Anda di halaman 1dari 17

Dermatitis Kontak Alergi

Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan


klinik senior (KKS) di bagian ilmu kedokteran kulit dan kelamin di RSUD
Dr.RM. Djoelham Binjai

Disusun Oleh:

Veaggy Elsya Pratiwi

102118152

Pembimbing :

dr. Hj. Hervina,Sp.KK

KKS ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSUD.Dr.R.M.

DJOELHAM BINJAI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BATAM

2020

1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada ALLAH SWT atas rahmat dan

karunia-NYA refarat ini dapat diselesaikan pada waktunya, sebagai salah satu

syarat yang harus dipenuhi dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik

Senior di SMF Bagian Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin di RSUD Dr RM

Djoelham Binjai. Disini diuraikan secara singkat mengenai “Dermatitis Kontak

Alergi”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dokter

pembimbing, yaitu: dr. Hj Hervina. Sp KK

Atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti Kepaniteraan Klinik

Senior di SMF Bagian Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin di RSUD Dr RM

Djoelham Binjai, dan serta dalam penyusunan refarat ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa refarat ini memiliki banyak

kekurangan baik dari penyusunan maupun kelengkapan teori yang disajikan. Oleh

sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya

membangun demi kesempurnaan refarat ini. Harapan kami semoga refarat ini

bermanfaat bagi kita semua.

Binjai, September 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................3
2.1 Definisi ...........................................................................................3
2.2 Etiologi............................................................................................4
2.3 Epidemiologi...................................................................................5
2.4 Faktor Resiko..................................................................................6
2.5 Diagnosis.........................................................................................9
2.6 Patogenesis....................................................................................11
2.7 Patofisiologi..................................................................................11
2.8 Diagnosis Banding........................................................................12
2.9 Penatalaksanaan............................................................................16
2.10 Edukasi........................................................................................16
2.11 Komplikasi..................................................................................16
2.12 Prognosis.....................................................................................17
2.13 Profesionalisme…………………………………………….......18
BAB III KESIMPULAN............................................................................18
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon

terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan

kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,

skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul

bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung

residif dan menjadi kronis (Nassau & Fonacier, 2020)

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau

substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak

yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA),

keduanya dapat bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi

peradangan kulit nonimunologik, sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa

didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada

seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen (Nassau &

Fonacier, 2020)

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Dermatitis kontak alergi adalah peradangan kulit yang terjadi setelah kulit

terpajan dengan bahan alergen melalui proses hipersensitivitas tipe lambat

terhadap bahan-bahan kimia (asam basa kuat) yang dapat mengaktivasi reaksi

alergi (Adhi et al., 2018)

2.2 Etiologi

Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa

bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut

bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi

sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Kostner et al.,

2017)

Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-

tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap

tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison

sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly

antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan

logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),

formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet),

5
tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)

(Kostner et al., 2017)

2.3 Epidemiologi

Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita

dermatitis kontak alergi lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya

sangat peka (hipersensitif). Namun sedikit sekali informasi mengenai prevalensi

dermatitis ini di masyarakat. Terjadi 6-18% pria dan 11-35% wanita, remaja

muda dan pada usia lebih dari 70 tahun. Dapat terkena pada semua umur dengan

frekwensi yang sama pada pria dan wanita (Adhi et al., 2018)

2.4 Faktor Resiko

Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya

antara lain (D., 2016):

a. Faktor eksternal

1) Potesi sensitisasi allergen

2) Dosis per unit area

3) Luas daerah yang terkena

4) Lama pajanan

5) Oklusi

6) Suhu dan kelembaban lingkungan

7) Vehikulum

8) pH

b. Faktor Internal/ Faktor Individu (D., 2016):

1) Keadaan kulit pada lokasi kontak

6
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum.

2) Status imunologik

Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar matahari.

3) Genetik

Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null

pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel .

4) Status higinie dan gizi (Hamman CP, Rodgers PA, 2017)

Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang

masing – masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai

contoh, saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus

higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi

allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya. Sehingga sistem imunitas

tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila dibandingkan dengan

keadaan status higinie dan gizi individu yang rendah. Selain hal – hal diatas,

faktor predisposisi lain yang menyebabkan kontak alergik adalah setiap keadaan

yang menyebabkan integritas kulit terganggu, misalnya dermatitis statis (D.,

2016)

2.5 Cara Menegakkan Diagnosa

1. Anamnesa

Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan

pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal . Pertanyaan

mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit berukuran numular

di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi,

7
maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat

pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga

meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat

sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit

kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun

keluarganya (Prakoso, 2017)

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola

kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai

lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh

deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh

sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang,

pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-

sebab endogen (D., 2016)

Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat

diamati beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel

atau bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar berikut

(Svecova & Nemsovska, 2015) :

3. Pemeriksaan Penunjang

1. Uji Tempel

Menggunakan antigen, misalnya Allergen Patch Test Kit. Bahan yang dipakai

biasanya kosmetik, pelembab. Setelah 48 jam, uji tempel dilepas. pembacaan

8
pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan menghilang atau

minimal.

Hasilnya di catat seperti berikut :

 +1 = reaksi lemah (non-vesikuler) : eritema, infiltrat, papul (+)

 +2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)

 +3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)

 ± = meragukan : hanya makula eritematosa

 IR = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)

 - = reaksi negatif (-)

 NT = tidak di tes (NT= not tested)

2. Uji tempel.

Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel

diperlukan antigen, biasanya antigen standar, misalnya Allergen Patch Test Kit

(Batasina et al., 2017)

9
2.6 Patogenesis

Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara

berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang

sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana.

Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis yang

lebih dalam menembus stratum corneum dan membentuk kompleks sebagai

hapten dengan protein kulit. Konjugat yang terbentuk diperkenalkan oleh sel

dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening yang mengalir dan limfosit-limfosit

secara khusus dapat mengenali konjugat hapten dan terbentuk bagian protein

karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya

dan limfosit yang sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan

timbulnya sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh

limfokin (Kostner et al., 2017)

Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase

elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan

melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα, leukotrien, IFNγ,

dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut.

Pelepasan mediator-mediator tersebut akan menimbulkan manifestasi klinis khas

khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas

setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan-

bulan bahkan beberapa tahun (Kostner et al., 2017)

Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan

penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang

10
relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan

jika mengenai wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema.

Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan

dermis yang berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki

rambut terutama kelopak mata (Kostner et al., 2017)

2.7 Patofisiologi

Alergen yang telah melewati fase sensitisasi dan setelah terkena pajanan

ulang akan masuk pada fase elitisasi, kemudian muncul lah ruam pada kulit yang

mengakibatkan dermatitis kontak alergi. Hanya individu yang telah mengalami

sensitisasi yang dapat mengalami DKA (Kostner et al., 2017)

11
2.8 Diagnosis Banding

1. Tinea Kruris

Tinea adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,

misalnya lapisa teratas pada kulit pada epidermis, rambut, dan kuku, yang

disebabkan golongan jamur dermatofita (jamur yang menyerang kulit). Tinea 

kruris merupakan infeksi jamur dermatofit didaerah inguinal, bokong,

perut  bagian bawah, perineum dan  perianal. Kelainan  ini  dapat  bersifat  akut

ataupun  menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur

hidup (Prakoso, 2017)

2. Dermatitis popok

Diaper rash, diaper dermatitis, napkin rash atau dermatitis popok merupakan

kelainan istilah kelainan kulit didaerah yang tertutup oleh popok (diaper). Daerah

yang tertutup oleh popok itu sendiri meliputi daerah genitalia eksterna dan

sekitarnya, anus, perineum, glutea, abdomen bagian bawah dan dapat meluas

kepaha bagian medial (Prakoso, 2017)

2.9 Penatalaksanaan

1. Non Farmakologi

Tidak ada

2. Farmakologi

a. Simptomatis

Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 3-4

mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali

untuk anak – anak untuk menghilangkan rasa gatal (Eaton J, 2017)

12
b. Sistemik

1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali

2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari

3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin atau

eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari (Eaton

J, 2017)

c. Topikal

Krim Hydrokortison 2%, 2 kali sehari (Eaton J, 2017)

2.10 Komunikasi dan Edukasi

Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena

dermatitis kontak alergi

b. Menghindari substansi allergen

c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen

d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika tidak

ada sabun bilas dengan air

e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen

f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian

lain

g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen

h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang

berisiko terhadap paparan alergen (Prakoso, 2017)

13
2.11 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri

terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks.

Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong

kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi

bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet)

dan menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut

neurodermatitis (lichen simplex chronicus) (Koenig TW, Jones SG, Rencie A,

2016)

2.12 Prognosis

Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya

dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan

dengan dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik,

dermatitis numularisatau psoriasia) . Faktor lain yang membuat prognosis kurang

baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan

dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita (Svecova &

Nemsovska, 2015)

2.13 Profesionalisme

 Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan memberikan obat


dengan dosis yang tepat.
 Kontrol ulang, bila ada keadaan tidak membaik bisa di rujuk ke Dokter

Spesialis

14
BAB III

KESIMPULAN

1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul

setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.

2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan

kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan

kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi

alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.

3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai

dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,

papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit kering,

berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak jelas.

4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji tempel

(patch test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil positif.

15
5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta

nonmedikamentosa. Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk

mengurangi reaktivitas sistim imun dengan terapi kortikosteroid, mencegah

infeksi sekunder dengan antiseptik dan terutama untuk mengurangi rasa gatal

dengan terapi antihistamin. Sedangkan untuk nonmedikamentosa adalah

dengan menghindari alergen .

DAFTAR PUSTAKA

1. Adhi, D., Aida, S. S. D., Aryani, S., Benny, W. E., Detty, K. D., Emmy, D.
S. S., Endi, N., Erdina, P. H., Evita, E. H., Farida, Z., Githa, R., Hanny, N.,
Herman, C., Made, W. I., Irma, B., Kusmarinah, B., Larissa, P., Lili, L.,
Lily, S., … Melani, M. (2018). Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. In Fkui.

2. Batasina, T., Pandaleke, H., & Suling, P. (2017). Profil dermatitis kontak
alergi di poliklinik rsup prof . Dr . R . D . Kandou. Profil Dermatitis
Kontak Alergi Di Poliklinik Rsup Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Periode
Januari – Desember 2013.

3. D., J. W. (2016). Andrew’s Diseases of The Skin Clinical Dermatology


Eleventh Edition. In Elsevier.

4. Eaton J, C. P. and S. R. (2017). What is the best treatment for plantinduced


contact dermatitis. The Journal of Family Practice., 62(6):309, 319.

16
5. Hamman CP, Rodgers PA, S. K. A. (2017). Contact Dermatitis in Dental
Professionals. Effective Diagnosis and Treatment. J Am Dent Assoc, 185-
194.

6. Koenig TW, Jones SG, Rencie A, T. F. (2016). Noncutaneous


manifestations of skin. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine,
158–162.

7. Kostner, L., Anzengruber, F., Guillod, C., Recher, M., Schmid-


Grendelmeier, P., & Navarini, A. A. (2017). Allergic Contact Dermatitis.
In Immunology and Allergy Clinics of North America.
https://doi.org/10.1016/j.iac.2016.08.014

8. Nassau, S., & Fonacier, L. (2020). Allergic Contact Dermatitis. In Medical


Clinics of North America. https://doi.org/10.1016/j.mcna.2019.08.012

9. Prakoso, N. R. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Dermatitis Kontak Pada Pekerja Steam Kendaraan Bermotor Di
Kecamatan Ciputat. E-Journal Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.

10. Svecova, D., & Nemsovska, J. (2015). Contact dermatitis. In Contact


Dermatitis. https://doi.org/10.1093/innovait/inp033

17

Anda mungkin juga menyukai