Anda di halaman 1dari 18

6

Kepuasan Kerja

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia (human resource) adalah energi atau potensi yang

dimiliki oleh manusia yang dijadikan sebagai input dalam sebuah organisasi atau

perusahaan yang diproses dan dikembangkan hingga menghasilkan output yang

berguna untuk perusahaan atau organisasi tersebut. Sumber daya manusia telah

terkait pada suatu organisasi (formal, perusahaan, industri) berdasarkan suatu

kontrak kerja , atau telah berhubungan kerja dengan suatu organisasi berdasarkan

suatu kerjasama disebut sumber daya manusia pada status mikro (SDM mikro:

pegawai, karyawan, staf) dan sumber daya manusia yang masih bebas atau belum

terikat kontrak kerja suatu organisasi disebut sumber daya manusia makro

(Ndraha, 1999).

Untuk dapat mengelola sumber daya manusia maka diperlukan manajemen

personalia atau manajemen sumber daya manusia. Manajemen personalia atau

manajemen sumber daya manusia adalah seni dan ilmu perencanaan, pelaksanaan

dan pengontrolan tenaga kerja untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan

terlebih dulu dengan adanya kepuasan hati dari para pekerja, atau dengan kata

lain, manajemen personalia adalah ilmu yang mempelajari cara bagaimana

memberikan fasilitas untuk pengembangan pekerja dan rasa partisipasi pekerja

dalam suatu unit aktivitas (Manullang, 1972).


7

Salah satu sasaran penting dalam manajemen sumberdaya manusia pada

suatu organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja anggota organisasi yang

bersangkutan. Kepuasan kerja tersebut diharapkan pencapaian tujuan organisasi

akan lebih baik dan akurat. Hasil penelitian Herzberg menyatakan bahwa faktor

yang mendatangkan kepuasan adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri,

tanggung jawab, dan kemajuan (Armstrong,1994).

2.2 Kepuasan Kerja

2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan sifat individual seseorang sehingga seseorang

mempunyai tingkat kepuasan berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang

berlaku pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pada masing-

masing individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan sesuai dengan

keingginan individu tersebut.maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang

dirasakan dan begitu pula sebaliknya.

Salah satu sarana penting pada manjemen sumber daya manusia dalam

sebuah orgaisasi adalah terciptanya kepuasan kerja para pegawai/ karyawan.

Kepuasan kerja menurut Susilo Martoyo (1992), pada dasarnya merupakan salah

satu aspek psikologis yang mencerminkan perasaan seseorang terhadap

pekerjaannya,ia akan merasa puas dengan adanya kesesuaian antara

kemampuan, keterampilan dan harapannya dengan pekerjaan yang ia hadapi.

Kepuasan sebenarnya merupakan keadaan yang sifatnya subyektif yang

merupakan hasil kesimpulan yang didasarkan pada suatu perbandingan


8

mengenai apa yang diterima pegawai dari pekerjaannya dibandingkan dengan

yang diharapkan, diinginkan, dan dipikirkannya sebagai hal yang pantas atau

berhak atasnya. Sementara setiap karyawan/ pegawai secara subyektif

menentukan bagaimana pekerjaan itu memuaskan.

Sondang P. Siagian (1993) menyebutkan bahwa yang dimaksud kepuasan

kerja adalah cara pandang seseorang baik yang bersifat positif maupun negatif.

Sedangkan kepuasan kerja adalah keadaan emosional karyawan dimana terjadi

ataupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa karyawan dari perusahaan

dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh karyawan yang

bersangkutan. Balas jasa karyawan tersebut, baik berupa financial maupun non

financial (Susilo Martoyo, 1992)

Biasanya seseorang akan merasa puas atas kerja yang telah atau sedang

dilakukan, apabila apa yang dikerjakan itu dianggapnya telah memenuhi

harapannya, sesuai dengan tujuan seseorang tersebut bekerja. Apabila seseoarang

mendambakan sesuatu maka itu berarti seseorang tersebut memiliki suatu harapan

dan dengan demikian ia termotivasi untuk melakukan tindakan ke arah pencapaian

harapan tersebut, maka seseorang tersebut akan merasa puas.

Tiffin mengatakan kepuasan adalah sikap dari karyawan terhadap

pekerjaan itu sendiri, situasi kerja dan kerja sama antara pimpinan dan karyawan

(Pandji Anoraga, 1998).

Pendapat Wexley dan Yuki mendefinisikan kepuasan kerja is the way an

employee fuels about his or her job artinya kurang lebih cara pegawai merasakan

dirinya atau pekerjaannya (As’ad, 1995). Berdasarkan pendapat Keith Davis,


9

Wekley dan Yuki tersebut, kepuasan kerja adalah suatu perasaaan yang

menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan

pekerjaannya maupun dengan kondisinya. Pegawai akan merasa puas dalam

bekerja apabila aspek-aspek pekerjaannya dan aspek-aspek dirinya menyokong

dan sebaliknya jika aspek-aspek tersebut tidak menyokong pegawai tidak puas.

Dari pendapat tentang kepuasan kerja di atas dapat diambil suatu batasan

yang sederhana tentang kepuasan kerja yaitu perasaan seseorang terhadap

pekerjaan. Apabila kepuasaan diperoleh melalui pekerjaannya semakin tinggi

kepuasan yang dirasakannya, sehingga diharapkan ia akan meningkatkan

kemampuannya untuk melaksanakan pekerjaannya.

Dari penelitian sebelumnya (Kartiko, 2004) disebutkan bahwa

ketidakpuasan kerja dapat timbul dari beberapa aspek kehidupan perilaku

organisasi. Aspek-aspek tersebut seperti aspek lingkungan fisik dan teknologi

(Physical and Technological Environment), lingkungan sosial (Social

Environment) dan pribadi (Person) beserta interaksinya (McGrath, 1994)

2.2.2 Teori Kepuasan Kerja

Teori kepuasan kerja menurut Wesley dan Yulk dapat diterangkan

menurut tiga macam teori, yaitu:

Pertama, discrepancy theory mengemukakan bahwa untuk mengukur

kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya

dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian, Locke (1969) menerangkan bahwa

kepuasan kerja tergantung pada discrepancy antara should he (expectation, needs


10

atau values) dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah

diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan. Dengan demikian, orang akan merasa

puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas

kenyataan karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Wanous dan Lawler mengemukakan bahwa sikap

karyawan terhadap pekerjaannya tergantung pada bagaimana ketidaksesuaian

(discrepancy) yang dirasakan (As'ad, 2003)

Kedua, equity theory yang dikembangkan oleh Adam (1963). Pada

prinsipnya teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas sepanjang

mereka merasa ada keadilan (equity). Perasaan equity dan inequity atas suatu

situasi diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain

yang sekelas, sekantor, maupun di tempat lain. Teori ini mengidentifikasi elemen-

elemen equity meliputi tiga hal.yaitu: (a) input, adalah sesuatu yang berharga yang

dirasakan oleh pegawai sebagai masukan terhadap pekerjaannya; (b) out comes,

adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan sebagai dari hasil

pekerjaannya; (c) comparisons persona, adalah perbandingan antara input dan out

comes yang diperolehnya

Ketiga, Two factor theory yang dikemukakan oleh Herzberg. Prinsip-

prinsip teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu

tidak merupakan variabel yang kontinyu. Berdasarkan hasil penelitiannya

Herzberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap

pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu: (a) statisfers atau motivator, factor-

faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan yang terdiri dari:
11

achievement, recognition, work it self, responsibility dan advancement; dan (b)

dissatifiers atau hygiene factors, yaitu faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber

ketidakpuasan, seperti: company policy and administration, supervision tehnical,

salary, interpersonal relations, working condition, job security dan status

(As'ad,2003).

Dalam penelitian ini dilakukan analisa faktor kepuasan kerja karyawan

dengan menggunakan teori Alderfer (teori “ERG”). Teori Alderfer dikenal dengan

akronim “ERG”. Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf

pertama dari tiga istilah yaitu E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R =

Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain), dan G = Growth

(kebutuhan akan pertumbuhan). Teori ERG dari Clyton Alderfermemiliki dua hal

yang penting. Pertama, teori Alderfer merupakan kelanjutan dari teori Maslow

yang dimaksud untuk memperbaiki beberapa kelemahannya. Teori ini membagi

tingkat kebutuhan manusia ke dalam 3 tingkatan yaitu (Gauzaly, 2000).

1) Existence needs (kebutuhan akan keberadaan), yang tergolong dalam

kebutuhan ini adalah sama dengan tingkatan 1 dan 2 dari teori Maslow.

Kebutuhan ini berupa semua kebutuhan yang termasuk dalam kebutuhan

fisiologis dan material serta kebutuhan rasa aman seperti kebutuhan akan

makanan, minuman, pakaian, perumahan dan keamanan. Dalam organisasi

kebutuhan ini seperti upah/ gaji, kondisi kerja, jaminan sosial, dan

sebagainya.

2) Relatedness needs (kebutuhan akan keterkaitan), adalah meliputi

kebutuhan-kebutuhan pada tingkatan 3 dan 4 dari teori Maslow, kebutuhan


12

ini meliputi semua bentuk kebutuhan yang berkaitan dengan kepuasan

hubungan antar pribadi di tempat kerja seperti hubungan dengan atasan,

hubungan dengan kolega, hubungan dengan bawahan, hubungan dengan

teman, hubungan dengan orang luar organisasi.

3) Growth needs (kebutuhan akan pertumbuhan), adalah meliputi kebutuhan-

kebutuhan pada tingkat 5 dari teori Maslow, kebutuhan ini meliputi semua

kebutuhan yang berkaitan dengan pengembangan potensi seseorang seperti

bekerja kreatif, inovatif, bekerja keras, kompeten, pengembangan pribadi.

Kedua, Alderfer berpendapat bahwa pemenuhan atas ketiga kebutuhan

tersebut tidak bersifat hierarkhi akan tetapi kebutuhan manusia itu diusahakan

pemuasannya secara serentak.

2.2.3 Sumber-Sumber Ketidakpuasan Kerja

Ketidakpuasan kerja merupakan perasaan tidak senang atau karyawan

merasa tidak seimbang antara yang dia kerjakan dengan yang ia dapat, atau hal

yang harus dia kerjakan dengan hal yang kemudian dapat dihasilkan serta hal

yang dia peroleh selanjutnya. Faktor – faktor yang mempengaruhi ketidakepuasan

kerja karyawan dalam rangka peningkatan kinerjanya adalah:

1) Faktor psikologik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan

karyawan yang meliputi minat, ketenteraman dalam kerja, sikap terhadap

kerja, bakat, dan keterampilan


13

2) Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial

baik sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda

jenis pekerjaannya

3) Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik

lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi. jenis pekerjaan,

pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan

ruangan, suhu penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan,

umur, dan sebagainya;

4) Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta

kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan

sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi, dan

sebagainya.

2.2.4 Faktor-faktor Kepuasan Kerja

Sebagian besar orang berpendapat bahwa gaji atau upah merupakan faktor

utama untuk dapat menimbulkan kepuasan kerja. Sampai taraf tertentu, hal ini

memang bisa diterima, terutama dalam negara yang sedang berkembang, dimana

uang merupakan kebutuhan yang sangat vital untuk bisa memenuhi kebutuhan

pokok sehari-hari. Akan tetapi kalau masyarakat sudah bisa memenuhi kebutuhan

keluarganya secara wajar, maka gaji atau upah ini tidak menjadi faktor

utama.Faktor-faktor kepuasan kerja sebenarnya lebih kompleks dan tidak hanya

menyangkut hal gaji/ upah. Moh As’ad (1995) membagi faktor-faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja menjadi:


14

1) Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan

karyawan yang meliputi minat, ketenteraman dalam kerja, sikap terhadap

kerja, bakat, dan keterampilan

2) Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial

baik sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda

jenis pekerjaannya

3) Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik

lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi. jenis pekerjaan,

pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan

ruangan, suhu penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan,

umur, dan sebagainya

4) Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan

serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji,

jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan,

promosi, dan sebagainya.

Harold E. Burt dalam bukunya Moh. As’ad (1995) mengemukakan

pendapatnya tentang faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja antara

lain :

1) Faktor hubungan antar karyawan, antara lain hubungan antara pimpinan

dengan karyawan, faktor fisik dan kondisi kerja, hubungan sosial diantara

karyawan, sugesti dari teman kerja, emosi dan situasi kerja.

2) Faktor individual, antara lain sikap kerja seseorang terhadap pekerjaannya,

umur orang sewaktu bekerja, serta jenis kelamin karyawan.


15

3) Faktor–faktor dari luar (ekstern) antara lain keadaan keluarga karyawan,

rekreasi, pendidikan (training, dan lain–lain).

Sedangkan menurut pendapat Gilmer (1966) dalam bukunya tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut :

1) Kesempatan untuk maju.

Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh kesempatan

peningkatan pengalaman dan kemampuan kerja selama bekerja.

2) Keamanan kerja.

Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik karyawan

pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengarugi perasaan

kerja karyawan selama bekerja.

3) Gaji

Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang yang

mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang di

perolehnya.

4) Manajemen kerja.

Manajemen kerja yang baik adalah yang memberikan situasi dan kondisi

kerja yang stabil, sehingga karyawan dapat bekerja dengan nyaman.

5) Kondisi kerja.

Dalam hal ini adalah tempat kerja, ventilasi, penyinaran, kantin, dan

tempat parkir.
16

6) Komunikasi.

Komunikasi yang lancar antara karyawan dengan pimpinan banyak

dipakai untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak

pimpinan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat atau

prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbukan kepuasan kerja.

Sedangkan Chissoli dan broun mengemukakan faktor-faktor yang dapat

menimbulkan kepuasan kerja (Pandji Anoraga, 1998) sebagai berikut:

1) Kedudukan

Pada umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada

pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada mereka

bekerja pada pekerjaannya yang lebih rendah. Pada kenyataannya hal

tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan pada tingkat

pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan kerja.

2) Pangkat (Golongan)

Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat atau golongan,

sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang

yang melakukannya. Jadi apabila ada kenaikan gaji, maka sedikit

banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan pangkat dan kebanggaan

terhadap kedudukan baru, hal tersebut mempengaruhi perilaku dan

perasaannya.
17

3) Umur

Dinyatakan bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dengan umur

seseorang, pada umur diantara 25 (dua puluh lima) tahun sampai 35 (tiga

puluh lima) tahun dan umur 40 (empat puluh) tahun sampai 45 (empat

puluh lima) tahun adalah merupakan umur–umur yang dapat menimbulkan

perasaan puas terhadap pekerjaannya.

4) Jaminan Finansial Dan Jaminan Sosial

Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh terhadap

kepuasan kerja.

5) Mutu Pengawasan

Hubungan antara pihak bawahan dan pihak pimpinan sangat penting

artinya dalam meningkatkan produktifitas kerja. Kepuasan kerja dapat

ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari

2.3 AHP ( Analytical Hierarchy Process )

2.3.1 Pengertian AHP

AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan

oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan

masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki,

menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah

permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level

pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan

seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu
18

masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang

kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan

tampak lebih terstruktur dan sistematis.

AHP sering digunakan sebagai metode pemecahan masalah dibanding

dengan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut :

1) Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih,

sampai pada subkriteria yang paling dalam.

2) Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi

berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan.

3) Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan

keputusan.

2.3.2 Prinsip-Prinsip Dasar AHP

Dalam menyelesaikan persoalan dengan metode Analytic Hierarchy

Process (AHP) ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami antara lain:

1) Decomposition (Dekomposisi)

Dekomposisi adalah memecahkan atau membagi problema yang utuh

menjadi unsur–unsurnya ke bentuk hirarki proses pengambilan keputusan,

dimana setiap unsur atau elemen saling berhubungan (Gambar 2.2). Untuk

mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan dilakukan terhadap unsur–

unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga

didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan yang hendak dipecahkan.

Bentuk struktur dekomposition yakni :


19

 Tingkat pertama : Tujuan keputusan (Goal)

 Tingkatan kedua : Kriteria – kriteria

 Tingkat ketiga : Alternatif – alternatif

Gambar 2.1. Struktur Hierarki

2) Comparative Judgement (Perbandingan Penilaian/ Pertimbangan)

Comparative Judgement dilakukan dengan penilaian tentang kepentingan

relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan

tingkatan di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan

berpengaruh terhadap urutan prioritas dari elemen–elemennya. Hasil dari

penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matrix pairwise

comparisons yaitu matriks perbandingan berpasangan memuat tingkat

preferensi beberapa alternatif untuk tiap kriteria. Skala preferensi yang

digunakan yaitu skala 1 yang menunjukkan tingkat yang paling rendah


20

(equal importance) sampai dengan skala 9 yang menunjukkan tingkatan

yang paling tinggi (extreme importance).

3) Synthesis of Priority (Sintesa Prioritas)

Synthesis of Priority dilakukan untuk mendapatkan bobot relatif bagi

unsur-unsur pengambilan keputusan. Sintesa prioritas dilakukan dengan

mengalikan prioritas lokal dengan prioritas dari kriteria bersangkutan di

level atasnya dan menambahkannya ke tiap elemen dalam level yang

dipengaruhi kriteria. Hasilnya berupa gabungan atau dikenal dengan

prioritas global yang kemudian digunakan untuk memboboti prioritas lokal

dari elemen di level terendah sesuai dengan kriterianya

2.3.3 Tahapan Metode AHP

Dalam metode AHP dilakukan langkah-langkah sebagai berikut (Latifah,

2005) :

1) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan

Dalam tahap ini kita berusaha menentukan masalah yang akan kita

pecahkan secara jelas, detail dan mudah dipahami. Dari masalah yang ada

kita coba tentukan solusi yang mungkin cocok bagi masalah tersebut.

Solusi dari masalah mungkin berjumlah lebih dari satu. Solusi tersebut

nantinya kita kembangkan lebih lanjut dalam tahap berikutnya.

2) Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum

Setelah menyusun tujuan utama sebagai level teratas akan disusun level

hirarki yang berada di bawahnya yaitu kriteria-kriteria yang cocok untuk


21

mempertimbangkan atau menilai alternatif yang kita berikan dan

menentukan alternatif tersebut. Tiap kriteria mempunyai intensitas yang

berbeda-beda. Hirarki dilanjutkan dengan subkriteria (jika mungkin

diperlukan).

3) Membentuk matriks perbandingan berpasangan

Matriks yang digunakan bersifat sederhana, memiliki kedudukan kuat

untuk kerangka konsistensi, mendapatkan informasi lain yang mungkin

dibutuhkan dengan semua perbandingan yang mungkin dan mampu

menganalisis kepekaan prioritas secara keseluruhan untuk perubahan

pertimbangan. Pendekatan dengan matriks mencerminkan aspek ganda

dalam prioritas yaitu mendominasi dan didominasi. Perbandingan

dilakukan berdasarkan judgment dari pengambil keputusan dengan menilai

tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Untuk

memulai proses perbandingan berpasangan dipilih sebuah kriteria dari

level paling atas hirarki misalnya K dan kemudian dari level di bawahnya

diambil elemen yang akan dibandingkan misalnya E1,E2,E3,E4,E5.

4) Menormalkan data

Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen di

dalam matriks yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom.

5) Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya

jika tidak konsisten maka pengambilan data (preferensi) perlu diulangi.

Nilai eigen vector yang dimaksud adalah nilai eigen vector maksimum

yang diperoleh dengan menggunakan matlab maupun dengan manual.


22

6) Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.

7) Menghitung eigen vector dari setiap matriks perbandingan

berpasangan.

Yang merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan prioritas elemen-

elemen pada tingkat hirarki terendah sampai mencapai tujuan.

Penghitungan dilakukan lewat cara menjumlahkan nilai setiap kolom dari

matriks, membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang

bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks, dan menjumlahkan

nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah elemen untuk

mendapatkan rata-rata.

8) Menguji konsistensi hirarki

Yang diukur dalam AHP adalah rasio konsistensi dengan melihat indeks

konsistensi. Konsistensi yang diharapkan adalah yang mendekati

sempurna agar menghasilkan keputusan yang mendekati valid. Walaupun

sulit untuk mencapai yang sempurna, rasio konsistensi diharapkan kurang

dari atau sama dengan 10 %. Jika tidak memenuhi dengan CR < 0, 1 maka

penilaian harus diulang kembali Saaty telah membuktikan bahwa Indeks

Konsistensi dari matriks berordo n dapat diperoleh dengan rumus:

λ max−N
CI ( Consistency Index )=
N −1

Keterangan :

CI = Rasio penyimpangan (deviasi) konsistensi (consistency index)

λ max = Nilai eigen terbesar dari matriks berordo n

N = Orde matriks
23

Apabila CI bernilai nol, maka pair wise comparison matrix tersebut

konsisten. Batas ketidakkonsistenan (inconsistency) yang telah ditetapkan

oleh Thomas L. Saaty ditentukan dengan menggunakan Rasio Konsistensi

(CR), yaitu perbandingan indeks konsistensi dengan nilai random indeks

(RI), nilai random indeks ini bergantung pada ordo matriks N (Tabel 2.1.).

Dengan demikian, Rasio Konsistensi dapat dirumuskan sebagai berikut :

CI (Consistency Index)
CR (Consistency Ratio)=
RI (Random Index)

Keterangan:

CR = rasio konsistensi

RI = indeks random

Tabel 2.1. Nilai Random Indeks

Anda mungkin juga menyukai