Anda di halaman 1dari 18

Peran Kearifan Lokal terhadap Pembentukan Karakter

Mayarakat Suku Baduy

Novitasari

Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Indonesia

novi.tasari19@mhs.uinjkt.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menginformasikan pembaca mengenai pengertian kearifan lokal serta
memaparkan perannya terhadap pembentukan karakter masyarakat suku Baduy. Metode yang
digunakan adalah metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan
dengan sumber data berupa teks bacaan melalui jurnal, artikel, buku atau e-book terkait topik yang
akan dibahas. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis agar mendapat informasi dari
berbagai aspek. Hasil penelitian menunjukan bahwa kearifan lokal mengandung gagasan-gagasan
setempat yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Oleh sebab itu, kearifan lokal
sangat berperan penting dalam pembentukan karakter masyarakat suku Baduy. Ini dapat dilihat dari
keseharian masyarakat Baduy yang masih memegang teguh kepercayaan dan adat istiadat nenek
moyang, sehingga menjadi aturan yang senantiasa harus dilakukan sebagai falsafah hidup yang
kemudian menjadi pembentuk karakter mereka. Diantara kearifan lokal yang ada dalam masyarakat
Baduy adalah ajaran utama tentang kesederhanaan dan toleransi terhadap lingkungan disekitarnya
yang mana dari kedua unsur tersebut akan menimbulkan rasa gotong royong dalam kehidupan
mereka. Di era modern ini, masyarakat Baduy masih mempercayai pantangan-pantangan dari
leluhur, seperti: (1) dalam mendirikan rumah tidak boleh menyentuh tanah (2) dalam bertani tidak
boleh menggunakan cangkul (3) dalam ritual Ngaseuk tidak boleh ada suara-suara (4) dalam
berladang, masyarakat Baduy dilarang memperdagangkan hasil panen padi, tetapi jenis tanaman
non-padi diperkenankan. Semuan kearifan lokal ini sudah mendarah daging pada masyarakat
Baduy.

Kata kunci : Kearifan lokal, karakter, suku Baduy

PENDAHULUAN

Cepatnya arus perkembangan zaman membuat manusia dituntut untuk mengikuti


perubahan yang ada, baik itu dalam bidang budaya, sosial, dan sebagainya. Terkadang
perubahan tersebut menjadikan manusia terlena didalamnya, sehingga banyak orang yang
rela bahkan melupakan kebiasaan yang telah diwariskan oleh leluhurnya demi mengikuti
arus perkembangan zaman yang sebenarnya ini keluar dari konteks yang ada. Hal ini
adalah salah satu dampak dari globalisasi di era sekarang yang membuat semuanya terasa
dekat karena kemajuan IPTEK. Di tengah kemajuan zaman seperti itu, tentu kita tidak
boleh melupakan akar budaya yang telah ada, dikarenakan budaya itu mengandung nilai-
nilai yang sangat luhur yang perlu di lestarikan, yang disebut dengan kearifan lokal.
Kearifan lokal merupakan sesuatu yang harus terus digali, disamping tetap menikmati
kebudayaan yang modern. Kearifan lokal tersebut merupakan salah satu landasan bagi
masyarakat dalam beraktivitas, agar menjadi lebih teratur kehidupannya.[1] Keteraturan
tersebut tidak hanya menyangkut hubungan antar manusia tetapi juga dengan lingkungan.

Melupakan kearifan lokal, berarti sama saja telah meninggalkan warisan budaya nenek
moyang yang sangat bernilai tinggi. Dengan menjaga alam dan nilai-nilai budayanya
berarti, kita telah mempertahankan salah satu kearifan lokal karena, bagian yang tak
terpisahkan dalam pembentukan karakter adalah kebiasaan masyarakat adat yang masih
tetap eksis dalam memelihara local wisdom-Nya. Menurut Alwasilah, saat ini di Indonesia
masih banyak masyarakat adat yang menjaga kearifan lokalnya, dan hal itu menjadi
pembentuk karakter hidup mereka. Karena tiap suku mempunyai potensi lokal yang
berbeda maka, nilai-nilai luhur yang di kembangkanpun berbeda. Oleh sebab itu, dalam
artikel ini masyarakat adat yang di maksud peneliti adalah suku Baduy.[2]

Suku Baduy merupakan kelompok etnis masyarakat adat suku Banten di wilayah Jawa
bagian barat, tepatnya di desa Kenakes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak provinsi
Banten. Masyarakat Baduy erat kaitannya dengan segala hal yang alami, ini dapat dilihat
dari lokasi tempat tinggal mereka yang tidak terjangkau oleh transportasi modern, jauh dari
kemajuan peradaban dan terpencil ditengah-tengah batang alam pegunungan dengan
sumberdaya alam (SDA) yang melimpah.[3]

Sebagai salah satu suku adat, dalam kehidupan yang dijalaninya, masyarakat Baduy
memiliki banyak keunikan yang menjadi ciri khas. Dengan memperhatikan keselamatan
hutan maka, konsep pencagaran alam (nature conservation) secara umum telah dijalankan
oleh masyarakat Baduy. Hal ini dikarenakan adanya kesadaran bahwa, kelestarian ladang
akan terjadi apabila mereka menjaga kelestarian hutan, mengingat berladang adalah mata
pencaharian utama warga Baduy.[4]

Kondisi wilayah yang tidak terlalu luas dan cukup dipadati oleh penduduk Baduy,
menuntut mereka untuk melestarikan kearifan lingkungannya. Kesadaran terhadap
kelestarian lingkunagn itu, telah terpupuk didalam diri mereka sejak ratusan bahkan ribuan
tahun yang lalu, melalui kearifan lokal yang diwariskan nenek moyang dari generasi ke
generasi. Sampai saat ini, kearifan lokal tersebut tetap dijaga kemurniannya oleh
masyarakat Baduy sehingga, kita masih dapat menjumpai dan mempelajarinya.[5]

Mengenai kearifan lokal (local wisdom), pada dasarnya, terdapat suatu proses dalam
setiap komunitas masyarakat untuk “menjadikan pintar dan berpengetahuan” termasuk
komunitas masyarakat tradisional sekalipun. Ini dikarenakan adanya keinginan untuk
melangsungkan kehidupan, sehingga secara spontan, masyarakat akan memikirkan cara-
cara untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA)
yang ada misalnya, untuk membuat peralatan rumah tangga dan lainnya.[6]

Dari penelitian Aan Hasanah, menurutnya masyarakat adat Baduy menjadikan mereka
mempunyai karakter yang kuat dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini dapat dilihat dari
perilaku warga yang terus menerus di internalisasi yakni ketaatan pada hukum adat yang
masih kuat, pada lingkungan sangat peduli, masih kokoh dalam bekerjasama, masih
menjaga kemandirian, kesederhanaan, pekerja keras, menjunjung tinggi kejujuran dan
menerapkan sikap demokratis. Semua ini merupaka kearifan lokal yang menjadi nilai etika
inti pada masyarakat adat Baduy. Proses pembentukan karakter seperti ini dilakukan terus
menerus di masyarakat, di rumah, dan di sekolah, sehingga akan menghasikan perilaku
berkarakter.[7]

Sedangkan dari penelitian Amirullah Syarbini dari jurnalnya yang berjudul “Kearifan
Lokal Baduy Banten” mengungkapkan, dalam melaksanakan amanat leluhurnya,
masyarakat Baduy merupakan masyarakat yang taat dan patuh. Berbagai penerapan hukum
adat sangat melekat dalam kehidupan sehari-harinya seperti, mereka diperintahkan agar
selalu menjaga dan memelihara alam dengan tidak merubah apalagi merusaknya. Dalam
kesehariannya mereka selalu membudayakan hidup tolong menolong dan selalu bergotong
royong. Refleksi kebiasaan yang mereka perlihatkan bukan mengada-ngada atau
penampilan belaka, tetapi semua itu merupakan bentuk karakter yang secara terus menerus
ditanamkan melalui proses pendidikan yang panjang pada setiap keturunan mereka dan
keampuhannya telah terbukti meskipun tantangan dari luar terus menyerang.[2]

Pembentukan karakter masyarakat suku Baduy yang berlangsung dari masa ke masa,
didasarkan atas berbagai nilai kebudayaan dari kearifan lokal. Keseluruhan proses tersebut
dapat diketahui melalui berbagai aktivitas masyarakatnya.
Hal ini menjadi sangat menarik untuk dibahas karena, dapat menjadi sumber
pengetahuan dan pembelajaran bagi kita semua supaya lebih bisa menjaga nilai-nilai
tradisi yang telah ada dan bisa mempertahankannya di era modern sekarang ini. Sebab,
kearifan lokal suatu suku merupakan ciri identitas nasional negara Indonesia.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan melakukan penelitian yang
berjudul “Peran Kearifan Lokal terhadap Pembentukan Karakter Mayarakat Suku
Baduy.”

Adapun rumusan masalah yang diajukan adalah, “Apa pengertian kearifan lokal? Serta
bagaimana perannya terhadap pembentukan karakter masyarakat suku Baduy?”. Tujuan
dari penelitian ini adalah menginformasikan pembaca mengenai pengertian kearifan lokal
serta memaparkan perannya terhadap pembentukan karakter masyarakat suku Baduy.

METODOLOGI

Pada penelitian ini, yang menjadi objeknya ialah masyarakat suku Baduy dengan
sumber data berupa teks bacaan melalui jurnal, artikel, buku atau e-book terkait topik yang
akan dibahas. Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif berupa studi kepustakaan penelusuran informasi dan data yang diperoleh
dalam beberapa sumber. Penyusunan dengan menggunakan studi kepustakaan dilakukan
dengan cara, penulis mencoba memahami dan menganalisis terlebih dahulu sumber bacaan
yang dipilih, yaitu dengan mengulang bacaan tersebut beberapa kali, hingga penulis
memahami substansi dari bacaan tersebut demi tersajinya data yang akurat. Agar mendapat
informasi dari berbagai aspek, mengenai isu/masalah yang sedang dicoba untuk dicari
jawabannya penulis akan melakukan pendekatan sosiologis berupa relevansi peran kearifan
lokal terhadap pembentukan karakter masyarakat suku Baduy.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam usaha menyelesaikan karya tulis ini penulis mengumpulkan data dalam bentuk data
kualitatif dari tinjauan-tinjauan data dan pustaka yang relevan terhadap kasus yang menjadi
obyek bahasan yang mendukung dan setema dengan penelitian yang dikaji dan dianalisis.
Kearifan Lokal

Dalam kamus, pengertian kearifan lokal (lokal wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan
(wisdom) dan lokal (tempat). John M. Echols dan Hassan Syadily menyebutkan dalam
kamus inggris-indonesia bahwa wisdom atau kearifan sama dengan kebijaksanaan,
sedangkan lokal adalah setempat. Kearifan lokal mengandung kearifan budaya lokal yaitu
pengetahuan lokal yang dianut dalam jangka waktu lama, diekspresikan dalam tradisi dan
mitos serta sudah sedemikian menyatu dengan system kepercayaan, norma dan budaya.[8]

Kearifan lokal adalah gagasan-gagasan setempat (lokal) yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya, yang tumbuh dan berkembang secara terus menerus yang dapat
didekati dari nilai etis, intelektual, religius, estetis atau bahkan nilai lain seperti teknologi,
ekonomi dan lainnya.

Kearifan lokal juga disebut sebagai suatu sintesa budaya melalui proses yang berulang-
ulang yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui interpretasi dan internalisasi ajaran
agama dan budaya yang menjadi pedoman kehidupan sehari-hari dan disosialisasikan
dalam bentuk norma-norma, berupa tata aturan tak tertulis yang meliputi seluruh aspek
kehidupan dan menjadi acuan masyarakat, dalam bentuk tata aturan yang berkaitan dengan
hubungan antar sesama manusia, misalnya tatakrama dalam kehidupan sehari-hari, aturan
perkawinan, tata aturan yang berkaitan dengan hubungan manusia dan alam semesta
beserta isinya yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam dan tata aturan yang
berkaitan dengan hubungan manusia dan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh gaib.

Dalam „urf dijelaskan bahwa kearifan ada yang memiliki (al-„addah al-ma‟rifah), yang
lawannya adalah al-„addah al-jahiliyyah. Kearifan adat difahami sebagai segala sesuatu
yang diakui akal dan dianggap baik oleh ketentuan agama serta didasari pengetahuan.
Kebudayaan tradisional setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai kearifan lokal, baik yang
tumbuh dari budaya tradisional setempat, sebagai hasil adaptasi budaya dari luar terhadap
tradisi setempat maupun sebagai hasil adopsi budaya dari luar (termasuk adopsi nilai ajaran
agama).

Kearifan lokal terbangun dari pemikiran atau ide setempat yang terinternalisasi secara
turun temurun (mentradisi), mengandung nilai-nilai bijaksana, kebaikan dan kreatif. Nilai-
nilai tersebut diikuti oleh anggota masyarakatnya karena dipercaya mengandung
kebenaran, inilah yang bisa disebut nilai-nilai luhur (adi luhung). Oleh sebab itu dalam
masyarakat menjadi sesuatu yang sangat signifikan.[9] Kearifan lokal dapat difahami
sebagai usaha manusia untuk bersikap dan bertindak terhadap sesuatu, objek atau peristiwa
yang terjadi dengan menggunakan akal budinya (kognisi) dalam waktu tertentu. Ini
merupakan segala sesuatu yang masyarakat lokal lakukan dalam pemenuhan kebutuhan
dan dalam menjawab berbagai masalah yang merupakan pandangan hidup dan ilmu
pengetahuan serta segala bentuk strategi kehidupan.

Kearifan lokal mempunyai arti penting untuk menjaga keberlanjutan kebudayaan,


sekaligus agar kelestariannya terjaga, terutama ditengah-tengah modernisasi atau ynag
sekarang lebih dikenal dengan istilah globalisasi, yang pada kenyataannya globalisasi itu
dapat mengancam nilai-nilai budaya lokal oleh nilai budaya asing yang sangat pesat
berkembang dalam masyarakat baik yang hidup dipedesaan maupun diperkotaan. Makna
nilai kearifan lokal akan ada apabila tetap menjadi rujukan dalam menangani setiap
dinamika kehidupan sosial, keberadaannya justru akan diuji ditengah-tengah kehidupan
sosial yang dinamis. Pemaknaan kearifan lokal sebagai sebuah pemikiran tentang hidup
yang berlandaskan budi yang baik, nalar jernih dan mencakup hal-hal positif serta dapat
diartikan sebagai tabiat, karya akal budi, perasaan mendalam, anjuran untuk kemuliaan
manusia dan bentuk perangai.

Dalam disiplin antropologi, Quantch Wales adalah orang yang pertamakali


mengenalkan istilah local genius, yaitu kegeniusan lokal untuk melokalisasikan budaya
dari luar yang didalamnya terlibat kearifan dan kreativitas untuk menghasilkan kearifan
lokal yang merupakan budaya khas, keduanya mengandung kearifan. Mengenai pengertian
local genius ini, selanjutnya para antropolog membahasnya kembali secara panjang lebar,
diantaranya adalah AH. Harsati Soebadio yang mengatakan bahwa local genius adalah
penyebab suatu bangsa mempu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak
dan kemampuan sendiri yang juga sebagai cultural identity, identitas atau keperibadian
budaya bangsa. I Ketut Gobyak mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah
kebenaran dalam suatu daerah yang telah ajeg atau mentradisi. Kearifan lokal merupakan
nilai-nilai suci firman tuhan yang berpadu dengan berbagai nilai yang ada. Terbentuknya
kearifan lokal merupakan suatu keunggulan budaya masyarakat setempat yang dalam arti
luas sebagai kondisi geografis. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang
meskipun bernilai lokal tetapi harus terus menerus dijadikan pegangan hidup, karena
didalamnya terkandung nilai ynag dianggap sangat universal.
S. Soarsi Geriya mengatakan bahwa kearifan lokal dan keunggulan lokal secara
konseptual merupakan kebijaksanaan manusia ynag bersandar pada filosofi nilai-nilai
etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal dapat
bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga karena merupakan nilai yang
dianggap baik dan benar. Ini terjadi secara berulang-ulang dan mengalami penguatan
(reinforcement). Apabila masyarakat tidak menganggap baik suatu tindakan, maka
penguatan secara terus menerus tidak akan terjadi. Ini apabila ada pemaksaan dari
penguasa, sehingga tidak tumbuh secara alamiah. Sebaliknya, apabila dianggap baik atau
mengandung kebaikan maka akan mengalami pergerakan secara alamiah.

Ada beberapa unsur yang membentuk budaya dan kearifan lokal yaitu: pertama,
manusia; kedua, kebenaran yang telah mentradisi; ketiga, gagasan yang bernilai baik;
keempat, diakui oleh masyarakat. Dengan empat unsur tersebut dapat difahami bahwa
budaya dan kearifan lokal agama tidak terpisahkan, kebenarannya yang mentradisi
terbentuk dari ajaran yang bernilai baik dan diakui oleh masyarakat serta menjadi prinsip
dasar dari semua agama, khususnya agama Islam.

Menurut Prof. Nyoman Sirtha, kearifan lokal memiliki macam-macam bentuk, dapat
berupa nilai, norma, kepercayaan, etika, adat istiadat, hukum adat dan aturan-aturan khas.
Ia hidup dalam berbagai budaya masyarakat sehingga fungsinyapun bermacam-macam,
diantaranya: (1) Untuk mewujudkan manusia arif dan bijaksana (2) Pelestarian dan
konservasi sumber daya alam (3) Pengembangan sumber daya alam (4) Menciptakan
masyarakat harmonis (5) Pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan (6) Bermakna
etika, sosial, politik dan moral (7) Petuah, sastra, kepercayaan dan pantangan (8) Penentu
harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.[10]

Peran Kearifan Lokal terhadap Pembentukan Karakter Masyarakat Suku Baduy

Kearifan lokal memiliki peran yang sangat penting, salah satunya dalam pembentukan
karakter masyarakat suku Baduy, yaitu salah satu suku yang berada di Provinsi Banten.
Penggunaan sebutan urang Baduy atau Baduy untuk menyebut penduduk Desa Kanekes di
lereng pegunungan kendeng-Banten selatan bukan berasal dari mereka sendiri. Pada masa
penjajahan, orang-orang Belandalah yang pertama kali menyebut mereka Badoej, Badoe‟i,
Badoewi, orang Rawayan dan Kanekes. Dan akhirnya, masyarakat luarpun menggunakan
sebutan Baduy untuk menyebut mereka.
Dalam istilah Baduy, ada beberapa alasan yang memiliki relevansi. Pertama, istilah
Baduy didapat dari nama gunung Baduy, yaitu salah satu gunung yang ada diwilayah
mereka. Kedua, karena dianggap pengikut Budha, maka diasosiasikan berasal dari kata
Budha yang berubah menjadi Baduy. Ketiga, kata Baduy muncul dari kata Baduyut,
sejenis pohon beringin yang ada disekitar hutan Baduy. Keempat, istilah Baduy disamakan
dengan mereka yang suka berpindah-pindah, seperti halnya orang komunitas Badawi di
Arab.

Sebutan “Baduy Tangtu” dan “Baduy luar” untuk menyebut “Baduy Panamping”
sekarang ini umum digunakan. Sebagai pewaris asli budaya dan amanat leluhur kerukunan
mereka, “Baduy dalam” menjaga representasi dari masyarakat Baduy. Dalam menutup diri
dari pengaruh-pengaruh luar yang dianggap negatif, serta dalam mempertahankan adat
istiadatnya, mereka menunjukan tingkat ketaatan dan kesadaran komunal. Lokasi Baduy
dalam hanya di tiga kampung, yaitu Cikartawana, Cibeo dan Cikeusik.

Sedangkan Baduy luar menunjukan bahwa mereka adalah salah satu suku bangsa, yang
sama-sama memiliki hak dan kewajiban sama dengan warga negara Indonesia lainnya,
yaitu dengan peran mereka sebagai penjaga, penyangga, penyaring, pelindung dan
sekaligus penyambung silaturahmi dengan pihak luar, sebagai bentuk kerja sama,
penghargaan dan partisipasi aktif dalam kegiatan kenegaraan.

Namun sesungguhnya, sebutan atau sapaan orang Kanekes lebih disenangi orang
Baduy. Mereka biasa pula dengan menyebut wilayah dan asal kampung mereka seperti,
Urang Tangtu (Baduy Tangtu), Urang Cibeo (nama salah satu kampung di Baduy Tangtu),
Urang Panamping (Baduy Panamping), dan Urang Gajeboh (nama salah satu kampung di
Baduy Panamping). Kemudian, ada sebutan Sunda Wiwitan, yaitu nama diri lain dalam
memberi tekanan akan kehadiran mereka sebagai orang sunda pertama. Namun, istilah ini
sekarang digunakan untuk menyebut nama agama mereka. Sekarang ini, mereka lebih
terbiasa menyebut diri sebagai orang Baduy, karena sebutan orang Baduy lebih umum
digunakan.

Letak wilayah Baduy secara geografis pada 6 27‟27”- 6 30‟ Lintang Utara (LU) dan
108 3‟9”- 106 4‟55” Bujur Timur (BT), sedangkan wilayah Baduy secara administratif
termasuk dalam Desa Kanekes-Banten selatan.
Orang Baduy yang tidak tercampur oleh penduduk luar adalah seluruh penduduk Desa
Kanekes. Mereka bertutur dengan menggunakan bahasa Sunda, yang termasuk dalam
kategori dialek Sunda Banten, yakni subdialek Baduy. Subdialek Baduy seolah-olah
tampak berdiri sendiri dengan ciri-ciri tertentu yang sudah tidak ada pada subdialek
lainnya, karena subdialek Banten lainnya dipengaruhi oleh bahasa Jawa-Banten. Ciri-ciri
khusus tersebut adalah kosa kata sendiri, tidak memiliki tinggi rendah, aksen tinggi dalam
lagu kalimat dan jenis, dari struktur kalimat.

Suku Baduy masih setia dengan kesederhanaan, hidup menggunakan penerangan


lilin/lampu minyak (lampu templok) ditengah kehidupan modern yang serba nyaman
dengan listrik, hiburan televisi, kendaraan bermotor dan tempat-tempat hiburan yang
mewah. Segala sesuatunya dihasilkan oleh mereka sendiri dan sederhana, tidak ada
sentuhan modernisasi. Mereka tetap menghormati kehidupan modern yang ada
disekitarnya, meskipun ditengah arus modernisasi. Ajaran utama suku Baduy adalah
kesederhanaan dan toleransi terhadap lingkungan disekitarnya. Rasa gotong royong dalam
kehidupan mereka akan muncul dari kedua unsur tersebut. Untuk mengikuti dan menjaga
tradisi kehidupan yang damai, tidak ada unsur keterpaksaan. Karena semuanya dilakukan
secara bersama-sama, tidak ada rasa iri satu dengan lainnya. Tetap menjunjung tinggi asas
demokrasi dan jarang dijumpai kepemilikan individu karena selalu mengedepankan
kepentingan sosial. Pada suku Baduy, tidak ada kesenjangan ekonomi maupun sosial.

Dalam memasakpun suku Baduy masih mempertahankan ketentuan dan tradisi, yaitu
memasak dengan menggunkan tungku yang terbuat dari batu dialasi tanah liat, karena
memasak dengan api diatas tanah langsung, bagi masyarakat Baduy akan menyakiti bumi
tempat mereka tinggal.

Tumbuhan bambu digunakan masyarakat Baduy untuk peralatan hidup mereka.


Dengan segala kelebihannya, bambu telah menjadi bahan baku bagi semua kebutuhan
hidup manusia. Mulai dari akar hingga pucuk dan daunnya hampir tidak ada dibagian
tumbuhan ini yang tidak bisa dimanfaatkan. Akar bambu digunakan sebagai bahan ramuan
obat, batang bambu dewasa untuk bermacam keperluan bangunan dan pucuk (rebung)
bambu dibuat sayur. Bahkan tanah yang amat subur untuk berladang adalah tanah tempat
bekas rumpun bambu.
Suku Baduy juga mengedepankan gotong royong, kebersamaan dan penuh toleransi
dalam sistem bermasyarakatnya. Suku Baduy melakukan aktivitasnya diladang pada siang
hari, sedangkan dimalam harinya mereka mempunyai tradisi Ngawangkong atau kumpul-
kumpul dengan tetangga ditemani teh dan kopi. Ngawangkong ini bertujuan untuk
mempererat hubungan antar suku Baduy.

Didalam masyarakat Baduy, laki-laki dan perempuan masing-masing mempunyai


peran dan kedudukan yang penting, bahkan keunggulan dalam kehidupan bermasyarakat
dimiliki perempuan. Pada masyarakat Baduy, selain perempuan mempunyai fungsi dan
peran yang sama dengan laki-lakinya, juga mempunyai fungsi dan peran khas yang laki-
laki tidak boleh melakukannya. Didalam masyarakat Baduy, dikenal dengan konsep ambu
yang dalam bahasa Baduy berarti sebagai ibu (wanita). Penggunaan konsep ambu ini
adalah dalam tatanan mikrokosmos (rumah tangga) yang merupakan sebutan orang tua
perempuan (ibu) maupun dalam tatanan alam semesta (makrokosmos). Dalam kedua
tatanan tersebut, fungsi dan peran ambu mirip, yaitu sebagai pengayom, pemelihara dan
pelindung. Oleh karena itu, dalam masyarakat Baduy sosok ambu sagat dihormati.

Dalam kehidupan sehari-hari, ambu Baduy dapat dikatakan mempunyai peran ganda,
yakni diladang dan dirumah tangga. Diladang, dalam menjaga dan memelihara padi, ambu
memegang peranan penting. Dalam rumah tangga, ambu sebagai istri dan ibu dengan
seluruh kerelaan dan kerendahan mengabdikan sehari-harinya untuk keluarga. Hal ini
mendudukan perempuan pada posisi yang penting dalam tatanan makrokosmos maupun
mikrokosmos yang ditunjukan dengan peran, tugas dan fungsi ambu. Perempuan berada
dalam posisi yang lebih terhormat dan tidak menjadi “bawahan” laki-laki. Dengan
menghormati ambu berarti pula menghormati perempuan. Menaati adat serta berbuat
kebajikan sesama makhluk dan lingkungan berarti juga menghargai dan menjunjung
ambu.[5]

Suatu sistem kepemimpinan adat dalam masyarakat Baduy dikenal dengan sebutan
kepuunan. “puun” adalah “pemimpin” tertinggi yang mengatur dan setiap pemimpin harus
berorientasi serta tunduk padanya, yang berdiam di Ciketawarna, Cibeo dan Cikeusik.
Ketiga orang puun tersebut adalah yang melakukan hubungan dengan karuhun dan
dianggap satu kesatuan pemimpin tertinggi semua aspek kehidupan dunia.
Terdapat seorang tanggunan Jaro Dua Welas pada masyarakat Baduy luar atau
panamping. Dia sebagai pelaksana pikukuh Baduy tertinggi bagi warga Panamping dan
berkuasa mutlak sebagai pengawas. Dua belas Jaro ini terdiri dari satu orang Jaro Warega,
tiga orang Jaro Tangtu atau Baduy dalam, tujuh orang Jaro dangka dan satu orang Jaro
pemerintah.

Pada dasarnya, kepercayaan masyarakat Baduy adalah penghormatan pada roh nenek
moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, batasan tunggal, seperti halnya berbagai suku
tradisional di Indonesia. Keyakinan mereka sering disebut agama Sunda Wiwitan atau
Sunda Wiwitan. Yang mana dalam ajaran agama ini, kekuasaan tertinggi berada pada Nu
Ngarsakeun (yang menghendaki), batasan tunggal (yang Maha Esa) atau Sang Hyang
Kersa (yang Maha Kuasa).

Untuk masalah kepercayaan dan keyakinan akan adanya Tuhan tersebut, panembahan
arca Domas/Sasaka Domas, yang berada dihulu sungai Ciujung, ditempatkan sebagai
tempat yang dikeramatkan dan merupakan kiblat bagi mereka. Untuk pemujaan, orang
Baduy mengunjungi tempat tersebut satu tahun sekali, tepatnya dibulan kelima. Biasanya,
dalam proses pemujaan hanya puun saja yang terlibat dan beberapa anggota masyarakat
yang terpilih. Dilingkungan arca Domas tersebut, terdapat bangunan berundak dan
sejumlah menhir dan arca diatasnya, yang merupakan sisa peninggalan zaman
megalitikum, ditempat itu juga terdapat batu berbentuk cekungan atau batu lumpang, yang
didalamnya terisi air hujan dan dipercaya ketika batu lumpang dipenuhi air hujan itu, maka
berkah panen dengan hasil yang baik menghampiri masyarakat Baduy. Sebaliknya,
masyarakat Baduy akan mengalami kegagalan panen jika air didalam batu sedikit/kosong.

Mereka wujudkan dengan bertapa (dengan tidak merubah perilaku dan merusak alam)
dalam hal beribadah kepada Tuhan. Disamping itu, mereka juga mengenal puasa yang pada
tiap bulannya dilakukan sehari. Puasa tersebut dimaksudkan untuk menguji
kemampuannya dalam menahan hawa nafsu pada hal-hal yang bersifat duniawi.

Faktor utama yang mendasari lahirnya nilai-nilai budaya yang sangat erat dengan
pantangan-pantangan dan sudah mendarah daging yaitu agama dan kepercayaan. Sehingga,
unsur-unsur budaya yang datang dari luar, cukup sulit untuk menggeser nilai-nilai budaya
tersebut.
Adapun kitab suci orang Baduy terletak pada isi alam semesta ini dan tidak tertulis
pada kertas. Guru dan aturan kehidupan adalah alam. Agar tercipta kondisi tertib, selaras,
damai, aman dan sejahtera, dituntun dengan pikukuh.

Sunda Wiwitan yang merupakan konstruksi keagamaan masyarakat Baduy, memiliki


ritual-ritual yang bukan hanya sebagai sarana komunikasi dengan sang pencipta, melainkan
juga sebagai bentuk ketaatan dan ketundukan masyarakat Baduy terhadap amanat leluhur
(karuhan).[11]

Masyarakat Baduy mempunyai keyakinan bahwa alam adalah salah satu titipan maha
kuasa yang harus dilestarikan dan dijaga. Hal ini sesuai dengan prinsip filosofis dan ajaran
suku Baduy yaitu “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung‟. Dalam
aturan tersebut nilai yang terkandung adalah konsep mengenai “tanpa perubahan apapun”.
Agar selalu jernih dan bersih, masyarakat Baduy sangat menjaga air, sehingga bisa
digunakan untuk kehidupan sehari-hari, menjaga keseimbangan dan kelestarian alam, ini
menunjukan bukti bahwa masyarakat Baduy hidup berdampingan dengan alam secara
harmonis.[12]

Dalam mendirikan bangunan, teknologi yang dimiliki oleh masyarakat Baduy masih
tergolong sederhana, namun menjunjung tinggi kearifan lingkungan. Bentuk bangunan
rumah Baduy umumnya sama, berupa rumah panjang sederhana dari bahan bambu, kayu,
ijuk dan rumbia. Ukuran rumah Baduy ini hampir sama, yaitu tidak boleh ada yang rendah
atau tinggi. Hal ini bermakna, selama hidup didunia setiap warga Baduy mempunyai
kesetaraan yang sama. Menurut keyakinan orang Baduy, perbedaan hanya akan ada jika
sudah berada dialam setelah meninggal, karena setelah itu bergantung pada amal
kebajikannya didunia.

Secara umum, rumah Baduy yang berbentuk panggung, berkaitan erat dengan
kepercayaan bahwa rumah sebagai pusat yang memiliki kekuatan netral, yang letaknya
diantara dunia atas dan bawah. Dalam mendirikannya, rumah tidak boleh menyentuh tanah
(sebagai bagian dari dunia bawah). Oleh karena itu, rumah ditegakan diatas batu umpak,
yaitu dengan cara memasang tiang-tiang kolong.

Berdasarkan susunan vertikalnya, secara khusus rumah Baduy merupakan cerminan


pembagian jagat raya. Sedangkan dunia bawah dilambangkan dengan kaki atau tiang
(dunia kegelapan, neraka), dunia tengah dilambangkan dengan ruang dan tubuh atau
dinding (dunia kehidupan alam semesta), dan dunia atas dilambangkan dengan kepala atau
atap (dunia abadi, khayangan). Jika rumah menggunakan atap genting, sama artinya
dengan dikubur hidup-hidup (karena genting terbuat dari tanah), jika rumah tanpa kaki
dianggapnya sama saja dengan hidup didunia bawah.[5]

Rumah masyarakat Baduy menghadap kearah selatan dan utara, yang diorientasikan
berdasarkan kondisi geologis lokasi, agar matahari dapat masuk dari arah timur dan barat.
Agar tidak menghalangi cahaya matahari masuk kelokasi sebelah timur, maka hanya diisi
dengan sejumlah kecil rumah. Sedangkan disebelah barat, terdapat perumahan
masyarakat.[13]

Dalam tradisi bangunan tradisional yang berkaitan dengan mitigasi bencana gempa
(lini), letak kearifan lokal masyarakat Baduy ada pada konstruksinya, teknik bangun dan
ikat bangunan serta penggunaan umpak. Bahan yang digunakan dalam konstruksi
bangunan berasal dari lingkungan mereka sendiri, seperti kayu dan bambu. Struktur
bangunan didirikan atas sistem rangka yang terbuat dari tiang persegi empat dan kayu
berupa balok. Anyaman bambu (bilik/gerbig) yang warna dan karakter aslinya dibiarkan
alami, menjadi struktur penutup dinding. Selain itu, struktur penutup juga menggunakan
bambu-bambu yang dibelah pada pengakhiran anyaman bambu. Semua rincian konstruksi
diselesaikan dengan tumpuan, prinsip-prinsip ikatan, tumpuan berpusat, pasak dan
sambung berkait.

Paku dilarang digunakan oleh orang Baduy Tangtu dalam pembuatan rumah. Untuk
pengikat umumnya digunakan bambu dan rotan atau dengan teknik pasak. Bambu yang
dibuat berbentuk lembaran-lembaran yang disebut palukuh digunakan untuk struktur lantai
rumah.

Sementara itu, atap rumbia (kiray) dengan bambu dan rotan sebagai pengikat,
digunakan untuk struktur utama hateup (atap). Struktur rumah akan bergerak secara
dinamis, saat terjadi gempa sehingga terhindar dari kerusakan atau kehancuran.[5]

Seluruh sendi dan relung kehidupan orang Baduy berpedoman dan terjaga pada
pikukuh dan pitutur yang telah diwariskan dan dibuat para karuhun mereka dalam tahun
yang tak terhitung, dari waktu kewaktu. Sumber pikukuh dan pitutur adalah kepercayaan
yang mereka anut, berlaku dan menjadi hukum adat serta tata aturan bagi seluruh
masyarakat Baduy. Dalam melakoni kehidupan sekaligus sebagai wujud tapa (menjaga
perilaku dan penghormatan terhadap tanah mereka), pikukuh dan pitutur-lah yang menjadi
tat tertib dasar.

Tanah Baduy diyakini sebagai pancar bumi (inti jagad), yang harus dilestarikan dan
dijaga serta tidak boleh diubah. Pikukuh dan pitutur sebagai filosofi kehidupan masyarakat
Baduy ( Baduy‟s life philosophy), sekaligus sebagai pedoman hidup (way of life). Pikukuh
menjadi kearifan luhur, dipertahankan melalui praktek dan diwariskan dari generasi
kegenerasi.

Masyarakat yang hidup dengan budaya agraris, khususnya bercocok tanam padi,
mengenal adanya mitologi asal-usul padi. Pada masyarakat Baduy, mitologi tersebut
dikenal dengan mitologi Nyi pohaci Sang Hyang Asri. Mitos ini menjadi bagian dalam
sistem religi masyarakat sunda, termasuk Baduy. Sebagai pemilik padi, Nyi pohaci
dianggap pembawa kesejahteraan. Karena yang menyebabkan orang Baduy bisa hidup dan
tidak mati adalah padi atau pare.

Nyi pohaci tinggal didunia atas, yang menurut kepercayaan masyarakat Baduy disebut
“buana suci alam padang”, yakni suatu lapisan dunia yang terang benderang bermandikan
cahaya dan yang suci tak bernoda. Kegiatan perladangan, khususnya masa penanaman padi
yang oleh orang Baduy disebut “Ngareremokeun” dan yang oleh komunitas luar disebut
“Ngaseuk”, yaitu mengawinkan perjaka bumi yang bergelar weweg sampeg mandala
pageuh dengan Nyi pohaci adalah bukti tingginya penghormatan masyarakat Baduy
terhadap Nyi pohaci.

Upacara adat yang diselenggarakan masyarakat Baduy, sebelum dimulainya


penanaman padi diladang atau dalam bahasa sunda Baduy lama disebut ritual Ngaseuk.
Asal kata Ngaseuk adalah aseuk yang berarti tugal dan Ngaseuk yang berarti menugal,
yaitu pada tanah garapan dibuat lubang kecil. Ritual ini adalah pertanda bahwa prosesi
bercocok tanam padi dimulai. Tahapan sebelum Ngaseuk yaitu Ngahudangkeun
(membangunkan), Nurunkeun benih (menurunkan benih), Ngelamar (makan sirih bersama)
dan Ngareremokeun (mengawinkan). Maksud semua rangkaiannya adalah untuk meminta
kepada Nyi pohaci agar bisa menjaga, memperlancar dan menyuburkan tanaman padi.

Pada malam harinya, masyarakat Baduy berkumpul dihalaman rumah dan memandang
kelangit menunggu munculnya bintang waluku (bintang kideng), tepatnya lewat tengah
malam. Semua masyarakat duduk bersila, ketika sudah muncul dan terlihatnya bintang
waluku, bakul yang berisi benih padi di keluarkan. Bakul itu lalu disimpan ditengah-tengah
setelah diberi kapur sirih, dikelilingi oleh para kokolot, tukang tanam dan pemain
angklung. Kemudian pada acara tersebut, semua yang hadir makan sirih bersama atau
Nyeupah (Ngelamar). Setelah itu, salah seorang kokolot berkata pada para kokolot, dimana
waktunya untuk ritual Ngareremokeun.

Setelah malam hari dilaksanakan ritual Ngareremokeun, dan diiringi alunan musik
angklung, dog-dog lojor, nyanyian dan tarian, pada esok harinya bakul padi dibawa
kehuma. Setibanya di huma, karena dalam ritual Ngaseuk harus dalam suasana hening,
maka alunan musik angklung berhenti begitupun yang menari. Sebagai penghormatan dan
penghargaan pada Nyi pohaci, dilakukan ritual lain yaitu Kawalu dan Ngalaksa.

Bagi masyarakat Baduy, ritual Ngaseuk, Ngawalu dan Ngalaksa tidak hanya sekedar
sebuah upacara seremonial semata, akan tetapi sebagai sebuah bentuk penghormatan
kepada karuhun (nenek moyang), yakni sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan
masyarakat Baduy selama ini.

Dalam menjalankan tahapan-tahapan berladang, sejak ribuan tahun lalu hingga dewasa
ini komunitas Baduy senantiasa menggunakan kalender tradisioanal. Faktor penentu
penanggalan kalender pertanian tradisional tersebut antara lain, berdasarkan pedoman pada
pemutaran rasi bintang, matahari, masa berbuah atau berbunga jenis-jenis tumbuhan
tertentu dan kehadiran suatu jenis serangga khusus.

Salah satu strategi penduduk Baduy menghadapi tekanan lingkungan adalah dengan
menanam beraneka ragam varietas padi lokal. Misalnya, diharuskan menanam padi
sekurang-kurangnya 5 varietas padi bagi penduduk Baduy yang memiliki lahan cukup luas
(kira-kira 0,5 ha). Ini sudah menjadi kewajiban secara adat, bahwa 3 varietes padi sakral
tidak boleh bersinggungan satu sama lain, sehingga harus ditanam secara khusus di suatu
petak ladang secara terpisah. Akibat kebiasaan itu, maka puluhan varietas padi lokal
ditanam penduduk Baduy setiap tahunnya diberbagai petak ladang, di berbagai daerah di
Baduy dalam dan Baduy luar.

Secara budaya, strategi lainnya yang dilakukan penduduk baduy adalah dengan
menanam aneka ragam tumbuhan non-padi dicampur dengan padi dilahan-lahan ladang
mereka. Fungsinya adalah sebagai tambahan pangan pokok, sayur, bumbu masak, buah-
buahan, bahan obat-obatan, kayu bakar dan bangunan. Sehingga apabila terjadi kekeringan
dan panen dari tanaman padi mengalami kegagalan, maka penduduk Baduy masih dapat
memanen hasil jenis-jenis non-padi.[14]

Dalam pertanian,ada beberapa larangan yang harus dipatuhi, diantaranya, saat


mengolah tanah dilarang menggunakan cangkul, larangan menanam singkong, dalam
pemberantasan hama dan pemupukan tanaman dilarang menggunakan bahan kimia, tetapi
harus secara tradisional dan pada hari senin, kamis dan sabtu dilarang pergi keladang.[4]

Bagi masyarakat suku Baduy, hutan adalah titipan yang apabila masih menginginkan
kehidupannya terus berkelanjutan, maka harus dijaga. Masyarakat Baduy mempunyai cara
tersendiri untuk melindungi hutan yang merupakan bagian dari norma adat yang mereka
miliki dan sebagai etika yang harus dilaksanakan. Hutan akan tetap terjaga dan terpelihara
kelestariannya melalui etika lingkungan. Karena itu, masyarakat Baduy menjalankannya
sebagai warisan budaya melalui tradisi. Dengan demikian, etika lingkungan dianggap
memiliki nilai yang tinggi sebagai hasil dari kebudayaan yang terbentuk didalam
kehidupan sehingga harus dijalankan.[15]

Dalam pengobatan penyakit, masyarakat Baduy masih mempertahankan pengetahuan dan


kearifan lokalnya. Bagi mereka hal itu termasuk warisan tradisional yang diturunkan dari
generasi kegenerasi. Pengetahuan orang tua dalam memanfaatkan tanaman-tanaman
tertentu disekitarnya untuk mengobati berbagai penyakit, telah diajarkan kepada anak
mereka sejak kecil. Tanaman-tanaman tersebut bisa didapatkan di sekitar ladang, hutan
atau sepanjang jalan menuju hutan dan ladang. Misalnya dalam mengobati penyakit ringan,
masyarakat Baduy biasa menggunakan daun jambu biji untuk mengobati sakit perut, untuk
luka menggunakan daun jampang pahit dan untuk menghilangkan pegal-pegal
menggunakan tanaman capeuk. Dalam pengobatan yang dilakukan oleh penyembuh-
penyembuh tradisional tersebut, juga disertai jampi-jampi atau mantra-mantra tertentu.[6]

KESIMPULAN

Dalam kamus, pengertian kearifan lokal (lokal wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan
(wisdom) dan lokal (tempat). Kearifan lokal adalah gagasan-gagasan setempat (lokal) yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya, yang tumbuh dan berkembang secara
terus menerus yang dapat didekati dari nilai etis, intelektual, religius, estetis atau bahkan
nilai lain seperti teknologi, ekonomi dan lainnya
kearifan loakal sangat berperan penting terhadap pembentukan karakter masyarakat
suku Baduy, misalnya dalam memasak, suku Baduy masih mempertahankan ketentuan dan
tradisi yaitu memasak dengan menggunkan tungku yang terbuat dari batu dialasi tanah liat,
karena memasak dengan api diatas tanah langsung, bagi masyarakat Baduy akan menyakiti
bumi tempat mereka tinggal. Dalam kepercayaan, yaitu Sunda Wiwitan yang merupakan
konstruksi keagamaan masyarakat Baduy, memiliki ritual-ritual yang bukan hanya sebagai
sarana komunikasi dengan sang pencipta, melainkan juga sebagai bentuk ketaatan dan
ketundukan masyarakat Baduy terhadap amanat leluhur (karuhan). Dalam pertanian, ada
beberapa larangan yang harus dipatuhi, diantaranya, saat mengolah tanah dilarang
menggunakan cangkul, larangan menanam singkong, dalam pemberantasan hama dan
pemupukan tanaman dilarang menggunakan bahan kimia, tetapi harus secara tradisional
dan pada hari senin, kamis dan sabtu dilarang pergi keladang. Semua ini sangat di jaga
oleh masyarakat Baduy sebagai warisan budaya nenek moyang yang kemudian menjadi
ciri khas mereka sebagai suku adat.

PENGAKUAN

Penulis menyadari dalam proses penulisan artikel ini banyak sekali hambatan dan
kekurangan, namun atas kehendak Allah SWT dan bantuan dari berbagai pihak,
alhamdulillah artikel ini dapat diselesaikan sehingga menjadi sempurna. Oleh sebab itu,
penulis ucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Zubair, M.Ag, selaku dosen pembimbing
yang telah berkenan membimbing penulis, memberikan ilmu dan solusi pada setiap
permasalahan serta kepada teman-teman terutama kelas 2 BSA-A yang telah mendukung
dan membantu dalam penyelesaian artikel ini. Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak dan kalangan.

REFERENSI

[1] A. Pratama dan A. Restiyadi, Arkeologi dan Karakter Bangsa, 2012 ed. yogyakarta:
Balai Arkeologi Medan, 2020.
[2] A. Syarbini, “Kearifan Lokal Baduy Banten,” Refleksi, vol. 14, no. 1, hlm. 55–74,
2015.
[3] S. Suparmini, S. Setyawati, dan D. R. S. Sumunar, “Pelestarian Lingkungan
Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal,” Jurnal Penelitian Humaniora, vol. 18,
no. 1, 2013.
[4] I. Sugiwa, “Pengembangan Pariwisata Berbasis Keunikan Penduduk Lokal di
Wilayah Banten (Studi di Wilayah Baduy),” Epigram, vol. 12, no. 2, 2015.
[5] C. E. Permana, I. P. Nasution, dan J. Gunawijaya, “Kearifan Lokal tentang Mitigasi
Bencana pada Masyarakat Baduy,” Hubs-Asia, vol. 10, no. 1, 2012.
[6] R. C. E. Permana, “Masyarakat Baduy dan Pengobatan Tradisional Berbasis
Tanaman,” Wacana, vol. 11, no. 1, hlm. 81–94, 2009.
[7] A. Hasanah, “Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal pada
Masyarakat Minoritas (Studi Atas Kearifan Lokal Masyarakat Adat Suku Baduy
Banten),” ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, vol. 12, no. 1, hlm. 209–228, 2012.
[8] A. R. Yunus, “Nilai-Nilai Islam dalam Budaya dan Kearifan Lokal (Konteks Budaya
Bugis),” Rihlah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan, vol. 2, no. 01, hlm. 1–12, 2015.
[9] S. Sartini, “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati,” Jurnal
Filsafat, vol. 14, no. 2, hlm. 111–120, 2004.
[10] L. Lelly Qodariah, “Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga
sebagai Alternatif Sumber Belajar,” Socia Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, vol. 10, no. 1,
hlm. 10–20, 2013.
[11] S. Nadroh, “Pikukuh Karuhan Baduy Dinamika Kearifan Lokal Ditengah
Modernitas Zaman,” Jurnal PASUPATI, vol. 5, no. 2, hlm. 196–216, 2018.
[12] I. Suryani, “Menggali Keindahan Alam dan Kearifan Lokal Suku Baduy (Studi Kasus
pada Acara Feature Dokumenter „Indonesia Bagus‟ di Stasiun Televisi Net. TV),”
Musãwa Jurnal Studi Gender dan Islam, vol. 13, no. 2, hlm. 179–194, 2014.
[13] M. Widyarti, B. I. Setiawan, H. S. Arifin, dan A. S. Yuwono, “Konsep Ecohouse
pada Rumah Baduy Dalam,” Jurnal Keteknikan Pertanian, vol. 25, no. 2, 2011.
[14] J. Iskandar, “Mengkaji Kearifan Ekologi Komunitas Baduy dalam Menghadapi
Kekeringan,” Sosiohumaniora, vol. 6, no. 2, hlm. 108, 2004.
[15] G. K. Pasya, “Perlindungan Hutan Melalui Kearifan Lokal,” Jurnal Geografi Gea,
vol. 7, no. 1, 2007.

Anda mungkin juga menyukai