Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN EVALUASI AIR LIMBAH RPH PESANGGARAN

KOASISTENSI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER


PROGRAM PROFESI DOKTER HEWAN GELOMBANG XIX
KELOMPOK G

Disusun oleh :

Ketut Elok Sukardika 2109611001


Alya Diasti Paraningtyas 2109611025
Salsabila Qutrotu’ain 2109611026
Regina Bonifasia Br Ginting 2109611040
Putu Mira Yudiani 2109611062

LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN


EPIDEMIOLOGI PROGRAM PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Evaluasi Kualitas Air Limbah di RPH Pesanggaran Sesetan. Penulis
menyadari bahwa penyelesaian laporan ini tidak akan terwujud tanpa adanya
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak drh. I Ketut
Suada, M.Si selaku dosen pengajar Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi, maupun analisa penulisan.
Sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Akhir kata, penulis berharap semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Denpasar, 23 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar belakang..................................................................................................1
1.2 Tujuan .............................................................................................................2
1.3 Manfaat.............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Limbah rumah potong hewan...........................................................................3
BAB III MATERI DAN METODE.......................................................................9
3.1 Materi .............................................................................................................9
3.2 Metode .............................................................................................................9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................12
4.1 Hasil pemeriksaan air limbah.........................................................................12
4.2 Pemeriksaan subjektif limbah RPH pesanggaran...........................................13
4.3 Pemeriksaan objektif limbah RPH pesanggaran............................................17
BAB V PENUTUP..................................................................................................20
5.1 Kesimpulan.....................................................................................................20
5.2 Saran ...........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................21
LAMPIRAN............................................................................................................24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Rumah Potong Hewan (RPH) adalah suatu bangunan atau komplek
bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat
memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum. Lokasi RPH harus
memenuhi persyaratan yaitu tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran
lingkungan dan mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan
pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta disinfeksi (Lubis et al, 2017).
Setiap RPH harus menerapkan hygiene dan sanitasi. Sanitasi merupakan
kebersihan lingkungan dan hygiene merupakan kesehatan dari pekerja dan mahluk
hidup di RPH tersebut. Kedua aspek ini saling berhubungan, jika kedua aspek ini
memiliki kualitas yang baik maka akan terciptanya produk ASU/ASUH (Aman,
Sehat, Utuh dan Halal). Untuk mengetahui produk daging yang dihasilkan
ASU/ASUH, maka bisa dilihat dari kualitas limbah yang dihasilkan.
Kegiatan pemotongan hewan di RPH menghasilkan produk samping
berupa air limbah RPH. Air limbah RPH adalah limbah indikator biodegradable
yang terdiri atas darah, sisa-sisa pencernaan, urin, dan pencemar lainnya yang
dihasilkan dari proses pencucian (Budiyono et al.,2011). Berdasarkan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 2 tahun 2006, setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan RPH wajib melakukan pengolahan air
limbah sehingga mutu air limbah yang dibuang atau dilepas ke lingkungan tidak
melampaui baku mutu air limbah RPH. Air limbah Rumah Potong Hewan (RPH)
yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan masalah lingkungan dan
gangguan pada masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar RPH serta
menimbulkan penyakit bagi hewan-hewan dan pekerja.
Pada praktikkum ini, evaluasi air limbah dilakukan secara subjektif dan
objektif di RPH Pesanggaran Sesetan. Dengan dilakukannya praktikum ini, kami
dapat mengetahui proses pengolahan limbah di RPH Pesanggaran apakah
memenuhi standar. Serta yang terpenting yaitu mengetahui kualitas limbah yang

1
menjadi indikator utama dalam proses pengolahan limbah serta manajemen RPH
Pesanggaran Sesetan.

1.2 Rumusan masalah


Bagaimana cara melakukan evaluasi air limbah di RPH Pesanggaran secara
subjektif dan objektif ?

1.3 Tujuan laporan


Mahasiswa mampu melakukan evaluasi air limbah di RPH Pesanggaran dan
RPH lainnya secara subjektif dan objektif di Laboratorium Kesehatan Masyarakat
Veteriner.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Rumah Potong Hewan

Rumah Potong Hewan (RPH) adalah suatu bangunan atau komplek


bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat
memotong hewan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum. Lokasi
RPH harus memenuhi persyaratan yaitu tidak menimbulkan gangguan dan
pencemaran lingkungan dan mempunyai akses air bersih yang cukup untuk
pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta disinfeksi.
Setiap kabupaten/kota harus mempunyai RPH yang memenuhi persyaratan
teknis yang ditetapkan oleh menteri pertanian. Untuk menyediakan daging
yang Aman, Sehat, Utuh,dan Halal (ASUH), RPH harus memenuhi
persyaratan teknis yang meliputi fisik (bangunan dan peralatan), sumber daya
manusia, dan prosedur teknis pelaksanaannya (Lubis et al., 2018).
Pada umumnya kegiatan pemotongan hewan di RPH meliputi
penerimaan dan penampungan, pemeriksaan ante-mortem, persiapan
penyembelihan, penyembelihan, pengulitan, pengeluaran jeroan, pemeriksaan
post-mortem, pembelahan karkas, pelayuan karkas, dan pengangkutan karkas.
Proses pemotongan di RPH dapat dinilai berdasaarkan Good Slaughtering
Practices (GSP). Menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) (2004),
GSP adalah seluruh praktik di RPH yang berkaitan dengan kondisi dan tindak
yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan dan kelayakan pangan pada
seluruh tahapan dalam rantai pangan. Selain itu untuk mendukung praktik
pemotongan hewan yang berdasrkan GSP maka diperlukan fasilitas RPH yang
memadai. Fasilitas RPH dapat dievaluasi dengan cara membandingkan
dengan peraturan yang berlaku.
Dalam proses pemotongan hewan di RPH menghasilkan produk
samping berupa limbah RPH. Air limbah RPH merupakan limbah organic
yang terdiri dari air, darah, sisa- sisa pencernaan dan lainnya. Hal tersebut

3
sesuai dengan pendapat Budiyono et al. (2011) yang menyatakan bahwa air
limbah RPH adalah limbah organic biodegradable yang terdiri atas darah,
sisa-sisa pencernaan, urin dan pencemar lainnya yang dihasilkan dari proses
pencucian. Air limbah RPH Sebagian besar dihasilkan dari air pembersihan
ruang pemotongan, air pencucian saluran pencernaan, dan air pembersih
kandang hewan denan tingkat pencemaran terbesar dari darah (Padmono,
2005). Dampak negatif dari limbah adalah proses pembuangan dan
pembersihannya memerlukan biaya serta efeknya dapat mencemari
lingkungan.

Air limbah RPH jika mencemari lingkungan sekitar dapat menjadi


media pertumbuhan mikroba sehingga menyebabkan terjadinya pemanfaatan
oksigen terlarut didalam air. Pemanfaatan oksigen terlarut yang berlebihan
dapat mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas air. Selain itu, aktivitas
mikroba dalam proses pembusukan limbah organik di dalam air
mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi Biological Oxygen
Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), amonia (NH3), hidrogen
sulfida (H2S), perubahan pH, dan menimbulkan bau busuk seperti bau urea
dan belerang (Widya et al., 2008). Proses pembusukannya di dalam air
menimbulkan bau yang tidak sedap yang dapat mengakibatkan gangguan
pada saluran pernapasan manusia yang ditandai dengan reaksi fisiologik
tubuh berupa rasa mual dan kehilangan selera makan. Selain menimbulkan
gas berbau busuk, penggunaan oksigen terlarut yang berlebihan oleh
mikroba dapat mengakibatkan kekurangan oksigen bagi biota air.
Karakteristik parameter limbah cair RPH memiliki kandungan ammonia yang
cukup tinggi (Farahdiba et al., 2019). Pengelolaan limbah RPH perlu
perhatian khusus dalam penanganannya. Hal ini berakaitan erat dengan
pencemaran lingkungan disekitar RPH. Selain itu, limbah RPH sangat
mudah menjadi media pertumbuhan mikroba dan dapat menularkan penyakit
untuk warga sekitar. Menurut Roihatin dan Rizqi (2010) menyatakan bahwa
apabila limbah tidak dilakukan pengelolaan dan/atau pengelolaan pada limbah
RPH maka limbah tersebut menjadi media pertumbuhan dan perkembangan

4
mikroba sehingga limbah mengalami pembusukan. Limbah RPH berupa
fases, urnine, isi rumen atau isi lambung, darah afkiran daging atau lemak dan
air cuciannya. Limbah yang dihasilkan industri RPH ada dua jenis, yaitu
limbah padat berupa bulu, isi rumen dan kotoran hewan serta limbah cair
bekas pencucian hewan yang bercampur dengan darah dan lemak (Al Kholif,
2015).

Kandungan bakteri patogen serta organisme golongan coli juga


terdapat dalam air limbah tergantung darimana sumbernya, namun keduanya
tidak berperan dalam proses pengolahan air limbah industri. Untuk mencegah
atau mengurangi dampak negatif tersebut, perlu diperhatikan kondisi sistem
pembuangan air limbah yang memenuhi syarat sehingga air limbah tersebut
tidak mengkontaminasi sumber air minum, tidak mengakibatkan pencemaran
permukaan tanah, tidak menyebabkan pencemaran air untuk mandi,
perikanan, air sungai, atau tempat-tempat rekreasi, Selain limbah cair dan
limbah padat yang dihasilkan, aktivitas industri RPH juga dapat menghasilkan
gas methane. Gas methane ini berpotensi menghasilkan salah satu sumber
penyebab efek rumah kaca jika terbuang ke atmosfer. Disamping itu limbah
padat RPH juga mengandung protein yang dapat digunakan sebagai bahan
pakan ternak. Sehingga limbah RPH dapat diolah untuk menghasilkan sumber
pendapatan dan tidak mengotori lingkungan (Farahdiba et al., 2019).

2.1.1 Parameter Limbah Rumah Potong Hewan

Standar baku mutu air limbah bagi suatu usaha atau kegiatan industri
mengacu pada peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.
5 Tahun 2014 tentang baku mutu air limbah seperti berikut.
Tabel 2. 1 Standar Baku Mutu Air Limbah Industri
No Parameter Satuan Baku Mutu
1 Biochemical Oxygen Demand (BOD) mg/L 100
2 Total Suspended Solid (TSS) mg/L 350
3 Chemical Oxygen Demand (COD) mg/L 250
4 Minyak dan Lemak mg/L 25

5
5 NH3-N mg/L 50
6 pH 6 sampai 9

a. Biochemical Oxygen Demand (BOD)


BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen
terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan
organik dalam kondisi aerobic (Santoso, 2018). Nilai BOD tidak
menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, melainkan hanya
mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mendekomposisi bahan
organik tersebut (Wulandari, 2018). Uji BOD penting untuk dilakukan guna
mengetahui perkiraan jumlah oksigen yang akan diperlukan untuk
menstabilkan bahan organic yang ada secara biologi. Selain itu hal ini juga
dapat digunakan untuk mengetahui ukuran fasilitas unit pengolahan limbah.
Tingginya nilai BOD mengakibatkan menurunnya kandungan oksigen terlarut
(DO) dari limbah sehingga kandungan senyawa organik yang dihasilkan
tinggi dan mengakibatkan terjadinya peningkatan nilai zat padat tersuspensi
(Pamungkas, 2016).
b. Total Suspended Solid (TSS)
Total Suspended Solid (TSS) adalah padatan yang menyebabkan
kekeruhan air, tidak terlarut, dan tidak dapat mengendap yang terdiri dari
lumpur dan jasad renik yang berasal darri tanah, kotoran hewan, sisa hewan
dan limbah idustri di dalam air. Padatan tersuspensi berupa partikel-partikel
yang dibawa oleh aliran air akan memengaruhi jumlah kadar TSS di dalam.
Dampak TSS terhadap kualitas air dapat menyebabkan penurunan kualitas
air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan dan bahaya bagi
manusia jika digunakan sebagai air minum yang akan berdampak terhadap
kesehatan.
c. Chemical Oxygen Demand (COD)

Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen yang


dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organic yang ada di dalam air
secara kimiawi (Lumaela et al., 2013). Kadar COD pada suatu air limbah

6
harus memenuhi baku mutu yang telah ditentukan. Baku mutu adalah
batas atau kadar makhluk hidup, zat atau energi atau komponen lain yang
ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaran yang ditenggang adanya
sesuai dengan peruntukannya. (Andika et al., 2020). Hal ini dikarenakan
bahan organik diurai secara kimia menggunakan oksidator kuat dalam
kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Atima, 2015).
tingginya nilai COD disebabkan adanya penurunan bahan organik
maupun anorganik dari limbah industri yang dihasilkan. Tingginya
kandungan COD di dalam air limbah mengakibatkan miskinnya
kandungan oksigen dalam limbah sehingga biota air tidak akan hidup di
dalam air limbah tersebut (Mulyaningsih, 2013). Tingginya kadar COD
mengindikasikan tingginya derajat pencemaran pada air tersebut.
d. Minyak dan Lemak

Minyak dan lemak adalah bahan organik yang bersifat tetap dan
sukar diuraikan oleh bakteri. Limbah ini berat jenisnya lebih kecil
daripada air, sehingga menyebabkan lapisan pada permukaan air, yang
mengakibatkan terbatasnya oksigen masuk dalam air (Ginting, 2010).
Minyak juga dapat membentuk lumpur, mengendap dan sulit diuraikan.
e. NH3-N

Amonia adalah senyawa nitrogen yang dapat menjadi NH4 pada


pH rendah. Amonia didapat dari proses reduksi senyawa nitrat
(denitrifikasi) atau hasil sampingan dari proses industri. Amonia dalam
air buangan industri berasal dari oksidasi bahan- bahan organik yang oleh
bakteri diubah menjadi CO2, H2O, NH3. Amonia yang terukur di
perairan alami merupakan amonia total (NH3 dan NH4+ ). Amonia total
merupakan salah satu bentuk senyawa nitrogen yang ditemukan di
perairan ion amonium (NH4+ ) dan merupakan bentuk transisi dari
amonia (Maufilda, 2015). Di ekosistem perairan, amonia terdapat dalam
bentuk ion terdisosiasi NH4+ (amonium) menjadi NH3 (amonia) yang

7
ketoksisitasnya akan semakin meningkat seiring meningkatnya pH. Kadar
NH3- N maksimum yang diperbolehkan bagi kegiatan rumah potong
hewan adalah 25 mg/l.
f. pH
Kadar pH yang baik adalah masih memungkinkan berlangsungnya
kehidupan biologis di dalam air, pH netral (pH 7) adalah kadar pH yang baik
untuk air limbah. Nilai pH air yang normal adalah netral, sedangkan pH air
yang tercemar seperti air limbah memiliki pH yang berbeda-beda tergantung
jenis limbahnya. Perubahan derajat kesaman pada air limbah, baik kea rah
basa maupun ke arah asam akan sangat menggangu kehidupan hewan air
(Ginting, 2010.) air buangan yang mempunya pH rendah juga dapat bersifat
korosi dan meningkatkan pH tanah menjadi lebih asam, sehinggaa dapat
mencemari lingkungan.

2.1.2 Penanganan Air Limbah

a. Kombinasi proses dan rantai utama pengolahan dan pengurangan limbah


padat.
b. Pembersihan limbah cair secara anaerobic.
c. Pengolahan anaerobic untuk limbah padat.
d. Pengomposan.

8
BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 Materi

a. Alat

Alat-alat yang dibutuhkan adalah tabung reaksi, rak tabung, pH


meter, laktodensimeter, termometer, timbangan analitik, cawan penguap,
oven, gelas beker, pipet, gelas ukur, inkubator.
b. Bahan

Bahan yang digunakan adalah Methylene Blue 0,5% dan sampel


air limbah masing- masing sebanyak 200 ml yang diambil dari 6 lokasi air
limbah di lingkungan RPH Pesanggaran, Denpasar. Pengambilan sampel
limbah diambil selama 2 hari pada lokasi berikut :
1. Lokasi I : Limbah dari ruangan tulang dan daging
sapi.
2. Lokasi II : Limbah dari ruangan pembersihan jeroan
sapi.
3. Lokasi III : Limbah dari ruangan pemotongan babi.
4. Lokasi IV : Limbah gabungan dari penampungan
limbah sapi dan babi.
5. Lokasi V : Limbah dari Waste Water Garden (WWG) dan bak
oksidasi. Lokasi
6. Lokasi VI : Limbah akhir ke saluran umum.
3.2 Metode

3.2.1 Uji Subjektif

1. Uji Warna
Pada uji warna, sampel air limbah dihomogenkan terlebih dahulu
kemudian amati warna dari sampel.

9
2. Uji Bau
Pada uji bau, sampel air limbah dimasukkan terlebih dahulu ke dalam
gelas beker kemudian uji bau dilakukan dengan mencium bau air limbah.
3. Uji konsistensi
Mmasukan air ke dalam gelas beker kemudian digoyang-goyangkan.

3.2.2 Uji Objektif

1. Uji Ph

Pemeriksaan pH dilakukan secara in situ. Elektoda pH meter


dicelupkan ke dalam sampel air di 6 titik lokasi limbah RPH
Pesanggaran. Ditunggu 1-2 menit sampai menunjukkan angka yang
konstan. Hasil yang terbaca kemudian dicatat.

2. Uji Suhu

Pemeriksaan temperatur atau suhu air limbah dilakukan dilakukan


secara in situ dengan memasukkan termometer ke dalam air limbah
kurang lebih selama 2 menit, kemudian diamati angkanya sampai
menunjukkan angka yang konstan.
3. Uji Reduktase
a. Siapkan tabung reaksi sejumlah 6 buah (sesuai jumlah
sampel) dan diberikan label berdasarkan asal sampel.
b. Masukkan 10 ml sampel air limbah ke dalam tabung reaksi
kemudian tambahkan 0,5 ml Methylene Blue 0,5%.
c. Sampel lalu dihomogenkan dengan cara menggoyang-goyangkan
tabung.
d. Tabung reaksi ditutup atau disumbat dengan menggunakan
kapas dan dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37oC.
e. Pengamatan dilakukan setiap 20 menit untuk melihat adanya
perubahan warna yang terjadi. Inkubasi dilakukan sampai
semua sampel berubah warna menjadi semula kemudian hasil
waktu reduksi dicacat.

10
4. Penetapan Berat Jenis (BJ)
Penetapan berat jenis dilakukan dengan menimbang masing-masing gelas
ukur yang kosong terlebih dahulu untuk mengetahui beratnya. Masing-
masing sampel air limbah dimasukkan ke dalam gelas ukur tadi sebanyak
50 ml. Gelas ukur yang sudah berisi sampel. kemudian ditimbang lagi lalu
dicatat.

Berat Jenis (BJ) = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐴𝑤𝑎𝑙


Volume (50) ml

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pemeriksaan Air Limbah


Tabel 4.1 Pemeriksaan Subjektif Limbah Cair Rumah Pemotongan Hewan
Pesanggaran

LOKAS Keterangan Tanggal Jenis uji subjektif


I lokasi kegiatan Warna Bau Konsistensi
I Limbah 22-11- Coklat Amis lemak Encer
pemisahan 2021 kemerahan
tulang dan
23-11- Kuning Amis lemak Encer
karkas sapi
2021 kemerahan dan darah
II Limbah 22-11- Kuning Amis lemak Encer
jeroan sapi 2021 keruh
23-11- Kuning Bau feses Encer
2021 keruh
III Limbah 22-11- Bening Amonia Encer
pemotongan 2021 keruh
babi
23-11- Keruh Amis lemak Encer
2021 dan darah
IV Gabungan 22-11- Coklat Bau Encer
penampungan 2021 comberan
limbah sapi
23-11- Coklat Amonia Encer
dan babi
2021 kemerahan
V Limbah 22-11- Bening Tidak ada Encer
Waste Water 2021 kekuningan bau
Garden
23-11- Keruh Tidak ada Encer
(WWG)/
2021 bau
stabilisator
VI Saluran 22-11- Keruh Feses Encer
akhir/ 2021
selokan
23-11- Bening Feses Encer
umum
2021

12
Tabel 4.2 Pemeriksaan Objektif Limbah Cair Rumah Pemotongan Hewan
Pesanggaran
Lokasi Tanggal pH Suhu Reduktase BJ Padatan
(oC) (gr/ml) (mg/L)
I 22-11- 2021 7 27.5 >3 Jam 0.978 0.03
23-11-2021 7,5 27 >3 Jam 0,978 0,02
Rata-rata 7,25 27,25 >3 Jam 0,978 0,025
II 22-11- 2021 7 28 >3 Jam 0.950 0.03
23-11-2021 7 27,5 >3 Jam 0,986 0,01
Rata-rata 7 27,75 >3 Jam 0.968 0,02
III 22-11- 2021 7 27.5 >3 Jam 0.970 0.03
23-11-2021 7 27 >3 Jam 0,970 0
Rata-rata 7 27,25 >3 Jam 0,970 0,015
IV 22-11- 2021 7.5 28 >3 Jam 0.966 0.03
23-11-2021 7 27 2 Jam 0,977 0,03
Rata-rata 7,25 27,5 2,5 Jam 0,971 0,03
V 22-11- 2021 7.5 27 >3 Jam 0.968 0
23-11-2021 6,5 26,5 >3 Jam 0,962 0
Rata-rata 7 26,75 >3 Jam 0,965 0
VI 22-11- 2021 7 28.5 >3 Jam 0.969 0
23-11-2021 7,5 29 >3 Jam 0,961 0,01
Rata-rata 7,25 28,75 >3 Jam 0,965 0,005

4.2 Pemeriksaan Subjektif Limbah RPH Pesanggaran


Pemeriksaan Subjektif merupakan suatu metode pemeriksaan yang
dilakukan menggunakan panca indera, berdasarkan perkiraan dan asumsi orang
dan umumnya tidak memerlukan alat bantu untuk melakukannya. Pemeriksaan
subjektif berupa warna, bau, dan konsistensi dilakukan pada air limbah RPH
Pesanggaran. Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa dari tiap lokasi
pengambilan sampel menunjukkan warna dan bau yang berbeda. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh proses yang telah terjadi pada limbah tersebut. Sementara itu
semua limbah memiliki konsistensi yang encer, hal ini karena Sebagian besar
komponen penyusun limbah merupakan air.

a. Lokasi I
Berdasarkan hasil praktikum, diketahui bahwa limbah yang
diambil di lokasi I memiliki warna coklat kemerahan dan bau amis darah/
lemak pada tanggal 22 November sedangkan pada tanggal 23 November

13
memiliki warna kuning kemerhan dan berbau amis lemak dan darah. Warna
kemerahan ini disebabkan oleh darah, karena lokasi I merupakan lokasi
limbah dari proses pemisahan tulang dan karkas sapi sedangkan warna
kekuningan bersumber dari sel darah yang telah pecah dan rusak akibat
lamaterekspos dilingkungan luar. Bau amis bercampur lemak juga akibat
adanya campuran darah beserta lemak yang terbawa bersamaan dengan air
saat membilas tempat pemisahan tulang dan karkas.
b. Lokasi II
Limbah yang diambil pada tanggal 22 dan 23 November di lokasi
II sama-sama berwarna kuning keruh. Hal ini disebabkan karena pada lokasi
II merupakan tempat pembersihan dan penanganan jeroan sehingga terjadi
percampuran antara air, darah, lemak, urine, feses/isi rumen yang dikeluarkan.
Warna isi rumen sapi pada umumnya berwarna coklat, hijau kekuningan,
coklat kehijauan, coklat kekuningan, dan coklat kehitaman (Kocu et al.,
2018). Bau sampel yang diambil dari lokasi II pada hari pertama berbau
amis lemak sedangkan pada hari ke dua dominan berbau feses. Bau amis
lemak diakibatkan adanya banyak lemak sisa hasil pemotongan yang
bercampur dengan air sedangkan bau feses disebabkan karena air limbah
hasil pemootongan yang banyak mengandung darah dan lemak bercampur
dengan limbah kotoran pada kandang penampungan babi, selain itu bau
feses ini juga bisa diakibatkan karena ternak yang disembelih tidak
dipuasakan, sehingga kotoran yang tersisa mengalami pembusukan dalam
usus dan menimbiulkan bau.
c. Lokasi III
Limbah yang diambil dari lokasi III pada tanggal 22 November 2021
berwarna bening keruh dan hari ke dua tanggal 23 November berwarna
keruh. Hal ini diduga karena limbah di lokasi III berasal dari limbah
pemotongan babi. Babi sendiri memiliki banyak lemak yang saat
pemotongan dan pembersihan kemungkinan lemak ikut terbuang. Bau
limbah pada lokasi III baik di hari pertama berbau amis lemak dan tercium
agak pesing/aroma ammonia sedangkan hari ke 2 berbau amis lemak dan

14
darah. Hal ini terjadi karena pada lokasi III yang merupakan tempat
pemotongan babi sehingga darah, lemak dan kotoran hasil penyembelihan
mengalir ke saluran limbah dan menghasilkan bau amis jeroan. Bau
ammonia yang tercium diduga berasal dari tubuh/rambut babi saat
pemotongan yang menyisakan sedikit bau pesing karna bercampur dengan
urinnya yang tersisa saat pembersihan sebelum pemotongan.
d. Lokasi IV
Limbah yang diambil dari lokasi IV pada 22 November 2021
berwarna coklat sedangkan pada hari ke 2 berwarna coklat kemerahan. Hal
ini diduga karena limbah di lokasi IV merupakan terusan dari tempat
penampungan limbah I, II, dan III yang banyak mengandung darah,
lemak, dan feses dan memiliki kapasitas penampungan dalam jumlah
banyak. Bau limbah dilokasi IV menyengat menyerupai bau air comberan.
Hal ini disebabkan oleh hasil pembuangan akhir yang mengakibatkan
terjadinya aktivitas mikrobiologi sehingga terjadi pembusukan, pada
limbah tersebut juga terlihat ada jentik jentik dan belatung. Keberadaan
jentik-jentik dikarenakan penampungan limbah di lokasi IV menggenang
sehingga jadi tempat berkembangbiaknya nyamuk. Setelah dari
penampungan di lokasi IV, limbah akan dialirkan menggunakan mesin
pompa menuju bak pengendap awal, untuk mengendapkan partikel padat
berupa lumpur, pasir dan kotoran organik tersuspensi. Dalam bak ini juga
terjadi penguraian senyawa organik berbentuk padatan, sludge digestion
(pengurai lumpur) dan penampung lumpur. Selanjutnya air limbah
dialirkan ke bak anaerob dengan arah aliran dari atas ke bawah, dan dari
bawah ke atas. Penguraian zat-zat organik yang ada di dalam air limbah
dilakukan oleh bakteri anaerobik atau fakultatif aerobik. Setelah beberapa
hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film
mikro-organisme. Mikro-organisme inilah yang akan menguraikan zat
organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap. Air limpasan dari
bak anaerob dialirkan ke bak aerob.

15
e. Lokasi V
Limbah yang diambil dari lokasi V pada hari pertama berwarna
bening kekuningan dan hari kedua berwarna sedikit keruh. Pada hari
pertama dan ke dua tidak tercium adanya bau apapun pada limbah. Hal ini
diduga karena limbah di lokasi V sudah mengalami berbagai proses seperti
penyaringan, pengendapan, pengapungan pada WWG dan sudah ada
bakteri pengurai yang bekerja. Disekitar lokasi V juga menerapkan filtrasi
sistem biologik dengan memanfaatkan tumbuhan kangkung dan rumput
gajah sehingga beberapa zat yang terkandung dalam limbah seperti nitrat,
amonia, nitrogen, dan zat—zat lain dapat diserap oleh tanaman ini sebagai
sumber nutrisinya sehingga membuat limbah menjadi tidak berbau. Pada
lokasi V juga terdapat tembok dan cerobong untuk mengalirkan air seperti
air terjun yang fungsinya untuk menangkap oksigen pada permukaan air
akibat adanya riak air, sehingga terjadi aktivitas mikro-organisme secara
aerob. Mikro-organisme akan tumbuh serta menempel pada permukaan
media dan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah. Hal
tersebut dapat meningkatkan efisiensi penguraian zat organik, deterjen,
serta mempercepat proses nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan
ammonia menjadi lebih besar. Proses ini sering dinamakan aerasi kontak
(Subadyo, 2017).
f. Lokasi IV
Limbah yang diambil dari lokasi VI pada hari pertama berwarna
bening keruh dan hari kedua berwarna bening. Lokasi VI merupakan
limbah akhir yang bergabung dengan saluran umum dari masyarakat. Bau
feses dan warna keruh sendiri diduga berasal dari kamar mandi umum di
RPH ataupun limbah masyarakat sekitar juga, karena di lokasi V limbah
RPH sudah tidak berbau. Di saluran akhir inilah sebagai penentu apakah
limbah RPH aman atau tidak untuk lingkungan sekitar. Dari limbah di
lokasi VI menunjukkan bahwa limbah dari RPH termasuk layak dan aman
untuk lingkungan sekitar.

16
4.3 Pemeriksaan Objektif Air Limbah RPH Pesanggaran
Pemeriksaan secara subjektif air limbah RPH pesanggaran dilakukan
dengan mengukur pH, suhu, uji reduktase, menghitung BJ, menghitung padatan.
Berbeda dengan pengujian subjaktif yang masih perkiraan, uji ini dilakukan sudah
jelas angka yang ditunjukkan dengan menggunakan alat. Berikut hasl pengukuran
yang didapat
a. Uji pH
Hasil pemeriksaan pH air limbah Rumah Potong Hewan
Pesanggaran secara obyektif menggunakan pH meter diperoleh hasil
bahwa nilai pH air limbah lokasi I dengan rataan 7,25, lokasi II 7, lokasi III
7, lokasi IV 7,25, lokasi V 7 dan lokasi VI 7,25. pH air limbah RPH
Pesanggaran besifat normal, seperti yang diperbolehkan bagi kegiatan
rumah potong hewan berkisar antara 6-9 yang sudah diatur dalam PerMen
LH no. 05 tahun 2014 menyebutkan baku mutu kadar pH limbah RPH
yang diizinkan antara 6-9. Aini (2017) pada penelitiannya menunjukan
bahwa air limbah mempunyai kisaran pH yang optimum bagi
pertumbuhan bakteri, sehingga tidak mengganggu proses pengolahan.
b. Suhu
Pemeriksaan suhu pada keenam lokasi pengambilan air limbah
menunjukkan hasil yang hampir sama. Suhu pada lokasi I, II, III, IV, V,
dan VI rataan suhu di hari pertama dan kedua secara berurutan yaitu
27,25℃, 27,75℃, 27,255℃, 27,5℃, 26,75℃, dan 28,750C. Menurut
Sanjaya, et al. (1996) suhu maksimum limbah RPH yaitu 40℃. Tinggi atau
rendahnya suhu air limbah dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan
waktu pengambilan sampel. Pengambilan sampel di hari pertama
dilakukan pada pukul 06.30 – 07.00 WITA, sehingga suhu udara masih
terbilang rendah dan hal ini dapat berpengaruh pada suhu limbah. Dengan
begitu, suhu air limbah pada lokasi I-VI di RPH Pesanggaran masih dalam
rentang normal dan tidak membahayakan lingkungan.

17
c. Uji Reduktase
Uji reduktase digunakan untuk memprediksi jumlah bakteri yang
tekandung dalam limbah menggunakan zat methylene blue. semakin
banyak kuman yang terkandung pada limbah maka membutuhkan waktu
yang singkat untuk mengurai reagen methylene blue 0,5% yang diteteskan
kedalam sampel. Uji reduktase didasarkan atas aktivitas bakteri dalam air
limbah sehingga menghasilkan senyawa pereduksi yang dapat mengubah
warna biru methylene menjadi putih jernih. Pada pengujian reduktase air
limbah RPH Pesanggaran menunjukan hasil rata-rata seluruh sampel
memiliki waktu reduktase lebih dari 3 jam yang artinya pada lokasi ini
memiliki jumlah cemaran mikroba yang sedikit. Makin lama perubahan
warna dari biru menjadi putih jernih berarti aktivitas bakteri kecil atau
jumlah bakteri sedikit (Suardana dan Swacita, 2009). Menurut Suardana
dan Swacita (2009) waktu minimal reduktase dua jam dan yang baik lebih
dari lima jam.
d. Uji Berat Jenis (BJ)
Pemeriksaan terhadap berat jenis (BJ) air limbah pada hari pertama
dan kedua di lokasi I, II, III, IV, V, VI menunjukan hasil rataan sebesar
berturut-turut 0.978, 0.968, 0.970, 0.971, 0.965, 0.965. Hasil ini
menunjukkan BJ RPH Pesanggaranan memiliki perbedaan disetiap titik
lokasi. Perbedaan berat jenis setiap lokasi akibat adanya berbedaan jenis
spesimen berupa kandungan urin, darah, cairan rumen, feses, suhu air
limbah serta temperatur lingkungan.
e. Uji Padatan (Total Suspended Solid / TSS)
Hasil pemeriksaan air limbah hari pertama menunjukkan bahwa
kandungan padatan TSS pada limbah RPH Pesanggaran Kota Denpasar
pada lokasi I, II, III, IV, V, dan VI masih dalam kadar normal sesuai
dengan baku mutu limbah RPH yaitu dibawah 100 mg/L. Menurut
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 05 tahun 2014 tentang Baku

18
Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Rumah Pemotongan
Hewan, batas maksimum TSS adalah 100 mg/L.
Padatan tersuspensi total atau Total Suspended Solid adalah semua
zat padat atau partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa biotik
atau abiotik. Padatan yang tidak larut dan tidak dapat mengendap langsung
yang menyebabkan kekeruhan air (turbiditi). Padatan tersuspensi biasanya
terdiri dari partikel-partikel halus ataupun floks (lempung dan lanau) yang
ukuran maupun berat partikelnya lebih rendah dari sedimen pasir. Total
Suspended Solid terdiri atas partikel-partikel yang ukuran maupun
beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan
organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan sebagainya (Nasution,
2008). Total Suspensi Solid berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan
yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi O2 di
suatu perairan (Tarigan dan Edward, 2003). Parameter padatan tersuspensi
menjadi salah satu parameter fisik yang penting untuk menentukan kondisi
awal lingkungan (Siswanto, 2011), sehingga seringkali dijadikan indikator
awal kondisi lingkungan. Berdasarkan SNI-06-6989.3-2004 untuk analisis
TSS menggunakan metode gravimetrik.

19
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa dari tiap lokasi


pengambilan sampel menunjukkan warna dan bau yang berbeda. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh proses yang telah terjadi pada limbah tersebut. Sementara itu
semua limbah memiliki konsistensi yang encer, hal ini karena Sebagian besar
komponen penyusun limbah merupakan air. Pemeriksaan secara subjektif air
limbah RPH pesanggaran dilakukan dengan mengukur Ph (rata-rata 7), suhu (rata-
rata 27), uji reduktase (rata-rata diatas 3 jam), menghitung BJ (0.965-0.978),
menghitung padatan (dibawah 100 mg/L).

5.2 Saran

Hasil evaluasi limbah RPH Pesanggaran sudah bagus.

20
DAFTAR PUSTAKA

Aini, Sriasih M, Kisworo D. 2017. Studi Pendahuluan Cemaran Air Limbah


Rumah Potong Hewan di Kota Mataram. Jurnal Ilmu Lingkungan. 15(1):
42-48.

Al Kholif, M. (2015), Pengaruh Penggunaan Media Dalam Menurunkan


Kandungan Amonia Pada Limbah Cair Rumah Potong Ayam (RPA)
Dengan Sistem Biofilter Anaerob. Jurnal Teknik Waktu. 13(1):13-18.

Andika B, Wahyuningsih P, Fajri R. 2020. Penentuan Nilai Bod Dan Cod Sebagai
Parameter Pencemaran Air Dan Baku Mutu Air Limbah Di Pusat
Penelitian Kelapa Sawit (Ppks) Medan. Jurnal Kimia Sains dan Terapan.
2(1):14-22.

Atima W. 2015. BOD dan COD sebagai Parameter Pencemaran Air dan Baku
Mutu Air Limbah. Jurnal Biology Science & Education. 4(1): 83- 93.

Budiyono, Widiasa IN, Johari S, dan Sunarso, 2011. Study on Slaughterhouse


Wastes Potency and Characteristic for Biogas Production. Internat. Journal
Waste Resources. 1(2):4-7.

Codex Alimentarius Commission (CAC). 2004. Join FAO/WHO Food Standard


Programe. Report of the Tenth Session of the Codex Committee on Meat
Hygiene Geneva (CH): Codex Alimentarius Commission.

Farahdiba AU., Latifah EJ., Mirwan M. 2019. Penurunan Ammonia Pada Limbah
Cair Rumah Pemotongan Hewan (Rph) Dengan Menggunakan Upflow
Anaerobic Filter. Jurnal Envirotek. 11(1): 31-38.

Ginting P. 2010. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Bandung :


Yarama Widya.

Kocu, Yohosua, Bambang TJ., Hariadi, Sientje DR. 2018. Potensi Isi Rumen Sapi
Asal Rumah Potong Hewan sebagai Pakan Ternak Ruminansia di
Kabupaten Manokwari. Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner Tropis. 8
(2): 56-65.

Lubis, I., Soesilo, T. E. B., & Soemantojo, R. W. (2018). PENGELOLAAN AIR


LIMBAH RUMAH POTONG HEWAN DI RPH X, KOTA BOGOR,
PROVINSI JAWA BARAT (Wastewater Management of Slaughterhouse
in Slaughterhouse X, Bogor City, West Java Province). Jurnal Manusia
dan Lingkungan, 25(1), 33-44.
Lumaela AK, Otok BW, Sutikno. 2013. Pemodelan Chemical Oxygen Demand
(COD) Sungai Di Surabaya Dengan Metode Mixed Geographically
Weighted Regression. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2(1): 100-105.

21
Maufilda D. 2015. Kandungan BOD, COD, TSS, pH, dan Minyak atau Lemak
pada Air Limbah di Inlet dan Outlet Industri Cold Storage Udang (Studi di
PT. Panca Mitra Multi Perdana Kapongan-Situbondo). Skripsi. Jember:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.

Mulyaningsih, D. 2013. Pengaruh Efektiv Mikroorganismre MS-4 (EM-4)


terhadap penurunan kadar Chemical Oxygen Demand (COD) pada Limbah
Cair Industri Tahu. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Muhamadiyah Surakarta, Surakarta.

Nasution MI. 2008. Penentuan Jumlah Amoniak dan Total Padatan Tersuspensi
Pada Pengolahan Air Limbah PT. Bridgestone Sumatera Rubber Estate
Dolok Merangkir. Universitas Sumatera Utara.

Padmono,D.,2005. Alternatif Pengolahan Limbah Rumah Potong Hewan-Cakung


(Suatu Studi Kasus). Jurnal Teknologi Lingkungan. 6(1): 303-310.

Pamungkas MTOA. 2016. Studi Pencemaran Limbah Cair dengan Parameter


BOD 5 dan pH di Pasar Ikan Tradisional dan Pasar Modern di Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 4(2): 166-175.

Roihatin, A. and Kartika Rizqi, A., 2009. Pengolahan Air Limbah Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) dengan Cara Elektrokoagulasi Aliran
Kontinyu. Hal 1-7.

Sanjaya, A.W., Sudarwanto, M., dan Pribadi, E. S. 1996. Pengelolaan Limbah


Cair Rumah Potong Hewan di Kabupaten Dati II Bogor. Media Veteriner.
Vol. III (2)

Santoso AD. 2018. Keragaan Nilai DO, BOD Dan COD Di Danau Bekas
Tambang Batu Barastudi Kasus Pada Danau Sangatta North Pt. Kpc Di
Kalimatan Timur. Jurnal Teknologi Lingkungan. 19(1): 89-96

Siswanto A.D. 2011. Tingkat Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) sebagai
Indikator Awal Kualitas Perairan di Perairan Selat Madura, Kabupaten
Bangkalan. Prosiding. Seminar Nasional Biologi. FMIPA. Unesa.
Surabaya.Suardana IW dan Swacita IBN. 2009. Higiene Makanan.
Denpasar: Udayana University Press. Suardana, I.W. dan Swacita, I.B.N.
2004. Food Hygiene. Petunjuk Laboratorium. Fakultas

Subadyo AT. 2017. Pengelolaan Dampak Pembangunan Rumah Potong Hewan


Ruminansia Di Kota Batu. Jurnal Abdimas Unner Malang. 2(2): 15-20

Tarigan M.S., dan Edward. 2003. Kandungan Total Zat Padat Tersuspensi (Total
Suspended Solid) Di Perairan Raha, Sulawesi Tenggara. MIKARA,
SAINS. 7(3).

22
Widya N, Burdiarsa W,dan Mahendra, MS. 2008. Studi Pengaruh Air Limbah
Pemotongan Hewan dan Unggas terhadap Kualitas Air Sungai Subak
Pakel di Desa Darmasaba Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung.
Ecotrophic.3(2):55-60.

Wulandari A. 2018. Analisis Beban Pencemaran Dan Kapasitas Asimilasi


Perairan Pulau Pasaran Di Provinsi Lampung. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Lampung, Bandar Lampung.

23
LAMPIRAN

24
25

Anda mungkin juga menyukai