Anda di halaman 1dari 11

Pembicaraan tentang masalah iman merupakan salah satu perkara penting

yang mendasar. Bahkan ini merupakan dasar aqidah seorang muslim. Salah
dalam memahami keimanan bisa menyebabkan seseorang terjerumus dalam
keharaman, kebid’ahan, bahkan bisa berujung kekafiran. Semoga sekelumit
pembahasan masalah iman ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

[Definisi Iman]

Para ulama mendefinisikan iman yaitu ucapan dengan lisan, keyakinan


hati, serta pengamalan dengan anggota badan,  bisa bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Inilah makna iman
menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mayoritas Ahlus Sunnah mengartikan
iman mencakup i’tiqad (keyakinan), perkataan, dan perbuatan.

Imam Muhammad bin Isma’il bin Muhammad bin al Fadhl at Taimi al


Asbahani mengatakan : “ Iman menurut pandangan syariat adalah
pembenaran hati, dan amalan anggota badan”.

Imam Al Baghawi mengatakan : ” Para sahabat, tabi’in, dan ulama ahlis


sunnah sesudah mereka bahwa amal termasuk keimanan… mereka
mengatakan bahwa iman adalah perkataan, amalan, dan aqidah”

Al Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab Al Umm : “ Telah terjadi ijma’
(konsesus)  di kalangan para sahabat, para tabi’in, dan pengikut sesudah
mereka dari yang kami dapatkan bahwasanya iman adalah perkataan, amal,
dan niat. Tidaklah cukup salah satu saja tanpa mencakup ketiga unsur yang
lainnya”

Al Imam Al Laalikaa-i meriwayatkan dari Imam Bukhari : “ Aku telah bertemu


lebih dari seribu ulama dari berbagai negeri. Tidak aku dapatkan satupun di
antara mereka berselisih bahwasanya iman adalah ucapan dan
perbuatan,bisa  bertambah dan berkurang “

Kesimpulannya menurut  definisi syariat tentang iman bahwasanya iman


mencakup perkataan dan perbuatan. Perkataan mencakup dua hal :
perkataan hati, yaitu i’tiqad (keyakinan) dan perkataan lisan. Perbuatan juga
mencakup dua hal yati perbuatan hati, yaitu niat dan ikhlas, serta perbuatan
anggota badan. Sehingga tidak ada perbedaan makna dari ucapan para
ulama di atas, yang ada hanya sebatas perbedaan istilah saja.[1]

[Iman Mencakup Keyakinan, Perkataan, dan Perbuatan]

Berikut dalil-dalil yang menjelaskan bahwa iman mencakup keyakinan hati,


perkataan, dan perbuatan.

Dalil tentang keyakinan hati :


Allah Ta’ala berfirman :

ِ ُ ‫إلي َمانُ فِي ُقل‬


‫وب ُك ْم‬ ِ ‫َولَمَّا َي ْد ُخ ِل ْا‬
“karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu” (Al Hujurat:14)

َ ‫وب ِه ُم فِي َك َت‬


‫ب‬ َ ‫اإْل ِي َم‬
ِ ُ ‫ان قُل‬
“Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati
mereka” (Al Mujaadilah:22)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫اإلي َمانُ َق ْل َب ُه‬


ِ ‫َيا َمعْ َش َر َمنْ آ َم َن ِبل َِسا ِن ِه َولَ ْم َي ْد ُخ ِل‬
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun keimanannya
belum masuk ke dalam hatinya”[2]

Dalil tentang perkataan lisan :

Firman Allah Ta’ala :

‫وب َو ْاألَسْ بَاطِ َو َمآأُوت َِي مُو َسى‬


َ ُ‫اق َو َيعْ ق‬َ ‫نز َل إِلَى إِب َْراهِي َم َوإِسْ مَاعِ ي َل َوإِسْ َح‬ ُ
ِ ‫نز َل إِلَ ْي َنا َو َمآأ‬
ُ ِ ‫قُولُوا َءا َم َّنا ِبا‬
ِ ‫هلل َو َمآأ‬
}136{ ‫ُون‬ َ
َ ‫ُّون مِن رَّ ب ِِّه ْم الَ ُن َفرِّ ُق َبي َْن أ َح ٍد ِّم ْن ُه ْم ِو َنحْ نُ لَ ُه مُسْ لِم‬ ُ
َ ‫يسى َو َمآأوت َِي ال َّن ِبي‬ َ ِ‫َوع‬

“Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allah dan apa
yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim,
Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada
Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya.
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya” (Al Baqarah:136)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

َ ‫ت أَنْ أ ُ َقا ِت َل ال َّن‬


َ ‫اس َح َّتى َيقُولُوا الَ إِلَ َه إِالَّ هَّللا ُ َف َمنْ َقا َل الَ إِلَ َه إِالَّ هَّللا ُ َف َق ْد َع‬
‫ص َم ِم ِّنى َمالَ ُه َو َن ْف َس ُه إِالَّ ِب َح ِّق ِه َو ِح َسا ُب ُه‬ ُ ْ‫أُمِر‬
ِ ‫َعلَى هَّللا‬

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan,


‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah’, maka
barangsiapa yang mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Allah’, maka sungguh dia telah menjaga harta dan jiwanya dari
(seranganku) kecuali dengan hak Islam, dan hisabnya diserahkan kepada
Allah”[3]

Dalil tentang amalan anggota badan :

Allah Ta’ala berfirman :
}143{ … ‫يع إِي َما َن ُك ْم‬ َ ‫َو َما َك‬
َ ِ‫ان هللا ُ لِيُض‬

“dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (shalatmu)” (Al Baqarah:143)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ٌ‫ِين َي ْزنِى َوه َُو م ُْؤ ِمن‬ َّ ‫الَ َي ْزنِى‬


َ ‫الزانِى ح‬

“Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina”[4]

Dan masih banyak dalil-dalil lain dari al Quran dan hadist yang menunjukkan
bahwa iman mencakup keyakinan, perkataan, dan perbuatan[5]

[Iman Bisa Bertambah dan juga Berkurang]

Di antara keyakinan yang benar tentang iman adalah bahwasanya iman dapat
bertambah dan juga dapat berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan kemaksiatan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :

‫َف َزادَ ُه ْم إِي َما ًنا‬

“maka perkataan itu menambah keimanan mereka” (Ali Imran :173)

}4{ ‫لِ َي ْزدَ ا ُدوا إِي َما ًنا م ََّع إِي َمان ِِه ْم‬

“supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang


telah ada)” (Al Fath:4)

Nabi Shalallahu ‘alihi wa sallam bersabda :

َ ‫ار َمنْ َقا َل الَ إِلَ َه إِالَّ هَّللا ُ َو َك‬


‫ان فِى َق ْل ِب ِه م َِن ْال َخي ِْر َما َي ِزنُ َذرَّ ًة‬ ِ ‫َي ْخ ُر ُج م َِن ال َّن‬
“akan keluar dari neraka, orang yang mengucapkan, ‘Laa Ilaaha Illaahu
(Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah) ‘, dan di dalam hatinya
terdapat kebaikan seberat biji sawi”[6]

Dalam hadist di atas nabi menjelaskan bahwa iman bertingkat-tingkat. Jika


sesuatu bisa mengalami penambahan, maka bisa juga berkurang, karena
konsekuensi dari penambahan adalah sesuatu yang diberi tambahan itu lebih
kurang daripada yang bartambah.[7]

Iman dapat bertambah disebabkan karena bebrapa hal :

1.      Mengenal Allah Ta’ala melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Semakin


seseorang mengenal Allah, keimanannya semkain bertambah.
2.      Memperhatikan ayat-ayat Allah baik ayat-ayat kauniyah maupun
ayat syar’iyah.

3.      Banyak melakukan ketaaatan.

4.      Meninggalkan kemakisatan dalam rangka mendekatkan diri kepada


Allah

Adapun ha-hal yang dapat mengurangi keimanan di antaranya :

1.      Berpaling dari mengenal Allah dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya

2.      Tidak mau memperhatikan ayat-ayat kauniyah dan syar’iyah

3.      Sedikitnya amal shalih

4.      Melakukan kemaksiatan kepada Allah[8]

[Iman Memiliki Banyak Cabang]

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫يق‬ َّ ‫ضل ُ َها َق ْو ُل الَ إِلَ َه إِالَّ هَّللا ُ َوأَ ْد َنا َها إِ َما َط ُة األَ َذى َع ِن‬
ِ ‫الط ِر‬ َ ‫شعْ َب ًة َفأ َ ْف‬ َ ‫ُون أَ ْو ِبضْ ٌع َوسِ ُّت‬
ُ ‫ون‬ َ ‫اإلِي َمانُ ِبضْ ٌع َو َس ْبع‬
‫ان‬
ِ ‫اإلي َم‬ ِ ‫شعْ َب ٌة م َِن‬ ُ ‫َو ْال َح َيا ُء‬

“Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam puluh
tiga sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah
perkataan, Laa illaaha illallah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain
Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.
Dan malu itu adalah sebagian dari iman.”[9]

Hadist ini diantara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan
hati dan amalan hati, perkataan lisan, dan juga perbuatan anggota badan
.Selain itu, hadist ini juga menunjukkan bahwa iman itu memiliki cabang-
cabang.

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “ Pokok keimanan memiliki


cabang yang banyak. Setiap cabang adalah bagian dari iman. Shalat adalah
cabang keimanan, begitu pula zakat, haji, puasa, dan amalan-amalan hati
seperti malu, tawakal… Di antara cabang-cabang tersebut adacabang  yang
jika hilang maka akan membatalkan keimanan seperti cabang syahadat. Ada
pula cabang yang jika hilang tidak membatalkan keimanan seperti
menyingkirkan gangguan dari jalan. Di antara dua cabang tersebut terdapat
cabang-cabang keimanan lain yang bertingkat-tingkat. Ada cabang  yang
mengikuti dan lebih dekat ke cabanag syahadat. Ada pula yang mengikuti dan
lebih dekat ke cabang menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula
kekafiran, memiliki pokok dan cabng-cabang. Sebagaimana cabang iman
adalah termasuk keimanan, maka cabang kekafiran juga termasuk kekafiran.
Malu adalah cabang iman, maka berkurangnya rasa malu merupakan cabang
dari kekafiran. Jujur adalah cabang iman, sedangkan dusta adalah cabang
kekafiran. Maksiat seluruhnya adalah cabang kekafiran, sebgaiaman semua
ketaatan adalah cabang keimanan”[10]

[Keimanan Betingkat-Tingkat]

Syaikh Ibnu Baaz ketika mengomentari perkataan Imam at Thahawi “ Iman


adalah satu kesatuan dan pemiliknya memiliki keimanan yang sama”
mengatakan : “Perkataan Imam at Thahawi ini perlu ditinjau lagi, bahkan ini
merupakan perkataan yang batil.  Orang yang beriman tidaklah sama dalam
keimanannya. Justru sebaliknya, mereka memiliki keimanan yang bertingkat-
tingkat dengan perbedaan yang mencolok. Iman para rasul tidaklah dapat
disamakan dengan iman selain mereka. Demikian pula iman para al khulafaur
rasyidin beserta para sahabat yang lain, tidaklah sama dengan yang lainnya.
Iman orang-orang yang betul-betul beriman juga tidak sama dengan iman
orang yang fasik. Hal ini didasari pada perbedaan yang ada dalam hati,
berupa pengenalan terhadap Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan
segala yang disyariatkan bagi hamba-Nya. Inilah pendapat Ahlus sunnah wal
jama’ah, berbeda dengan pendapat murjiah dan yang sepaham dengan
mereka.Wallahul musta’an “[11]

Permasalahan ini sangat jelas jika kita melihat dalil-dalil yang ada dalam al
Quran dan as Sunnah serta realita yang terjadi bahwa keimanan itu
bertingkat-tingkat.

Allah melebihkan sebagian rasul dibandingkan rasul yang lainnya.


Allah Ta’ala berfirman :

ٍ ‫دَر َجا‬
}253{ … ‫ت‬ َ ْ‫ض ِّم ْنهُم مَّن َكلَّ َم هللا ُ َو َر َف َع َبع‬
َ ‫ض ُه ْم‬ َ ْ‫ك الرُّ ُس ُل َفض َّْل َنا َبع‬
ٍ ْ‫ض ُه ْم َعلَى َبع‬ َ ‫ت ِْل‬

“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang
lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia)
dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. …” (Al
Baqarah:253)

Pemberian keutamaan sebgaian rasul dibandingkan yang lain disebabkan


perbedaan tingkat keimanan mereka.  Demikian pula di antara para rasul ada
yang termasuk ulul ‘azmi. Mereka adalah rasul-rasul yang memiliki kedudukan
yang paling agung dan derajat yang paling tinggi. Para rasul tidak sama
semua kedudukannaya di sisi Allah.

Allah Ta’ala berfirman :

}35{ … ‫ص َب َر أ ُ ْولُوا ْال َع ْز ِم م َِن الرُّ س ُِل‬


َ ‫َفاصْ ِبرْ َك َما‬
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan
hati dari rasul-rasul …” (Al Ahqaf:35)

Demikian pula keimanan para sahabat. Keimanan mereka berbeda-beda.


Keimanan yang paling tingggi adalah keimanan yang dimiliki oleh Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah sahalallhu ‘alaihi wa
sallam bersabda :“Seandainya keimaanan seluruh umat ditimbang dengan
keimanan Abu bakar, maka keimanan Abu Bakar lebih berat”. Abu Bakar
Su’bah al Qaari berkata : “Tidaklah Abu Bakar mendhaului kalian dengan
banyaknya sholat dan shodaqoh, namun dengan iman yang menancap di
hatinya”[12]

[Pelaku Dosa Besar Tetaplah Seorang Mukmin]

Termasuk pembahasan penting dalam masalah iman adalah dalam


menghukumi pelaku dosa besar. Pada dasarnya, seorang mukmin yang
melakukan kemaksiatan yang tidak sampai derajat kekafiran tetap dihukumi
sebagai seorang mukmin. Inilah madzab ahlus sunnah wal jama’ah. Di antara
dalilnya  yaitu ayat qishos dalam firman Allah :

ِ‫َف َمنْ ُعف َِي لَ ُه مِنْ أَخِي ِه َشيْ ُُء َفا ِّت َبا ُع ِب ْال َمعْ رُوف‬

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya,


hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik” (Al
Baqarah:178). Mereka (pelaku maksiat) tetap dianggap saudara seiman
dengan kemksiatan yang mereka lakukan. Allah juga berfirman :

‫ت إِحْ دَ ا ُه َما َعلَى ْاأل ُ ْخ َرى َف َقا ِتلُوا الَّتِي َت ْبغِي َح َّتى َتفِى َء‬
ْ ‫ِين ا ْق َت َتلُوا َفأَصْ لِحُوا َب ْي َن ُه َما َفإِن َب َغ‬
َ ‫ان م َِن ْالم ُْؤ ِمن‬
ِ ‫َوإِن َطآ ِئ َف َت‬
َ
‫ون إِ ْخ َوةٌ َفأصْ لِحُوا‬ ْ ْ
َ ِ‫هللا ُيحِبُّ ال ُم ْقسِ ط‬
َ ‫} إِ َّن َما الم ُْؤ ِم ُن‬9{ ‫ين‬ ُ َ ْ
َ َّ‫ت َفأصْ لِحُوا َب ْي َن ُه َما ِبال َع ْد ِل َوأ ْقسِ طوا إِن‬ َ ِ ‫إِلَى أَمْ ِر‬
ْ ‫هللا َفإن َفآ َء‬
}10{ … ‫َبي َْن أَ َخ َو ْي ُك ْم‬

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu” (Al Hujurat:9-10). Dalam
ayat ini Allah menyifati dua kelompok yang berperang dengan predikat
mukmin walaupun mereka saling berperang. Allah juga memberitakan bahwa
mereka adalah saudara, dan persaudaraan tidaklah terwujud kecuali antara
sesama kaum mukminin, bukan antara mukmin dan kafir.

Adapun orang-orang fasik yang berbuat kemakisatan, keimanan mereka tidak


hilang secara total Dalil-dalil syariat terkadang menetapkan keimanan pada
mereka, seperti firman Allah :
‫َو َتحْ ِري ُر َر َق َب ٍة م ُّْؤ ِم َن ٍة‬

“(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya (budak)  yang


beriman” (An Nisaa’:92). Budak beriman yang dimaksud termasuk juga budak
yang fasik.

Terkadang juga dalil-dalil syariat menafikan keimanan pada mereka, seperti


dalam hadist:

َّ ‫الَ َي ْزنِى‬
ٌ‫الزانِى حِينَ َي ْزنِى َوه َُو ُم ْؤمِن‬

“Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina”[13]

Madzab ahlussunnah dalam menyikapi pelaku maksiat adalah tidak


mengkafirkannya, namun juga tidak memutlakkan keimanan pada diri mereka.
Oleh akarena itu kita katakan sebgaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah: “ Mereka (orang-orang fasik) adalah mukmin dengan
keimanan  yang kurang (tidak sempurna), atau bisa juga dikatakan mukmin
dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besarnya. Mereka tidak
mendapat predikat iman secara mutlak, tidak pula hilang keimanan (secara
total) dengan dosa besarnya”[14] (Matan al ‘Aqidah al Washitiyah)

[Antara Iman dan Islam]

Apa perbedaan antara iman dan islam? Kata iman dan islam terkadang
disebutkan bersamaan dalam satu kalimat, namun terkadang disebutkan
salah satunya saja. Jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup
makna keduanya. Dan bila disebutkan kedua-duanya, maka iman dan islam
memiliki makna yang berbeda. Jika disebutkan iman saja, maka tercakup di
dalamnya makna iman dan islam. Demikian pula sebaliknya. Namun, jika
desebutkan iman dan islam, maka masing-masing memilki makna sendiri-
sendiri. Iman mencakup malan-amalan hati, sedangkan islam mencakup
amalan-amalan lahir.

Imam Ibnu Rajab al Hambali menjelaskan : “Jika masing-masing islam dan


iman disebutkan secara sendiri-sendiri (disebutkan iman saja atau islam saja)
maka tidak ada perbedaan di antara keduanya. Namun, apabila disebutkan
secra bersaamaan, di antara keduanya ada perbedaan. Iman adalah
keyakinan hati, pengakuan dan pengenalan. Sedangkan islam adalah
berserah diri kepada Allah, tunduk kepadan-Nya dengan melakukan amlan
ketaatan “[15]

[Kadar Minimal Rukun Iman]

Pokok-pokok keimanan terdapat dalam rukun iman yang enam, sebagaimana


diterangkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :
َ
ِ ‫َقا َل أنْ ُت ْؤم َِن ِباهَّلل ِ َو َماَل ِئ َك ِت ِه َو ُك ُت ِب ِه َو ُر ُسلِ ِه َو ْال َي ْو ِم اآْل خ ِِر َو ُت ْؤم َِن ِب ْال َق‬
‫دَر َخي ِْر ِه َو َشرِّ ِه‬

“Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para


Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.” [16]

Masing-masing rukun iman memiliki kadar minimal sehingga dikatakan sah


keimanan seseorang terhadap rukun tersebut. Secara umum, kadar minimal
untuk keenam rukun iman tersebut adalah sebagai  beikut

Iman kepada Allah:

–          Beriman dengan wujud Allah

–          Beriman dengan rububiyah Allah

–          Beriman dengan uluhiyah Allah

–          Beriman dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah

Iman kepada para malaikat Allah:

–          Beriman dengan keberadaan para malaikat Allah

–          Mengimani secara rinci nama-nama malaikat yang kita ketahui, dan
mengimani secara global yang tidak kita ketahui

–          Mengimani secara rinci sifat-sifat mereka yang kita ketahui, dan
mengimani secara global yang tidak kita ketahui

–          Mengimani secara rinci tugas-tugas  mereka yang kita ketahui, dan
mengimani secara global yang tidak kita ketahui

Iman kepada kitab-kitab Allah :

–          Mengimanai bahwa seluruh kitab berasal dari Allah

–          Mengimani secara rinci nama-nama kitab Allah yang kita ketahui dan
mengimani secara global yang tidak kita ketahui

–          Membenarkan berita-berita yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut

–          Beramal dengan hukum-hukum yang ada di dalamnya selama belum


dihapus

Iman kepada para rasul Allah :

–          Mengimani bahwa seluruh risalah para rasul berasal dari Allah
–          Mengimani secra rinci nama para nabi dan rasul Allah yang kita
ketahui dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui

–          Membenarkan berita yang shahih yang datang dari mereka

–          Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita (yaitu
Muhammad shalallhu ‘alaihi wa sallam)

Iman kepada hari akhir :

–          Beriman dengan hari kebangkitan

–          Beriman dengan hari perhitungan dan pembalasan  (al hisaab wal
jazaa’)

–          Beriman dengan surga dan neraka

–          Beriman dengan segala sesuatu yang terjadi setelah kematian

Iman kepada takdir Allah :

–          Beriman bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi

–          Beriman bahwasanya Allah telah menetapkan segala sesuatu di Lauh


mahfudz

–          Beriman bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah

–          Beriman bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan makhluk


Allah[17]

Barangsiapa yang tidak mengimani pokok-pokok yang ada pada kadar


minimal rukun iman, maka batal rukun iman tersebut. Dan barangsiapa yang
batal salah satu rukun iman, maka batal pula seluruh keimanannya.

[Hukum Mengatakan “ Saya Mukmin InsyaAllah”]

Bolehkah mengucapkan perkataan “Saya mukmin InsyaAllah?”. Perkataan ini


diistilahkan oleh para ulama dengan al istisnaa’ fil iman (pengecualian dalam
keimanan). Manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam masalah ini. Ada
yang mengharamkannya secara mutlak, ada yang membolehkannya secara
mutlak, dan ada yang merinci hukumnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya


tentang hukum perkataan : Saya mukmin Insya Allah”. Beliau menjelaskan : “
Perkataan seseorang ‘Saya mukmin Insya Allah’ diistilahkan oleh para ulama
dengan al istisnaa’ fil iman (pengecualian dalam keimanan). Masalah ini perlu
perincian :

1.      Jika istisna’ muncul karena ragu dengan adanya pokok keimanan maka


ini merupakan keharaman bahkan kekafiran.. Karena iman adalah sesuatu
yang pasti (yakin) sedangkan keraguan membatalkan keimanan.

2.      Jika istisna’ muncul karena khawatir terjatuh dalam tazkiyatun


nafsi (menyucikan diri), namun tetap disertai penerapan iman secara
perkataan, perbuatan, dan keyakinan,  maka hal ini sesuatu yang wajib
karena adanya rasa khawatir terhadap sesuatu yang berbahaya yang dapat
merusak iman.

3.      Jika maksud istisna’ adalah bertabaruk dengan menyebut masyiah


(kehendak Allah) atau untuk menjelaskan alasan, dan iman yang ada dalam
hati tetap tergantung kehendak Allah, maka hal ini diperbolehkan. Dan
penjelasan untuk penyebutan alasan (bayaani ta’lil) tidaklah meniadakan
pembenaran iman. Telah terdapat penjelasan hal ini seperti dalam firman
Allah :

َ ُ‫ين الَ َت َخاف‬


َ}27{… ‫ون‬ َ ‫ُوس ُك ْم َو ُم َقص ِِّر‬
َ ‫ِين رُ ء‬ َ ‫َت ْد ُخلُنَّ ْال َمسْ ِجدَ ْال َح َرا َم إِن َشآ َء هللا ُ َءا ِمن‬
َ ‫ِين م َُحلِّق‬

“… bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya


Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan
mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut…” (Al Fath :27). Dan juga
dalam do’a Nabi ketika ziarah kubur :

َ ‫“ َوإِ َّنا إِنْ َشا َء هَّللا ُ ِب ُك ْم الَ ِح ُق‬ dan kami insya Allah akan menyusul kalian”[18]
‫ون‬

Dengan penjelasan di atas, maka tidak boleh memutlakkan hukum dalam


masalah al istisna’ fil iman. Yang benar adalah merinci masalah ini[19].

Demikian beberapa penjelasan mengenai permasalahan iman. Semoga


bermanfaat.

Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tatimus shaalihaat

Penulis: Adika Mianoki

Artikel www.muslim.or.id

Catatan kaki

[1]. Lihat Nawaaqidul Iman al I’tiqodiyyah wa Dhowabitu Takfiir ‘inda as


Salaf I/35-37
[2]. H.R Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi. Dishahihkan Albani dalam Shohihul
Jaami’ VI/308
[3]. H.R Muslim22
[4]. H.R. Muslim 57
[5]. Lihat dalil-dalil yang lebih lengkap dan penjelasannya dalam Nawaaqidul
Iman I/38-54
[6]. H.R Muslim 193
[7]. Syarh Lum’atil I’tiqad 57, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin
[8]. Diringkas dari Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah 594-596, Syaikh ‘Utsaimin.
Kumpulan Ulama.
[9]. H.R Muslim 58
[10]. Dinukil dari Nawaaqidul Iman I/55-56
[11]. Ta’liq Syaikh Ibnu Baaz terhadap al ‘Aqidah at Thahawiyah.
Dalam Jaami’us Syuruh al ‘Aqidah ath Thahawiyah II/488. Cet. Darul Ibnul
Jauzi.
[12]. Lihat Syarh al ‘Aqidah at Thahawiyah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh.
Dalam Jaami’us Syuruh al ‘Aqidah ath Thahawiyah II/488
[13]. H.R. Muslim 57
[14]. Matan al ‘Aqidah al Washitiyah
[15]. Jaamiul ‘Ulum wal Hikam 63, Ibnu Rajab Al Hambali.
[16]. H.R. Muslim 8
[17]. Silakan simak pembahasan lengkapnya dalam Syarh Ushul
Iman, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin.
[18]. H.R Muslim 974
[19]. Alfaadz wa Mafaahim fii Mizani as Syar’i wa ad Diin 28-29, Syaikh
Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin.

Sumber: https://muslim.or.id/5478-iman-dalam-pandangan-ahlus-sunnah-wal-
jamaah.html

Anda mungkin juga menyukai