Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pemukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota -
kota di Indonesia bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya, serta kawasan
ini merupakan bagian yang terabaikan dalam pembangunan perkotaan. Penyebab
tumbuhnya permukiman kumuh akibat tidak seimbangnya pertambahan jumlah
perumahan yang disediakan di kota dengan pertumbuhan penduduknya. Kekurangan
jumlah rumah ini biasanya diakibatkan karena terjadinya pertumbuhan jumlah penduduk
yang meningkat pesat ataupun karena urbanisasi. Urbanisasi tersebut timbul akibat
adanya perkembangan ekonomi kota yang pesat. Seringkali keberadaan mereka
diperkotaan tidak diimbangi dengan kemampuan ability yang memadahi. Melalui
kompetisi untuk mendapatkan pekerjaan sangat ketat dan jumlah lapangan pekerjaan
sangat terbatas. Hal ini menyebabkan sebagian besar kaum urban mengalami kegagalan.
Para kaum urban yang gagal, biasanya tidak mampu membeli rumah yang layak. Sehingga
mereka terpaksa harus berada di tempat-tempat yang tidak layak.

Pada umumnya permukiman kumuh juga diakibatkan ketidakteraturan struktur


ruang. Adakalanya suatu permukiman tidak sesuai atau tidak berfungsi sebagai mana
mestinya. Seringkali suatu permukiman bergeser fungsinya selain untuk bermukim juga
dijadikan sebagai tempat usaha sehingga penggunaan bangunannya dapat berfungsi
sebagai tempat hunian, tempat usaha atau tempat campuran. Kondisi ini dapat kita lihat
dari perubahan permukiman sederhana yang berlokasi dekat pasar, menjadi tempat
usaha, sehingga seringkali lokasi pasar sudah berpindah masuk ke lokasi perumahan
membentuk pasar kilat. Situasi semakin merangsang penghuni perumahan sederhana
untuk merubah pemanfaatan rumah tinggal menjadi rumah tempat usaha, yang akhirnya
model rumah menjadi berubah. Sempadan bangunan tidak ada lagi, ruang terbuka tidak
ada lagi, semua dibangunkan ruang sebagai tempat usaha. Suasana privasi tidak lagi
terdapat di permukiman tersebut. Hal ini disebabkan karena jumlah penghuni
menempati rumah tinggal semakin bertambah.Pada umumnya terdapat kebiasaan untuk
mengajak saudara-saudara mereka dari kampung untuk bekerja dan tinggal di kompleks
permukiman ini. Sehingga terciptalah permukiman dengan kepadatan penduduk tinggi
dan situasi ini memberi kesan kumuh pada suatu permukiman.

Berdasarkan RPJMN Tahun 2015-2019, terdapat sasaran pembangunan kawasan


permukiman secara nasional melalui pencapaian target akses universal untuk memenuhi
kebutuhan 100% akses sanitasi, zero (nol) hektar kumuh, dan 100% akses air minum.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Direktorat Jenderal Cipta
Karya menyelenggarakan berbagai program untuk mendukung target nasional tersebut.

Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) merupakan salat satu program yang
diarahkan untuk menangani permasalahan permukiman kumuh, melalui peningkatan
akses terhadap pelayanan dasar masyarakat dan infrastruktur lingkungan permukiman
perkotaan. Program ini memiliki target pengurangan kumuh seluas 23.656 hektar dari
38.431 hektar yang menjadi target nasional. Peningkatan kualitas infrastruktur
permukiman dilakukan melalui pendekatan skala lingkungan dan skala kawasan dengan
sumber pembiayaan dari pinjaman luar negeri. Pelaksanaan kegiatan skala kawasan Akan
dilakukan di 94 kota/kabupaten prioritas, salah satunya adalah Kota Samarinda.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat


No.2/PRT/M/2016, tentang Peningkatan Kualitas terhadap Permukiman Kumuh dan
Perumahan Kumuh, Direktorat Jenderal Cipta Karya menginisiasi kolaborasi berbagai
pihak neutral antara lain pemerintah daerah, swasta dan masyarakat untuk mewujudkan
permukiman layak huni.

Pemerintah Kota Samarinda melalui Surat Keputusan Walikota Samarinda Nomor


413.2/222/HK.KS/VI/2018 tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan
Permukiman Kumuh di Kota Samarinda telah menetapkan luasan kumuh sebesar 133,33
ha terdapat di 7 Kecamatan. Rencana aksi penanganan permukiman kumuh kota
Samarinda dituangkan dalam memorandum program Rencana Kawasan Permukiman
Kumuh Perkotaan (RKPKP), diantaranya rencana penataan kawasan prioritas yaitu
Kawasan Kumuh Karang Mumus 1 – Segmen Perniagaan lokasi Kelurahan Dadimulya
(Kecamatan Samarinda Ulu) dan Kelurahan Bandara (Kecamatan Sungai Pinang) Kota
Samarinda dalam penyelesaian pekerjaan Review Land Aquicition resettlement Action
plan (LARAP) pada Februari 2019 dan tahap pelaksanaan infrastruktur di tahun 2019.

Permasalahan utama permukiman kumuh Kawasan Kumuh Karang Mumus 1 –


Segmen Perniagaan adalah ketidakteraturan bangunan akibat pertumbuhan permukiman
illegitimate di bantaran sungai dan kepadatan bangunan serta konstruksi bangunan yang
tidak sesuai persyaratan teknis. Kawasan ini rentan terjadi bencana banjir dan kebakaran
rule disebabkan kepadatan permukiman yang tinggi, akses jalan permukiman belum
memadai dan tidak sesuai persyaratan teknis, serta jaringan drainase yang belum
terkoneksi dengan baik.
1. Sungai Karang Mumus berstatus tercemar berat, akibat pemanfaatan fungsi sungai
yang salah oleh sebagian besar permukiman disekitarnya. Kondisi ini Akan berdampak
pada perkembangan kota di Masa depan.
2. Dengan kondisi air sungai yang tidak layak, warga masih memanfaatkan air sungai
Karang Mumus untuk kebutuhan sehari hari, sehingga kesehatan masyarakat sangat
rentan terjangkit berbagai macam penyakit.
3. Ketidakteraturan bangunan di sepanjang bantaran sungai berpengaruh pada buruknya
wajah kawasan pada lingkup kecil, dan buruknya wajah kota pada skala luas.
4. Ketidakteraturan bangunan di sepanjang bantaran sungai menyebabkan kegiatan
normalisasi sungai dalam rangka pengendalian banjir terhambat.

Untuk mengatasi permasalahan kumuh tersebut, Pemerintah Kota Samarinda


melaksanakan Penataan Kawasan Kumuh Karang Mumus one – Segmen Perniagaan.
Penataan Kawasan membutuhkan pengadaan tanah dan pemukiman kembali Review
Land Aquicition resettlement Action set up (LARAP) warga terdampak. Untuk mengelola
potensi dampak sosial tersebut disusun Rencana Pengadaan Tanah dan Pemukiman
Kembali.
2. Kepadatan Penduduk Di Kota Samarinda

Kepadatan Penduduk di Samarinda Samarinda merupakan Ibukota provinsi Kalimantan


timur, sebagai ibukota dari salah satu provinsi terluas di indonesia menjadikan Samarinda
sebagai pusat dari berbagai kegiatan penunjang kehidupan di Provinsi Kalimantan timur
Timur menyebabkan Samarinda menjadi salah satu tujuan utama perpindahan
penduduk. Dengan semakin padatnya penduduk membuat Provinsi Kalimantan Timur
mengalami persebaran penduduk yang tidak merata terutama di Samarinda.

Dari data tabel diatas Samarinda memiliki jumlah penduduk cukup banyak
dibandingkan dengan kota/kabupaten lainnya meskipun terjadi penurunan pertumbuhan
penduduk, dengan jumlah penduduk rule cukup banyak hal tersebut tidak setimpang
dengan luas wilayah kota ini sendiri, perbandingan luas wilayah dan penduduk antara
kota samarinda dan kabupaten-kabupaten lain di provinsi Kalimantan Timur sangat tidak
seimbang. Menurut Badan Pusat Statistik, Samarinda memiliki luas wilayah 1,16% dengan
penduduknya yang mencapai 46,60% persen dari seluruh Provinsi Kaltim.
Dengan pertumbuhan penduduk rule tidak diimbangi dengan lahan yang memadai
dan mencukupi, hal tersebut memicu permukimanpermukiman liar yang terbilang kumuh
Akan terbangun, ada beberapa permukiman rule menjadi titik permukiman kumuh di
Samarinda. Maka dari itu Samarinda membutuhkan permukiman untuk mewadahi
penduduk-penduduk tersebut dengan memanfaatkan lahan yang masih ada sehingga
luas wilayah yang lainnya dapat digunakkan dengan hal penting yang menunjang Kota
Samarinda itu sendiri.

3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal berikut ini :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya permukiman kumuh
di wilayah Kota Samarinda.
2. Untuk mengetahui tingkat kekumuhan permukiman di wilayah Kota Samarinda.
3. Untuk mengetahui konsep pengendalian permukiman kumuh di wilayah Kota
Samarinda.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini ialah untuk menentukan arahan pengendalian permukiman


kumuh. Hal ini dilakukan supaya permukiman kumuh tersebut jumlahnya tidak semakin
banyak dan masyarakat tersebut memperoleh kehidupan yang layak dan sehat. Dan hasil
penelitian ini nantinya diharapkan bisa menjadi masukan masukan oleh masyarakat,
pemerintah, dan swasta dalam mengatasi permasalahan yang sama.
5. Sistematika dan Pembahasan

Untuk memudahkan dalam penulisan penelitian ini, maka dibuat susunan kajian
berdasarkan metodologinya, dalam bentuk sistematika penulisan:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pertama ini berisi tentang latar belakang, tujuan penelitian dan manfaat
penelitian dan sistematika pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab kedua ini berisi tentang kajian literatur terutama mengenai definisi
Pengertian Permukiman, Faktor Dalam Permukiman, Aspek Permukiman , Faktor-faktor
Penentu Pengadaan Perumahan, Pengertian dan Karakteristik Pemukiman Kumuh ,
Faktor-faktor Penyebab Tumbuhnya Permukiman Kumuh yang meliputi Faktor Prasarana
dan Sarana Dasar, Faktor Sosial Ekonomi, Faktor Sosial Budaya., Faktor Tata Ruang,
Faktor Aksesibilitas, serta Faktor Pendidikan

BAB III METODE PENELITIAN

Pada bab ketiga ini terdiri dari lokasi penelitian serta teknik pengumpulan data

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab keempat ini dipaparkan gambaran umum wilayah studi yang meliputi
gambaran umum WILAYAH YANG DIPILIH Aspek Fisik Dasar, Penggunaan Lahan, Aspek
Kependudukan, Aspek Sosial Budaya.Evaluasi Indikator Tingkat Kekumuhan Lokasi Hasil
Evaluasi Pembahasan Tingkat Kekumuhan Kawasan Permukiman Kumuh di lokasi, Konsep
Penataan Kawasan Permukiman Kumuh

BAB V PENUTUP

Pada bab kelima ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sebagai langkah
lebih lanjut

BAB VI DAFTAR PUSTAKA

Pada bab Keenam ini berisi sumber yang dijadikan referensi dalam melakukan
penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. PERMUKIMAN

1.1. Pengertian Permukiman


 
Pengertian permukiman menurut kamus besar Indonesia (1989; 569) adalah
daerah tempat penduduk bermukim. Sedangkan pengertian permukiman berdasarkan
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman adalah
bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan
maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan.

Kata permukiman merupakan sebuah istilah yang terdiri atas dua kata yang
mempunyai arti yang berbeda, yaitu :
1. Isi, mempunyai implementasi yang menunjuk kepada manusia sebagai penghuni
maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya.
2. Wadah, menunjukkan fisik hunian terdiri dari alam dan elemen buatan manusia

Program penataan permukiman yang dilakukan oleh pemerintah sebagai salah


satu bagian dari kebijaksanaan dalam menanggulangi masalah-masalah permukiman
bertujuan untuk:
1. Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan kebutuhan dasar
manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat,
aman, serasi dan teratur.
3. Memberi arah pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional.
4. Mewujudkan rumah yang layak dalam lingkungan yang aman, sehat, dan teratur.
5. Memberi arah panduan mewujudkan perumahan dan permukiman yang merupakan
kebutuhan dasar manusia dalam rangka pemerataan permukiman dan sarana umum,
ditinjau pula dari beberapa hal antara lain, hanya beberapa rumah terletak di gang-
gang dan sepanjang aliran sungai pola rumahnya tidak teratur.

1.2. Faktor Dalam Permukiman

Agar terciptanya tertib pembangunan permukiman, terdapat lima faktor utama


yang saling berkaitan dan harus dijadikan pokok perhatian, yaitu (Doxiadis dalam
Budihardjo, 1985:52-54):
1. Alam, menyangkut tentang pola tata guna tanah, pemanfaatan dan
pelestarian sumber daya alam, daya dukung lingkungan serta taman, area
rekreasi atau olahraga.
2. Manusia, antara lain menyangkut tentang pemenuhan kebutuhan fisik atau fisiologis,
penciptaan rasa aman dan terlindung, rasa memiliki lingkungan (handarbeni) serta
tata nilai dan estetika.
3. Masyarakat, menyangkut tentang partisipasi penduduk, aspek hukum,
pola kebudayaan, aspek sosial ekonomi, dan kependudukan.
4. Wadah atau sarana kegiatan, menyangkut tentang perumahan, pelayanan umum
dan fasilitas umum.
5. Jaringan prasarana, menyangkut utilitas, transportasi dan komunikasi

1.3. Aspek Dalam Permukiman

Suatu permukiman hendaknya mengikuti kriteria bagi permukiman yang baik,


dengan memenuhi hal-hal berikut (Silas, Johan;1990):

1. Aspek fisik, meliputi:


 Letak Geografis, yaitu aspek yang menentukan keberhasilan dan perkembangan
dari suatu kawasan.
 Lingkungan alam dan binaan, yaitu aspek lingkungan alam dan binaan yang akan
sangat mempengaruhi kondisi permukiman serta kehidupan penghuninya.
 Sarana dan prasarana lingkungan, yaitu penyediaan sarana dan prasarana akan
mendukung kegiatan dan kehidupan masyarakat dalam permukiman tersebut.

2. Aspek non fisik, meliputi:


 Aspek politik, yang termasuk kebijaksanaan yang mengatur kawasan permukiman,
keberadaan lembaga-lembaga desa dan sebagainya.
 Aspek ekonomi, yaitu aspek yang meliputi kegiatan yang berkaitan dengan mata
pencaharian masyarakat.
 Aspek sosial, yaitu aspek yang meliputi kehidupan sosial masyarakat, bertetangga
dan sebagainya.
 Aspek budaya, yaitu aspek yang berkaitan dengan kehidupan adat istiadat,
kehidupan beragama dan kebiasaan bekerja.

Adapun faktor yang berpengaruh terhadap permukiman serta aspek fisik dan
aspek non fisik permukiman merupakan tinjauan pustaka yang akan digunakan dalam
menentukan variabel-variabel dalam analisis faktor yang akan mempengaruhi arahan
penataan permukiman di Rusunawa Waru Gunung..

1.4. Faktor-Faktor Penentu Pengadaan Perumahan

Faktor- faktor yang mempengaruhi upaya pengadaan perumahan dan


permukiman antara lain :

1. Faktor kebutuhan
Menyangkut besarnya kebutuhan berkaitan dengan jumlah penduduk yang
membutuhkan perumahan baru untuk menampung kehidupannya termasuk :

 Kebutuhan sebagai tempat tinggal


Hal ini tentu saja berkaitan dengan benuk fisik dan lingkungan permukiman yang
layak disebut sebagai tempat tinggal dan lebih baik dari kondisi rumah
sebelumnya dan bertujuan untuk memperoleh ketenangan, kenyamanan dan
keamanan.

 Kebutuhan sebagai tempat usaha


Jenis kebutuhan ini disamping untuk tempat tinggalnya sekaligus dapat digunakan
untuk membuka tempat usaha baik yang berupa toko atau warung kecil.
Mengingat kondisi masyarakat adalah golongan ekonomi lemah, untuk itu
kebutuhan akan rumah bukan hanya sekedar untuk tempat tinggal, selain itu juga
dapat digunakan usaha menambah penghasilannya.

2. Faktor minat
Mengetahui minat ini sangat tergantung oleh keinginan masyarakat terhadap adanya
perumahan baru yang sesuai dengan kemampuan mereka, antara lain :

 Minat untuk suatu bentuk tipe rumah


Hal ini berkaitan dengan keinginan penduduk terhadap bentuk tipe rumah yang
sesuai untuk golongan ekonomi lemah, sehingga akan dapat diketahui bentuk tipe
rumah yang bagaimana yang diinginkan oleh penduduk tersebut.

 Minat terhadap cara pembayaran atau angsuran untuk pelunasan atau


penyewaanya. 
Setelah diketahui bentuk tipe yang diinginkan oleh penduduk, kemudian cara
pembayarannya bagaimanan yang diinginkan atau dipilih untuk pelunasan atau
penyewaan.

 Minat terhadap jumlah pelunasan atau angsuran untuk pembelian atau


penyewaan.
Dengan cara pembayaran/ angsuran yang telah dipilih untuk masyarakat, berapa
kemampuan maksimal masyarakat untuk melunasi atau mengangsur dari
perumahan tersebut baik untuk pembelian atau penyewaan.

3. Faktor kemampuan daya beli atau sewa


Mengingat kondisi masyarakat adalah golongan ekonomi lemah, hal ini tentu saja
berpengaruh terhadap upaya pengadaan perumahan didukung oleh kemampuan
daya beli/sewa masyarakat ini ditentukan antara lain :

 Tingkat Pendapatan
Yang dimaksud dengan tingkat penghasilan ini adalah menyangkut pendapatan
rata- rata yang diterima penduduk dari jenis pekerjaan yang telah dilakukan
dalam setiap bulannya.

 Tingkat pengeluaran
Disamping dari tingkat pengahasilan yang diterima penduduk hendaknya kita lihat
juga jumah pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan sehari- harinya selama satu
bulan dengan pertimbangan untuk membandingkan antara penghasilan yang
diterima terhadap jumlah dari pengeluarannya.
 Jumlah penghasilan yang dapat ditabung
Merupakan sisa dari pengahasilan selain untuk kebutuhan sehari- hari yang
disisihkan untuk di tabung dalam setiap bulannya untuk menunjang pengadaan
perumahan.

2. PERMUKIMAN KUMUH

2.1. Pengertian Permukiman Kumuh

Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena


ketidakaturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi dan kualitas
bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat (UU Perumahan dan
Kawasan Permukiman No.1 Tahun 2011).

Definisi permukiman kumuh hingga kini beragam hal ini dikarenakan perbedaan
sudut pandang para ahli menilai atau mendefinisikan permukiman kumuh.

1. Definisi permukiman kumuh menurut Komarudin (1997), lingkungan permukiman


kumuh dapat didefinisikan sebagai berikut:
 Lingkungan permukiman yang berpenghuni padat (melebihi 500 orang per Ha)
 Kondisi sosial ekonomi rendah
 Jumlah rumah yang sangat padat
 Ukurannya di bawah standar
 Prasarana lingkungan hampir tidak ada atau tidak memenuhi persyaratan teknis
dan kesehatan
 Dibangun di atas tanah negara atau tanah milik orang lain dan di luar peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2. Karakteristik permukiman kumuh menurut Silas (1996) adalah sebagai berikut :


 Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, ratarata 6
m²/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena
tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada,
maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.
 Permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat
mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas
keterjangkauan) baik membeli atau menyewa.
 Manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah
adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi.

3. Ciri-ciri pemukiman kumuh yang diungkapkan oleh Prof. DR. Parsudi Suparlan
adalah:
 Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
 Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruang-ruanganya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
 Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan
ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya
kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
 Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara
tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud
sebagai:
 Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat
digolongkan sebagai hunian liar,
 Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau sebuah
RW,
 Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW
atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar.
 Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,
warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang
beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman
kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan
ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
 Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di
sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal.

4. Perumahan tidak layak huni adalah kondisi dimana rumah beserta lingkungannya
tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik,
kesehatan maupun sosial, dengan kriteria antara lain:
 Luas lantai perkapita, di kota kurang dari 4 m2 sedangkan di desa kurang dari 10
m2
 Jenis atap rumah terbuat dari daun dan lainnya
 Jenis dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses
 Jenis lantai tanah
 Tidak mempunyai fasilitas tempat untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK)

2.2. Faktor Penyebab Tumbuhnya Permukiman Kumuh

Seiring dengan pertumbuhan kehidupan manusia baik ekonomi, sosial maupun


budaya maka manusia berkeinginan untuk memiliki kehidupan dan status yang lebih
baik yaitu dengan mengadakan perubahan-perubahan, seperti gaya hidup dan bentuk
hunian yang mereka tinggali.

Menurut Constantinos A. Doxiadis (1981), pertumbuhan berarti pula berubah baik


bentuk dan ukurannya. Tidak dimungkinkan pertumbuhan ukuran dengan tidak
menyebabkan perubahan bentuk fisiknya. Dengan bertambahnya jumlah penghuni
rumah dan dengan bertambahnya penghasilan mereka membuat ruang-ruang baru.
Perubahan hunian ini akan merubah wajah suatu hunian. Hal ini akan berpengaruh
pada penyediaan fasilitas prasarana sarana lingkungan yang harus bertambah juga jika
jumlah permukiman bertambah.

Selain hal tersebut di atas, faktor kemiskinan juga sangat berpengaruh pada
kualitas fisik permukiman. Karena dana yang terbatas dan hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, maka masyarakat kurang mampu tidak dapat
memperbaiki maupun memelihara bangunan rumah hunian mereka. Yang akan
berakibat pada kekumuhan permukiman.

Menurut Constantinos A. Doxiadis (1981), menyebutkan bahwa mempelajari


tentang kawasan Perumahan Permukiman tidak hanya mempelajari area terbangun dan
area terbuka saja tetapi juga fungsi dari kawasan tersebut. Oleh karenanya dalam
mempelajari tentang perumahan permukiman atau fungsinya, kita juga harus
mengetahui hubungan kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar di luar kawasan
tersebut dan mengetahui jalur transportasi yang menghubungkan kawasan tersebut
dengan kawasan lainnya. Karena aktifitas di sekitar kawasan permukiman juga sangat
mempengaruhi fungsi dari permukiman. Faktor penyebab tumbuhnya permukiman
kumuh menurut beberapa pakar :

1. Menurut Yudohusodo (1991), faktor tumbuhnya permukiman kumuh:


 Arus urbanisasi penduduk yang pesat terutama di kota-kota besar berdampak
terhadap timbulnya ledakan jumlah penduduk.
 Sektor informal merupakan bidang pekerjaan tanpa penghasilan yang tetap.
Bidang pekerjaan ini muncul karena pengaruh desakan ekonomi yang tidak
didukung oleh keahlian yang memadai.
 Kondisi sosial budaya masyarakat juga menjadi pemicu terbentuknya kawasan
permukiman kumuh, yang dimaksud disini menyangkut pola hidup atau kebiasaan
masyarakat yang masih terbawa iramanya kehidupan kota.

2. Menurut Khomaruddin (1997), penyebab utama tumbuhnya permukiman kumuh


adalah sebagai berikut:
 Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat yang
berpenghasilan rendah,
 Sulit mencari pekerjaan,
 Sulitnya mencicil atau menyewa rumah,
 Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,
 Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh pemilik rumah serta disiplin
warga rendah,
 Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.

3. Menurut Arawinda Nawagamuwa dan Nils Viking (2003), penyebab adanya


permukiman kumuh adalah:
 Karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu tua, tidak
terorganisasi, ventilasi, pencahayaan dan sanitasi yang tidak memenuhi syarat.
 Karakter lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan tidak
tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang tinggi,
prasarana sarana yang tidak terencana dengan baik. Menurut mereka keadaan
kumuh tersebut dapat mencerminkan keadaan ekonomi, sosial, budaya para
penghuni permukiman tersebut.
2.3. Penilaian Tingkat Kekumuhan

Penilaian tingkat kekumuhan permukiman ini dengan menelaah standar dari


Direktorat Jendral Perumahan dan Permukiman Tahun 2002 dengan variabel sebagai
berikut :

1. Kondisi Lokasi, adapun indikatornya yaitu;


 Kesesuaian dengan Peruntukan RUTR
 Penguasaan Bangunan
 Frekuensi Bencana Banjir
 Frekuensi Bencana Kebakaran
 Frekuensi Bencana Tanah Longsor

2. Kondisi Kependudukan, adapun indikatornya yaitu;


 Tingkat Kepadatan Penduduk
 Rata-rata Anggota Rumah Tangga
 Jumlah KK Setiap Rumah
 Tingkat Pertambahan Penduduk

3. Kondisi Bangunan, adapun indikatornya yaitu;


 Tingkat Kualitas Bangunan
 Tingkat Kepadatan Bangunan
 Tingkat Penggunaan Luas Lantai Bangunan

4. Kondisi Sosial Ekonomi, adapun indikatornya yaitu;


 Tingkat Pendapatan Masyarakat
 Tingkat Pendidikan
 Tingkat Kerawanan Keamanan

Setiap poin dari indikator tersebut diberi nilai dari satu hingga tiga, setiap nilai
tersebut dapat dikualitatifkan. Hasil akhir dari perhitungkan tersebut adalah didapatnya
indeks kekumuhan yang dihitung dari presentase keseluruhan nilai yang didapat.
Sehingga indikator tersebut dapat mengungkapkan kadar kekumuhan suatu
permukiman secara kualitatif dan kuantitatif.
2.4. Faktor-Faktor Fisik Penyebab Perukiman Kumuh

2.4.1. Faktor Sarana Dan Prasarana Dasar

1. Kondisi Kepadatan Bangunan


Kepadatan bangunan merupakan total seluruh bangunan di bagi luas wilayah
(unit/ha). Ciri kepadatan bangunan dapat diidentifikasi melalui jumlah bangunan
yang tinggi, sesak dan padat serta bangun terlihat dominan dikawasan hunian.
Parameter kepadatan secara kuantitatif mengacu pada jumlah populasi per
hektar. Pada permukiman kumuh tingkat kepadatan bangunan mencapai 250 atau
lebih perhektarnya dan memiliki ukuran yang kecil-kecil (Rindarjono, 2012:27).
sesuai dengan karakteristik permukiman kumuh oleh Peraturan Menteri
PekerjaannUmum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
02/PRT/M/2016 tentang peningkatan kualitas perumahan kumuh dan
permukiman kumuh yang menyatakan bahwa permukiman kumuh dapat ditinjau
dari tingginya jumlah kepadatan bangunan yang tidak sesuai dengan perencanaan
penataan ruang.

2. Kondisi Drainase
Drainase adalah prasarana yang memiliki fungsi untuk menyalurkan air yang
belebihan dari suatu tempat ke badan air penerima. Drainase perkotaan adalah
drainase di wilayah kota yang berfungsi mengelola atau mengendalikan air
permukaan, sehingga tidak mengganggu dan/atau merugikan masyarakat.
(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12/PRT//2014). Karakteristik
permukiman kumuh dapat dilihat dari kondisi drainase lingkungannya (PERMEN
PU NO 2 Tahun 2016). Pengendalian air yang ada di permukaan agar masyarakat
tidak terganggu disebut drainase.
Berdasarkan karakteristik pemukiman Kumuh Oleh peeraturan Menteri
Pekerjaan Umum Dan PerumahannRakyat Republik Indonesia Nomor
02/PRT/M/2016 tentang peningkatan kualitas permukiman kumuh yaitu kriteria
kekumuhan dapat ditinjau dari kondisi drainase lingkungan dimana drainase
lingkungan tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan sehingga menimbulkan
genangan, drainase tidak terhubung dengan drainase kota, tidak dipelihara
dengan baik serta terjadi akumulasi limbah padat dan cair di dalamnya dan
kualitas konstruksi bangunan drainase buruk.

3. Jaringan Air Bersih


Kebutuhan manusia yang sangat penting salah satunya adalah air. Kebutuhan
rumah tangga harus terlayani oleh air bersih. Aman dikonsumsi dan memenuhi
standar kesehatan merupakan syarat dari air bersih. Jaringan air bersih perkotaan
di Indonesia pada umumnya dilayani oleh PAM. Berdasarkan standar (SNI 03-
1733-2004), setiap 250 orang dapat menggunakan satu kran umum. Kapaasitas
minimal 30 L/orang untuk setiap harinya.
karakteristik Permukiman Kumuh oleh peraturan Menteeri Pekerjaan Umum
Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 02/PRT/M/2016 tentang
peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh yaitu
kriteria kekumuhan dapat dilihat dari tidak tersedianya air bersih yakni ketidak
tersediaan air minum yang aman bagi masyarakat serta tidak terpenuhi nya
kebutuhan air minum masyarakat, merupakan kondisi dimana kebutuhan air
masyarakat 60 liter per orang untuk setiap harinya tidak mencapai batas
minimum.

4. Jaringan Air Limbah


Limbah dapat digolongkan menjadi 2 yakni limbah cair dan limbah padat.
Limbah yang bersumber dari air sisa buangan rumah tangga maupun limpahan air
hujan yang tidak terserap tanah disebut limbah cair. Pengelolaan limbah cair yang
tepat harus dialirkan melalui sumur resapan dan harus diperhatikan agar tidak
mencemari sumber air bersih. Limbah padat merupakan limbah yang berasal dari
kakus dan harus dibuang ke dalam septic tank.
karakteristik permkiman kumuh yang tertulis di dalam Peraturan Mentri
Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Rupublik Indonesia Nomor
02/PRT/M/2016 tentang peningkatan kualitas tehadap permukiman kumuh yang
digunakan sebagai kriteria kekumuhan salah satunya dengan melihat kondisi
pengolahan air limbah dimana tidak adanya system yang memadai, yakni
terhungnya kakus atau closset dengan septic tank baik secara personal, komunal,
ataupun terpusat.

5. Persampahan
Sampah merupakan barang buangan dari sisa rumah tangga. Sampah
dibedakan menjadi dua yaitu sampah organik contohnya dedaunan, sisa
makanan, buahan dan sebagainya serta sampah non organic contohnya kaleng,
kaca, plastik, keramik. Prosedur pengelolaan sampah dikerjakan menurut
tahapannya, mulai dari sampah dibuang ke tong sampah selanjutnya di angkut
dengan gerobak sampah ke TPS (Tempat Pembuangan Sampah Sementara) dan
setelah itu dipindahkan ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
karakteristik permkiman kumuh yang tertulis di dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
02/PRT/M/2016 terkait peningkatan kualitas tehadap perumahan kumuh dan
permukiman kumuh yang digunakan sebagai ciri-ciri kumuh dapat dilihat melalui
cara pengelolaan sampahnya yakni sarana prasarana sampah yang tidak tepat
dengan syarat yang berlaku seperti tempat sampah skala rumahan dan skala
lingkungan.

6. Jaringan Jalan
Prasarana jalan mepunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Jalan memiliki fungsi utama agar memudahkan mobilitas kendaraan dan
manusia. Fungsi penting jalan adalah jalur untuk evakuasi darurat. Sistem
tingkatan jalan dikelompokkan menjadi enam macam, yakni jalan lokal perimer,
jalan lokal sekunder, jalan kolektor primer, jalan kolektor sekunder, jalan arteri
primer, jalan arteri sekunder. Menurut SNI 03-6891-2004. Mengenai tata cara
perencanaan lingkungan daerah perkotaan, menjelaskan tentang penggunan jalan
sesuai klasifikasinya yaitu pertama Damija (daerah milik jalan), yang ke dua
Damaja (daerah manfaat jalan) dan yang ke tiga Dawasja (daerah pengawasan
jalan).
karakteristik permkiman kumuh yang tertulis di dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
02/PRT/M/2016 mengenai peningkatan kualitas tehadap perumahan kumuh dan
permukiman kumuh yang digunakan sebagai kriteria kumuh dilihat dari jalan
lingkungannya sebagaimana lingkungan rumah tidak terlayani oleh jaringan jalan
atau mutu permukaan jalan yang jelek.

2.4.2. Faktor Sosial, Ekonomi Dan Budaya

1. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana dalam menciptakan situasi
proses belajar mengajar dengan tujuan membuat peserta didik aktif dalam
pengembangan potensinya untuk mempunyai kepribadian, akhlak mulia,
kekuatan spiritual, pengendalian diri, kecerdasan, keagamaan, ataupun
keterampilan yang dibutuhkan bagi peserta didik itu sendiri, masyarakat dan
Negara. Pendidikaan dapat membantu manusia mendapatkan ilmu dan
keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dengan yang lainnya.
Tingkat pendidikan yang rendah akan mengakibatkan rendahnya pengetahuan
serta pemahaman masyarakat akan pentingnya rumah yang sehat. Kebanyakan
yang ditemui pada permukiman kumuh memiliki jenjang pendidikan serta
keterampilan yang rendah.
karakteristik permukiman kumuh menurut Direktorat Jendral Pembangunan
daerah Departemen Dalam Negeri (Ditjen Bina Bangda Depdagri dalam
Nursyahbani & Pigawati, 2015:270) bahwa ciri-ciri dari permukiman kumuh yaitu
sebagian besar penduduknya berpendidikan rendah.

2. Migrasi Masuk
Perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain dengan tujuan
menetap ataupun tinggal sementara didarah yang baru disebut migrasi.
Masyarakat migran yang baru datang tanpa bekal dalam hal pengetahuan,
keterampilan dan modal akan menempati ruang-ruang terbuka yang illegal yang
secara umum dalam kondisi yang kumuh.
karakteristik permukiman kumuh yang dikemukan oleh Sadyohutomo
(2008:116) bahwa penghuni permukiman kumuh umumnya berasal dari para
migran luar daerah.

3. Pendapatan
Pendapatan adalah banyaknya uang yang didapat pekerja baik dari sektor
formal maupun sektor informal dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan
bersama pada suatu keluarga. Mayoritas penghuni permukiman kumuh pada
umumnya memiliki pendapatan kecil, hal ini dikarenakan masyarakat memiliki
akses yang terbatas dari lapangan pekerjaan. Rendahnya tingkat pendapatan
masyarakat otomatis akan mempengaruhi kemampuan membeli masyarakat
tersebut.
Faktor pendapatan memiliki pengaruh terhadap terbentuknya permukiman
kumuh juga dikarenakan ketidakmampuan penghuni untuk memperbaiki kualitas
bangunan dan lingkungan permukimannya. Penduduk yang memiliki pendapatan
rendah biasanya hanya bisa membangun rumah dalam kondisi yang minim. Disisi
lain bertambahnya jumlah pendatang mengakibatkan pemerintah tidak mampu
menyediakan permukiman yang layak sehingga masyarakat yang tidak memiliki
banyak modal akan memilih tinggal di tempat yang tidak layak dan illegal seperti
bantaran rel kereta api, pinggir sungai, dan tempat yang tidak layak lainnya.
karakteristik permukiman kumuh menurut Direktorat Jendral Pembangunan
daerah Departemen Dalam Negeri (Ditjen Bina Bangda Depdagri, 2006 dalam
Nursyahbani & Pigawati, 2015:270) bahwa ciri-ciri dari permukiman kumuh yaitu
sebagian besar penduduknya berpenghasilan rendah.

4. Jenis Pekerjaan
Aktivitas atau kegiatan yang dilakukan seseorang dengan tujuan memperoleh
upah demi untuk memenuhi kebutuhan hidup disebut pekerjaan. Pekerjaan dibagi
menjadi 2 jenis yaitu pekerjaan sektor formal dan sektor informal. Pekerjaan pada
sektor formal yaitu pekerjaan yang bekerja di perusahaan sebagai pekerja yang
terlatih (skilled worker). Para pekerja pada sektor formal mendapat pelindungan
hukum yang kuat, memiliki kontrak yang resmi, dan berada dalam organisasi yang
berbadan hukum kuat. Contoh pekerjaan formal seperti guru, dokter, polisi,
tentara, dan lainnya. Pekerjaan pada sektor informal yaitu jenis pekerjaan yang
bertanggung jawab atas perseorangan dan tidak memiliki badan hukum serta
hanya berdasarkan kesepakatan. Contoh dari pekerjaan informal adalah petani,
pembantu rumah tangga, tukang becak, pemulung, pedagang, dan lainnya.
karakteristik permukiman kumuh menurut Direktorat Jendral Pembangunan
daerah Departemen Dalam Negeri (Ditjen Bina Bangda Depdagri, 2006 dalam
Nursyahbani & Pigawati, 2015: 270) bahwa ciri-ciri dari permukiman kumuh yaitu
sebagian besar masyarakatnya berusaha atau bekerja pada sektor informal.

5. Extended Family System


Extended family system adalah suatu system yang dianut oleh penghuni
permukiman kumuh dalam kebiasaan mereka yang saling tolong menolong untuk
menampung family atau para pendatang yang baru datang ke kota. Jalinan
kekeluargaan yang amat kuat karena adanya jalinan antara penolong dan yang di
tolong. Kuatnya jalinan tolong menolong ini tidak terbatas pada berapa jumlah
orang yang di tampung, mereka selalu menyediakan tempat untuk mereka tinggal
(Rindarjono, 2012:194). Extended Family system ini merupakan proses pemadatan
permukiman secara internal yaitu dengan penambahan ruang tanpa menambah
luas bangunan tempat tinggal guna menampung anggota keluraga baru.
Penambahan ruang dilakukan dengan menambah sekat-sekat baru di dalam
rumah.
karakteristik permukiman kumuh yang dikemukakan oleh Ridlo (2001:24)
yang menyatakan bahwa penduduk yang berada di permukiman kumuh masih
memiliki prilaku kehidupan desa yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang
erat.
BAB III
METODE PENELITIAN

http://repositori.uin-alauddin.ac.id/8283/1/Sri%20Haryati%20Atjo%20Andi%20Lantanratu
%2C%20pdf.pdf
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/8246/05.1%20bab%201.pdf?
sequence=6&isAllowed=y
http://kotaku.pu.go.id/files/Media/Pustaka/Dokumen%20dan%20Surat%20Penting/larap-
kaltim-samarinda-kawasan-karangmumus-1-202009.pdf
http://studyandlearningnow.blogspot.com/2013/06/tinjauan-tentang-permukiman.html

Anda mungkin juga menyukai