Anda di halaman 1dari 10

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

-KELOMPOK 9-

NAMA/NIM ANGGOTA: 1. FAUZIYA ATSABITAH/211320063


2. AULIA FITRIA RAMADHANI/211320065
3. ROSMAWATI/211320070
KELAS : 1B
JURUSAN : ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
MATA KULIAH : USHUL FIQIH
Materi yang dipelajari:
a) Macam-macam najis menurut mazhab Maliki, Hambali, dan Syafi’i
b) Macam-macam cara bersuci/thaharoh menurut 4 mazhab
c) Hak waris janin dalam kandungan menurut 4 mazhab

Materi 1: Macam-macam najis


Para ulama sepakat bahwa najis itu ada empat macam:
1. Bangkai hewan darat yang memiliki darah.
2. Dagingbabi, dengan cara apapun ia mati.
3. Darah yang berasal dari hewan darat itu sendiri, baik darah itu berasal dari binatang yang
telah mati ataupun yang masih hidup, apabila darah tersebut (terhitung)banyak.
4. Air seni dan kotoran manusia.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa khamer adalah najis, namun ada perbedaan
pendapat tentangnya di kalangan ulama hadits. Juga, mereka berbeda pendapat pada
permasalahan lainnya yang pada dasarnya ada 7 permasalahan:

a) Masalah pertama: Bangkai hewan yang tidak memiliki darah

1. Menurut pendapat Maliki, Sebagian ulama berpendapat bahwa bangkai hewan


yang tidak memiliki darah dan bangkai hewan laut tidak najis.
2. Menurut pendapat Syafi’I, Sebagian ulama menyamakan antara bangkai hewan
yang memiliki darah dan yang tidak memiliki darah, semuanya najis, lalu mereka
menetapkan bangkai laut sebagai pengecualian.

b) Masalah kedua: Macam-macam bangkai


Mereka sepakat bahwa daging termasuk bagian dari bangkai, lalu mereka berbeda
pendapat mengenai tulang dan bulu:
1. Menurut Syafi’I, berpendapat bahwa tulang dan rambut termasuk bangkai.
2. Menurut Maliki, membedakan antara bulu dan tulang, dia berkata,
"Sesungguhnya tulang termasuk bangkai, berbeda dengan bulunya.

c) Masalah ketiga: Kulit bangkai

1. Menurut Syafi’I, Membedakan antara yang disamak dan tidak, mereka


berpendapat proses penyamakan bisa mensucikan.
2. Menurut Maliki, salah satunya seperti pendapat Syafi’I, namun yang kedua
adalah “Proses penyamakan tidak bisa mensucikan, akan tetapi bisa
digunakan pada sesuatu yang kering”

d) Masalah keempat: Darah hewan

1. Menurut Syafi’I dan Maliki, bahwa darah ikan adalah suci

e) Masalah kelima: Air Kencing

1. Menurut Syafi’I, berpendapat bahwa semuanya najis


2. Menurut Maliki, berpendapat bahwa air kencing dan kotoran mengikuti
dagingnya, jika dagingnya haram dimakan maka air kencing dan kotoran dan
najis. Jika hewan yang dagingnya halal dimakan, maka air kencing dan
kotoran nya pun suci.

f) Masalah keenam: Najis-najis yang dimaafkan

1. Menurut Syafi'i, berpendapat bahwa sedikit ataupun banyak sama aja.


2. Menurut Maliki, menyatakan bahwa najis yang sedikit atau banyak adalah
dimaafkan kecuali darah sebagaimana telah dijelaskan.

g) Masalah Ketujuh: Sperma


1. Menurut Syafi’I, berpendapat bahwa sperma adalah suci
2. Menurut Maliki, berpendapat bahwa sperma adalah najis.

Keterangan: Di kutip dari buku Bidayatul Mujtahid, halaman 157-169


Materi 2: Macam-macam bersuci/thaharah
Definisi
Yang dimaksud dengan thaharah dari sisi etimologi adalah bersuci. Bersuci dari kotoran
dan najis, baik kotoran fisik maupun non fisik. Thnhurdalam kalimat ini bermakna fathur (
‫)فط ور‬. Keduanya berarti murni atau suci, atau bersih dari dosa. Nabi pernah
menyatakanbahwa sakit adalah pembersih dosa-dosa. Makna seperti ini mengarah pada
kotoran non fisik, yaitu berupa dosa. Selain kotoran non fisik, thaharah atau bersuci juga
meliputi bersuci dari najis. Najis secara etimologis berarti segala sesuatu yang kotor, baik
itu yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Orang-orang yang berdosa masuk
kategori sebagai orang-orang yang najis. Akan tetapi najis dalam hal ini bukan yang kasat
mata, melainkan najis maknawi (non materi).
Berikut pendapat menurut 4 mazhab tentang macam-macam thaharah
• Madzhab Hanafi: Thaharah secara syar'i adalah bersih dari hadats maupun kotoran dan
najis. Dalam pandangan madzhab Hanafi, thaharah atau bersuci dapat berupa perbuatan
seseorang membersihkan sesuatu yang najis atau kotor, sebagaimana thaharah dapat pula
berupa bersihnya sesuatu yang kotor atau najis dengan sendirinya. Misalnya, karena benda
tersebut tersiram air bersih tanpa ada orang yang menyirarnnya. Sementara hadats meliputi
hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil dapat berupa keluamya angin melalui lubang
dubur, air kencing, dan semacarmya. Hadats kecil dapat dihapus dengan berwudhu.
Adapun hadats besar adalah berupa keadaan junub yang dapat dihilangkan dengan cara
melakukan mandi wajib. Madzhab Hanafi mengartikan hadats sebagai sesuatu yang
bersifat syar'i yang dapat dihapus dengan cara membersihkan sebagian anggota badan
maupun seluruh tubuh. Dengan demikian maka thaharah tersebut dapat menghapus
hadats. Manakala pembuat syariat ini mengatakan, "Janganlah kalian kerjakan shalat
dalam keadaan berhadats." Apakah itu hadats kecil ataupun hadats besar, kewajiban kita
hanyalah menuruti dan menjalankan perintah tersebut tanpa perlu menanyakan kenapa.
Jika tidak demikian kita memahaminya, sudah barang tentu boleh jadi kita akan juga
menanyakan untuk apa kita shalat. Pada dasarnya dua hal tersebut tidak berbeda secara
substansi, bahwa larangan mengerjakan shalat saat berhadats dan atau melakukan shalat
tanpa bertanya kenapa atau untuk apa adalah bentuk dari ibadah dan tata cara beribadah
itu sendiri. Allah telah menetapkan larangan shalat dalam keadaan hadats mestinya
dipahami dalam kerangka tunduk dan patuh semata-mata pada perintah dan larangan Allah
tanpa perlu mengajukan pertanyaan mengapa dan kenapa. Yang dibenarkan untuk kita
ajukan pertanyaan adalah bagaimana jika kita tidak sanggup berwudhu, atau melakukan
mandi wajib, atau bahkan tidak mampu melakukan shalat. Pertanyaannya lalu apa yang
mesti kita lakukan? Untuk itu Allah telah menetapkan syariat bagi yang berhalangan atau
tidak sanggup berwudhu dan mandi wajib, berupa tayamum. Sementara untuk yang tidak
sanggup mengerjakan shalat, maka Allah membolehkan mengerjakan shalat dengan
duduk, atau berbaring atau dalam keadaan yang sanggup dilaksanakanoleh seorang
hamba. Yang pantas untuk kita tanyakan dan kita diskusikan adalah hal-hal yang
menyangkut hak-hak kita. Adapun yang secara khusus menjadi hak Allah maka cukup kita
menjalankan tanpa perlu menanyakan kenapa apalagi mendiskusikannya. Hal ini berbeda
dengan persoalan-persoalan muamalat atau persoalan-persoalan rumah tangga. mereka
yang tidak sanggup, baik itu dalam masalah ibadah maupun muamalah. Untuk yang
pertama bahwa angin yang keluar dari lubang dubur (kentut) adalah kotor secara fisik.
Tidak diragukan bahwa meskipun angin kentut tidak dapat ditangkap oleh penginderaan
mata, akan tetapi dapat ditangkap oleh indera penciuman. Sementara mereka yang
mengatakan bahwa kentut tidak membatalkan wudhu, dan bahwa urine serta tinja hanya
wajib dibasuh pada tempatnya saja, sudah barang tentu logika mereka akan mengadopsi
pandanganyang menyatakanbahwa seseorang hanya cukup satu kali saja sepanjang hidup
untuk berwudhu, dan bahwa tidur bukanlah termasuk membatalkan wudhu, demikian pula
dengan kentut. Mereka tentu juga sejalan untuk menyatakan bahwa urine dan tinja
merupakan najis yang bersifat lokal yang hanya terbatas pada tempatnya semata.
Sementara manfaat untuk hal-hal yang tidak dapat diindera adalah bahwa melakukan
wudhu merupakan bentuk menaati perintah Allah dengan sepenuh hati hingga seseorang
dapat merasakan kebesaran Allah selama-lamanya. Dengan demikian orang yang gemar
berwudhu akan dapat menahan diri dari melakukan perbuatan maksiat. Tentu saja hal ini
menjadi kebaikan dan manfaat bagi manusia baik di dunia maupun kelak di akhirat. Oleh
karena itu, pandangan yang mengatakan bahwa wudhu cukup satu kali seumur hidup
karena buang air maupun kentut tidak dapat membatalkan wudhu, tentu saja akan
menghilangkan manfaat dan faedah dari disyariatkannya wudhu. Untuk sanggahan yang
kedua, maka jawaban kami bahwa menganalogikan urine dan tinja dengan air mani bukan
analogi yang tepat. Sebaliknya merupakan analogi yang jelas-jelas tidak dapat diterima,
dengan alasan bahwa air mani keluar dari semua bagian dari tubuh. Hal ini sudah menjadi
kesepakatan umum. Selain itu, keluarnya air mani juga memerlukan sejumlah usaha
tertentu yang manakala selepas keluarnya air mani tubuh menjadi lemah. Dengan begitu
maka jelaslah bahwa mandi wajib yang disyariatkan setelah seseorang berjunub dapat
memulihkan kebugaran dan mengembalikan beberapa hal yang hilang akibat mengeluarkan
air mani.
• Madzhab Maliki: Thaharah adalah sifat maknawi yang memungkinkan orang yang disifati
boleh mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian yang dikenakannya, serta tempat
di mana shalat tersebut dikerjakan. Makna dari sifat maknawi adalah bahwa thaharah
merupakan keadaan (kondisi) yang ditetapkan Allah sebagai syarat sahnya shalat dan atau
semacarmya. Ringkasnya, najis merupakan sifat maknawi yang ada kalanya melekat pada
pakaian sehingga terlarang menggunakannya untuk shalat. Ada kalanya melekat pada
tempat di mana shalat tersebut dikerjakan, sehingga terlarang mengerjakannya di tempat
tersebut. Dan ada kalanya juga melekat pada diri seseorang yang disebut hadats. Karena
itu ia terlarang melakukan shalat dalam keadaan berhadats. Intinya, bahwa hadats adalah
sifat yang ditetapkan oleh Allah, yang biasa dikenal sebagai perkara yang membatalkan
wudhu, sedangkan najis biasa dikenal sebagai kotoran-kotoran tertentu seperti urine, tinja,
darah, dan yang lainnya.
• Madzhab Asy-Syafi'i: Thaharah secara syar'i mencakup dua makna, pertama; Melakukan
sesuatu yang mengakibatkan dibolehkannya mengerjakan shalat. sesuatu di sini berupa
wudhu, mandi, tayamum, serta membersihkan kotoran (najis), atau perbuatan dalam makna
serta bentuk yang sama dengan wudhu dan mandi, misalnya melakukan tayamum, mandi
sunnah, ataupun berwudhu saat masih dalam keadaan suci. penjelasan dari definisi ini
bahwa membasuhkan air pada wajah dan anggota badan lain dengan niat berwudhu dapat
dikatakan sebagai thaharah. Jadi thaharah merupakan tindakan seseorang. Sedangkan
maksud dari atau perbuatan dalam makna serta bentuk yang sama dengan wudhu dan
mandi mengandung arti bahwa perbuatan tersebut iuga merupakan thaharah. Artinya,
thaharah merupakan sebutan atau nama dari perbuatan seseorang. Akan tetapi thaharah
seperti ini tidak berdampak pada bolehnya melakukan shalat. Dibolehkannya shalat adalah
karena telah terpenuhinya wudhu yang dilakukan saat seseorang berhadats, atau yang
disebut wudhu pertama. Sedangkan wudhu yang dilakukan saat seseorang sudah dalam
keadaan suci atau yang biasa disebut wudhu setelah wudhu tidak berdampak pada boleh
tidaknya melakukan shalat. Demikian pula dengan mandi sunnah, sebab yang menghalangi
dapat dilaksanakannya shalat adalah keadaan junub, di mana cara mensucikannya adalah
dengan melakukan mandi wajib, bukan mandi sunnah. Oleh karena itu, hal ini mesti masuk
dalam definisi thaharah supaya hal-hal yang menjadi bagian dari thaharah dalam arti seperti
ini tidak tereliminir. Kedua; Thaharah adalah menghilangkan hadats, atau membersihkan
kotoran, atau sesuatu dalam pengertian serta bentuk yang sama dengan hal itu. Misalnya,
tayamum, mandi sunnah, dan semacamnya. Di sini, thaharah diartikan sebagai semacam
sifat maknawi yang berdampak pada,munculnya suatu perbuatan. jadi hadats dapat
dihilangkan dengan wudhu atau mandi jika itu adalah hadats besar, di mana arti
menghilangkan atau dihilangkan didasarkan pada perbuatan seseorang. Sedangkan najis
atau kotoran dapat dihilangkan dengan cara menyiramnya. Ini adalah makna thaharah yang
dimaksud. Adapun makna thaharah yang pertama sebagai suatu perbuatan tidak lain
merupakan makna kiasan.
• Madzhab Hambali: Thaharah secara syar'i adalah menghilangkan hadats atau
semacamnya, membersihkan najis atau menghilangkan hukumnya. Maksud dari
menghilangkan hadats adalah menghilangkan segala sifat yang menghalangi dapat
dilaksanakannya shalat atau sejenisnya. Sebab, hadats merupakan semacam sifat
maknawi yang melekat pada seluruh anggota badan ataupun sebagian. jadi thaharah
berarti mengangkat sifat tersebut. Sementara yang dimaksud dengan atau semacarmya
dalam pengertian thaharah adalah tindakan yang mengandung makna seperti
menghilangkan hadats. Misalnya, memandikan mayat, meskipun hal itu tidak mengangkat
hadats, akan tetapi itu merupakan perkara ibadah. Contoh lain adalah melakukan wudhu
ketika masih memiliki wudhu, hal mana juga bukan untuk menghilangkan hadats. Semua itu
masuk dalam pengertian seperti menghilangkan hadats meskipun tidak menghilangkan
hadats. Sedangkan yang dimaksud dengan membersihkan najis dalam pengertian di atas
mencakup baik perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang seperti menyiramkan air di
tempat yang terkena najis, ataupun najis yang hilang dengan sendirinya, seperti
berubahnya khamer menjadi cuka. Sedangkan maksud dari menghilangkan hukumnya
dalam pengertian thaharah di sini adalah menghilangkanhukum hadats maupun najis atau
apa saja yang semakna dengan itu. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan debu
(tanah), yaitu tayamum dari hadats maupun kotoran. Jadi, tayamum dapat menghilangkan
hukum hadats maupun hukum najis, yang mana dapat menghalangi pelaksanaan shalat.

Keterangan: Di kutip dari buku fiqih 4 mazhab karya Abdurrahman al-Jaziry materi
thaharah, halaman 6-13
Materi 3: Hak waris janin dalam kandungan
Pada dasarnya pembagian hak warisan dalam Islam secara jelas telah dijelaskan secara
rinci dalam al-Qur’an, hadist maupun atsar pendapat para sahabat. Namun terkait
pembahasan rinci mengenai apakah anak dalam kandungan sebagai ahli waris atau tidak
menurut fiqh Islam yang perlu kita rujuk pertama adalah Al Qur’an dan Sunnah sebagai
sumber utama syari’ah Islam. Dalam Al Qur’an Surat Annisa’ ayat 11 disebutkan: “Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS. An-nisa : 11)
Dalam ayat di atas Allah hanya menjelaskan tentang perbandingan bagian anak laki-laki
dan perempuan dalam warisan orang tuanya. Tidak dijelaskan apakah anak yang dimaksud
adalah anak yang sudah lahir atau anak yang masih dalam kandungan. Oleh sebab itu
jawaban dari pertanyaan berhakkah anak yang masih dalam kandungan ibunya terhadap
harta warisan atau tidak, belum kita temukan jawaban pasti dari Al-Qur’an, karenanya
pemahaman “anak” jika dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan kelahirannya sebagai ahli waris
masih bersifat zhanny sehingga bisa ditafsirkan dan dikaji lebih lanjut.
Para ulama telah sepakat dalam menetapkan syarat-syarat seorang ahli waris yang berhak
mendapatkan warisan adalah yang pada saat kematian pewaris jelas nyata ada dan
hidupnya. Para ulama juga sepakat bahwa janin yang masih dalam kandungan ibunya
termasuk ahli waris yang berhak diperhitungkan sebagai ahli waris dengan syarat sudah
berwujud di dalam rahim ibunya pada saat pewaris meninggal, dan hidup pada saat
dilahirkan. Ditetapkannya janin/bayi dalam kandungan sebagai orang yang berhak menjadi
ahli waris karena janin/bayi termasuk dalam kategori ahliyatul wujub, yaitu orang yang
pantas menerima hak, tapi belum mampu melakukan kewajiban. Dalam pembahasan kitab-
kitab fikih, permasalahan mengenai kewarisan anak dalam kandungan ini terletak pada
ketidak pastian yang terdapat pada dirinya. Sedangkan warisan diselesaikan secara hukum
bila kepastian tersebut sudah ada. Ketidak pastian itu terletak pada: apakah janin tersebut
lahir dalam keadaan hidup atau mati. Jika lahir dalam keadaan mati jelas ia bukan ahli
waris.
Jika ia lahir dalam keadaan hidup, apakah ia berhak mewarisi atau tidak. Selanjutnya yang
lahir hidup itu apakah laki-laki atau perempuan, satu orang atau berbilang. Ketidak pastian
itu bukan saja untuk bayi yang masih dalam kandungan, tetapi juga berlaku bagi ahli waris
yang telah ada, apakah ia terhijab oleh yang akan lahir itu atau tidak, dan beberapa ketidak
pastian lainnya. Ketika kita rujuk Hadits-Hadits Rasulullah tentang anak dalam kandungan
sebagai ahli waris atau tidak, kita hanya menemukan sepotong hadits yang bersumber dari
Jabir r.a diriwayatkan oleh Abu Daud:

‫عن ابي هريرة رضي هللا عنه اذاستهل المولودورث‬


Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda: ”apabbila seorang anak lahir dengan
bersuara maka ia berhak diberi warisan” .(HR Abu Daud). Dalam memahami hadits di atas
ada dua pendapat ulama. Sebagian ulama yang terdiri dari Ibnu Abbas, Said Ibn Al-
Musayyab, Syureih Ibn Hasan dan Ibn Sirin dari kalangan shabat berpendapat bahwa bukti
kehidupan bayi yang lahir adalah “istihlal” atau teriakan sesuai dengan zahir hadits.
Golongan ulama kedua yang terdiri dari Al-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Hanifah dan sahabat-
sahabatnya, Al-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat dan Daud berpendapat bahwa
tanda kehidupan itu dapat diketahui dengan teriakan dan juga dengan cara lain seperti
gerakan tubuh, menyusui dan petunjuk lain yang meyakinkan.
Dari pendapat para ulama di atas terhadap hadits dari Abu Hurairah itu, jika kita teliti
dengan seksama mereka tidak mempertanyakan apakah anak dalam kandungan sebagai
ahli waris atau tidak, tetapi hanya mempermasalahkan teknis menentukan hidup atau
tidaknya anak. Golongan pertama dengan teriakan ketika lahir, golongan kedua bisa
dengan tanda lain seperti bergerak, menyusui dan petunjuk lain. Penentuan hidup atau
tidaknya anak memang sangat penting karena sebagai ahli waris harus diyakini dia hidup
ketika pewaris meninggal. Dengan demikian kedudukan anak dalam kandungan adalah ahli
waris telah disepakati
para ulama. Telah sepakat para ulama bahwa anak yang masih dalam kandungan ibunya
termasuk orang yang berhak menerima warisan jika padanya terdapat salah satu sebab
dari sebab kewarisan). Begitu juga Wahbah Zuhaili menjelaskan:
‫ولو كان حينئذ مضغة او علقة ثبت له الحق فى الميرث‬
Jika ahli waris masih dalam bentuk mudhghah (segumpal daging) atau alaqah (segumpal
darah) maka hak kewarisannya tetap ada. Perlu diketahui, anak dalam kandungan sebagai
ahli waris disebut juga dalam ilmu ushul fiqh dengan istulah “ahliyatul wujub” yang tidak
sempurna, ia pantas menerima hak namun belum mampu memenuhi kewajiban. Oleh
karena anak dalam kandungan itu dinyatakan orang yang pantas menerima hak, maka ia
ditetapkan sebagai ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari pewaris bila
padanya terpenuhi rukun dan syarat kewarisan. Rukun Kewarisan adalah pewaris, ahli
waris, harta warisan, sedangkan syarat kewarisan adalah meninggalnya pewaris, hidupnya
ahli waris ketika pewaris meninggal, dan tidak terdapat penghalang kewarisan (seperti
membunuh pewaris, murtad dan budak). Terhadap anak dalam kandungan sebagai ahli
waris terdapat dua keraguan dalam teknis pembagian hak warisannya yaitu maujud (ada)-
nya dan hidupnya dia
ketika pewaris meninggal ditambah kesamaran kondisi anak dalam kandungan apakah laki-
laki atau perempuan, tunggal atau kembar. Oleh karena keraguan itu, para ulama klasik
memelihara hak anak dalam kandungan itu dengan memauqufkan (menunda) pembagian
harta warisan sampai anak itu lahir atau membagi kepada ahli waris lain dengan
memberikan kemungkinan asumsi jumlah terbesar yang diterima anak dalam kandungan
itu.

Keterangan: Dikutip dari Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuh, (Mesir, Dar al-Fikr, tt), h. 254

Anda mungkin juga menyukai