Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur atas rahmat dan karunia Allah SWT kami dapat menyelesaikan

makalah tugas Ushul Fiqh 2. Semuanya tidak terlepas dari rahmat dan pertolongan-Nya,

sehingga hambatan dan kendala yang dihadapi dapat diselesaikan dengan lancar.

 Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah

membimbing umat nya   menuju jalan yang benar.

            Penyusunan makalah ini, bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang membahas tentang

“Hakikat, Majazi, Muffassar, Muhkam”.

            Kami menyadari dalam proses makalah Ushul Fiqh 2 ini tidak terlepas dari hambatan dan

rintangan, tetapi berkat bantuan berbagai pihak baik material maupun spiritual beban yang berat

itu dapat teratasi. Ibarat pepatah “tiada gading yang tak retak”, maka bilamana ditemukan

adanya kesalahan, kekurangan, baik pada subtansi bahasa atau kata, kalimat dalam penulisan,

cetakan kami dengan lapang dada menerima masukan, kritik dan saran demi perbaikan makalah

ini pada revisi-revisi berikutnya.

            Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadikan amal sholeh

bagi kami. Amin Ya Rabb Alamin.

Pontianak, 21 Desember 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan Mukjizat Allah yang luar biasa di pandang dari sudut manapun,

baik dari bahasa, makna, arti, manfaat dan lain-lain yang tidak tergambarkan keindahannya.

Kitab suci umat Islam diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, yang sangat jelas

dan terang. “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab

agar kalian memahaminya” 

Untuk memahami al-Qur’an dengan baik, tentulah seseorang itu harus menguasai

bahasa Arab dengan baik pula. Tanpanya al-Qur’an tidak akan mampu dikuasai. Al-Qur’an yang

terangkum di dalamnya tentang tauhid, syari`at, akhlak, dan sebagainya memiliki berbagai

macam cara dalam penyampaian makna yang disebut dengan gaya bahasa al-Qur’an.

Gaya bahasa yang dimiliki al-Qur’an sangat bervariasi, mulai dari amtsal, qasam,

qasas, jadal, khabar, al-insya’, tasybih, isti`arah, haqiqah, majaz, dan sebagainya. Haqiqah

(hakikat) dan majas merupakan salah satu bentuk kaidah-kaidah tafsir yang mesti di ketahui oleh

seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Karena, dengan mengetahui Haqiqah dan

Majas ini akan memberikan kemudahan bagi mufassir dalam memahami makna kata yang ingin

ia tafsirkan, dan akan menjauhi terjadinya penafsiran yang keliru, rancu, dan ketidak tepatan

makna dan maksud sesuai dengan apa yang dituju oleh ayat al-Qur’an.

Dari berbagai sekelumit keterangan di atas, dengan adanya gaya bahasa yang sangat

beragam di dalam al-Qur’an, penulis ingin lebih menguak bagaimana hal tersebut, khususnya

pada litelatur makna hakikat dan majazi, sehingga ketika kita menafsirkan atau mengkaji isi

kandungang al-Qur’an bisa tau mana makna asli (haqiqah) atau tidaknya (majaza). 
Secara garis besar, dalam ilmu Ushul Fikih lafaz  dari segi kejelasan artinya terbagi

kepada dua macam, yaitu lafaz yang terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya.

Dimaksud dengan lafaz yang terang artinya ini adalah yang jelas penunjukannya terhadap

makna yang dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar.

Dengan berbagai kegelisahan dan rasa inging tau yang mendalam, maka penulis

menuangkannya dalam sebuah makalah yang berjudul: Haqiqah, Majazi, Muhkam, dan

Mufassar.
BAB II
PEMBAHASAN

HAKIKAT

1. Pengertian Hakikat
Hakikat ialah lafadz yang digunakan untuk menunjukan makna yang dicetak menurut urf
(kebiasaan) mutakallim dalam pembicaraannya. Secara etimologi, hakikat merupakan dari
kata haqqa yang berarti tetap. Ia bisa bermakna subjek (fā’il), sehingga memiliki arti yang tetap
atau objek (maf’ul), yang berarti ditetapkan. Pengertian Hakikat adalah lafad yang digunakan
pada makna yang ditetapkan saat lafadz tersebut tercetus pertama kali. Maksudnya lafaz itu
digunakan oleh perumus bahasa memang untuk itu. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa
hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu
Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara
Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut
asalnya untuk hal tertentu.

2. Macam-Macam Hakikat
1. Haqiqah Lughawi
Sebuah lafad yang di cetuskan oleh ahli lughat (bahasa) untuk menunjukan makna tertentu
ٌ ِ‫تَو ق‬ (menerima pemahaman istilah jadi dari Allah SWT). Contoh
melalui perbuatan istilah atau ‫يف‬
dari hakikat ini adalah penggunaan kata manusia pada hewan yang berbicara dan serigala pada
hewan yang buas.
2. Haqiqah Syar’i
Yaitu lafaz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu oleh syara’ atau
memaknai suatu lafad dengan menggunakan pendekatan syari’at, yang penyusunannya pun
dilakukan oleh ahli syari’at (fiqh), umpamanya lafaz “shalat” untuk perbuatan tertentu yang
terdiri dari perbuatan dan ucapan yang dimulai dengan “takbir” dan disudahi dengan “salam”
yang merupakan ibadah khusus.
Imam as-Shafi al-Hindy membagi hakikat syari menjadi empat. Diantaranya:
a.       Keberadaan lafadz dan maknanya diketahui oleh ahli lughat (bahasa), namun mereka tidak
mencetuskan lafadz tersebut untuk makna yang dimaksud. Contoh lafdz  ُ‫الرَّحْ َمن‬.
b.      Keberadaan lafadz dan maknanya tidak diketahui sama sekali oleh ahli lughat (bahasa),
seperti beberapa permulaan surah dalam al-Qur’an, menurut ulama yang menjadikannya sebagai
nama dari surah atau dari al-Qur’an.
c.       Keberadaan lafadznya diketahui oleh ahli lughat, namun maknanya tidak diketahui. Seperti
lafadz ُ‫صالَة‬
َّ ‫ال‬ dan   ‫الصَّوْ م‬.
d.      Keberadaan maknanya diketahui, namun lafadznya tidak. Seperti lafadz  ُ‫األُب‬, makna lafadz
ini diketahui oleh orang Arab, yakni  ُ‫ال ُع ْشب‬ (rumput), namun tidak dikenal pada kalangan ahli
lughat.
Menurut pendapat yang paling unggul, keempat bagian di atas diakui keberadaannya.

Haqiqah “urfi terbagi dua:


a. Urfi Umum
Yaitu sebuah lafadz yang dipindah dari makna aslinya pada makna yang lain melalui
penggunaan umum. Adakalanya sebab mengkhususkan sebuah nama pada sebagian perkara yang
di namai, seperti lafadz ُ‫ال َّدابَّة‬, dimana secara lughat adalah hewan melata, kemudian pelaku urf
mengkhususkannya pada makna hewan berkaki empat. Dan adakalanya sebab kemashuran
majaz, hingga enggan menggunakan makna hakikatnya, seperti menyandarkan hukum haram
pada khamar, meskipun hakikatnya hukum haram disandarkan pada perbuatan
meminum khamar.
b. Urfi Khusus
Yaitu sebuah lafadz yang dipindah dari makna aslinya oleh golongan tertentu. Seperti
istilah i’rab rafa, nashab, jer, fa’il, maf’ul, yang dicetuskan oleh para ulama nahwu.

3. Contoh Hakikat
Contohnya seperti kata “kursi” menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu
yang memiliki sandaran dan kaki, meskipun kemudian kata “kursi” itu sering digunakan pula
untuk pengertian “kekuasaan”, namun tujuan semula kata “kursi” bukan untuk itu
tetapi “tempat duduk”.
MAJAZI
1 . Pengertian Majazi
Artinya: Majaz adalah lafadz yang digunakan dengan peletakan makna kedua karena
adanya sebuah ‘alaqah (penghubung). Maka (dalam majaz) wajib didahului adanya wadh’u (atas
makna pertama), tidak wajib di dahului isti’mal (penggunaan) menurut versi Ashah.
Dan majaz diakui keberadaannya dalam kalam Arab, menurut Ashar.
Jadi majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain
makna yang tersurat di dalam nash atau teks, karena adanya persamaan atau keterkaitan baik
antara makna yang tersurat di dalam teks maupun maksud yang terkandung di dalam teks
tersebut.
Selanjutnya pengertian-pengertian majaz menurut para ulama’ ushul sangatlah beragam,
akan tetapi semuannya berdekatan artinya dan saling melengkapi yaitu sebagai berikut:
a)    Al-sarkhisi
‫ا سم لك ّل لفظ هو مستعا لشيء غير ما و ضع له‬
                        Yaitu nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar
apa yang ditentukan.
b)    Ibnu Qudamah
‫هو اللّفظ المستعمل في غير مو ضو عه علي وجه يص ّح‬
            Yaitu lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang
dibenarkan.
c)      Ibnu Subki                               
‫هو اللّفظ المستعمل بو ضع ثا ن لعال قة‬
            Yaitu lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaiatan.

Dari beberapa contoh definisi di atas dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz
tersebut, yaitu:
1) Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh suatu
bahasa.
2) Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti
kepada apa yang dimaksud.
3) Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti lafaz itu
memang ada kaitannya.

2.  Macam-Macam Majaz
Majaz memiliki berbagai macam ragam, yakni sebagai berikut:
a.    Majaz Al-Mufrad
Majaz al-murad adalah majaz yang menggunakan lafadz bukan pada permulaan asal
peletakannya. Macam ini disebut juga majaz al-lughawi, dan ia terbagi ke dalam beberapa
macam :
1). Al-hadzfu atau an-naqsu, yaitu majaz yang menitik beratkan pada adanya lafadz yang
tersembunyi. Contohnya:

‫َواسْأ َ ِل ْالقَرْ يَةَ الَّتِي ُكنَّا فِيهَا‬


Artinya: "Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu".

Di dalam ayat ini tersimpan lafadz yang tersembunyi sebelum lafadz   ‫القرية‬ (negeri),
yaitu lafadz ‫أهل‬ (penduduk).

2). Az-Ziyaadah, yaitu majaz yang menitik beratkan pada adanya lafadz atau huruf tambahan.
Contohnya:
‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء‬
َ ‫لَي‬
Artinya: "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia".

Sebagian ulama mengatakan bahwa huruf ‫ك‬ di depan lafadz ‫مثله‬ secara makna muradnya


merupakan tambahan.

b.    Majaz at-Takrib
Majaz at-tarkib adalah majaz yang menyandarkan suatu perbuatan atau kesangsian
kepada sesuatu yang tidak memiliki originalitas, dikarenakan adanya hubungan keterkaitan
antara keduanya. Majaz ini di sebut juga majaz al-aql dan majaz al-isnaad. Contohnya:
ً ‫ت َعلَ ْي ِه ْم آيَاتُهُ َزا َد ْتهُ ْم ِإي َمانا‬
ْ َ‫َوإِ َذا تُلِي‬

Artinya: "Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)".

Di dalam ayat ini terdapat suatu perbuatan Allah, yaitu ‫الزيˆˆادة‬ (penambahan), yang di


sandarkan kepada ‫اآليˆˆات‬ (ayat-ayat), hal ini karena dengan dibacakannya ayat-ayat tersebut
menjadi sebab bertambahnya keimanan mereka.

Majaz ini terbagi ke dalam empat macam, yaitu:


1). Penyandaran yang kedua sisnya adalah haqiqat (makna asli). Contohnya:

‫ت األَرْ ضُ أَ ْثقَالَهَا‬
ِ ‫َوأَ ْخ َر َج‬
Artinya: "Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya".

Penggunaan lafadz ‫أخرج‬ (telah mengeluarkan) dan ‫األرض‬ (bumi) di dalam ayat ini adalah


secara haqiqat.

2). Penyandaran yang kedua sisnya adalah majaz. Contohnya:


ْ ‫فَ َما َربِ َح‬
‫ت تِ َجا َرتُهُ ْم‬

Artinya: "Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka".

Penggunaan lafadz ‫ربح‬ (beruntung) dan ‫تجارة‬ (perniagaan) di dalam ayat ini adalah secara


majaz.
3). Penyandaran yang sisi pertamanya haqiqat dan sisi lainya majaz. Contohnya:
ً ‫أَ ْم أَ ْن َز ْلنَا َعلَ ْي ِه ْم س ُْلطَانا‬

Artinya: "Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan".

4). Penyandaran yang sisi pertamany majaz dan sisi lainya haqiqat. Contohnya:

‫ تَ ْدعُو َم ْن أَ ْدبَ َر َوتَ َولَّى‬ .‫ نَ َّزا َعةً لِل َّش َوى‬ .‫َكاَّل إِنَّهَا لَظَى‬

Artinya: "Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak,
yang mengelupas kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling
(dari agama)".

Penggunaan lafadz ‫تˆˆدعو‬ (memanggil) di dalam ayat ini adalah secara majaz karena di


sandarkan kepada lafadz ‫النار‬ (api neraka).

3. Contoh Majazi
Contohnya, kata “kursi” dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Lafaz kursi menurut hakikatnya
digunakan untuk “tempat duduk”. Lafaz itu dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Antara “tempat
duduk” dengan “kekuasaan” itu memang ada kaitannya, yaitu bahwa kekuasaan itu dilaksanakan
dari “kursi” (tempat duduk) dan sering disimbolkan dengan kursi singgasana.

MUHKAM

1. Pengertian Muhkam
                Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama  yaitu pasti
dan tegas. Sedangkan menurut adalah sebagaimana yan dikemukakan As-Sarakhsi:
‫ال التَّأْ ِو ْي ِل َو ِم ْن اَ ْن يَ ُر َّد َعلَ ْي ِه النَّ ْس ُخ‬
ِ ‫فَ ْال ُمحْ َك ُم ُم ْمتَنِ ٌع ِم ْن اِحْ تِ َم‬
Artinya:” Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan nasakh.”

‫ْث اَل يَ ْقبَ ُل اإْل ِ ْبطَا َل َو التَّ ْب ِدي َْل َو التَّأْ ِو ْي َل‬ ِ ‫ص ْي َغتِ ِه َعلَى َم ْعنَاهُ ْال َوضْ ِع ِّى َداَل لَةً َوا‬
ُ ‫ض َحةً بِ َحي‬ ِ ‫َما َد َّل بِنَ ْف‬
ِ ‫س‬
Suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan
pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan
pembatalan, penggantian maupun ta’wil.
Lafazh  muhkam juga diartikan dengan:
‫ض ِع ِّي بِ ُدوْ ِن احْ تِ َما ِل َش ْي ٍء‬ َ ُ‫ت َدالَلَةٌ َعلَى َم ْعنَاه‬
ِ ‫الو‬ ْ ‫َوهُ َوالَّ ْفضُ الَّ ِذي ظَهَ َر‬
Artinya: “lafal yang nyata petunjuknya kepada pengertian yang kareananya disusun lafal itu dan
tidak mungkin menerima sesuatu yang lain. Takwil dan takhsis dan kadang-kadang tidak
menerima nsakh. Hal ini ditunjuki oleh qarinah.
                 Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama yaitu pasti
dan tegas. Sedangkan menurut adalah sebagaimana yan dikemukakan As-Sarakhsi:
‫ال التَّأْ ِو ْي ِل َو ِم ْن اَ ْن يَ ُر َّد َعلَ ْي ِه النَّ ْس ُخ‬
ِ ‫فَ ْال ُمحْ َك ُم ُم ْمتَنِ ٌع ِم ْن اِحْ تِ َم‬
Artinya:” Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan nasakh.”
Muhkam  juga dapat berarti lafal yang menujukkan kepada maknanya secara jelas
sehingga tertutup kemungkinan untuk di-ta’wil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya
tertutup pula kemungkinan pernah dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum yang
ditunjukkannya tidak menerima pembatalan (nasakh), karena merupakan ajaran-ajaran pokok
yang tidak berlaku padanya nasakh, misalnya kewajiban menyembah hanya kepada Allah,
kewajiban beriman kepada rasul dan kitab-kitab-Nya, dan pokok-pokok keutamaan, seperti
berbuat baik kepada kedua orang tua, dan kewajiban menegakkan keadilan. Ayat-ayat seperti ini
menunjukkan kepada pengertiannya secara pasti (qath’i), tidak berlaku ta’wil padanya, dan tidak
pula ada kemungkinan telah di-nasakh pada masa Rasulullah.

2. Macam-Macam Muhkam
Lafaz muhkam terbagi atas dua macam, yaitu:
1.   Muhkam lizatihi  atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan
atau nasakh itu disebabkan olehnash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafaz-
nya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin di-nasakh.
Muhkam lizatihi  adalah muhkam yang semata-mata karena arti yang ditunjukinya itu tidak
mungkin di nasakh kan. Contohnya keharusan beribadah kepada Allah SWT dan berbuat baik
kepada kedua orang tua, sebagaimana firman Allah:
Artinya:” dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu (QS. Al-Isra’ 17:23)
2. Muhkam lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak didapatnya lafaz itu di-
nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash me-nasakh-nya.
Lafaz dalam bentuk ini dalam istilah ushul disebut lafaz yang qath’i  penunjukannya terhadap
hukum. Contohnya muhkam  yang ada pada QS. An-Nur ayat 4, menjelaskan bahwa tidak dapat
meneriima kesaksian Orang yang berbuat jarimah qadzaf untuk selama-lamanya karena pada
ayat tersebut disertai lafazh  ‫اَبَˆˆˆ ًد‬ (selama-lamanya). Ketentuan tentang lafazh muhkam bila
menyangkut hukum, adlah wajib itu secara pasti dan tidak mungkin dipahami dari lafal tersebut
adanya alternatif lain, serta tidak mungkin pula di nasakh oleh dalil lain.

Ketentuan tentang lafaz muhkam bila menyangkut hukum, adalah wajib hukum itu secara pasti
dan tidak mungkin dipahami darilafaz tersebut adanya alternatif lain, serta tidak mungkin pula
di-naskholeh dalil lain. Penunjukan lafaz muhkam atas hukum lebih kuat dibandingkan dengan
tiga bentuk lafaz sebelumnya, sehingga bila berbenturan pemahaman antara lafaz
muhkam dengan bentuk lafaz yang lain, maka harus didahulukan yang muhkam dalam
pengamalannya.

3. Contoh Muhkam
Berikut ini adalah contoh dari lafaz muhkam,  yaitu:
Sabda Nabi Muhammad:
‫اض إِلَى يَوْ ِم ْالقِيَّا َم ِة‬
ٍ ‫اَ ْل ِجهَا ُد َج‬
“Jihad itu berlaku sampai hari kiamat”.
Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya pembatalan
dari segi waktu.
QS. An-Nur (24) ayat 4:
Artinya “Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.”
Kata ‫أَبَدًا‬ (selama-lamanya) dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak diterima kesaksiannya
itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.

MUFASSAR
1. Pengertian Mufassar

Ada beberapa definisi tentang mufassar, di antaranya:


Menurut Abdul Wahab Khalaf, mufassar adalah:
‫ْث اَل يَ ْبقَى َم َعهُ احْ تِ َما ٌل لِلتَّأْ ِوي ِْل‬ ُ ‫ص ْياًل بِ َحي‬ ِ ‫ص ِل تَ ْف‬ َّ َ‫ص ْي َغتِ ِه َعلَى َم ْعنَاهُ ْال ُمف‬
ِ ‫س‬ ِ ‫َما َد َّل بِنَ ْف‬
“Suatu lafaz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang
terinci, begitu terincinya shingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafaz tersebut.”
Menurut Al-Uddah, mufassar adalah:
‫َما يُ ْع َرفُ َم ْعنَاهُ ِم ْن لَ ْف ِظ ِه َواَل يَ ْفتَقِ ُر إِلَى قَ ِر ْينَ ِة تَ ْف ِسي ِْر ِه‬
“Sesuatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan
qarinah yang menafsirkannya.” 
Menurut As-Sarakhsi memeberikan definisi mufassar dengan ungkapan sebagai berikut:
ً‫ف الَّ ِذ ْييُ ْع َرفُ ْال ُم َرا ُد بِ ِه َم ْك ُشوْ فًا َعلَى َوجْ ٍهل اَل يَبْقى َم َعهُ اِحْ تِ َماال‬ ِ ْ‫اِ ْس ٌم لِ ْل َم ْك ُشو‬
Artinya: “Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan
jelas serta tidak ada kemungkinan di takwil”.
Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa hakikat lafazh mufassar adalah
penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri
tanpa memerlukan qarinah dari luar, serta tidak mungkin dita’wil-kan.
Atas dasar definisi tersebut maka kejelasan petunujuk mufassar lebih tinggi dari pada
petnjuk zhahir dan nash, hal ini karena pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat
kemungkinan di takwil atau di taksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut
sama sekali tidak ada.
2. Macam-Macam Mufassar
Mufassar terbagi dalam dua macam, yaitu:
1.  Menurut asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu
penjelasan lebih lanjut. Contohnya QS. An-Nur (24) ayat 4:
Artinya :
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera.”
Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera,
tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.
3. Asalnya lafaz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa
pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia
menjadi jelas. Lafaz seperti itu, juga disebut dengan “mubayyan”. Contohnya QS. An-
Nisa (4) ayat 92:
Artinya :
“Dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu).”   
Ayat ini menyangkut keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi tidak
dijelaskan mengenai jumlah, bentuk, dan macam diyat yang harus diserahkan itu. Sesudah turun
ayat ini datang penjelasan dari Nabi dalam sunnah yang merinci keadaan dan cara
membayar diyat itu sehingga ayat di atas menjadi terinci dan jelas artinya.

Perintah sholat dijelaskan oleh Nabi melalui haditnya yaitu:


َ ُ‫صلُّوْ َك َما َرأَ ْيتُ ُموْ نِ ْي أ‬
)‫صلِّي (رواه البخاري‬ َ
Artinya: “Shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihatku shalat” (HR. Bukhari).
Tentang gaji dijelaskan oleh hadits:
‫ُخ ُذوْ ا َعنِّي َمنَا ِس َك ُك ْم‬
Artinya: “Ambillah dariku dariku tentang cara-cara beribadah Haji.”
Bentuk kedua inilah yang disebut dalam istilah hadits dengan tafsir tasyri’ karena
bersumber kepada syari’at yaitu Rasulaullah dan Rasul diberikan kemampuan untuk menafsirkan
dan menjelaskan firman-Nya.
Lafaz mufassar itu dari segi penunjukannya terhadap makna yang dimaksud lebih jelas
dari lafaz nash  dan lafaz zhahir, karena lafaz-nya memang lebih jelas dibandingkan
dengan nash dari segi tafsirannya yang terinci, sehingga menjadikan mufassar tidak mungkin
untuk di-takwil dan apa yang dituju menjadi terang. Karena penjelasan mufassaritu lebih kuat
dari nash dan zhahir, bila terjadi perbenturan pemahaman antara keduanya, maka harus
didahulukan yang mufassar.
Dilalah mufassar  wajib diamalkan secara qath’i sepanjang tidak ada dalil yang me-
nasakh-nya. Lafazh mufasssar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak
mungkin di takwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa dinasakh  atau di ubah apabila ada dalil
yang mengubahnya. Dengan demikian dilalah mufassar lebih kuat daripada dilalah
zhahir dan dilalah nash. oleh sebab itu apabila terjadi pertentangan antara dilalah
mufassar  dengan dilalah zhahir dan dilalah nash maka dilalah mufassar Harus didhulukan.

3.Contoh Mufassar
Seperti halnya perintah shalat, perintah zakat, perintah haji dan keharaman riba. empat
contoh yang tersebut terakhir ini aalah makna ayat-ayat al-Qur’an yang mujmal (global) yang
membutuhkan penjelasan syariat tetapi tetapi tidak ada penjelasan dari ayat-ayat yang lain. Maka
datang hadits-hadits dari Nabi berupa perkataan dan perbuatan beliau yang menjelsakan perkara-
perkara mujmal sehingga hukumnya menjadi jelas dan dapat diamalkan.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengertian Hakikat adalah lafadz yang digunakan pada makna yang ditetapkan saat
lafadz tersebut tercetus pertama kali. Majaz adalah suatu lafadz yang digunakan untuk
menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks.
Haqiqah (hakikat) terbagi kepada beberapa bentuk yaitu: Haqiqah Lughawi, Haqiqah
Syar’i, dan Haqiqah “urfi. Macam-Macam Majaz: Majaz Al-Mufrad (al-lughawi), Majaz at-
Takrib (majaz al-aqli)
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan maksud atau makan lafazh itu sendiri secara
terperinci dan tidak dimungkinkan menerima ta’wil.
Muhkam adalah lafazh yang dapat menunujukkan maksud dan makna dengan tegas dan
jelas, serta tidak memungkinkan untuk di-takwil, di-takhsis, dan di-nsakh.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khallaf, Syekh. 2005.  Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin.  Cet. V. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Effendi, Satria. 2008.  Ushul Fiqh. Cet. II. Jakarta: Kencana.
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Amzah.
Shidiq, Sapiudin. 2011.   Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Syafe’i, Rachmat.  1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh Jilid 2. Ed. 1. Cet. V. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai