Anda di halaman 1dari 4

1.

TAHAP-TAHAP PENEGAKAN HUKUM (TAHAP PENYELIDIKAN HINGGA PENGADILAN)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)  secara garis besar mengenal 3
(tiga) tahapan pemeriksaan perkara pidana yaitu Tahap Penyidikan, Tahap Penuntutan dan
Pemeriksaan di Pengadilan yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana
Terpadu (Integrated Criminal Justice System). 

Sistem terpadu maksudnya kewenangan penyidikan, penuntutan dan peradilan,


walaupun dilakukan oleh masing masing penegak hukum sesuai dengan kewenangannya di
setiap tahap, namun tetap merupakan satu kesatuan yang utuh atau saling keterkaitan satu
dengan lainnya dalam suatu sistem peradilan pidana.
Kegiatan Penyidikan “Dalam pasal 1 angka 5 KUHAP Penyelidikan adalah serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari atau menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara
yang diatur di dalam undang – undang ini” [CITATION RIA17 \p 31 \l 1057 ].
Pada tahap ini penyidik mempunyai kewenangan melakukan upaya hukum untuk
melakukan pemeriksaan,  penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan barang
bukti dan sebagainya, dimana dalam mengumpulkan barang bukti yang diperlukan, 
penyidik dapat meminta keterangan saksi, saksi ahli dan tersangka serta melakukan
penyitaan bukti surat atau tulisan yang dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan
(BAP). Kegiatan  penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, wajib diberitahukan kepada
Penuntut Umum dalam bentuk S ur at Pem ber it ahua n D im ulai ny a Peny idik an
(S P D P ),  dimana dengan SPDP, Penuntut Umum akan memantau perkembangan
penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik.
Penyidikan yang merupakan tahap lanjut dari penyelidikan, dalam “pasal 1 angka 2
KUHAP penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal yang menurut cara
yang diatur dalam undang – undnag ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya” [CITATION RIA17 \p 32 \l 1057 ].

Hasil penyidikan dalam bentuk berkas perkara, dikirimkan oleh penyidik kepada
Penuntut Umum (Penyerahan Tahap I), dan oleh Penuntut Umum dilakukan penelitian
terhadap kelengkapan berkas perkara baik dari segi formil maupun materil, yang dalam
sistem peradilan pidana terpadu disebut Pr a Penunt ut an . Dalam rangka penelitian
berkas perkara, maka ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan yaitu :
1. Jika hasil penelitian berkas perkara oleh Penuntut Umum,  dinyatakan lengkap, 
maka penyidik menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada
Penuntut Umum (Penyerahan Tahap II);
2. Jika hasil penelitian berkas perkara oleh Penuntut Umum, dinyatakan belum lengkap
atau kurang memenuhi peryaratan formil dan atau materil, maka berkas perkara dikirim
kembali oleh Penuntut Umum kepada Penyidik, untuk dilengkapi disertai petunjuk dari
Penuntut Umum kepada Penyidik.
Setelah berkas perkara dinyatakan lengkap dan penyerahan tersangka dan barang
bukti oleh penyidik kepada Penuntut Umum, maka  Penuntut Umum akan menyusun surat
dakwaaan (tahap Penuntutan) Hal ini diatur dalam “pasal 1 angka 7 KUHAP Penuntut adalah
tindakan jaksa untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.”
kemudian Penuntut Umum  melimpahkan  perkara tersebut ke Pengadilan untuk
disidangkan  dan diputus oleh Pengadilan (Taha p Pem er ik s aan Per s idanga n ). Proses
selanjutnya adalah proses pembuktian di pengadilan. Pembuktian pada umumnya
merupakan proses untuk menunjukkan situasi yang sesuai dengan masalah utama, atau
dengan kata lain untuk memeriksa kesesuaian antara peristiwa induk dan akar peristiwanya.
Dalam pidana kesesuaian tidak hanya ditafsirkan sebagai suatu kesamaan, tetapi juga
ditafsirkan sebagai kolerasi, atau keberadaan hubungan yang saling mendukung terhadap
penguatan atau pembenaran hukum [CITATION Har10 \p 59 \l 1057 ].

Lalu proses akhir adalah mengadili si terdakwa dengan menjatuhkan putusan. Dalam
“pasal 1 angka 9 KUHAP, mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak
disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini”.
2. SEJARAH KUHAP DI INDONESIA

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, adanya perubahan perundangundangan


di Negeri Belanda yang dengan asas konkordansi diberlakukan pula di Indonesia pada
tanggal 1 Mei 1848. Pada masa itu di Indonesia dikenal beberapa kodifikasi peraturan
hukum acara pidana, seperti reglement op de rechterlijke organisatie (RO. Stb 1847-23 jo
Stb 1848-57) yang mengatur mengenai susunan organisasi kehakiman; Inladsch reglement
(IR Stb 1848 Nomor 16) yang mengatur tentang hukum acara pidana dan perdata di
persidangan bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia dan Timur Asing; reglement
op de strafvordering (Stb. 1849 nomor 63) yang mengatur ketentuan hukum acara pidana
bagi golongan penduduk Eropa dan yang dipersamakan; landgerechtsreglement (Stb 1914
Nomor 317 jo Stb. 1917 Nomor 323) mengatur acara di depan pengadilan dan mengadili
perkara-perkara sumir untuk semua golongan penduduk. Disamping itu diterapkan pula
ordonansi-ordonansi untuk daearah luar Jawa dan Madura yang diatur secara terpisah.

Dalam perkembangannya ketentuan “Inlandsch Reglement” diperbaharui menjadi


“Het Herzien Inlandsch Reglement” (HIR), yang mendapat persetujuan Volksraad pada tahun
1941. HIR ini memuat reorganisasi atas penuntutan dan pembaharuan peraturan undang-
undang mengenai pemeriksaan pendahuluan. Dengan hadirnya HIR ini, muncullah Lembaga
Penuntut Umum (Openbare Ministrie) yang tidak lagi dibawah pamongpraja, tetapi
langsung berada dibawah Officer van Justitie dan Procucuer General.

Pada pendudukan Jepang pada umumnya tidak terjadi perubahan yang fundamental
kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan unttuk golongan Eropa. Dengan
demikian acara pidanapun tidak berubah. HIR dan reglement voor de Buitengewesten serta
Landgerechtreglment berlaku untuk pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan pengadilan
agung.
Setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, dilakukan berbagai upaya perubahan dengan
mencabut dan menghapus sejumlah peraturan masa sebelumnya, serta melakukan unifikasi
hukum acara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara semua
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Dalam hal ini, melalui penerapan Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Drt tahun 1951 ditegaskan, untuk hukum acara pidana sipil terhadap
penuntut umum semua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, masih berpedoman pada
HIR dengan perubahan dan tambahan.
pada tahun 1981, melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), segala peraturan yang sebelumnya berlaku
dinyatakan dicabut. KUHAP yang disebut-sebut sebagai “karya agung” bangsa Indonesia
merupakan suatu unifikasi hukum yang diharapkan dapat memberikan suatu dimensi
perlindungan hak asasi manusia dan keseimbangannya dengan kepentingan umum. Dengan
terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan
unifikasi yang lengkap. Dalam arti, seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran)
penyelidikan sampai pada kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai