Anda di halaman 1dari 21

Sistem Pers Otoriter Dalam Pandangan Komunikasi

Internasional Di Negara Korea Utara

Oleh:

Hasrul Muhammad

1901113866

Ujian Tengah Semester Politik Pemerintahan Eropa Barat B

Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Riau

2021
DAFTAR PUSTAKA

BAB 1: PENDAHULUAN ..................................................................................... 3


BAB 2: PEMBAHASAN ........................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20
BAB 1: PENDAHULUAN

Sistem pers otoriter adalah sebuah sistem media massa yang didasarkan
terhadap teori pers otoriter atau dikenal juga dengan sebutan pers authoritarian.
Teori ini diakui teori yang paling tua, berasal dari abad ke-19 ia berasal dari filsafah
kenegaraan yang membela kekuasaan absolute. Penetapan hal-hal yang benar yang
di percaya hanya segelintir orang yang bijaksana yang mampu memimpin. Pada
dasarnya, pendekatan di lakukan dari atas kebawah.1

Pers difungsikan oleh penguasa-penguasa waktu itu member informasi


kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus di dukung. Hanya
karena izin khusus pers boleh di milki oleh swasta dan izin ini dapat di cabut kapan
saja. Kegiatan penerbitan dengan demikian merupakan persetujuan antara
pemegang kekuasaan dengan penerbit, di mana pertama memberikan sebuah hak
monopoli kekuasaan.

Pers harus mendukung kebijakan pemerintahan dan mengabdi kepada


Negara. Para penerbit di awasi melalui Peter Patten, izin-izin terbit dan sensor.
Konsep ini menetapkan pola asli bagi sebagian besar sistem-sistem pers nasional
dunia perinsipnya adalah bahwa Negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada
individu dalam skala nilai, kehidupan social dan politik. Bagi seorang individu,
hanya dengan menempatkan diri di bawah kekuasaan Negara maka individu yang
bersangkutan bisa mencapai cita-citanya dan memiliki atribusi sebagai orang
beradab.

Saat ini penyensoran, baik oleh pemerintah maupun swasta, masih hidup
dan berkembang di berbagai belahan dunia, termasuk yang menyatakan yang
menganut demokrasi. Misalnya perselisihan yang sering terjadi antara wartawan
dengan pemerintahan Singapura yang terkenal dengan kontrol media yang ketat
dimana petugas berwenang melakukan sensor atau pengeditan pada program dan
pengeditan. Harian seperti Asian Wall Street Journal, Far Eastern Economic
Review, dan International Herald Tribune merupakan harian yang pernah

1
Kusumaningrat, Hikmat, Purnama Kususmaningrat. Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006
berselisih dengan pemerintah Singapura, dan harus membayar denda serta
menghadapi kontrol yang ketat.

Dalam sistem pers otoriter, kebenaran dianggap berasal dari sekelompok


orang bijak yang membimbing dan mengarahkan masyarakat, sehingga informasi
berita pun berasal dari para penguasa atau sekelompok orang yang berkuasa di
tengah masyarakat tersebut. Apabila ada berita atau informasi lain yang
bertentangan dan tidak diizinkan untuk disampaikan oleh para penguasa, maka
informasi atau berita itu pun tidak akan ditayangkan bahkan media yang
menyampaikan informasi itu pun bisa dihapuskan. Dengan kata lain, media massa
berfungsi dari atas ke bawah.

Dalam sistem pers ini, penguasa menggunakan pers untuk memberikan


informasi tentang apa yang seharusnya diketahui rakyat dan kebijakan penguasa
yang mana yang perlu didukung oleh rakyat berdasarkan dengan pengetahuan atau
keyakinan yang ia miliki.2 Dengan kata lain, media massa mendukung kehadiran
negara. Media massa harus mendukung dan memajukan penguasa yang sedang
berkuasa di negara tersebut dan dilarang melakukan kritik terhadap kebijakan yang
dipilih oleh para penguasa yang menjalankan pemerintahan negara. Sejak abad ke-
16 teori ini sudah dipakai secara luas di dunia dan beberapa negara mungkin sampai
saat ini masih menerapkannya walaupun tidak secara terbuka disampaikan
demikian.

Sistem pers otoriter, walaupun terkesan hanya mementingkan kepentingan


penguasa, ada pula segi-segi kebaikan atau kelebihan yang dimilikinya dan
mungkin tidak dimiliki oleh sistem pers yang lainnya. Kelebihannya antara lain
negara dapat mengatur informasi dengan mutlak, sehingga informasi-informasi
yang dianggap membahayakan keutuhan negara dapat dengan mudah dihentikan.
Negara dapat dengan mudah dan cepat menyebarkan informasi mengenai kebijakan
atau keputusan yang penting dan mendesak dan harus diketahui oleh semua warga
negara. Penyebaran informasi ujaran kebencian atau hoax dan berita bohong

2
Rachmadi, F. 1990. Perbandingan Sistem Pers. Jakarta: Gramedia.
lainnya relatif dapat diatasi dengan mudah karena pemerintah memegang kendali
terhadap pers.

Kekurangan dari system pers otoriter ialah masyarakat tidak dapat


menyampaikan kritik yang membangun lewat media massa, sehingga pemerintah
akan sulit mengalami kemajuan yang berarti dalam kebijakan dan keputusan yang
diambil. Apabila pemerintahan jatuh pada tangan yang salah, maka potensi
penggunaan media massa untuk memenuhi ambisi pribadi atau kelompok tertentu
sangat besar dan sangat berbahaya karena dapat berakibat pada upaya untuk
menjadikan kekuasaannya di tengah masyarakat tersebut menjadi mutlak.
Menghilangkan kesempatan bagi para oposisi ataupun orang yang lebih memahami
tentang masalah yang sedang dihadapi oleh pemerintah untuk melakukan koreksi
atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah ketika menghadapi masalah-masalah
tertentu. Tidak memberikan kebebasan pers kepada wartawan atau para pelaku
media secara utuh karena hanya boleh meliput hal-hal yang dianggap oleh
pemerintah perlu dilaporkan.

Dalam sejarah, sistem pers otoriter telah banyak diterapkan di berbagai


negara tertentu. Beberapa negara yang disebut pernah dan mungkin saat ini masih
diterapkan antara lain adalah di negara Jepang, Rusia, Spanyol, Jerman dan lain
sebagainya. Pada prinsipnya, penerapan dari sistem pers otoriter ini membuat
terdapat badan khusus yang melakukan filter informasi sekaligus menyampaikan
informasi apa saja yang perlu disampaikan oleh media massa kepada masyarakat
dalam suatu negara tertentu.3 Dasar dari berita yang perlu disampaikan tersebut
tentu berasal dari pemerintah yang saat itu sedang berkuasa. Dengan demikian
segala pers yang ada di negara tersebut akan menyampaikan berita-berita penting
yang kurang lebih sama dengan sudut pandang tertentu yang juga diarahkan oleh
pemerintah.

Sistem pers otoriter, sebagaimana dipaparkan pada segi kekurangannya,


memiliki kekurangan atau kelemahan yang paling besar pada sifatnya yang otoriter
dan cenderung satu pihak. Pemerintah memiliki kekuasaan penuh sehingga sudah
pasti kepentingan yang mereka milikilah yang akan diunggulkan. Beruntung

3
Rachmadi, F. 1990. Perbandingan Sistem Pers. Jakarta: Gramedia
apabila pemerintah diisi oleh orang baik seluruhnya, akan tetapi nyatanya lebih
banyak orang yang memiliki ambisi atau kepentingan pribadi yang berada di dalam
pemerintahan, sehingga memasrahkan pers menjadi kaki tangan penguasa adalah
suatu tindakan yang jelas sangat berpeluang menciptakan kesewenang-wenangan.

Menurut Terrence H. Qualter dalam bukunya yang berjudul Propagnda


Psychological Warfare4 menulis bawa propaganda adalah usaha yang disengaja
oleh beberapa individu atu kelompok melalui pemakaian instrument komunikasi
dengan tujuan agar situasi tertentu, reaksi mereka yang dipengaruhi adalah seperti
yang diinginkan oleh sang propagandis.

Yang membedakan propaganda dari tindakan penyebaran ide atau informasi


lain adalah bahwa ia “usaha sengaja” untuk mengarahkan perilaku orang agar sesuai
dengan yang diinginkan, atau dengan kata lain, agar sesuai dengan efek yang sudah
dikalkulasi sebelumnya.

R. Soeprapto dalam bukunya Hubungan Internasional: Sistem Interaksi


Perilaku mengutip definisi T.A Colombus dan J.H Wolf yang menyatakan
propaganda adalah “Usaha sistematis yang bertujuan untuk membentuk atau
mengubah sikap, pendapat dan tindakan suatu kelompok sasaran melalui simbol-
simbol verbal, tulisan dan perilaku dengan menggunakan media seperti buku-buku,
pamflet, film, ceramah, radio, televisi dan lain-lain”.5

Karena sifatnya yang sangat tidak netral itu yaitu memang sejak awal sudah
bertujuan mengarahkan publik propagnda sering kali ditanggapi secara sinis oleh
banyak pihak dan seringkali dianggap mengandung konotasi negatif. Pandangan
negatif ini tidak sepenuhnya dianggap benar. Bahkan istilah propaganda sendiri
sebenarnya berakar dari abad ke 17. Pada saat gereja Katolik Roma menetapkan
apa yang disebut sebagai Kongregasi bagi Propaganda keyakinan. Dengan kata lain,
propaganda disini merujuk pada penyebar luasan yang tidak dengan sendirinya atau
berarti menipu.

4
Qualter, T. H. 1992. Propaganda and psychological warfare. Pickle Partners Publishing. New
York.
5
R. Suprapto. 1997. Hubungan Internasional : Sistem, Interaksi dan Perilaku. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Pendekatan komunikasi internasional yang digunakan ialah idealistik-
humanistik, kepentingan politik baru atau political proselytization, dan informasi
kekuatan ekonomi,politik internasional. Idealnya, Komunikasi internasional
bertujuan untuk saling pengertian, mendukung dan berkerjasama antar penduduk.6

Menurut idealistik-humanistik, komunikasi internasionaal bertujuan untuk


mempererat persahabatan dan kerjasama internasional, memecahkan permasalahan
antarbangsa dengan proses penemuan cara demi memelihara kesejahteraan dunia
namun tidak jarang terjadi pergesekan karena penonjolan kepentingan yang tak
terkendali.7 Selain itu, adanya pihak yang ingin menuasai informasi demi
menggapai ambisi politik yang kerap kali mengabaikan pihak lain.

Liliweri8 menjelaskan metodologi Komunikasi Internasional yaitu:

• Geographical Approach ataau peta bumi mengandung arus informasi


internasional yang menerangkan wilayah antar kawasan. adapun
medianya ialah pengkajian berita internasional dari media tersebut.
• Media Approach ataau pendekatan media yang mengaki berita
internasional melalui multimedia.
• Event Approach atau pendekatan peristiwa yaitu pengajian peristiwa
antar bangsa melalui medium.
• Ideological Approach atau perbandingan sistem pers antar negara
dengan melihat penyebaran arus berita dari sudut ideologis saja.

6
Shoelhi, Mohammad. 2009. Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik. Simbiosa Rekatama
Media. Bandung.
7
Ibid.
8
Liliweri, A. 2010. Komunikasi serba ada serba makna. Kencana.
BAB 2: PEMBAHASAN

Salah satu negeri paling tertutup di dunia adalah Korea Utara. Seteru Korea
Selatan ini menjalankan sistem pemerintahan totaliter yang beriring dengan sistem
pewarisan. Negeri ini dibentuk pada tahun 1948 dan sejak itu dipimpin oleh Kim
Il-sung hingga meninggal dunia tahun 1994 (dalam usia 82 tahun). Selanjutnya ia
digantikan oleh anaknya, Kim Jong-il (lahir 16 Februari 1941) hingga meninggal
dunia pada 17 Desember 2011. Kini negeri yang mengembangkan teknologi nuklir
itu dipimpin oleh Kim Jong-un (lahir 8 Januari 1983).

Korea Utara merupakan negara Komunisme yang menganut sistem satu


partai dan dipimpin oleh Partai Buruh Korea menggunakan Juche sebagai ideologi
mereka. Juche sendiri adalah sebuah pandangan yang dicetuskan oleh Kim Il-Sung
selaku pemimpin pertama Korea Utara. Pada tahun 1955, Kim Il-Sung mencetuskan
Juche (kemandirian) sebagai ideologi yang dianut oleh Korea Utara setelah
sebelumnya Korea Utara dibangun melalui ideologi Komunisme.9 Ideologi Juche
merupakan gagasan revolusioner dari Kim Il-Sung yang memiliki makan
kemandirian, artinya setiap manusia menguasai segala sesuatu dan memutuskan
segala sesuatu.10

Ideologi Juche memiliki artian bahwa setiap individu merupakan pemilik


takdirnya sendiri dan keputusan untuk mengubah takdir tersebut berasal dari diri
sendiri. Juche dalam Korea Utara dapat dipahami sebagai suatu bentuk self-reliance
atau melakukan hubungan dengan dunia luar atau pihak asing sesedikit mungkin
kecuali pada negara-negara sekutu dan pendukung. Ideologi Juche menjadikan
pemimpin sebagai suatu sosok berpengaruh yang harus dipuja oleh masyarakat-
nya.11

Kim Jong-Un menjadi pemimpin Korea Utara setelah wafatnya Kim Jong-
Il pada Desember 2011, Kim Jong-Un juga disebut-sebut sebagai “Penerus
Revolusi Juche” dan “Pemimpin Tertinggi Partai, Rakyat dan Tentara” Korea

9
Yogaswara A. 2015. Kim Jong-Un: Si ‘Gila’ Dengan Nuklir Di Tangannya, Yogyakarta: Narasi.
10
Armstrong, Charles K. 2009. Juche and North Korea’s Global Aspiration, dalam jurnal North
Korea International Documentation Project.
11
Alfiyanti, Windy. 2006. The Mass Killer of The Twentieth Century. Yogyakarta: Narasi.
Utara. Bahkan rakyat Korea Utara juga menyampaikan sumpah setia kepada Kim
Jong-Un dan menghormatinya sejajar dengan Kim Jong-Il dan Kim Il-Sung.12

Perubahan kebijakan ekonomi Korea Utara terjadi pada Agustus 2012,


dimana Kim Jong-Un mengumumkan untuk melakukan reformasi ekonomi yang
serupa dengan reformasi di China.13 Selanjutnya perubahan besar dalam
perekonomian Korea Utara terjadi pada tahun 2013 dimana pemerintah
mengenalkan sistem ekonmi Socialist Corporate Management System yang
memiliki tujuan untuk meningkatkan otonomi perusahan di Korea Utara. 14 Sistem
ini memiliki makna bahwa setiap perusahaan di Korea Utara akan diberikan hak
secara mandiri untuk melakukan bisnis, tujuan lain yang ingin dicapai dari sistem
ini adalah dari bidang pertanian dimana langkah ini diambil dengan tujuan untuk
mengatasi krisis pangan yang pernah dan masih terjadi di Korea Utara.15

Dari segi militer negara, Kim Jong-Un menyatakan untuk tetap mengikuti
kebijakan peninggalan dari Kim Jong-Il dan tidak akan mengubah arah
kebijakannya dengan tetap mengedepankan militer dan berfokus untuk
mengembangkan program pengembangan nuklir negaranya.16 Hal ini dikarenakan
kapabilitas militer negara tanpa adanya senjata nuklir tidak akan cukup kuat untuk
menunjukkan pengaruh Korea Utara di politik internasional. Korea Utara dibawah
kepemimpinan Kim Jong-Un juga sedang gencar-gencarnya melakukan uji coba
peluncuran rudal dan nuklir seperti yang telah dilakukan oleh Kim Jong-Il, hal ini
menimbulkan perdebatan oleh berbagai negara karena uji coba peluncuran tersebut
dianggap sebagai sebuah ancaman nyata, khususnya bagi Jepang dan Korea Selatan
dimana kedua negara tersebut berlokasi dekat dengan Korea Utara.17

Korea Utara telah melalui berbagai perundingan dan forum dialog yang
diadakan oleh Amerika Serikat dan sekutunya dengan tujuan untuk membekukan
program nuklir Korea Utara, diantaranya adanya perjanjian Non-Proliferation

12
Alfiyanti, Windy. 2006. The Mass Killer of The Twentieth Century. Yogyakarta: Narasi.
13
Saputra, Andi Rafael. 2014. Dari Kim Jong-Il Hingga Kim Jong-Un. Yogyakarta: Palapa.
14
Yogaswara A. 2015. Kim Jong-Un: Si ‘Gila’ Dengan Nuklir Di Tangannya, Yogyakarta: Narasi.
15
Ibid.
16
Saputra, Andi Rafael. 2014. Dari Kim Jong-Il Hingga Kim Jong-Un. Yogyakarta: Palapa.
17
Bechtol. Bruce E. 2013. The North Korean Military Under Kim Jong-Un, dalam jurnal
International Journal of Korean Studies.
Treaty (NPT) yang diadakan pada Juli 196818 dan forum Six Party Talks yang
pertama kali diadakan pada tahun 2003 tidak membuahkan hasil dan kesepakatan
apapun, dimana Six Party Talks sebagai usaha terakhir dianggap gagal dalam
upaya agar Korea Utara setuju untuk melakukan denuklirisasi.19

Pada awal 2018, Korea Utar mengejutkan dunia dengan menyatakan siap
untuk bertemu dan berdamai dengan Korea Selatan. Untuk pertama kalinya Korea
Utara menyatakan setuju untuk berdamai dengan Korea Selatan yang ditandai
dengan adanya Deklarasi Panmunjom yang dilaksanakan pada April 2018.20
Dengan adanya deklarasi ini menyatakan bahwa Korea Utara dan Korea Selatan
berdamai untuk pertama kalinya setelah sebelumnya kedua Korea ini hanya
melakukan gencatan senjata sejak Perang Korea yang terjadi pada 1950 – 1953
silam. Dalam Deklarasi Panmunjom juga menyatakan bahwa Korea Utara siap
untuk melakukan denuklirisasi, yang berarti ini adalah sebuah perkembangan pesat,
mengingat sejarah Korea Utara yang tidak ingin dan cenderung bersikeras untuk
tetap memiliki dan mengembangkan program pengembangan nuklir negaranya.21

Informasi mengenai negara itu tak banyak diketahui, bahkan oleh aparat
intelijen AS sekalipun, dan kebanyakan disadur dari pemberitaan yang disampaikan
oleh media Korea Selatan. Di dalam negeri, tentu saja rakyat Korea Utara berada
keadaan terisolosasi dari perkembangan informasi dunia. Penduduk Korea Utara
memperoleh informasi lewat propaganda yang dilakukan oleh pemerintah.
Langkah-langkah kontrol sosial di negara tersebut sangat parah, jika bukan yang
paling ekstrim di dunia, dan masyarakat umum memiliki sedikit akses ke informasi
selain apa yang dikabarkan oleh rezim. Sejak Reporters without Borders mulai
menerbitkan indeks tahunan kebebasan pers dunia pada tahun 2002, Korea Utara
selalu menempati peringkat buncit. Penduduk Korea Utara tidak menerima surat
kabar asing, televisi, atau siaran radio, dan jarang bertemu orang asing.

18
Wirengjurit. Dian. 2002. Kawasan Damai dan Bebas Senjata Nuklir, Bandung: Alumni.
19
Bestary. R.A. 2018. Kegagalan Six Party Talks Dalam Menyelesaikan Krisis Nuklir Korea
Utara. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
20
Santi. Natalia. 2019. Media Korut Sebut Deklarasi Panmunjom Tonggak Sejarah.
21
Santi. Natalia. 2019. Deklarasi Panmunjom Langkah Awal Denuklirisasi.
Pengendalian informasi di Korea Utara bahkan jauh lebih hebat
dibandingkan dengan situasi serupa yang dialami oleh penduduk di era Soviet
ataupun komunisme di Eropa Timur. Di kawasan ini, sedikit banyak penduduk
masih bisa memperoleh sedikit informasi apa yang terjadi dengan belahan dunia
lain. Ini adalah tingkat kontrol yang tidak ditemui sebelumnya dan memperkuat
masalah dengan mendekati Korea Utara pada kebijakan gaya era Perang Dingin.

Setengah abadera propaganda dan kontrol sosial telah membentuk sikap,


nilai, dan perilaku rakyat Korea Utara menjadi sosialis tanpa pamrih yang tidak
diragukan lagi mematuhi pemimpin mereka. Sejak Kim berkuasa diperlakukan
kontrol total, dengan beberapa lapisan mekanisme kontrol yang diwarai
kebohongan, telah menciptakan sebuah masyarakat yang di permukaan sangat
stabil dan tahan terhadap perubahan walaupun secara ekonomi berada dalam jurang
kesengsaraan.

Setiap sumber informasi tunggal berada di bawah kontrol ketat dari rezim.
Jenis lingkungan tertutup rapat secara efektif diperkuat melalui ancaman mata-mata
internal yang mengawasi penduduk Korea Utara, yang setiap saat terancam risiko
penjara di kamp konsentrasi. Lingkungan yang mengancam ini telah membuat
oposisi terhadap rezim hampir mustahil. Tingkat kontrol dirasakan bahkan di dalam
rumah-rumah pribadi. Warga biasa diperbolehkan untuk memiliki televisi dan radio
yang hanya menerima siaran domestik, dan kekurangan listrik yang meluas di
seluruh negeri lebih membatasi penggunaan alat komunikasi itu. Akses terbatas
memungkinkan rezim untuk memanipulasi semua informasi yang mendukung dan
tidak memungkinkan akses ke sumber-sumber informasi tandingan. Penduduk
Korea Utara dapat menonton televisi, tetapi tetap menjadi barang mewah dan tidak
ada statistik yang dapat diandalkan tentang berapa banyak rumah yang telah
memiliki.

Korean Central Television, KCTV, menyediakan berita dan program


televisi lainnya pada malam hari selama seminggu. Pada akhir pekan televisi
menyajikan program hiburan.22 Siaran fokus padasosok sang pemimpin dan

22
Hassig, R., & Oh, K. 2009. The hidden people of North Korea: Everyday life in the hermit
kingdom. Rowman & Littlefield.
kegiatannya, menampilkan lantunan puja puji di seluruh negeri. Selain itu, program
ini digunakan untuk secara rutin mengecam tindakan Korea Selatan, AS, Jepang
dan kadang-kadang untuk mengingatkan penduduk akan musuh-musuh mereka dan
mengingatkan bahaya dunia luar.

Program radio serupa dengan yang ditampilkan di televisi. Ancaman telah


diambil oleh pemerintah untuk memastikan semua radio di Korea Utara hanya dapat
menampung siaran radio pemerintah.Mendengarkan stasiun radio lainnya secara
tegas dilarang dan dikenai sanksi hukum. Radio yang dibeli dari luar negeri harus
terdaftar di kantor polisi dan dipatok hanya untuk frekuensi KCBS. Ada inspeksi
mendadak terhadap rumah tangga untuk mengontrol radio dan mencegah
ditangkapnya siaran luar negeri terutama Cina dan Korea Selatan di dekat wilayah
perbatasan. Pemerintah juga dilaporkan mencoba untuk membatasi siaran radio
asing.

Media cetak juga diproduksi sendiri oleh Rodong Sinmun adalah surat kabar
resmi partai. Publikasi ini menyebut pers sebagai "senjata ideologis yang
didedikasikan untuk mempertahankan dan menjaga pemimpin" dan mendesak pers
untuk "mewarnai seluruh masyarakat satu warna, warna ideologi revolusioner dari
pemimpin besar.”23 Pemerintah juga menerbitkan beberapa media cetak lain,
mungkin untuk memberikan perasaan palsu yang bervariasi, seperti MinjuChoosen,
Democratic Korea, Pyongyang Sinmun, Pyongyang Daily, termasuk media untuk
remaja dan anak-anak tetapi semua ini mengandung artikel yang sama. Dalam
beberapa tahun terakhir surat kabar telah diposting di internal intranet, dengan
instruksi untuk dibaca di pagi hari "dalam rangka belajar tentang tujuan partai dan
tuntutan pada waktu yang tepat."

Beberapa warga Korea Utara dapat mengakses intranet, tetapi tidak


merupakan jaringan sesungguhnya dan mungkin bahkan tidak tahu bahwa internet
ada atau bagaimana diakses. Rezim memandang media ini sebagai senjata
berbahaya yang bisa dengan mudah menantang isolasi negara. Hanya sekitar
sepuluh persen kantoryang memiliki komputer yang menyediakan akses internal

23
Hassig, R., & Oh, K. (2009). The hidden people of North Korea: Everyday life in the hermit
kingdom. Rowman & Littlefield.
intranet Korea Utara yang disebut Kwangmyong. Meskipunada akses terbatas ke
teknologi komputer, ponsel telah menjadi sangat umum dalam beberapa tahun
terakhir namun pengguna tidak dapat membuat atau menerima panggilan dari dunia
luar kecuali mereka memiliki sebuah telepon ilegal. Penggunaannya dilarang dari
tahun 2004 sampai 2008, dan dilaporkan orang yang tertangkap menggunakan
dikirim ke kamp penjara atau dieksekusi. Kabarnya, pengguna ponsel akan
mencapai satu juta tahun ini, meskipun sulit untuk tahu persis berapa banyak berada
di dalam negeri karena banyak warga di kota-kota perbatasan memiliki ponsel ilegal
yang diselundupkan dari Tiongkok.

Korea Utara merupakan negara yang konsisten memegang teguh ajaran


Marxis sebagai ideologi negaranya. Hal ini menjadikan Korea Utara sebagai negara
yang tertutup dari dunia internasional, juga dengan kontrol dari pemerintahnya yang
sangat kuat dan berkuasa terhadap rakyatnya.

Begitupun dengan kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pendapat bagi


rakyat yang juga dikekang habis-habisan. Padahal dalam UU Pers pasal 67
dikatakan masyarakat memiliki kebebasan berbicara, publikasi, berkumpul,
demonstrasi, dan asosiasi. Namun pada kenyataannya hak kebebasan dalam
berpendapat hanya diperbolehkan dalam hal mendukung pemerintah dan partai
yang berkuasa. Orang yang berani mengkritik atau melawan pemerintah akan
dihukum penjara, bahkan hukuman mati.

Pengekangan kebebasan berpendapat dan berekspresi ini berarti pemerintah


Korea Utara sangatlah membelenggu kebebasan pers. Media massa harus selalu
tunduk pada pemerintah karena sebenarnya media yang ada di sana adalah media
yang dibentuk oleh pemerintah sendiri. Pihak swasta tidak diperbolehkan memiliki
perusahaan media massa. Orang-orang yang bisa mengakses berita hanyalah para
anggota Partai Buruh. Saluran televisi dan radio selalu menayangkan acara
pemerintah.

Karena penguasaan pemerintah terhadap media massa yang begitu kuat,


media massa yang ada kemudian menjadi alat propaganda untuk menyosialisasikan
ajaran komunisme sebagai ideologi Korea Utara, juga memberitakan prestasi-
prestasi pemerintah dalam usahanya menyejahterakan rakyat atau bahkan tentang
program nuklirnya. Dengan begitu, akan sangat terlihat bahwa media massa yang
ada di sana sangatlah mendukung pemerintah.

Korea Utara tidak memperbolehkan media asing masuk ke wilayah


negaranya, karena itu Korea Utara benar-benar terisolasi dari dunia luar. Hal ini
dilakukan dengan alasan bahwa banyak hal-hal asing yang bisa mengganggu
stabilitas dalam negeri. Berita-berita yang masuk ke Korea Utara harus diatur dan
melalui seleksi oleh pihak pemerintah, sehingga rakyat tidak mengetahui berbagai
berita terkini dari luar negeri selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Spanduk dan poster yang dipajang di ibukota dan kota-kota lainnya selama
ini menampilkan sosok AS sebagai penjajah yang brutal dan Korsel atau Jepang
sebagai antek Washington. Namun demikian, sejumlah pengunjung di negara itu
melihat bahwa poster-poster itu telah digantikan oleh propaganda yang isinya
mendorong kemajuan ekonomi dan upaya mendekatkan antara Korsel-Korut.

Beberapa surat kabar terkemuka yang selama ini dikontrol ketat oleh negara
juga memperlihatkan adanya pergeseran pada materi pemberitaannya.
Perkembangan terbaru di Korut ini dianggap sebagai awal yang tidak terlepas dari
mencairnya hubungan diplomatik negara itu dengan AS dan Korsel yang ingin
ditonjolkan kepada rakyatnya. Sebagian besar warga Korea Utara memiliki akses
sangat sedikit terhadap informasi, sehingga propaganda negara memiliki dampak
yang jauh lebih besar jika dibandingkan negara-negara lain di dunia. Dengan
menempatkan AS sebagai musuh, propaganda yang sering muncul menggambarkan
bahwa negara itu siap mengirim rudal nuklir dan bala tentaranya untuk menyerang
AS. Poster-poster itu diciptakan untuk melahirkan patriotisme, membangun rasa
percaya diri dan menekankan bahwa perjuangan ditujukan demi kejayaan bangsa.
Setelah sempat dibayangi-bayangi ancaman perang, Korea Utara menggelar
pertemuan bersejarah dengan Korea Selatan dan AS. Mereka kemudian berjanji -
meskipun dalam istilah yang samar - untuk menghapus program senjata nuklirnya
dan sepakat merajut perdamaian.

Seorang pemandu turis di Korut, yang menemani sebuah kelompok wisata


yang mengunjungi negara itu, mengatakan bahwa dalam beberapa bulan terakhir,
materi propaganda telah diubah. Sebagai ganti terhadap materi yang memojokkan
AS, saat ini mereka memilih menitikberatkan kepada pesan-pesan yang lebih
positif, misalnya dengan memuji Deklarasi Panmunjom yang ditandatangani dalam
KTT antar Korea. Tentu saja, poster-poster baru sama banyaknya dengan
propaganda lama, tetapi isinya lebih menyoroti tema yang berbeda: reunifikasi
Korea, kemajuan ekonomi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Perubahan seperti ini
mengikuti logika: Apabila perundingan dengan Korsel dan AS dianggap sebagai
awal kemungkinan kerjasama di masa depan, maka dua eks musuh bebuyutan itu
harus ditampilkan dengan cara yang lebih netral.

Kalau tidak, mengapa Kim Jong-un dapat duduk bersama dan berunding
dengan para pemimpin negara-negara itu? Begitulah logikanya. Bahkan pernak-
pernik anti-Amerika yang dulunya dijual kepada turis sebagai suvenir mulai sulit
ditemukan di pasaran. Misalnya, Anda tidak akan dapat lagi menemukan kartu pos,
poster atau perangko yang menggambarkan rudal Korea Utara yang diterbangkan
untuk menerjang Washington.

Perubahan itu juga terlihat dari kebijakan redaksi surat kabar Korut
terkemuka, Rodong Sinmun. Selama ini, tidak ada kebebasan pers di Korea Utara.
Semua media dikontrol ketat dan segala sesuatu yang diterbitkan atau disiarkan
akan diperiksa secara ketat agar sesuai kebijakan pemerintah.

Koran-koran di Korut selama ini secara teratur melaporkan segala sesuatu


yang negatif tentang AS, seperti dengan menggambarkan Washington sebagai
musuh. Mereka kemudian memperlihatkan keterlibatan AS dalam berbagai konflik
dunia seperti di Suriah. Tetapi menjelang pertemuan pada 12 Juni lalu antara Kim
Jong-un dan Presiden AS Donald Trump, surat kabar yang biasanya mengkritisi AS
kemudian menahan diri untuk menyerang negara adidaya itu.

Sejak KTT tersebut, surat kabar terkemuka di Korut itu menampilkan


liputan besar-besaran dari pertemuan itu dan merayakan Kim sebagai negarawan
dunia yang menyuarakan perdamaian. Seperti bertolak belakang dengan kebiasaan
media Korut, TV dan surat kabar mereka lantas melaporkan perjalanan Kim baru-
baru ini - ke Cina dan Singapura - dalam waktu yang hampir bersamaan, padahal
sebelumnya, bakal membutuhkan waktu berhari-hari bagi warga Korut untuk
membacanya. Dengan perubahan yang sejauh ini ditunjukkan Korea Utara
mengenai materi propagannya, masih belum jelas apakah akan berlangsung
selamanya atau sesaat.

Dalam hal media cetak, Korea Utara memiliki beberapa surat kabar yang
diterbitkan untuk kalangan tertentu. Misalnya untuk kalangan buruh atau pekerja,
ada surat kabar Nodong Simmun (Harian Pekerja) dan K Lloja (The Pekerja). Ada
pula surat kabar yang diterbitkan untuk guru dan tentara. Surat kabar tersebut
sengaja dibagikan kepada masyarakat sebagai alat propaganda pemerintah.

Korea Utara adalah salah satu negara yang masih menjunjung prinsip
sosialisme dan komunisme. Dengan menjunjung prinsip Juche dan juga semangat
patriotik dalam mencintai sang pemimpin (keluarga Kim), orang-orang Korea Utara
mengisolasi dirinya dari pergaulan dunia internasional. Propaganda anti
kapitalisme, anti Barat, dan juga anti Korea Selatan selalu dijalankan oleh mesin
propaganda Korea Utara. Warga Korea Utara harus diyakinkan bahwa negara
mereka adalah adidaya dan kuat. Rezim Kim juga selalu mempropagandakan
bahaya Barat dan kapitalisme sebagai penjajah yang telah membuat rakyat di Korea
bagian Selatan tertimpa kemiskinan dan kesengsaraan.

Namun saat ini, Korea Utara sedang dalam masalah besar. Budaya Korea
Selatan yang direpresentasikan oleh budaya K-Pop atau Korean Pop telah
menembus dinding-dinding sosialisme yang dibagun oleh keluarga Kim yang telah
bertahta selama tiga generasi.

Pasalnya, budaya K-Pop yang menyerang masuk ke Korea Utara dianggap


merusak kebudayaan sosialisme yang telah dibangun oleh rezim Partai Komunis
Korea Utara dan juga oleh keluarga Kim. Budaya K-Pop kini mulai merasuki jiwa
generasi muda. Lewat film-film, pakaian, dan musik, kebudayaan Korea Selatan
telah mempengaruhi jiwa dan pikiran pemuda dan pemudi Korea Utara.

Melalui film-film drama Korea, anak muda Korea Utara mengetahui bahwa
sementara mereka berjuang untuk menemukan makanan untuk dimakan selama
kelaparan, orang-orang di Korea Selatan melakukan diet untuk menurunkan berat
badan. Belakangan, anak muda Korea Utara mulai frustasi ketika pemerintah tidak
dapat menyediakan jatah makan dan menyebabkan jutaan orang meninggal.
Keluarga-keluarga bertahan hidup dengan membeli makanan dari pasar gelap yang
dipenuhi dengan barang-barang selundupan dari China, termasuk hiburan bajakan
dari Korea Selatan.

Budaya pop Korea Selatan telah memasuki tembok tebal Korea Utara.
Karena pengaruhnya yang semakin berkembang, hal tersebut mendorong pemimpin
negara totaliter tersebut untuk menyatakan perang pada budaya baru dan meminta
segala jajarannya menghentikan arus budaya tersebut. Kim Jong Un menyebut
drama Korea (Drakor) sebagai “kanker ganas” yang merusak “pakaian, gaya
rambut, pidato, perilaku” anak muda Korea Utara. Namun, karena arus kebudayaan
Korea modern begitu kuat, bahkan seorang diktator seperti Kim Jong Un
mengalami kesulitan untuk menahan arus tersebut

Sejak dekade 1950-an, keluarga Kim telah menyulap tanah gingseng


tersebut sebagai tanah revolusioner. Semangat sosialis yang berkobar pada dekade
50-60an telah membuat harapan rakyat Korea Utara tumbuh. Impian kebebasan dan
kemakmuran yang tidak mungkin diperoleh ketika Fasisme Jepang saat Perang
Dunia II bercokol di Korea Utara, seolah akan terwujud tak begitu lama setelah
“sosialisme menang di seluruh dunia”.

Sayangnya, impian hanya impian. Rezim sosialis Kim tak mengubah


keadaan kultur sosial dan politik di Korea Utara. Semua sama seperti rezim
militerisme Jepang berkuasa di negara mereka, hanya bedanya saat keluarga Kim
berkuasa, kebebasan dan kemakmuran bisa dinikmati dalam bentuk slogan yang
tertempel di poster dan baliho partai komunis.

Kebudayaan yang dikembangkan oleh Korea Utara memang dijuluki


pemerintah sebagai kebudayaan sosialis, di mana semua masyarakat bersatu padu,
gotong royong, saling melengkapi satu sama lain, sehingga menciptakan sebuah
peradaban yang maju. Sayangnya, ini hanya sekedar deskripsi yang dilontarkan
oleh juru propaganda pemerintah. Bukan sosialisme yang dijadikan fondasi
kebudayaan, tetapi laras senapan dan politik kultus.
Korea Utara adalah salah satu kisah memprihatinkan dari rezim
otoritarianisme komunis yang masih tersisa. Apa yang disebut sebagai menjunjung
kebudayaan sosialis adalah kesetiaan pada partai. Memegang teguh nilai-nilai
nasional adalah ketaatan pada Keluarga Kim. “Kebebasan pers dan seni” diakui
sepanjang tidak menyalahi norma-norma yang didiktekan oleh Partai Komunis
Korea Utara.

Gambaran di atas adalah sebuah renungan bagi kita, bagaimana dengan


dalih sosialisme dan kepribadian nasional menjadi kedok untuk menghentikan
kritik dan pendiktean massal terhadap rakyat. Jadi, wajar saja jika “Paduka Kim”
begitu khawatir dengan masuknya budaya K-Pop ke tengah-tengah generasi muda
Korea Utara, sebab budaya tersebut adalah generasi sensitif yang paling peka
terhadap transformasi kultural.

Bisa dibayangkan jika kultur K-Pop yang bebas, penuh kritik, dan blak-
blakan, masuk ke dalam sanubari pikiran anak muda Korea Utara, tentu saja hal ini
akan menjadi bom waktu bagi dinasti Kim. Mengutip Surat Kabar Korea Utara,
Rodong Sinmun, tradisi K-Pop (Independent.co.uk, 11/6/2021), dalam hal ini,
“Akan menerjang pertahanan kebudayaan Korea Utara seperti dinding yang
lembab”.
BAB 3: PENUTUP

Sistem pers otoriter adalah sebuah sistem media massa yang didasarkan
terhadap teori pers otoriter atau dikenal juga dengan sebutan pers authoritarian.
Teori ini diakui teori yang paling tua, berasal dari abad ke-19 ia berasal dari filsafah
kenegaraan yang membela kekuasaan absolute. Penetapan hal-hal yang benar yang
di percaya hanya segelintir orang yang bijaksana yang mampu memimpin. Pada
dasarnya, pendekatan di lakukan dari atas kebawah

Korea Utara merupakan negara Komunisme yang menganut sistem satu


partai dan dipimpin oleh Partai Buruh Korea menggunakan Juche sebagai ideologi
mereka. Juche sendiri adalah sebuah pandangan yang dicetuskan oleh Kim Il-Sung
selaku pemimpin pertama Korea Utara. Pada tahun 1955, Kim Il-Sung mencetuskan
Juche (kemandirian) sebagai ideologi yang dianut oleh Korea Utara setelah
sebelumnya Korea Utara dibangun melalui ideologi Komunisme. Ideologi Juche
merupakan gagasan revolusioner dari Kim Il-Sung yang memiliki makan
kemandirian, artinya setiap manusia menguasai segala sesuatu dan memutuskan
segala sesuatu.

Korea Utara menggunakan sistem pers otoriter soviet komunis. Pers


dikuasai pemerintah dan partai dan menjadi sarana propaganda penyebaran ideologi
komunis dan sosialisasi kebijakan pemerintah dan partainya kepada rakyat dengan
berita-berita yang selalu mendukung pemerintah. Hal ini menyebabkan salah satu
fungsi pers yaitu sebagai pengawas dan pengontrol pemerintahan tidak berjalan
sama sekali. Selain itu pers di Korea Utara memiliki prinsip sebagai media yang
bebas dan bertanggung jawab, namun yang dimaksud adalah bebas dari kaum
borjuis dan bertanggung jawab pada partai.
DAFTAR PUSTAKA

Alfiyanti, Windy. 2006. The Mass Killer of The Twentieth Century. Yogyakarta:
Narasi.

Armstrong, Charles K. 2009. Juche and North Korea’s Global Aspiration, dalam
jurnal North Korea International Documentation Project

Bechtol. Bruce E. 2013. The North Korean Military Under Kim Jong-Un, dalam
jurnal International Journal of Korean Studies.
Bestary. R.A. 2018. Kegagalan Six Party Talks Dalam Menyelesaikan Krisis
Nuklir Korea Utara. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Hassig, R., & Oh, K. (2009). The hidden people of North Korea: Everyday life in
the hermit kingdom. Rowman & Littlefield.
Kusumaningrat, Hikmat, Purnama Kususmaningrat. Jurnalistik Teori dan
Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006
Liliweri, A. 2010. Komunikasi serba ada serba makna. Kencana

Qualter, T. H. 1992. Propaganda and psychological warfare. Pickle Partners


Publishing. New York.

R. Suprapto. 1997. Hubungan Internasional : Sistem, Interaksi dan Perilaku.


Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Rachmadi, F. 1990. Perbandingan Sistem Pers. Jakarta: Gramedia

Santi. Natalia. 2019. Deklarasi Panmunjom Langkah Awal Denuklirisasi.


Santi. Natalia. 2019. Media Korut Sebut Deklarasi Panmunjom Tonggak Sejarah
Saputra, Andi Rafael. 2014. Dari Kim Jong-Il Hingga Kim Jong-Un. Yogyakarta:
Palapa

Shoelhi, Mohammad. 2009. Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik.


Simbiosa Rekatama Media. Bandung

Wirengjurit. Dian. 2002. Kawasan Damai dan Bebas Senjata Nuklir, Bandung:
Alumni.
Yogaswara A. 2015. Kim Jong-Un: Si ‘Gila’ Dengan Nuklir Di Tangannya,
Yogyakarta: Narasi.

Anda mungkin juga menyukai