Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

GAGAL NAFAS

Disusun Oleh:

NIKA MEI HENDRA NINGRUM

2019040728

STASE KEGAWATDARURATAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

FAKULTAS SAINS DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS AN NUUR

2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI

Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk

mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida

(PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau perfusi

(Susan, 2007). Gagal nafas adalah ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan

tekanan parsial normal O2 dan atau CO2 didalam darah. Gagal nafas adalah suatu

kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida,

sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi metabolisme tubuh. Gagal nafas

adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan

karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi metabolisme

tubuh. Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga

terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan

asidosis. Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau

seluruh proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi.

Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan

pertukaran oksigen dan karbondioksida yang dapat mengakibatkan gangguan pada

kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2009). Gagal napas merupakan kondisi di


mana kadar oksigen yang masuk ke dalam darah melalui paru sangat rendah.

Sementara itu, untuk bekerja dengan baik, organ tubuh seperti jantung dan otak

memerlukan darah yang kaya oksigen. Tak hanya itu, gagal napas juga terjadi lantaran

kadar karbon dioksida dalam darah lebih tinggi dari pada kadar oksigen. Gagal napas

terjadi karena adanya kegagalan dalam proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida

di kantung-kantung udara kecil di paru-paru (alveoli), atau ketidakmampuan paru-

paru untuk melakukan tugas dalam proses pertukaran gas. Pertukaran gas yang

dimaksud adalah mengirim oksigen dari udara yang dihirup ke dalam darah dan

menyingkirkan karbon dioksida dari darah ketika mengembuskan napas. Gagal napas

juga dapat disebabkan oleh gangguan pada pusat pernapasan di otak, atau pun

kegagalan otot-otot pernapasan untuk mengembangkan paru-paru.


Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida

dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan

karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen

kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih

besar dari 45 mmHg (hiperkapnia) (Brunner & Sudarth, 2010).

Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak cukup

masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung dan otak,

membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan baik. Kegagalan

pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat membuang karbon dioksida

dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida dalam darah dapat membahayakan organ

tubuh (National Heart, lung, 2011). Keadaan ini disebabkan oleh pertukaran gas

antara paru dan darah yang tidak adekuat sehingga tidak dapat mempertahankan PH,

PO2, dan PCO2, darah arteri dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa

atau disertai hiperkapnia (Arifputera, 2014).

B. Klasifikasi

Menurut Syarani (2017), gagal nafas dibagi menjadi dua yaitu gagal nafas tipe I

dan gagal nafas tipe II.

1. Gagal nafas tipe I


Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi darah,

ditandai dengan PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau menurun. Gagal napas

tipe I ini terjadi pada kelainan pulmoner dan tidak disebabkan oleh kelainan

ekstrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia terutama terjadi akibat :

a. Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah mengalir ke

bagian paru yang ventilasinya buruk atau rendah. Keadaan ini paling sering.

Contohnya adalah posisi (terlentang di tempat tidur), ARDS, atelektasis,

pneumonia, emboli paru, dysplasia bronkupulmonal

b. Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membrane alveolar atau

pembentukan cairan interstitial pada sambungan alveolar-kapiler. Contohnya

adalah edema paru, ARDS, pneumonia interstitial


c. Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area paru-paru yang

tidak pernah mengalami ventilasi. Contohnya adalah malformasi arterio-vena

paru, malformasi adenomatoid kongenital.

2. Gagal nafas tipe II

Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2, pada

umumnya disebabkan olehkegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2

(peningkatan PaCO2 atau hiperkapnia) disertai dengan penurunan PH yang

abnormal dan penurunan PaO2 atau hipoksemia. Kegagalan ventilasi biasanya

disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan ekstrapulmonal. Hiperkapnia yang

terjadi karena kelainan ekstrapulmonal dapat disebabkan karena penekanan

dorongan pernapasan sentral atau gangguan pada respon ventilasi.

Menurut Black and Hawks (2014), pada pasien gagal nafas akut

diklasifikasikan menjadi dua yaitu gagal nafas hipoksemia dan gagal nafas

ventilasi atau hiperkapnia.

a. Gagal nafas hipoksemia

Gagal nafas hipoksemia dapat disebabkan masalah difusi seperti edema

paru, nyaris tenggelam, sindrom gawat nafas (akut) dewasa (adult/acute

respiratory distress syndrome), masalah lokal seperti pneumonia, pendarahan


rongga dada dan tumor paru

b. Gagal nafas ventilasi atau hiperkapnia

Gagal nafas ventilasi atau hiperkapnia adalah ketika klien tidak dapat

mendukung pertukaran gas yang adekuat, menyebabkan kenaikan kadar

PaCO2 yang berakibat pada deprsi susunan saraf pusat, ketidakmampuan

neuromuscular untuk mempertahankan pernafasan atau bebab berlebih pada

sistem pernafasan.

Sedangkan menurut Ariputera (2014), gagal nafas terbagi menjadi :

1. Gagal nafas akut

Gagal nafas yang timbul pada pasien yang paru-parunya normal secara

struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. 


2. Gagal nafas kronis

Terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik,

emfisema dan penyakit paru hitam.

C. Etiologi

Beberapa mekanisme timbulnya gagal napas pada beberapa penyakit adalah

sebagai berikut :

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan Asma

Kerusakan jaringan paru pada PPOK seperti penyempitan saluran napas,

fibrosis, destruksi parenkim membuat area permukaan alveolar yang kontak

langsung dengan kapiler paru secara kontinu menurun, membuat terganggunya

difusi O2 dan eliminasi CO2 (Sundari, 2013).

2. Pneumonia

Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan toksin dan memicu reaksi

inflamasi dan mensekresikan mucus. Mucus membuat area permukaan alveolar

yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu menurun, membuat

terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2 (Sundari, 2013).

3. Tubercolosis

Pulmonal Pelepasan besar mycobacteria ke sirkulasi pulmonal menyebabkan


terjadi peradangan, endarteritis obliteratif dan kerusakan membrane

alveolokapiler, sehingga menyebabkan pertukaran gas terganggu (Raina et al.,

2013).

4. Tumor paru

Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas membuat ventilasi dan

perfusi tidak adekuat (American Association for Respiratory Care, www.aarc.org

American Lung Association, 2009).

5. Pneumotoraks

Pneumotoraks adalah adanya udara di dalam ruang pleura yang menghalangi

ekspansi paru sepenuhnya. Ekspansi paru terjadi jika lapisan pleura dari dinding

dada dan lapisan visera dari paru-paru dapat memelihara tekanan negative pada
rongga pleura. Ketika kontinuitas sistem ini hilang, paru akan kolaps,

menyebabkan pneumothoraks (Black and Hawks, 2014).

6. Efusi Pleura

Efusi pleura adalah penumpukan cairan pada rongga pleura. Cairan pleura

normalnya merembes secara terus-menerus ke dalam rongga dada dari kapiler-

kapiler yang membatasi pleura parietalis dan diserap ulang oleh kapiler dan sistem

limfatik pleura viseralis. Kondisi apapun yang mengganggu sekresi atau drainase

dari cairan ini akan menyebabkan efusi pleura (Black and Hawks, 2014).

Menurut Ariputera (2014), etiologi gagal nafas yaitu :

1. Kelainan di luar paru-paru

a. Penekanan pusat pernapasan

1) Takar lajak obat (sedative, narkotik)

2) Trauma atau infark selebral

3) Poliomyelitis bulbar

4) Ensefalitis

b. Kelainan neuromuscular

1) Trauma medulaspinalis servikalis

2) Sindroma guilainbare
3) Sklerosis amiotropik lateral

4) Miastenia gravis

5) Distrofi otot

c. Kelainan Pleura dan Dinding Dada

1) Cedera dada (fraktur iga multiple)

2) Pneumotoraks tension

3) Efusi leura

4) Kifoskoliosis (paru-paru abnormal)

5) Obesitas: sindrom Pickwick

2. Kelainan Intrinsic Paru-Paru

a. Kelainan Obstruksi Difus


1) Emfisema, Bronchitis Kronis (PPOM)

2) Asma, Status asmatikus

3) Fibrosis kistik

b. Kelainan Restriktif Difus

1) Fibrosis interstisial akibat berbagai penyebab (seperti silica, debu batu

barah)

2) Sarkoidosis

3) Scleroderma

4) Edema paru-paru

5) Kardiogenik

6) Nonkardiogenik (ARDS)

7) Atelektasis

8) Pneumoni yang terkonsolidasi

c. Kelainan Vaskuler Paru-Paru

1) Emboli paru-paru

D. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari gagal nafas menurut Restina (2015) sebagai berikut :

1. Gagal nafas total


2. Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan

3. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga serta

tidak ada pengembangan dada pada inspirasi

4. Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan

5. Gagal nafas parsial

6. Terdengar suara nafas tambahan gurgling, snoring, dan wheezing

7. Ada retraksi dada

8. Hiperkapnia, yaitu penurunan kesadaran (PCO2)

9. Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun)


Menurut Arifputra (2014) Dikatakan gagal napas jika memenuhi salah satu

keriteria yaitu PaO2 arteri 45 mmHg, kecuali peningkatan yang terjadi kompensasi

alkalosis metabolic. Selain itu jika menurut klasifikasinya sebagi berikut :

1. Gagal napas hipoksemia

Nilai PaCO2 pada gagal napas tipe ini menunjukkan nilai normal atau rendah.

Gejala yang timbul merupakan campuran hipoksemia arteri dan hipoksia jaringan,

antara lain :

a. Dispneu (takipneu, hipeventilasi)

b. Perubahan status mental, cemas, bingung, kejang, asidosis laktat

c. Sinosis di distal dan sentral (mukosa,bibir)

d. Peningkatan simpatis, takikardia, diaforesis, hipertensi

e. Hipotensi , bradikardia, iskemi miokard, infark, anemia, hingga gagal jantung

dapat terjadi pada hipoksia berat

2. Gagal napas hiperkapnia

Kadar PCO2 yang cukup tinggi dalam alveolus menyebabkan pO2 alveolus dari

arteri turun. Hal tersebut dapat disebabkan oleh gangguan di dinding dada, otot

pernapasan, atau batang otak. Contoh pada PPOK berat, asma berat, fibrosis paru

stadium akhir, ARDS berat atau landry guillain barre syndrome. Gejala
hiperkapnia antara lain penurunan kesadaran, gelisah, dispneu (takipneu,

bradipneu), tremor, bicara kacau, sakit kepala, dan papil edema

E. Patofisiologi

Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,

frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari 20x/mnt tindakan yang

dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi

sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20

ml/kg).

Penyebab terpenting dari gagal nafas adalah ventilasi yang tidak adekuat

dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan

pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien
dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia

dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga

pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi

bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan

dengan efek yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiod.

Penemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.

Menurut Black and Hawks (2014), patofisiologi gagal nafas hipoksemia dan

Gagal nafas ventilasi atau hiperkapnia adalah sebagai berikut :

1. Gagal nafas hipoksemia

Pada gagal nafas hipoksemia salaha satu penyebabnya dalah edema paru yang

dapat diakibatkan bebererapa penyakit seperti acute respiratory distress syndrome

(ARDS). Normalnya cairan bergerak dari ruang intertisial pada ujung arteri

kapiler sebagai hasil dari tekanan hidrostatik di pembuluh darah, dan kembali ke

ujung vena kapiler karena adanya tekanan onkotik dan peningkatan tekanan

hidrostatik intertisial. Pergerakan cairan dalam paru tidak berbeda, sering

ditemukan cairan di ruang intertisial paru.

Normalnya cairan tersebut keluar dari sirkulasi mikro dan masuk ke intertisial

untuk menyediakan nutrisi pada sel-sel paru. Peningkatan tekanan hidrostatik di


pembuluh darah paru menyebabkan ketidakseimbangan gaya starling,

mnyebabkan peningkatan filtrasi cairan ke ruang intertisial paru sehingga mlebihi

kemampuan kapasitas jaringan limfatik untuk menyalurkan cairan tersebut.

Meningkatkan volume kebocoran ke ruang alveolus. Sistem limfatik berusaha

mengkompensasi hal trsebut dengan mengeluarkan cairan intertisial yang berlebih

ke kelenjar getah being hilus dan kembali ke sistem vaskuler. Bila jalur tersebut

terganggu, cairan bergerak dari intertisial pleura ke dinding alveolus. Hipoksemia

terjadi ketika membran alveolus menebal oleh cairan, menghambat pertukaran

oksigen dan CO2. Dengan cairan menumpuk diintertisial dan ruang alveolus

menurunkan daya kembang paru dan difusi oksigen terganggu.

2. Gagal nafas ventilasi atau hiperkapnia


Ventilasi alveolus dijaga oleh susuan syaraf pusat (SSP) melalui saraf dan otot

pernafasan untuk mengontrok pernafasan. Kegagalan ventilasi alveolus

menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi perfusi yang mengakibatkan

hiperkapnia (kenaikan kadar CO2), dan akhirnya terjadi asidosis. Bila tidak

ditangani gagal ventilasi akut dapat menyebabkan kematian. Pada gagal ventilasi

akibat obstruksi, tekanan residu diparu mengganggu proses inhalasi dan

meningkatkan beban kerja pernafasan. ketika volume alveolus ekspirasi akhir

tetap brada diatas titik penutupan kritisnya, alvelous tetap terbuka dan berfungsi,

memungkinkan oksigen untuk berdifusi kedalam aliran darah.

Jika volume alveolus lebih rendah dari titik penutupan, alveolus akan kolaps.

Kolapsnya alveolus menyebabkan tidak ada aliran darah dan oksigen yang masuk

ke alveolus. Pada gagal ventilasi akut , volume rsidu dan kapasitas resdiu

fungsional munurun, menyebabkan perfusi tanpa oksigenasi dan penurunan daya

kembang.

F. Komplikasi

Komplikasi kegagalan pernapasan akut dapat berupa penyakit paru,

kardiovaskular, gastrointestinal (GI), penyakit menular, ginjal, atau gizi.Komplikasi

GI utama yang terkait dengan gagal napas akut adalah perdarahan, distensi lambung,
ileus, diare, dan pneumoperitoneum. Infeksi nosokomial, seperti pneumonia, infeksi

saluran kemih, dan sepsis terkait kateter, sering terjadi komplikasi gagal napas

akut.Ini biasanya terjadi dengan penggunaan alat mekanis.

Komplikasi gizi meliputi malnutrisi dan pengaruhnya terhadap kinerja pernapasan

dan komplikasi yang berkaitan dengan pemberian nutrisi enteral atau parenteral

(Kaynar, 2016). Komplikasi pada paru-paru itu seperti pneumonia, emboli paru,

barotrauma paru-paru, fibrosis paru. Komplikasi yang berhubungan dengan mesin dan

alat mekanik ventilator pada pasien gagal napas juga banyak menimbulkan

komplikasi yaitu infeksi, desaturasi arteri, hipotensi, barotrauma, komplikasi yang

ditimbulkan oleh dipasangnya intubasi trakhea adalah hipoksemia cedera otak, henti

jantung, kejang, hipoventilasi, pneumotoraks, atelektasis. Gagal napas akut juga


mempunyai komplikasi di bidang gastrointestinal yaitu stress ulserasi, ileus dan diare

(Putri, 2013). Kardiovaskular memiliki komplikasi hipotensi, aritmia, penurunan

curah jantung, infark miokard, dan hipertensi pulmonal.Komplikasi pada ginjal dapat

menyebabkan acute kidney injury dan retensi cairan. Resiko terkena infeksi pada

pasien gagal napas juga cukup tinggi yaitu infeksi nosokomial, bakteremia, sepsis dan

sinusitis paranasal (Putri, 2013).

Menurut Arifputera (2014), komplikasi dari gagal ginjal meliputi :

1. Paru: emboli paru, fibrosis dan komplikasi sekunder penggunaan ventilator

(seperti, emfisema kutis dan pneumothoraks).

2. Jantung: cor pulmonale, hipotensi, penurunan kardiak output, aritmia, perikarditis

dan infark miokard akut.

3. Gastrointestinal: perdarahan, distensi lambung, ileus paralitik , diare dan

pneumoperitoneum. Stress ulcer sering timbul pada gagal napas.

4. Polisitemia (dikarenakan hipoksemia yang lama sehingga sumsum tulang

memproduksi eritrosit, dan terjadilah peningkatan eritrosit yang usianya kurang

dari normal).

5. Infeksi nosokomial: pneumonia, infeksi saluran kemih, sepsis.

6. Ginjal: gagal ginjal akut dan ketidaknormalan elektrolit asam basa.


7. Nutrisi: malnutrisi dan komplikasi yang berhubungan dengan pemberian nutrisi

enteral dan parenteral (Alvin Kosasih, 2008).

G. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Syarani (2017), adapun pemeriksaaan penunjang untuk pasien dengan

gagal anafs adalah sebagai berikut :

1. Laboratorium

a. Analisa Gas Darah

Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik. Jika

gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisa gas darah harus dilakukan

untuk memastikan diagnosis, membedakan gagal napass akut dan kronik. Hal

ini penting untuk menilai berat-ringannya gagal napas dan mempermudahkan


peberian terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk patokan terapi oksigen dan

penilian obyektif dalam berat - ringan gagal napas. Indikator klinis yang

paling sensitif untuk peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan laju

pernapasan. Sedangkan kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan

respirasi akibat neuromuscular, misalnya pada sindroma guillain-barre,

dimana kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan.

Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi 2 bagian, yaitu gangguan

keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi jaringan.

b. Pulse Oximetry

Alat ini mengukur perubahan cahaya yang yang ditranmisikan melalui

aliran darah arteri yang berdenyut. Informasi yang di dapatkan berupa saturasi

oksigen yang kontinyu dan noninvasif yang dapat diletakkan baik di lobus

bawah telinga atua jari tangan maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi

perifer yang kecil, tidak akurat. Hubungan antara saturasi oksigen dantekanan

oksigen dapat dilihat pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Nilai kritisnya

adalah 90%, dibawah level itu maka penurunan tekanan oksigen akan lebih

menurunkan saturasi oksigen.

c. Capnography
Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar

karbondioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain untuk

kofirmasi intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi apparatus serta gangguan

fungsi paru.

2. Radiologi

a. Radiografi Dada

Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal

napas tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoner kardiogenik

dan nonkardiogenik

b. Ekokardiografi
Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya dilakukan

pada pasien dengan dugaan gagal napas akut karena penyakit jantung. Adanya

dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada yang abnormal atau regurgitasi

mitral berat menunjukkan edema pulmoner kardiogenik, Ukuran jantung yang

normal, fungsi sistolik dan diastolik yang normal pada pasien dengan edema

pulmoner menunjukkan sindromdistress pernapasan akut. Ekokardiografi

menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri pulmoner dengan tepat untuk

pasien dengan gagal napas hiperkapnik kronik.

d. Pulmonary Function Tests (PFTs), dilakukan pada gagal napas kronik

Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan forced vital

capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan di pusat control

pernapasan. Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan

napas, penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang tetap

menunjukkan penyakit paru restriktif. Gagal napas karena obstruksi jalan

napas tidak terjadi jika nilai FEV1 lebih dari 1 L dan gagal napas karena

penyakit paru restriktif tidak terjadi bila nilai FVC lebih dari 1 L.

H. Penatalaksanaan Medis

Jika tekanan parsial oksigen kurang dari 70 mmHg, oksigen harus diberikan untuk
meningkatan saturasi mayor yaitu 90%. Jika tidak disertai penyakit paru obstruktif,

fraksi inspirasi O2 harus lebih besar dari 0,35. Pada pasien yang sakit parah,

walaupun pengobatan medis telah maksimal, NIV (Noninvasive ventilation) dapat

digunakan untuk memperbaiki oksigenasi, mengurangi laju pernapasan dan

mengurangi dyspnoea. Selain itu, NIV dapat digunakan sebagai alternatif intubasi

trakea jika pasien menjadi hiperkapnia (Forte et al., 2006).

Sedangkan menurut Gallo et, all (2013), penatalaksanaan pada gagal nafas adalah:

1. Memasang dan mempertahankan jalan nafas yang adekuat

2. Meningkatkan oksigenasi

3. Koreksi gangguan asam basa

4. Memperbaiki kesimbangan cairan dan elektrolit


5. Mengidentifikasi dan terapi kondisi mendasar yang dapat dikoreksi dan pnyebab

presipitasi

6. Pencegahan dan deteksi dini komplikasi potensial

7. Memberikan dukungan nutrisi

8. Pengkajian periodeik mengenai proses, kemajuan dan respon terhadap therapy

9. Determinasi kebutuhan akan ventilasi mekanis

10. Atasi atau cegah terjadinya atelektasis, overload cairan, bronkospasme, sekret

trakeobronkial yang meningkat, dan infeksi.

11. Kortikosteroid jangan digunakan secara rutin. Kortikosteroid Metilpretmisolon

bisa digunakan bersamaan dengan bronkodilator ketika terjadi bronkospasme dan

inflamasi. Ketika penggunaan IV kortikoteroid mempunyai  reaksi onset cepat.

Kortikosteroid dengan inhalasi memerlukan 4-5 hari untuk efek optimal terapy

dan tidak digunakan untuk gagal napas akut. Hal yang perlu diperhatikan dalam

penggunaan IV kortikosteroid, Monitor tingkat kalium yang memperburuk

hipokalemia yang disebabkan diuretik. Penggunaan jangka panjang menyebabkan

insufisiensi adrenalin.

12. Perubahan posisi dari posisi tiduran menjadi posisi tegak meningkatkan volume

paru yang ekuivalan dengan 5-12 cm H2O PEEP.


13. Drainase sekret trakeobronkial yang kental dilakukan dengan pemberian

mukolitik, hidrasi cukup, humidifikasi udara yang dihirup, perkusi, vibrasi dada

dan latihan batuk yang efektif.

14. Pemberian antibiotika untuk mengatasi infeksi.

15. Bronkodilator diberikan apabila timbul bronkospasme.

16. Penggunaan intubasi dan ventilator apabila terjadi asidemia, ipoksemia dan

disfungsi sirkulasi yang prospektif (Lewis, 2011).

I. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Airway

1) Peningkatan sekresi pernapasan


2) Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi

b. Breathing

1) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu,

retraksi.

2) Menggunakan otot aksesori pernapasan

3) Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis

c. Circulation

1) Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia

2) Sakit kepala

3) Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk

4) Papiledema

5) Penurunan haluaran urine

d. Pemeriksaan fisik

1) Sistem pernafasaan

 Inpeksi : kembang kembis dada dan jalan nafasnya

 Palpasi : simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernafasaan

tertinggal

 Perkusi : suara nafas ( sonor, hipersonor atau pekak)


 Auskultasi : suara abnormal (wheezing dan ronchi)

2) Sistem Kardiovaskuler

 Inspeksi : adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari daerah

trauma

 Palpasi : bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral

 Perkusi : Suara pekak

 Auskultasi : suara detak jantung menjauh atau menurun dan adakah

denyut jantung paradok

3) Sistem neurologis

 Inpeksi : gelisah atau tidak gelisah, adakah jejas di kepala


 Palpasi : kelumpuhan atau laterarisasi pada anggota gerak. Bagaimana

tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan Glasgow Coma

Scale

e. Pemeriksaan sekunder

1) Aktifitas

 Gejala : kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap.

 Tanda : takikardi, dispnea pada istirahat atau aktifitas

2) Sirkulasi

 Gejala : riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah

tekanan darah, diabetes mellitus, gagal nafas.

 Tanda : tekanan darah dapat normal / naik / turun, perubahan postural

dicatat dari tidur sampai duduk atau berdiri, nadi dapat normal , penuh

atau tidak kuat atau lemah / kuat kualitasnya dengan pengisian kapiler

lambat, tidak teratus (disritmia), bunyi jantung ekstra S3 atau S4

mungkin menunjukkan gagal jantung atau penurunan kontraktilits atau

komplain ventrikel, bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi

otot jantung, irama jantung dapat teratur atau tidak teratur, edema,

pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa atau bibir.
3) Eliminasi

 Tanda : bunyi usus menurun.

4) Integritas ego

 Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati,

perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan,

khawatir tentang keuangan , kerja , keluarga.

 Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah,

marah, perilaku menyerang, focus pada diri sendiri, koma nyeri.

5) Makanan atau cairan

 Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau terbakar


 Tanda : penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah,

perubahan berat badan

6) Hygiene

 Gejala atau tanda      : kesulitan melakukan tugas perawatan

7) Neurosensori

 Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau

istrahat

 Tanda : perubahan mental, kelemahan

8) Nyeri atau ketidaknyamanan

 Gejala : nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak

berhubungan dengan aktifitas ), tidak hilang dengan istirahat atau

nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan viseral)

9) Pernafasan

 Gejala : dispnea tanpa atau dengan kerja, dispnea nocturnal, batuk

dengan atau tanpa produksi sputum, riwayat merokok, penyakit

pernafasan kronis.

 Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak / kuat, pucat,

sianosis, bunyi nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum.


10) Interkasi sosial

 Gejala : stress, kesulitan koping dengan stressor yang ada missal :

penyakit, perawatan di RS

 Tanda : kesulitan istirahat dengan tenang, respon terlalu emosi ( marah

terus-menerus, takut ), menarik diri. (Doengoes, E. Marylinn. 2000)


2. Pathway Gagal Nafas
3. Diagnosa Keperawatan

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sumbatan jalan nafas

dan ventilasi sekunder terhadap retensi lendir.

b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi

sekunder terhadap hipoventilasi

d. Resiko infeksi

e. Resiko cidera
4. Intervensi Keperawatan

N DIAGNOSA
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI
O
1 Bersihan Jalan Nafas tidak NOC: 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal
Data Subjektif :  Respiratory status : Ventilation suctioning
- Dispneu  Respiratory status : Airway patency 2. Berikan O2  ……l/mnt, metode……
Data Objektif :  Aspiration Control 3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan
- Penurunan suara nafas napas dalam
- Orthopneu Kriteria Hasil : 4. Posisikan pasien untuk
-    Cyanosis a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara memaksimalkan ventilasi
-    Kelainan suara nafas (rales, nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
wheezing) dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
-    Kesulitan berbicara bernafas dengan mudah, tidak ada pursed suction
-    Batuk, tidak efekotif atau tidak ada lips) 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya
-    Produksi sputum b. Menunjukkan jalan nafas yang paten(klien suara tambahan
-    Gelisah tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi 8. Berikan bronkodilator
-    Perubahan frekuensi dan irama pernafasan dalam rentang normal, tidak ada 9. Monitor status hemodinamik
nafas suara nafas abnormal) 10. Berikan pelembab udara Kassa basah
c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah NaCl Lembab
faktor yang penyebab. 11. Berikan antibiotik
d. Saturasi O2 dalam batas normal 12. Atur intake untuk cairan
e. Foto thorak dalam batas normal mengoptimalkan keseimbangan.
13. Monitor respirasi dan status O2
14. Pertahankan hidrasi yang adekuat
untuk mengencerkan sekret
15. Jelaskan pada pasien dan keluarga
tentang penggunaan peralatan : O2,
Suction, Inhalasi.
2 Pola Nafas tidak efektif  NOC: 1. Posisikan pasien untuk
Data Subjektif :  Respiratory status : Ventilation memaksimalkan ventilasi
- Dyspnea  Respiratory status : Airway patency 2. Pasang mayo bila perlu
- Nafas pendek  Vital sign Status 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Data Objektif : 4. Keluarkan sekret dengan batuk atau
- Penurunan tekanan inspirasi atau Kriteria Hasil : suction
ekspirasi 1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya
- Penurunan pertukaran udara per nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan suara tambahan
menit dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, 6. Berikan bronkodilator
- Menggunakan otot pernafasan mampu bernafas dg mudah, tidakada pursed 7. Berikan pelembab udara Kassa basah
tambahan lips) NaCl Lembab
- Orthopnea 2. Menunjukkan jalan na-fas yang paten (klien 8. Atur intake untuk cairan
- Pernafasan pursed-lip tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi mengoptimalkan keseimbangan.
- Tahap ekspirasi berlangsung pernafasan dalam ren-tang normal, tidak ada 9. Monitor respirasi dan status O2
sangat lama suara nafas abnormal) 10. Bersihkan mulut, hidung dan secret
- Penurunan kapasitas vital 3. Tanda Tanda vital dalam rentang normal trakea
- Respirasi: < 11 – 24 x /mnt (tekanan darah, nadi, pernafasan) 11. Pertahankan jalan nafas yang paten
12. Observasi adanya tanda tanda
hipoventilasi
13. Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
14. Monitor  vital sign
15. Informasikan pada pasien dan keluarga
tentang tehnik relaksasi untuk
memperbaiki pola nafas.
16. Ajarkan bagaimana batuk efektif
17. Monitor pola nafas   
3 Gangguan Pertukaran gas NOC: 1. Posisikan pasien untuk
Data Subjektif :  Respiratory Status : Gas exchange memaksimalkan ventilasi
- Sakit kepala ketika bangun  Keseimbangan asam Basa, Elektrolit 2. Pasang mayo bila perlu
- Dyspnoe  Respiratory Status : ventilation 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Gangguan penglihatan  Vital Sign Status 4. Keluarkan sekret dengan batuk atau
Data Objektif : suction
- Penurunan CO2 Kriteria Hasil : 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya
- Takikardi a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara suara tambahan
- Hiperkapnia nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan 6. Berikan bronkodilator
- Keletihan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, 7. Barikan pelembab udara
- Iritabilitas mampu bernafas dg mudah, tidakada pursed 8. Atur intake untuk cairan
- Hypoxia lips) mengoptimalkan keseimbangan.
- Kebingungan b. Memelihara kebersihan paru paru dan bebas 9. Monitor respirasi dan status O2\
- Sianosis dari tanda tanda distress pernafasan 10. Catat pergerakan dada,amati
- warna kulit abnormal (pucat, c. Tidak ada sianosis dan dsypneu kesimetrisan, penggunaan otot
kehitaman) d. Tanda tanda vital dalam rentang normal tambahan, retraksi otot supraclavicular
- Hipoksemia e. AGD dalam batas normal dan intercostal
- Hiperkarbia f. Status neurologis dalam batas normal 11. Monitor suara nafas, seperti dengkur
- AGD abnormal 12. Monitor pola nafas : bradipena,
- pH arteri abnormal takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
- frekuensi dan kedalaman nafas cheyne stokes, biot
abnormal 13. Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan / tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
14. Monitor TTV, AGD, elektrolit dan
ststus mental
15. Observasi sianosis khususnya
membran mukosa
16. Jelaskan pada pasien dan keluarga
tentang persiapan tindakan dan tujuan
penggunaan alat tambahan (O2,
Suction, Inhalasi)
17. Auskultasi bunyi jantung, jumlah,
irama dan denyut jantung
4 Risiko infeksi NOC : 1. Pertahankan teknik aseptif
Faktor-faktor risiko :   Immune Status 2. Batasi pengunjung bila perlu
- Prosedur Infasif   Knowledge : Infection control 3. Cuci tangan setiap sebelum dan
- Kerusakan jaringan dan   Risk control sesudah tindakan keperawatan
peningkatan paparan lingkungan 4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai
- Malnutrisi Kriteria Hasil : alat pelindung
- Peningkatan paparan lingkungan a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 5. Ganti letak IV perifer dan dressing
patogen b. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah sesuai dengan petunjuk umum
- Imonusupresi timbulnya infeksi 6. Gunakan kateter intermiten untuk
- Tidak adekuat pertahanan c. Jumlah leukosit dalam batas normal menurunkan infeksi kandung kencing
sekunder (penurunan Hb, d. Menunjukkan perilaku hidup sehat 7. Tingkatkan intake nutrisi
Leukopenia, penekanan respon e. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria 8. Berikan terapi
inflamasi) dalam batas normal antibiotik:.................................
- Penyakit kronik 9. Monitor tanda dan gejala infeksi
- Imunosupresi sistemik dan lokal
- Malnutrisi 10. Pertahankan teknik isolasi kalau perlu
- Pertahan primer tidak adekuat 11. Inspeksi kulit dan membran mukosa
(kerusakan kulit, trauma jaringan, terhadap kemerahan, panas, drainase
gangguan peristaltik) 12. Monitor adanya luka
13. Dorong masukan cairan
14. Dorong istirahat
15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
gejala infeksi
16. Kaji suhu badan pada pasien
neutropenia setiap 4 jam
5 Risiko Cidera NOC : NIC : Environment Management
 Risk Kontrol (Manajemen lingkungan)
 Immune status 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk
 Safety Behavior pasien
2. Identifikasi kebutuhan keamanan
Kriteria Hasil : pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan
a. Klien terbebas dari cedera fungsi kognitif  pasien dan riwayat
b. Klien mampu menjelaskan cara/metode penyakit terdahulu pasien
untuk mencegah injury/cedera 3. Menghindarkan lingkungan yang
c. Klien mampu menjelaskan factor risiko dari berbahaya (misalnya memindahkan
lingkungan/perilaku persona perabotan)
d. Mampu memodifikasi gaya hidup untuk 4. Memasang side rail tempat tidur
mencegah injury 5. Menyediakan tempat tidur yang
e. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada nyaman dan bersih
f. Mampu mengenali perubahan status 6. Menempatkan saklar lampu ditempat
kesehatan yang mudah dijangkau pasien.
7. Membatasi pengunjung
8. Memberikan penerangan yang cukup
9. Menganjurkan keluarga untuk
menemani pasien.
10. Mengontrol lingkungan dari
kebisingan
11. Memindahkan barang-barang yang
dapat membahayakan
12. Berikan penjelasan pada pasien dan
keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan
penyebab penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo, S. (2012). Kebutuhan Dasar Manusia (Oksigenasi). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien. Jakarta: Salemba Medika
Black, J M dan Jane Hokanson Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen
Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Elsevier
Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. (2016) Nursing
Interventions Classification (NIC) Edisi kelima Bahasa Indonesia. Yogyakarta:
Mocomedia.
Carpenito, L J. (2009). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Doenges, M. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Fitriani, R. (2016). Analisis Asuhan Keperawatan Pada Tn. S Dengan MasalahPola Nafas
Tidak Efektif Di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Jurnal STIKes Muhammadiyah Gombong.
Hidayat, A. A. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta:
Selemba Medika.
Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FK UI press Morton. 2012.
Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik Vol . Jakarta: EGC.
Mosby's Medical dictionary. (2009). Anticipatory Guidance 8th edition. Jakarta: Elseiver.
Mubarak, W I dan Nurul Chayatin. (2008). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori dan
Aplikasi dalam Praktik. Jakarta: EGC
Muttaqin, A. (2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular
dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika
Nugroho, W D. (2015). Hubungan Tingkat Kepatuhan Minum Obat dengan Rawat Inap
Ulang Pasien dengan Gagal Jantung Kongestif di RSUD DR. Moewardi. Jurnal Stikes
Kusuma Husada Surakarta
Nurlaela, ES. (2017). Upaya Penatalaksanaan Pola Napas Tidak Efektif Pada Pasien
Congestive Heart Failure. Jurnal. Surakarta: UMS.
Pamungkas, P N. (2015). Manajemen Terapi Oksigen Oleh Perawat di Ruang Instalasi Gawat
Darurat RSUD Karanganyar. Jurnal Keperawatan, hlm.3
Potter & Perry. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
PPNI.
Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Laporan Kementerian Kesehatan Republik
Indinesia diunduh dari www.depkes.go.id pada 30 Juni 2020
Rosdahl, C B dan Mary T. Kowalski. (2015). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Jakarta: EGC
Sudoyo AW, Setiohadi B, dkk. (2009).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna.
Suratinoyo, I. (2016). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Mekanisme Koping pada
Pasien Gagal Jantung Kongestif di Ruangan CVBC (Cardio Vaskuler Brain Centre)
Lantai III di RSUP. Prof. dr. R. D. Kandou Manado Ejournal Keperawatan (e-Kp)
Volume 4 Nomor 1
Smeltzer, Suzanne. (2006). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC Stillwell,
Susan B. (2011). Pedoman Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC
Syandi, Janrizky Praerda. (2016). Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi
pada Tn. S Di Ruang Inayah Pku Muhammadiyah Gombong Jurnal Stikes
Muhammadiyah Gombong

Anda mungkin juga menyukai