Anda di halaman 1dari 28

Tinjauan Pustaka

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA ENSEFALOPATI HEPATIKUM


TERKINI

Disusun oleh :

Zaenab Muslikhah

Disetujui tanggal :

dr. Putut Bayu Purnama, SpPD KG-EH……………………………..

Dipresentasikan tanggal :

dr. Putut Bayu Purnama, SpPD KG-EH………………………………

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA/RSUP DR. SARDJITO

YOGYAKARTA

2011

1
BAB I

PENDAHULUAN

Hepar adalah salah satu organ yang berperan penting dalam mengatur metabolisme

tubuh yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan bahan penting seperti sintesis protein,

pembentukan glukosa . Hepar juga berperan pada proses katabolisme dengan melakukan

detoksikasi bahan-bahan seperti amoniak, berbagai jenis hormon, obat-obatan dan sebagainya

( Zuber N, 2006).

Adanya kerusakan hati dapat mengganggu fungsi-funfsi tersebut, sehingga

mengakibatkan gangguan sistim syaraf otak akibat pengaruh zat-zat yang bersifat toksik.

Keadan klinis gangguan sistim syaraf otak pada penyakit hati tersebut merupakan gangguan

neuropsikiatri yang disebut koma hepatikum atau ensefalopati hepatic (EH) ( Zuber N,

2006).

Ensefalopati hepatik adalah suatu kelainan neuropsikiatri akibat disfungsi hati. Mula-

mula ada gangguan tidur, selanjutnya timbul gangguan kesadaran sampai koma. Ini merupaka

komplikasi sirosis hati yang meningkatkan mortalitas (Nurdjannah S, 2006).

Ensefalopati hepatik adalah suatu gambaran klinik yang bisa didapatkan pada pasien

dengan hepatitis kronis. Hampir 30-80% pasien sirosis hati yang kelihatan normal neurologi

dan status mentalnya, tetapi setelah menunjukkan tes psikometri, positif mengalami EH

subklinik, dan kadang terlewatkan pada pemeriksaan klinik (Pengarapen T, 2007).

Kelainan mental dan kognitif ini dapat muncul secara akut dan reversible, tetapi bisa

juga berjalan kronis dan irreversible. Gangguan mental dapat berupa kebingungan, bicara

kacau, perubahan pola tidur, dan dapat berkembang progresif sampai koma (Bacon, 2008).

2
Encepalopati hepatikum perlu mendapatkan penatalaksanaan yang komperhensif agar

dapat dicegah kejadian maupun progresifitasnya. Edukasi pasien, mengenai faktor-faktor

yang dapat mencetuskan EH, dan penatalaksanaan pada EH ringan perlu disampaikan kepada

pasien dan keluarganya agar dapat mendukung perbaikan kondisi padien. Perburukan kondisi

pasien pada hal-hal kecil perlu mendapat perhatian, misalnya ada perubahan pola tidur,

pasien sulit konsentrasi maupun gejala lain hendanya perlu diwaspadai apakah terjadi EH

subklinis (Pangarapen T, 2007).

Penatalaksanaan EH meliputi penegakan diagnosis dengan menyingkirkan sebab-

sebab serebral, pengaturan diit, pencegahan peningkatan ammonia darah dengan laktulosa

serta antibiotik nonabsorbable. Pada pasien dengan EH ringan, mungkin masih bisa dilakukan

rawat jalan, akan tetapi pada EH berat perlu perawatan rumah sakit bahkan perawatan di

ruang intensif (Zubir N,2006).

Diit pada pasien EH perlu diperhatikan dengan pemberian makanan yang

mengandung protein rantai cabang seperti pemberian LOLA, akan tetapi apabila pasien tidak

mampu, dapat diberikan diit protein nabati . Penelitian menunjukkan, pemberian 150g tempe

perhari pada pasien dh EH, dapat membantu mencegah progresivitas EH. Pencetus-pencetus

EH perlu diperhatikan, karena seringkali pasien jatuh pada kondisi ini akibat diit protein yang

berlebihan, buang air besar tidak teratur dan hipoglikemi (Zubir N, 2006).

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Ensefalopati hepatikum adalah sindroma yang dapat ditemukan pada pasien dengan

sirosis hepatis, yang didefinisikan sebagai suatu gangguan neuropsikiatri pada pasien dengan

disfungsi hati, setelah dapat disingkirkan kelainan serebral lain (Wolf D, 2010). Ensepalopati

hepatikum di gambarkan sebagai perubahan kepribadian , penurunan intelektual dan

gangguan bicara. Penyebabnya adalah kegagalan fungsi hepatoseluler, penurunan kapasitas

detoksikasi hati terhadap amoniak dan toksin lainnya, disertai adanya pintasan postosistemik.

Hal ini berakibat, bahan toksik tanpa pembersihan oleh hati langsung masuk ke dalam darah

sistemik dan otak, sehingga menimbulkan ensefalopati(Tarigan P, 2010).

Ensefalopati hepatic adalah penyakit yang heterogen, yang merupakan akibat dari

penyakit hati yang berat, seperti hepatitis fulminan, sirosis hati maupun portosystemic shunt

(Ramos JFR, Leal CL 2011).

Ensefalopati hepatikum dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe A adalah EH yang ditemukan

pada acut hepatic fulminant. Tipe B adalah EH yang ditemukan pada pasien dg portal

systemic bypass tanpa adanya penyakit hati intrinsik. Tipe C adalah EH yang ditemukan pada

sirosis dan hipertensi portal. Tipe ini paling sering dijumpai, berjalan kronis dan kadang

dapat ditemukan dalam keadaan subklinis (Riggio O, Ridol L, Pasquela C, 2010).

Pada tinjauan pustaka ini, akan dibahas ensefalopati hepatikum tipe C.

B. PREVALENSI

4
Saat ini belum ditemukan tes definitif untuk menentukan apakah seorang penderita

mengalami EH, sehingga prevalensi penderita EH sulit ditentukan. Seluruh penderita

fulminant hepatic failure, dianggap telah mengalami EH. Sekitar 40% pasien sirosis telah

mengalami EH selama perjalanan penyakitnya (Tarigan P,2007).

Meskipun secara klinis, hanya 1/3 pasien sirosis hati yang mengalami EH, akan tetapi

apabila tes diupayakan secara maksimal, ¾ pasien sirosis hati sebenarnya telah mengalami

EH ringan (Tarigan P, 2007). Pada pasien sirosis hati, prevalensi penderita EH sub klinis

berkisar antara 30%-88% (Zubir N, 2006).

Kepustakaan lain menyebutkan prevalensi EH pada penderita sirosis hati berkisar

70% (Dipiro J, et all, 2008).

C. PATOGENESIS

Ensefalopati hepatik merupakan komplikasi dari sirosis hati berat. Pada keadaan ini,

sebagian darah dari vena porta tidak dapat masuk k eke dalam hati, tetapi masuk ke vena

sistemik (bypass), akibatnya bahan-bahan toksik tidak terdetoksikasi di hati, akan tetapi

terakumulasi dalam darah. Apabila bahan toksik ini cukup banyak, dapat menyebabkan

gangguan fungsi otak. Keadaan inilah yang disebut ensefalopati hepatik (Kusumobroto HO,

2007).

Patogenesis EH sampai saat ini belum diketahui secara pasti karena masih terdapat

perbedaan mengenai dasar neurokimia dan histopatologinya.

Sejumlah teori telah diusulkan untuk menjelaskan perkembangan ensefalopati hepatik

pada pasien dengan sirosis. Beberapa peneliti berpendapat bahwa ensefalopati hepatik adalah

gangguan fungsi astrosit. Jumlah astrosit sekitar sepertiga dari volume kortikal. Mereka

memainkan peran kunci dalam regulasi sawar darah-otak. Mereka terlibat dalam

5
mempertahankan homeostasis elektrolit dan dalam menyediakan nutrisi dan prekursor

neurotransmiter ke neuron. Mereka juga memainkan peran dalam detoksifikasi sejumlah

bahan kimia, termasuk ammonia (Wolf D,2010).

Menurut teori ini, zat neurotoksik, termasuk amonia dan mangan, bisa masuk ke

dalam otak dalam pengaturan kegagalan hati. Zat-zat neurotoksik kemudian dapat

menyebabkan perubahan morfologi astrosit. Pada sirosis, astrosit dapat mengalami Alzheimer

jenis astrocytosis II. Di sini, astrosit menjadi edema dengan inti pucat besar, nukleolus

menonjol, dan marginasi kromatin. Dalam fulminant hepatic failure (FHF), astrosit juga

dapat menjadi edema. Perubahan astrocytosis Alzheimer tipe II tidak terlihat di FHF. Tapi,

berbeda dengan sirosis, pembengkakan astrosit di FHF mungkin menghasilkan edema otak.

Hal ini dapat menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dan, berpotensi, herniasi otak

(Wolf D, 2010).

Ensefalopati hepatik juga dapat dianggap sebagai gangguan yang merupakan hasil

akhir dari zat neurotoksik yang terakumulasi dalam otak. Neurotoksin diduga termasuk asam

lemak rantai pendek; merkaptan, neurotransmiter palsu, seperti tiramin, octopamine, dan

beta-phenylethanolamines, mangan, amonia, dan asam gamma-aminobutyric (GABA) (Wolf

D,2010).

Beberapa hipotesis dikemukakan pada pathogenesis EH, diantaranya:

1. Hipotesis Amonia

Amoniak berasal dari mukosa usus sebagai hasil dari degradasi protein dalam lumen usus

dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati amoniak di ubah menjadi urea pada sel

hati periportal dan menjadi glutamine pada sel hati perivenus, sehingga jumlah amoniak yang

masuk sirkulasi dapat dikontrol dengan baik (Zubir N, 2006).

6
Astrosit Otak juga memiliki glutamin sintetase. Namun, otak tidak mampu

meningkatkan aktivitas sintetase glutamin dalam pengaturan hiperamonemia. Dengan

demikian, otak tetap rentan terhadap efek hiperamonemia.

Amonia memiliki beberapa efek neurotoksik. Hal ini dapat mengubah transit asam amino, air,

dan elektrolit di astrosit dan neuron yang dapat mengganggu metabolisme asam amino dan

pemanfaatan energi di dalam otak. Amonia juga dapat menghambat generasi potensi

rangsang postsynaptic.

Dukungan tambahan untuk hipotesis amonia berasal dari pengamatan klinis bahwa

pengobatan yang menurunkan kadar amonia dapat meningkatkan gejala ensefalopati

hepatik(Wolf D,2010).

2.Hipotesis GABA

Ketidak seimbangan antara asam amino neurotransmitter yang merangsang dan yang

menghambat fungsi otak merupakan fakor yan berperan pada terjanya EH. Terjadi

penurunan transmitter yang memiliki efek merangsang seperti glutamate, aspartat dan

dopamine sebagai akibat meningkatnya ammonia dan gama amino butirat (GABA) yang

menghambat transmisi impuls (Zubir N, 2006).

GABA adalah zat neuroinhibitor yang diproduksi di saluran pencernaan. Kompleks reseptor

GABA berisi situs yang mengikat untuk GABA, benzodiazepine, dan barbiturat. Ia percaya

bahwa ada peningkatan tingkat benzodiazepin GABA dan endogen dalam plasma. Bahan

kimia ini kemudian akan menyeberangi sawar darah-otak extrapermeable. Pengikatan GABA

dan benzodiazepin ke kompleks reseptor GABA supersensitif mengijinkan masuknya ion

klorida ke dalam neuron postsynaptic, menyebabkan generasi dari sebuah penghambatan

potensial postsynaptic (Wolf D, 2010).

7
Sebelumnya, diyakini bahwa pemberian flumazenil, suatu antagonis reseptor

benzodiazepin, dapat meningkatkan fungsi mental pada pasien dengan ensefalopati hepatik.

Sekarang tampak bahwa flumazenil meningkatkan fungsi mental hanya sebagian kecil pasien

dengan sirosis.

Kompleks reseptor GABA saraf berisi situs pengikatan untuk neurosteroids. Hari ini,

beberapa peneliti berpendapat bahwa neurosteroids memainkan peran kunci dalam

ensefalopati hepatik (Zubir, 2006).

Dalam model eksperimental, neurotoksin, seperti amonia dan mangan, meningkatkan

produksi dari reseptor perifer-jenis benzodiazepin (PTBR) dalam astrosit. PTBR, pada

gilirannya, merangsang konversi kolesterol menjadi pregnenolon untuk neurosteroids.

Neurosteroids kemudian dilepaskan dari astrosit tersebut. Mereka mampu mengikat reseptor

mereka dalam kompleks reseptor GABA saraf dan dapat meningkatkan penghambatan

neurotransmisi.

Satu studi membandingkan kadar berbagai zat kimia dalam jaringan otak yang diotopsi dari

pasien dengan sirosis yang meninggal dalam keadaan koma atau meninggal tanpa bukti

ensefalopati hepatik. Peningkatan kadar allopregnanolone, yang neuroactif metabolit dari

pregnenolon, ditemukan dalam jaringan otak pasien yang meninggal dalam keadaan koma

hepatik . Reseptor benzodiazepin ligan tidak signifikan meningkat pada pasien dengan atau

tanpa koma(Wolf D, 2010).

D. GAMBARAN KLINIS

Tingkatan gejala ensefalopati hepatik dilakukan sesuai dengan sistem yang disebut

klasifikasi West Haven:

8
1. Derajat 0 - hepatik ensefalopati Minimal (sebelumnya dikenal sebagai

ensefalopati hepatik subklinis). Kurangnya perubahan yang terdeteksi dalam

kepribadian atau perilaku. Perubahan minimal dalam memori, konsentrasi, fungsi

intelektual, dan koordinasi. Asteriksis tidak ada.

2. Kelas 1 - Trivial kurangnya kesadaran. Rentang perhatian berkurang.

hipersomnia, insomnia, atau pembalikan pola tidur. Euforia, depresi, atau lekas

marah. Kebingungan yang ringan. Perlambatan kemampuan untuk melakukan

tugas mental. Asteriksis dapat dideteksi.

3. Kelas 2 - Letargi atau apatis. Disorientasi. Perilaku yang tidak pantas. Bicara

cadel, asteriksis jelas. Mengantuk, lesu, defisit bruto pada kemampuan untuk

melakukan tugas mental, perubahan kepribadian yang jelas, perilaku yang tidak

pantas, dan disorientasi intermiten, biasanya mengenai waktu.

4. Kelas 3 - mengantuk tetapi dapat dibangunkan, tidak dapat melakukan tugas

mental, disorientasi tentang waktu dan tempat, kebingungan ditandai, amnesia,

sesekali marah, hadir tapi pembicaraan bisa dimengerti.

5. Kelas 4 - Koma dengan atau tanpa respon terhadap rangsangan yang menyakitkan

Tabel 1: Kriteria West Haven (Ramos, Celina, 2011)

9
Dalam ensefalopati hepatik minimal, pasien mungkin memiliki kemampuan normal

dalam bidang memori, konstruksi bahasa, dan keterampilan motorik murni. Namun, pasien

dengan ensefalopati hepatik yang minimal menunjukkan gangguan perhatian kompleks dan

berkelanjutan. Mereka mungkin memiliki pilihan penundaan dalam waktu reaksi. Mereka

bahkan mungkin memiliki gangguan kebugaran untuk mengemudi . Biasanya, pasien dengan

ensefalopati hepatik yang minimal memiliki fungsi normal pada pengujian standar Status

mental tetapi tes psikometri yang abnormal. Tes neurofisiologis dalam penggunaan umum

adalah tes uji hubung angka, tes simbol angka, tes desain blok, dan tes waktu reaksi terhadap

cahaya atau suara (misalnya, flicker kritis uji).

Pasien dengan ensefalopati hepatik ringan dan sedang menunjukkan penurunan

memori jangka pendek dan konsentrasi pada pengujian status mental. Mereka mungkin

menunjukkan tanda-tanda asteriksis, meskipun getaran kepakan kaki juga diamati pada

pasien dengan uremia, insufisiensi paru, dan toksisitas barbiturate.

10
Beberapa pasien menunjukkan bukti fetor hepatikum, aroma nafas yang manis dari

nafas yang diyakini sekunder untuk pernafasan dari merkaptan.

Potensial lainnya temuan pemeriksaan fisik meliputi hiperventilasi dan suhu tubuh menurun

(Wolf, 2011).

E. DIAGNOSIS

Diagnosis EH dapat ditegakkan berdasar gambaran klinis, dan beberapa pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan tersebut adalah pemeriksaan fisik, laborat, EEG, dan tes psikometri

(Zubir N.2006).

Diagnosis ensefalopati hepatik adalah klinis dan membutuhkan

pengalaman dokter untuk mengenali dan mengumpulkan semua dari berbagai

fitur. Seringkali ketika pasien mengalami ensefalopati untuk pertama kalinya, mereka tidak

menyadari , tetapi begitu mereka telah melalui pengalaman untuk pertama kalinya, mereka

dapat mengidentifikasi ketika hal ini berkembang dalam situasi berikutnya dan seringkali bisa

mengobati diri sendiri untuk mencegah memburuknya ensefalopati (Hasler W, Owyang C,

2008)).

Secara klinis, menurut kriteria West Haven, ditemukan adanya gangguan kesadaran

disertai adanya penyakit hati ( sirosis atau Fulminant Hepatic Failure)( Tarigan P, 2007).

Pemeriksaan laoratorium, tidak ada yang spesifik untuk EH, akan tetapi berfungsi

menyingkirkan penyebab lain, serta menentukan pencetus dari EH tersebut seperti gangguan

elektrolit serta gangguan fungsi hati. Hipokalemi dapat mencetuskan EH. Sedangkan

pemeriksaan laboratorium yang perlu diperiksa adalah, serum glutamil aksalo asetat (SGOT),

serum glutamil piruvat transaminase (SGPT), bilirubin serum, alfa feto protein (AFP),

protrombin time, kadar gula darah, elektrolit, ureum dan kreatinin. Pemeriksaan kadar

11
ammonia darah adalah karakteristik, bukan esensi, dan kurang berkorelasi dengan

EH(Tarigan P, 2007).

Amonia adalah racun yang paling mudah diidentifikasi dan diukur tetapi tidak

bertanggung jawab untuk status mental yang terganggu (CMDT 2011)

Pemeriksaan EEG, terlihat penurunan amplitude dan menurunnya jumlah siklus

gelombang perdetik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal alfa (8-12HZ)

(Zubir N, 2006).

Tes psikometri dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual pasien yang

mengalami EH subklinis yaitu dengan uji hubung angka UHA (Number Conection Test atau

NCT). Dengan UHA, tingkat EH dibagi atas 4 kategori (Zubir N, 2006).

Tabel 2 : Tingkat Uji Hubung Angka (UHA) (Zubir N, 2006).

Tingkat Ensefalopati Hasil UHA (dalam detik)


Normal 15-30
Tinkat I 31-50
Tingkat II 51-80
Tingkat III 81-120
Tingkat IV >120

Tes psikometri UHA dapat dipakai untuk menilai EH pada pasien sirosis hati terutama

pasien rawat jalan (Zubir N, 2006).

Pengukuran kadar ammonia darah, kurang berkorelasi dengan EH, akan tetapi apabila

tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan ammonia darah. Hubungan EH dengan kadar amonia

darah terlihat pada tabel 2 (Zubir N, 2006).

Tabel 3 : Hubungan Ensefalopati Hepatik dengan ammonia darah (Zubir N, 2006)

12
Tingkat Ensefalopati Hepatik Kadar ammonia darah (ug/dL)
Tingkat 0 <150
Tingkat 1 151-200
Tingkat 2 201-250
Tingkat 3 251-300
Tingkat 4 >300

Pemeriksaan radiologi dengan MRI dan CT scan dapat digunakan untuk mengevaluasi

struktur dan fungsi serebral, akan tetapi kurang bermanfaat (Tarigan P, 2007).

F. DEFERENSIAL DIAGNOSIS

Membedakan EH dengan gangguan mental akut maupun kronis, sangat sulit pada

pasien sirosis hati. Pasien didiagnosis dengan EH apabila didapatkan adanya gangguan status

mental. Sharma et al melakukan penelitian, pemberian laktulosa pada penderita sirosis hati,

dengan kesimpulan, pemberian laktulosa pada penderita sirosis hati dapat mencegah

timbulnya EH. Pada pasien sirosis hati, apabila didapatkan gangguan mental yang membaik

dengan pemberian laktulosa, maka dapat disimpulkan bahwa gangguan mental tersebut

adalah EH (Wolf D, 2010).

Diagnosis banding EH ( Wolf D,2010) :

1. Lesi intrakranial seperti perdarahan subdural, perdarahan intracranial, stroke, tumor

otak dan abses otak.

2. Infeksi seperti meningitis, encephalitis, dan abses intracranial.

3. Encepalopati metabolic seperti hipoglikemi, gangguan elektrolit, anoksia dan uremia.

4. Hiperammonemia sebab lain.

5. Toksik encepalopati karena alkohol, obat –obatan seperti hipnotik sedative, anti

depresan, antipsikotik dan salisilat.

6. Sindroma otak organik.

13
G. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan EH harus memperhatikan apakah terjadinya EH adalah primer atau

sekunder. EH primer terjadi akibat kerusakan parenkim hati yang berat tanpa adanya faktor

pencetus. Sedangkan EH sekunder terjadi karena adanya faktor pencetus (Zubir N, 2006).

Tabel berikut menjelaskan penatalaksanaan pasien EH pada sirosis hati

Tabel 4 : Penatalaksanaan ensefalopati hepatic

Upaya yang dilakukan pada EH meliputi :

1. Mengobati penyakit dasar hati.

2. Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor-faktor pencetus.

14
3. Mrngurangi atau mencegah influks toksin-toksin nitrogen ke jaringan otak dengan

cara :

a. menurunkan atau mengurangi asupan makanan yang mengandung protein.

b. Penggunaan laktulosa dan antibiotik

c. Pembersihan saluran cerna bagian bawah

d. Upaya suportif dengan memberikan kalori yang cukup serta mengatasi

komplikasi.

Pendekatan kepada pasien dengan ensefalopati hepatik juga tergantung pada tingkat

keparahan, perubahan status mental dan atas kepastian diagnosis. Sebagai contoh, pasien

dengan sirosis dan keluhan konsentrasi menurun mungkin penatalaksanaan terbaik dengan

rifaximin atau laktulosa dan pasien diminta kontrol untuk tindak lanjut dan memeriksa

efeknya. Namun, pasien koma hepatik membutuhkan pendekatan yang berbeda(Wolf D,

2010).

Tabel 5: Tujuan dari penatalaksanaan EH

15
Rekomendasi manajemen umum adalah sebagai berikut (Wolf D, 2010):

1. Singkirkan penyebab non hepatik pada pasien sirosis hati dengan perubahan

fungsi mental.

2. Pertimbangkan memeriksa tingkat amonia arteri pada pasien yang dirawat di

rumah sakit dengan sirosis dan dengan fungsi mental terganggu

3. Pencetus ensefalopati hepatik, seperti gangguan metabolik, perdarahan

gastrointestinal, infeksi, dan sembelit, harus dikoreksi.

4. Hindari obat yang menekan fungsi sistem saraf pusat, terutama benzodiazepin.

Pasien dengan agitasi parah dan ensefalopati hepatik dapat diberikan haloperidol

sebagai obat penenang. Pasien-pasien mungkin memerlukan terapi dengan

benzodiazepin dalam hubungannya dengan terapi medis laktulosa dan lainnya

untuk ensefalopati hepatik.

16
5. Pasien dengan ensefalopati yang parah (misalnya, grade 3 atau 4) yang beresiko

untuk aspirasi harus menjalani intubasi endotrakeal profilaksis. Mereka secara

optimal dikelola dalam unit perawatan intensif.

6. Fanelli dkk menyelidiki kemanjuran menggunakan stent graft untuk mengobati

pasien dengan ensefalopati hepatik yang refrakter terhadap terapi medis

konvensional. Dalam studi tersebut, 12 pasien yang, setelah menerima

transjugular intrahepatik shunt portosystemic, pada ensefalopati hepatik

refraktori menjalani pengurangan shunt. Prosedur pengurangan segera

menghasilkan peningkatan gradien portosistemik pada pasien studi di atas, yang

dalam waktu 18-26 jam setelah pemasangan stent graft, gejala ensefalopati

hepatik tidak muncul. Kondisi ini tidak muncul kembali selama masa tindak lanjut

rata-rata 74 minggu. Selama penelitian, 4 pasien meninggal karena kegagalan

jantung, yang lain menjalani transplantasi hati orthotopic, dan 2 lagi tidak dapat

ditindaklanjuti. Lima pasien yang tersisa menyelesaikan studi dalam kondisi klinis

yang baik. Para penulis menyimpulkan bahwa stent graft tampaknya efektif

mengurangi aliran shunt dan cepat memperbaiki kondisi klinis pasien (Wolf D,

2010).

Perawatan untuk Penurunan Produksi Amonia usus

1. Diet

Pada akhir abad 19, hal itu diakui bahwa makan protein tinggi pada anjing yang

telah menjalani operasi shunt portosystemic bisa menghasilkan gejala koordinasi abnormal

17
dan pingsan. Pada abad ke-20, diet rendah protein secara rutin dianjurkan untuk pasien

dengan sirosis, dengan harapan penurunan produksi amonia usus dan mencegah eksaserbasi

ensefalopati hepatik. Konsekuensi yang jelas adalah pemburukan yang sudah ada sebelumnya

yaitu kekurangan energi protein. Pembatasan protein mungkin cocok pada beberapa pasien

segera setelah episode EH (misalnya, ensefalopati hepatik episodik). Namun, pembatasan

protein jarang dibenarkan pada pasien dengan sirosis dan ensefalopati hepatik persisten.

Memang, kekurangan gizi adalah masalah klinis yang lebih serius daripada ensefalopati

hepatik bagi banyak pasien (Wolf, 2011).

Sangat jarang pasien yang tidak toleran terhadap diet tinggi protein. Kebanyakan

pasien dengan ensefalopati hepatik ringan kronis mentoleransi lebih dari 60-80 g protein per

hari. Selanjutnya, satu penelitian diberikan diet kaya protein (> 1,2 g / kg / d) untuk pasien

dengan penyakit lanjut yang menunggu transplantasi hati, tanpa menginduksi gejala

ensefalopati muncul. Studi lain secara acak pasien dengan ensefalopati episodik berat baik

diet rendah protein atau diet tinggi protein, diberikan melalui pipa nasogastrik.

Semua pasien menerima rejimen yang sama yaitu neomisin per tabung nasogastrik.

Fungsi mental meningkat pada tingkat yang sama pada kedua kelompok pengobatan. Yang

penting, pasien yang menerima diet rendah protein memiliki bukti untuk peningkatan

pemecahan protein meningkat selama masa studi.

Diit yang mengandung protein nabati tampaknya lebih baik ditoleransi daripada diet

kaya protein hewani, khususnya protein yang berasal dari daging merah. Ini mungkin karena

kandungan serat makanan meningkat, sebuah katarsis alam, dan tingkat penurunan asam

amino aromatik. Asam amino aromatik, sebagai prekursor untuk neurotransmiter tiramin

palsu dan oktopamine, diperkirakan menghambat neurotransmisi dopaminergik dan

memperburuk ensefalopati hepatik.

18
Penulis merekomendasikan bahwa pasien diijinkan mengkonsumsi ayam yang

dimasak dengan baik dan ikan di samping protein nabati. Pasien malnutrisi didorong untuk

menambahkan suplemen gizi cair yang tersedia secara komersial untuk diet mereka. Pasien

jarang memerlukan perawatan khusus dengan suplemen oral atau enteral kaya asam amino

rantai cabang.

2. Katartik

Laktulosa (beta-galactosidofructose) dan lactilol (beta-galactosidosorbitol) adalah

disakarida nonabsorbable yang telah digunakan secara klinis umum sejak awal 1970-an (yang

terakhir ini tidak tersedia di Amerika Serikat). Mereka terdegradasi oleh bakteri usus menjadi

asam laktat dan asam organik lainnya.

Laktulosa muncul untuk menghambat produksi amonia usus oleh sejumlah

mekanisme. Konversi Lactulose hasil asam laktat dalam pengasaman lumen usus. Ini

memperbaiki konversi NH4 + untuk NH3 dan bagian dari NH3 dari jaringan ke lumen.

Pengasaman usus menghambat bakteri coliform ammoniagenik, yang mengarah ke

peningkatan tingkat laktobasilus nonammoniagenic. Laktulosa juga bekerja sebagai katarsis,

mengurangi beban bakteri kolon.

Laktulosa dosis awal adalah 30 mL secara oral, atau dua kali sehari. Dosis dapat

ditingkatkan apabila ditoleransi. Pasien harus diinstruksikan untuk mengurangi dosis

laktulosa apabila diare, kram perut, atau kembung. Pasien harus mengambil laktulosa cukup

untuk mendapatkan buang air besar cair 2-4 per hari.

Edukasi harus diberikan ketika meresepkan laktulosa. Overdosis dapat menyebabkan

ileus, diare berat, gangguan elektrolit, dan hipovolemia. Hipovolemia mungkin tidak cukup

parah untuk benar-benar mendorong munculnya gejala ensefalopati.

19
Laktulosa dosis tinggi (misalnya, 30 mL q2-4h) dapat diberikan secara oral atau

dengan selang nasogastrik untuk pasien rawat inap dengan ensefalopati hepatik parah.

Laktulosa dapat diberikan sebagai enema untuk pasien yang koma dan tidak mampu minum

obat melalui mulut. Pemberian dosis yang dianjurkan adalah 300 ml laktulosa ditambah 700

mL air, diberikan sebagai enema retensi setiap 4 jam sesuai kebutuhan. Penulis telah berhasil

dengan baik menggunakan PEG-larutan yang mengandung lavage kolon, seperti Go-

LYTELY diberikan melalui pipa nasogastrik, dalam pengelolaan pasien rawat inap dengan

ensefalopati hepatik berat.

Laktulosa telah menjadi subjek dari puluhan uji klinis selama hampir 4 dekade.

Banyak percobaan kecil menunjukkan kemanjuran obat dalam pengobatan ensefalopati

hepatik. Namun, satu meta-analisis bertentangan dengan percobaan dan pengalaman klinis

penulis. Ketika menilai kualitas percobaan , laktulosa tidak lebih efektif daripada plasebo

pada peningkatan gejala ensefalopati. Dalam uji coba membandingkan laktulosa terhadap

antibiotik (misalnya, neomisin, rifaximin), laktulosa sebenarnya lebih rendah terhadap terapi

antibiotik. Meta-analisis ini tentu mempertimbangkan kembali penggunaan antibiotik,

khususnya rifaximin.

3. Antibiotik

Neomisin dan antibiotik lainnya, seperti metronidazole, vankomisin oral,

paromomisin, dan kuinolon oral, diberikan dalam upaya untuk menurunkan konsentrasi

bakteri kolon ammoniagenik. Dosis neomisin awal adalah 250 mg per oral 2-4 kali sehari.

Dosis setinggi 4000 mg / hr dapat diberikan. Neomycin biasanya digunakan sebagai agen lini

kedua, setelah mulai pengobatan dengan laktulosa. Pengobatan jangka panjang dengan

20
aminoglikosida oral berrisiko ototoksik dan nefrotoksik karena ada penyerapan sistemik.

Rifaximin (Xifaxan, Salix Farmasi, Inc, Morrisville, NC), turunan nonabsorbable rifampisin,

telah digunakan di Eropa selama lebih dari 20 tahun untuk berbagai indikasi pencernaan. Ini

juga telah digunakan dalam pengobatan ensefalopati hepatik.

Pada tahun 2003, Mas A, at all pada penelitiannya menyatakan bahwa rifaksimin

lebih superior dibanding laktulosa dalam penatalaksanaan EH pada sirosis hati (Mas A, et all.

2003)

Pada tahun 2004, rifaximin menerima persetujuan oleh FDA di Amerika Serikat

untuk pengobatan diare travellers '. Pada tahun 2005, ia menerima status obat altenatif

sebagai pengobatan untuk ensefalopati hepatik. Berbeda dengan neomisin, profil tolerabilitas

yang sebanding dengan plasebo. Beberapa uji klinis telah menunjukkan bahwa rifaximin pada

dosis 400 mg diminum 3 kali sehari sama efektifnya dengan laktulosa atau lactilol pada

gejala ensefalopati hepatik Demikian pula, rifaximin sama efektifnya dengan neomisin dan

paromomycin. Rifaximin ditoleransi lebih baik daripada katartik dan antibiotik

nonabsorbable lainnya.

Pada bulan Maret 2010, rifaximin telah disetujui oleh FDA untuk mengurangi

kekambuhan ensefalopati hepatik. Persetujuan didasarkan pada percobaan 3 fase klinis yang

dilakukan oleh Bass et al.

Bass dkk menilai kemampuan rifaximin untuk mengurangi risiko ensefalopati hepatik

berulang (HE) Dalam 3 penelitian, double-blind, placebo-controlled, multinasional, fase

klinis, pada 299 pasien yang menerima rifaximin 550 mg atau plasebo BID.. Setiap

kelompok juga menerima laktulosa. Terobosan episode terjadi pada 22% pasien yang diobati

dengan rifaximin dan 46% dari pasien dengan plasebo (P <0,001). Pasien HE yang harus

dirawat inap terjadi pada 14% pasien yang diobati dengan rifaximin dan 23% dari pasien

yang diobati dengan plasebo (P = 0,01).

21
Edema perifer dan mual dijelaskan dalam beberapa pasien yang mendapat rifaximin.

Ada juga pertanyaan apakah pengobatan jangka panjang dengan rifaximin dapat menginduksi

resistensi mikroba. Sejauh ini, resistensi mikroba belum dilaporkan pada pasien yang

menggunakan obat. Masih belum jelas apakah diare yang disebabkan oleh Clostridium

difficile terjadi pada tingkat yang lebih tinggi pada pasien yang diobati rifaximin

dibandingkan pasien yang tidak diobati. Dalam penelitian oleh Bass et al, 2 pasien yang

diobati rifaximin dan plasebo terjadi infeksi C difficile.

4. Pengobatan untuk menurunkan Amonia

L-ornithine L-aspartat (LOLA)

LOLA (Hepa-Merz, Merz Farmasi GmbH, Frankfurt am Main, Jerman) tersedia di

Eropa dengan dua formulasi yaitu intravena dan formulasi oral. Hal ini tidak tersedia di

Amerika Serikat. LOLA adalah garam stabil dari 2 asam amino penyusunnya. L-ornithine

merangsang siklus urea, dengan mengakibatkan hilangnya amonia. L-ornithine dan l-aspartat

transaminase yang substrat untuk glutamat. Administrasi hasil peningkatan kadar glutamat.

Amonia kemudian digunakan dalam konversi glutamat untuk glutamin oleh sintetase

glutamin . LOLA ditemukan efektif dalam mengobati ensefalopati hepatik pada sejumlah

percobaan Eropa .

Seng

Defisiensi seng adalah umum pada sirosis. Bahkan pada pasien yang tidak

kekurangan seng, pemberian seng memiliki potensi untuk meningkatkan hiperamonemia

22
dengan meningkatkan aktivitas ornithine transcarbamylase, enzim dalam siklus urea.

Peningkatan selanjutnya dalam hasil ureagenesis dalam hilangnya ion amonia.

Seng sulfat dan seng asetat telah digunakan pada dosis 600 mg oral setiap hari dalam

uji klinis. Ensefalopati hepatik membaik dalam 2 studi ;. Tidak ada perbaikan dalam fungsi

mental pada 2 penelitian lain

Natrium benzoat, natrium phenylbutyrate, phenylacetate natrium

Sodium benzoate berinteraksi dengan glisin untuk membentuk adanya kenaikan

hippurate. Ekskresi ginjal berikutnya menghasilkan adanya kenaikan hippurate dan hilangnya

ion amonia. Dosis natrium benzoat pada 5 g secara oral dua kali sehari secara efektif dapat

mengontrol ensefalopati hepatik . Penggunaan obat ini dibatasi oleh risiko kelebihan garam

dan dengan rasa yang tidak menyenangkan. Obat, juga digunakan sebagai pengawet

makanan, tersedia melalui produsen kimia khusus di seluruh Amerika Serikat.

Penggunaannya terbatas untuk pasien dengan gejala ensefalopati parah.

Phenylbutyrate Sodium dikonversi ke phenylacetate. Phenylacetate, pada gilirannya,

bereaksi dengan glutamin untuk membentuk phenylacetylglutamine. Bahan kimia ini

kemudian diekskresikan dalam urin, dan menghilangkan ion amonia. Natrium phenylbutyrate

(Buphenyl, Ucyclyd Pharma, Scottsdale, Ariz) dan natrium phenylacetate intravena dalam

kombinasi dengan natrium benzoat (Ammonul, Ucyclyd Pharma, Scottsdale, Ariz) disetujui

oleh FDA untuk pengobatan hiperamonemia berhubungan dengan gangguan siklus urea.

Ammonul saat ini sedang menjalani uji klinis pada pasien dengan sirosis, hiperamonemia,

dan ensefalopati hepatik yang berat.

L-karnitin

23
Pemberian L-karnitin pada gejala ensefalopati hepatik membaik dalam beberapa

penelitian kecil pada pasien dengan sirosis Apakah obat bekerja dengan meningkatkan kadar

amonia atau apakah ia bekerja terpusat mungkin dengan mengurangi penyerapan amonia

otak, masih belum jelas.

Pengobatan untuk Meningkatkan Gangguan Tidur

Gangguan tidur lebih umum pada pasien dengan sirosis dibanding subyek kontrol.

Apakah ini berhubungan atau tidak dengan ensefalopati hepatik tidak jelas. Sebuah penelitian

membandingkan hidroksizin histamin H1 bloker dengan plasebo pada pasien dengan sirosis

dan ensefalopati hepatik yang minimal Efisiensi tidur dan kualitas subjektif tidur pasien

meningkat pada pasien yang menerima hidroksizin (25 mg) pada waktu tidur.. Namun, tidak

ada perbaikan yang menyertainya dalam kognisi, yang diukur dengan tes neurofisiologis.

Para penulis mendesak hati-hati ketika meresepkan hidroksizin, pada penelitian risiko

ensefalopati memburuk pada beberapa pasien(Wolf D, 2010).

H. PROGNOSIS

Prognosis dari penatalaksanaan EH tergantung derajat saat pertama dilakukan

diagnosis dan keparahan dari EH, derajat kegagalan hati dan lamanya menderita. Penilaian ini

dapat dilakukan skor dengan MELD atau Child Turcote Pugh. Penilaian fungsi hati dengan

criteria Child Turcote Pugh sebagai berikut:

Tabel 6 : Penilaian fungsi hati berdasarkan kriteria Child Turtotte Pugh (Tarigan P, 2007).

Parameter 1 2 3

24
Skor
Ensefalopati Gradasi Gradasi I-II Gradasi III-IV
Asites Nihil Ringan Berat
Bilirubin <2 2-3 >3
Albumin >3,5 2,8-3,5 <2,8
PPT 1-3 4-6 >6
INR <1,7 1,7-2,3 >2,3

Berdasarkan kriteria Child Turtotte Pugh, derajat keparahan sirosis hati dibagi menjad

Child Turtotte Pug A dengan poin 5-6, Child Turtotte Pug B dengan poin 7-9 dan Child

Turtotte Pug C dengan skor <8 (Tarigan P, 2007).

EH pada sirosis hati dengan faktor pencetus yang dapat dikoreksi, pada umumnya

prognosis baik. Sedangkan EH pada usia lanjut harus dipertimbangkan factor penyakit

serebrovaskuler. EH akut dengan koma atau FHF, 80% berakhir dengan kematian. Sedangkan

EH kronik, kombinasi dengan asites, ikterus dan perdarahan, prognosisnya jelek (Tarigan P,

2007).

KOMPLIKASI

EH apabila tidak diberikan penatalaksanaan yang adekuat akan berakibat timbulnya

komplikasi, diantaranya (Tarigan P, 2007):

1. Edema serebral

2. Herniasi otak

3. Koma progresif irreversible

4. Kerusakan neurologi permanen

5. Meningkatnya resiko sepsis, gagal nafas, kolaps kardiovaskuler, gagal ginjal

6. Efek samping pemakaian obat

25
SIMPULAN

Ensefalopati hepatik adalah suatu sindroma perubahan neuropsikiatri dengan

spektrum yang sangat luas. Gambaran klinik bervariasi, mulai asimptom ( derajat 0),

perubahan pola tidur, sampai koma ( derajat IV). Etiologi paling sering adalah sirosis hati dan

hipertensi portal. Penatalaksanaan hendaknya dimulai sejak awal sirosis, sebelum ada

komplikasi lebih jauh yaitu ensefalopati hepatik.

26
Pasien dengan sirosis hati perlu secara rutin dilakukan pemeriksaan untik deteksi

adanya komplikasi sirosi hati, termasuk adanya ensefalopati hepatic. Pada pasien rawat jalan,

adanya gagguan tidut, gangguan konsentrasi dan pemanjangan waktu uji hubung angka, perlu

menjadi perhatian apakah pasien SH ini telah mengalami EH subklinis. Pasien perlu

diberikan edukasi mengenai pentingnya pengaturan pola diit dengan diit tinggi serat, dan

tinggi protein dan diperbolehkan diit daging merah yang dimasak dengan baik.

Apabila telah terjadi ensefalopati hepati, perlu penatalaksanaan yang komperhensif.

Penatalaksanaan berbeda tergantung derajat ensefalopatinya. Pembatasan protein dan

pemberian laktulosa untuk mendapatkan buang air besar 2-3 kali sehari. Antibiotik non

absorbable seperti Rifaksimin yang diberikan bersama dengan laktulosa membantu pasien

dalam pembersihan saluran cerna dan mencegah pembentukan ammonia yang berlebihan

yang dapat memicu episode ensefalopati hepatic.

Sedangkan pasien dengan EH derajat IV atau koma, perlu perawatan rumah sakit,

bahkan perawatan intensif untuk penatalaksanaanya dan menentukan faktor pencetusnya.

Prognosis dari EH tergantung pada derajat mana pasien terdeteksi. Pada EH yang

disertai asiters, perdarahan dan koma, prognosisnya buruk. Sedangkan yang terpenting bagi

klinisi adalah menemukan EH subklinis pada pasien sirosis untuk mencegah progresifitas

penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Bacon BR, 2008. Cirrhosis and its Complication p 1971-1980. Fauci AS, Harrison’s
Principles of Internal Medicine vol 1, Mc-Graw-Hill Company, USA
,
Kusumobroto HO, 2007. Sirosis Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati, Edisi Pertama,
Jaya Abadi. Jakarta. Hal 335-346
Lawrence S, Friedman MD, 2011. Liver, Biliary Tract and Pancreas. In : Current Medical
Diagnosis and Treatment, Forty-seventh Edition,The McGraw-Hill Medical, San
Fransisco, p : 566-569
Mas A, et all, 2003, Challenges of Designing Hepatic Encephalopathy Treatment Trials . In:
Hepaology Elsewhere,Vol 38, no 2,Agust 2003 p 528-529

27
Nurdjannah S. 2006. Sirosis Hepatis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 5 .
Interna Publishing .Jakarta. hal 668-673

Ramos JFR, Celina Rodríguez Leal CR, 2011. Review of the Final Report of the 1998
Working Party on Definition, Nomenclature and Diagnosis of Hepatic
Encephalopathy. In : Annals of Hepatology. Vol 10 Suppl.2, 2011,p 37-38

Rigio O, Ridoll L, Pasquale C. 2010 . Hepatic Encephalopathy Therapy : an overview. In :


World Journal Gastrointestinal Pharmacology and Therapeutic, April 6 2010 Vol 1,
P 54-61

Sease J, Timm E,Stragand J. 2008. Portal Hypertension and Cirrhosis, In : Pharmacotherapy,


A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition, The McGraw-Hill Companies, p
633-649

Sedlack RE, Thomas R. Viggiano. Poterucha J, 2007, In : Gastroenterology and Hepatology,


Mayo Cilinic Medical Texbooks , Mayo Clinic Scientific Press and Informa
Healthcare USA Inc, pp 217-277

Wolf D, Katz J. 2010. Hepatic Encephalopathy, In : www.medscape.com

Wolf D, Katz J. 2010. Cirrhosis, In : www.medscape.com

Tarigan P. 2007. Ensefalopati Hepatik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi Pertama,
Jaya Abadi. Jakarta hal 407-419

Zubir N, 2006. Koma Hepatik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 5 . Interna
Publishing .Jakarta. hal 677-680

28

Anda mungkin juga menyukai