Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
OLEH :
KELOMPOK 9 :
DOSEN :
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Istilah clean dan good governance (pengelolaan atau tata pemerintahan yang bersih dan
baik)merupakan wacana yang mengiringigerakan reformasi.wacana clean dan good
governance sering kali dikaitkan dengan tuntunan akan pengelolaan pemerintah yang
professional, akuntabel, dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Terjadinya krisis
ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh tatacara penyelenggaraan pemerintahan
yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang
sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat
yang memburuk.
Bahkan kondisi saat inipun menunjukkan masih berlangsungnya praktek dan perilaku yang
bertentangan dengan kaidah tata pemerintahan yang baik, yang bisa menghambat
terlaksananya agenda-agenda reformasi.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi pembuatan dan penerapan
kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Fenomena demokrasi ditandai
dengan menguatnya kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sementara
fenomena globalisasi ditandai dengan saling ketergantungan antarbangsa, terutama dalam
pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan aktivitas dunia usaha (bisnis).
Oleh karena itu, tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar segala
permasalahan yang timbul dapat segera dipecahkan dan juga proses pemulihan ekonomi
dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
6 Bagaimana tata kelola kepemerintahan yang bersih ddan gerakan anti KKN
BAB II
PEMBAHASAN
Dan dalam arti yang lebih luas, good governance dapat diartikan “suatu kesepakatan
menynagkut pengaturan Negara yang diciptakan bersama pemerintah, masyarakat madani
(civil society) dan sektor swasta. Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk
mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat
mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban
danmenjembatani perbedaan diantara mereka.”
Good and clean governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan
atau tingkahlaku yang bersifat mengarahkan,mengendalikan, atau mempengaruhi urusan
publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip demokrasi
yang bertumpu pada peran sentral warga negara dalam proses sosial politik bertemu dengan
prinsip-prinsip dasar governance, yaitu pengelolaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa
yang dirumuskan bersama oleh pemerintah dan komponen masyarakat madani. Pemerintahan
dikatakan baik jika pembangunan dapat dilakukan dengan biaya yang sangat minimal namun
dengan hasil yang maksimal.Good and Clean Governance dapat terwujud maksimal jika
ditopang oleh 2 unsur yang saling terkait negara dan masyarakat madani yang di dalamnya
terdapat sektor swasta.
1. Andi Faisal Fakti good governance dapat diartikan sebagai :mengejawatkan nilai nilai
luhur dalam mngarahkan warga negara kepada masyarakat dan pemerintahan yang
berkeadaban melalui wujud pemerintahan yang suci dan damai.
1. Partisipasi (Participation)
Sebagai pemilik kedaulatan, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk
mengambil bagian dalam proses bernegara, berpemerintahan, serta bermasyarakat. Partisipasi
tersebut dapat dilakukan secara langsung ataupun melalui institusi intermediasi, seperti
DPRD, LSM, dan lainnya. Partisipasi yang diberikan dapat berbentuk buah pikiran, dana,
tenaga, ataupun bentuk-bentuk lainnya yang bermanfaat. Partisipasi warga negara dilakukan
tidak hanya pada tahapan implementasi, tetapi secara menyeluruh, mulai tahapan penyusunan
kebijakan, pelaksanaan, evaluasi, serta pemanfaatan hasil-hasilnya.
Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa, bernegara, dan
berpemerintahan, yaitu:
3. Transparansi (Transparancy)
Salah satu karakteristik good governance adalah keterbukaan. Karakteristik ini sesuai
dengan semangat zaman yang serba terbuka adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut
mencakup semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik, dari proses
pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik, sampai pada tahapan evaluasi.
Sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan, setiap komponen yang terlibat dalam
proses pembangunan good governance harus memiliki daya tanggap terhadap keinginan atau
keluhan para pemegang saham (stake holder). Upaya peningkatan daya tanggap tersebut,
terutama ditujukan pada sektor publik yang selama ini cenderung tertutup, arogan, serta
berorientasi pada kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
yang diberikan oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survei untuk mengetahui
tingkat kepuasan konsumen (customer satisfaction).
5. Berorientasi pada konsensus (consensus orientation)
6. Keadilan (equity)
Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki kesempatan yang
sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi, karena kemampuan masing-masing
warga negara berbeda-beda, sektor publik harus memainkan peranan agar kesejahteraan dan
keadilan dapat berjalan seiring sejalan.
Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia, kegiatan ketiga
domain dan governance harus mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam setiap kegiatan.
Tekanan perlunya efektivitas dan efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik karena
sektor ini menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa kompetisi, tidak akan ada
efisiensi.
8. Akuntabilitas (accountability)
a. Akuntabilitas organisasi
b. Akuntabilitas legal
c. Akuntabilitas politik
d. Akuntabilitas profesional
e. Akuntabilitas moral
Dalam era yang berubah secara dinamis, setiap domain dalam good governance harus
memiliki visi yang strategis. Tanpa visi semacam itu, suatu bangsa dan negara akan
mengalami ketertinggalan. Visi itu, dapat dibedakan antara visi jangka panjangm (long time
vision) antara 20 sampai 25 tahun serta visi jangka pendek (short time vision) sekitar 5 tahun.
1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
enyelenggaraan negara.
2. Asas tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan
cara aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif, tentang penyelenggaraan
negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan
rahasia negara.
5. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggaraan negara.
6. Asas profersionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Menegakkan HAM
2) Sektor swasta atau dunia usaha (private sector), berfungsi dalam hal:
a. Menjalankan industri
f. Menaati peraturan
e. Mengembangkan SDM
pada negara yang sedang berkembang yang sektor swasta dan sektor masyarakat
relatif belum maju, sektor pemerintah memegang peranan yang sangat menentukan. Sektor
pemerintah harus bertindak sebagai promotor pembangunan. Pada saatnya apabila sektor
swasta dan sektor masyarakat semakin maju karena pembangunan, peranan sektor pemerintah
secara bertahap mulai berkurang. Tarik-menarik peranan antara sektor pemerintah dan sektor
swasta dan sektor masyarakat apabila tidak dikelola secara bijak akan dapat menimbulkan
berbagai ketegangan sosial. Dalam hal ini diperlukan pimpinan nasional yang memiliki
dukungan legitimasi politik yang kuat, memiliki kharisma, serta kemampuan mnajerial untuk
mengendalikan perubahan.
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, (2004) good governance (G) di Indonesia adalah
penyelenggaraan peerintahan yang baik yang dapat diartikan sebagai suatu mekanisme
pengelolaan sumber daya dengan substansi dan implementasi yang diarahkan untuk mencapai
pembangunan yang efisien dan efektif secara adil. Oleh karena itu, good governance akan
tercipta di antara unsur-unsur negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers,
lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan dalam proses
checks and balances dan tidak boleh satu pun di antara mereka yang memiliki kontrol
absolute.
Terkait dengan tiga faktor determinan tersebut, pada subbab ini akan dibahas tentang
lembaga atau pranata, budaya dan sumber daya manusia dalam dua bagian, yaitu struktur
organisasi dalam good governance dan manajemen perubahan yang diperlukan oleh
organisasi.
Perubahan besar dalam organisasi, baik struktur dan budaya tidak akan pernah sukses
bila organisasi tersebut cepat puas. Kesadaran tinggi akan tingkat urgensi yaitu memahami
hak yang mendesak dan menempatkannya sebagai prioritas dalam menghadapinya, sangat
membantu proses mengatasi masalah dan langkah perubahan yang besar. Peningkatan fungsi
organisasi akan menyebabkan tingginya tingkat organisasi. Untuk memelihara urgensi tingkat
tinggi maka diperlukan sistem informasi manajemen yang menyangkut sistem informasi
akuntansi, untuk keuangan, sistem informasi sumber daya manusia (SDM) untuk mengukur
kinerja SDM, dan sistem informasi lain yang diperlukan oleh organisasi. Sistem informasi ini
akan menjamin kecermatan dan kejelian data, sehingga data yang digunakan untuk
pengambilan keputusan yang valid.
b. Penyusunan pranata organisasi
Misi dan tujuan setiap organisasi sektor publik adalah memuaskan para pihak yang
berkepentingan dengan pelayanan publik serta melestarikan tingkat kepuasan masyarakat.
Tanangan untuk mencapai kepuasan adalah melalui mutu pelayanan yang prima atas
pelayanan dan kepercayaan publik. Permasalahan dalam peningkatan mutu ini pada birokrasi
terkendala dengan sumber informasi yang terbatas, tingkat pengetahuan aparat yang tidak
memadai, budaya birokrasi, dan pengambilan keputusan yang tidak efektif karena delegasi
wewenang yang tidak optimal serta tidak adanya insentif dan berkorelasi dengan sistem
penggajian.
Perubahan kondisi pasar, teknologi, sistem sosial, regulasi, dan pelaksanaan Good
Governance dapat memengaruhi struktur pengembangan organisasi. Untuk perubahan
struktur organisasi perlu dilakukan analisis biaya dan manfaat terhadap pengaruh pelayanan
public terhadap organisasi melalui perubahan yang bersifat strategis.
Perubahan struktur organisasi mencakup tiga unsur sebagai determinan, yaitu: (a) sistem
pendapatan wewenang, tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab, (b) sistem balas jasa yang
sepadan, dan (c) sistem evaluasi indikator atau pengukuran kinerja untuk individu dan unit
organisasi.
Masalah utama dalam perubahan struktur organisasi adalah meyakinkan diri bahwa
pengambilan keputusan dan akuntabilitas semua pihak yang berkepentingan terhadap
organisasi mempunyai informasi dan pengetahuan yang relevan mengambil keputusan yang
baik dan benar serta adanya insentif sepadan yang menggunakan informasi secara produktif
dan terpercaya. Perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perubahan struktur
organisasi, biaya, dan manfaat langsung maupun tidak langsung harus dianalisis secara
cermat dan hati-hati.
2. Kerja sama tim yang baik dalam tatanan staf dan manajemen
3. Bisa menciptakan dan mengomunikasikan visi, misi, dan program dengan baik
2. Manajemen Perubahan
f. Tidak bisa mengubah symbol, nilai, sikap dan norma organisasi dari yang lama menjadi
budaya yang baru dalam organisasi.
4. Memberdayakan setiap anggota organisasi sesuai dengan kompetensi minat, dan bakat.
1. Urusan Pemerintahan
2. Kelembagaan
3 Personil
4. Keuangan
5. Perwakilan
6. Pelayanan Publik
7. Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dan dikembangkan serta
direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004. Namun disamping penataan terhadap
tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam
rangka penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan Otonomi
Khusus NAD, dari Papua penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta pemberdayaan
masyarakat.Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-langkah menyusun
target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari mengidentifikasi gap yang
ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini.
Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan
peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai
organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari
kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting.
Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar
absahnya sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah
juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk mengatur dan
menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala daerah,
perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan daerah pun telah
masuk dalam Tata urutan peraturan perundang - undangan nasional (UU no 10 tahun 2004),
Pengawasan oleh masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni,
akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini
merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian
terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan
pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator
kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak
mempunyaidampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka stabilitas
penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan
atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak
memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat
yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat
dalam menjalankan pengawasan. Dengan demikian, jelas bahwa Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 dipersiapkan untuk menjadi instrumen yang diharapkan dapat menjadi ujung
tombak pelaksanaan konsep good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan di
indonesia.
Salah satu bentuk layanan tersebut adalah penertiban regulasi yang dapat menciptakan
suasana yang kondusif bagi masyarakat. Akan tetapi, sebelum lebih jauh kita menelaah kiat-
kiat dalam menciptakan regulasi yang kondusif, tidak ada salahnya apabila kita memulainya
dengan memahami terlebih dahulu beberapa konsep dasar dalam kebijakan publik.
Dalam kacamata awam, pemerintahan yang baik identik dengan pemerintahan yang
mampu memberikan pendidikan gratis, membuka banyak lapangan kerja, mengayomi fakir
miskin, menyediakan sembako murah, memberikan iklik investasi yang kondusif dan
bermacam kebaikan lainnya. Dengan kata lain, pemerintah dianggap baik apabila ia mampu
melindungi dan melayani masyarakatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan umum
yang berkualitas merupakan ukuran untuk menilai sebuah pemerintahan yang baik,
sedangkan pelayanan umum yang buruk lebih mencerminkan pemerintahan yang miskin
inovasi dan tidak memiliki keinginan untuk menyejahterakan masyarakatnya (bad
governance).
Berbicara tentang good governance biasanya lebih dekat dengan masalah pengelolaan
manajemen pemerintahan dalam membangun kemitraan dengan stake holder (pemangku
kepentingan). Oleh karena itu, good governance menjadi sebuah kerangka konseptual tentang
cara memperkuat hubungan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam nuansa
kesetaraan. Hubungan yang harmonis dalam nuansa kesetaraan merupakan prasyarat yang
harus ada. Sebab, hubungan yang tidak harmonis antara ketiga pilar tersebut dapat
menghambat kelancaran proses pembangunan.
Makna korupsi :
menurut kartini kartono kurupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mngeduk keuntungan pribadi merugikan kepentingan umum dan
negara.badan pengawas keuangan dan pembangunan mendefenisikan korupsi sebagai
tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi
dan kelompok tertentu.
Beberapa hal yang menjadi akar masalah terjadinya korupsi antara lain:
1. Kemiskinan
2. Kekuasaan
3. Budaya
4. Ketidaktahuan
8. IMPAK KORUPSI
Jika di atas kita mngakui bahwa salah satu penyebab korupsi adalah kemiskinan maka
koropsi pun mnyebabkan kemiskinan di negara berkembang,kemiskinan tersebut di sebabkan
para elit negara berkembang mengambil kekayaan negerinya untuk kepentingan sendiri atau
kelompoknya.
2. Koropsi akan segera menular ke sektor swasta dalam situasi yang sulit diramalkan,atau
melemahkan investasi dalam negri,dan mnyisihkan pendatang baru,dengan demikian
mngurangi partisipasi dan pertumbuhan sektor swasta.
3. Korupsi mencerminkan kenaikan hargaadministrasi(pembayar pajak harus ikut mnyuap
karna membayar beberapa kali lipat untuk pelayan yang sama.
4. Jika korupsi merupakan bentuk pembayaran yang tidak sah,hal ini akan mngurangi
jumlah dana yang di sediakan untuk publik.
6. Koropsi dalam pemerintahan menurunkan rasa hormat pada kekuasaan yang akhirnya
menurunkan legilitimasi pemerintah.
7. Jika elit bpolitik dan penjabat tinggi pemerintah secara luas di anggap korupsi,maka
akan mnyimpulkan tidak ada alasan bagi puplik untuk tidak boleh korupsi juga.
8. Seorang penjabat yang korupsi adalah pribadi yang hanyya memikirkan diri sendiri
tidak mau berkorban demi kemakmuran bersama untuk masa yang akan datang.
9. Korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi pruduktivitas,karna waktu
dan energi habis untuk menjalin hubungan guna untuk mnghindri atu mngalahkan
sistem,untuk mngkatkan kepercayaan dan memberikan alasan yang objektiv mngenai
permintaan layanan yang di perlukan.
10. Korupsi karna merupakan ketidak adilan yang di lembagakan ,mau tidak mau akan
menimbulkan perkara yang harus di bawa ke pengadilan dan tuduhan tuduhan palsu yang di
gunakan pada penjabat yang jujur untuk tujuan pemerasan.
11. Bentuk korupsi yang paling menonjol di beberapa negara uang pelicin atau uang rokok
menyebabkan keputusan di timbang berdasarkan uang bukan berdasarekan kebutuhan
manusia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Konsep good governance yang dijelaskan tersebut berlaku untuk semua jenjang
pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Mau tidak mau, mampu
ataupun tidak mampu, dalam menyelenggarakan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut
untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance karena prinsip tersebut telah menjadi
paradigma baru didalam menyelenggarakan kepemerintahan yang digunakan secara
universal.
Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau rancangan
undang-undang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu
permasalahn tanpa memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus di lakukan. Pada sisi
lain, pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan konsep good
governancekepada seluruh jajaran pemerintahan karena konsep tersebut menjadi salah satu
ukuran keberhasilan birokrasi pemerintahan.
Daftar pustaka
Azra, Prof. Dr. Azumard, MA. 2003. Demikrasi Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE Syarif
Hidayatullah. Ibid.
Bakti, Andi Faisal. 2000. Good Governance a Workable Solution for Indonesia. Jakarta :
IAIN Press.
Billah, MM. 2001. Good Governace dan Kontrol Sosial. Jakarta : Jurnal Prisma.
Kumorotomo, Wahyu. 1999. Etika Administrasi Negara. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Rozak, Abdul dan Ubaidillah, A. 2006. Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani. Jakarta :
ICCE Syarif Hidayatullah.