembaga jaminan (bail system)
serta perundingan (plea bargaining); ini
memperlihatkan eksistensi suatu “kontes” antara para
pihak yang berperkara.
Prinsip-prinsip yang dianut Adversary Model

1. Prosedur peradilan merupakan suatu sengketa (dispute)


antara tersangka/terdakwa dengan penuntut umum
dalam kedudukan yang sama di muka pengadilan.
2. Tujuan prosedur adalah penyelesaian sengketa yang
timbul karena adanya suatu kejahatan;
3. Pengunaan cara mengajukan sanggahan dan pernyataan
(pleading) serta adanya lembaga jaminan (bail system)
serta perundingan (plea bargaining); ini
memperlihatkan eksistensi suatu “kontes” antara para
pihak yang berperkara.
Lanjutan ......

4. Kedudukan masing-masing pihak tidaklah otonom


atau sederajat;
5. Semua sumber informasi yang dapat dipercaya
dapat digunakan untuk kepentingan pemeriksaan
pendahuluan ataupun dipersidangan, dan
tersangka/terdakwa merupakan obyek utama
dalam pemeriksaan.
Model Sistem Peradilan Pidana
• Sistem Hukum secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu sistem hukum
Anglo Saxion dan sistem hukum Eropa Kontonental. Kedua sistem hukum
tersebut memiliki perbedaan yang mendasar pada sistem peradilan
pidana nya. Hal tersebut karena perbedaan falsafah dan politik hukum
yang melatar belakanginya.
• Sistem hukum Anglo Saxion memperlihatkan semangat individualisme dan
desentralisasi dengan mengutamakan keadilan dan semangat
perlindungan hak hak individu yang sangat tinggi
• Sistem hukum eropa kontinental berdasarkan pada prinsip keseragaman,
organisasi birokratik sentralistik serta menekankan pada pengembangan
secara hati hati sistem hukum acara yang memadai untuk dapat
memastikan fakta fakta agar dapat dicapai suatu keputusan yang adil
dalam suatu perkara.
• Dua sistem hukum tersebut memunculkan metode penemuan fakta yang
berbeda. Sistem hukum anglo saxion menggunakan metode Aquisitor
sedangkan sistem hukum Eropa Kontinental menggunakan metode
Inquisitoir
• Secara teori, sistem peradilan pidana mengenal penggunaan dua
pendekatan. Yaitu pendekatan dikotomi dan pendekatan trikotomi.
Pendekatan dikotomi umumnya digunakan oleh para teoretisi
hukum pidana amerika serikat, seperti Herbert L Pecker. Yang
mengemukakan dua model sistem peradilan pidana yaitu Due
Process Model dan Crime Control Model.
• Pendekatan trikotomi dikemukakan oleh King yang menambahkan
empat model lainnya yaitu Medical Model, bereaucratic Model,
status passage model dan power model
• Selain model yang dikemukakan oleh Pecker dan King tersebut juga
ada model sistem peradilan pidana yang lain yaitu, Family Model ,
Model Yuridis dan Model Kendali, Model Alternatif, oleh Jhon
Griffith, Model Pengayoman
Nilai-nilai yang melandasi Crime Control Model
(CCM)
1. Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal
merupakan fungsi terpenting dari suatu proses
peradilan;  penanggulangan kejahatan sebagai
hal yang paling didambakan oleh masyarakat
2. Perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi dari
suatu penegakan hukum untuk menyeleksi
tersangka, menetapkan kesalahannya dan
menjamin atau melindungi hak tersangka dalam
proses peradilan;
3. Proses penegakan hukum harus dilaksanakan
berlandaskan prinsip cepat (speedy) dan tuntas
(finality);
Lanjutan .....

4. Presumption of guilt akan menyebabkan


sistem dilaksanakan secara efiesien.
5. Proses penegakan hukum harus menitik
beratkan pada kualitas temuan-temuan fakta
administratif, sebab temuan fakta itu akan
membawa ke arah a) pembebasan seorang
tersangka dari penuntutan, b) kesediaan
tersangka menyatakan dirinya bersalah.
Nilai-nilai yang melandasi Due Process Model
(DPM)
1. Menolak “informal fact finding” process karena
kemungkinan adanya unsur kelalaian manusia
(human error); mengutamakan “formal
adjudicative” dan “adversary fact finding”
dimana dalam setiap kasus tersangka diajukan
ke pengadilan yang tidak memihak setelah
memperoleh hak yang penuh untuk
mengajukan pembelaan;
2. Model ini menekankan kepada pencegahan dan
menghapuskan sejauh mungkin kesalahan
mekanisme administrasi peradilan;
Lanjutan .....

3. Menurut DPM, proses peradilan harus dikendalikan


agar dapat dicegah kesalahan dalam
penggunaannya sampai pada titik optimum karena
kekuasaan cenderung disalahgunakan;
4. Memegang teguh konsep “legal guilt”; (seseorang
dianggap bersalah apabila penetapannya dilakukan
secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang
memiliki tugas tersebut (presumtion of innocence)
5. Equality before the law lebih diutamakan
Kesimpulan

Karakterisk CCM: Karakteristik DPM

1. represif, 1. preventif
2. presumption of guilt. 2. presumption of innocence
3. informal fact finding, 3. formal adjudicative fact finding
4. factual guilt, 4. legal guilt
5. efisiensi; 5. efektivitas.
• Menurut Muladi model SPP yang cocok untuk Indonesia
adalah model yang mengacu kepada daad dader straafrecht /
model keseimbangan
• Menurut Romli Atmasasmita, model sistem peradilan pidana
yang cocok bagi indonesia adalah Sistem Peradilan Pidana
Terpadu / Integrated Criminal Justice System  prinsip
keterpaduan tersebut secara filosofis adalah suatu instrumen
untuk mewujudkan tujuan nasional dari bangsa indonesia
yang telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945
Nilai nilai dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu
• Menuntut adanya keselarasan hubungan antar subsistem
secara administrasi
• Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsafah
pemidanaan yang dianut
• Menegakkan dan memajukan rule of law dan
penghormatan kepada hukum dengan menjamin adanya
due process, perlakuan yang wajar kepada tersangka,
terdakwa, terpidana, melakukan penuntutan,
pembebesan orang yang tidak bersalah yang dituduh
dilakukan melakukan kejahatan
• Menjaga hukum dan ketertiban
• Muladi menegaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana
terpadu  keserempakan / keselarasan baik struktural,
substansi dan kultural
Sinkronisasi Struktural : keselarasan antar lembaga
penegak hukum
Singkronisasi Substansial : Keselarasan yang bersifat
Vertikal dan Horizontal dalam kaitannya dengan hukum
positif
Singkrinisasi Kultural : Keselarasan dalam menghayati
pandangan pandangan, falsafah falsafah yang secara
menyeluruh mendasari jalanya SPP
SPP dapat dibagi dalam 3 tahapan

1.Tahap Pra Ajudikasi (ajudication);


2.Tahap Ajudikasi (ajudication);
3.Tahap Purna Ajudikasi (post ajudication).
 Disetiap tahapan inilah komponen-komponen
sistem peradilan pidana bekerja secara terpadu
untuk mencapai tujuan penanggulangan masalah
kejahatan.
 Ada potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam
setiap tahapan proses.

Anda mungkin juga menyukai