Anda di halaman 1dari 11

10.

Bermalam di Jakarta (1)

SELAMA perjalanan menuju rumahnya, Gisha tidak bisa berhenti


tersenyum. Pertama, Maminya baik-baik saja. Sungguh, Gisha
benar-benar merasa tenang dan bahagia karena hal itu. Kedua,
Angkasa kembali berada dalam gentleman-modenya. Sekali lihat
saja, orang-orang pasti akan langsung tahu kalau seseorang
seperti Angkasa tidak akan mau mengorbankan nilainya untuk
apapun. Apalagi dalam hal ini, Angkasa mengorbankan nilainya
untuk Gisha. Iya, Gisha. Walaupun dia memang bisa ulangan
susulan, kesannya beda saja kalau menurut Gisha. Ketiga, dia
akan bertemu Kaila! Betul sekali, Kaila yang sahabatnya itu. Dan
lagi, ini di Jakarta. Perempuan itu jadi merasa "menang" entah
kenapa. Saat ini dia yang menjadi tuan rumah, jadi dia yakin
Angkasa tidak akan bertingkah semenyebalkan biasanya.

"Mana, sih?" tanya Angkasa tidak sabar sambil mengedarkan


pandangannya pada deretan rumah di samping kanan kirinya.

"Itu, di depan, dikit lagi." Jawab Gisha sambil mengetik sesuatu


di ponselnya.

~Gishara Aluna: Kai, buruan keluar. Gue udah di depan.~

~Kaila Cendana: Siap, bos.~

"Stop, stop. Nyampe, nih." Gisha menepuk pundak Angkasa tidak


sabar. Membuat lelaki itu mendengus. Tetapi dia tetap
menepikan mobilnya di depan sebuah pagar rumah bercat putih
tulang.

Gisha segera turun dari mobil begitu seorang perempuan


sebayanya berjalan ke arah mereka.
"Kaaaai!" Gisha memeluk Kaila erat. Yang dipeluk malah tergelak
sambil menepuk punggung Gisha beberapa kali, "Ayo, ayo, buruan.
Entar supir gue ngambek." Lanjutnya seraya tertawa.

Gisha kembali masuk ke dalam mobil dan duduk di samping


Angkasa sementara Kaila duduk di belakang. Perempuan itu
menatap sahabatnya senang. Dia benar-benar sangat merindukan
Kaila, sungguh.

"Sa, ini Kaila. Sahabat gue. Kayak lo sama Dewa gitu, deh. Kai, ini
Angkasa." Ucap Gisha mengenalkan kedua temannya itu.

Kaila dan Angkasa bersalaman sebelum Angkasa kembali


menyalakan mesin mobilnya dan keluar dari perumahan itu.

Entah karena canggung atau apa, mereka bertiga tidak


mengatakan apa-apa. Sampai ponsel Gisha tiba-tiba berbunyi.

~Kaila Cendana: DIA YANG NGAJAK LO NONTON WAKTU


ITU?~

~Kaila Cendana: DEMI APA LO~

~Kaila Cendana: SIAL GUE MAU SATU AJA~

Gisha tertawa sendiri dibuatnya, setelah melirik Kaila sekilas,


perempuan itu kembali melihat ponselnya dan mengetik di
layarnya.

~Gishara Aluna: calm down, kai~

~Gishara Aluna: bukan dia, elah~


~Gishara Aluna: cowok cuek dingin model dia mah mana mau
ngajak cewek nonton~

~Gishara Aluna: si dewa, yang gue sebut tadi~

~Gishara Aluna: sohibnya~

~Kaila Cendana: ya ampun emak lo ngidam apaan sih kenapa


anaknya hoki bener~

~Kaila Cendana: cowok cakep kan biasanya temenan ama yang


cakep juga~

~Kaila Cendana: buat gue satu napa gi:(~

~Kaila Cendana: tapi bentar~

~Kaila Cendana: kalau dia angkasa, berarti dia yang anaknya


om krisna itu, dong?~

~Kaila Cendana: LO SERUMAH SAMA DIA DEMI APA


GISHARA~

Gisha mau tak mau tertawa juga. Dia jadi seperti orang gila
tertawa sendiri di dalam mobil yang sepi.

~Gishara Aluna: astaga, kaila. Norak abis. Kayak baru liat


cogan tau nggak lo~

~Gishara Aluna: dan, yes. DEMI LOVATO GUE SERUMAH


SAMA NI ANAK.~
~Gishara Aluna: tapi, sumpah. Lo jangan ketipu ama mukanya
deh. Aslinya serem. Kayak harder punya lo yang namanya
gak pernah gue inget.~

"Nggak waras, lo?" tanya Angkasa ketus tanpa melirik Gisha.


Sungguh, dia paling tidak suka melihat orang yang punya dunia
sendiri begitu. Kalau berdua, sih, tidak apa-apa. Tapi kalau
sendirian kan, kelihatan kayak orang autis.

Duh.

~Gishara Aluna: TUH KAN BARU DIOMONGIN~

"Mau cari makan dulu, nggak? Lo nggak makan apa-apa pas dua
kali istirahat tadi. Sarapan juga roti doang. Nggak laper?" lanjut
Angkasa masih tanpa menatap Gisha barang sedetik pun.

Ponsel Gisha berbunyi. Perempuan itu melihatnya dan kembali


tersenyum.

~Kaila Cendana: JUTEK TAPI PERHATIAN ITU SEKSI


BANGET GI SUMPAH~

Gisha menatap Angkasa, "Boleh, lagian Mbak Jum kan nggak tau
gue pulang. Dia pasti nggak masak. Mami sama Papi, kan lagi
nggak di rumah." Perempuan itu melirik Kaila, "Lo udah makan,
Kai?"

Kaila menggeleng sambil menatap Gisha penuh arti. Seolah-olah


menunjukkan kalau bahkan jika dia sudah makan pun, dia tidak
akan menolak kalau yang mengajak makan adalah Angkasa.

Gisha menahan geli sebelum kembali menatap Angkasa. "Makan di


rumah aja, ya? Nanti kita beli sate ayam deket rumah. Enak, kok.
Asli."

Dan Gisha bersyukur karena Angkasa mengangguk. Masalahnya,


ini Jakarta. Dan Jakarta adalah tempat tinggalnya. Kalau sampai
ada teman lamanya yang melihat dia masih memakai seragam
putih abu-abu, bisa gawat!

"Rumah lo masih yang dulu, kan?" tanya Angkasa membuat Gisha


menatapnya bingung.

"Emang lo pernah ke rumah gue?"

Angkasa mengangguk kemudian terlihat berpikir. "Nginep, malah.


Gue ada olimpiade, gitu. Tapi lonya lagi nggak ada. Kalau nggak
salah bokap lo bilang lo nginep juga di rumah temen lo. Waktu itu
gue kelas satu SMP. Berarti lo kelas tiga, ya?"

Gisha menggigit bibir bawahnya sebelum mengangguk.

Sesuatu itu terjadi ketika dia kelas tiga SMP.

Sesuatu yang membuat dia kehilangan sahabatnya.

Sesuatu yang membuat dia selalu waspada pada laki-laki melebihi


apapun di dunia ini.

Menyadari situasi, Kaila mencoba mencairkan suasana, "Iya dong,


Gisha kelas tiga. Dia nggak lulus cuma sekali, kok." Katanya
diiringi tawa yang langsung disambut oleh pelototan Gisha.

Angkasa lalu seolah baru menyadari hal itu dan tertawa. "Kalian
satu kelas dulu?" tanyanya.
"Yep, tiga taun." Jawab Gisha diawali oleh dengusan, "Tapi dia
udah jadi anak FK sekarang."

Angkasa tertawa dan masih tetap fokus pada jalanan, dia


berkata, "Lo tiga taun temenan ama orang pinter aja masih
bandel. Apalagi setaun doang ama gue?"

"Kalau sama lo, gue jamin dia berubah kok." Ujar Kaila dari
belakang dengan nada penuh arti. Membuat Gisha kembali
melotot padanya.

"Semoga aja." Jawab Angkasa.

Angkasa membawa mobilnya memasuki sebuah gerbang


perumahan elit di Jakarta dan mengentikannya di depan salah
satu rumah dua tingkat bergaya minimalis yang didominasi kaca
dan warna hitam putih.

"Kok lo masih inget, sih, rumah gue yang mana?" ujar Gisha
kagum sebelum keluar dari mobil ketika Angkasa sudah
mematikan mesin mobilnya.

"Soalnya gue sempet nyasar waktu itu. Jadi susah aja lupanya."
Jawab Angkasa yang ikut keluar dari mobil.

Mereka bertiga berjalan di halaman yang dilapisi rumput hijau


dan menaiki tiga anak tangga dari batu sebelum sampai di pintu
masuk.

Gisha mendorong pintu rumahnya dan seorang wanita kepala


empat berbadan tambun dan berkulit sawo matang langsung
menyambutnya, "Non Gigiiii! Akhirnya pulang juga. Mbak Jum
kangen." Katanya mengampiri Gisha. Gigi adalah panggilan sayang
dari Mbak Jum. Perempuan itu memang sudah bekerja untuk
keluarga Gisha semenjak Mami dan Papinya menikah.

Gisha tertawa, "Mbak Jum juga jatoh dari tangga makanya biar
Gigi sering-sering pulangnya." Gisha bercanda.

"Astagfirullah, si Non mah, suka gitu."

"Becanda, Bi. Buatin minum, ya? Ada tamu, nih." Kata Gisha
sambil berjalan menuju sofa cokelat pucat di ruang tamu. Ah,
betapa rindunya dia pada rumahnya ini.

"Aduh, iya geuning, ada Non Kaila. Ini siapa atuh satu lagi? Meuni
ganteng pisan." Katanya dengan logat khas Sundanya. Mbak Jum
ini memang asli Sunda, dari Cianjur lebih tepatnya. Semua
keluarganya juga orang Sunda.

"Angkasa, Mbak. Katanya pernah ke sini kok pas Gigi SMP."

Mbak Jum terlihat berpikir sebelum menepukkan kedua


tangannya sekali, "Ya Allah, bener ini teh, Den Angkasa yang dulu
ikut olimpiade Sains tea? Aduh kecilnya juga emang imut pisan,
kayak bule. Pantes aja gedenya jadi ganteng gini. Ayo atuh pada
duduk." Mbak Jum menggiring Angkasa dan Kaila untuk duduk
bersama Gisha yang sudah duduk lebih dulu.

Kaila duduk di samping Gisha dan Angkasa di hadapannya.

"Mbak nggak tau Non Gigi mau pulang. Makanya nggak masak.
Mau Mbak masakin?" tanya Mbak Jum agak keras sambil
berjalan menuju dapur.
"Nggak usah, Mbak. Beliin sate aja, ya? Di Mas Anto itu loh,
masih ada kan, dia?" ujar Gisha tak kalah keras.

"Ya masih ada, atuh Non. Masa udah inalillahi."

"Ampun, Mbak. Bukan gitu maksudnya." Gisha memutar kedua


bola matanya kesal. Mbak Jum ini memang bukan seperti
pembatu rumah tangga untuk keluarganya. Dia seperti keluarga
sendiri. Walaupun tetap dia yang melakukan pekerjaan rumah,
dia tidak pernah segan menolak jika Gisha hanya menyuruhnya
melakukan hal sepele. Mami Papinya memang sudah memberitahu
Mbak Jum kalau mereka tidak ingin Gisha terlalu manja.

"Iya, nanti Mbak beliin, Non." Jawab Mbak Jum.

"Mau bersih-bersih sekarang, Sa?" tanya Gisha pada Angkasa


yang sibuk dengan ponselnya, sepertinya mengabari orang
tuanya.

Lelaki itu mengangkat kepalanya dan mengangguk. "Boleh."

"Oke. Pake kamar mandi di atas aja, ya." Kata Gisha sambil
berdiri.

"Loh, emang kenapa kalau yang di sini?" Kaila bertanya penuh


harap.

"Keenakan, lo, kunyuk." Jawab Gisha diikuti juluran lidahnya pada


Kaila.

Sementara Kaila mendengus kesal, Gisha mendorong punggung


Angkasa untuk menaiki tangga rumahnya.
Setelah menyiapkan pakaian untuk Angkasa -sebuah polo shirt
berwarna navy blue dan celana jeans hitam selutut yang biasanya
dipakai Papinya untuk main golf- Gisha kembali turun dan
mendapati Kaila yang sedang menonton serial televisi ditemani
potongan brownies dan minuman di atas meja. Kaila memang
sudah seperti saudaranya. Dia tidak pernah canggung melakukan
apapun di rumah Gisha. Begitu juga Gisha di rumah Kaila.

"Kai, gue mandi dulu, ya." Kata Gisha sebelum masuk ke dalam
kamar mandi.

"Harus banget izin ke gue?" respon Kaila tanpa menoleh barang


sedetik pun pada Gisha.

Gisha mendengus kesal dan langsung masuk ke dalam kamar


mandi. Hanya butuh lima belas menit bagi Gisha untuk kembali
duduk di samping Kaila dengan pakaian bersih dan wajah yang
lebih segar.

Dua orang itu sedang menertawakan sesuatu yang hanya mereka


tahu ketika Angkasa bergabung bersama mereka. Tentunya,
sama seperti Gisha, setelah bersih dan segar.

Dan Kaila dibuat melongo olehnya.

"Rambutnya berantakan, Gi." Bisiknya pada Gisha.

"Back to earth, Kaila." Gisha ikut berbisik sambil menepuk kening


sahabatnya sebelum Angkasa sadar kalau Kaila menatapnya
seperti itu.

"Kata nyokap gue, kita di sini dulu aja. Baliknya besok. Dia udah
minta izin ke sekolah. Katanya takut lo capek." Kata Angkasa
seolah tidak sadar akan tingkah aneh dua perempuan di
hadapannya.

"Serius?" tanya Gisha tak percaya.

Mengangguk adalah jawaban Angkasa.

"Lo nggak apa-apa ketinggalan pelajaran?" tanya Gisha hati-hati,


takut Angkasa sebenarnya keberatan.

Angkasa menggeleng seraya mengangkat ponselnya,


menunjukkannya pada Gisha. Mata perempuan itu lalu menangkap
beberapa rumus di layar ponsel Angkasa dan menelan ludah.

"Gue nggak ketinggalan pelajaran." Jawabnya singkat.

Gisha memutar bola matanya sementara Kaila terus saja


mencolek pinggangnya seolah tidak sabar ingin berkata; YA
AMPUN GISHA. COWOK RAJIN ITU SEKSI BANGET.

"Lo nginep juga, kan, Kai?" tanya Gisha menatap Kaila penuh
harap.

Sayangnya, perempuan itu menggeleng pelan, "Besok ada kuliah


pagi, nih. Dosennya pelit nilai, lagi. Bisa kacau kalau telat semenit
aja. Gue ikut makan aja terus ngobrol-ngobrol bentar, ya? Abis
itu balik."

Gisha cemberut tapi akhirnya mengangguk juga.

"Lagian gue nggak mau gangguin kalian." Lanjut Kaila.

"Emang kita mau ngapain?" tanya Angkasa datar, seperti


biasanya.

Kaila tertawa. "Bercanda kok, gue."

Gisha hanya geleng-geleng kepala dan mereka mengobrol ringan


sampai Mbak Jum datang membawa satu bungkus besar sate
ayam yang langsung dia sajikan di atas meja makan.

Ya, waktunya makan… yeeaayy.

•••

Anda mungkin juga menyukai