Disusun oleh :
Zaenab Muslikhah
Disetujui tanggal :
Dipresentasikan tanggal :
FAKULTAS KEDOKTERAN
YOGYAKARTA
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
Hepar adalah salah satu organ yang berperan penting dalam mengatur metabolisme
tubuh yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan bahan penting seperti sintesis protein,
pembentukan glukosa . Hepar juga berperan pada proses katabolisme dengan melakukan
detoksikasi bahan-bahan seperti amoniak, berbagai jenis hormon, obat-obatan dan sebagainya
( Zuber N, 2006).
mengakibatkan gangguan sistim syaraf otak akibat pengaruh zat-zat yang bersifat toksik.
Keadan klinis gangguan sistim syaraf otak pada penyakit hati tersebut merupakan gangguan
neuropsikiatri yang disebut koma hepatikum atau ensefalopati hepatic (EH) ( Zuber N,
2006).
Ensefalopati hepatik adalah suatu kelainan neuropsikiatri akibat disfungsi hati. Mula-
mula ada gangguan tidur, selanjutnya timbul gangguan kesadaran sampai koma. Ini merupaka
Ensefalopati hepatik adalah suatu gambaran klinik yang bisa didapatkan pada pasien
dengan hepatitis kronis. Hampir 30-80% pasien sirosis hati yang kelihatan normal neurologi
dan status mentalnya, tetapi setelah menunjukkan tes psikometri, positif mengalami EH
Kelainan mental dan kognitif ini dapat muncul secara akut dan reversible, tetapi bisa
juga berjalan kronis dan irreversible. Gangguan mental dapat berupa kebingungan, bicara
kacau, perubahan pola tidur, dan dapat berkembang progresif sampai koma (Bacon, 2008).
2
Encepalopati hepatikum perlu mendapatkan penatalaksanaan yang komperhensif agar
yang dapat mencetuskan EH, dan penatalaksanaan pada EH ringan perlu disampaikan kepada
pasien dan keluarganya agar dapat mendukung perbaikan kondisi padien. Perburukan kondisi
pasien pada hal-hal kecil perlu mendapat perhatian, misalnya ada perubahan pola tidur,
pasien sulit konsentrasi maupun gejala lain hendanya perlu diwaspadai apakah terjadi EH
sebab serebral, pengaturan diit, pencegahan peningkatan ammonia darah dengan laktulosa
serta antibiotik nonabsorbable. Pada pasien dengan EH ringan, mungkin masih bisa dilakukan
rawat jalan, akan tetapi pada EH berat perlu perawatan rumah sakit bahkan perawatan di
mengandung protein rantai cabang seperti pemberian LOLA, akan tetapi apabila pasien tidak
mampu, dapat diberikan diit protein nabati . Penelitian menunjukkan, pemberian 150g tempe
perhari pada pasien dh EH, dapat membantu mencegah progresivitas EH. Pencetus-pencetus
EH perlu diperhatikan, karena seringkali pasien jatuh pada kondisi ini akibat diit protein yang
berlebihan, buang air besar tidak teratur dan hipoglikemi (Zubir N, 2006).
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Ensefalopati hepatikum adalah sindroma yang dapat ditemukan pada pasien dengan
sirosis hepatis, yang didefinisikan sebagai suatu gangguan neuropsikiatri pada pasien dengan
disfungsi hati, setelah dapat disingkirkan kelainan serebral lain (Wolf D, 2010). Ensepalopati
detoksikasi hati terhadap amoniak dan toksin lainnya, disertai adanya pintasan postosistemik.
Hal ini berakibat, bahan toksik tanpa pembersihan oleh hati langsung masuk ke dalam darah
Ensefalopati hepatic adalah penyakit yang heterogen, yang merupakan akibat dari
penyakit hati yang berat, seperti hepatitis fulminan, sirosis hati maupun portosystemic shunt
Ensefalopati hepatikum dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe A adalah EH yang ditemukan
pada acut hepatic fulminant. Tipe B adalah EH yang ditemukan pada pasien dg portal
systemic bypass tanpa adanya penyakit hati intrinsik. Tipe C adalah EH yang ditemukan pada
sirosis dan hipertensi portal. Tipe ini paling sering dijumpai, berjalan kronis dan kadang
B. PREVALENSI
4
Saat ini belum ditemukan tes definitif untuk menentukan apakah seorang penderita
fulminant hepatic failure, dianggap telah mengalami EH. Sekitar 40% pasien sirosis telah
Meskipun secara klinis, hanya 1/3 pasien sirosis hati yang mengalami EH, akan tetapi
apabila tes diupayakan secara maksimal, ¾ pasien sirosis hati sebenarnya telah mengalami
EH ringan (Tarigan P, 2007). Pada pasien sirosis hati, prevalensi penderita EH sub klinis
C. PATOGENESIS
Ensefalopati hepatik merupakan komplikasi dari sirosis hati berat. Pada keadaan ini,
sebagian darah dari vena porta tidak dapat masuk k eke dalam hati, tetapi masuk ke vena
sistemik (bypass), akibatnya bahan-bahan toksik tidak terdetoksikasi di hati, akan tetapi
terakumulasi dalam darah. Apabila bahan toksik ini cukup banyak, dapat menyebabkan
gangguan fungsi otak. Keadaan inilah yang disebut ensefalopati hepatik (Kusumobroto HO,
2007).
Patogenesis EH sampai saat ini belum diketahui secara pasti karena masih terdapat
pada pasien dengan sirosis. Beberapa peneliti berpendapat bahwa ensefalopati hepatik adalah
gangguan fungsi astrosit. Jumlah astrosit sekitar sepertiga dari volume kortikal. Mereka
memainkan peran kunci dalam regulasi sawar darah-otak. Mereka terlibat dalam
5
mempertahankan homeostasis elektrolit dan dalam menyediakan nutrisi dan prekursor
Menurut teori ini, zat neurotoksik, termasuk amonia dan mangan, bisa masuk ke
dalam otak dalam pengaturan kegagalan hati. Zat-zat neurotoksik kemudian dapat
menyebabkan perubahan morfologi astrosit. Pada sirosis, astrosit dapat mengalami Alzheimer
jenis astrocytosis II. Di sini, astrosit menjadi edema dengan inti pucat besar, nukleolus
menonjol, dan marginasi kromatin. Dalam fulminant hepatic failure (FHF), astrosit juga
dapat menjadi edema. Perubahan astrocytosis Alzheimer tipe II tidak terlihat di FHF. Tapi,
berbeda dengan sirosis, pembengkakan astrosit di FHF mungkin menghasilkan edema otak.
Hal ini dapat menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dan, berpotensi, herniasi otak
(Wolf D, 2010).
Ensefalopati hepatik juga dapat dianggap sebagai gangguan yang merupakan hasil
akhir dari zat neurotoksik yang terakumulasi dalam otak. Neurotoksin diduga termasuk asam
lemak rantai pendek; merkaptan, neurotransmiter palsu, seperti tiramin, octopamine, dan
D,2010).
1. Hipotesis Amonia
Amoniak berasal dari mukosa usus sebagai hasil dari degradasi protein dalam lumen usus
dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati amoniak di ubah menjadi urea pada sel
hati periportal dan menjadi glutamine pada sel hati perivenus, sehingga jumlah amoniak yang
6
Astrosit Otak juga memiliki glutamin sintetase. Namun, otak tidak mampu
Amonia memiliki beberapa efek neurotoksik. Hal ini dapat mengubah transit asam amino, air,
dan elektrolit di astrosit dan neuron yang dapat mengganggu metabolisme asam amino dan
pemanfaatan energi di dalam otak. Amonia juga dapat menghambat generasi potensi
rangsang postsynaptic.
Dukungan tambahan untuk hipotesis amonia berasal dari pengamatan klinis bahwa
hepatik(Wolf D,2010).
2.Hipotesis GABA
Ketidak seimbangan antara asam amino neurotransmitter yang merangsang dan yang
menghambat fungsi otak merupakan fakor yan berperan pada terjanya EH. Terjadi
penurunan transmitter yang memiliki efek merangsang seperti glutamate, aspartat dan
dopamine sebagai akibat meningkatnya ammonia dan gama amino butirat (GABA) yang
GABA adalah zat neuroinhibitor yang diproduksi di saluran pencernaan. Kompleks reseptor
GABA berisi situs yang mengikat untuk GABA, benzodiazepine, dan barbiturat. Ia percaya
bahwa ada peningkatan tingkat benzodiazepin GABA dan endogen dalam plasma. Bahan
kimia ini kemudian akan menyeberangi sawar darah-otak extrapermeable. Pengikatan GABA
7
Sebelumnya, diyakini bahwa pemberian flumazenil, suatu antagonis reseptor
benzodiazepin, dapat meningkatkan fungsi mental pada pasien dengan ensefalopati hepatik.
Sekarang tampak bahwa flumazenil meningkatkan fungsi mental hanya sebagian kecil pasien
dengan sirosis.
Kompleks reseptor GABA saraf berisi situs pengikatan untuk neurosteroids. Hari ini,
produksi dari reseptor perifer-jenis benzodiazepin (PTBR) dalam astrosit. PTBR, pada
Neurosteroids kemudian dilepaskan dari astrosit tersebut. Mereka mampu mengikat reseptor
mereka dalam kompleks reseptor GABA saraf dan dapat meningkatkan penghambatan
neurotransmisi.
Satu studi membandingkan kadar berbagai zat kimia dalam jaringan otak yang diotopsi dari
pasien dengan sirosis yang meninggal dalam keadaan koma atau meninggal tanpa bukti
pregnenolon, ditemukan dalam jaringan otak pasien yang meninggal dalam keadaan koma
hepatik . Reseptor benzodiazepin ligan tidak signifikan meningkat pada pasien dengan atau
D. GAMBARAN KLINIS
Tingkatan gejala ensefalopati hepatik dilakukan sesuai dengan sistem yang disebut
8
1. Derajat 0 - hepatik ensefalopati Minimal (sebelumnya dikenal sebagai
hipersomnia, insomnia, atau pembalikan pola tidur. Euforia, depresi, atau lekas
3. Kelas 2 - Letargi atau apatis. Disorientasi. Perilaku yang tidak pantas. Bicara
cadel, asteriksis jelas. Mengantuk, lesu, defisit bruto pada kemampuan untuk
melakukan tugas mental, perubahan kepribadian yang jelas, perilaku yang tidak
5. Kelas 4 - Koma dengan atau tanpa respon terhadap rangsangan yang menyakitkan
9
Dalam ensefalopati hepatik minimal, pasien mungkin memiliki kemampuan normal
dalam bidang memori, konstruksi bahasa, dan keterampilan motorik murni. Namun, pasien
dengan ensefalopati hepatik yang minimal menunjukkan gangguan perhatian kompleks dan
berkelanjutan. Mereka mungkin memiliki pilihan penundaan dalam waktu reaksi. Mereka
bahkan mungkin memiliki gangguan kebugaran untuk mengemudi . Biasanya, pasien dengan
ensefalopati hepatik yang minimal memiliki fungsi normal pada pengujian standar Status
mental tetapi tes psikometri yang abnormal. Tes neurofisiologis dalam penggunaan umum
adalah tes uji hubung angka, tes simbol angka, tes desain blok, dan tes waktu reaksi terhadap
memori jangka pendek dan konsentrasi pada pengujian status mental. Mereka mungkin
menunjukkan tanda-tanda asteriksis, meskipun getaran kepakan kaki juga diamati pada
10
Beberapa pasien menunjukkan bukti fetor hepatikum, aroma nafas yang manis dari
Potensial lainnya temuan pemeriksaan fisik meliputi hiperventilasi dan suhu tubuh menurun
(Wolf, 2011).
E. DIAGNOSIS
penunjang. Pemeriksaan tersebut adalah pemeriksaan fisik, laborat, EEG, dan tes psikometri
(Zubir N.2006).
fitur. Seringkali ketika pasien mengalami ensefalopati untuk pertama kalinya, mereka tidak
menyadari , tetapi begitu mereka telah melalui pengalaman untuk pertama kalinya, mereka
dapat mengidentifikasi ketika hal ini berkembang dalam situasi berikutnya dan seringkali bisa
2008)).
Secara klinis, menurut kriteria West Haven, ditemukan adanya gangguan kesadaran
disertai adanya penyakit hati ( sirosis atau Fulminant Hepatic Failure)( Tarigan P, 2007).
Pemeriksaan laoratorium, tidak ada yang spesifik untuk EH, akan tetapi berfungsi
menyingkirkan penyebab lain, serta menentukan pencetus dari EH tersebut seperti gangguan
elektrolit serta gangguan fungsi hati. Hipokalemi dapat mencetuskan EH. Sedangkan
pemeriksaan laboratorium yang perlu diperiksa adalah, serum glutamil aksalo asetat (SGOT),
serum glutamil piruvat transaminase (SGPT), bilirubin serum, alfa feto protein (AFP),
protrombin time, kadar gula darah, elektrolit, ureum dan kreatinin. Pemeriksaan kadar
11
ammonia darah adalah karakteristik, bukan esensi, dan kurang berkorelasi dengan
EH(Tarigan P, 2007).
Amonia adalah racun yang paling mudah diidentifikasi dan diukur tetapi tidak
gelombang perdetik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal alfa (8-12HZ)
(Zubir N, 2006).
Tes psikometri dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual pasien yang
mengalami EH subklinis yaitu dengan uji hubung angka UHA (Number Conection Test atau
Tes psikometri UHA dapat dipakai untuk menilai EH pada pasien sirosis hati terutama
Pengukuran kadar ammonia darah, kurang berkorelasi dengan EH, akan tetapi apabila
tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan ammonia darah. Hubungan EH dengan kadar amonia
12
Tingkat Ensefalopati Hepatik Kadar ammonia darah (ug/dL)
Tingkat 0 <150
Tingkat 1 151-200
Tingkat 2 201-250
Tingkat 3 251-300
Tingkat 4 >300
Pemeriksaan radiologi dengan MRI dan CT scan dapat digunakan untuk mengevaluasi
struktur dan fungsi serebral, akan tetapi kurang bermanfaat (Tarigan P, 2007).
F. DEFERENSIAL DIAGNOSIS
Membedakan EH dengan gangguan mental akut maupun kronis, sangat sulit pada
pasien sirosis hati. Pasien didiagnosis dengan EH apabila didapatkan adanya gangguan status
mental. Sharma et al melakukan penelitian, pemberian laktulosa pada penderita sirosis hati,
dengan kesimpulan, pemberian laktulosa pada penderita sirosis hati dapat mencegah
timbulnya EH. Pada pasien sirosis hati, apabila didapatkan gangguan mental yang membaik
dengan pemberian laktulosa, maka dapat disimpulkan bahwa gangguan mental tersebut
5. Toksik encepalopati karena alkohol, obat –obatan seperti hipnotik sedative, anti
13
G. PENATALAKSANAAN
sekunder. EH primer terjadi akibat kerusakan parenkim hati yang berat tanpa adanya faktor
pencetus. Sedangkan EH sekunder terjadi karena adanya faktor pencetus (Zubir N, 2006).
14
3. Mrngurangi atau mencegah influks toksin-toksin nitrogen ke jaringan otak dengan
cara :
komplikasi.
Pendekatan kepada pasien dengan ensefalopati hepatik juga tergantung pada tingkat
keparahan, perubahan status mental dan atas kepastian diagnosis. Sebagai contoh, pasien
dengan sirosis dan keluhan konsentrasi menurun mungkin penatalaksanaan terbaik dengan
rifaximin atau laktulosa dan pasien diminta kontrol untuk tindak lanjut dan memeriksa
2010).
15
Rekomendasi manajemen umum adalah sebagai berikut (Wolf D, 2010):
1. Singkirkan penyebab non hepatik pada pasien sirosis hati dengan perubahan
fungsi mental.
4. Hindari obat yang menekan fungsi sistem saraf pusat, terutama benzodiazepin.
Pasien dengan agitasi parah dan ensefalopati hepatik dapat diberikan haloperidol
16
5. Pasien dengan ensefalopati yang parah (misalnya, grade 3 atau 4) yang beresiko
dalam waktu 18-26 jam setelah pemasangan stent graft, gejala ensefalopati
hepatik tidak muncul. Kondisi ini tidak muncul kembali selama masa tindak lanjut
jantung, yang lain menjalani transplantasi hati orthotopic, dan 2 lagi tidak dapat
ditindaklanjuti. Lima pasien yang tersisa menyelesaikan studi dalam kondisi klinis
yang baik. Para penulis menyimpulkan bahwa stent graft tampaknya efektif
mengurangi aliran shunt dan cepat memperbaiki kondisi klinis pasien (Wolf D,
2010).
1. Diet
Pada akhir abad 19, hal itu diakui bahwa makan protein tinggi pada anjing yang
telah menjalani operasi shunt portosystemic bisa menghasilkan gejala koordinasi abnormal
17
dan pingsan. Pada abad ke-20, diet rendah protein secara rutin dianjurkan untuk pasien
dengan sirosis, dengan harapan penurunan produksi amonia usus dan mencegah eksaserbasi
ensefalopati hepatik. Konsekuensi yang jelas adalah pemburukan yang sudah ada sebelumnya
yaitu kekurangan energi protein. Pembatasan protein mungkin cocok pada beberapa pasien
protein jarang dibenarkan pada pasien dengan sirosis dan ensefalopati hepatik persisten.
Memang, kekurangan gizi adalah masalah klinis yang lebih serius daripada ensefalopati
Sangat jarang pasien yang tidak toleran terhadap diet tinggi protein. Kebanyakan
pasien dengan ensefalopati hepatik ringan kronis mentoleransi lebih dari 60-80 g protein per
hari. Selanjutnya, satu penelitian diberikan diet kaya protein (> 1,2 g / kg / d) untuk pasien
dengan penyakit lanjut yang menunggu transplantasi hati, tanpa menginduksi gejala
ensefalopati muncul. Studi lain secara acak pasien dengan ensefalopati episodik berat baik
diet rendah protein atau diet tinggi protein, diberikan melalui pipa nasogastrik.
Semua pasien menerima rejimen yang sama yaitu neomisin per tabung nasogastrik.
Fungsi mental meningkat pada tingkat yang sama pada kedua kelompok pengobatan. Yang
penting, pasien yang menerima diet rendah protein memiliki bukti untuk peningkatan
Diit yang mengandung protein nabati tampaknya lebih baik ditoleransi daripada diet
kaya protein hewani, khususnya protein yang berasal dari daging merah. Ini mungkin karena
kandungan serat makanan meningkat, sebuah katarsis alam, dan tingkat penurunan asam
amino aromatik. Asam amino aromatik, sebagai prekursor untuk neurotransmiter tiramin
18
Penulis merekomendasikan bahwa pasien diijinkan mengkonsumsi ayam yang
dimasak dengan baik dan ikan di samping protein nabati. Pasien malnutrisi didorong untuk
menambahkan suplemen gizi cair yang tersedia secara komersial untuk diet mereka. Pasien
jarang memerlukan perawatan khusus dengan suplemen oral atau enteral kaya asam amino
rantai cabang.
2. Katartik
disakarida nonabsorbable yang telah digunakan secara klinis umum sejak awal 1970-an (yang
terakhir ini tidak tersedia di Amerika Serikat). Mereka terdegradasi oleh bakteri usus menjadi
mekanisme. Konversi Lactulose hasil asam laktat dalam pengasaman lumen usus. Ini
memperbaiki konversi NH4 + untuk NH3 dan bagian dari NH3 dari jaringan ke lumen.
Laktulosa dosis awal adalah 30 mL secara oral, atau dua kali sehari. Dosis dapat
laktulosa apabila diare, kram perut, atau kembung. Pasien harus mengambil laktulosa cukup
ileus, diare berat, gangguan elektrolit, dan hipovolemia. Hipovolemia mungkin tidak cukup
19
Laktulosa dosis tinggi (misalnya, 30 mL q2-4h) dapat diberikan secara oral atau
dengan selang nasogastrik untuk pasien rawat inap dengan ensefalopati hepatik parah.
Laktulosa dapat diberikan sebagai enema untuk pasien yang koma dan tidak mampu minum
obat melalui mulut. Pemberian dosis yang dianjurkan adalah 300 ml laktulosa ditambah 700
mL air, diberikan sebagai enema retensi setiap 4 jam sesuai kebutuhan. Penulis telah berhasil
dengan baik menggunakan PEG-larutan yang mengandung lavage kolon, seperti Go-
LYTELY diberikan melalui pipa nasogastrik, dalam pengelolaan pasien rawat inap dengan
Laktulosa telah menjadi subjek dari puluhan uji klinis selama hampir 4 dekade.
hepatik. Namun, satu meta-analisis bertentangan dengan percobaan dan pengalaman klinis
penulis. Ketika menilai kualitas percobaan , laktulosa tidak lebih efektif daripada plasebo
pada peningkatan gejala ensefalopati. Dalam uji coba membandingkan laktulosa terhadap
antibiotik (misalnya, neomisin, rifaximin), laktulosa sebenarnya lebih rendah terhadap terapi
khususnya rifaximin.
3. Antibiotik
paromomisin, dan kuinolon oral, diberikan dalam upaya untuk menurunkan konsentrasi
bakteri kolon ammoniagenik. Dosis neomisin awal adalah 250 mg per oral 2-4 kali sehari.
Dosis setinggi 4000 mg / hr dapat diberikan. Neomycin biasanya digunakan sebagai agen lini
kedua, setelah mulai pengobatan dengan laktulosa. Pengobatan jangka panjang dengan
20
aminoglikosida oral berrisiko ototoksik dan nefrotoksik karena ada penyerapan sistemik.
Rifaximin (Xifaxan, Salix Farmasi, Inc, Morrisville, NC), turunan nonabsorbable rifampisin,
telah digunakan di Eropa selama lebih dari 20 tahun untuk berbagai indikasi pencernaan. Ini
Pada tahun 2003, Mas A, at all pada penelitiannya menyatakan bahwa rifaksimin
lebih superior dibanding laktulosa dalam penatalaksanaan EH pada sirosis hati (Mas A, et all.
2003)
Pada tahun 2004, rifaximin menerima persetujuan oleh FDA di Amerika Serikat
untuk pengobatan diare travellers '. Pada tahun 2005, ia menerima status obat altenatif
sebagai pengobatan untuk ensefalopati hepatik. Berbeda dengan neomisin, profil tolerabilitas
yang sebanding dengan plasebo. Beberapa uji klinis telah menunjukkan bahwa rifaximin pada
dosis 400 mg diminum 3 kali sehari sama efektifnya dengan laktulosa atau lactilol pada
gejala ensefalopati hepatik Demikian pula, rifaximin sama efektifnya dengan neomisin dan
nonabsorbable lainnya.
Pada bulan Maret 2010, rifaximin telah disetujui oleh FDA untuk mengurangi
kekambuhan ensefalopati hepatik. Persetujuan didasarkan pada percobaan 3 fase klinis yang
Bass dkk menilai kemampuan rifaximin untuk mengurangi risiko ensefalopati hepatik
klinis, pada 299 pasien yang menerima rifaximin 550 mg atau plasebo BID.. Setiap
kelompok juga menerima laktulosa. Terobosan episode terjadi pada 22% pasien yang diobati
dengan rifaximin dan 46% dari pasien dengan plasebo (P <0,001). Pasien HE yang harus
dirawat inap terjadi pada 14% pasien yang diobati dengan rifaximin dan 23% dari pasien
21
Edema perifer dan mual dijelaskan dalam beberapa pasien yang mendapat rifaximin.
Ada juga pertanyaan apakah pengobatan jangka panjang dengan rifaximin dapat menginduksi
resistensi mikroba. Sejauh ini, resistensi mikroba belum dilaporkan pada pasien yang
menggunakan obat. Masih belum jelas apakah diare yang disebabkan oleh Clostridium
difficile terjadi pada tingkat yang lebih tinggi pada pasien yang diobati rifaximin
dibandingkan pasien yang tidak diobati. Dalam penelitian oleh Bass et al, 2 pasien yang
Eropa dengan dua formulasi yaitu intravena dan formulasi oral. Hal ini tidak tersedia di
Amerika Serikat. LOLA adalah garam stabil dari 2 asam amino penyusunnya. L-ornithine
merangsang siklus urea, dengan mengakibatkan hilangnya amonia. L-ornithine dan l-aspartat
transaminase yang substrat untuk glutamat. Administrasi hasil peningkatan kadar glutamat.
Amonia kemudian digunakan dalam konversi glutamat untuk glutamin oleh sintetase
glutamin . LOLA ditemukan efektif dalam mengobati ensefalopati hepatik pada sejumlah
percobaan Eropa .
Seng
Defisiensi seng adalah umum pada sirosis. Bahkan pada pasien yang tidak
22
dengan meningkatkan aktivitas ornithine transcarbamylase, enzim dalam siklus urea.
Seng sulfat dan seng asetat telah digunakan pada dosis 600 mg oral setiap hari dalam
uji klinis. Ensefalopati hepatik membaik dalam 2 studi ;. Tidak ada perbaikan dalam fungsi
hippurate. Ekskresi ginjal berikutnya menghasilkan adanya kenaikan hippurate dan hilangnya
ion amonia. Dosis natrium benzoat pada 5 g secara oral dua kali sehari secara efektif dapat
mengontrol ensefalopati hepatik . Penggunaan obat ini dibatasi oleh risiko kelebihan garam
dan dengan rasa yang tidak menyenangkan. Obat, juga digunakan sebagai pengawet
kemudian diekskresikan dalam urin, dan menghilangkan ion amonia. Natrium phenylbutyrate
(Buphenyl, Ucyclyd Pharma, Scottsdale, Ariz) dan natrium phenylacetate intravena dalam
kombinasi dengan natrium benzoat (Ammonul, Ucyclyd Pharma, Scottsdale, Ariz) disetujui
oleh FDA untuk pengobatan hiperamonemia berhubungan dengan gangguan siklus urea.
Ammonul saat ini sedang menjalani uji klinis pada pasien dengan sirosis, hiperamonemia,
L-karnitin
23
Pemberian L-karnitin pada gejala ensefalopati hepatik membaik dalam beberapa
penelitian kecil pada pasien dengan sirosis Apakah obat bekerja dengan meningkatkan kadar
amonia atau apakah ia bekerja terpusat mungkin dengan mengurangi penyerapan amonia
Gangguan tidur lebih umum pada pasien dengan sirosis dibanding subyek kontrol.
Apakah ini berhubungan atau tidak dengan ensefalopati hepatik tidak jelas. Sebuah penelitian
membandingkan hidroksizin histamin H1 bloker dengan plasebo pada pasien dengan sirosis
dan ensefalopati hepatik yang minimal Efisiensi tidur dan kualitas subjektif tidur pasien
meningkat pada pasien yang menerima hidroksizin (25 mg) pada waktu tidur.. Namun, tidak
ada perbaikan yang menyertainya dalam kognisi, yang diukur dengan tes neurofisiologis.
Para penulis mendesak hati-hati ketika meresepkan hidroksizin, pada penelitian risiko
H. PROGNOSIS
diagnosis dan keparahan dari EH, derajat kegagalan hati dan lamanya menderita. Penilaian ini
dapat dilakukan skor dengan MELD atau Child Turcote Pugh. Penilaian fungsi hati dengan
Tabel 6 : Penilaian fungsi hati berdasarkan kriteria Child Turtotte Pugh (Tarigan P, 2007).
Parameter 1 2 3
24
Skor
Ensefalopati Gradasi Gradasi I-II Gradasi III-IV
Asites Nihil Ringan Berat
Bilirubin <2 2-3 >3
Albumin >3,5 2,8-3,5 <2,8
PPT 1-3 4-6 >6
INR <1,7 1,7-2,3 >2,3
Berdasarkan kriteria Child Turtotte Pugh, derajat keparahan sirosis hati dibagi menjad
Child Turtotte Pug A dengan poin 5-6, Child Turtotte Pug B dengan poin 7-9 dan Child
EH pada sirosis hati dengan faktor pencetus yang dapat dikoreksi, pada umumnya
prognosis baik. Sedangkan EH pada usia lanjut harus dipertimbangkan factor penyakit
serebrovaskuler. EH akut dengan koma atau FHF, 80% berakhir dengan kematian. Sedangkan
EH kronik, kombinasi dengan asites, ikterus dan perdarahan, prognosisnya jelek (Tarigan P,
2007).
KOMPLIKASI
1. Edema serebral
2. Herniasi otak
25
SIMPULAN
spektrum yang sangat luas. Gambaran klinik bervariasi, mulai asimptom ( derajat 0),
perubahan pola tidur, sampai koma ( derajat IV). Etiologi paling sering adalah sirosis hati dan
hipertensi portal. Penatalaksanaan hendaknya dimulai sejak awal sirosis, sebelum ada
26
Pasien dengan sirosis hati perlu secara rutin dilakukan pemeriksaan untik deteksi
adanya komplikasi sirosi hati, termasuk adanya ensefalopati hepatic. Pada pasien rawat jalan,
adanya gagguan tidut, gangguan konsentrasi dan pemanjangan waktu uji hubung angka, perlu
menjadi perhatian apakah pasien SH ini telah mengalami EH subklinis. Pasien perlu
diberikan edukasi mengenai pentingnya pengaturan pola diit dengan diit tinggi serat, dan
tinggi protein dan diperbolehkan diit daging merah yang dimasak dengan baik.
pemberian laktulosa untuk mendapatkan buang air besar 2-3 kali sehari. Antibiotik non
absorbable seperti Rifaksimin yang diberikan bersama dengan laktulosa membantu pasien
dalam pembersihan saluran cerna dan mencegah pembentukan ammonia yang berlebihan
Sedangkan pasien dengan EH derajat IV atau koma, perlu perawatan rumah sakit,
Prognosis dari EH tergantung pada derajat mana pasien terdeteksi. Pada EH yang
disertai asiters, perdarahan dan koma, prognosisnya buruk. Sedangkan yang terpenting bagi
klinisi adalah menemukan EH subklinis pada pasien sirosis untuk mencegah progresifitas
penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Bacon BR, 2008. Cirrhosis and its Complication p 1971-1980. Fauci AS, Harrison’s
Principles of Internal Medicine vol 1, Mc-Graw-Hill Company, USA
,
Kusumobroto HO, 2007. Sirosis Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati, Edisi Pertama,
Jaya Abadi. Jakarta. Hal 335-346
Lawrence S, Friedman MD, 2011. Liver, Biliary Tract and Pancreas. In : Current Medical
Diagnosis and Treatment, Forty-seventh Edition,The McGraw-Hill Medical, San
Fransisco, p : 566-569
Mas A, et all, 2003, Challenges of Designing Hepatic Encephalopathy Treatment Trials . In:
Hepaology Elsewhere,Vol 38, no 2,Agust 2003 p 528-529
27
Nurdjannah S. 2006. Sirosis Hepatis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 5 .
Interna Publishing .Jakarta. hal 668-673
Ramos JFR, Celina Rodríguez Leal CR, 2011. Review of the Final Report of the 1998
Working Party on Definition, Nomenclature and Diagnosis of Hepatic
Encephalopathy. In : Annals of Hepatology. Vol 10 Suppl.2, 2011,p 37-38
Tarigan P. 2007. Ensefalopati Hepatik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi Pertama,
Jaya Abadi. Jakarta hal 407-419
Zubir N, 2006. Koma Hepatik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 5 . Interna
Publishing .Jakarta. hal 677-680
28