Anda di halaman 1dari 5

Kontradiktif Survey Microsoft Dan Realita Etika Orang Indonesia

Dalam pelaksanaan hukum ada banyak hal yang bisa terjadi, ada
banyak syarat yang harus terpenuhi ditambah lagi Indonesia menganut
kepastian hukum untuk menentukan melaksanakan hukum itu sendiri.
Disisi lain, polisi, jaksa, dan hakim hanya sebagai penegak hukum saja. Hal
seperti ini yang terkadang membuat mata orang-orang awam merasa aneh.
Seperti halnya perilaku koruptif yang apabila di sandingkan dengan
sisi kemanusiaan pada undang – undangnya, secara umum, hampir tidak
relevan.
Di kutip dari survei tahunan Microsoft bertajuk Digital Civility Index
(DCI) disebut warganet asal Indonesia menduduki nomor buncit atau paling
tidak sopan se-Asia Tenggara. Adapun warganet Singapura berada di
peringkat pertama dalam survei yang dirilis belum lama ini.
Tapi nyatanya Pada Kasus Rachel Vennya yang jujur mengakui
kesalahan, kooperatif dalam penyelidikan, dan berlaku sikap sopan. Sungguh
membuat sebuah keputusan yang klise dan penuh drama yang memunculkan
amarah banyak pihak.
Saya mengikuti kasus ini dari banyak media terutama dari podcast
terbaik Indonesia yaitu Master Deddy Corbuzier. Kasus Rachel Vennya sangat
disayangkan terjadi karena mengganggu ketenagan banyak orang, pemerintah
sudah mengeluarkan sebuah aturan baru bagi setiap orang yang bepergian
keluar negeri harus menjalani beberapa hari di dalam karantina.
Rachel Vennya malah melakukan tindakan yang sangat memalukan
yaitu menyuap para petugas dengan bayaran 40 juta agar bisa keluar dari
karantina. Alasan yang disampaikannya ketika melakukan hal itu adalah
rindu dan kangen sama anaknya. Logika orang yang berpikir ketika anda
melakukan sesuatu hal pasti diatur dulu bagaimana menimbang baik
buruknya sebelum melakukan hal tersebut untuk dilakukan.
Sekarang hal itu telah terjadi dan hukuman bebas bersyarat pun telah
dikeluarkan oleh para penegak hukum. Namun alasan yang disampaikan juga
tidak masuk diakal sehat saya dan banyak orang. Kok bisa sih seperti ini ?
Apakah hukum keadilan dinegeri ini sudah mulai sirna dan hancur dengan
sebuah kekuasaan dan jabatan ?

Setiap orang melakukan kesalahan dan tindakan yang melanggar aturan


pasti akan melakuakn sikap baik untuk bisa meringankan hukuman yang
didapatnya. Hanya Indonesia yang memberlakukan hukum seperti ini, yaitu
mengakui kesalahan, meminta maaf, berlaku sopan, mengadakan klarifikasi di
media hingga semua masalah itu berhenti dan ditutup kasusnya. Selesai.

Dengan adanya kasus seperti ini akan menambah kasus baru yang akan
di tangani oleh para petugas. Disini akan terlihat kesenjangan antara si orang
kaya, si miskin, si artis dan orang biasa diberlakukan seperti apa. Jika
pemerintah lebih tegas untuk menjalankan proses hukum yang benar, semua
ini tidak akan terjadi lagi.

Sesuatu perbuatan yang salah apabila dianggap biasa saja akan menjadi
lazim untuk dilakukan oleh banyak orang. Sama halnya dengan tindakan
korupsi di Indonesia, karena negara ini belum berani menegakkan hukuman
mati untuk orang-orang yang terbukti menjadi tersangka dalam kasus yang
menjeratnya yaitu korupsi.

Dengan sama halnya hukuman yang diberikan tidak memberikan efek


jera yang nyata, maka tindakan ini akan seperti mendarah daging dan sulit
untuk dihilangkan lagi apabila sudah lama dibiarkan dan dianggap penyakit
social biasa yang sudah mengakar terlalu lama. Seharusnya hukuman yang
berat dan hukuman social mereka harus dapatkan, hingga pelaku
mendapatkan efek jera dan tidak mau berbuat lagi
Setelah bahasan singkat mengenai wanita santun di atas saya akan
coba mengkomparasi dengan kasus lain.

Kisah yang dialami nenek Asyani (63) ini benar-benar menggambarkan


pepatah yang populer di masyarakat, hukum di negeri ini tumpul ke atas,
tajam ke bawah.

Asyani diseret ke Pengadilan Negeri Situbondo Jawa Timur dengan


tuduhan mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di Desa Jatibanteng,
Situbondo.

Saat menjalani persidangan ketiga pada 12 Maret, Asyani sampai-


sampai duduk bersimpuh dan menangis di depan majelis hakim, memohon
pengampunan. Sang pelapor Asyani, Sawin (mantri Perhutani), tertegun
melihat Asyani.

Warga Dusun Kristal, Desa/Kecamatan Jatibanteng, Situbondo, itu


menjalani sidang dengan jadwal tanggapan jaksa atas pembelaan kuasa
hukum terdakwa. Mulanya, Asyani diam tertunduk mendengarkan tanggapan
jaksa penuntut umum, Ida Haryani, selama 30 menit.

Setelah jaksa penuntut membacakan tanggapannya, Asyani langsung


menangis histeris. Dia menuding Sawin, yang berdiri di pintu samping ruang
sidang. "Sawin, kamu yang tega memenjarakan saya. Padahal saya sudah
datang ke rumahmu untuk meminta maaf. Kamu tega sama saya," tutur
Asyani berteriak lalu terdiam setelah ditenangkan oleh kuasa hukumnya,
Supriyono.
Asyani adalah tukang pijat. Dia didakwa dengan Pasal 12 huruf d juncto
Pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman
penjara 5 tahun. Asyani dituduh mencuri 38 papan kayu jati di lahan
Perhutani di desa setempat.

Asyani dilaporkan oleh sejumlah polisi hutan ke Polsek Jatibanteng


pada 4 Juli 2014. Nenek empat anak itu kemudian ditahan pada 15 Desember
2014. Selain Asyani, tiga orang lain juga ikut ditahan, yakni menantu Asyani,
Ruslan; pemilik mobil pick up, Abdussalam; dan Sucipto, tukang kayu.

Dalam tanggapannya, jaksa Ida Haryani menuturkan pihaknya memiliki


bukti-bukti kuat bahwa 38 papan kayu itu memang diambil Asyani di lahan
Perhutani. "Terdakwa tidak mampu menunjukkan dokumen kepemilikan kayu
tersebut," katanya.

Supriyono menyesalkan sikap jaksa itu, yang dinilainya terlalu


formalistis dalam menangani kasus tersebut. Padahal faktanya, kayu jati itu
ditebang dari lahan milik Asyani yang telah dijual pada 2010. "Ada surat
keterangan kepala desa kalau lahan tersebut dulunya milik Asyani," ucap
Supriyono.

Sebelumnya, Asyani juga telah menyatakan itu secara langsung di


hadapan majelis hakim ketika memohon ampun. Menurut dia, kayu jati itu
peninggalan suaminya yang telah meninggal.

Saya pernah belajar mengenai prima principia, yaitu tentang apa itu
konsep kebenaran. Salah satu syaratnya adalah hanya ada 1 kebenaran dan
yang lain adalah salah. Tapi jika merujuk pada survey tadi, manakah yang
benar dari hal ini?
Yang cukup memalukan adalah, hal itu menjadi pertontonan untuk
banyak kalangan, mulai dari orang awam hingga kalangan tertentu. Dan yang
saya yakin kita semua sadari adalah, ketika hal itu ada, dan terbiasa, maka
akan jadi budaya. Yang akan konyol adalah, ketika timbul pertanyaan,
manakah yang jadi budaya? Apakah santunnya kita? Ataukah penegakan
hukumny yang penentuan pasalnya menyesuaikan dengan kebutuhannya?

Silakan tersenyum, atau bahkan menyeringai ketika membaca dua


pilihan konspirasi budaya yang akan terbangun oleh keterbiasaan yang di
bangun penyelenggara Negara melalui media massa. Yep, silakan saja.
Akhir dari tulisan ini saya akan coba sampaikan beberapa hal, di
antaranya; 1. menurut saya, penegakan hukum hari ini, hanya menyesuaikan
permintaan dari yang pundi rupiahnya lebih banyak, 2. Menurut saya survey
dari Microsoft itu tidak relevan, 3. Menurut saya, kedepan bisa saja ada
pembunuh yang bersikap sopan, namun tidak di penjara.

Anda mungkin juga menyukai