Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Folikel dan Oosit


Secara anatomis, organ reproduksi betina terdiri atas sepasang ovarium
dan saluran reproduksi yaitu tuba Falopii, uterus, serviks dan vagina. Ovarium
merupakan organ reproduksi primer dengan ukuran yang bervariasi antara spesies.
Sebagai organ reproduksi primer, ovarium berfungsi untuk menghasilkan oosit
yang berkembang bersama dengan perkembangan folikel. Oleh karena itu folikel
ovarium disebut juga sebagai unit struktural dan fungsional dari ovarium yang
merupakan lingkungan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan oosit
(Itoh et al. 2002). Selain menghasilkan oosit, ovarium juga menghasilkan hormon
reproduksi seperti estrogen dan progesteron. Ovarium terletak di dalam rongga
pelvis pada ventral ginjal terbungkus dalam suatu bursa ovarium yang transparan,
menggantung dan bertaut melalui mesovarium ke uterus. Berdasarkan dari
gambaran histologis terlihat bahwa ovarium terbagi atas dua bagian yaitu korteks
(bagian lateral) dan medula (bagian medial). Pada korteks ovarium dapat
ditemukan kumpulan folikel dengan berbagai tahapan perkembangan. Folikel-
folikel ini akan berkembang menjadi folikel matang dan mengovulasikan oosit
sedangkan pada bagian medula ovarium terdapat pembuluh darah, saraf dan
jaringan ikat (Senger 1999). Bagian korteks dilapisi oleh satu lapisan epitelium
kuboid rendah dan stroma pada bagian korteks terdiri atas jaringan ikat longgar.
Perkembangan folikel di dalam ovarium dikenal dengan nama
folikulogenesis merupakan proses perkembangan folikel yang berawal dari
terbentuknya folikel primordial sampai berkembang menjadi folikel matang dan
siap melakukan proses ovulasi. Folikel primordial akan berkembang menjadi
folikel primer, sekunder, tersier, de Graaf dan pada akhirnya oosit akan
diovulasikan. Proses folikulogenesis ini disertai dengan proses pertumbuhan dan
pematangan oosit yang merupakan bagian dari proses oogonesis yaitu proses yang
menghasilkan oosit yang haploid. Perkembangan folikel pada ovarium
dipengaruhi oleh endokrin dan mekanisme intraovarian yang mengatur proses
pertumbuhan oosit dan proliferasi serta diferensiasi sel somatik (Itoh et al. 2002,
Thomas & Van der Hayden 2006). Perkembangan folikel tergantung pada
keberadaan faktor yang merangsang pertumbuhan folikel dan menghindarkan
folikel dari peristiwa apoptosis. Faktor yang mempengaruhi perkembangan folikel
antara lain gonadotrophin, hormon steroid dan beberapa faktor pertumbuhan
(Quirk et al. 2004). Follicle stimulating hormone (FSH) merupakan
gonadotrophin yang berperan dalam proses proliferasi dan diferensiasi folikel
sedangkan estrogen adalah hormon yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka
diketahui berperan dalam pembentukan rongga folikel. Diantara beberapa faktor
pertumbuhan yang berperan dalam perkembangan folikel adalah epidermal
growth factor (EGF), transforming growth factor (TGF), basic fibroblast-like
growth factor (bFGF), vascular epithelial growth factor (VEGF) dan nerve
growth factor (NGF) (Van den Hurk et al. 1997).
Perkembangan folikel berdasarkan morfologinya dapat dibedakan atas
folikel preantral dan folikel antral. Folikel preantral merupakan tahapan folikel
yang belum memiliki antrum sedangkan folikel antral merupakan tahapan folikel
yang telah memiliki antrum. Saat lahir pada korteks ovarium mamalia terdapat
banyak kumpulan folikel primordial dan dapat dipergunakan sebagai sumber
oosit. Folikel primordial yang terdapat pada korteks ovarium memiliki jumlah
yang lebih banyak dibanding folikel antral. Folikel primordial merupakan bentuk
awal dari folikel yang mengandung oosit diselaputi oleh selapis sel somatis
berbentuk pipih. Folikel primordial akan mengalami pertumbuhan menjadi folikel
primer dan sekunder, ketiga bentuk folikel ini digolongkan ke dalam folikel
preantral. Tahap pertama pertumbuhan folikel primordial adalah pembesaran oosit
yang meningkat diameternya menjadi dua sampai tiga kali lipat. Kemudian diikuti
dengan perubahan bentuk lapisan sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit dari
bentuk pipih menjadi kuboid dan tahapan folikel ini disebut folikel primer.
Selanjutnya tahapan pembentukan folikel sekunder adalah proliferasi dari sel
kuboid akan membentuk beberapa lapisan sel granulosa dan terbentuk sebuah
membran (zona pelusida) yang mengelilingi oosit. Oosit dan sel granulosa
berperan dalam proses pembentukan zona pelusida yang mengandung
glikoprotein yang berperan pada proses pelekatan spermatozoa pada oosit (Robker
& Richard 1998).
Pada tahapan folikel primordial dan primer, komunikasi antara oosit
dengan sel granulosa dilakukan melalui jalur endositotik yang ditandai dengan
banyaknya vesikel dan celah pada oosit (Gambar 1) dan setelah memasuki tahap
folikel sekunder, komunikasi dilakukan melalui gap junction yang terbentuk
diantara oosit dan sel granulosa (Hyttel et al. 1997, Hogan et al. 1994).
Komunikasi diantara sel granulosa dan oosit bertanggung jawab terhadap
perubahan biokimia yang penting bagi potensi perkembangan dan proses meiosis
oosit. Nutrisi dan elemen pengatur yang bertanggung jawab terhadap
pertumbuhan oosit dan mempertahankan istirahat meiosis dan juga substrat untuk
pertumbuhan dan pematangan dilewatkan melalui gap junction (Barnes 2000).

Gambar 1 Perkembangan folikel (Hogan et al. 1994).

Sesudah tahap awal pertumbuhan proliferasi, massa sel granulosa


mensekresi cairan folikular yang mengandung estrogen dalam konsentrasi tinggi.
Penumpukan cairan ini menyebabkan munculnya antrum di dalam massa sel
granulosa, tahap ini disebut folikel tersier (Van den Hurk et al. 1997). Diameter
folikel semakin meningkat akibat adanya proliferasi sel granulosa serta
pembentukan antrum folikuli yang semakin membesar karena produksi cairan
folikuli yang semakin meningkat pula sehingga oosit terdesak ke bagian tepi
folikel. Pertumbuhan folikel pada tahap ini akan tergantung pada hormon
gonadotrophin untuk mencapai folikel de Graaf sehingga oosit dapat diovulasikan
(McGee & Hsueh 2000). Berdasarkan keberadaan antrum atau rongga pada folikel
tersier dan de Graaf maka perkembangan folikel tahap ini digolongkan ke dalam
folikel antral.
Proses folikulogenesis disertai dengan proses oogenesis yaitu
pertumbuhan dan perkembangan oosit mencapai pematangan. Pertumbuhan oosit
antara lain peningkatan diameter oosit dan pertambahan ukuran dari organel-
organel. Pertumbuhan oosit disertai dengan perubahan atau perkembangan pada
inti dan sitoplasma. Pada saat lahir, semua oosit primer berada pada fase profase
tahap diploten pembelahan meiosis dan akan tetap bertahan dalam fase ini sampai
mengalami pubertas (Telfer 1996). Diameter oosit pada mencit saat berada dalam
fase profase meiosis I berukuran 20 µm meningkat mencapai diameter 85 µm
pada oosit primer dalam folikel de Graaf (Hogan et al. 1994). Umumnya
perkembangan oosit pada mamalia sampai dengan diovulasikan mengalami dua
fase istirahat yaitu pada tahap profase meiosis I dan tahap metafase II pada
meiosis II (Whitaker 1996). Inti oosit pada folikel berada dalam keadaan istirahat
pada fase G2 atau tahap germinal vesicle (GV) pada pembelahan meiosis I.
Kemudian proses meiosis tersebut akan berlanjut diawali dengan robeknya
membran inti dikenal dengan tahap germinal vesicle breakdown (GVBD), terjadi
kondensasi kromosom inti kemudian oosit memasuki tahap istirahat pada
metafase II dan mengeluarkan polar bodi I (Kidson 2005). Pengeluaran polar bodi
I (Gambar 2) digunakan sebagai ciri atau bukti kematangan inti oosit dan tahapan
ini disebut oosit sekunder (Schramm & Bavister 1999).

Gambar 2 Aktivitas meiosis pada oosit (Johnson & Everitt 1995).


Tahap istirahat oosit pada metafase II karena tingginya aktivitas
maturation/m-phase promoting faktor (MPF) yang bertanggung jawab terhadap
kondensasi kromatin, pecahnya membran inti (GVBD) dan pembentukan
kumparan sitoskeleton. Aktivitas MPF tergantung pada interaksi antara protein
cyclin dan P34cdc2 (Alberior et al. 2001, Barnes 2000). Pembelahan meiosis II
yaitu tahapan metafase II akan berlanjut jika ada sperma yang mampu
mempenetrasi dan membuahi oosit (fertilisasi). Selesainya pembelahan meiosis II
ditandai dengan dilepaskan polar bodi II (Moore 1989). Selain perkembangan inti
selama proses perkembangan oosit juga terjadi penambahan kandungan
sitoplasma oosit dengan meningkatnya jumlah organel seperti retikulum
endoplasmik, ribosom, granul kortek, lipid droplet dan komplek golgi serta
akumulasi mRNA (Hyttel et al. 1997, Cha & Chian 1998).

Autotransplantasi Heterotopik Ovarium


Transplantasi ovarium merupakan tindakan pemindahan sebagian atau
seluruh jaringan ovarium ke daerah yang diinginkan. Berdasarkan hubungan
antara donor dan resipien maka transplantasi ovarium dapat dibedakan atas auto-,
allo- dan xenotransplantasi. Autotransplantasi ovarium adalah pemindahan
jaringan ovarium dilakukan pada individu yang sama (Mohammad et al. 2004),
jaringan ovarium yang dipindahkan dari donor ke individu yang berbeda tapi
masih satu spesies disebut allotransplantasi (Waterhouse et al. 2004) sedangkan
pada xenotransplantasi ovarium pemindahan jaringan ovarium dilakukan pada
individu dengan spesies yang berbeda (Kagawa et al. 2005). Berdasarkan tempat
transplantasi, ovarium dapat ditransplantasikan di tempat semula (orthotopic
transplantation) yaitu bursa ovarium (Candy et al. 2000) dan di tempat lain selain
bursa ovarium (heterotopic transplantation) seperti di daerah subkutan
(Mohammad et al. 2003, Schnorr et al. 2002), kapsula ginjal (Gook et al. 2001,
Liu et al. 2001) dan intraperitoneal (Rosendahl et al. 2006, Salehnia 2002).
Masing-masing tempat transplantasi (ortotopik atau heterotopik) memiliki
keuntungan dan keterbatasan. Transplantasi ortotopik memiliki teknik yang sulit
karena harus dilakukan hati-hati agar bursa ovarium tidak rusak. Transplantasi
pada tempat ini umum dilakukan jika ingin melihat viabilitas ovarium sampai
dihasilkan keturunan akan tetapi teknik transplantasi ini memungkinkan tersisanya
jaringan ovarium asal sehingga menyulitkan evaluasi apakah ovarium yang
berkembang berasal dari jaringan ovarium asal yang tersisa atau ovarium donor
yang ditransplantasikan. Pada transplantasi heterotopik meskipun evaluasi tidak
dapat dilakukan sampai dihasilkan keturunan akan tetapi teknik pengerjaan lebih
mudah dan didapatkan kepastian bahwa ovarium yang berkembang hanya berasal
dari ovarium donor.
Keberhasilan transplantasi ortotopik telah dilaporkan mampu
menghasilkan keturunan melalui perkawinan alamiah (Candy et al. 2000). Pada
transplantasi heterotopik evaluasi tidak dapat dilakukan sampai dihasilkan
keturunan karena tidak memungkinkan untuk terjadi ovulasi dan fertilisasi secara
in vivo. Namun dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada ovarium hasil
transplantasi heterotopik dapat mengalami perkembangan folikel dan resipien
ovarium transplan mampu mengalami siklus estrus secara normal (Schmidt et al.
2003, Schnorr et al. 2002, Mohamad et al. 2004). Keturunan dari transplantasi
heterotopik telah berhasil diperoleh secara in vitro dengan mengkoleksi oosit dari
ovarium transplan dilanjutkan dengan maturasi, fertilisasi dan kultur in vitro
sampai dihasilkan embrio selanjutnya embrio in vitro ditransfer ke induk resipien
dan menghasilkan keturunan (Liu et al. 2001).
Keberhasilan transplantasi ovarium dapat dipengaruhi oleh lokasi
transplantasi, sistem vaskularisasi, besar potongan jaringan serta umur donor dan
resipien. Ovarium mencit telah berhasil ditransplantasikan dengan berbagai
ukuran mulai dari ovarium fetal sampai ovarium dewasa (Cox et al. 1996,
Waterhouse et al. 2004). Pada ovarium dengan ukuran yang lebih besar seperti
domba (Gosden et al. 1994) dan manusia (Callejo et al. 2001), transplantasi
dilakukan menggunakan potongan kortek ovarium dengan ukuran kecil. Pada
daerah kortek ovarium terdapat banyak kumpulan folikel primordial dan
penggunaan potongan daerah kortek ovarium memungkinkan semakin banyak
folikel primordial yang dapat ditransplantasikan. Lokasi transplantasi di bursa
ovarium atau di daerah lain yang kaya dengan pembuluh darah memungkinkan
keberhasilan transplantasi lebih baik dibanding daerah dengan vaskularisasi
kurang memadai. Menurut Mohamad et al. (2004) autotransplantasi di kapsula
ginjal lebih baik dibandingkan di subkutan karena sistem vaskularisasi ginjal lebih
baik dibanding subkutan, sehingga pemulihan fungsi ovarium lebih cepat.

Superovulasi
Individu betina pada saat dilahirkan memiliki sumber oosit dalam jumlah
banyak yang terdapat pada folikel dikedua ovarium namun yang berkembang dan
dapat diovulasikan hanya beberapa karena sisa folikel yang lain akan mengalami
atresia. Hal ini terjadi karena dalam tahap perkembangan folikel antral terdapat
peristiwa rekrutmen, seleksi dan dominan (Savio et al. 1993). Rekrutmen adalah
fase pada pertumbuhan folikel dimana sekelompok folikel antral kecil mulai
tumbuh dan memproduksi estrogen. Setelah melalui rekrutmen, sekelompok
folikel yang sedang tumbuh dan tidak mengalami atresia terseleksi. Folikel yang
terseleksi dapat menjadi dominan atau mengalami atresia. Folikel dominan yang
terseleksi meningkatkan produksi jumlah estrogen dan juga inhibin. Folikel
dominan mengontrol pertumbuhan atau perkembangan folikel lainnya dengan
memproduksi hormon seperti estrogen, inhibin, aktivin dan produk sekresi lainnya
seperti faktor pertumbuhan dan penghambat (Savio et al. 1993, Senger 1999).
Proses perkembangan folikel, ovulasi dan pembentukan corpus luteum
(CL) pada ovarium dipengaruhi oleh sirkulasi hormon reproduksi dalam tubuh.
Gonadotrophin releasing hormone (GnRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus
berfungsi untuk merangsang pengeluaran follicle stimulating hormone (FSH) dan
luteinizing hormone (LH) oleh hipofisa anterior sebagai respon terhadap estrogen
atau progesteron. Selama proses pertumbuhan folikel antral kecil atau tahap
rekrutmen, konsentrasi FSH dan LH mulai meningkat sehingga merangsang
perkembangan folikel dan mulai menghasilkan estrogen dan sejumlah kecil
inhibin. Saat memasuki tahap seleksi, konsentrasi inhibin yang diproduksi oleh
folikel mulai meningkat memberikan efek umpan balik negatif terhadap anterior
hipofisa sehingga menghambat pelepasan FSH. Saat ini peranan FSH dan LH
mulai berubah, konsentrasi FSH mulai menurun dan LH meningkat (Gambar 3).
Folikel yang terseleksi dapat menjadi folikel dominan atau mengalami atresia.
Pada tahap dominan dicirikan dengan konsentrasi FSH lebih rendah dibandingkan
LH, folikel berukuran besar atau dominan mulai memproduksi estrogen dalam
jumlah besar.

Gambar 3 Proses rekrutmen, seleksi dan dominan pada ovarium selama


perkembangan folikel (Senger 1999).

Konsentrasi FSH berkurang karena hambatan dari inhibin yang bersifat


umpan balik negatif terhadap pelepasan FSH dari hipofisa anterior, hal ini
menyebabkan folikel antral lain mengalami atresia. Dari peristiwa ini
menyebabkan terjadi perkembangan folikel dominan yang bersifat ovulatoris dan
non ovulatoris atau disebut folikel pendamping dan hanya beberapa folikel yang
mampu berkembang menjadi dominan ovulatoris dan menekan folikel
pendamping lainnya (Sunderland et al. 1994). Penekanan pertumbuhan oleh
folikel dominan terhadap folikel pendamping selain karena pengaruh inhibin juga
disebabkan oleh estrogen yang dihasilkan pada folikel dominan akan memberi
respon positif terhadap pembentukan reseptor FSH pada sel granulosa sehingga
meningkatkan rangsangan FSH terhadap folikel dominan (Fortune 1994). Folikel
dominan yang mengandung estrogen dan inhibin dengan konsentrasi tinggi
berhubungan dengan penekanan konsentrasi FSH dalam sirkulasi darah dan
kombinasi antara produksi inhibin oleh folikel dominan serta penurunan
konsentrasi FSH dalam suplai darah ke beberapa folikel menyebabkan hambatan
perkembangan folikel (Senger 1999). Penyuntikan hormon pregnant mare’s
serum gonadotrophin (PMSG) yang analog dengan FSH akan mencegah atresi
folikel pendamping yang berukuran besar karena peningkatan konsentrasi FSH
akan meningkatkan jumlah ikatan reseptor FSH pada folikel sehingga merangsang
perkembangan folikel dan meningkatkan jumlah folikel dominan. Apabila
konsentrasi estrogen yang dihasilkan oleh folikel dominan telah mencapai batas
maksimal maka akan memicu lonjakan pengeluaran LH oleh hipofisa anterior
sehingga menyebabkan terjadi ovulasi oosit.
Ovulasi didefinisikan sebagai pelepasan oosit dari folikel dominan dan
panjang waktu ovulasi dapat berbeda-beda diantara hewan tergantung pada siklus
estrusnya. Panjang siklus estrus dan waktu ovulasi dapat dipengaruhi oleh banyak
faktor lingkungan dan dapat pula diinduksi secara buatan dengan penyuntikan
hormon. Untuk meningkatkan jumlah oosit yang akan dikoleksi dapat dilakukan
dengan induksi superovulasi menggunakan PMSG yang memiliki daya kerja
seperti FSH dan human chorionic gonadotropin (hCG) yang memiliki daya kerja
seperti LH. Secara fisiologis hCG tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
folikel tapi berfungsi membantu pecahnya folikel yang matang sehingga terjadi
ovulasi. Induksi superovulasi pada mencit menggunakan PMSG dan hCG
diberikan dengan dosis sebanyak 5 IU/ekor secara intraperitonial (i.p.) dalam
interval waktu 48 jam (Hogan et al. 1994). Efisiensi dari induksi ovulasi
dipengaruhi beberapa faktor seperti perbedaan genetik (Spearow & Barkley 1999)
yaitu strain mencit dan juga respon superovulasi dapat berbeda-beda tergantung
pada spesies, umur dan berat badan (Hogan et al. 1994, Kon et al. 2005).

Pematangan Oosit In Vitro


Pematangan oosit baik secara in vivo atau in vitro meliputi pematangan inti
dan sitoplasma. Proses pematangan inti dan sitoplasma merupakan hal yang
penting bagi oosit untuk mendukung keberhasilan fertilisasi dan perkembangan
embrio (Rodriguez & Farin 2004). Oosit mamalia setelah dilepaskan dari folikel
ovarium dapat melanjutkan pematangan inti secara spontan di dalam medium
kultur secara in vitro. Pematangan oosit secara in vitro dilakukan agar oosit primer
dapat menyelesaikan proses meiosis sehingga berkembang menghasilkan oosit
sekunder yang haploid dan mempunyai kemampuan untuk berhasil terfertilisasi
dan mendukung perkembangan embrio selanjutnya (Hyttel et al. 1997).
Proses pematangan inti ditandai dengan perubahan inti dari tahap diploten
profase meiosis I ke metafase II (Whitaker 1996) yang ditunjukkan dengan
kemampuan membran inti melewati germinal vesicle, kondensasi kromosom,
pelepasan polar bodi I dan istirahat pada metafase II. Pada saat diovulasikan oosit
berada pada tahap istirahat metafase II sampai terjadi aktivasi pada oosit untuk
melanjutkan perkembangan. Inisiasi atau awal meiosis pada oosit dikontrol oleh
maturation/m-phase promoting faktor (MPF) yang aktivitasnya meningkat pada
saat germinal vesicle breakdown (GVBD), maksimum pada metafase I dan
menurun pada metafase II (Crozet et al. 2000). Proses pematangan sitoplasma
melibatkan akumulasi mRNA maternal dan perubahan molekuler dan struktural
antara lain peningkatan yang pesat terhadap jumlah dan ukuran organel seperti
ribosom, butir lemak, golgi, mitokondria dan butir korteks sehingga oosit
memiliki kemampuan untuk mendukung proses fertilisasi dan perkembangan
embrio (Ebner et al. 2003). Kedua pematangan ini harus terjadi sehingga oosit
mempunyai kemampuan untuk mendukung perkembangan setelah fertilisasi.
Efisiensi kematangan sitoplasma termasuk kemampuan oosit untuk menghambat
penetrasi sperma lebih dari satu dan juga mendukung dekondensasi kepala sperma
pada ooplasma saat oosit terfertilisasi. Kematangan inti dapat dievaluasi dengan
pewarnaan sederhana seperti aceto orcein sedangkan pematangan sitoplasma
dapat diketahui secara tidak langsung antara lain dari jumlah blastosis yang
dihasilkan, kandungan glutation pada oosit dan persentase pembentukan
pronukleus jantan (Kidson 2005).
Proses pematangan oosit in vivo dapat ditiru secara in vitro dengan
menggunakan medium dan keadaan yang meniru kondisi in vivo. Sistem kultur in
vitro melibatkan beberapa faktor seperti sumber gas CO2, medium sebagai nutrisi,
substrat (wadah) dan suhu. Medium yang digunakan dalam pematangan oosit
dapat memberikan pengaruh bukan hanya pada oosit tapi juga terhadap
perkembangan embrio. Kondisi kultur suboptimal selama pematangan in vitro
akan menyebabkan abnormalitas oosit yang dapat mempengaruhi pre- atau
postimplantasi embriogenesis (Schramm & Bavister 1999). Medium sebagai
sumber nutrisi untuk mendukung pematangan oosit dapat berupa medium racikan
sederhana dan medium komersial. Berbagai medium yang umum digunakan untuk
pematangan oosit antara lain tissue culture medium (TCM-199) (Mattioli et al.
1994), potassium simplex optimized medium (KSOM) (Gardner & Lane 2000),
Ham’s F10 (Wu et al. 2001), minimal essential medium (MEM) (Waterhouse et
al. 2004), Charles Rosenkrans (CR1aa) (Yulnawati 2006) dan lain sebagainya.
Untuk menunjang keberhasilan proses pematangan sejumlah penelitian telah
dilakukan dengan menambahkan berbagai macam bahan dalam medium untuk
menciptakan medium yang optimum bagi proses pematangan seperti penambahan
protein, hormon gonadotrophin serta antibiotik. Umumnya medium diberi
tambahan protein seperti fetal calf serum (FCS), fetal bovine serum (FBS), bovine
serum albumine (BSA), follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH). Faktor pertumbuhan berperan penting pada pematangan oosit in
vitro seperti penambahan EGF dan TGF mempengaruhi pematangan oosit
(Kobayashi et al. 1994).
Dalam kultur pematangan oosit in vitro selain faktor medium, kualitas
folikel dan oosit juga mempengaruhi tingkat pematangan oosit in vitro.
Keberadaan sel kumulus yang mengelilingi oosit berperan penting untuk
mendukung proses pematangan oosit secara in vitro. Terdapat korelasi positif dari
keberadaan lapisan sel granulosa pada kumulus dan kemampuan perkembangan
embrio (Cobo et al. 1999) karena fungsi sel kumulus menyediakan nutrisi untuk
oosit selama perkembangan folikel. Gonadotrophin berperan untuk menstimuli
proses meiosis pada oosit mamalia dan ekspansi sel kumulus. Ekspansi sel
kumulus merupakan salah satu indikator keberhasilan pematangan oosit secara in
vitro dan menjadi kriteria pemilihan oosit yang akan digunakan dalam proses
fertilisasi in vitro.

Fertilisasi In Vitro
Fertilisasi merupakan proses yang penting dalam kehidupan makhluk
hidup. Proses fertilisasi menandakan dimulainya kehidupan organisme baru
dengan terjadinya penggabungan informasi genetik jantan dan betina melalui
peleburan sperma dan oosit. Proses fertilisasi bukan hanya peristiwa
penggabungan informasi genetik jantan dan betina saja, akan tetapi dalam proses
ini melibatkan banyak hal yang sangat komplek. Proses yang terkait dalam
fertilisasi (Gambar 4) antara lain kapasitasi, reaksi akrosom, pengikatan sperma
dengan oosit, penetrasi sperma ke zona pelusida pada oosit, peleburan antara
membran sperma dan oosit, pencegahan polispermia dan diakhiri dengan
peleburan pronukleus sperma dan oosit (Tulsiani et al. 1997).

Gambar 4 Interaksi oosit-sperma dalam proses fertilisasi (Hafez & Hafez 2000).

Secara in vivo fertilisasi terjadi di tuba Falopii saluran kelamin betina


sedangkan proses fertilisasi secara in vitro dapat dilakukan pada medium yang
dikondisikan. Hambatan dalam teknik fertilisasi in vitro adalah kondisi yang tidak
sesuai dengan in vivo sehingga harus diatasi dengan menggunakan medium yang
sesuai dengan kondisi in vivo. Dalam proses fertilisasi secara in vitro, sumber
oosit dapat berasal dari induk betina yang mengalami ovulasi atau superovulasi
atau dari folikel preantral dan antral setelah melalui tahapan kultur in vitro untuk
memperoleh oosit yang matang (Liu et al. 2000, 2001). Sperma yang digunakan
untuk fertilisasi in vitro dapat berasal dari epididimis atau sperma ejakulat. Agar
sperma mampu melakukan fertilisasi dengan oosit, sperma harus mengalami
serangkaian perubahan yaitu pematangan dan kapasitasi. Sperma mengalami
pematangan selama berada di epididimis sebelum diejakulasikan. Perubahan yang
terjadi pada sperma selama pematangan antara lain penghilangan sisa sitoplasma
(cytoplasmic droplet), perubahan permukaan plasma membran dan memperoleh
kemampuan motilitas. Setelah mengalami pematangan, sperma masih belum siap
untuk membuahi oosit. Sperma harus melalui tahap kapasitasi agar mempunyai
kemampuan untuk penetrasi ke dalam oosit (Garner & Hafez 2000).
Kapasitasi secara in vivo terjadi pada saluran kelamin betina dan proses
kapasitasi dapat dilakukan secara in vitro dengan inkubasi di dalam suatu medium
tertentu. Awal mula proses kapasitasi in vitro dilakukan menggunakan cairan
oviduk, cairan folikel atau serum darah namun kemajuan dan kemudahan
kapasitasi in vitro dapat dilakukan atau berhasil dilakukan menggunakan
chemically defined medium (Yanagimachi 1988) yang mengandung bovine serum
albumine (BSA) dan sumber energi seperti glukosa dan piruvat (Tulsiani et al.
1997). Medium kapasitasi dan fertilisasi in vitro yang telah digunakan antara lain
seperti KSOM (Summers et al. 2000), Whittingham’s medium (Bagis et al. 2001),
Tyrode’s medium (Waterhouse et al. 2004) pada mencit, Ham’s F10 medium pada
manusia (Wu et al. 2001), CR1aa pada domba (Yulnawati 2006) dan lain
sebagainya. Penambahan suplemen seperti kafein atau heparin dalam medium
kapasitasi dapat meningkatkan kemampuan kapasitasi sperma (Tatham 2000,
O’Flaherty et al. 2006).
Dalam proses kapasitasi terjadi perubahan pada sperma antara lain
perubahan pergerakan sperma menjadi lebih aktif (hiperaktivasi), perubahan
permeabilitas membran sperma, perubahan konsentrasi ion intraseluler, perubahan
akrosom dan perubahan membran plasma (Yanagimachi 1988). Perubahan
permeabilitas membran menyebabkan ion–ion kalsium (Ca2+) ekstraseluler dapat
masuk dan menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler. Disamping
peningkatan Ca2+ juga terjadi perubahan konsentrasi kalium (K+) dan natrium
(Na+) intraseluler. Kalsium merupakan komponen yang penting dalam proses
transisi sperma dari bersifat non fertilizing menjadi fertilizing. Kalsium
bertanggung jawab terhadap sistem adenylate cyclase-cyclic AMP sehingga
meningkatkan konsentrasi cAMP. Kalsium juga terlibat dalam aktivasi perubahan
proakrosin menjadi akrosin pada reaksi akrosom. Peningkatan konsentrasi Ca2+
intraseluler merupakan hal yang penting dalam fusi atau peleburan membran
antara sperma dengan oosit dan hal ini berhubungan dengan reaksi akrosom
(Fraser 1982).
Setelah proses kapasitasi, sperma dapat melakukan eksositosis akrosom
(reaksi akrosom) dengan tujuan agar dapat menembus zona pelusida serta
melakukan peleburan dengan plasma membran oosit. Reaksi akrosom adalah
proses yang ditandai dengan peleburan membran luar akrosom dengan plasma
membran sperma. Peleburan ini menyebabkan pelepasan isi akrosom dan
membukanya membran dalam akrosom (Brown et al. 2002). Peleburan antara
kedua membran ini disebut proses vesikulasi dengan terbentuknya banyak vesikel
kecil (Gambar 5). Adanya proses vesikulasi membran akrosom menandakan
terjadinya reaksi akrosom (Senger 1999). Selanjutnya setelah reaksi akrosom,
terjadi interaksi baru antara membran dalam akrosom dengan zona pelusida.
Pelepasan enzim akrosom (termasuk hialuronidase dan akrosin) bersama dengan
motilitas sperma yang hiperaktif memungkinkan penetrasi sperma melalui zona
diikuti pelekatan sperma pada oolema (plasma membran oosit).

Gambar 5 Perubahan pada sperma selama reaksi akrosom (Senger 1999).

Selama penetrasi sperma ke dalam oosit, peningkatan konsentrasi Ca2+


intraseluler mengakibatkan peleburan kortikal granul dengan lapisan terluar
oolema dan melepaskan isinya ke ruang perivitelin (reaksi kortikal). Kesalahan
distribusi kortikal granul setelah penetrasi sperma in vitro dapat mempengaruhi
pembentukan lapisan kortikal granul dan menyebabkan tidak efektifnya
penahanan terhadap polispermi (Kim et al. 1996). Penetrasi sperma ke dalam oosit
akan menyebabkan penyelesaian pembelahan meiosis II yang ditandai dengan
terbentuknya polar bodi II. Selanjutnya kromosom oosit akan membentuk
pronukleus betina dan kepala sperma akan mengalami dekondensasi dan
kemudian membentuk pronukleus jantan. Perangsangan oleh sperma pada oosit
matang akan menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler sehingga
menurunkan aktifitas maturation/m-phase promoting faktor (MPF) dan mitogen-
activated protein (MAP) kinase. Inaktifasi dari MPF dan MAP kinase saat
fertilisasi berhubungan dengan pelepasan polar bodi II dan pembentukan
pronukleus (Kikuchi et al. 2000).
Kondisi pematangan oosit, ekspansi sel kumulus dan sistem kapasitasi
sperma in vitro yang kurang memadai bertanggung jawab terhadap penundaan dan
rendahnya angka penetrasi. Pematangan sitoplasma melibatkan sejumlah
modifikasi struktur dan metabolik yang dipersiapkan untuk rangkaian fertilisasi
(Ebner et al. 2003). Keberhasilan fertilisasi in vitro dari oosit yang berasal dari
pematangan in vitro tergantung pada metode dan kondisi kultur pematangan.
Kondisi kultur pematangan mempengaruhi faktor sitoplasmik yang
mempengaruhi kemampuan oosit untuk melalui fertilisasi dan berhasilnya
embriogenesis (Cobo et al. 1999).

Perkembangan Embrio In Vitro


Oosit yang dihasilkan melalui proses pematangan dan fertilisasi in vitro
telah berhasil dikembangkan secara in vitro menjadi embrio di dalam medium
kultur seperti KSOM (Liu et al. 2001), TCM-199 (Laurincik et al. 1994), CR1aa
(Yulnawati 2006), synthetic oviduct fluid (SOF) (Krisher et al. 1999) atau medium
dengan komposisi bahan kimia tertentu (chemically defined medium) (Erbach et
al. 1994, Yoshioka et al. 2002) dan lain sebagainya. Metode kultur embrio secara
in vitro sangat mempengaruhi keberhasilan perkembangan embrio lebih lanjut dan
proses implantasi pada resipien (Petters 1992). Hambatan dalam produksi embrio
secara in vitro adalah terjadinya fenomena cell block pada pertumbuhan embrio.
Hambatan ini sering terjadi pada tahap awal perkembangan embrio atau tahap
embrio preimplantasi. Pada embrio tikus dan mencit, hambatan perkembangan
terjadi pada tahap dua sel sedangkan embrio sapi dan domba mengalami hambatan
perkembangan pada tahap delapan sel.
Usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi hambatan perkembangan
pada embrio antara lain penggunaan sistem ko-kultur dengan sel-sel somatis
seperti monolayer sel-sel kumulus (Malekshah & Moghaddam 2005), sel-sel
epitel tuba Falopii (Hendri 1997) atau penggunaan chemically defined medium
yang diberi tambahan asam amino (Booth et al. 2005) dan bahan-bahan growth
factor tertentu. Menurut Gordon (1994) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan perkembangan embrio in vitro seperti jenis medium
yang digunakan, penambahan serum, substrat energi, sistem inkubasi (suhu, fase
gas, pH, osmolalitas medium, kualitas air), penggunaan ko-kultur sel epitel tuba
Falopii dan sel kumulus.
Medium kultur yang digunakan dapat mempengaruhi metabolisme dari
embrio yang dihasilkan (Krisher et al. 1999). Pada beberapa penelitian terhadap
perkembangan embrio, hambatan perkembangan embrio in vitro tergantung pada
substrat energi seperti tahap awal pembelahan pada embrio babi dipengaruhi oleh
piruvat dan pada mencit atau hamster dipengaruhi oleh glukosa (Kiernan et al.
1991). Selama perkembangan awal embrio preimplantasi, glukosa berada dalam
jumlah yang rendah pada embrio mencit dan manusia. Setelah aktifasi genom
embrio pada tahap 2-4 sel pada mencit dan 4-8 sel pada manusia, terdapat
penurunan piruvat pada mencit tapi tidak pada manusia dan lonjakan glukosa pada
keduanya (Conaghan et al. 1993). Gangguan metabolisme embrio, kemampuan
kapasitasi, kemampuan signaling dan perkembangan maternal berhubungan
dengan lingkungan yang suboptimal baik secara in vivo atau in vitro yang akan
mengaktifkan kondisi stres atau tekanan hal ini akan merangsang embrio untuk
mempertahankan keseimbangan homeostatik (Fleming et al. 2004).
Perkembangan tahap awal embrio tergantung pada lingkungan mikro
pematangan oosit (Kidson 2005). Ketika proses pematangan oosit in vitro tidak
memberikan lingkungan yang cocok bagi oosit, walaupun dapat terbentuk
kematangan inti dan terjadi fertilisasi setelah IVF namun hasil akhir adalah
rendahnya nilai kualitas blastosis/embrio yang dihasilkan (Lucidi et al. 2003).
Tidak cukup proses pematangan sitoplasma pada oosit akan mempengaruhi
perpindahan atau pertukaran kontrol perkembangan maternal ke embrio dan
menghasilkan perkembangan yang salah (Vassena et al. 2003). Menurut Laurincik
et al. (2000) tahap pembelahan 1-3 sel tergantung pada maternal genom dan lebih
dari 3 sel akan tergantung pada embrionik genom, tahapan ini merupakan keadaan
yang sangat kritis karena terjadi transisi maternal-embrionik genom.

Anda mungkin juga menyukai