Disusun Oleh :
M. BUSYAIRI PUTRA
060STYJ21
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................
BABII. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Hipertensi dalam Kehamilan............................................................
2.2 Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan.......................................................
2.3 Diagnosis dan Gejala Klinis...........................................................................
2.3.1 Hipertensi Gestasional.........................................................................
2.3.2 Preeklamsi...........................................................................................
2.3.3 Eklamsi................................................................................................
2.3.4 Superimposed Preeclapsia...................................................................
2.3.5 Hipertensi Kronis................................................................................
2.4 Insidensi.........................................................................................................
2.5 Faktor Risiko..................................................................................................
2.6 Etiologi...........................................................................................................
2.6.1 Invasi Trofoblastik Abnormal..............................................................
2.6.2 Faktor Imunologis................................................................................
2.6.3 Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi..................................................
2.6.4 Faktor Nutrisi.......................................................................................
2.6.5 Faktor Genetik......................................................................................
2.7 Patofisiologi...................................................................................................
2.8 Pemeriksaan Predikatif Kejadian Preeklamsi................................................
2.8.1 Pemeriksaan Prediktif yang Telah Ada................................................
2.8.1.1 Pemeriksaan Baku pada Perawatan Antenatal.........................
2.8.1.2 Pemeriksaan Sistim Vaskular..................................................
2.8.1.3 Pemeriksaan Biokimia.............................................................
2.8.1.4 Pemeriksaan Hematologi.........................................................
2.8.1.5 Ultrasonografi..........................................................................
2.9 Pencegahan...................................................................................................
2.9.1 Pencegahan Preeklamsi.....................................................................
2.9.2Pencegahan Eklamsi............................................................................
2.10 Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan..............................................
2.10.1 Pandangan Umum.............................................................................
2.10.2 Penanganan pra-kehamilan...............................................................
2.10.3 Penatalaksanaan hipertensi kronis selama kehamilan.......................
2.10.4 Penatalaksanaan preeklamsi..............................................................
2.10.5 Penatalaksanaa eklamsi.....................................................................
2.10.6 Pilihan obat anti hipertensi................................................................
2.10.7 Efek Samping Obat...........................................................................
BABIII. KESIMPULAN............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
DAFTAR TABEL, GAMBAR, DAN BAGAN
TABEL
Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan.........................................
Tabel 2.2 Penyebab yang mendasari hipertensi kronis..............................................
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis.....................................................................
Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi...................................................................
Gambar 2.1 Implantasi plasenta normal.....................................................................
Gambar 2.2. Atherosis................................................................................................
Bagan 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan..............
BAB I
PENDAHULUAN
2.3.2 Preeklamsi
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley
(1985) menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan
tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam
melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak
menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat proteinuria
dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24 jam, bahkan pada
kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak
membuktikan adanya proteinuria yang berarti.
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi
adalah hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium
yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi
meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan
secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri
epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan
akibat nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan
kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum
hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk
mengakhiri kehamilan.
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang
memburuk, dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan
agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh
vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan
ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi
dan merupakan indikasi penyakit yang berat.
Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan
fungsi jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan
janin yang nyata.
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
- TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
- Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :
- TD 160/110 mmHg.
- Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
- Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah
meningkat.
- Trombosit <100.000/mm3.
- Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
- peningkatan ALT atau AST.
- Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
- Nyeri epigastrium persisten.
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas
abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak
ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus
dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan
berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat
berkembang dengan cepat menjadi berat.
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis
preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut
tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita
dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan
darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah
mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan
darah yang cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri
kepala berat yang persisten atau gangguan visual.
2.3.3 Eklamsi
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak
dapat dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi
secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan.
Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama nulipara,
serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah
perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum dan
intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan
bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum
(Chames dan kawan-kawan, 2002).
2.4 Insidensi
Wanita kulit hitam memiliki kecenderungan mengalami preeklamsi
dibandingkan kelompok rasial lainnya, hal ini dikarenakan wanita kulit
hitam memiliki prevalensi yang lebih besar terhadap hipertensi kronis.
Diantara wanita yang berusia 30-39 tahun, hipertensi kronis terdapat pada
22,3% wanita kulit hitam, 4,6% kulit putih, dan 6,2% pada wanita
Amerika Meksiko.
Preeklamsi umumnya terjadi pada usia maternal ekstrim (< 18
tahun atau > 35 tahun). Peningkatan prevalensi hipertensi kronis pada
wanita > 35 tahun dapat menjelaskan mengapa terjadi peningkatan
frekuensi preeklamsi diantara gravida tua.
Di Amerika Serikat angka terjadinya eklamsi telah menurun karena
sebagian besar wanita sekarang ini menerima perawatan prenatal yang
cukup. Misalnya, pada edisi 13 Williams Obstetrics (1976) selama periode
25 tahun sebelumnya luas pengaruh dari eklamsi di Parkland Hospital
adalah 7 dalam 799 kelahiran. Selama periode 4 tahun dari tahun 1983
sampai 1986, telah menurun menjadi 1 dalam 1150 kelahiran, dan selama
periode 3 tahun yang berakhir pada tahun 1999, luasnya pengaruh eklamsi
menurun kira-kira menjadi 1 dalam 1750 kelahiran (Alexander dan kawan-
kawan, 2004). Dalam National Vital Statistics Report, Ventura dan kawan-
kawan (2000) memperkirakan bahwa terjadinya eklamsi di Amerika
Serikat pada tahun 1998 adalah sekitar 1 dalam 3250 kelahiran. Di Inggris
pada tahun 1992, Douglas dan Redman (1994) melaporkan bahwa
terjadinya eklamsi adalah 1 dalam 2000 kelahiran.
2.6 Etiologi
Setiap teori yang memuaskan tentang etiologi dan patofisiologi
preeklamsi harus menerangkan pengamatan bahwa hipertensi yang
disebabkan oleh kehamilan jauh lebih memungkinkan terjadi pada wanita
yang :
1. Terpapar vili korialis untuk pertama kalinya.
2. Terpapar vili korialis yang berlimpah, pada gemeli atau mola
hidatidosa.
3. Memiliki penyakit vaskular yang telah ada sebelumnya.
4. Secara genetik memiliki predisposisi terhadap hipertensi yang
berkembang selama kehamilan.
Tulisan-tulisan yang menjelaskan tentang eklamsia telah dibuat
pada tahun 2200 Sebelum Masehi (Lindheimer dan kawan-kawan, 1999).
Dengan demikian tidaklah heran bahwa sejumlah mekanisme telah
dikemukakan untuk menerangkan penyebabnya. Menurut Sibai (2003),
sebab-sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah
sebagai berikut :
1. Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus.
2. Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin.
3. Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi
dari kehamilan normal.
4. Faktor nutrisi.
5. Pengaruh genetik.
Faktor genetik,
Imunologi,
atau, Inflamasi
Penurunan
Perfusi
Uteroplasenta
Kebocoran Aktivasi
Vasospasme
kapiler koagulasi
Iskemia
Hipertensi oliguria Edema Proteinuria
hepar
Trombositopenia
Kejang Solusio Hemokonsentrasi
2.7 Patofisiologi
Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti,
preeklamsi merupakan suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu
vasospasme. Pada beberapa kasus, mikroskop cahaya menunjukkan bukti
insufisiensi plasenta akibat kelainan tersebut, seperti trombosis plasenta
difus, inflamasi vaskulopati desidua plasenta, dan invasi abnormal
trofoblastik pada endometrium. Hal-hal ini menjelaskan bahwa
pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan plasenta akibat
mikrotrombosis difus merupakan pusat perkembangan kelainan ini.
Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme,
dengan konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif
dibandingkan dengan kehamilan normal. Sistem vaskular pada wanita
hamil menunjukkan adanya penurunan respon terhadap peptida vasoaktif
seperti angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi
menunjukkan hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini dan hal ini
merupakan gangguan yang dapat terlihat bahkan sebelum hipertensi
tampak jelas. Pemeliharaan tekanan darah pada level normal dalam
kehamilan tergantung pada interaksi antara curah jantung dan resistensi
vaskular perifer, tetapi masing-masing secara signifikan terganggu dalam
kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50% karena peningkatan nadi dan
volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang bersirkulasi
meningkat pada trimester II, tekanan darah cenderung untuk menurun,
menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi
diakibatkan karena penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh
darah terhadap angiotensin karena adanya prostaglandin vasodilator.
Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal
yang terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi
terhadap perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel yang luas
menimbulkan manifestasi klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi
susunan saraf pusat, hepar, pulmonal, renal, dan sistem hematologi.
Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran kapiler patologis yang dapat
bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan berat badan yang cepat, edema
non dependen (muka atau tangan), edema pulmonal, dan hemokonsentrasi.
Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin dapat terkena dampaknya
akibat penurunan aliran darah utero-plasenta. Penurunan perfusi ini
menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju jantung janin yang non-
reassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion, dan pertumbuhan
janin terhambat pada kasus-kasus yang berat.
Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah
sedikit, sedangkan tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada
usia kehamilan muda (13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke
III. Pembentukkan ruangan intervillair, yang menurunkan resistensi
vaskular, lebih lanjut akan menurunkan tekanan darah.
Patogenesis pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek
penelitian dan spekulasi. Beberapa teori dan mekanisme etiologi telah
dipercaya sebagai etiologi yang paling mungkin, tetapi tidak ada satupun
yang dengan jelas terbukti. Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya
sebagai patogenesis dari konvulsi eklamsi meliputi vasokonstriksi atau
vasospame serebral, hipertensi ensefalopati, infark atau edema serebral,
perdarahan serebral, dan ensefalopati metabolik. Akan tetapi, tidak ada
kejelasan apakah penemuan ini merupakan sebab atau efek akibat
konvulsi.
2. Infus Angiotensin II
Wanita hamil yang normotensi relatif refrakter terhadap infus
Angiotensin. Tes ini dikerjakan pada kehamilan 28-32 minggu, dengan
memberikan Angiotensin II per infus >8 ng/kgbb/menit menghasilkan
respons tekanan darah 20 mmHg, tetap normotensi selama kehamilan,
sedangkan yang mendapat < 8 ng/kgbb/menit dan terjadi kenaikan
tekanan diastolik 20 mmHg, 90% akan terjadi hipertensi dalam
kehamilan. Namun tes ini mahal, rumit dan memakan waktu sehingga
tidak praktis dipakai sebagai tes penapisan.
2. Kadar Kalsium
Beberapa peneliti melaporkan adanya hipokalsiuria dan perubahan
fungsi ginjal pada pasien preeklampsia. Perubahan-perubahan tersebut
terjadi beberapa waktu sebelum munculnya tanda-tanda klinis. Hal ini
terlihat dari perubahan hasil tes fungsi ginjal. Rondriquez mendapatkan
bahwa pada umur kehamilan 24-34 minggu bila didapatkan
mikroalbuminuria dan hipokalsiuria ini dideteksi dengan pemeriksaan
tes radioimunologik.
2.8.1.5 Ultrasonografi
Dalam 2 dekade terakhir ultrasonografi semakin banyak dipakai
alat penunjang diagnostik dalam bidang obstetri. Bahkan dengan
perkembangan teknik Doppler dapat dilakukan pengukuran gelombang
kecepatan aliran darah dan volume aliran darah pada pembuluh darah
besar seperti arteri uterina dan arteri umbilikalis. Pada wanita penderita
hipertensi dalam kehamilan sering ditemukan kelainan gelombang arteri
umbilikalis, dimana dapat terlihat gelombang diastolik yang rendah, hilang
atau terbalik.
Ducey dkk dalam penelitian terhadap 136 wanita hamil
mendapatkan 43% penderita preeklampsia mempunyai gambaran SD ratio
yang abnormal, dan mendapatkan adanya penurunan aliran darah arteri
uterina dan arteri umbilikalis pada mayoritas penderita preeklampsia. Nilai
prediktif positif pada penelitian ini sekitar 75%. Pada penelitian lain,
Kofinas dkk memperlihatkan bahwa insidens preeklampsia pada plasenta
letak unilateral 2,8 kali lebih besar dari pada pasien dengan plasenta letak
sentral.
Penentuan letak plasenta ini dilakukan dengan pemeriksaan USG
real time. Dikatakan bahwa bila plasenta terletak unilateral maka arteri
uterina yang terdekat dengan plasenta mempunyai tahanan yang lebih
rendah dibandingkan dengan yang lainnya, sedang pada plasenta letak
sentral tahanan kedua arteri tersebut sama besarnya. Pada tahanan yang
lebih besar tersebut dapat menurunkan aliran darah uteroplasenter yang
merupakan salah satu kelainan dasar pada preeklampsia. Terjadinya
hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu mekanisme kompensasi
untuk meningkatkan aliran darah uterus yang disebabkan oleh iskemia.
Ultrasonografi dapat digunakan sebagai alat untuk pemeriksaan
wanita hamil dengan risiko tinggi sebab cara ini aman, mudah dilakukan,
tidak invasif dan dapat dilakukan pada kehamilan muda.
2.9 Pencegahan
Beragam strategi telah digunakan dalam melakukan pencegahan
terhadap terjadinya preeklamsia dan eklamsi. Setelah dilakukan evaluasi
terhadap strategi-strategi ini, tidak ada satupun yang terbukti efektif secara
klinis.
3. Antioksidan
Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi
lipid yang berperan dalam kerusakan endotel. Penelitian yang
dilakukan oleh Schiff dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
konsumsi vitamin E tidak berhubungan dengan preeklamsi. Mereka
menemukan bahwa peninggian plasma vitamin E pada wanita dengan
preeklamsi dan menyatakan bahwa hal ini merupakan respon terhadap
stres oksidatif. Namun hal ini masih menjadi kontroversi karena ada
penelitian lain yang menyatakan terapi dengan vitamin C / E dapat
menurunkan aktivasi endotel yang pada akhirnya akan menurunkan
preeklamsi.6. Pada penelitian lain, dengan pemberian vitamin C
sebanyak 1000 mg/hari dan vitamin E 400 IU/ hari pada usia
kehamilan 16 – 22 minggu berhubungan dengan rendahnya insidensi
preeklamsi. Karena itu masih perlu dilakukan penelitian sebelum
menyarankan penggunaan Vitamin C dan E untuk penggunaan secara
klinis.
4. Suplemen kalsium
Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan
antara asupan diet rendah kalsium dengan terjadinya preeklamsi.
Dengan pemberian suplemen kalsium sebanyak 1,5 – 2 g/hari telah
disarankan untuk upaya pencegahan preeklamsi. Dari hasil penelitian
Cochrane, diketahui bahwa pemberian suplementasi kalsium tidak
dibutuhkan pada nulipara. Walaupun demikian, mungkin
pemberiannya bisa menguntungkan untuk mereka yang termasuk
kelompok dengan asupan kalsium yang memang kurang atau pada
kelompok risiko tinggi, seperti mereka dengan riwayat preeklamsi
berat.
5. N-Acetylcystein
Diduga dapat mencegah preeklamsi karena sifatnya sebagai anti
radikal bebas atau antioksidan, sehingga pemberian obat ini diharapkan
dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah yang
diakibatkan kerusakan sel endotel pembuluh darah. Namun pemberian
obat ini masih kontroversi. Meskipun demikian beberapa ahli sudah
mencoba menggunakan obat ini.
2. Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah
konvulsi, mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan
persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat
terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang
atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia
kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk
mendapatkan NICU yang baik.
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk
dengan progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan
janin. Oleh karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa
memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila
terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat
janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu.
Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi
kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan
keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas neonatal jangka
pendek dan jangka panjang.
Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara
konservatif pada wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm
dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal. Namun, karena
hanya 116 wanita yang menjalani terapi konservatif pada penelitian ini
dan karena terapi seperti itu mengundang risiko bagi ibu dan janin,
penatalaksanaan konservatif hanya dikerjakan pada pusat neonatal kelas
3 dan melaksanakan observasi bagi ibu dan janin. Semua wanita dengan
usia kehamilan 40 minggu yang menderita preeklamsi ringan harus
memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan
preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus diinduksi.
Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi
berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi
kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang
menderita preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan <
23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi
kehamilan.
Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi
berat adalah mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti
ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium
sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah
dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk
pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan
diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan
mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg , sedangkan yang
lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg.
Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah 126
mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik
< 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial
pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah
hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi
bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis
tersebut hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau
jika ibu mengalami efek samping seperti takikardi, sakit kepala, atau
mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan.
Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan hidralazin,
beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi
preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak yang membandingkan
hidralazin dengan obat lain, hanya satu penelitian yang menyebutkan
efek samping dan kegagalan terapi lebih sering didapatkan pada
hidralazin.
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol
hipertensi berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang
kali pada awal puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan.
Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka pemberian
hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post
partum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama
masih diperlukan.
Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125
ml perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare,
diaforesis, atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan
hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan
pembuluh darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga
pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan
secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada cairan
ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara cairan
intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan yang banyak
dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga
meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau edema otak.20
Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal
dihindarkan pada wanita dengan preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan
utama karena adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat blokade
simpatis. Ada juga pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena
blokade simpatis dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi
plasenta. Ketika teknik analgesi telah mengalami kemajuan beberapa
dekade ini, analgesi epidural digunakan untuk memperbaiki vasospasme
dan menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat.
Selain itu, klinisi yang lebih menyenangi anestesi epidural menyatakan
bahwa pada anestesi umum dapat terjadi penigkatan tekanan darah tiba-
tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat menyebabkan edema
pulmonal, edema serebral dan perdarahan intrakranial. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Wallace dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
penggunaan anestesi baik metode anestesi umum maupun regional
dapat digunakan pada persalinan dengan cara seksio sesarea pada
wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan
pertimbangan yang hati-hati. Walaupun anestesi epidural dapat
menurunkan tekanan darah, telah dibuktikan bahwa tidak ada
keuntungan signifikan dalam mencegah hipertensi setelah persalinan.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah anestesi epidural aman digunakan
selama persalinan pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan,
tetapi bukan merupakan terapi terhadap hipertensi.
Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Indikasi ibu
- Usia kehamilan ≥ 38 minggu
- Hitung trombosit < 100.000 sel/mm3
- Kerusakan progresif fungsi hepar
- Kerusakan progresif fungsi ginjal
- Suspek solusio plasenta
- Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
- Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah
b. Indikasi janin
- IUGR berat
- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring
- Oligohidramnion.
2.10.5 Penatalaksanaan eklamsi
Penatalaksanaan pada eklamsi dibagi menjadi :
1. Penatalaksanaan prenatal (kontrol konvulsi dan hipertensi)
Kebanyakan rumah sakit merekomendasikan pemberian
antikonvulsan kepada semua pasien dengan hipertensi dengan atau
tanpa proteinuria/edema. Obat yang digunakan tersebut harus aman
bagi ibu dan janin. Pengalaman selama 50 tahun dengan menggunakan
magnesium sulfat membuktikan bahwa obat ini cukup aman. Obat ini
dipergunakan pada preeklamsi berat dan eklamsi. Penggunaan secara
suntikan baik intramuskular intermiten maupun intra vena. Penggunaan
secara intravena merupakan antikonvulsi tanpa menimbulkan depresi
susunan saraf pusat baik pada ibu maupun pada janin. Obat ini dapat
pula diberikan secra intravena dengan infus kontinu. Mengingat
persalinan merupakan waktu yang paling sering untuk terjadinya
konvulsi, maka wanita dengan preeklamsi-eklamsi biasanya diberikan
magnesium sulfat selama persalinan dan 24 jam post partum atau 24
jam setelah onset konvulsi. Perlu diingat bahwa magnesium sulfat
bukan merupakan agen untuk mengatasi hipertensi.
Magnesium sulfat yang diberikan secara parentral hampir
seluruhnya diekskresikan lewat ginjal. Intoksikasi magnesium sulfat
dapat dihindari dengan memastikan bahwa keluaran urine adekuat,
reflek patella positif, dan tidak adanya depresi pernafasan. Konvulsi
eklamsi dan kejadian ulangannya hampir selalu dapat dicegah dengan
mempertahankan kadar magnesium dalam plasma sebesar 4- 7mEq/L
(4.8 – 8.4 mg/dL atau 2.0 – 3.5 mmol/L). Pemberian infus intravena
awal sebesar 4-6 gram dipakai untuk membuat pemeliharaan tingkat
pengobatan yang tepat dan dilanjutkan dengan injeksi intra muskular
10 gram, diikuti 5 gram setiap 4 jam atau infus kontinu 2-3 gram per
jam. Jadwal dosis pemberian seperti ini diharapkan dapat
mempertahankan tingkat plasma efektif sebesar 4-7 mEq/L.
Reflek patella akan menghilang bila kadar plasma magnesium
mencapai 10 mEq/L (sekitar 12 mg/L), hal ini dikarenakan adanya
kerja kurariformis. Magnesium bebas atau ionized magnesium
merupakan bahan yang dapat menurunkan eksitabilitas neuronal. Tanda
ini merupakan peringatan akan adanya intoksikasi magnesium karena
bila pemberian terus dilakukan maka peningkatan kadar dalam plasma
yang lebih lanjut akan menyebabkan depresi pernafasan. Kadar plasma
lebih besar dari 10 mEq/L akan menyebabkan depresi pernafasan, bila
kadar plasma mencapai 12 mEq/L atau lebih, maka akan menyebabkan
paralisis pernafasan dan henti nafas. Intoksikasi magnesium dapat
ditangani dengan pemberian kalsium glukonas sebanyak 1 gram secara
intravena. Namun keefektifan kerja kalsium glukonas sendiri pendek,
maka bila terdapat depresi pernafasan, pemasangan intubasi trakea dan
bantuan ventilasi mekanik merupakan tindakan penyelamatan hidup.
Jika laju filtrasi glomerulus menurun maka akan mengganggu ekskresi
magnesium sulfat. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar
plasma magnesium secara periodik.
Setelah pemberian 4 gram magnesium secara intravena selama 15
menit, akan terjadi penurunan sedikit pada MABP dan peningkatan
cardiac index sebesar 13%. Dengan demikian, magnesium menurunkan
resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arteri rata-rata dan pada
saat yang bersamaan meningkatkan cardiac output tanpa depresi
miokardium. Hal ini tampak pada pasien berupa mual sementara dan
flushing, efek kardiovaskular ini hanya menetap selama 15 menit.
Penelitian yang dilakukan oleh lipton dan Rosenberg menunjukkan
bahwa efek antikonvulsan adalah memblok influk neuronal kalsium
melalui saluran glutamat. Penelitian lain yang dilakukan oleh cotton
dan kawan-kawan pada tikus menunjukkan bahwa induksi konvulsi
terjadi pada area hipokampus karena merupakan daerah dengan
ambang konvulsi yang rendah dengan densitas reseptor N-methyl-D-
aspartate (NMDA) yang tinggi. Reseptor ini berkaitan dengan beragam
bentuk epilepsi. Karena konvulsi dari hipokampus dapat dihambat oleh
magnesium, maka dapat diambil kesimpulan bahwa magnesium
memiliki efek terhadap susunan saraf pusat dalam memblok konvulsi.
Ion magnesium dalam konsentrasi yang tinggi dapat mendepresi
kontraktibilitas miometrium. Namun dengan menjalani regimen yang
telah ditentukan, maka tidak ada bukti penurunan kontraktibilitas
miometrium. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa
magnesium sulfat tidak mengganggu induksi oleh oksitosin.
Mekanisme magnesium dalam menginhibisi kontraktibilitas
miometrium tidak jelas benar, tetapi diasumsikan tergantung dari efek
pada kalsium intraselular. Jalur reguler kontraksi uterus adalah
peningkatan kalsium bebas intraselular yang akan mengaktivasi rantai
ringan miosin kinase. Konsentrasi tinggi magnesium tidak hanya
menginhibisi influk kalsium ke sel-sel miometrium, tetapi juga
menyebabkan kadar kalsium intraselular yang tinggi. Mekanisme
penghambatan kontrasi uterus tergantung dari dosis, yaitu berkisar 8-10
mEq/L. Hal ini menjelaskan mangapa tidak pernah terjadi hambatan
kontrasi uterus ketika magnesium diberikan untuk terapi dan profilaksis
eklamsi dengan menggunakan regimen yang telah ditentukan.
Magnesium sulfat tidak menyebabkan depresi pada janin kecuali
terjadi hipermagnesemia berat saat persalinan. Gangguan neonatus
setelah terapi dengan magnesium juga tidak pernah dilaporkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Nelson dan Grether menunjukkan
bahwa ada kemungkinan efek protektif dari magnesium terhadap
serebral palsi terhadap bayi dengan berat badan lahir yang sangat
rendah.
Menurut penelitian Lucas dan kawan-kawan, magnesium sulfat
lebih superior dibandingkan fenitoin dalam mencegah konvulsi
eklamsi. Risiko solusio plasenta juga lebih rendah pada terapi dengan
menggunakan magnesium sulfat. Pada penelitian Belfort dan kawan-
kawan, magnesium juga lebih baik dibandingkan dengan nimodipine
dalam mencegah eklamsi. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Livingstone dan kawan-kawan menunjukkan bahwa magnesium sulfat
tidak tampak menghalangi progresi preeklamsi ringan menjadi
preeklamsi berat. Oleh karena itu, magnesium sulfat sudah tidak
diberikan lagi pada preeklamsi ringan sejak tahun 1999.
Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara infus intra vena
kontinu untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1. Berikan 4-6 gram loading dose magnesium sulfat yang diencerkan
dalam 100 mL cairan infus sekitar 15-20 menit.
2. Mulai dengan dosis 2 gram/ hari dalam 100 ml cairan infus
pemeliharaan.
3. Ukur serum magnesium setiap 4-6 jam dan sesuaikan infus untuk
menjaga level plasma 4-7 mEq/L.
4. Magnesium sulfat tidak dilanjutkan 24 jam setelah persalinan.5
Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara injeksi intra
muskular intermiten untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1. Berikan 4 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan
kecepatan tidak lebih dari 1 gram/menit.
2. Dilanjutkan dengan 10 gram magnesium sulfat 50%, 5 gram
diinjeksikan pada masing-masing kuadran atas bokong kanan-kiri
dengan menggunakan jarum 3 inchi (tambahkan 1 ml lidocain 2%
untuk mengurangi nyeri). Jika konvulsi teteap terjadi setelah 15
menit, berikan tambahan 2 gram magnesium sulfat 20% secara
intra vena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit.
3. Setiap 4 jam kemudian, beikan 5 gram magnesium sulfat 50% yang
diinjeksikan pada kuadran kanan atas bokong secara bergantian
kanan dan kiri. Hal yang harus diperhatikan : reflek patella, tidak
ada depresi pernafasan, output urine dalam 4 jam lalu mencapai
100 mL.
BAB III
KESIMPULAN
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the
NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu hipertensi gestasional, preeklamsi,
eklamsi, preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis, dan hipertensi kronis.
Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu
faktor risiko maternal, faktor risiko medikal maternal, dan faktor risiko plasental
atau fetal.
Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah
invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus, intoleransi imunologis antara
jaringan plasenta ibu dan janin, maladaptasi maternal pada perubahan
kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal, faktor nutrisi, dan pengaruh
genetik.
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg.
Tujuan utama pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik
menjadi 90-100 mmHg.
DAFTAR PUSTAKA