Anda di halaman 1dari 27

TUGAS MAKALAH

SOSIOLOGI KESEHATAN
REZIM MEDIS MODERN

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Sosiologi Kesehatan
Dosen Pengajar:
Dr. Septi Ariadi Drs., MA.

Disusun Oleh :

R. Moch. Khoiruddin (071711433015)


Cahyo Agung Rahmadhani (071711433022)
Retno Novita Sari (071911433049)

UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pada abad 21 saat ini mudah untuk dikatakan bahwa pengetahuan sudah tumbuh
dan mapan sebagai produk sosial, termasuk pengetahuan perihal kesehatan. Kini
kesehatan mendapat peran sentral di masyarakat yang ditandai dengan lahirnya
lembaga kesehatan sebagai produk sosial yang mengatur seperangkat perilaku
berbasis pengetahuan perihal kesehatan. Secara historis dapat dilacak kontribusi
penegetahuan terhadap perkembangan ilmu kesehatan. Pasca abad 16 atau abad
pencerahan, pengetahuan seiring dengan tergesernya faham telogisme dengan
faham humanisme yang menjadikan manusia sebagai subjek utama, termasuk
kesehatan. Mulai lazim ditemui lembaga pendidikan yang menghasilkan
akademisi dan tenaga medis yang menerapkan praktik kesehatan ilmiah. Praktik
demikian yang terus berulang kemudian diobjektifasi menjadi sebuah lembaga
kesehatan yang kemudian mempengaruhi hajat hidup banyak orang. Kemajuan
pengetahuan dan teknologi kemudian menghasilkan rezim medis modern.

Nugroho dalam [CITATION Sep17 \l 1033 ] menjelaskan rezim medis ditandai oleh
kemajuan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran melalui penemuan dan
penerapan teknologi modern rekayasa genetika, alat pemantau biologi mutakhir,
metode transplantasi organ, dan berbagai alat kedokteran modern yang dipandang
positif sebagai instrumen yang diyakini mampu mengatasi masalah kesehatan.
Lebih lanjut,[CITATION Her93 \l 1033 ] menjelaskan Rezim medis modern
menicptakan manejemen normalitas yang senantiasa berusaha menciptakan
kondisi sosial yang mempertahankan normalitas. Normal diartikulasikan layaknya
mayoritas sehingga minoritas tampak tidak normal dan perlu ditolong untuk
kembali normal. Dalam rezim modern, yang dimaksud normal adalah orang sehat
maka orang yang tidak sehat dilihat sebagai tidak normal dan perlu memperoleh
pertolongan dokter yang secara tidak sadar kemudian justru membentuk perilaku
ketergantungan pasien terhadap dokter. Ketergantungan semacam ini menciptakan
dominasi yang tak tampak
Rezim medis yang kemudian menguat akibat bagian dari kebijakan negara
sehingga menghasilkan hegemoni rezim medis. Tentu saja, kebijakan tersebut
tidak sembarangan karena berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan yang menyatakan bahwa negara menjamin peranan kesehatan melalui
pembangunan kesehatan yang diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan
serta peningkatan derajat kesehatan dan pembinaan penyelenggaraan upaya
kesehatan secara menyeluruh dan terpadu. Rezim medis semakin kuat
pengaruhnya pada masyarakat modern yang merupakan masyarakat birokrasi dan
informasi yang dihasilkan, dipantau, dievaluasi dan digunakan sebagai dasar
perencanaan perkembangan kekuasaan administratif yang berjalan seiring dengan
perkembangan kekuatan disiplin untuk mengelola khalayak melalui kekuatan
pengawasan pendisiplinan yang Foucault definisikan sebagai; (1) Pengumpulan
dan organisasi informasi yang disimpan oleh lembaga dan digunakan untuk
memantau aktivitas khalayak dan (2) Pengawasan secara langsung oleh pihak
otoritas dalam sebuah lembaga (misal: sekolah, universitas, rumah sakit, dan
birokrasi)[ CITATION Kev17 \l 1033 ]. Sejalan dengan Foucalut, Weber dalam
[CITATION Ant09 \l 1033 ] menjelaskan munculnya dominasi sebagai sesuatu yang
sah dan memiliki kuasa perintah untuk dipatuhi sekelompok orang tertentu yang
disebut sebagai otoritas yang berbasis birokrasi rasional. Birokrasi yang seperti ini
kemudian secara legal memiliki kuasa untuk mengontrol kepatuhan karena rezim
medis modern berjalan seiring bersama birokrasi legal milik pemerintah.

Pada praktiknya, rezim medis modern juga berkontribusi terhadap masalah sosial.
Minimnya fasilitas yang membuat masyarakat lokal kesulitas mengakses fasilitas
kesehatan, monopoli pengobatan yang membuat tenaga pengobatan tradisional
semakin termarjinalkan serta rusaknya relasi sosial antar keluarga/kerabat.
Pengobatan yang biasa melibatkan kerabat berubah ke tenaga kesehatan (dokter,
bidan, perawat)[ CITATION Ati17 \l 1033 ]. Lebih lanjut, adanya pergeseran dari
pengobatan tradisional ke arah pengobatan medis tidak sepenuhnya berjalan
mulus bahkan diwarnai oleh resistensi masyarakat. [ CITATION Sep17 \l 1033 ]
menemukan bahwa masyarakat miskin perkotaan menunjukan sikap resistensi
melalui (1) mengembangkan pandangan skeptis dan kritik meskipun masih
mengakses pengobatan modern, (2) mengembangkan orientasi medis yang
kolaboratif antara pengobatan tradisional dan modern, dan (3) menolak seutuhnya
pengobatan modern dalam bentuk apapun. Tentu saja, tulisan ini tidak
meromantisasi pengobatan tradisional sebagai hal yang sepenuhnya baik karena
memang bisa dijumpai pengobatan medis yang tidak bisa menjamin tanggung
jawabnya dan justru beresiko. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan professional
yang dilaksanakan pada daerah tertenu perlu memahami dan beradaptasi terhadap
budaya lokal dan mengembangkan modifikasi ksehatan modern dengan kearifan
lokal. Tenaga medis perlu memiliki kepekaan untuk memahami pola budaya lokal
guna berkontribusi terhadap upaya peningkatan kesehatan masyarakat[ CITATION
Isn12 \l 1033 ].

Berlandaskan fenomena tersebut, rezim medis modern kemudian menjadi praktik


yang lazim dijumpai yang kemudian mempengaruhi perilaku kesehatan
masyarakat berupa kepatuhan. Kepatuhan merujuk pada perilaku pasien yang
mengikuti arahan tenaga medis melalui lembaga kesehatan. Perilaku kepatuhan
meliputi dari hal yang sederhana seperti mengikuti rejimen dosis untuk satu obat
hingga yang sangat kompleks seperti membuat perubahan jangka panjang dalam
diet atau kebiasaan olahraga. Bahkan perilaku minum pil yang sederhana
melibatkan mengingat kejadian yang jarang terjadi, menentukan pil, menyimpan
botol obat, mengingat dosis, dan menelan jumlah pil yang benar pada waktu yang
tepat, atau perilaku yang lebih kompleks dalam menentukan kombinasi dan
runtutan obat dengan benar sebelum meminumnya. Singkatnya, rezim medis
mereduksi otonomi manejemen diri melalui pengetahuan demi mencapai
kesehatan yang diinginkan[CITATION Und89 \l 1033 ]. Dalam perspektif pasien,
perilaku kepatuhan sangat dipengaruhi oleh derajat keparahan penyakit dan
psikologi subjektif. Semakin parah dan semakin kompleks pengobatan yang
dijalani akan menguatkan kepatuhan yang selanjutnya kepatuhan tersebut bisa
semakin kuat jika pasien merasakan kepuasan selama pengobatan ataupun
sebaliknya[ CITATION Mil92 \l 1033 ].

1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana praktik rezim medis modern saat ini di masyarakat?


2) Bagaimana studi kasus praktik rezim medis modern?
1.3 Tujuan Makalah

1) Makalah ini bertujuan untuk memahami bagaimana praktik rezim medis


modern berdasarkan perspektif sosiologi
2) Makalah ini bertujuan untuk memahami masalah yang berkaitan dengan
praktik rezim medis modern

1.4 Manfaat Makalah

1) Makalah ini diharapkan mampu memberikan penjelasan yang memadai terkait


sosiologi kesehatan perihal praktik rezim medis modern
2) Makalah ini diharapkan mampu memberikan penjelasan yang teoritis dan
menarik guna meningkatkan minat terhadap kajian sosiologi kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kerangka Teoritis

2.1.1 Munculnya Klinik dan Kontrol atas Tubuh

Michel Foucault (1926–1984) merupakan salah satu pemikir yang gagasannya


berkembang dalam sub-disiplin sosiologi kesehatan. Ia disandingkan dengan
Parsons dalam sosiologi kesehatan karena menganggap bahwa perobatan terutama
bukan tentang penyembuhan. Mereka justru memandangnya sebagai institusi yang
melakukan kontrol sosial. Keduanya berupaya membongkar ilmu kedokteran
beserta klaimnya atas keilmuan dengan menyatakan bahwa penyakit dikonstruksi
sebagai perilaku menyimpang dalam masyarakat modern.

2.1.2 Munculnya Klinik

Salah satu karyanya yang dirujuk dalam sosiologi kesehatan adalah The Birth of
The Clinics (1973) yang menggunakan pendekatan arkeologi pengetahuan dan
genealogi kekuasaan. Ia menunjukkan bagaimana terbentuknya kekuasaan dokter
dan psikiater dalam kaitannya dengan kegilaan serta perilaku menyimpang.
Argumen utamanya adalah bahwa pengobatan modern merupakan manifestasi
dari masyarakat yang dikelola di mana sentralisasi informasi tentang warga negara
sangat penting untuk perencanaan sosial. Bagi Foucault perkembangan kedokteran
berbasis ilmiah, internalisasi norma-norma kebersihan dan pengembangan struktur
administrasi negara guna menegakkan kesehatan masyarakat adalah apa yang
disebut Weber sebagai “sangkar besi” kapitalisme. Dalam hal ini individu-
individu dalam masyarakat menjadi roda penggerak dari “masyarakat yang
dikelola”[ CITATION Kev17 \l 1033 ]

Dalam sejarahnya, menurut Foucault dalam [ CITATION Kev17 \l 1033 ] , pada


periode Abad Pertengahan hingga abad kedelapan belas adalah masa pengobatan
di samping tempat tidur. Di mana dokter bergantung pada perlindungan dan atas
perintah pasien. Dalam hal ini penyakit adalah sesuatu yang terjadi pada
seseorang secara keseluruhan dan dikonseptualisasikan sebagai
ketidakseimbangan dalam diri manusia yang melibatkan baik faktor fisik maupun
spiritual. Etos periode dapat diringkas dalam pertanyaan yang umumnya
ditanyakan dokter pada masa itu: “Ada apa denganmu?” Pertanyaan tersebut
mendasari orientasi holistik kepada pasien, dan hubungan di mana dokter perlu
mempertahankan kebaikan pasien.

Revolusi Industri abad kesembilan belas dan urbanisasi menghasilkan


pertumbuhan rumah sakit besar untuk menampung orang sakit, dan hal ini
menandakan periode pengobatan rumah sakit. Pasien menjadi tergantung pada
dokter yang sekarang profesional, sementara penyakit menjadi masalah patologi
organ tertentu, berbeda dari keseluruhan keberadaan individu. Pertanyaan yang
diarahkan oleh dokter kepada pasien berubah menjadi: “Di mana yang sakit?”.
Praktisi medis menginginkan dan memperoleh hanya informasi spesifik yang
tetap bersifat fisik. Pasien harus membalas atau kehilangan hak untuk pengobatan [
CITATION Kev17 \l 1033 ].

Kemudian pertengahan abad ke-20 adalah periode kedokteran laboratorium, di


mana pasien dan dokter digantikan oleh tes ilmiah. Teori seluler tentang penyakit
dikembangkan. Penyakit menjadi proses biokimiawi, domain ilmuwan dan teknisi
laboratorium, di mana uji statistik normalitas biologis menggantikan pasien
sebagai manusia sepenuhnya. Penyembuhan tidak lagi bergantung pada
kemampuan karismatik praktisi, tetapi terperangkap dalam frasa: “Mari kita
tunggu dan lihat apa yang dikatakan dalam uji lab?”. Hal inilah yang membuat
Foucault memetakan kekecewaan atas peningkatan saintisasi kehidupan. Kita
semakin banyak belajar tentang cara kerja tubuh sebagai artefak laboratorium, dan
semakin sedikit tentang kesehatan dan kebahagiaan[ CITATION Kev17 \l 1033 ].

2.1.3 Kontrol Atas Tubuh

Lebih lanjut Michel Foucault dalam [ CITATION Kev17 \l 1033 ] menjelaskan bahwa
ilmu kedokteran merupakan awal kajian yang membuka jalan bagi lahirnya ilmu-
ilmu tentang manusia. Sejak abad 18 rumusan-rumusan kedokteran yang
berbasiskan pengamatan memfokuskan analsisnya kepada soal-soal kesehatan.
Tetapi upaya pencegahan yang bersifat patologis mulai menjadi kecenderungan
umum yang nampak sejak abad 19. Pengandaian ini mengakibatkan terjadinya
perubahan dari cara pencegahan penyakit yang berubah menjadi upaya
pengontrolan tubuh.

Semenjak saat itu semakin banyak rumah rawat yang didirikan di seluruh Eropa
yang menjadi awal mula penerapan pengontrolan tubuh bagi pengidap penyakit
dan penderita gagal mental. Tak hanya itu orang-orang miskin dan pengangguran
ikut serta dalam pendisiplinan dengan dalih demi ketertiban tatanan masyarakat.
Hal ini menujukkan bahwa fenomena normalisasi atas tubuh, melalui
medikalisasi. Di mana masyarakat Eropa memasuki peralihan dan perubahan
kekuasaan melalui otoritas medis.

Lebih lanjut perlakuan para dokter terhadap pasien yang diidentifikasi melalui
pendekatan yang bersifat objektif. Di mana pengamatan yang menjadi pendekatan
penting dalam dunia medik di satu sisi memperlakukan manusia sebagai sekedar
objek amatan. Mula-mula pasien diamati kemudian menjadi subjek kurikulum
ilmu kedokteran yang tersetruktur dalam rangka pengembangan keilmuan.
Melalui ini Foucault menunjukkan secara simultan klinik atau rumah sakit
menjadi akses profesi bagi pelajar-pelajar medis dengan diberlakukannya surat
ijin bagi pegawai kesehatan, tenaga profesional dan dokter [ CITATION Kev17 \l
1033 ].

Fenomena tersebut berdampak terhadap akses untuk mendekati tubuh terutama


saat perlakuan autopsi dilakukan. Bedah mayat akhirnya dilegalkan karena
otoritas dokter yang berimplikasi terhadap dimulainya suatu penyelidikan baru
atas penyakit dan pencegahannya bagi pendisiplinan masyarakat. Pada dasarnya,
otoritas dokter yang memiliki wewenang atas kontrol tubuh menjadikan rumah
sakit dan para dokter memiliki posisi istimewa dengan membangun perangkat
episteme yang mendukung keberlangsungan posisinya.

Hal itu menunjukkan paradoks dalam ilmu kedokteran modern. Di mana


ditegaskan persepsi tubuh kita sangat mendasar bagi rasa diri kita, tetapi sebagai
objek tubuh kitalah yang menghubungkan kita dengan orang lain dengan status
bersama sebagai hitam, putih, pria, wanita, sebagai tubuh anak-anak, pemuda atau
orang tua. Jadi Foucault berbicara tentang bio-politik yang berfokus pada tubuh
kita dan lokasinya dalam populasi. Atas dasar pembentukan tubuh oleh obat-
obatan kita tunduk pada mekanisme kontrol sosial tertentu [ CITATION Kev17 \l
1033 ].

Foucault dalam [ CITATION Kev17 \l 1033 ] juga menegaskan bahwa “tugas utama
dokter (pada hakekatnya) bersifat politis”. Seorang dokter dengan kapasitas
pengetahuannya memiliki otoritas penuh untuk menilai apakah seseorang itu sehat
atau sakit? Dokter bisa dengan mudah menjustifikasi bahwa seseorang itu sakit,
meskipun sebenarnya tidak sakit atau sehat belaka. Otoritas dokter ini diperkuat
oleh laju modernitas. Klinik-klinik kesehatan, puskesmas, dan rumah sakit
didirikan untuk menampung kuasa pengetahuan dokter.

Karenanya masyarakat menjadi sangat tergantung pada dokter dalam menentukan


sakit atau sehat sekaligus untuk mencari kesembuhan atas sakit yang ia derita.
Masyarakat rela membayar mahal untuk mendapatkan kesembuhan versi dokter.
Realitas ini menempatkan profesi kedokteran mempunyai nilai yang penting di
masyarakat. Dikarenakan posisi politis itu, seorang dokter berusaha untuk tetap
mempertahankan kuasanya. Seorang dokter lebih memilih memberi obat daripada
menyebarkan pengetahuan tentang sehat di masyarakat.

2.2 Medikalisasi

Medikalisasi berarti “menjadi medis” atau lebih khusus lagi proses di mana
masalah nonmedis sebelumnya didefinisikan dan diperlakukan sebagai masalah
medis, biasanya sebagai penyakit atau gangguan. Ilmuwan dan kritikus sosial
termasuk Foucault, Szasz, dan Illich mengkritik medisisasi karena potensinya
untuk berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial, meskipun mereka tidak
menggunakan istilah tersebut. Sementara istilah medisisasi pertama kali muncul
dalam literatur sosiologi dan berfokus pada penyimpangan, tetapi segera meluas
untuk memeriksa kondisi manusia lainnya menurut [ CITATION Con15 \l 1033 ] ada
beberapa ciri medikalisasi.

1) Masalah definisi adalah pusat medikalisasi; Artinya, bagaimana masalah


didefinisikan adalah kunci dari apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya.
2) Ada derajat medikalisasi. Misalnya, beberapa masalah hampir sepenuhnya
ditangani secara medis (misalnya, skizofrenia, epilepsi), sementara yang lain
hanya bersifat medis (misalnya, kecanduan internet, kecanduan seksual),
dengan yang lain masih diperebutkan atau di antara keduanya (misalnya,
obesitas, kecanduan opiat). Jadi medisisasi lebih merupakan kontinum
daripada biner salah satu / atau perbedaan.
3) Keterlibatan dokter dalam medikalisasi bervariasi. Dengan medikalisasi
alkoholisme, keterlibatan dokter minimal; sebaliknya, kemunculan Alcoholics
Anonymous adalah pusat dari proses ini. Dengan banyak contoh medikalisasi
lainnya, keterlibatan medis langsung adalah kuncinya.
4) Sementara medisisasi bersifat dua arah; Artinya, bisa ada medikalisasi
sekaligus demedikalisasi. Contoh paling umum dari demedikalisasi adalah
homoseksualitas, yang karena pemungutan suara tahun 1974 dari American
Psychiatric Association dan perubahan selanjutnya menjadi 'resmi'
didemedikalisasi[ CITATION Con15 \l 1033 ]

Meskipun begitu medikalisasi menimbulkan berbagai konsekuensi sosial. Seperti


bagaimana, dengan memperluas sick role (atau peran sakit yang merupakan buah
dari pemikiran Talcott Parsons) pada rentang yang lebih luas dari kondisi
manusia. Dalam hal ini medikalisasi dapat membebaskan seseorang dari peran dan
harapan sosial (misalnya, terkait dengan sekolah, pekerjaan, pengasuhan). Atau
medikalisasi dapat berfungsi untuk “membebaskan individu dari tanggung jawab
karena sakit”[ CITATION Con15 \l 1033 ].

2.3 Relasi Dokter dan Pasien

Dokter adalah orang penting (the significant person) bagi individu-individu yang
mengharapkan kesembuhan atas penyakitnya dan juga bagi mereka yang berupaya
memelihara kesehatannya. Pada masa ini isu penyakit sangat beragam serta
berkembang, hal ini menjadikan ancaman bagi para individu. Bagi individu-
individu yang merasa sedang tidak sehat atau merasa perlu adanya penyembuhan,
dokter sangatlah berarti penting.[CITATION Rel \l 1033 ]
Dalam pelayanannya terhadap pasien, dokter melakukan hubungan secara
fungsional dan emosional. Dimana pada hal ini, hubungan antara dokter dengan
pasien tidak hanya terbatas dalam proses pengobatan, namun juga terdapat
interaksi psikologis yang turut mendukung proses keberhasilan layanan kesehatan
terhadap pasien.

Aspek fungsional yang paling pokok dalam interaksi antara dosen dan pasien
adalah adanya kompetensi yang dimiliki dosen saat menangani penyakit paslen
atau saat melakukan pemeliharaan kesehatan pasien. Demikian halnya dengan
aspek emosiona, dimana dalam aspek ini dimana dokter bertanggung jawab untuk
memfasilitasi ekspresi emosional pasien terhadap penyakitnya dan memiliki
kemampuan untuk mengetahui dan mengeksplorasi emosi pasien,
mengekspresikan empati, menyediakan bantuan yang berkaitan dengan emosi dan
menilai distres psikologi pasien .Dinamika profesi dokter dalam memberikan
pelayanan kesehatan bagi pasien menarik untuk dleksplorasi secara mendalam,
karena di dalam proses penanganan pasien ini terkandung muatan-muatan
psikologis yang tak terlepaskan dari sisi manusiawi seorang dokter.

Relasi antara dokter dan pasien menarik untuk dikaji melalui telah sosiologis
karena di dalam hubungan tersebut tidak hanya sekedar suatu hubungan
pengobatan suatu penyakit, melainkan juga adanya interaksi antara dokter dan
pasien, interkasi secara medis maupun interkasi secara emosional diluar interkasi
medis. Beberapa contoh kasus memberikan gambaran bahwa suatu penyakit yang
sama ditangani oleh dokter yang berbeda dapat menghasilkan kemajuan
penyembuhan yang berbeda. Contoh yang lain adalah pasien yang hanya mau
ditangani oleh dokter tertentu, walaupun terdapat banyak pilihan dokter yang
memiliki keahlian yang sama.

Dalam kedua aspek tersebut tentunya perlu adanya komunikasi antar kedua pihak
yakni antara dokter dan pasien. Misalnya, kemampuan komunikasi dokter dalam
menggali informasi gejala-gejala yang diderita pasien berperan besar dalam proses
pemeriksaan awal pasien. Komunikasi pasien dan dokter menjadi penting karena
merupakan awal pengobtana. Komunikasi terjadi karena satu tujuan, yakni tujuan
pasien dan tujuan dokter. Di mana tujuan pasien adalah mendapat keterangan dan
pengobatan tentang keluhan ataupun penyakit yang diderita. Sedangkan tujuan
dokter adalah memberikan keterangan terkait penyakit pasien dan juga
memberikan keterangan mengenai rencana pengobatan untuk mendapatkan
persetujuan pasien. Komunikasi akan sia-sia antara dokter dan pasien
Miskomunikasi yakni dokter tidak memberikan informasi yang jelas mengenai
rencana pengobatan yang akan dilakukan.

Selain adanya komunikasi, juga perlu adanya kepercayaan antar kedua belah
pihak. Dimana pada hal ini kedatangan pasien kepada dokter yang dilandasi atas
dasar kepercayaan pasien tersebut kepada dokter sering dlsebut sebagal faktor
yang cukup berpengaruh dalam proses penyembuhan pasien. Kepercayaan inl
menlmbulkan sugesti tidak langsung bagi paslen, bahwa pasien akan sembuh blla
berobat kepada dokter yang dipercayainya

Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat yang bervariasi tentang definisi


komunikasi berpusat pasien,[ CITATION Ann13 \l 1033 ] merumuskan aspek
komunikasi berpusat pasien sebagai 6 konsensus tentang “Best practice” bagi
komunikasi dokter pada konsultsai medis, yaitu 1) memperkuat hubungan
(fostering the relationship), 2) mengumpulkan informasi (gathering
information), 3) memberikan informasi, (providing information) 4) mengambil
keputusan (desicion making), 5) merespon emosi (responding the emotions), dan
6) memampukan perilaku terkait pengobatan penyakit (enabling disease and
treatment related behavior).

1) Aspek pertama yaitu membina hubungan antara dokter dan pasien, dimana
dokter bertanggung jawab untuk membina hubungan dan membangun koneksi
dengan pasien. Pada aspek ini, dokter harus memiliki kemampuan untuk
menyambut atau menyapa pasien, menjaga kontak mata dengan pasien,
menjadi pendengar yang aktif, menggunakan bahasa yang baik dan mudah
dipahami pasien, mendorong partisipasi pasien, dan menunjukkan ketertarikan
dengan pasien sebagai individu.
2) Aspek kedua yaitu mengumpulkan informasi, dimana dokter mencoba untuk
memahami kebutuhan pasien dan mendapatkan deskripsi lengkap tentang
keluhan utama dari kunjungan pasien.
3) Aspek yang ketiga yaitu menyediakan informasi, dimana pada aspek ini
dokter harus memiliki kemampuan untuk menjelaskan masalah kesehatan
pasien dan pendekatan untuk diagnosis dan pengobatannya, memberikan
penjelasan dan instruksi yang tidak rumit.
4) Aspek keempat yaitu pengambilan keputusan, dimana dimana dokter
mempersiapkan pertimbangan pasien dan memungkinkan pengambilan
keputusan, juga mendorong pembuatan rencana kolaborasi yakni antara dokter
dengan pasien.
5) Aspek kelima yaitu memungkinkan perilaku terkait penyakit dan pengobatan,
pada aspek ini dokter harus memiliki kemampuan menilai kesiapan pasien
untuk mengubah perilaku sehat, dan mendapatkan tujuan, ide dan keputusan
pasien.
6) Aspek yang terkahir yaitu respon terhadap emosi pasien, dimana dokter
bertanggung jawab untuk memfasilitasi ekspresi emosional pasien terhdap
penyakitnya dan memiliki kemampuan untuk mengetahui dan mengeksplorasi
emosi pasien[ CITATION Lar19 \l 1033 ].

2.4 Pengaruh Sosial Terkait Rezim Medis Modern

Pengobatan modern merupakan metode pengobatan yang didasarkan pada


penelitian ilmiah dan berbasis pengetahuan dalam berbagai aspek. Pengobatan
modern umumnya menggunakan beberapa aplikasi disiplin ilmu dalam
pengobatan suatu penyakit, cara pemeriksaan dan diagnosa penyakit lebih tepat
dibandingkan pengobatan tradisional. Selain itu, semua obat yang digunakan
dalam pengobatan medis merupakan hasil uji klinis ekstensif dan memiliki fungsi
yang terbukti secara ilmiah. Pengobatan modern memiliki prosedur yang tepat dan
terus ditingkatkan seiring kemajuan teknologi[ CITATION Imz16 \l 1033 ].

Saat ini, pengobatan modern memiliki jawaban untuk mendeteksi dan mengobati
berbagai macam kondisi medis, terutama yang dipicu oleh bakteri, virus, dan jenis
penyebab infeksi atau patogen lainnya. Berbagai penyakit yang tadinya tidak bisa
disembuhkan dan berujung kematian kini mudah disembuhkan, antara lain batuk
rejan, difteri, cacar dan penyakit lainnya[ CITATION Imz16 \l 1033 ]. Untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang memadai sesuai dengan tuntutan zaman,
banyak rumah sakit dan fasilitas kesehatan modern telah dibangun untuk
menjamin kesehatan yang baik bagi masyarakat Indonesia. Seperti halnya banyak
fasilitas kesehatan, puskesmas, klinik, bahkan fasilitas kesehatan lainnya seperti
dokter daring yang dapat diakses dan digunakan siapa saja melalui media daring.
Praktik rezim medis pun tidak berjalan secara taken-for-granted karena masih
mampu dipengaruhi oleh kondisi sosial.

2.4.1 Kuasa Rezim Medis

Menurut [CITATION Her93 \l 1033 ] ketika ilmu kedokteran dan teknologi modern
digabungkan, institusi medis terlegitimasi untuk membedakan, menentukan atau
bahkan memprediksi mereka yang diklasifikasikan sebagai "sehat" atau "sakit".
Bahkan dalam beberapa situasi, lembaga ini memiliki kewenangan yang tinggi
untuk menentukan pasien yang serius harus dibiarkan hidup atau mati. Belum lagi
steretipe yang muncul bahwa orang yang normal adalah dalam kondisi sehat.
Konsekuensinya banyak orang yang ingin sehat. Karena itu masyarakat mulai
melepas kewenangan mereka kepada lembaga medis guna mendapat label sebagai
orang yang sehat.

Di bawah rezim medis, dokter dianggap sebagai pihak yang terlegitimasi medis
untuk menentukan apakah seseorang “sakit” atau “sehat”, sementara pasien adalah
individu yang menyerahkan pemeriksaan kesehatannya kepada dokter. Dalam hal
ini dokter dianggap sebagai ahlinya dunia medis yang amat bersifat teknokratis.
Konsekuensinya tidak mempertanyakan “keahlian” dokter sehingga pasien
menjadi tidak berdaya di depan institusi medis serta institusi ini cenderung
mendominasi pasien khususnya dan masyarakat pada umumnya. Lebih lanjut
interaksi yang terjalin antara kedua pihak cenderung terdistorsi sehingga yang
berhak bertindak secara instrumental adalah orang yang bekerja di lembaga
medis[CITATION Her93 \l 1033 ].

Efek domino dari label sakit individu adalah bahwa fungsi sosial individu hilang,
sebagaimana fungsi medis tubuh. Dalam hal ini individu yang kehilangan fungsi
sosialnya cenderung membutuhkan bantuan orang lain dan tentu saja mereka yang
sakit bergantung pada bantuan orang yang berkualifikasi di bidang kesehatan.
Individu yang sakit akan dilabel oleh dokter maupun oleh masyarakat sebagai
orang yang tidak normal dan akan membutuhkan perawatan untuk kembali
normal. Proses normalisasi ini sering membuat orang yang sakit bergantung pada
rezim medis. Tak cukup disitu, rezim medis juga “mengontrol” individu yang
sehat. Melalui proses medikalisasi, gaya hidup sehat yang memperhitungkan gizi,
nutrisi dan sanitasi diadopsi oleh masyarakat[CITATION Her93 \l 1033 ].

Gaya hidup sehat menurut [CITATION Her93 \l 1033 ] sendiri adalah cara hidup yang
dibangun oleh rezim medis. Misalnya, hidup “bersih” dan “kotor” merupakan
pemisah antara apa yang disebut “sehat” dan “tidak sehat”. Kebiasaan makan juga
berdasarkan anjuran dokter, seperti bagaimana mengatur menu sehat. Singkatnya
pada spesifikasi masyarakat modern terkandung ideologi dominasi di dalamnya.
Yang berarti menguasai pengetahuan berarti memiliki legitimasi kekuasaan atau
dengan kata lain berkuasa. Seperti yang terjadi di dunia medis, ketika terjadi
monopoli atas ilmu pengetahuan yang dilegalkan secara formal dan hanya orang
yang memiliki sertifikat medis yang berhak melakukan terapi kesehatan.

Berkaitan dengan kuasa rezim medis, masyarakat umumnya dianggap sebagai


pihak yang disubordinasi. Rezim medis yang dalam kehadirannya
direpresentasikan oleh dokter menguasai pengetahuan kesehatan sehingga
memiliki legitimasi untuk menentukan apa yang dianggap sehat. Tetapi
perkembangan masyarakat mununjukkan hal yang berbeda. Bahwa terdapat
anggota masyarakat yang bahkan tidak memiliki kepercayaan terhadap rezim
medis. Akibatnya mereka cenderung memilih pengobatan alternatif yang
umumnya bersifat tradisional dan turun temuru, atau pengobatan herbal yang
masih mengadaptasi teknik-teknik pengobatan modern. Selain itu perkembangan
teknologi informasi membuat subordinasi pasien atau masyarakat yang amat
terdominasi mengalami pelepasan. Dalam hal ini penyebaran informasi kesehatan
membuat masyarakat, atau pasien mulai aktif berkaitan dengan pengobatan.
Singkatnya muncul dua fenomena, yakni masyarakat yang cenderung
mempercayai pengobatan alternatif dan masyarakat yang melek informasi
sehingga lebih otonom terhadap kuasa rezim medis.

2.4.2 Masyarakat Sebagai Pasien Yang “Aktif”


Perkembangan teknologi informasi berdampak terbukanya akses informasi, tentu
informasi kesehatan juga, untuk semua kalangan masyarakat. Hal ini sedikit
banyak berpengaruh pada pandangan masyarakat terhadap rezim medis secara
umum, dan dokter secara khusus. Lebih lanjut, terbukanya akses informasi
berimplikasi pada relasi yang terjadi antara pasien dengan dokter, di mana pasien
mulai dianggap aktif dan otonomi dengan berbekal informasi kesehatan dari
internet.

Masyarakat saat ini dengan mudah dapat mengakses informasi kesehatan yang
tersebar di internet yang bentuknya bermacam-macam. Mulai yang bersifat
akademik melalui jurnal sains online dan ada pula yang non akademik berupa
konseling individu atau kelompok. Jenis informasi kesehatan juga sangat
bervariasi, dari penyakit ringan sampai penyakit berat, dari pencegahan penyakit
sampai pengobatan [ CITATION Nug16 \l 1033 ].

Selain itu konsultasi dengan dokter tidak harus dilakukan secara tatap muka,
masyarakat juga mulai beralih pada konsultasi online. Karena itu dokter di
puskesmas, klinik dan rumah sakit tidak lagi menjadi satu-satunya sumber
pengetahuan dan informasi di bidang kesehatan. Lebih-lebih para dokter ini
dihadapkan pada pasien yang telah memiliki informasi kesehatan dari internet.
Hal ini menurut [ CITATION Nug16 \l 1033 ] sedikit banyak berpengaruh pada
legitimasi dokter untuk mendiagnosas penyakita yang diderita oleh pasien mereka.
Apalagi Pola-pola interaksi online menggerus kepercayaan terhadap interaksi
konvensional dokter-pasien, baik dari sisi pengetahuan maupun legitimasi dalam
menentukan pilihan-pilihan perawatan terhadap pasien. Deligitimasi kuasa dokter
ini yang ditandai dengan menurunnya kepercayaan pasien atas tindakan atau
terapi yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien.

Pada era teknologi informasi ini, pasien mulai tercabut dari posisi subordinasi
terhadap resim medis dan mulai aktif dalam proses pengobatan. Artinya relasi
yang pasien dengan dokter yang tejalin pun dapat lebih humanis, cepat dan efisien
berkat perkembangan teknologi informasi. Karena itu dalam era teknologi
otonomi pasien mulai ada. Di mana pasien memiliki piliihan bebas menentukan
apa yang akan dia lakukan sesuai dengan pengetahuan dan keluhan kesehatan
yang dialami. Dengan informasi kesehatan yang telah beredar di internet itulah,
pasien dapat menentukan tindakan apa yang hendak ia ambil berkaitan dengan
keluhan sakit yang ia rasakan[ CITATION Nug16 \l 1033 ]. Implikasinya masyarakat
seolah memiliki ruang untuk mengakomodir konsepsi illness yang dirasakan.
Singkatnya berbekal informas itulah memunculkan kemampuan masyarakat untuk
mengkonsepsikan “sakit” yang ia rasakan sehingga pandangannya dan relasinya
dengan rezim medis pun mulai terdistorsi, bergeser atau justru berubah.

2.4.3 Cenderung Memlih Pengobatan Alternatif

Pengobatan alternatif dapat dipahami sebagai pengobatan di luar pengobatan,


berdasarkan penelitian ilmiah dan pengetahuan dalam berbagai aspek. Dalam hal
ini pengobatan alternatif dapat berupa pengobatan tradisional, pengobatan herbal,
dan pengobatan keagamaan seperti ruqyah. Misalnya penyakit step atau serangan
epilepsi yang diderita anak yang bisa disembuhkan dengan cara pengobatan
tradisional. Biasanya dengan cara sawan/kejang pada anak bisa disembuhkan.

Latar belakang masyarakat yang cenderung memilih pengobatan alternatif pada


umumnya adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Hal
ini dibuktikan dengan penelitian [ CITATION Erv18 \l 1033 ] yang menunjukkan
bahwa pendidikan tampaknya memiliki hubungan yang signifikan dalam
mempengaruhi responden untuk menggunakan obat tradisional. Sedangkan
menurut Andersen (1995) dalam [ CITATION Erv18 \l 1033 ] pendidikan merupakan
bagian dari struktur sosial yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam
menggunakan fasilitas kesehatan. Penelitian menemukan bahwa penderita
hipertensi berpendidikan rendah yang memanfaatkan pengobatan tradisional
sebesar 81,1%.

Tetapi pengobatan alternatif terutama pengobatan tradisional masih banyak


diminati masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisional [ CITATION
Hen17 \l 1033 ]. Dalam masyarakat ini, menurut [ CITATION Hen17 \l 1033 ]
persoalan “sakit” dianggap disebabkan oleh campur tangan kekuatan gaib yakni
makhluk gaib, dan dari interpersonal penyihir (seperti santet di Indonesia) dan
benda-benda sakral seperti keris, kalung, dll. Selain itu, penyakit ini juga
dianggap sebagai gangguan terhadap kondisi sosial normal individu dan bahwa
sakit ini merupakan semacam hukuman atas kesalahan yang dilakukan individu
tersebut. Singkatnya, individu dihukum berupa sakit karena dianggap
menyimpang.

Hal tersebut menimpa warga Desa Tutut Arjowinangun, Kabupaten Malang, yang
meyakini penyakit tersebut akibat campur tangan kekuatan gaib yang
mengganggu manusia. Penelitian [ CITATION Hen17 \l 1033 ] menemukan bahwa
masyrakat percaya jika yang dapat menyembuhkan sesuatu yang disebabkan oleh
kekuatan supernatural adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk
melewati alam supernatural. Oleh karena itu, masyarakat memberikan legitimasi
kepada pengobatan tradisional setempat untuk menjalankan praktik pengobatan
tradisional tersebut. Implikasinya, dukungan masyarakat di sini berfungsi sebagai
bentuk legitimasi praktik medis tradisional lokal yang mungkin telah diterapkan
dari generasi ke generasi.

Tidak hanya itu, masyarakat yang memilih pengobatan ini tidak hanya didasarkan
pada basis kepercayaan yang diyakini secara turun temurun tetapi juga didasarkan
pada kuatnya jaringan sosial yang mereka bangun antar keluarga, kerabat dan
tetangga. Dalam hal ini masyarakat memperoleh informasi tentang pengobatan
tradisional dari teman, tetangga dan kerabat. Lebih lanjut keluarga dan pasien pun
memberikan dukungan seperti selalu mengantarkan dan menjenguk tetangga yang
sakit[ CITATION Mus18 \l 1033 ]. Hal ini menunjukkan pada masyarakat yang
percaya pada pengobatan tradisional memiliki hubungan solidaritas sosial yang
kuat terhadap teman, keluarga dan tetangga.

2.5 Studi Kasus: Khitan Perempuan

Masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu hingga saat ini masih mentradisikan
khitan perempuan, terutama umat muslim. Selain di Indonesia sendiri, beberapa
negara yang penduduknya mayoritas Islam, seperti Arab dan Mesir
mempraktekkan sunat perempuan atas dasar perintah agama dan meyakininya
sebagai bentuk penyucian jiwa. Berbagai tujuan dan alasan seperti tradisi, agama
juga alasan kebersihan dan mencegah perempuan mengumbar nafsu seksualnya
sebagai dasar pelaksanaan sunat perempuan bagi masyarakat Indonesia di
beberapa wilayah seperti Yogyakarta, Madura, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi
serta di Kalimantan Selatan bahkan di Jakarta sendiri yang merupakan kota
metropolis[ CITATION TNu10 \l 1033 ].

Dalam kajian agama, yakni Islam, T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya


yang berjudul “2002 Mutiara Hadis” menyebutkan sunat perempuan adalah
memotong sedikit kulit (selaput) yang menutupi ujung klitoris (preputium
clitoris), atau membuang sedikit dari bagian klitoris (kelentit), atau gumpalan
jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva di bagian atas kemaluan
perempuan, atau memotong kulit yang berbentuk jengger ayam jantan di bagian
atas farji anak perempuan.

Pernyataan Hasbi Ash-Shiddieqy di atas menunjukkan bahwasanya tidak ada


keseragaman teknik pada sunat perempuan. Dalam prakteknya dilakukan dengan
cara yang berbeda-beda mengenai pemotongan pada bagian organ kelamin
perempuan. Keragaman teknik yang berkembang semata-mata mengikuti tradisi
yang berlaku di setiap negara. Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2010 Nomor 1636 menyebutkan sunat perempuan harus
dilakukan secara simbolik yang pada dasarnya bukanlah termasuk praktek sunat.
Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa yang tergolong sebagai praktek sunat
perempuan yang legal adalah : tindakan menggores kulit yang menutupi bagian
depan klitoris, tanpa melukai klitoris.

Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) dalam fact Sheet No.
241 Juni 2000 menggolongkan sunat perempuan yang berkembang di masyarakat
dunia ke dalam enam tipe, yaitu sebagai berikut.

1) Tipe 1: Menghilangkan bagian permukaan, dengan atau tanpa diikuti


pengangkatan sebagian atau seluruh bagian klitoris.
2) Tipe 2: Pengangkatan klitoris dengan pengangkatan sebagian atau seluruh
bagian labia minora.
3) Tipe 3: Pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital luar
diikuti dengan menjahit atau menyempitkan lubang vagina (infibulasi).
4) Tipe 4: Menusuk, melubangi klitoris dan atau labia, merenggangkan klitoris
dan atau labia, tindakan memelarkan dengan jalan membakar klitoris atau
jaringan di sekitarnya.
5) Tipe 5: Merusak jaringan di sekitar lubang vagina atau memotong vagina.
6) Tipe 6: Memasukkan bahan-bahan yang bersifat merusak atau
tumbuhtumbuhan ke dalam vagina dengan tujuan menimbulkan pendarahan,
menyempitkan vagina, dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat digolongkan
dalam definisi tersebut.

Enam tipe sunat perempuan tersebut di atas dipandang oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO) sangat membahayakan kaum perempuan dan terbilang sebagai
bentuk pelanggaran HAM. Sunat perempuan menjadi isu kontroversial setelah
World Health Organization (WHO) secara tegas menyatakan sunat perempuan
merupakan tindakan mutilasi yang dilarang atau yang disebut female genital
mutilation (FGM) yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Perempuan yang
mengalami FGM merasakan dampak berkepanjangan seperti kehilangan kepekaan
yang berakibat kesakitan dalam aktivitas seksual. Dampak selama ini ditimbulkan
FGM adalah infeksi vagina, disfungsi seksual, infeksi saluran kencing, sakit
kronis, kemandulan, kista kulit, kompilasi saat melahirkan bahkan kematian.

Di Indonesia praktik sunat perempuan pernah dilarang oleh Pemerintah melalui


Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Nomor HK 00.07.1.31047a tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi
Petugas Kesehatan. Berdasarkan surat edaran tersebut, sunat perempuan tidak
bermanfaat bagi kesehatan, bahkan merugikan dan menyakitkan bagi perempuan.
Namun, larangan tersebut tidak berlangsung lama setelah terdapat berbagai protes
dan penolakan akibat adanya pelarangan tersebut. Pada tahun 2010 sunat
perempuan hanya boleh dipraktekkan oleh petugas kesehatan yang tercermin pada
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1636 tentang Sunat Perempuan. Namun
peraturan tersebut memicu aksi protes dari Majelis Ulama Indonesia dan beberapa
ORMAS Islam yang memandang sunat perempuan adalah bagian dari perintah
syariat Islam. Pada akhirnya tahun 2014 dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Nomor 1636 Tahun 2010
tersebut[ CITATION RSu19 \l 1033 ].

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada saat ini pengetahuan sudah menjadi sesuatu yang mapan dan dekat dengan
kehidupan keseharian mulai dari aspek interaksi mikro hingga struktur makro
kemudian berubah sebagai hasil intervensi pengaruh pengetahau, tak terkecuali
institusi kesehatan. Sejak abad 16 mulai banyak insititusi pendidikan yang
melahirkan lulusan tenaga medis profesional yang berbasis pada pengetahuan dan
kehadiran mereka mulai diterima sebagai sesuatu yang baru yang mengalami
diobjektifasi menjadi sebuah lembaga kesehatan rezim medis modern. Praktik
rezim medis modern ditandai berupa kemajuan ilmu dan teknologi di bidang
kedokteran melalui penemuan dan penerapan teknologi modern rekayasa genetika,
alat pemantau biologi mutakhir, metode transplantasi organ, dan berbagai alat
kedokteran modern yang dipandang positif sebagai instrumen yang diyakini
mampu mengatasi masalah kesehatan serta berusaha menciptkana menormalisasi
sehat dan menganggap orang sakit perlu mendapat pertolongan untuk menjadi
normal. Pada praktiknya, meskipun rezim medis modern sudah menjadi wacana
dominan masih terdapat resistensi di kalangan masyarakt mulai dari yang berpikir
skeptis hingga mereka yang sepenuhnya menolak eksistensi rezim medis modern.
Praktik penerimaa dan penolakan terhadap rezim medis modern sangat ditentukan
dari perspektif pasien tentang keparahan penyakit dan psikologi subjektif.

Perihal rezim medis modern sebagai sebuah fenomena yang menarik dikaji oleh
sosiologi kesehatan maka diperlukan kerang teoritis untuk bisa memahami apa
yang terjadi dan di sini Foucault menjadi orang yang berjasa dalam menyumbang
pemikirannya. Foucault melalui buku The Birth of The Clinics (1973) yang
menggunakan pendekatan arkeologi pengetahuan dan genealogi kekuasaan
mengatakan pengobatan modern merupakan manifestasi dari masyarakat yang
dikelola di mana sentralisasi informasi tentang warga negara sangat penting untuk
perencanaan sosial sebagai hasil penerapan ilmiah, internalisasi norma-norma
kebersihan dan pengembangan struktur administrasi negara guna menegakkan
kesehatan masyarakat. Foucault melanjutkan pada periode Abad Pertengahan
hingga abad kedelapan belas adalah masa pengobatan di samping tempat tidur
dengan dokter dan mendasari orientasi kepada pasien, namun sejak revolusi
Industri abad kesembilan belas dan urbanisasi menghasilkan pertumbuhan rumah
sakit besar untuk menampung orang sakit, dan hal ini menandakan periode
pengobatan rumah sakit dengan pasien menjadi tergantung pada dokter.
Selanjutnya, pertengahan abad ke-20 adalah periode kedokteran laboratorium, di
mana pasien dan dokter digantikan oleh tes ilmiah.

Lebih lanjut rezim medis modern mereduksi perlakuan dokter terhadap pasien
secara objektif dan pengamatan yang menjadi pendekatan penting dalam dunia
medik di satu sisi memperlakukan manusia sebagai sekedar objek amatan serta
tubuh pasien kemudian menjadi subjek kurikulum ilmu kedokteran yang
tersetruktur dalam rangka pengembangan keilmuan. Oleh karena itu, tubuh pun
mengalami ketertundukan terhadap mekanisme kontrol doketer. Foucault pun
menegaskan bahwa dokter memiliki kuasa politis. Sebagai seorang dokter yang
memiliki otoritas dalam menafsirkan kondisi tubuh sehingga dokter bisa dengan
leluasa menjustifikasi bahwa seseorang itu sakit, meskipun sebenarnya tidak sakit.
Otoritas dokter semakin diperkuat melalui pengaruh modernitas serta masyarakat
menjadi sangat tergantung pada dokter. Klinik kesehatan, puskesmas, dan rumah
sakit muncul guna mewadahi kuasa pengetahuan dokter. Sifat lain yang muncul
dari adanya rezim medis modern adalah medikalisasi yang berarti “menjadi
medis” atau lebih tepatnya sebuah proses masalah nonmedis sebelumnya
didefinisikan dan diperlakukan sebagai masalah medis, biasanya sebagai penyakit
atau gangguan.

Aspek lain yang terkait adalah relasi dokter dengan pasien. Adanya kekhawatiran
di kalangan pasien dan membutuhkan dokter. Interaksi dokter dengan pasien
melibatkan aspek fungsional yang terbatas pada proses penyembuhan serta aspek
emosional dalam interaksi yang menunjang proses penyembuhan pasien. Untuk
mengupayakan interaksi terbaik maka perlu diperhatikan enam aspek sebagai
berikut: (1) dokter mampu menjalin komunikasi yang intens dan memiliki
kompetensi, (2) dokter mampu mengumpulkan informasi dan menggunakan
infromasi secara tpat, (3) dokter secara terbuka berbagi informasi terkait kondisi
pasien, (4) terjadi hubungan kolaboratif pasien dengan dokter dalam perencanaan
proses pengobatan, (5) dokter mampu menganalisis kesiapan pasien dalam
menjalani pengobatan dan (6) dokter terlibat secara emosi untuk menunjang
kesemuhan pasien. Tentunya sebagai konsekuensi rezim medis modern peran
dokter menjadi sangat dominan melalui kuasa pengetahuan dokter memungkinan
untuk mengontrol tubuh pasien, sehingga sekiranya jika pasien menjadi pasrah
maka dokter perlu memainkan perannya tanpa celah. Namun, tetap saja relasi
timpang tentu bisa dihindari dengan menjadikan pasien sebagai pasien yang tidak
sebatas sebatas dilihat secara objektif sakit tapi juga mempertimbangkan kondisi
dan keputusan pasien.

Selanjutnya, Pengobatan modern merupakan metode pengobatan yang didasarkan


pada penelitian ilmiah dan berbasis pengetahuan dalam berbagai aspek dan
menawarkan solusi yang tidak pernah ditawarkan dari pengobatan tradisional.
Saat ini, pengobatan modern memiliki jawaban untuk mendeteksi dan mengobati
berbagai macam kondisi medis. Praktik rezim medis pun tidak berjalan secara
dengan sendiri karena masih dipengaruhi oleh faktor sosial seperti: (1) Seberapa
kuat otoritas rezim medis modern. Otoritas rezim medis modern ditandai oleh
monopoli wacanca tentang sakit dan sehat serta apakah apakah pasien perlu di
dibiarkan hidup atau mati yang ditambaha lahirnya stereotip bahwa menjadi
normal artinya menjadi sehat sehingga masyaakat mulai menyerahkan otonomi
kontrol tubuhnya terhadap dokter. Berkaitan dengan kuasa rezim medis,
masyarakat umumnya dianggap sebagai pihak yang disubordinasi. Tetapi dalam
realitanya tidak selalu demikian, terdapat anggota masyarakat yang bahkan
menolak percaya kepada rezim medis. Akibatnya mereka memiliki tendensi
memilih pengobatan alternatif yang umumnya bersifat tradisional dan turun
temurun, atau pengobatan herbal yang masih mengadaptasi teknik-teknik
pengobatan modern. (2) perkembangan teknologi informasi membuat subordinasi
pasien atau masyarakat yang amat terdominasi mengalami pelepasan. Dalam hal
ini penyebaran informasi kesehatan membuat masyarakat, atau pasien mulai aktif
berkaitan dengan pengobatan. Lebih lanjut, terbukanya akses informasi
berimplikasi pada relasi yang terjadi antara pasien dengan dokter, di mana pasien
mulai dianggap aktif dan otonomi dengan berbekal informasi kesehatan dari
internet. Dampak yang muncul dari ini berupa delegitimasi otoritas dokter karena
dihadapakan kepada pasien yang berpengetahuan serta mulai mencopot otoritas
peran dokter dalam monopoli informasi kesehatan. (3) Kecenderungan untuk
memilih pengobatan alternatif. Pemilihan pengobatan alternatif dipilih oleh
mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah dan mereka yang masih patuh
terhadap tradisi. Mereka yang memilih pengobatan alternatif percaya bahwa sakit
ditimbulkan kekuatan gaib serta hukuman yang didapat karena bertindak
menyimpang. Oleh karena itu, mereka percaya hanya orang yang punya kekuatan
magis (yang pasti bukan dokter) yang hanya bisa menyembuhkan penyakit,
dengan kata lain legitimasi pengobatan alternatif diadapat dari kepercayaan
masyarakat. Pemilihan pengobatan alternatif juga dipengaruhi kuatnya jaringan
sosial yang terbentuk dalam komunitas.

Di saat yang sama, praktik rezim medis dan pengobatan tradisional saling
berkontestasi. Praktik kontestasi ini dapat dijumpai pada praktik khitan
perempuan. Rezim medis melalui sumber pengetahuan medis mengalhkan
pengobatan tradisional berupa delegitimasi khitan perempuan sebagai sesuatu
yang berbahaya dan melanggar HAM. Meskipun demikian, tak selamanya rezim
medis selalu menang dan membawa khasiat. Rezim medis juga berpotensi
menimbulkan masalah. Seperti yang sudah disinggung di awal rezim medis
membawa konsekuensi ketergantungan, sehingga apabila rezim medis menggeser
pengobatan alternatif namun insfrastruktur kesehatan tidak mendukung membuat
masyarakat kehilangan sumber kesehatan. Di sini pemerintah berkewajiban
menciptakan pemerataan kesehatan. Kehadiran rezim medis pun seringkali
berebenturan dengan nilai lokal komunitas. Oleh karena itu, dokter dan tenaga
medis lainnya diharuskan memiliki kemampuan memahami nilai lokal guna
mengelaborasi dengan pengobatan modern.

3.2 Saran

Mengingat makalah ini hanya terbatas dan tidak dilaksanakan dalam kerangka
penelitian empiris maka diharapkan adanya makalah ini menggugah minat para
akademisi untuk melakukan penelitian empiris tentang rezim medis di
masyarakat.

Daftar Pustaka

Ariadi, S., Partini & Supraja, M., 2017. The resistance of urban poor upon the
modern medication system: Reaction towards the power domination practice of
the medical regime. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 30(4), pp. 353-388.

Conrad, P. & Bergey, M., 2015. Medicalization: Sociological and


Anthropological Perspectives. International Encyclopedia of the Social &
Behavioral Sciences (Second Edition), pp. 105-109.

Ervina, L. & Ayubi, D., 2018. Peran Kepercayan terhadap Penggunaan


Pengobatan Tradisional pada Penderita Hipertensi di Kota Bengkulu. Perilaku
dan Promosi Kesehatan, pp. 1-9.

Foucault, M., 1973. The Birth of the Clinic : an Archaeology of Medical


Perception. London: Tavistock.

Gidden, A., 2009. Sociology. ke-8 ed. Malden: Polity Press.


Imzastani, N. Q., 2016. Akulturasi Sistem Medis Tradisional dan Sistem Medis
Modern dalam Pengobatan Alternatif Pak Endok di Kabupaten Tuban. Skripsi ed.
Semarang: Universitas Semarang.

Isniati, 2012. KESEHATAN MODERN DENGAN NUANSA BUDAYA. Jurnal


Kesehatan Masyarakat, 7(1), pp. 39-44.

King, A. & Hoppe, R. B., 2013. “Best Practice” for Patient-Centered


Communication: A Narrative Review. Journal of Graduate Medical Education,
5(3), p. 385–393.

Larasati, T. A., 2019. Komunikasi Dokter-Pasien Befokus Pasien Pada Pelayanan


Kesehatan Primer. Jurnal Kedokteran Universitas Airlangga, 3(1), p. 160166.

Moordiningsih, M., 2006. Relasi Psikologis Dokter-Pasien dalam Layanan


Kesehatan: Persepsi, Komunikasi, Empati dan Unsur Kepercayaan. Psikologika:
Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 11(22), p. 8592.

Nugroho, A. P., 2016. Dokter Google: Interaksi Dokter-Pasen di Era Teknolologi


Informasi. Jurnal Pemikiran Sosiologi, pp. 16-24.

Nugroho, H., 1993. EKSPANSI REZIM MEDIS, MEDIKALISASI


KEHIDUPAN, DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT. Populasi, 4(2), pp.
13-23.

Nurdiyana, T., 2010. Sunat Perempuan pada Masyarakat Banjar di Kota


Banjarmasin. Komunitas: International Journal of Indonesian Society and
Culture, 2(2).

Roberson, M. H. B., 1992. The Meaning of Compliance: Patient Perspectives.


Qualitative Health Research, 2(1), pp. 7-26.

Setiawan, H. & Kurniawan, F., 2017. Pengobatan Tradisional: Sebuah Kajian


Interaksionisme Simbolik. Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, dan Sosial Budaya,
pp. 57-66.

Shiddieqy, H. A., 1980. 2002 Mutiara Hadits VII. Jakarta: Bulan Bintang.
Suraiya, R., 2019. Sunat Perempuan dalam Perspektif Sejarah, Medis, dan Hukum
Islam (Respon terhadap Pencabutan Aturan Larangan Sunat Perempuan di
Indonesia). CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman, 3(1).

Triratnawati, A., 2017. Dominasi Medis Modern Atas Medis Tradisional Suku
Sumuri,Teluk Bintuni, Papua Barat. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 30(2),
pp. 174-187.

White, K., 2017. An Introduction to the Sociology of Health and Illness. ke-3 ed.
London: SAGE Publications.

World Health Organization (WHO), 2000. Fact sheet No 241: Female Genital
Mutilation, s.l.: World Health Organization (WHO).

Anda mungkin juga menyukai