Anda di halaman 1dari 5

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PEDESAAN DAN PERKOTAAN (PBBP2)

Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (PBB P2) adalah pajak atas bumi dan/atau
bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. (UU No. 28 Tahun 2009
Pasal 1 ayat 32). Dasar hukum PBB P2 adalah UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah.
DASAR HUKUM UU No. 28 Perda Kota Surabaya No. 10 Tahun
PELAKSANAAN PBB-P2 Tahun 2009 2010 (Pajak Bumi dan Bangunan)
Perkotaan)
SUBJEK PBB P2
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi
dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
Bangunan. (Pasal 78 ayat 1 dan 2)

OBJEK PBB P2 (PASAL 77)


Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan, (ayat 1). Dimana Bumi adalah tanah dan
perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten atau kota. Bangunan  adalah hotel/ pabrik, jalan tol, kolam
renang, pagar mewah, tempat olahraga, dermaga, taman mewah, kilang minyak/air/gas, Menara.
Menurut pasal 7 ayat 2, Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah:
a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan
emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;
b. jalan tol;
c. kolam renang;
d. pagar mewah;
e. tempat olahraga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i. menara
Sedangkan menurut ayat 3, Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan adalah objek pajak yang:
a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan
yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan
f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Dimana wajib pajak tersebut ditetapkan
dengan peraturan daerah (ayat 4 dan 5)
TARIF PBB P2 (PASAL 80 AYAT (1) DAN (2)
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% dan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
DASAR PENGENAAN DAN PERHITUNGAN PBB P2 (PASAL 79 DAN 81)
Menurut Pasal 79, Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah NJOP. Tarif
NJOP adalah Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar dimana jika
tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui: perbandingan harga dengan objek lain yang
sejenis; atau nilai perolehan baru; atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti. Besarnya NJOP ditetapkan setiap 3
(tiga) tahun oleh kepala daerah, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai
dengan perkembangan wilayahnya.
PERHITUNGAN (PASAL 81)
PBB P2 = TARIF X DASAR PENGENAAN PAJAk
PBB P2 = TARIF X (NJOP - NJOPTKP)
Contoh:
Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa:
- Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp300.000,00/m2;
- Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp350.000,00/m2;
- Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp50.000,00/m2;
- Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp175.000,00/m2.
Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
1. NJOP Bumi: 800 x Rp300.000,00 = Rp240.000.000,00
2. NJOP Bangunan :
a. Rumah dan garasi 400 x Rp350.000,00 = Rp140.000.000,00
b. Taman 200 x Rp50.000,00 = Rp10.000.000,00
c. Pagar (120 x 1,5) x Rp175.000,00 = Rp 31.500.000,00 +
Total NJOP Bangunan Rp181.500.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp10.000.000,00
Nilai Jual bangunan Kena Pajak = Rp171.500.000,00 +
3. Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak = Rp411.500.000,00
4. Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah 0,2%.
5. PBB terutang: 0,2% x Rp411.500.000,00 = Rp823.000,00

TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN PBB P2 (PASAL 101 & 102)
Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling
lama 30 hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT
oleh Wajib Pajak. SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan sejak tanggal diterbitkan. Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan
yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan diatur dalam Peraturan
Kepala Daerah. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar
oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
SAAT, TEMPAT DAN TAHUN PAJAK TERUTANG (PASAL 82)
tahun :1 tahun kalender yaitu Pada 1 Januari-31 Desember
Saat : berdasarkan keadaan objek pajak Pada 1 Januari
Tempat : Di wilayah daerah yang meliputi letak objek pajak
KEBERATAN (PASAL 103)
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas
suatu: SPPT; SKPD; SKPDKB; SKPDKBT; SKPDLB; SKPDN; dan Pemotongan atau pemungutan oleh
pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan daerah dimana Keberatan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Keberatan harus
diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal dan Keberatan dapat diajukan apabila
Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak. Tanda penerimaan
surat keberatan yang diberikan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat
keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.
BANDING (PASAL 105 DAN 106)
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan
mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. Pengajuan permohonan banding
menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan
Banding. Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya,
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk
paling lama 24 bulan. Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)


Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan
(Pasal 1 ayat (41)). Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
SUBJEK PPHTB (PASAL 86)
Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang
memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
OBJEK BPHTB (PASAL 85)
Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukan pembeli dalam lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha; atau
13) hadiah.
b. pemberian hak baru karena:
1) kelanjutan pelepasan hak; atau
2) di luar pelepasan hak.
Hak atas tanah adalah:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
TARIF BPHTB (PASAL 88 AYAT (1) DAN (2))
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dan
ditetapkan oleh peraturan daerah.
DASAR PENGENAAN DAN PERHITUNGAN BPHTB (PASAL 87)
Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak
(NPOP). Nilai Perolehan Objek pajak dalam hal: jual beli adalah harga transaksi; tukar menukar adalah
nilai pasar; hibah adalah nilai pasar; hibah wasiat adalah nilai pasar; waris adalah nilai pasar; pemasukan
dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
adalah nilai pasar; peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
adalah nilai pasar; pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; penggabungan usaha adalah nilai
pasar; peleburan usaha adalah nilai pasar; pemekaran usaha adalah nilai pasar; hadiah adalah nilai pasar;
dan/atau penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Apabila NPOP diatas tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan
dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP
PBB.Apabila NJOP PBB belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri. Besarnya Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 untuk setiap
Wajib Pajak. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang
masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke
bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan paling rendah sebesar Rp300.000.000,00.
TATA CARA PEMBAYARAN BPHTB
Menurut KMK Nomor 517/KMK.04/2000 jo PMK Nomor 168/PMK.03/2007 tentang Penunjukan Tempat
Dan Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pasal 1, Tempat Pembayaran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Kantor Pos dan atau bank Badan Usaha milik Negara atau
Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
menerima pembayaran atau penyetoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dari Wajib Pajak dan
memindahkan saldo penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ke Bank Operasional V Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Bank Operasional V Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan untuk menerima pemindahbukuan saldo penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan dari Tempat Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta melaksanakan
pembagian dan pemindahbukuan saldo penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ke
rekening kas negara dan rekening kas daerah yang berhak. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang ke kas negara melalui Tempat Pembayaran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan
bangunan.
SAAT, TEMPAT DAN TAHUN PAJAK TERUTANG (PASAL 90)
Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk: jual beli adalah
sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta; hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; hibah wasiat adalah
sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan
mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan; pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; putusan hakim adalah sejak tanggal
putusan pangadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; pemberian hak baru atas Tanah sebagai
kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian
hak; penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; peleburan usaha adalah
sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta; hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan lelang adalah
sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang. Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya
perolehan hak. Tempat Pajak yang terutang adalah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau
Kotamadya Daerah Tingkat II, atau Propinsi Daerah Tingkat I untuk Kotamadya Administratif yang
meliputi letak tanah dan atau bangunan.
KEBERATAN
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Dirjen Pajak atas : SKBKB, SKBKBT, SKBLB dan
SKBN. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak
yang terhutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan -alasan yang jelas. Keberatan harus
diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat ketetapan, kecuall
apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar
kekuasaannya. Keberatan yang tidak memenuhi syarat tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga
tidak dipertimbangkan. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal
Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda
bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak. Apabila diminta oleh Wajib Pajak
untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis
hal-hal yang menjadi dasar pengenaan Pajak. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua
belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
Sebelum Surat Keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan
tertulis. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau
sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang. Apabila jangka waktu
sebagaimana dimaksud dimuka telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan,
keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
BANDING
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap
keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Permohonan Banding diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3
bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan surat keputusan tersebut. Pengajuan
permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Anda mungkin juga menyukai