Anda di halaman 1dari 7

Masa Reformasi

Pada tahun 1998 Rezim Orde Baru berakhir, dengan mundurnya Presiden Soeharto
sebagai Presiden, akibat desakan dari mahasiswa. Dari sejak lengsernya pemerintahan
orde lama tersebut maka pemerintahan berikutnya mendapat istilah dengan “era
reformasi” sampai dengan sekarang ini.

Pada era reformasi hukum perkawinan mendapat suatu perubahan yang sangat
fenomenal dengan diubahnya bunyi pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 tahun 1974 oleh Mahkamah Konstitusi. Tepatnya Jumat 17 Februari 2012
Masehi, bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1433 Hijriah, Mahkamah Konstitusi
(MK) mengeluarkan putusan yang revolusioner sepanjang sejarah MK di Republik ini.

Sebagaimana dilangsir vivanews.com, Mahfud menilai putusan MK ini sangat penting


dan revolusioner. Sejak MK mengetok palu, semua anak yang lahir di luar perkawinan
resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah mereka. Di luar
pernikahan resmi yang dimaksud Mahfud ini termasuk kawin siri, perselingkuhan, dan

hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.

Sebelumnya, pihak Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar
Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono) juga mengajukan uji materil
terhadap Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Namun,
MK hanya mengabulkan sebagian dari permohonan Pemohon tersebut.

Dalam pandangan Prof. Mahfud MD, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-
laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Putusan ini lantas mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan
praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, bahkan masyarakat. Putusan MK mengenai
pengakuan anak di luar perkawinan begitu “mengejutkan”. Walaupun melegakan
sejumlah pihak, tapi akan ada permasalahan baru yang timbul dari putusan mahkamah
konstitusi tersebut. Ditambah lagi pernyataan Mahfud MD di media massa sebagai
mana yang utarakan di atas.

Permaslahan perkawinan yang fenomenal berikutnya adalah dengan menikahnya Bupati


Garut “Aceng Fikri” secara di bawah tangan atau nikah sirri dan menceraikan isterinya
tersebut dengan SMS, yang berakibat dipecatnya Aceng Fikri dari kursi Bupati.
Permasalahan tersebut menurut sebahagian ahli hukum bukan merupakan perbuatan
pidana karena tidak unsur zina didalamnya sebagaimana yang diatur KUHP, akan tetapi
mengapa Aceng Fikri tetap juga dipecat dari jabatan Bupati. Dari masalah-maslah yang
muncul seperti di atas menurut para penulis, undang-undang perkawinan yang telah ada
sekarang ini sudah sesuai dengan perkembangan zaman di Negara ini.

KONSEP HUKUM KELUARGA DI INDONESIA


Pembentukan hukum keluarga di Indonesia, dalam arti pembangunan hukum Nasional
sesungguhnya telah berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini belum
dilakukan evaluasi secara mendasar dan komprehensif terhadap kinerja model hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Selama ini ukuran keberhasilan
pembangunan hukum selalu dilihat dari segi jumlah produk hukum yang telah dihasilkan
oleh lembaga yang berhak mengesahkan Undang-undang.

Dari perjalanan sejarah Indonesia, ia senantiasa berada dalam pengaruh kekuatan


politik. Oleh karena itu, kongfigurasi pembentukan hukum islam di Indonesia selalu
diiringi dengan verted interest politik. Di Indonesia, proses pembentukan hukum Islam ke
dalam hukum nasinonal ditandai dengan masuknya beberapa aspek Islam ke dalam
Undang-undang, baik yang langsung menyebutkan dengan istilah hukum Islam, maupun
yang tidak menyebutkan langsung.

Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional memang menimbulkan masalah


baru, artinya harus ada unifikasi hukum meskipun memiliki sisi positif dalam hal
memenuhi kebutuhan hukum bagi umat Islam. Untuk itu, dibutuhkan unifikasi dan ini
tidak bisa terjadi dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan kekuatan politik.
Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional tidak perlu seluruhnya dilakukan.
Ketentuan hukum Islam yang perlu dijadikan hukum nasional adalah hukum yang
pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuatan negara dan berkorelasi dengan
ketertiban hukum.

Dasar pertimbangan yang digunakan dalam menggunakan metode-metode tersebut di


atas ada minimal 2 yakni : mashlahah mursalah dan konsep yang lebih sejalan dengan
tuntutan dan perubahan zaman.
Adapun produk hukum nasional yang bersumber dari hukum Islam di bidang keluarga :

1. Undang-Undang No 1/1974 tentang perkawinan

Peranan hukum Islam dalam persoalan perkawinan bagi muslim Indonesia dengan jelas
tercantum pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi : “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Bagi
orang Islam di Indonesia, sahnya perkawinan adalah dilaksanakan sejalan dengan
prinsip-prinsip hukum dalam Islam. Perkawinan yang merupakan perjanjian suci antara
seorang pria dengan seorang wanita, menurut Islam seharusnya didasarkan atas asas :

 Kesuka-relaan,
 Persetujuan kedua belah pihak,
 Kebebasan memilih,
 Kemitraan suami dan isteri,
 Untuk selamanya.

2. Kompilasi Hukum Islam.

Kompilasi hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal
demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum
Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan
Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku
untuk ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang
dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di negeri ini dari masa
ke masa.

Pada umumnya, setiap aturan mengenai pernikahan terdapat di dalam UU Nomor 1


Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) dan apabila adanya hukum yang belum
tercantumkan didalam UU dan KHI, maka disitu dibutuhkan kejelian hakim untuk
menafsirkan UU dn KHI untuk mendapatkan keadilan yang diinginkan oleh pihak pihak
yang berpekara.

Adapun tujuan dari pernikahan adalah untuk membentuk rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan warahmah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum
ayat 21. Dan dengan adanya UU dan KHI maka tujuan dari pernikahan itu lebih terjaga
dengan adanya konsekuensi-konsekuensi apabila terjadinya pelanggaran dalam
pernikahan tersebut.

Undang-undang perkawinan juga mengatur hal ihwal tentang perkawinan dengan


norma, kaidah, dan prinsip hukum Islam, seperti dalam masalah menentukan calon,
khitbah, akad nikah, nafkah, perceraian, rujuk, dan sebagainya.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Hukum keluarga Indonesia terbagi dalam dua masa yaitu hukum keluarga
prakemerdekaan dan hukum keluarga pascakemerdekaan. Hukum keluarga
prakemerdekaan dibagi dua yaitu hukum keluarga prapenjajahan (prakolonial), dan
hukum keluarga zaman penjajahan (kolonial). Dan hukum keluarga pascakemerdekaan
dibagi dalam tiga yaitu hukum keluarga awal kemerdekaan, hukum keluarga sesudah
tahun 1950, dan terbentuknya undang-undang perkawinan baru, dalam redaksi yang
berbeda Prof. Khoiruddin Nasution membagi dengan sebutan Masa Orde Lama, Orde
Baru, dan Reformasi. Sehingga secara keseluruhan dibagi dalam lima bagian.
Di Indonesia, proses pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasinonal ditandai
dengan masuknya beberapa aspek Islam ke dalam Undang-undang, baik yang langsung
menyebutkan dengan istilah hukum Islam, maupun yang tidak, Pembentukan hukum
Islam ke dalam hukum nasional memang menimbulkan masalah baru, artinya harus ada
unifikasi hukum meskipun memiliki sisi positif dalam hal memenuhi kebutuhan hukum
bagi umat Islam. Untuk itu, dibutuhkan unifikasi dan ini tidak bisa terjadi dengan
sendirinya, melainkan dibutuhkan kekuatan politik.

berdasarkan tulisan diatas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang dilakukan tanpa
memenuhi persyaratan yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah
disahkan oleh badan pemerintahan maka dianggap tidak sah oleh Negara serta
berdampak negatif bagi istri dan anak di kemudian hari apabila suami meninggal dunia.

Hukum Islam di Era Reformasi


Era reformasi ditandai dengan berakhirnya era orde baru yang dipimpin oleh Suharto sebagai
presiden republik Indonesia. Turunnya Presiden Suharto dari tampuk pemerintahan pada
tanggal 21 Mei 1998 sekaligus membuka era baru bagi Indonesia , sebagai populasi muslim
terbanyak di dunia, yang menuntut peran muslim dalam ranah ekonomi, hukum dan poliitik.
Hal ini terlihat dengan munculnya 48 partai politik, yang sebelumnya pada masa Suharto
hanya  3 parpol, 19 diantaranya adalah partai Islam[25]. Juga, pada masa ini, asas tungal
tidak diberlakukan lagi.[26]

Sejak pemberlakuan asas tunggal dicabut, baik ormas maupun orsospol yang sebelumnya
berasas Islam, namun karena penyeragaman asas tunggal, kini kembali kepada asas
Islam.  Dari kesemua partai yang ikut dalam pemilu 1999, tidak sedikit partai yang
berasaskan Islam. Di sinilah, partai-partai Islam semisal PPP dan PBB kembali
mengusungkan pemberlakuan syariat di indonesia dalam konstitus, dengan mengamandemen
pasal 29 UUD, namun kandas ditengah jalan. Suara mereka yang tidak lebih dari 12 persen
(sekitar 71 kursi) di parlemen, harus menerima kekalahan. [27]

Meskipun hukum Islam tidak berkembang lewat jalur struktural partai, namun hukum Islam
pada era reformasi sebagai kelanjutan dari era sebelumnya dapat berkembang pesat melalui
jalur kultural. Hal itu terjadi sebagai konsekuensi logis dari kemajuan kaum muslim di bidang
ekonomi dan pendidikan.[28] Perkembangan Islam budaya pada era reformasi diikuti
perkembangan hukum Islam secara kultural. Keadaan tersebut ditunjang oleh lahirnya
beberapa undang-undang sebagai hukum positif Islam, yaitu UU No. 17 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan haji, dan UU No. 38 Tahun1999 tentang pengelolaan zakat.[29]

Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa Indonesia diatur dalam GBHN tahun
1999. Dengan berlakunya GBHN tahun 1999 ini, hukum Islam mempunyai kedudukan lebih
besar dan tegas lagi untuk berperan sebagai bahan baku hukum nasional.[30] Perkembangan
hukum nasional pasca reformasi mencakup tiga elemen sumber hukum yang mempunyai
kedudukan yang sama dan seimbang yaitu hukum adat, Barat dan Islam. Ketiganya
berkompetisi bebas dan demokratis, bukan pemaksaan.[31]

Peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam yang telah ditetapkan dalam bentuk undang-
undang diantaranya yaitu ; [32]
1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
3) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan sebagai pengganti Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992tentang Perbankan,
4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh yang mana pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan mengelola sumber daya alam dan sumber daya
manusia, termasuk di dalamnya penegakan syariat Islam.
7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai
pengganti Undang- Undang Nomor 17 Tahun 1999.
8) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Hukum Perbankan Syariah.
9) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.

Disamping berbagai undang-undang di atas, pada masa reformasi juga muncul berbagai peraturan
daerah yang memuat nilai-nilai hukum Islam di daerah-daerah diantaranya yaitu ;
No Asal Peraturan Jenis Nomor/ Tahun Perihal
1. NAD Qanun 11/2002 Syariat bidang ibadah, akidah,
dan syiar Islam di
Aceh.
Qanun 13/2003 Maisir (judi)
Qanun 14/2003 Khalwat (mesum)
Qanun 7/2004 Pengelolaan zakat
2. Propinsi Perda 11/2001 Pemberantasan dan
Sumbar pencegahan maksiat
3. Kota Solok Perda 10/2001 Kewajiban membaca Al-
(Sumbar) Qur’an bagi siswa dan
pengantin
\4. Padang Perda 2/2004 Pencegahan penindakan
Pariaman dan pemberantasan
(Sumatera maksiat
Barat)
5. Kota Padang Perda 3/2003 Wajib baca Al-Qur’an
(sumbar)
Insruksi 451.442/ Kewajiban berbusana
Walikota BINSOSIII/ muslimah
2005
6. Pasaman Perda Aturan berbusana muslim
Barat di sekolah
(Sumbar)
7. Kota Perda Perda Larangan pelacuran dalam
Bengkulu Kota Bengkulu
8. Riau Surat 003.1/UM Pembuatan papan nama
Gubernur /08.01.20 arab
03
9. Kota Batam Perda 6/2002 Ketertiban sosial (berisi
pemberantasan pelacuran,
pengaturan pakaian
warga, dan
pemberantasan kumpul
kebo)
10 Kota Pangkal Perda 6/2006 Pengawasan dan
Pinang pengendalian minuman
beralkohol
11. Sumatera Perda 13/2002 Pemberantasan maksiat
Selatan
12. Kota Perda 2/2004 Pemberantasan pelacuran
Palembang
13. Kota Perda 4/2005 Perubahan atas Peraturan
Banjarmasin Daerah Kota Banjarmasin
No. 13/2003 tentang
larangan kegiatan pada
Bulan Ramadhan
14. Kabupaten Perda 9/2005 ZIS
Bandung
15. Cirebon Perda 77/2004 Pendidikan madrasah
diniah awaliyah
Perda 5/2002 Larangan perjudian,
prostitusi, minuman keras
16. Kota Cilegon Perda 7/2005 Perusahaan daerah BPR
Syariah Kota Cilegon
17. Kabupaten Perda 1/2006 Ketentuan
Serang penyelenggaraan wajib
belajar madrasah diniyah
awaliyah
18. Kodya Keputusan 169/2006 Pembentukan tim
Yogyakarta Walikota kebijakan dan tim
pemberantasan perjudian,
kemaksiatan,
penyalahgunaan
narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif, minuman
keras, kenakalan remaja,
pornografi serta bentuk
kekerasan lainnya
19. Prop. Banten Prop. 4/2004 Pengelolaan zakat
Banten
20. Cilegon Perda 4/2001 Pengelolaan ZIS
21. Kab. Serang Perda 6/2002 Pengelolaan zakat
22. Kab. Perda 24/2004 Pengelolaan ZIS
Tangerang
23. Pengelolaan ZIS Perda 7/2005 Pelarangan pengedaran
dan penjualan minuman
beralkohol
Perda 8/2005 Pelarangan pelacuran
24. Prop. Jabar Keputusan 73/2001 Pengelolan zakat,
Gubernur pengurus BAZ Prop.
Jabar
25. Sukabumi Kep. 114/2003 Susunan organisasi dan
Bupati personalia pengurus
Badan Pengkajian Dan
Pengembangan Syariat
Islam (BPPSI) Sukabumi
Instruksi 04/2004 Pemakaian busana
Bupati muslim bagi siswa dan
mahasiswa di Sukabumi
Perda 11/2005 Penertiban minuman
beralkohol
26. Kab. Perda 7/1999 Prostitusi
Inderamayu
Perda 30/2001 Pelarangan peredaran dan
penggunaan minuman
keras
Perda 2/2003 Wajib belajar madrasah
diniyah awaliyah
Perda 7/2005 Pelarangan minuman
beralkohol
Edaran Wajib busana muslimah
Bupati dan pandai baca Al-
Qur’an untuk siswa
sekolah
27. Kab. Cianjur Perda 7/2000 Pengelolaan zakat
28. Jember Perda 14/2001 Penanganan pelacuran
29. Gresik Perda 7/2002 Larangan praktik
prostitusi
30. Pamekasan Perda 18/2001 Larangan peredaran
minuman beralkohol

Fenomena perda bernuansa syariat merupakan dampak dari perubahan sistem politik
kenegaraan dan pemerintahan. Sistem politik yang otoritarian berubah menjadi demokratis.
Sistem emerintahan yang sentralistik berubah menjadi desentralistik. Perubahan-perubahan
tersebut berdasarkan tuntutan masyarakat dan telah ditampung dalam Amandemen UUD
1945. Disahkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Pengaturan Anggaran Daerah dan Pusat
menjadikan pemerintah daerah lebih otonom.

Anda mungkin juga menyukai