Anda di halaman 1dari 32

Oleh: Muhammad Yaumi. (Mahasiswa program Master/S2 di University of Northern Iowa.

Pendahuluan

Dalam sejarah penyelenggaraan pendidikan di negara kita, tercatat sebanyak lima kali perubahan
kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang berbarengan dengan perubahan strategi belajar
mengajar. Kurikulum pertama dirancang pada tahun 1968 yang menekankan pada pentingnya
pembinaan moral, budi pekerti, agama, kecerdasan dan keterampilan, serta fisik yang kuat dan
sehat (Sularto, 2005). Kurikulum 1968 dianggap belum sempurna sekalipun penyusunannya
berdasarkan hasil kajian mendalam terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Oleh
karena itu, pemerintah, para ahli, dan praktisi pendidikan melakukan inovasi dan uji coba
terhadap model desain pembelajaran yang pada akhirnya terakumulasi dalam perwujudan
kurikulum 1975. Kurikulum 1975 pun dipandang belum mampu mengakomodasi upaya
menciptakan manusia Indonesia seutuhnya yang berindikasi pada pengembangan tiga aspek
kognisi, afektif, dan psikomotor. Maka dirancanglah kurikulum 1984 sebagai penyempurnaan
kurikulum sebelumnya yang menekankan pada Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).

Seiring dengan perubahan situasi politik, tarik-menarik kepentingan pun sering terjadi sehingga
mempengaruhi sistem pendidikan yang diselenggarakan di negeri ini. Setelah berjalan selama
lebih kurang sepuluh tahun, implementasi kurikulum tahun 1984 terasa terlalu membebani guru
dan murid mengingat jumlah materi yang terlalu banyak jika dibandingkan dengan waktu yang
tersedia. Dengan demikian, perubahan kembali dilakukan dengan lahirnya kurikulum 1994
sebagai penyederhanaan kurikulum 1984. Mutu pendidikan yang semakin terpuruk hingga
berada pada level ke-12 dari 12 negara di Asia seolah mengindikasikan hanya dengan perubahan
kurikulum kemudian keterpurukan itu dapat didongkrak ke arah yang lebih baik, maka lahirlah
kurikulum 2004 yang dikenal dengan “kurikulum berbasis kompetensi”.

Perubahan kurikulum 1968 hingga kurikulum 2004 menunjukkan kuatnya anggapan bahwa
kegagalan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia hanya disebabkan oleh kesalahan rancangan
kurikulum. Menurut hemat penulis anggapan seperti itu telah mengabaikan faktor lain yang juga
ikut mempengaruhi terjadinya kegagalan itu sendiri. Beberapa faktor yang dimaksud adalah
kompetensi guru dalam melaksanakan kurikulum, ketidaktersediaan sarana dan prasarana
sekolah, kurangnya keterlibatan stakeholder, tidak terciptanya kerjasama yang baik antara
perguruan tinggi sebagai pencetak tenaga guru, pemerintah, dan sekolah, sistem evaluasi dan
standarisasi nasional dan daerah yang tidak akurat, serta ketidakjelasan arah serta model
pendidikan yang diselenggarakan. Dalam artikel sederhana ini penulis tidak bermaksud
mengupas berbagai faktor yang disebutkan di atas, melainkan hanya berkisar pada tingginya
harapan terhadap kurikulum dan model pembelajaran di satu sisi dan rendahnya kenyataan hasil
pendidikan yang kita peroleh di sisi lain berikut kemungkinan solusi yang ditawarkan guna
mengatasi lebarnya gap antara desired status (status yang ingin dicapai) dan actual status (status
yang sebenarnya).

Prinsip-prinsip KBK

Dalam Pelayanan Profesional Kurikulum 2004 “Kurikulum Berbasis Kompetensi” (KBK) yang
dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2003) dijelaskan bahwa prinsip-prinsip
implementasi meliputi (1) kegiatan belajar mengajar, (2) penilaian berbasis kelas, dan (3)
pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.

1. Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)

Ada dua hal yang perlu ditegaskan sebagai prinsip dasar KBM. Pertama,
mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik sehingga menghasilkan
sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk berpikir logis, kritis, dan kreatif.
Kedua, kegiatan belajar mengajar yang berorientasi pada pemberdayaan peserta didik
seperti mengembangkan kreativitas, menciptakan lingkungan yang menyenangkan dan
menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, menciptakan
pengalaman belajar yang beragam dan belajar melalui berbuat (DEPDIKNAS, 2003).

Istilah mengembangkan dan memberdayakan merujuk pada adanya pengetahuan dasar


yang dibawa oleh masing-masing peserta didik untuk dikembangkan dalam lingkungan
kelas. Dalam pengertian lain, tidak ada seorang anak pun yang datang ke sekolah tanpa
membawa pengetahuan yang terkait dengan mata pelajaran yang hendak dipelajari.
Dengan demikian, proses belajar bukan hanya berlangsung dalam lingkungan sekolah
saja melainkan akan berlanjut ke lingkungan rumah tangga dan masyarakat.

Sebagai seorang pendidik yang hidup di negara yang sedang berkembang yang sarana
belajarnya serba terbatas, penulis merasa kawatir jika beban yang dimuat dalam
kurikulum berbasis kompetensi terasa jauh lebih berat dibandingkan kurikulum 1994.
Dapat dibayangkan bahwa jumlah mata pelajaran dalam setiap hari yang berkisar antara
tujuh sampai delapan mata pelajaran akan sangat tidak mungkin dapat dipenuhi oleh
peserta didik jika setiap mata pelajaran memiliki tugas dan pekerjaan rumah sebagai
mana yang tercantum dalam kurikulum. Di sisi lain terbatasnya peralatan belajar seperti
komputer dan Internet akan memaksa orang tua untuk mengeluarkan dana tambahan
demi untuk menyewa peralatan tersebut.

Berbeda dengan Indonesia, negera-negara maju seperti Amerika Serikat misalnya hampir
tidak memiliki kendala yang berarti dalam mengimplementasikan model pembelajaran
konstruktivisme (agak mirip dengan KBK di Indonesia) karena ditunjang oleh sarana
teknologi yang sangat memadai. Setiap peserta didik dapat dikatakan memiliki peralatan
komputer dan fasilitas Internet yang serba gratis di rumah. Jumlah mata pelajaran setiap
hari yang hanya berkisar antara tiga sampai empat mata pelajaran dengan alokasi waktu
yang cukup panjang (pukul 8.30 hingga pukul 4 sore) serta jumlah peserta didik yang
hanya 15-20 yang ditangani oleh 1 orang guru inti dan 2-3 orang guru bantu ditambah
dengan sarana komputer lengkap dengan fasilitas Internetnya di setiap kelas
menyebabkan efektifitas dan efisiensi kerja guru terasa lebih nyaman. Apa lagi air
conditioning, AC, yang dilengkapi di setiap sudut-sudut ruangan kelas.

Jika rancangan KBM yang diadopsi dari model pembelajaran konstruktivisme seperti
yang dikembangkan di beberapa negara maju saat ini akan diterapkan di suatu negara
yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia tanpa mengadaptasi ketersediaan
sarana dan prasarana serta adat-istiadat, budaya, dan tradisi yang dianut secara
menyeluruh oleh bangsa Indonesia bukan tidak mungkin produk pendidikan yang
diselenggarakan akan menuai kegagalan yang lebih parah dari keterpurukan mutu
pendidikan sebelumnya.

Bayangkan data dari hasil survai yang dilakukan oleh the Asian-South Pacific Bureau of
Adult Education and the Global Campaign for Education, menunjukkan bahwa Indonesia
hanya mampu menduduki rangking 10 dari 14 negara di kawasan Asia Pasifik. Jika
dikalkulasi Indonesia hanya mencapai 42 dari 100 skor maksimal, atau mendapat angka E
dalam komitmen kepada pendidikan dasar. Sedangkan Thailand dan Malaysia menduduki
nilai A, yang kemudian diikuti Srilanka dengan nilai B. Sedangkan Filipina, Cina,
Vietnam, Bangladesh, Kamboja, dan India mendapat nilai antara C dan F. Indonesia lebih
baik hanya jika dibandingkan dengan Nepal, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan
Pakistan (Azra. Republika, 7 Juli 2005).

2. Penilaian Berbasis Kelas

Ketika kita berbicara masalah penilaian, model standarisasi yang menjadi patokan dasar
penilaian terhadap pencapaian prestasi belajar peserta didik harus diestimasi berdasarkan
tingkat kesulitan isi materi dan proses pembelajaran. Aspek-aspek yang menjadi bahan
penilaian mencakup kumpulan kerja peserta didik (portfolio), hasil karya (product),
penugasan (project), unjuk kerja (performance), dan tes tertulis (paper and pencil test).
Oleh sebab itu, model penilaian bukan berdasarkan pada hasil, melainkan berorientasi
pada proses.

Peranan guru menjadi semakin kompleks karena bukan hanya menjadi fasilitator di
dalam ruangan kelas melainkan juga menjadi designer (perancang) dari sejumlah aspek
yang menjadi bahan penilaian tersebut di atas. Guru dituntut untuk mampu mendesain
learning episode (tahapan-tahapan belajar) yang disusun secara sistematis dan
berkelanjutan, membuat agenda belajar, menyediakan kuis-kuis, menyususun modul, dan
merancang rubrik yang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan portfolio,
product, project, performance, dan bahkan untuk paper and pencil test.

Tradisi behaviorisme yang mengendepankan hasil dari pada proses menjadi beban yang
sangat berat bagi kebanyakan guru di Indonesia. Perubahan yang sangat drastis untuk
meninggalkan praktek-praktek behaviorisme menuju konstruktivisme yang berorientasi
kepada proses seperti yang diimplementasikan melalui KBK masih sangat sulit
diwujudkan. Bukan hanya itu, learning style (gaya belajar) peserta didik di negara kita
yang lebih suka mendengar dan melihat menjadi hambatan tersendiri jika dihadapkan
pada budaya membaca dan tradisi kerja yang sistematis dan kontinuitas. Tradisi peserta
didik yang cenderung membantu kerja kerabat, saudara, dan orang tua di rumah setelah
pulang dari sekolah juga akan menghambat tingkat keberhasilan mereka. Walaupun
demikian, rasa optimisme untuk mengubah cara berpikir, cara pandang, dan cara kerja
putra-putri bangsa Indonesia harus dilakukan sekarang ini demi untuk meraih kejayaan di
masa yang akan datang.
Selanjutnya, prinsip dasar penilaian berbasis kelas dapat diamati melalui keikutsertaan
peserta didik dalam memberikan penilaian terhadap teman dalam satu kelompok (peer
evaluation). Mereka akan dimintai penilaian terhadap kontribusi, kerja sama, serta
tanggung jawab yang diberikan oleh masing-masing peserta didik dalam suatu kelompok.
Hasil penilaian itu akan dibagi dengan hasil penilaian dari aspek lain oleh baik guru kelas
maupun guru bantu (jika ada). Peserta didik pun berhak untuk memberikan penilaian
terhadap cara kerja, pengetahuan, dan sikap guru selama berlangsungnya proses belajar
mengajar. Penilaian tersebut dapat dijadikan dasar oleh kepala sekolah untuk membina
kinerja guru dalam melakasanakan tugas fungsional mereka sebagai pendidik.

Objektivitas penilaian peserta didik baik terhadap teman sekelompok mereka maupun
terhadap guru mata pelajaran dapat dipastikan masih sangat sulit diwujudkan mengingat
tradisi kasih-mengasihani masih sangat kental dalam prilaku keseharian kita. Akibatnya,
rekayasa penilaian sangat mungkin terjadi apalagi antara sesama peserta didik dan
bahkan mungkin antara pendidik dan peserta didik.

3. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah

Prinsip dasar pengelolaan kurikulum berbasis sekolah (PKBS) dapat diterjemahkan dari
istilah yang lebih populer digunakan seperti “kesatuan dalam kebijaksanaan dan
keberagaman dalam pelaksanaan”. Perangkat dan dokumen yang dikeluarkan oleh
pemerintah dalam hal ini adalah DEPDIKNAS dapat digunakan oleh seluruh sekolah
pada seluruh propinsi dan kabupaten di Indonesia menunjukkan adanya kesatuan dalam
kebijaksanaan. Sedangkan keberagaman dalam pelaksanaan dapat menjangkau
keberagaman silabus, modul, learning episode, rubrik, agenda pembelajaran, dan bahkan
berbagai pendekatan dalam menyampaikan materi pembelajaran.

KBK, dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya telah mengangkat peranan sekolah


lebih besar dengan memberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengembangkan ilmu
dan keterampilan yang dimiliki peserta didik sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dalam
lingkungan sekolah tersebut. Kewenangan ini boleh jadi akan memupuk dan memberi
peluang kepada sekolah baik pendidik (guru), administrator, dan kepala sekolah untuk
merancang dan mengembangankan model pembelajaran yang inovatif dan reformatif. Hal
ini dapat terwujud jika sumber daya manusia yang mengelola sekolah itu lebih kompeten
dalam bidang mereka masing-masing. Jika tidak, sekolah pun akan tertinggal jauh dari
apa yang kita harapkan bersama.

Hasil survei dari Human Development Index (HDI) menunjukkan bahwa sebanyak 60%
guru SD, 40% guru SLTP, 43% guru SMU, dan 34% guru SMK belum memenuhi
standardisasi mutu pendidikan nasional. Lebih berbahaya lagi jika dilihat dari hasil
temuan yang menunjukkan 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang
keahlian mereka Toharuddin (Oktober 2005). Seandainya setiap sekolah di Indonesia
memiliki angka kualitas guru rata-rata seperti disebutkan di atas, maka perubahan
kurikulum hampir tidak akan menyentuh keinginan besar dari pemerintah dan para
perancang kurikulum itu sebelum dilakukan pembenahan secara fundamental terhadap
kualitas guru pada setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Solusi Alternatif

Penulis menggunakan istilah solusi alternatif karena boleh jadi pemerintah, pemikir, dan
perancang KBK sudah menyiapkan sejumlah solusi terhadap kemungkinan berbagai persoalan
yang timbul setelah melakukan uji coba terhadap pelaksanaan KBK di beberapa sekolah di
Indonesia. Walaupun demikian, apa yang ditawarkan dalam tulisan ini mudah-mudahan dapat
dijadikan bahan pertimbangan demi menata dan mengembangkan sistem pendidikan di negara
kita yang lebih bermutu dan bermartabat.

1. Perlunya mengadaptasi dan bukan mengadopsi kegiatan belajar mengajar dari barat

Menurut hemat penulis, rumusan kegiatan belajar mengajar yang dirancang melalui KBK
adalah penjelmaan dari model constructivist yang sekarang mendapat pengaruh sangat
besar dari pemerintah federal America Serikat untuk menerapkan konsep No Child Left
Behind. Konsep ini juga sedang diuji coba di Singapura yang diawali dengan modifikasi
yang berarti sesuai dengan nilai-nilai yang dianut di negara tersebut.

2. Perlunya koordinasi dan kerjasama yang baik antara lembaga-lembaga terkait

Jika dilihat dari hasil rumusan DEPDIKNAS dalam Pelayanan Profesional Kurikulum
2004, keterlibatan seluruh unsur stakeholder pendidikan seperti institusi pendidikan,
institusi pembinaan guru, pusat kurikulum dan perbukuan, sekolah, orang tua,
masyarakat, LSM, dewan pendidikan komite sekolah, dan perguruan tinggi kelompok
asosiasi sangat diperlukan. Hanya saja, terkesan stakeholder yang disebutkan di atas
hanyalah sebatas nama tanpa peran. Seharusnya gambaran wilayah kerja dan agenda
kegiatan seluruh unsur yang terkait betul-betul diwujudkan agar tidak terjadi overlapping
yang mengganggu pelaksanaan kurikulum itu sendiri.

Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa perguruan tinggi (IKIP, dan Fakultas
Pendidikan yang ada di berbagai universitas) sebagai pencetak tenaga pengajar,
jangankan dilibatkan dalam merumuskan berbagai langkah yang diambil sedangkan
sosialisasi kurikulum pun tidak sampai ke tangan mereka. Ada pun keterlibatan pihak
perguruan tinggi hanya diwakili secara personal oleh pakar-pakar tertentu dan tidak
melembaga secara substantif. Akibatnya, kepincangan pun terjadi. Sekolah jalan sendiri,
pemerintah melakukan tambal sulam, dan perguruan tinggi merancang pembelajaran
yang tidak berorientasi kepada kebutuhan sesuai kurikulum yang berlaku. Jangan heran,
jika alumni sebuah fakultas pendidikan dari perguruan tinggi mengenal kurikulum setelah
berkecimpung dengan sekolah di mana mereka berada. Oleh karena itu, agen KBK
diharapkan beroperasi di seluruh stakeholder dengan pembagian kerja sesuai dengan
kewenangan mereka yang diikuti dengan tertemuan secara bertahap dan sistem evaluasi
yang akurat.

3. Jumlah mata pelajaran di sekolah perlu ditinjau kembali

Banyaknya beban peserta didik untuk menguasai sejumlah ilmu pada sekolah dasar dan
menengah serta alokasi waktu yang dipersiapkan untuk satu mata pelajaran yang sangat
terbatas mengakibatkan sulitnya menerapkan model pembelajaran yang berorientasi pada
kumpulan kerja peserta didik (portfolio), hasil karya (product), penugasan (project), dan
unjuk kerja (performance). Akibatnya, banyak aspek-aspek fundamental dari KBK yang
terpaksa tidak dapat diaplikasikan dan guru sebagai pelaksana akan menjalankan tugas
yang penting memenuhi pesanan kurikulum tanpa mengindahkan esensi dari kurikulum
itu sendiri.

4. Sistem perekrutan dan pemberdayaan guru hendaknya dilakukan secara merata dan
berkesimbungan

Hasil survei dari Human Development Index (HDI) yang menunjukkan 17,2% guru di
Indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka menjadi alasan kuat untuk
melakukan sistem pemberdayaan. Sistem pemberdayaan tersebut dapat dilakukan melalui
program sertifikasi atau program magister minor yang fokus pembinaannya hanya pada
bidang studi keahlian baru yang yang mereka ajarkan di sekolah. Di sini lah salah satu
pentinngnya peranan agen KBK yang beroperasi di perguruan tinggi.

Jika semuanya ini dapat diwujudkan, maka harapan KBK untuk mendongkrak mutu
pendidikan nasional akan menjadi kenyataan, dan jurang pemisah antara desired status
dan actual status akan dapat diminimalisir setahap demi setahap. Dengan demikian,
negara kita akan semakin bermartabat dan diperhitungkan dalam kompetisi global.

http://id.edublogs.org/2006/03/07/kbk-antara-harapan-dan-kenyataan/

Oleh : R. Bambang A. Soekisno

Selayang Pandang Perjalanan Kurikulum Nasional

Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami
perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan direncanakan pada
tahun 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem
politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab,
kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai
dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang
berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan
pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.

a. Kurikulum 1968 dan sebelumnya


Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat
itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda
dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran
1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana
kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka
pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter
manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.

Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami
penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum
ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus
ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran
yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem
kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran
kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai
keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD,
sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu
pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.

Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan
struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari
perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada
upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi
pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta
mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
b. Kurikulum 1975

Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan pendekatan-pendekatan di


antaranya sebagai berikut.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Berorientasi pada tujuan

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa


setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan
yang lebih integratif.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam


hal daya dan waktu.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Menganut pendekatan sistem instruksional yang


dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa
mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam
bentuk tingkah laku siswa.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan


menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).

Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi
kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR
1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang
menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena itulah pada
tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984.

<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>Kurikulum 1984


Secara umum dasar perubahan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya adalah sebagai
berikut.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Terdapat beberapa unsur dalam GBHN 1983 yang


belum tertampung ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum


berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan


pelaksanaannya di sekolah

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan


hampir di setiap jenjang.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa


(PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri sendiri mulai dari tingkat kanak-kanak
sampai sekolah menengah tingkat atas termasuk Pendidikan Luar Sekolah.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Pengadaan program studi baru (seperti di SMA) untuk


memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja.

Atas dasar perkembangan itu maka menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan
masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975
dianggap tidak sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984
tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh
pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang
sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum
memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa
yang harus dicapai siswa.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik


melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual,
dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik
dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Materi pelajaran dikemas dengan nenggunakan


pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar
berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang
sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum


diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian,
baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga
sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau


kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa
dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret,
semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke
kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks.
<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Menggunakan pendekatan keterampilan proses.
Keterampilan proses adalah pendekatan belajat mengajar yang memberi tekanan kepada
proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan
perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan
efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.

<!–[if !supportLists]–>d. <!–[endif]–>Kurikulum 1994

Pada kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola
pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang memperhatikan muatan
(isi) pelajaran. Hal ini terjadi karena berkesesuaian suasan pendidikan di LPTK (lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang proses belajar
mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim Basic Science yang salah satu tugasnya ikut
mengembangkan kurikulum di sekolah. Tim ini memandang bahwa materi (isi) pelajaran harus
diberikan cukup banyak kepada siswa, sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode
tertentu akan mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak.

Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan
Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada
sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem
caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap
diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup
banyak.

Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai
berikut.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan


sistem caturwulan
<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi
pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi)

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang


memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia.
Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat
mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan
masyarakat sekitar.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya


memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik
secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan
bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka,
dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya


disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa,
sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada
pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal
dan pemecahan masalah.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang


abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit, dan dari hal yang sederhana ke hal yang
komplek.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap


sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman siswa.
Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai
akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di
antaranya sebagai berikut.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Beban belajar siswa terlalu berat karena


banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena


kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna
karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.

Permasalahan di atas terasa saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini
mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu
upaya penyempurnaan itu diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994. Penyempurnaan tersebut
dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan kurikulum, yaitu

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Penyempurnaan kurikulum secara terus menerus


sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk


mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar,
potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk


memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat
perkembangan siswa.
<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Penyempurnaan kurikulum mempertimbangkan
berbagai aspek terkait, seperti tujuan materi, pembelajaran, evaluasi, dan
sarana/prasarana termasuk buku pelajaran.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Penyempurnaan kurikulum tidak mempersulit


guru dalam mengimplementasikannya dan tetap dapat menggunakan buku pelajaran dan
sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di sekolah.

Penyempurnaan kurikulum 1994 di pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan bertahap, yaitu
tahap penyempurnaan jangka pendek dan penyempurnaan jangka panjang.

<!–[if !supportLists]–>e. <!–[endif]–>Kurikulum Berbasis Kompetensi – Versi Tahun 2002


dan 2004

Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama
meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti
penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Soejadi (1994:36), khususnya dalam mata pelajaran matematika
mengatakan bahwa kegiatan pembelajaran matematika di jenjang persekolahan merupakan suatu
kegiatan yang harus dikaji terus menerus dan jika perlu diperbaharui agar dapat sesuai dengan
kemampuan murid serta tuntutan lingkungan.

Implementasi pendidikan di sekolah mengacu pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk
inovasi yang dikembangkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan
inovasi di bidang kurikulum. Kurikulum 1994 perlu disempurnakan lagai sebagai respon
terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik
sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah.

Kurikukum yang dikembangkan saat ini diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk
melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah
ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing indivisuals to
perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti
bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat
kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum
berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.

Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi
seperangkat misi dalam bentuk paket-paket kompetensi.

Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan


dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan
terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu (Puskur, 2002a).
Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai
berikut.

(1) Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai
konteks.

(2) Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi
kompeten.

(3) Kompeten merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang
dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.

(4) Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan
luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.

(Puskur, 2002a).

Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang


kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan
pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Kurikulum
Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri
peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman yang
dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Puskur, 2002a).

Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan apa yang
diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan
sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan
berkelanjutan untuk menjadi kompeten.

Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:

<!–[if !supportLists]–>(1) <!–[endif]–>pemilihan kompetensi yang sesuai;

<!–[if !supportLists]–>(2) <!–[endif]–>spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk


menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi;

<!–[if !supportLists]–>(3) <!–[endif]–>pengembangan sistem pembelajaran.

Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa


baik secara individual maupun klasikal.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes)


dan keberagaman.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan


pendekatan dan metode yang bervariasi.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga


sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Penilaian menekankan pada proses dan hasil


belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

(Puskur, 2002a).
Struktur kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam suatu mata pelajaran memuat
rincian kompetensi (kemampuan) dasar mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki
siswa. Mari kita lihat contohnya dalam mata pelajaran matematika, Kompetensi dasar
matematika merupakan pernyataan minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan,
sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa
menyelesaikan suatu aspek atau subaspek mata pelajaran matematika. (Puskur, 2002b).
Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika merupakan gambaran kompetensi yang
seharusnya dipahami, diketahui, dan dilakukan siswa sebagai hasil pembelajaran mata pelajaran
matematika. Kompetensi dasar tersebut dirumuskan untuk mencapai keterampilan (kecakapan)
matematika yang mencakup kemampuan penalaran, komunikasi, pemecahan masalah, dan
memiliki sikap menghargai kegunaan matematika.

Struktur kompetensi dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi ini dirinci dalam komponen aspek,
kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan
dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut.

Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level.
Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang harus siswa ketahui dan
mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?”. Hasil belajar mencerminkan
keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat
diukur dengan berbagai teknik penilaian.

Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator. Perumusan indikator adalah untuk menjawab
pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang
diharapkan?”. Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk menilai apakah siswa telah
mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan. Indikator bukan berarti dirumuskan dengan
rentang yang sempit, yaitu tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran
siswa, juga tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian.
Misalkan, jika indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau gagasan
tertentu, maka ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis, presentasi, atau melalui kinerja
atau melakukan tugas lainnya.
<!–[if !supportLists]–>f. <!–[endif]–>Kurikulum Berbasis Kompetensi – Versi KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)

Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan


mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan
diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan
olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi
pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan
dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan
pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang
perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi,
(2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan,
(5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar
penilaian pendidikan.

Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk
mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu
kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.

Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan


(KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan
tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-
paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa


baik secara individual maupun klasikal.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes)


dan keberagaman.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan


pendekatan dan metode yang bervariasi.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga


sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

<!–[if !supportLists]–> <!–[endif]–>Penilaian menekankan pada proses dan hasil


belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi


sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun
rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan,
mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender
pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.

(disebarluaskan juga oleh S Cipto A  dengan alamat http://kesadaransejarah.blogspot.com dan


oleh http://www.e-smartschool.com, serta oleh http://alumni-xaverius.zai.web.id)

Akhina Ifa Sabbihisma Rabbika 27 September jam 6:57 Balas • Laporkan


Akhina Ifa Sabbihisma Rabbika 26 September jam 13:41

Bismillahirrahmanirrahiim....

Artikel diambil dari Grup: Renungan Kisah Inspiratif Muslimah


Judul: Ku Mencintamu utuh Tak Tersentuh

***
Jika ada yang bertanya, bagaimana aku memandang perkara jodoh, maka akan ku jawab, bagiku
sama saja kau menanyakan keyakinanku tentang kematian..
Jodoh dan kematian adalah rahasia-Nya yang tersembunyi dalam tabir keghaiban-Nya, dan
tersimpan dengan indah dalam tiap lembar daun di lauhul mahfuzh..

Jangan pernah mengobral murah kehormatanmu untuk hal yang kau sendiri tak yakin
kehakikiannya? Pahamkah maksudku?

Ku tanya padamu, pernahkah kau jatuh cinta? Ku akui, akupun juga… Tapi tak pantas bagi kita
mengumbar rasa itu.. Rasa yg entah akan berlabuh di mana?Lalu pikirkan, jika dia yang kau
cinta, yang mengganggu tidurmu, membuatmu menangis karena rindu, ternyata bukan atau
mungkin tak kan pernah menjadi pendampingmu, atau bukan kau yang dia pilih? Tak malukah?
Tak malukah?

Lalu, apa masih mampu kau tatap wajah suamimu kelak dengan cinta yang seutuhnya jika
ternyata dulu kau pernah menaruh separuh hatimu pada lelaki lain… Wahai para lelaki, tak
cemburukah? Tak cemburukah? Tak cemburukah kau jika saat ini wanita yang kau pilih kelak
sedang menyerahkan hatinya pada lelaki selainmu, namun ternyata kau yang akan meminangnya.

Tak sakit hatikah bila ketika bersamamu, ternyata dia tengah membandingkanmu dengan sosok
lain dalam hatinya? Tak sedihkah? Tak sakitkah? Tak cemburukah? Jika kau, para lelaki,
menjawab 'ya' maka, itu pula yang kami, wanita, rasakan..

Takkan pernah bosan ku ingatkan, bahwa yang akan berlaku tetaplah ketetapan-Nya…. Sekuat
apapun usaha kalian jika tak sejalan dengan kehendak-Nya, maka tak akan pernah terjadi.. . Lalu,
buat apa kau mubazirkan waktumu? Untuk apa Kau kuras energi? Kerana apa kau habiskan
airmatamu?.... untuk orang yang belum tentu menjadi milikmu? Untuk apa?

Dan ku katakan padamu. Mungkin kau yang akan memilihku belum ku cinta saat itu. Tapi
ketahuilah, karena kau memilihku, kau ku cinta... Bukankah jatuh cinta adalah sebuah proses?
Akan ada sebab, akan ada hal yang membuatku jatuh cinta padamu, dan kau pun akan
mencintaiku.. Dan ketika itu terjadi, semua telah terangkai dengan indah dalam kerangka
kehalalan, dalam ikatan pernikahan yang disebut mitsaqan ghalizhan..
Dan tak akan pernah ada ragu ku katakan kuserahkan cintaku UTUH TAK TERSENTUH,
padamu.. Hanya padamu.. ya, hanya padamu dan untukmu duhai cintaku….

Catatan yg diambil dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=119520411434716

(Disunting untuk kesesuaian)


Maaf
Judul: REFLEKSI (IN BRIEF) KEGAGALAN KURIKULUM 1984 DAN 1994 TERHADAP
PELAKSANAAN KBK DAN KTSP
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian SISTEM PENDIDIKAN / EDUCATION
SYSTEM.
Nama & E-mail (Penulis): Agung
Saya Guru di Pacitan
Topik: Tinjauan kurikulum
Tanggal: 12 Juni 2007

Pada tahun 1991, Jasin A. menulis sebuah artikel pada harian Suara Pembaruan mengenai kegagalan
penerapan (Cara Belajar Siswa Aktif) CBSA yang menjadi landasan pengajaran di era tahun 80an
(dikutip dari literatur Pembelajaran Kontekstual dan penerapannya dalam KBK oleh Nurhadi, et al: 2003).
Pernyataan kegagalan dari Jasin tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak keluhan kegagalan
dalam menerapkan CBSA. Tidak sedikit pihak yang memandang miring CBSA sehingga pembicaraan
mengenai CBSA sebagai cara belajar yang mendorong keaktifan siswa telah dipelesetkan menjadi "Catat
Buku Sampai 'Abis". Melihat kegagalan tersebut, sebagai ganti dari kurikulum 1984 yang menggunakan
CBSA sebagai model pembelajaran diterbitkanlah kurikulum 1994 yang menekankan azaz
kebermaknaan sebagai acuan pemberian materi pelajaran. Dalam kurikulum 1994 ditekankan bahwa
siswa tidak lagi menjadi objek pengajaran namun harus berperan aktif dalam proses belajar mengajar
atau dengan kata lain siswa harus menjadi subjek dalam proses belajar mengajar. Kemudian, menyusul
istilah pembelajaran yang dipakai sebagai terminologi untuk menekankan bahwa dalam proses belajar
siswa harus aktif melakukan tindakan belajar - siswa merupakan subjek pembelajaran, sementara guru
bertindak sebagai motifator, fasilitator, inspirator dan sekaligus instruktur.

Jika ditelaah dengan cermat, dapat dipahami bahwa kurikulum 1994 yang menekankan aspek
kebermaknaan merupakan perbaikan atau penyempurna dari kurikulum sebelumnya yang menggunakan
model pembelajaran CBSA. Inti pokok persamaan yang dapat dilihat adalah bahwa 1) siswa menjadi
subjek yang berperan aktif dalam melakukan tindak pembelajaran, 2) tindak pembelajaran lebih
mengutamakan proses dari pada produk, dan 3) kesalahan yang dilakukan siswa dalam memahami dan
atau melakukan proses pembelajaran tidak dianggap sebagai kegagalan namun dianggap sebagai
bagian dari proses pembelajaran. Perbedaannya adalah kurikulum 1994 menekankan unsur atau azas
kebermaknaan sedangkan CBSA menekankan keaktifan siswa. Dipakainya azas kebermaknaan tersebut
tampaknya merupakan koreksi dari CBSA, dimana pada saat model pembelajaran tersebut dipakai, guru-
guru merasa kesulitan untuk membuat siswa mereka aktif.

Ketidakmampuan siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar-mengajar dikarenakan guru tidak
mampu memberikan dorongan dan bahan ajar yang dapat menarik siswa untuk terlibat dalam kegiatan
pembelajaran. Disamping guru masih belum dapat meninggalkan cara otoriter dalam mengelola kelas,
materi pelajaran yang diberikan masih terpaku pada buku paket yang ada. Permasalahannya adalah isi
buku paket tersebut tidak mampu mencakup dasar sosial budaya dan lingkungan di setiap daerah
pengguna buku tersebut, sehingga stimulus yang diberikan oleh buku tersebut tidak dikenali oleh siswa.
Keadaan ini membuat siswa kesulitan untuk menggali dan kemudian mengintegrasikan apa yang sedang
dipelajari dengan apa yang telah ada dalam pengetahuan dasarnya (pre-existing knowledge). Hal
tersebut diperburuk oleh tindakan guru yang tidak mengetahui cara menyesuaikan apa yang ada dalam
buku tersebut dengan situasi dan kondisi pembelajaran. Dengan demikian materi pelajaran yang ada
yang digunakan untuk merangsang siswa berperan aktif dalam tindakan pembelajaran tidak memiliki
makna yang memadahi bagi siswa sehingga pancingan yang diberikan benar-benar terasa asing bagi
siswa.

Kondisi di atas tidak sesuai dengan pandangan teori kognitif yang mulai terdengar seru di Indonesia pada
era 80an bahwa siswa belajar berdasarkan pada pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Selain
itu, siswa dapat dengan mudah memahami sesuatu bila hal yang dipelajari tersebut dapat mereka temui
sebagai pengalaman hidup dalam kehidupan sehari-hari. John Dewey (dalam Nurhadi et,al, 2003)
menyatakan bahwa siswa akan belajar dengan baik apa bila yang mereka pelajari berhubungan dengan
apa yang telah mereka ketahui. Tentu saja, kepekaan siswa terhadap rangsangan pembelajaran juga
sangat dipengaruhi oleh kondisi latarbelakang sosial budaya (socio-kultural) dimana siswa bergerak aktif
di dalamnya. Hal ini dinyatakan oleh Vygotsky (dalam Ricardo Shutz,2002) bahwa :

Ketrampilan kognisi dan bentuk pemikiran tidak secara khusus ditentukan oleh faktor bawaan,
namun merupakan hasil dari aktifitas yang dilakukan dalam lingkup institusi sosial budaya
dimana seorang individu tumbuh. Dengan demikian sejarah sosial di mana seorang anak dididik
dan sejarah personal anak merupakan penentu cara berpikir seseorang.

Dari pendapat yang demikianlah kemudian dilakukan perombakan terhadap cara pandang dalam
memberikan materi pembelajaran. Dari materi pembelajaran yang didasarkan pada pokok bahasan
menjadi materi pembelajaran yang didasarkan pada tema. Sedangkan tema tersebut agar lebih
bermakna bagi siswa dan berhubungan apa yang ada dalam ingatan siswa harus mengacu pada
keadaan lingkungan pembelajaran. Berangkat dari hal tersebut, digunakanlah muatan lokal sebagai
acuan pengambilan tema dan sub tema sebagai sarana untuk menyampaikan materi pembelajaran.

Para praktisi pendidikan, mulai dari tingkat kementrian hingga praktisi pendidikan di lapangan, dalam hal
ini guru, menaruh harapan besar pada kurikulum 1994 untuk dapat mencetak manusia cemerlang.
Optimisme itu berangkat dari acuan teoritis yang sangat mengesankan terhadap pandangan aliran
kognitif yang mampu merobohkan pandangan aliran psikologi behaviorism. Berpijak pada teori yang
dinyatakan oleh Vygotsky, Hamachek menyatakan bahwa perkembangan kognisi sangat dipengaruhi
oleh lingkungan sosial dan kultural siswa.(1995:164). Alasannya bila individu dihadapkan pada peristiwa
(stimulus sebagai tindak pembelajaran) individu akan mengeksploitasi seluruh kemampuan sensoriknya
untuk menanggapi peristiwa tersebut. Selain optimalisasi fungsi sensorik, individu juga memanfaatkan
background knowledge-nya (baca: pengetahuan latar belakang) dan dorongan emosionalnya untuk
membantu fungsi sensorik dalam menanggapi stimulus yang dia terima. Dengan demikian, fungsi
sensorik yang beragam (penglihatan , pendengaran, pembau dan pengecap) dengan dibantu oleh
dorongan emosional terhadap stimulus yang datang dan hal-hal terkait yang tersimpan dalam memori
individu, akan membantu mempermudah individu tersebut mengikat peristiwa yang dihadapi dan
dikerjakannya dalam memorinya. Pandangan dari psikologi kognitif sangat sesuai dengan model siswa
aktif terhadap tindakan pembelajaran yang melibatkan konten muatan lokal (hal-hal yang mudah ditemui
di lingkungan sekitas siswa) sehinggan tindakan pembelajaran merupakan tindakan kebermaknaan
(mempunyai makna baik secara akademis maupun secara pribadi) bagi siswa.

Berpegang kuat pada prinsip teoritis di atas, pihak curriculum designer merasa yakin bila hal tersebut
dilakukan dengan benar, tujuan untuk membentuk manusia cemerlang bisa terwujud. Namun, pada
kenyataannya penerapan dari kedua kurikulum tersebut (1984 dengan CBSA dan 1994 dengan azas
kebermaknaan) tidak dapat memuaskan tujuan tersebut. Dinyatakan oleh Nurhadi (et,al 2003) bahwa
kondisi pendidikan di Indonesia berada dalam posisi yang memprihatinkan. Human Development Report
tahun 2003 versi UNDP menyatakan bahwa kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia berada di urutan
112, jauh di bawah Filipina (85), Malaysia (58), Brunai Darussalam (31) dan Singapura (28). Melihat
kenyataan ini, pembuat kebijakan pendidikan merasa perlu mengadakan pembenahan. Untuk itu sejak
tahun 2000 pemerintah mulai mendengungkan kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) yang kemudia disusul dengan isu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada
akhir tahun 2006 yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh seluruh sekolah di Indonesia pada tahun
2008 (waspada online,2006).

Isu pembaharuan dari kurikulum 1994 hingga KTSP membawa dampak yang sangat kontradiktif. Bagi
pihak yang "paham dan meyakini" pemikiran teoritis baru yang dipakai sebagi dasar dari KBK yaitu
Contextual Teaching learning, KBK dan KTSP merupakan alasan logis untuk mendongkrak mutu dari
hasil pendidikan. Sementara itu, sebagian sangat besar praktisi lapangan (guru) merasa pesimistis dan
banyak mengeluh terhadap pelaksanaan Kurikulum baru tersebut. Dari pertentangan ini, kiranya perlu
meninjau perlu tidaknya pembaruan kurikulum. Kalaupun diperlukan pembaruan kurikulum, seyogyanya
yang menjadi titik tolak tidak hanya terletak pada teori, metode dan pendekatan pembelajaran saja.
Namun perlu juga dipertimbangkan aspek lain yaitu infrastruktur pendidikan yang telah kita miliki.
Infrastruktur yang dimaksud dalam hal ini adalah kesiapan seluruh elemen yang bertanggung jawab
terhadap pendidikan (Pemerintah, sekolah dan masyarakat), kesiapan sarana dan prasarana yang
mendukung dilaksanakannya kurikulum yang hendak dipakai dan kesiapan sistem atau managemen dari
tingkat pusat hingga tingkat satuan pendidikan untuk mensukseskan pelaksanaan kurikulum yang hendak
digunakan.

Pandangan Mengenai Langkah-langkah Pembaruan Kurikulum

Seperti telah diungkapkan dalam sesi sebelimnya bahwa pelaksanaan kurikulum kita kurang memberikan
hasil yang memuaskan. Hal itu bisa ditinjau dari rendahnya posisi urutan kualitas Sumber Daya Manusia
Indonesia saat ini. Menyadari hal tersebut, pemerintah buru-buru menerbitkan kurikulum baru. Nurhadi
etl.al menyatakan dalam konteks pembaruan pendidikan, ada tiga isu utama yang perlu disoroti, yaitu
pembaruan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektifitas metode pembelajaran (2003:1).
Idealnya, bila tiga isu tersebut dapat dipenuhi dengan baik harapan keberhasilan akan dapat diwujudkan.
Namun, melihat kondisi lapangan dimana terjadi perselisihan pendapat dan anggapan mengenai KBK
dan KTSP, rasanya sulit untuk mengharapkan keberhasilan dari kurikulum yang baru tersebut. Banyak
pendapat bermunculan yang mengatakan bahwa kurikulum baru tersebut memiliki format baru namun
dalam pelaksanaannya masih bercorak lama. Dengan demikian, tampaknya kegagalan CBSA dan
kurikulum 1994 akan terulang lagi.

Dari suatu sumber yang pernah penulis baca dinyatakan bahwa sebelum kurikulum dirancang, terlebih
dahulu dilakukan survey secara nasional terhadap kebutuhan hasil pendidikan (need accessment) saat
ini dan masa yang akan datang, dan kesiapan perangkat pendukung pelaksanaan pembelajaran
termasuk sistem institusi terkait. Survey nasional mengenai hal-hal tersebut harus didasarkan pada azas
kesungguhan dan kejururan untuk memenuhi standar faliditas dan reliabilitas terhadap data yang
diperoleh. Faliditas dan reliabilitas data survey yang digunakan sebagai acuan dalam pembenahan
kurikulum merupakan pagar pengaman agar bila kebijakan baru diterbitkan kebijakan tersebut tidak
memunculkan keluhan dari berbagai pihak. Langkah penting ini tampaknya gagal dilaksanakan di
Indonesia sehingga begitu keluar kebijakan baru mengenai kurikulum KBK muncul berbagai keluhan dan
rasa pesimistis yang besar lingkungan pendidikan. Seorang guru dari Sekolah Dasar Negeri terbaik di
lingkungan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang sempat berbincang dengan penulis pada sekitar
tahun 2001 menuturkan bahwa surey dan percobaan pelaksanaan kurikulum baru di kabupaten tersebut
dilaksanakan hanya di sekolah tempat beliau mengajar, itupun dipilih murid-murid yang pinter-pinter.
Malihat fakta yang demikian tampaknya data yang diperoleh tidak memenuhi standar validitas dan
reliabilitas yang diperlukan sehingga tidak mengherankan bila keluhan terhadap kurikulum baru (KBK)
terdengar di berbagai tempat.

Acuan Kebutuhan Hasil pendidikan Saat Ini dan Masa Depan

Acuan untuk meninjau kebutuhan hasil pendidikan saat ini di dasarkan pada dua faktor yaitu kondisi riil
yang ada dilapangan mengenai mutu proses pembelajaran dan hal-hal yang dipersiapkan untuk
menghadapi masa transisi peralihan dari kurikulum lama ke kurikulum yang baru. Artinya, bila kondisi riil
menunjukkan proses pembelajaran di seluruh nusantara ini masih belum memenuhi standard kurikulum
yang berlaku saat itu dan tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan ketika kurikulum tersebut
diformat maka sebaiknya terlebih dahulu dilakukan peninjauan dan penyempurnaan pelaksanaan
kurikulum yang berlaku saat itu. Dengan ini, dapat benar-benar diketahui letak kegagalan dari
pelaksanaan kurikulum yang berlaku.

Ada kemungkinan, kegagalan sistem pendidikan Indonesia pada era CBSA dan kurikulum 1994 tidak
terletak pada kurikulumnya (landasan teori, pendekatan, teknik pembelajaran dan penilaian) namun boleh
jadi hal tersebut diakibatkan oleh sistem seleksi tenaga pendidik yang kurang valid sehingga tidak
mampu menyeleksi calon guru yang benar-benar kompeten, sistem pembinaan dan peningkatan mutu
guru yang kurang memadahi, sistem supervisi akademik yang kurang pada tempatnya, dana pendidikan
dan lain-lain. Sebagai bukti, berikut ini adalah cuplikan berita dari Waspada online (2006):

Mansyur memaklumi banyak guru yang kebingungan dengan model kurikulum KTSP. Sebab selama
bertahun-tahun guru hanya menerima jadi kurikulum dari pemerintah pusat. Model KTSP menuntut
kreatifitas mereka untuk menyusun sendiri model pendidikan yang sesuai dengan kondisi lokal dimana
sekolah berada.

Kenyataan di atas tidak sesuai dengan prinsip yang ada dalam kurikulum 1994 bahwa guru diharapkan
untuk mengembangkan sendiri tema maupun sub-tema yang akan digunakan dalam kegiatan
pembelajaran sesuai dengan kondisi lingkungan pembelajaran. Pengembangan tema dan sub-tema
tersebut tidak berarti bahwa guru menerima jadi secara keseluruhan isi kurikulum yang dipakai saat itu.
Tindakan pengembangan tersebut sebenarnya sudah merupakan awal atau latihan untuk menyusun
silabus dan kurikulum sendiri. Dan bila sampai sekarang guru benar-benar buta dalam menyusun
kurikulum lokal (KTSP), tentu ada permasalahan lain yang harus ditinjau kembali.

Hal-hal yang dipersiapkan untuk menghadapi masa transisi peralihan dari kurikulum lama ke kurikulum
yang baru dapat dipetakan bila pelaksanaan kurikulum yang sedang dipakai sudah memenuhi kriteria.
Persiapan tersebut tidak terhenti pada format administrasi untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran
namun juga penyesuaian untuk landasan teoritis, pendekatan maupun teknik yang akan dipakai untuk
kegiatan pembelajaran nantinya. Sehingga, bila kurikulum baru benar-benar diberlakukan para praktisi
pendidikan tidak awam terhadap perubahan yang dikehendaki.

Acuan untuk meninjau kebutuhan hasil pendidikan untuk masa yang akan datang adalah kondisi sosio-
ekonomi dan politik di tanah air. Telah disadari bahwa masyarakat adalah pengguna jasa pendidikan,
sedangkan pemerintah sebagai pengayom masyarakat harus memenuhi tuntutan masyarakat termasuk
merencanakan masa depan masayarakat sebagi komponen bangsa. Pendidikan berdiri di tengah
sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Rencana pemerintah untuk masa depan masyarakat
dipersiapkan melalui media pendidikan untuk menciptakan Sumber Daya Manusia Indoneia yang handal.
Implementasinya dalam pembelajaran adalah pemerintah menerbitkan kurikulum nasional (core
Curriculum) yang berisi rambu-rambu yang mengarah pada penguasaan kompetensi yang dibutuhkan di
masa mendatang berdasarkan analisis terhadap penentuan posisi Indonesia diantara negara-negara lain
di dunia, dan kebutuhan bangsa dan pasar global di masa mendatang. Rambu-rambu tersebut harus
dapat dipenuhi, sementara dalam kurikulum tersebut juga berisikan keleluasaan bagi pelaksana
pendidikan untuk mengembangkan kurikulum tersebut sesuai dengan potensi, kondisi dan kebutuhan
daerah. Dengan cara demikian potensi yang beragam yang menjadi andalan di setiap dearah di
Indonesia dapat dioptimalkan. Dalam kurikulum terbaru ini, KBK bisa dibilang sebagai kurikulum nasional
(core curriculum) sedangkan KTSP merupakan kurikulum lokal (Local Curriculum). Jadi pada dasarnya
kedua kurikulum tersebut adalah satu kesatuan yang saling melengkapi.

Sesuai dengan perencanaan pemerintah terhadap masa depan masyarakat Indonesia, dalam kurikulum
nasional ditetapkan rambu-rambu yang berisi ketentuan terhadap tujuan umum pendidikan yang
mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat pada masa yang akan datang. Dalam rambu-rambu
tersebut, pemerintah dapat menetapkan kompetensi apa saja yang diperlukan untuk pemberdayaan dan
pembangunan negara di masa mendatang dan seberapa besar kualitas kompetensi tersebut diharapkan
dapat bersaing dengan kualitas kompetensi dari negara lain sehingga masyarakat Indonesia mampu
bersaing dalam dunia global. Kompetensi dan acuan mutu kompetensi tersebut disisipkan dalam
kurikulum untuk dijadikan acuan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Sementara itu dalam
pelaksanaannya, kurikulum lokal dibuat berdasarkan kurikulum nasional dengan memperhatikan hal-hal
yang harus dikembangkan sesuai dengan kompetensi daerah, sehingga masyarakat sebagai pengguna
jasa pendidikan secara langsung dapat merasakan dampak positif pendidikan terhadap pembangunan
sumber daya di daerahnya. Dengan cara itu, komunikasi antara masyarakat dengan sekolah menjadi erat
sehingga terbentuk kerjasama yang sinergis antara institusi pendidikan dan masyarakat. Bila hal ini dapat
diwujudkan, institusi pendidikan memiliki peran yang terbuka untuk ikut serta dalam mendukung proses
pembangunan di daerah masing-masing sementara masyarakat juga memiliki peran sebagai pengontrol
dan nara sumber bagi pengembangan mutu pendidikan. Seperti halnya di negara-negara maju, bila
komunikasi pendidikan berjalan lancar - masyarakat sebagai pengontrol dan pendukung
penyelenggaraan proses pembelajaran dan sekolah dalam peran dan upayanya mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat - ujian nasional yang saat ini berada dalam perdebatan dapat dihapuskan.
Ukuran keberhasilan pendidikan tidak lagi hanya dilihat dari output pendidikan namun juga outcome
pendidikan.

Kesiapan Perangkat Pendukung Pelaksanaan Pembelajaran

Telah diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa selain diperlukannya tinjauan untuk kebutuhan hasil
pendidikan (need accessment) saat ini dan masa yang akan datang, tinjauan terhadap kesiapan
perangkat pendukung pelaksanaan pembelajaran penting untuk diperhatikan dalam menetapkan
kebijakan baru dalam pendidikan, terutama masalah pembaharuan dalam kurikulum. Perangkat tersebut
memiliki cakupan yang sangat luas mulai dari institusi pendidikan, masyarakat, hingga pemerintah itu
sendiri. Perlu diketahui bahwa pendidikan merupakan langkah pemberdayaan dan pembudayaan
bangsa. Oleh karena itu, tiga komponen tersebut - Sekolah, Masyarakat, dan Pemerintah memiliki
tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan hasil pendidikan yang diharapkan. Ketimpangan yang
ditimbulkan oleh salah satu pihak akan berdampak pada pihak yang lain dalam mewujudkan cita-cita
pemberdayaan sumber daya manusia Indonesia.

Usaha pemerintah dalam mempersiapkan sarana pendukung bagi penyelenggaraan pendidikan adalah
pendanaan pendidikan, pengadaan tenaga pendidik, pembentukan sistem program peningkatan mutu
pengajaran, pengawasan terhadap kegiatan atau media masa yang memiliki pengaruh terhadap
pendidikan. Memang, hal - hal tersebut bukan merupaka item tunggal yang dengan mudah dapat
dilaksanakan namun lebih merupakan sistem yang membutuhkan perangcangan, pelaksanaan dan
pengawasan yang baik. Oleh karena, upaya tersebut menyangkut tata kerja sistem yang besar dan luas,
maka pemerintah harus serius menangani hal ini. Jika pemerintah tidak serius dalam menangani hal
tersebut dimana banyak terjadi penyelewengan dalam pelaksanaannya, maka di masa yang akan datang
kita akan kembali mendapatkan panen hasil pendidikan yang buruk. Perlu disadari sistem kerja manusia
Indonesia, baik di pemerintahan maupun instansi lain, yang semrawut dewasa ini merupakan hasil dari
pendidikan dengan sistem KKN dan ABS (Asal Bapak Senang).

Pendanaan Pendidikan

Pemerintah memberikan dana pendidikan melalui APBN. Peningkatan dana yang dikeluarkan untuk
kebutuhan mengenai sarana dan prasarana pendukung pendidikan telah dilaksanakan. Hal itu berupa
dana pengembangan pendidikan, beasiswa, dana BOS dsb. untuk keperluan perbaikan gedung sekolah,
pengadaan laboratorium beserta instrumennya, pendukung kegiatan ketrampilan dan sebagainya. Untuk
tenaga pengajar diberikan gaji dan tunjangan yang baik agar kinerjanya lebih bagus dan profesional.

Niat dan langkah yang baik tersebut di atas seharusnya tidak terhenti di situ. Kontrol pelaksanaan dan
distribusi dana juga mutlak diperlukan. Sebagai salah satu contoh, terdapat kepala sekolah TK yang tidak
mengerti bagaimana dana bantuan pengembangan pengajaran dibelanjakan sehingga dana tersebut
dipakai untuk memperbaiki gedung sekolah, pada kenyataannya dana tersebut seharusnya dipakai untuk
membeli alat-alat belajar (bermain) di TK yang dia kelola. Dengan demikian dana tersebut bisa dikatakan
sampai pada tujuannya namun belum tepat sasarannya. Dari contoh kecil ini dapat disimpulkan bahwa
pengembangan pendidikan lewat pendanaan berbanding lurus secara signifikan dengan peningkatan
SDM pengelola dan pemakai dana tersebut.

Masalah KKN merupaka persoalan yang paling rawan dalam urusan dana. Untuk itu diperlukan
pengawasan yang ketat, pemberlakuan aturan dan hukum yang baik dan pemendekan jalur distribusi
dana. Urusan birokrasi yang berbelit dengan jalur yang panjang mengakibatkan semakin menipisnya
dana yang sampai ke tujuan dan sasaran. Selain itu, perlu juga memilih aparat yang bermoral baik. Hal
ini sangat sulit terutama di negara Indonesia. Masalah korupsi di Indonesia sudah bukan terletak pada
masalah ada atau tidak ada korupsi, namun lebih terletak pada kepiawaian untuk membuktikan terjadi
dan tidaknya tindakan tercela tersebut.

Pengadaan Tenaga Pendidik

Salah satu komponen penting sebagai motor penggerak proses pembelajaran adalah tenaga pendidik
atau guru. Kebutuhan guru tidak didasarkan pada kapasitas kuantitafnya namun juga kualitasnya. Selain
itu perlu juga dipertimbangkan penyebarannya untuk daerah-daerah yang memerlukan. Pengangkatan
guru dengan prioritas penduduk asli/daerah merupakan salah satu usaha yang cukup bagus untuk
memenuhi salah satu krieria tersebut. Mengantisipasi perpindahan guru yang terjadi pada masa lalu yang
mengerucut kembali ke daerah asal (jawa) lengkah tersebut mutlak diperlukan. Hanya saja, bila sistem
rekruitmen dan kontrolnya tidak cukup baik maka justru langkah ini menuai banyak persoalan dan
penyelewengan. Dengan jumlah pengangguran yang sangat tidak sebanding dengan lapangan kerja,
masalah tenaga kerja menjadi isu yang sangat rawan.

Masalah pengangguran dan angkatan kerja merupakan masalah bangsa. Terbatasnya lowongan dalam
hal ini pegawai negeri sipil guru, dikarenakan hal tersebut terkait dengan anggaran belanja negara yang
otomatis berhubungan dengan masalah penggajian. Oleh karena konsentrasi yang tidak merata pada
setiap kebutuhan daerah maka banyak daerah terpencil yang kekurangan tenaga pengajar. Selain itu,
rumitnya masalah penyebaran tenaga pendidik menyebabkan banyak kasus terjadi bahwa seorang guru
mengajar bidang pelajaran yang tidak sesuai dengan keahliannya. Seorang lulusan Institusi Pendidikan
Keguruan jurusan Teknik Elektro terpaksa mengajar fisika atau seni. Dengan demikian mutu
pembelajaran di daerah terpencil tersebut otomatis menjadi tertinggal oleh kemajuan daerah lain.

Selain masalah kuantitas tenaga pendidik, masalah kualitas juga merupakan hal yang krusial bagi
peningkatan mutu hasil pendidikan. Hal ini terutama terkait erat dengan sistem dan alat seleksi tenaga
pendidik. Isu pengangkatan guru dari tenaga honorer sebenarnya merupakan masalah ketenagakerjaan
dan bukan merupakan masalah seleksi terhadap kelayakan tenaga pengajar. Pengangkatan tenaga
honorer lebih melihat pada unsur pengabdian dan bila dikaji lebih lanjut, proses rekruitmen untuk tenaga
honorer guru tidak melalui test kelayakan. Dengan cara seperti itu, tidak bisa dipastikan bahwa
seseorang yang telah diangkat menjadi tenaga honorer benar-benar memiliki kemampuan mengajar yang
layak. Hanya saja dalam proses pengabdian tersebut, diharapkan tenaga honorer tersebut belajar dan
mendapatkan pengalaman yang memadahi untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun,
sangat disayangkan banyak tenaga honorer yang tidak diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan
ataupun penataran yang diadakan untuk memantapkan pengajaran dan parahnya pengakuan terhadap
prestasi yang dilakukan oleh tenaga honorer tidak diberika oleh karena pada pelaksanaannya dalam
institusi pendidikan, masih terdapat pembedaan antara hasil kinerja tenaga guru PNS dan tenaga guru
honorer.

Syarat pokok menjadi guru adalah penguasaan apa yang harus diajarkan (kemampuan akademik), tahu
apa tujuan pengajaran (penguasaan dan pengembangan kurikulum dan bahan ajar), tahu bagaimana
cara mengajar (menguasai teori, pendekatan dan teknik mengajar), memahami siapa yang harus dididik
(paham mengenai psikologi pendidikan). Tes yang digunakan untuk menguji kelayakan guru dalam
rekruitmen tenaga pendidikan seharusnya mencakup semua unsur tersebut. Namun, soal-soal yang
diberikan untuk tujuan itu sedikit sekali mengandung unsur-unsur pokok tersebut. Terdapat unsur lain
yang disertakan dalam soal tes tersebut yaitu soal-soal untuk tes profesi, pengembangan daya nalar,
perundang-undangan dan pengetahuan umum. Ketiga jenis soal tersebut lebih bersifat umum.

Dapat dipahami bahwa dengan soal-soal yang mengarah pada profesi, psikologi dan perundangan dapat
ditentukan kualitas calon pegawai sehubungan dengan ketahanan kerja, pemahaman lingkup kerja dan
loyalitas pada institusi dimana peserta akan bekerja. Tes daya nalar ditujukan untuk mendapatkan
pegawai yang mampu mengembangkan diri dalam proses bekerja. Sedangkan soal yang berisi mengenai
pengetahuan umum lebih mengarah pada pemahaman bahwa seorang guru diharapkan tanggap
terhadap segala macam hal dan persoalan yang tejadi di lingkungan maupun dunia, sehingga guru
benar-benar menjadi sumber ilmu bagi siswanya. Oleh karena soal-soal yang diberikan untuk seleksi
tenaga pendidik tersebut hanya sedikit mengandung unsur-unsur pokok yang diperlukan untuk
mengetahui kelayakan seorang tenaga pendidik, maka bisa dikatakan bahwa alat ukur tersebut memiliki
faliditas yang rendah. Hasil dilapangan dapat dengan mudah diketahui bahwa guru-guru baru yang lolos
tes seleksi pada kenyataannya tidak mampu menunjukkan kapasitas yang diharapkan sehingga
muncullah alasan klasik terhadap kondisi itu yaitu guru baru tersebut belum cukup berpengalaman.

Pembentukan Sistem Program Peningkatan Mutu Pengajaran

Program pembedayaan sumber daya manusia melalui program pengembangan atau perubahan
kurikulum tidak akan dapat berhasil tanpa pembentukan sistem yang baik. Program peningkatan mutu
pengajaran dapat dilakukan melalui penataran, diklat, lokakarya, seminar, KKG, rapat dewan guru,
pengawasan dan supervisi pendidikan dan lain-lain. Kegiatan tersebut sudah dilakukan di Indonesia,
namun apakah kegiatan tersebut telah dilakukan dengan benar? Apakah orang-orang yang ditunjuk
melakukan pembinaan benar-benar kompeten dalam melaksanakan tugasnya dan menyesuaikan konten
tugasnya dengan permasalahan yang dihadapi oleh peserta pembinaan tersebut? Dan apakah sistem
yang digunakan sudah cukup bagus dalam memenuhi kebutuhan pengembangan/peningkatan mutu
pengajaran ?

Peningkatan Mutu Pengajaran, termasuk sosialisasi kebijakan pendidikan yang baru dilakukan melalui
penataran, yang diperkuat dengan loka karya dan atau seminar. Nara sumber atau penyaji dalam
penataran tersebut merupakan orang-orang pilihan yang dianggap mumpuni dalam permasalahan yang
sedang dibahas baik secara teori maupun praktek. Namun, sejauh ini banyak keluhan mengenai
penyajian dalam penataran maupun seminar. St Kartono dalam situs internet mengungkapkan
kekecewaan guru-guru di Jogjakarta setelah menerima sosialisasi KBK :"Aku pikir mereka akan berbicara
tentang semangat baru sebuah kurikulum dan berbagai pendekatan kepada siswa. Ternyata, yang
namanya sosialisasi kurikulum baru oleh para pengawas dari Dinas Pendidikan hanyalah bicara hal-hal
administratif belaka." Pernyataan tersebut bukan merupakan hal yang baru. Pada masa-masa
sebelumnya di berbagai daerah sering kali terjadi keluhan semacam itu. Hal semacam inilah yang
membuat kegiatan penataran menjadi kurang efektif dan dapat menurunkan semangat peserta
penataran.

Kegiatan penataran maupun sosialisasi kurikulum baru mestinya tidak berhenti pada urusan administrasi
belaka. Melihat tulisan Saudara St Kartono di atas, bisa dipahami bahwa penyaji dari Dinas Pendidikan
tersebut tidak memahami apa yang ada dalam kurikulum secara mendalam. Banyak penyaji dalam
penataran hanya membacakan landasan teori maupun batasan administratif. Mereka tidak
menghubungkannya dengan tindak pengajaran secara langsung. Dengan demikian apa yang didapat dari
penataran ternyata tidak applicable dalam pelaksanaan pembelajaran di lapangan. Permasalahannya
adalah penyaji dalam penataran tersebut bukanlah seorang pengajar sehingga mereka tidak mengetahui
secara persis kondisi lapangan. Selain itu mereka hanya mempelajari acuan administrasi yang nota bene
merupakan barang mati yang tidak dapat memenuhi standar pemecahan masalah dalam pelaksanaan
pembelajaran. Ahli yang ditunjuk sebagai nara sumber dalam penataran dan sejenisnya bukan
merupakan ahli dalam pengajaran namun cenderung ahli dalam bidang administrasi atau hafal
pernyataan - pernyataan yang lebih bersifat teoritis.

Usaha peningkatan mutu pengajaran tidak terhenti pada tingkat penataran hingga seminar karena tidak
semua guru memiliki kesempatan untuk mengikutinya. Untuk memenuhi usaha tersebut diadakan
pertemuan rutin para guru (KKG) untuk menyebarkan informasi yang didapat dari penataran tersebut.
Bisa dikatakan bahwa KKG merupakan kepanjangan tangan dari penataran yang telah diberikan. Namun,
bagaimana kegiatan semacam ini efektif bila pihak yang membawa oleh-oleh dari penataran juga masih
bingung atau hanya berkutat di seputar urusan administrasi? Hal ini mengakibatkan kegiatan KKG
menjadi ajang temu kangen, arisan maupun GO SHOW (gosip show) diantara para guru yang penat
dengan kebingungan mereka.

Pola supervisi akademik yang selama ini diterapkan ikut berperan dalam carut marut pemberdayaan
guru. Dari apa yang diungkapkan oleh St Kartono di atas, terbukti bahwa pengawai yang juga supervisor
akademik hanya paham mengenai urusan administrasi. Dari poin ini dapat dilihat bahwa supervisi
akademik terhenti di urusan administrasi. Hal ini melahirkan budaya yang lebih menekankan pada
pentingnya pelengkapan administrasi dari pada tindak pengajaran. Tak pelak lagi, guru lebih
terkonsentrasi pada pemenuhan kelengkapan administrsi dari pada peningkatan mutu pengajaran untuk
mengejar karir mereka.

Sedikit Pandangan Mengenai Sipervisi Akademik

Supervisi akademik yang selama ini dijalankan ternyata tidak membawa kemajuan yang signifikan pada
peningkatan mutu pembelajaran. Hal ini dikarenakan tindakan supervisi tersebut hanya menekankan
pada aspek administrasi dan kelengkapan sarana pendukung pembelajaran. Tinjauan yang tertumpu
pada aspek administrasi dilakukan berdasarkan asumsi bahwa dengan melihat kelengkapan administrasi
tersebut, terutama pada lesson plan dapat diketahui bagaimana langka-langkah dan pola pembelajaran
yang didesain oleh seorang guru. Asumsi semacam ini menyesatkan karena banyak bukti guru hanya
mencontoh bentuk lesson plan yang sudah ada yang mungkin sudah tidak relevan lagi dengan kondisi
pada saat ini. Ada kalanya, ketika seorang guru menanyakan perihal kiat-kiat pembelajaran yang efektif
berdasar pada kondisi yang dia alami, supervisor atau pengawas tersebut justru tidak paham (dan
biasanya tersinggung). Ini merupakan titik konflik yang berbahaya yang akhirnya menumbuhkan budaya
KKN dan SST (sama-sama tahu).

Sistem pengawasan langsung (direct accademic supervisory) tersebut tidak efektif karena pengawas
yang merupakan kepanjangan tangan dari Kantor Cabang Dinas Pendidikan tidak mampu memberikan
solusi maupun pandangan yang berarti bagi peningkatan mutu pembelajaran. Kantor Cabang Dinas
Pendidikan memiliki tanggung jawab untuk ikut serta dalam peningkatan mutu pembelajaran di
wilayahnya tidak hanya melalui pengawasan namun juga pembinaan guru. Pada sudut pandang tertentu
keterbatasan tenaga kerja dan tenaga ahli di Kantor Cabang Dinas Pendidikan dapat dijadikan alasan
akan ketidakmampuannya dalam memberikan pembinaan yang memadahi bagi para tenaga
kependidikan di wilayanhnya. Oleh karena itu sistem pengawasan langsung tersebut sudah tidak layak
dipertahankan lagi.

Salah satu alternatif pengganti sistem pengawasan langsung adalah sistem pengawasan dan pembinaan
siklus (circle accademic supervisory). Sistem pengawasan dan pembinaan siklus merupakan sistem
pengawasan dan pembinaan yang dilakukan dengan menggandeng institusi lain untuk membantu
memberikan saran dan pembinaan terhadap peningkatan mutu pengajaran. Institusi yang ditunjuk untuk
kerja sama ini misalnya perguruan tinggi lokal atau lembaga swadaya masyarakat yang tentu saja
memiliki kapabilitas yang memadahi, bertanggungjawab, memiliki kredibilitas dan dedikasi yang tinggi
dalam mengembangkan mutu pendidikan di daerah tersebut.

Sistem pengawasan dan pembinaan siklus ini dapat dimulai dari pihak sekolah yang mengirimkan
permohonan pembinaan untuk mata pelajaran tertentu kepada Kantor Cabang Dinas Pendidikan.
Selanjutnya, Kantor Cabang Dinas Pendidikan memberi mandat pada institusi yang telah ditunjuk untuk
melakukan pembinaan sesuai dengan kebutuhan tersebut. Mekanisme pelaksanaan pembinaan tersebut
dapat dimusyawarahkan antara pihak sekolah-sekolah yang membutuhkan, institusi yang ditunjuk
sebagai pembina dan Kantor Cabang Dinas Pendidikan. Institusi yang mendapat mandat untuk
memberikan pembinaan pada guru-guru lokal yang membutuhkan, bertanggung jawab pada Kantor
Cabang Dinas Pendidikan atas peningkatan mutu pembelajaran di daerah tersebut. Sebagai evaluasi
terhadap kegiatan tersebut, Kantor Cabang Dinas Pendidikan melakukan pemeriksaan dan pengawasan
terhadap hasil kerja institusi pembina dengan mengadakan kaji silang antara program yang disusun oleh
institusi pembina dan sekolah dengan peningkatan yang terdapat pada tindak pembelajaran serta out put
dan out come pembelajaran.

Pengawasan Kegiatan Umum atau Media Masa

Pembentukan generasi yang unggul dan berorientasi masa depan dapat dilakukan dengan proses
pembudayaan melalui pendidikan. Selain itu, media masa baik cetak maupun elektronik dan kegiatan
yang bersifat umum juga memiliki pengaruh yang besar bagi proses akulturasi atau pembudayaan
tersebut. Dalam hal ini pemerintah harus tegas dalam melakukan sensor terhadap bentuk kegiatan umum
dan penyajian dalam media masa. Kebebasan pers dan kegiatan umum harus diorientasikan pada
bentuk kegiatan yang mendukung proses akulturasi yang dicanangkan pemerintah.
Kebebasan pers dan pengadaan kegiatan yang bersifat umum saat ini benar-benar menjepit pemerintah,
sehingga kedudukan dan peran pemerintah dalam hal ini benar-benar dilematis. Sebagai contoh, banyak
sekali acara di media elektronik yang tidak mendukung dan bahkan mengganggu proses pembudayaan.
Dengan kata lain, banyak kegiatan umum dan penyiaran yang tidak mendidik. Dengan demikian
himbauan untuk mengambil bahan pelajaran dari lingkungan atau dari materi yang autentik, bila tidak
disertai kepekaan dan ketelitian yang baik justru akan berakibat tidak baik.

Kesimpulan

Keraguan terhadap efektifitas KBK dan KTSP dalam meningkatkan kualitas pendidikan bukan merupakan
sentimen yang muncul di kalangan praktisi pendidikan (guru) atas kebijaksanaan pemerintah. Hal ini
dikarenakan adanya tinjauan yang kurang lengkap dan pelaksanaan yang kurang memadahi mengenai
usaha peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Tiga elemen yang bertanggungjawab dalam pendidikan
yaitu pemerintah, sekolah dan masyarakat memiliki beban yang sama dalam usaha peningkatan mutu
pendidikan. Usaha tersebut mencakup perancangan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap sistem luas
yang terkonsentrasi dan mendukung terhadap terwujudnya generasi masa depan yang kompetitif di era
globalisasi.

Usaha peningkatan mutu pendidikan menyangkut aspek yang sangat luas dalam kehidupan bernegara.
Usaha tersebut tidak terhenti pada tinjauan teoritis praktis pada tindak pembelajaran di kelas, namun
mencakup perikehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Infrastruktur pendidikan yang berupa
sistem terkait mulai dari pemetaan kondisi pelaksanaan pendidikan dan orientasi kebutuhan masa depan
bangsa akan sumber daya manusia, pelaksanaan praktik pembelajaran dan pemenuhan kebutuhan
pendukungnya, pengkondisian seluruh unsur dalam masyarakat untuk mendukung ketercapaian tujuan
pendidikan mutlak diperlukan lebih dari sekedar reaksi yang membabi buta terhadap kegagalan
pendidikan dan tanggapan prematur terhadap konsep atau teori pembelajaran baru yang diformat dalam
pembaharuan kurikulum. Bila visi pemerintah dalam mewujudkan terciptanya sumber daya manusia
Indonesia masa depan yang unggul telah diwujudkan dalam tujuan umum kurikulum pendidikan, maka
pemerintah perlu menyusun dan melaksanakan misi dari visi tersebut dengan meminjau dan melibatkan
seluruh komponen yang bertanggungjawab pada pendidikan yaitu pemerintah sendiri, sekolah dan
masyarakat.

Referensi

Hamachek, Don. 1995. Psychology in Teaching, Learning & Growth. USA. Allyn & Bacon.

Kartono St., 2007. KTSP Menuju Kurikulum "Less Is More", http://erlangga.co.id/index.php

Nurhadi, et al., 2003. Pembelajaran Kontekstual dan penerapannya dalam KBK.

Schutz, Richardo. 2003. Vygotsky and Language Acquisition. http://www.sk.com.br/sk-vygot.html

Waspada on line, 2006. Depdiknas Siap Bantu Sekolah Susun KTSP. http://www.waspada.co.id

Saya Agung setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan
Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
CATATAN:
Shabatku, ragam karekter mns: 1. Sibuk mmbahas org lain sinis kadang mmvonis.2. Cuek, tdk mau
tahu. 3. Dominan bicara ttg "aku" u pujian. 4. Seakan akrab pnuh simpati pdhal basa basi.5.Hanya
manis di depan, dblakang mngumpat, 6. Bicara apa adanya, tulus mndengar,mmandang dg kasih
sayang & asyik mmperbaiki diri....Sungguh yg ke 6 adlh pribadi mu'min "tiada yg paling kusukai
kcuali prbaikan & kebaikan"(QS 11:88).

↓entang KURIKULUM Indonesia

Deskripsi singkat tentang kurikulum apa saja yang pernah dikembangkan dalam
program pendidikan di negeri tercinta Indonesia. Salah satu konsep terpenting
untuk maju adalah “melakukan perubahan”, tentu yang kita harapkan adalah
perubahan untuk menuju keperbaikan dan sebuah perubahan selalu di sertai
dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya di pertimbangkan agar
tumbuh kebijakan bijaksana. Ini adalah perkembangan Kurikulum Pendidikan
Kita:

RENCANA PELAJARAN 1947

Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa
Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris).
Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke
kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan
menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat
dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran.
Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak,
kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-
hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

RENCANA PELAJARAN TERURAI 1952

Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952.
“Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata
Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16
tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.

Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964.
Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata
pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

KURIKULUM 1968

Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan
sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum
1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.

Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran
pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan
permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan
kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.

KURIKULUM 1975

Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang
melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by
objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD
Depdiknas.

Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap
satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus
(TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975
banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran.

KURIKULUM 1984

Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses,
tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang
disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).

Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,
Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta —
sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara
teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan
reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan
CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini
ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan
CBSA bermunculan.

KURIKULUM 1994 dan SUPLEMEN KURIKULUM 1999

Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya.


“Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara
pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar
siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan
dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan
daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan
agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi
kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen
Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.

KURIKULUM 2004

Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar
kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan
dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih
berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih
banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan
kompetensi siswa.

Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar
Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul
apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)

KTSP 2006

Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi
pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004.
Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan
pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini
disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan
kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan
oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti
silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah
koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)

Source: http://kesadaransejarah.blogspot.com/2007/11/kurikulum-pendidikan-kita.html

Image:  hilmimadani.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai