Anda di halaman 1dari 30

TUGAS KEPERAWATAN GERONTIK

ASKEP LANSIA DENGAN MASALAH MENTAL: KONSEP DIRI, ALAM PERASAAN, DAN
KOGNITIF

Disusun oleh:

Indah Sekar Mutika G2A220017


Minarti Dyan Utami G2A220020
Silvy Andriani G2A220032
Tri Widodo G2A220025

PROGRAM SARJANA ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lanjut usia merupakan sebuah proses alami bagi setiap individu yang tidak
dapat dihindari dan merupakan tahapan akhir dalam daur kehidupan manusia. Menurut
Peraturan Pemerintah RI No. 43 Tahun 2004, dijelaskan bahwa yang disebut dengan
lansia adalah individu yang telah mencapai usia 60 tahun keatas(Dewi 2019).
Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup yang
terakhir. Memasuki usia tua individu mulai menarik diri dari masyarakat sehingga
memungkinkan individu untuk menyimpan lebih banyak aktivitas-aktivitas yang berfokus pada
dirinya dalam memenuhi kestabilan stadium ini. Berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, menjelaskan bahwa lansia
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Salah satu permasalahan yang
sangat mendasar pada lansia adalah masalah kesehatan sehingga diperlukan pembinaan
kesehatan pada kelompok pra lansia dan lansia, bahkan sejak dini(WARDANI 2018).
Upaya pemerintah dalam pemeliharaan kesehatan lansia yang mengutamakan upaya
promotif dan preventif diwujudkan salah satunya melalui Standart Pelayanan Minimal (SPM)
(Permenkes RI, 2016). Salah satu sasaran SPM yaitu lansia. Upaya preventif yang dilakukan
pada lansia berupa skrinning kesehatan yang diberikan di puskesmas dan jaringan. Lingkup
deteksi meliputi gangguan mental emosional dan perilaku lansia(Bkkbn 2016). Program
pemerintah lainnya dalam peningkatan kesejahteraan lansia diantaranya adalah posbindu lansia,
posyandu lansia, dan puskesmas santun lansia. Pelaksanaan posbindu lansia selama ini belum
bisa berjalan dengan baik dan maksimal, karena tidak semua kader bisa hadir dalam pelaksanaan
posyandu lansia(WARDANI 2018).
Survei Kesehatan Depkes RI menyatakan, gangguan mental pada usia 55-64
tahun mencapai 7,9%,sedangkan yang berusia di atas 65 tahun 12,3%. Angka ini
diperkirakan akan semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Karenanya
pengenalan masalah mental sejak dini merupakan hal yang penting, sehingga beberapa
gangguan masalah mental pada lansia dapat dicegah, dihilangkan atau dipulihkan. Jika
tidak didiagnosis dan diobati tepat waktu kondisi tersebut dapat mengalami perburukan
dan membutuhkan penanganan yang kompleks. Kepandaian menyiasati dapat
menjadikan masa tua yang menyenangkan, produktif dan energik tanpa harus merasa tua
dan tidak berdaya. (Dewi 2019).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk untuk mendapatkan pengetahuan
dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan mental dengan
menggunakan proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada lansia dengan masalah mental.
b. Mahasiswa mampu membuat rencana keperawatan yang telah disusun.
c. Mahasiswa mampu melaksanakan rencana asuhan keperawatan yang telah
disusun.
d. Mahasiswa mampu mengevaluasi asuhan keperawatan pada lansia dengan
gangguan mental.

C. Metode Penulisan
Metode penulisan bersifat studi pustaka yang dijabarkan secara narasi. Informasi
didapatkan dari berbagai literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi
yangdiperoleh. Penulisan diupayakan saling terkait antar satu sama lain dan
sesuaidengan topik yang dibahas.

D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disesuaikan dengan ketentuan yang diwajibkan meliputi
pendahuluan yaitu latar belakang dan tujuan penulisan makalah, konsep dasar gangguan
mental pada lansia, dan kesimpulan dari makalah yang telah disusun.
BAB II
KONSEP DASAR

A. Proses Menua Pada Lansia


Proses menua lanjut usia (lansia) merupakan proses berkurangnya daya
tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Pada
masa ini, sedikit demi sedikit seseorang akan mengalami kemunduran fisiologis,
psikologis, dan sosial, dimana perubahan ini akan berpengaruh terhadap seluruh
aspek kehidupan termasuk pada aspek kesehatan(BPN 2019). Lansia merupakan suatu
proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami
proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup yang terakhir(WARDANI 2018).
Lansia adalah individu yang telah memasuki tahapan akhir dari fase
kehidupan kehidupan. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu
proses yang disebut aging process atau proses penuaan. Setiap lansia akan
mengalami proses degeneratif (kemunduran) atau terjadi perubahan fisik, psikologis,
dan sosial(Dewi 2019).
Setiap kemungkinan gangguan yang terjadi pada lansia dapat mengakibatkan
terganggunya atau terjadi penurunan kualitas hidup pada lansia, sehingga usia
harapan hidup (life expectancy) juga akan menurun. Lansia akan mengalami
berbagai macam masalah kesehatan yang terjadi. Masalah ini berawal dari
kemunduran sel-sel tubuh, sehingga fungsi dan daya tahan tubuh menurun serta
faktor resiko terhadap penyakit pun meningkat dan berakhir pada kematian.
Permasalahan kesehatan yang sering terjadi pada lansia adalah gangguan
pendengaran, nyeri punggung dan leher, katarak, nyeri sendi, PPOK, diabetes dan
depresi. Selain itu, pada lansia akan mengalami sindrom geriatri seperti
inkontinensia urin, gangguan pola tidur, delirium, demensia, jatuh, osteoporosis, dan
kehilangan berat badan(WHO 2017).

B. Anatomi dan Fisiologi Lansia


Umumnya lansia akan mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor.
Fungsi kognitif merupakan suatu proses mental manusia yang meliputi perhatian
persepsi, proses berpikir, pengetahuan dan memori sehingga menyebabkan reaksi
dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sebanyak 75% dari bagian otak besar
merupakan area kognitif. Sementara fungsi psikomotorik meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang
berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan (National Institute of Mental Health,
2016).
Perubahan atau gangguan memori pada penuaan otak hanya terjadi pada
aspek tertentu, sebagai contoh, memori primer (memori jangka pendek) relatif tidak
mengalami perubahan pada penambahan usia, sedangkan pada memori sekunder
(memori jangka panjang) mengalami perubahan bermakna. Artinya kemampuan
untuk mengirimkan informasi dari memori jangka pendek ke jangka panjang
mengalami kemunduran dengan penambahan usia. Perkembangan otak menjadi tua
terbukti dapat berlanjut terus sampai usia berapapun kalau saja otak memperoleh
stimulasi yang terus menerus, baik secara fisik dan mental. Hal ini disebut juga
kemampuan plastisitas otak yang terjadi juga pada usia lanjut (Suma PC, 2019).
Proses menua sehat (normal aging) secara fisiologi juga terjadi kemunduran
beberapa aspek kognitif seperti kemunduran daya ingat terutama memori kerja
(working memory) yang amat berperan dalam aktifitas hidup seharihari, hal ini
menjelaskan mengapa pada sebagian lanjut usia menjadi pelupa. Selain itu fungsi
belahan otak sisi kanan sebagai pusat intelegensi dasar akan mengalami kemunduran
lebih cepat daripada belahan otak sisi kiri sebagai pusat inteligensi kristal yang
memantau pengetahuan. Dampak dari kemunduran belahan otak sisi kanan pada
lanjut usia antara lain adalah kemunduran fungsi kewaspadaan dan perhatian (Suma
PC, 2019).
Penurunan kognitif pada lansia juga bergantung pada faktor usia dan jenis
kelamin terutama pada wanita hal ini dikarenakan adanya peranan hormon seks
endogen dalam perubahan fungsi kognitif serta reseptor esterogen di otak yang
berperan dalam fungsi belajar dan memori, seperti hipokampus. Status kesehatan
juga merupakan satu faktor penting yang memperburuk fungsi kognitif lansia. Salah
satunya adalah hipertensi. Peningkatan tekanan darah kronis dapat meningkatkan
efek penuaan pada struktur otak, dan penurunan hipokampus (Mood Disorders
Society of Canada, 2019).

C. Pengertian
Lanjut usia merupakan sebuah proses alami bagi setiap individu yang tidak
dapat dihindari dan merupakan tahapan akhir dalam daur kehidupan manusia.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 43 Tahun 2004, dijelaskan bahwa yang
disebut dengan lansia adalah individu yang telah mencapai usia 60 tahun
keatas(Dewi 2019).
Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup yang
terakhir. Memasuki usia tua individu mulai menarik diri dari masyarakat sehingga
memungkinkan individu untuk menyimpan lebih banyak aktivitas-aktivitas yang berfokus
pada dirinya dalam memenuhi kestabilan stadium ini. Berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, menjelaskan
bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Salah satu
permasalahan yang sangat mendasar pada lansia adalah masalah kesehatan sehingga
diperlukan pembinaan kesehatan pada kelompok pra lansia dan lansia, bahkan sejak
dini(WARDANI 2018).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa lansia dengan gangguan
mental adalah seseorang yang telah berusia > 60 tahun dan mengalami penurunan
kemampuan beradaptasi secara psikologis sehingga mengalami distres dalam fungsi
kognitifnya.
Teori kejiwaan lansia :
1. Aktifitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara langsung.
Teori ini menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah mereka yang aktif
dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup)
dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia. Mempertahankan hubungan antara
sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.

2. Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini
merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa
perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh
tipe personaliti yang dimiliki.

3. Teori Pembebasan (Disengagement Theory)

Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara


berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun
kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni:
kehilangan peran, hambatan kontak sosial, dan berkurangnya kontak komitmen

D. Patway
E. Klasifikasi
1. Masalah kosep diri
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang
diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sundeen, 1998). Konsep diri adalah
cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional intelektual
, sosial dan spiritual (Beck, William dan Rawlin,1986). Konsep diri tidak
langsung ada begitu individu di lahirkan, tetapi secara bertahap seiring dengan
tingkat pertumbuhan dan perkembangan individu. Konsep diri akan terbentuk
karena pengaruh ligkungannya. Konsep diri juga akan di pelajari oleh individu
melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain termasuk berbagai stressor
yang dilalui individu tersebut.
a. Gambaran diri / Citra Tubuh ( Body Image )
Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan
tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran,
bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang
secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap
individu (Stuart and Sundeen, 1998). Gangguan Gambaran Diri: Perubahan
persepsi tentang tubuh yang diakibatkan oleh perubahan bentuk, ukuran,
struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek yang sering kontak dengan
tubuh. Perubahan fisik terkait usia, efek penyakit.
b. Ideal Diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus
berperilaku berdasarkan standart, aspirasi, tujuan atau penilaian personal
tertentu (Stuart and Sundeen, 1998). Standart dapat berhubungan dengan tipe
orang yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi, cita-cita, nilai-nilai yang
ingin di capai. Menurut Keliat ( 1992 ) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi ideal diri yaitu:

1) Kecenderungan individu menetapkan ideal pada batas


kemampuannya

2) Faktor budaya akan mempengaruhi individu menetapkan ideal


diri

3) Ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan


yang realistis, keinginan untuk mengklaim diri dari kegagalan,
perasaan cemas dan rendah diri

4) Kebutuhan yang realistis

5) Keinginan untuk menghindari kegagalan

6) Perasaan cemas dan rendah diri

Ideal diri ini hendaknya ditetapkan tidak terlalu tinggi, tetapi


masih lebih tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi pendorong dan
masih dapat dicapai (Kelliat, 1992). Gangguan Ideal diri: Ideal diri yang
terlalu tinggi, sukar dicapai, dan tidak realistis.

c. Harga Diri (Self – Esteem)


Harga diri rendah menurut SDKI 2017 adalah Evaluasi atau perasaan negatif
terhadap diri sendiri atau kemampuan klien seperti tidak berarti, tidak
berharga, tidak berdaya yang berlangsung dalam waktu lama dan terus
menerus. Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya harga diri rendah
yaitu:

a)Terpapar situasi traumatis

b) Kegagalan berulang

c) Kurangnya pengakuan dari orang lain

d) Ketidakefektifan mengatasi masalah kehilangan

e) Gangguan psikiatri

f)Penguatan negatif berulang

g) Ketidaksesuaian budaya

Gejala pada klien yang mungkin muncul dengan gangguan harga diri
rendah yaitu: menilai diri negatif (misal: tidak berguna, tidak tertolong),
merasa malu/ bersalah, merasa tidak mampu melakukan apapun,
meremehkan kemampuan mengatasi masalah, merasa tidak memiliki
kelebihan atau kemampuan positif, melebih-lebihkan penilaian negatif
tentang diri sendiri,menolak penilaian positif tentang diri sendiri. (SDKI,
2017)

d. Peran

Peran adalah sikap dan perilaku nilai serta tujuan yang diharapkan
dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat (Keliat, 1998). Stress
peran terdiri dari konflik peran yang tidak jelas dan peran yang tidak sesuai
atau peran yang terlalu banyak. Posisi di masyarakat dapat merupakan
stresor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran,
tuntutan serta posisi yang tidak mungkin dilaksanakan (Keliat, 1998).
Gangguan Peran: Berubah atau berhentinya fungsi peran disebabkan oleh
penyakit, proses menua, putus sekolah, putus hubungan kerja. Muncul
tatkala perubahan tidak diterima individu. Faktor yang mempengaruhi:
peran berlebihan, citra tubuh, perubahan fisik, faktor sosial.

e. Identitas

Identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari


observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep
diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh (Stuart and Sundeen, 1998). Hal
yang penting dalam identitas adalah jenis kelamin (Keliat,1998).

Karakteristik identitas diri dapat dimunculkan dari perilaku dan


perasaan seseorang, seperti :

1) Individu mengenal dirinya sebagai makhluk yang terpisah dan


berbeda dengan orang lain.

2) Individu mengakui atau menyadari jenis seksualnya

3) Individu mengakui dan menghargai berbagai aspek tentang


dirinya, peran, nilai dan prilaku secara harmonis.

4) Individu mengaku dan menghargai diri sendiri sesuai dengan


penghargaan lingkungan sosialnya

5) Individu sadar akan hubungan masa lalu, saat ini dan masa yang
akan dating

6) Individu mempunyai tujuan yang dapat dicapai dan


direalisasikan (Meler dikutip Stuart and Sundeen, 1998)

Gangguan Identitas: kekaburan/ketidakpastian memandang diri


sendiri, penuh keraguan, sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu
mengambil keputusan.
2. Masalah Alam Perasaan

Alam perasaan adalah keadaan emosional yang berkepanjangan yang


mempengaruhi seluruh keperibadiaan dan fungsi kehidupan seseorang. Gangguan
alam perasaan ditandai oleh syndrom depresif sebagian atau penuh, selain itu juga
ditandai oleh kehilangan minat atau kesenangan dalam aktifitas sehari-hari dan
rekreasi (Gibbson Towsend, M C, 1995).

Gangguan alam perasaan adalah gangguan afek (suasana hati) dengan


manifestasi gejala-gejala mania dan depresi. seseorang dengan gangguan alam
perasaan biasanya akan didapat suatu keadaan sedih, ketakutan, putus asa, gembira
berlebihan dan khawatir (Keliat B.A. 1999). Keadaan emosional yang
berkepanjangan dan mempengaruhi seluruh seluruh kehidupan dan fungsi
kehidupan seseorang.

a. Mania

1) Gangguan alam perasaan yang ditandai dengan adanya alam perasaan


yang meningkat atau keadaan emosional yang mudah tersinggung dan
terangsang.

2) Dapat diiringi perilaku berupa peningkatan aktivitas flight or idea,


euphoria

3) penyimpangan sex.

Tanda dan gejala dengan mania (Stuart & Sundeen, 1998)

1) Afektif : gambaran berlebihan, peningkatan harga diri, tidak tahan kritik

2) Kognitif : ambisi mudah terpengaruh, mudah beralih perhatian,


waham kebosanan, flight or idea

3) Fisik : gangguan tidur, nutrisi tidak adekuat, peningkatan aktivitas, dehidrasi

4) Tingkah laku : agresif, aktivitas motorik meningkat, kurang perawatan,


seks berlebihan dan bicara bertele-tele.

b. Depresi

Adalah suatu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan


sedih dan berduka yang berlebihan dan berkepanjangan. Depresi dapat juga
digunakan untuk menunjukkan berbagai fenomena: tanda, gejala, keadaan emosi,
reaksi penyakit atau kondisi klinis secara menyeluruh.

Tanda dan gejala dengan depresi (Stuart & Sundeen, 1998)

Afektif Sedih, cemas apatis, murung, kebencian, kekesalan, marah,


perasaan ditolak, perasaan bersalah, meras tidak berdaya,
putus asa, merasa sendirian, merasa rendah diri, merasa tak
berharga.
Kognitif Ambivalence, bingung, ragu-ragu, tidak mampu konsentrasi,
hilang perhatian dan motivasi, menyalahkan diri sendiri,
pikiran merusak diri, rasa tidak menentu, pesimis.

Fisik Sakit perut, anoreksia, mual, muntah, gangguan pencernaan,


konstipasi, lemah, lesu, nyeri kepal, pusing, insomnia, nyeri
dada, over acting, perubahan berat badan, gangguan selera
makan, gangguan menstruasi, impoten, tidak berespon
terhadap seksual.

Tingkah laku Agresif, agitasi, tidak toleran, gangguan tingkat aktivitas,


kemunduran psikomotor, menarik diri, isolasi social, irritable,
berkesan menyedihkan, kurang spontan, gangguan kebersihan

3. Masalah Kognitif
a. Pengertian
Kognitif merupakan suatu proses pekerjaan pikiran yang dengannya kita
menjadi waspada akan objek pikiran atau persepsi, mencakup semua aspek
pengamatan, pemikiran dan ingatan (Dorland, 2002). Sehingga gangguan
kognitif merupakan respon maladaptive yang ditandai dengan adanya gangguan
daya ingat, disorientasi, inkoheren, salah persepsi, penurunan perhatian serta
sukar berpikir logis. Gangguan ini membuat individu berada dalam
kebingungan, tidak mampu menghubungkan kejadian saat ini dengan kejadian
yang lampau.
b. Aspek-AspekKognitif

Fungsi kognitif seseorang meliputi berbagai fungsi berikut, antara


lain :

1) Orientasi

Orientasi dinilai dengan pengacuan pada personal, tempat dan waktu.


Orientasi terhadap personal (kemampuan menyebutkan namanya sendiri
ketika ditanya) menunjukkan informasi yang ”overlearned”. Kegagalan
dalam menyebutkan namanya sendiri sering merefleksikan negatifism,
distraksi, gangguan pendengaran atau gangguan penerimaan bahasa.
Orientasi tempat dinilai dengan menanyakan negara, provinsi, kota, gedung
dan lokasi dalam gedung. Sedangkan orientasi waktu dinilai dengan
menanyakan tahun, musim, bulan, hari dan tanggal. Karena perubahan
waktu lebih sering daripada tempat, maka waktu dijadikan indeks yang
paling sensitif untuk disorientasi.

2) Bahasa

Fungsi bahasa merupaka kemampuan yang meliputi 4 parameter,


yaitu: kelancaran, pemahaman, pengulangan dan naming.

a) Kelancaran

Kelancaran merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat


dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Suatu metode yang
dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta
pasien menulis atau berbicara secara spontan.

b) Pemahaman

Pemahaman merujuk pada kemampuan untuk memahami suatu


perkataan atau perintah, dibuktikan dengan mampunya seseorang untuk
melakukan perintah tersebut.

c) Pengulangan

Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat


yang diucapkan seseorang.

d) Naming

Naming merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu


objek beserta bagian-bagiannya.

3) Atensi

Atensi merujuk pada kemampuan seseorang untuk merespon stimulus


spesifik dengan mengabaikan stimulus yang lain di luar lingkungannya.

a) Mengingat segera

Aspek ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengingat


sejumlah kecil informasi selama <30 detik dan mampu untuk
mengeluarkannya Kembali

b) Konsentrasi

Aspek ini merujuk pada sejauh mana kemampuan seseorang


untuk memusatkan perhatiannnya pada satu hal. Fungsi ini dapat
dinilai dengan meminta orang tersebut untuk mengurangkan 7 secara
berturut-turut dimulai dari angka 100 atau dengan memintanya mengeja
kata secara terbalik.

4) Memori

i ) Memori verbal yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat


kembali informasi yang diperolehnya.
 Memori baru
Kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi yang
diperolehnya pada beberapa menit atau hari yang lalu.
 Memori lama
Kemampuan untuk mengingat informasi yang diperolehnya pada
beberapa minggu atau bertahun-tahun lalu.

ii) Memori visual, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat


kembali informasi berupa gambar.

5) Fungsi konstruksi, mengacu pada kemampuan seseorang untuk


membangun dengan sempurna. Fungsi ini dapat dinilai dengan meminta
orang tersebut untuk menyalin gambar, memanipulasi balok atau
membangun kembali suatu bangunan balok yang telah dirusak sebelumnya.
6) Kalkulasi, yaitu kemampuan seseorang untuk menghitung angka.
7) Penalaran, yaitu kemampuan seseorang untuk membedakan baik buruknya
suatu hal, serta berpikir abstrak (Goldman, 2000).
c. Kognitif pada Lansia
Setiati, Harimurti & Roosheroe (2006) menyebutkan adanya perubahan
kognitif yang terjadi pada lansia, meliputi berkurangnya kemampuan
meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi tranmisi saraf di otak
(menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama
transmisi), berkurangnya kemampua mengakumulasi informasi baru dan
mengambil informasi dari memori, serta kemampuan mengingat kejadian masa
lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja
terjadi.
Penurunan menyeluruh pada fungsi sistem saraf pusat dipercaya sebagai
kontributor utama perubahan dalam kemampuan kognitif dan efisiensi dalam
pemrosesan informasi (Papalia, Olds & Feldman, 2008).
Penurunan terkait penuaan ditunjukkan dalam kecepatan, memori jangka
pendek, memori kerja dan memori jangka panjang. Perubahan ini telah
dihubungkan dengan perubahan pada struktur dan fungsi otak. Raz dan Rodrigue
(dalam Myers, 2008) menyebutkan garis besar dari berbagai perubahan post
mortem pada otak lanjut usia, meliputi volume dan berat otak yang berkurang,
pembesaran ventrikel dan pelebaran sulkus, hilangnya sel-sel saraf di neokorteks,
hipokampus dan serebelum, penciutan saraf dan dismorfologi, pengurangan
densitas sinaps, kerusakan mitokondria dan penurunan kemampuan perbaikan
DNA. Raz dan Rodrigue (2006) juga menambahkan terjadinya hiperintensitas
substansia alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar
hingga daerah posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang (Myers,
2008) Buruknya lobus frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan
hipotesis lobus frontalis, dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah
sama dibandingkan dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua
populasi tersebut memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi
dan fungsi eksekutif (Rodriguez-Aranda & Sundet dalam Myers, 2008
Karakteristik Demografi Penurunan Kognitif pada Lansia:
1) Status Kesehatan
Salah satu faktor penyakit penting yang mempengaruhi penurunan
kognitif lansia adalah hipertensi. Peningkatan tekanan darah kronis
dapat meningkatkan efek penuaan pada struktur otak, meliputi
reduksi substansia putih dan abu-abu di lobus prefrontal, penurunan
hipokampus, meningkatkan hiperintensitas substansia putih di lobus
frontalis. Angina pektoris, infark miokardium, penyakit jantung koroner
dan penyakit vaskular lainnya juga dikaitkan dengan memburuknya
fungsi kognitif (Briton & Marmot, 2003 dalam Myers, 2008).
2) Faktor usia
Suatu penelitian yang mengukur kognitif pada lansia menunjukkan skor
di bawah cut off skrining adalah sebesar 16% pada kelompok umur 65-
69, 21% pada 70-74, 30% pada 75-79, dan 44% pada 80+. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara usia
dan penurunan fungsi kognitif (Scanlan et al, 2007).
3) Status Pendidikan
Kelompok dengan pendidikan rendah tidak pernah lebih baik
dibandingkan kelompok dengan pendidikan lebih tinggi (Scanlan, 2007).
4) Jenis Kelamin
Wanita tampaknya lebih beresiko mengalami penurunan kognitif. Hal ini
disebabkan adanya peranan level hormon seks endogen dalam perubahan
fungsi kognitif. Reseptor estrogen telah ditemukan dalam area otak yang
berperan dalam fungsi belajar dan memori, seperti hipokampus.
Rendahnya level estradiol dalam tubuh telah dikaitkan dengan
penurunan fungsi kognitif umum dan memori verbal. Estradiol
diperkirakan bersifat neuroprotektif dan dapat membatasi kerusakan
akibat stress oksidatif serta terlihat sebagai protektor sel saraf dari
toksisitas amiloid pada pasien Alzheimer (Yaffe dkk, 2007 dalam Myers,
2008).

F. Pemeriksaan Diagnostik
Berikut ini alat ukur untuk menguji aspek-aspek Kognitif dan Fungsi Mental
Nilai maksimum Score Pertanyaan
Orientasi Tahun, Musim, Tanggal, Hari, Bulan apa
sekarang.
5
Registrasi Nama 3 objek: 1 detik untuk mengatakan
3 masing-masing. Kemudian tanyakan klien
ketiga objek setelah anda mengatakannya.
Beri 1 poin untuk setiap jawaban yang benar.
Kemudian ulangi sampai ia mempelajari
ketiganya. Jumlahkan percobaan dan catat.
Perhatian dan Kalkulasi Seri 7’s. 1 poin untuk setiap kebenaran,
berhenti setelah 5 jawaban. Bergantian eja
5
“kata” ke belakang.
Meminta Minta untuk mengulang ketiga objek di atas.
Berikan 1 poin untuk setiap kebenaran.
3
Bahasa Nama pensil dan melihat (2poin)
9 Mengulangi hal berikut: “tidak ad ajika, dn atau
tetapi” (1poin)
Kesadaran Composmentis = 5
5 Apatis = 4
Somnolent = 3
Sopor = 2
Koma = 1
Nilai Total

Keterangan:
Nilai maksimal 30, nilai 21 atau kurang biasanya indikasi adanya kerusakan kognitif
yang memerlukan penyelidikan lanjut. Kriteria demensia:

Ringan : 21 - 30
Sedang : 11 – 20
Berat : < 10
Pemeriksaan Portabel untuk Status Mental (PPMS = MMSE = mini
mental state examination)

No Daftar Pertanyaan Penilaian


1. Tanggal berapakah hari ini? (bulan,  0-2 kesalahan = baik
tahun)  3-4 kesalahan =
2. Hari apakah ini? gangguan intelek
3. Apakah nama tempat ini? ringan
4. Berapa nomor telepon bapak/ibu? (bila tidak  5-7 kesalahan = gangguan
ada telepon, dijalan apakah rumah intelek ringan
bapak/ibu?)  8-10 kesalahan = gangguan
intelek berat
5. Berapakah umur Bapak/Ibu?
 Bila penderita tak pernah
6. Kapan Bapak/Ibu lahir? (tanggal, bulan, tahun)
sekolah, nilai kesalahan
7. Siapakah nama gubernur kita?
(walikota/lurah/camat) diperbolehkan +1 dari nilai

8. Siapakah nama gadis ibu anda? di atas.

9. Hitung mundur 3-3, mulai dari 20!  Bila penderita sekolah lebih
dari SMA, kesalahan yang
diperbolehkan -1 dari nilai
diatas.

G. Penatalaksanaan
Pendekatan Perawatan Lanjut Usia
Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat
perlu ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual
dan sosial. Hal tersebut karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan
menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut usia yang membutuhkan suatu
pelayanan yang komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam bidang kesehatan jiwa
(mental health) disebut pendekatan eklektik holistik, yaitu suatu pendekatan yang
tidak tertuju pada pasien semata-mata, akan tetapi juga mencakup aspek psikososial
dan lingkungan yang menyertainya.
Pendekatan Holistik adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya
untuk meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia, secara utuh dan menyeluruh.
1. Pendekatan fisik
Perawat mempunyai peranan penting untuk mencegah terjadinya cedera sehingga
diharapkan melakukan pendekatan fisik, seperti berdiri disamping klien,
menghilangkan sumber bahaya dilingkungan, memberikan perhatian dan
sentuhan, bantu klien menemukan hal yang salah dalam penempatarmya,
memberikan label gambar atau hal yang diinginkan klien
2. Pendekatan psikologis
Perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif
pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter, interpreter
terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi dan
sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan
ketelitian dalam memberikan kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk
menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa puas. Perawat
harus selalu memegang prinsip "Tripple", yaitu sabar, simpatik dan service. Hal
itu perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi karena bersama dengan
semakin lanjutnya usia Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti
menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi, berkurangnya
kegairahan atau keinginan, peningkatan kewaspadaan, perubahan pola tidur
dengan suatu kecenderungan untuk tiduran diwaktu siang, dan pergeseran libido.
Perawat harus sabar mendengarkan cerita dari masa lampau yang membosankan,
jangan menertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila lupa melakukan
kesalahan. Harus diingat kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuan
tertentu. Bila perawat ingin merubah tingkah laku dan pandangan mereka
terhadap kesehatan, perawat bila melakukannya secara perlahan-lahan dan
bertahap. perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah pemuasan
pribadi sehinga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila
perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka puas dan bahagia.
3. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungan
lansia dengan Tuhan atau agama yang dianutnya dalam t keadaan sakit atau
mendeteksi kematian. Sehubungan dengan pendekatan. spiritual bagi klien lanjut
usia yang menghadapi kematian. Seorang dokter mengemukakan bahwa maut
sering kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai
macam faktor, seperti ketidakpastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa
sakit dan kegelisahan kumpul lagi dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksi
yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara dalam mengahadapi hidup
ini. Adapun kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga,
perawat harus meyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi ditinggalkan.
masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu
menghantui pikiran lanjut usia.
4. Pendekatan social
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya
perawat dalam pendekatan social. Memberi kesempatan untuk berkumpul
bersama dengan sesama klien usia berarti menciptakan sosialisasi mereka. Jadi
pendekatan social ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang
dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Penyakit
memberikan kesempatan yang seluas luasnya kepada para lanjut usia untuk
mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi, nonton film,
atau hiburan lain. Tidak sedikit klien tidak tidur terasa, stress memikirkan
penyakitnya, biaya hidup, keluarga yang dirumah sehingga menimbulkan
kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa kecemasan. Tidak jarang
terjadi pertengkaran dan perkelahian diantara lanjut usia, hal ini dapat diatasi
dengan berbagai cara yaitu mengadakan hak dan kewajiban bersama. Dengan
demikian perawat tetap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka
maupun terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan pelayanan
kesejahteraan sosial bagi lanjut usia.

H. Asuhan Keperawatan Lansia

1. Pengkajian

Proses pengumpulan data untuk mengidentifikasi massalah keperawatan meliputi aspek

a. Fisik
1) Wawancara
2) Pemeriksaan fisik: Head to Toe dan system tubuh
b. Psikologis

Pemeriksaan psikologis dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan


status mental. Pemeriksaan status mental meliputi bagaimana penderita
berpikir (proses pikir), merasakan dan bertingkah laku selama pemeriksaan.
Keadaan umum penderita adalah termasuk penampilan, aktivitas
psikomotorik, sikap terhadap pemeriksa dan aktifitas bicara.

Gangguan motorik, antara lain gaya berjalan menyeret, posisi tubuh


membungkuk, gerakan jari seperti memilin pil, tremor dan asimetri
tubuh perlu dicatat (Kaplan et al, 1997). Banyak penderita depresi mungkin
lambat dalam bicara dan gerakannya. Wajah seperti topeng terdapat pada
penderita penyakit Parkinson (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).

Bicara penderita dalam keadaan teragitasi dan cemas mungkin


tertekan. Keluar air mata dan menangis ditemukan pada gangguan depresi
dan gangguan kognitif, terutama jika penderita merasa frustasi karena tidak
mampu menjawab pertanyaan pemeriksa (Weinberg, 1995; Kaplan et al,
1997; Hamilton, 1985). Adanya alat bantu dengar atau indikasi lain bahwa
penderita menderita gangguan pendegaran, misalnya selalu minta
pertanyaan diulang, harus dicatat (Gunadi, 1984).

Sikap penderita pada pemeriksa untuk bekerjasama, curigaa,


bertahan dan tak berterima kasih dapat memberi petunjuk tentang
kemungkinan adanya reaksi transferensi. Penderita lanjut usia dapat bereaksi
pada dokter muda seolah-olah dokter adalah seorang tokoh yang lebih tua,
tidak peduli, terhadap adanya perbedaan usia (Weinberg, 1995; Laitman,
1990).

1) Gangguan Persepsi
Halusinasi dan ilusi pada lanjut usia merupakan fenomena yang
disebabkan oleh penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa harus
mencatat apakah penderita mengalami kebingungan terhadap waktu atau
tempat selama periode halusinasi. Adanya kebingungan menyatakan
suatu kindisi organic. Halusinasi dapat disebabkan oleh tumor otak dan
patologi fokal yang lain. Pemeriksaan yang lebih lanjut siperlukan
untuk menegakkan diagnosis pasti (Hamilton,1985).
2) Fungsi Visuospasial
Suatu penurunan kapasitas visuospasial adalah normal dengan
lanjutnya usia. Meminta penderita untuk mencontoh gambar atau
menggambar mungkin membantu dalam penilaian. Pemeriksaan
neuropsikologis harus dilaksanakan jika fungsi visuospasial sangat
terganggu (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
3) Proses Berpikir
Gangguan pada progesi pikiran adalah neologisme, gado- gado kata,
sirkumstansialitas, asosiasi longgar, asosiasi bunyi, flight of ideas, dan
retardasi. Hilangnya kemampuan untuk dapat mengerti pikiran abstrak
mungkin merupakan tanda awal dementia.
4) Isi pikiran harus diperiksa adanya obsesi, preokupasi somatic,
kompulsi atau waham
Gagasan tentang bunuh diri atau pembunuhan harus dicari. Pemeriksa
harus menetukan apakah terdapat waham dan bagaimana waham
tersebut mempengaruhi kehidupan penderita. Waham mungkin
merupakan alas an untuk dirawat. Pasien yang sulit mendengar mungkin
secara keliru diklasifikasikan sebagai paranoid atau pencuriga
(Weinberg, 1995; Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985; Laitman, 1990).
5) Sensorium dan Kognisi
Sensorium mempermasalahkan fungsi dari indra tertentu, sedangkan
kognisi mempermasalahkan informasi dan intelektual (Hamilton, 1985;
Weinberg, 1995).
6) Kesadaran
Indikator yang peka terhadap disfungsi otak adalah adanya perubahan
kesadaran , adanya fluktuasi tingkat kesadaran atau tampak letargik.
Pada keadaan yang berat penderita dalam keadaan somnolen atau stupor
(Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
7) Orientasi
Gangguan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang
berhubungan dengan gangguan kognisi. Gangguan orientasi sering
ditemukan pada gangguan kognitif, gangguan kecemasan,.
Gangguan, buatan, gangguan konversi dan gangguan kepribadian,
terutama selama periode stress fisik atau lingkungan yang tidak
mendukung (Kaplan et al,1997; Hamilton, 1985). Pemeriksa harus
menguji orientasi terhadap tempat dengan meminta penderita
menggambar lokasi saat ini. Orientasi terhadap orang mungkin dinilai
dengan dua cara: apakah penderita, mengenali namanya sendiri, dan
apakah juga mengenali perawat dan dokter. Orientasi waktu diuji
dengan menanyakan tanggal, tahun, bulan dan hari.
8) Daya Ingat
Daya ingat dinilai dalam hal daya ingat jangka panjang, pendek dan
segera. Tes yang siberikan pada penderita dengan memberikan angka
enam digit dan penderita diminta untuk mengulangi maju dan mundur.
Penderita dengan daya ingat yang tak terganggu biasanya dapat
mengingat enam angka maju dan lima angka mundur. Daya ingat jangka
panjang diuji dengan menanyakan tempat dan tanggal lahir, nama dan
hari ulang tahun anak-anak penderita. Daya ingat jangka pendek
dapat diperiksa dengan beberapa cara, misalnya menyebut tiga benda
pada awal wawancara dan meminta penderita mengingat kembali benda
tersebut diakhir wawancara. Atau dengan mengulangi cerita tadi secara
tepat/persis (Hamilton, 1985).
9) Fungsi Intelektual, Konsentrasi, Informasi dan Kecerdasan
Sejumlah fungsi intelektual mungkin diajukan untuk menilai
pengetahuan umum dan fungsi intelektual. Menghitung dapat diujikan
dengan meminta penderita untuk mengurangi 7 angka dari 100 dan
mengurangi 7 lagi dari hasil akhir dan seterusnya samapi dicapai angka
2. Pemeriksa mencatat respons sebagai dasar untuk pengujian
selanjutnya. Pemeriksa juga dapat meminta penderita untuk menghitung
mundur dari 20 ke 1, dan mencatat waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan pemeriksaan tersebut (Kaplan et al, 1997; Hamilton,
1985).
10) Pengetahuan umum adalah yang berhubungan dengan kecerdasan
Penderita ditanya nama presiden Indonesia, nama kota besar di
Indonesia. Pemeriksa harus memperhitungkan tingkat pendidikan
penderitam status social ekonomi dan pengalaman hidup penderita
dalam menilai hasil dari beberapa pengujian tersebut.
11) Membaca dan Menulis
Penting bagi klinisi untuk memeriksa kemampuan membaca dan
menulis dan menetukan apakah penderita mempunyai deficit bicara
khusus. Pemeriksa dapat meminta penderita membaca kisah singkat
dengan suara keras atau menulis pada penderita. Apakah menulis dengan
tangan kiri atau kanan juga perlu dicatat. (Hamilton, 1985).
12) Pertimbangan
Pertimbangan (judgement) adalah kapasitas untuk bertindak sesuai
dengan berbagai situasi. Apakah penderita menunjukkan gangguan
pertimbangan, apa yang akan dilakukan oleh penderita, misalnya
jika ia menemukan surat tertutup, berperangko dan ada
alamatnya di jalan xxx? Apa yang akan dilakukan oleh penderita bila ia
mencium bau asap di sebuah gedung bioskop? Apakah penderita
mampu mengadakan pembedaan? Apakah penderita mampu
membedakan antara seorang kerdil dan seorang anak? Mengapa seorang
memerlukan KTP atau surat kawin? Dan seterusnya.
c. Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya
(Maslow 1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini
terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan
Zentner, 1970). Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan
batin dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutinya dalam
keadaan sakit atau mendeteksi kematian. Dalam menghadapi kematian
setiap klien lanjut usia akan memberika reaksi yang berbeda, tergantung
dari kepribadian dan cara menghadapi hidup ini. Adapun kegelisahan
yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat harus dapat
menyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi di tinggalkan, masih
ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu
menghantui pikiran lanjut usia. Umumnya pada waktu kematian akan
datang agama atau kepercayaan seseorang merupakan faktor yang penting
sekali. Pada waktu inilah kelahiran seorang imam sangat perlu untuk
melapangkan dada klien lanjut usia. Dengan demikian pendekatan perawat
pada klien lanjut usia bukan hanya terhadap fisik saja, melainkan perawat
lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kesepian berhubungan dengan menarik diri
Tujuan :
1) Pasien mampu mengekspresikan perasaannya
2) Pasien mampu kembali bersosialisasi dengan lingkungan
Intervensi:
1) Bina hubungan saling percaya
2) Bantu klien menguraikan kelebihan dan kekurangan interpersonal
3) Bantu klien membina kembali hubungan interpersonal yang positf /
adaptIf dan memberikan kepuasan timbal balik. Beri penguatan dan
kritikan yang positif Dengarkan semua kata-kata klien dan jangan
menyela saat klien bertanya. Berikan penghargaan saat klien dapat
berprilaku yang positif
4) Hindari ketergantungan klien Libatkan dalam kegiatan ruangan
Ciptakan lingkungan terapeutik
5) Libatkan keluarga/system pendukung untuk membantu
mengatasi masalah klien.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan konsep
diri dan depresi
Tujuan :
1) Pasien mampu berpartisipasi dalam memutuskan perawatan
dirinya
2) Pasien mampu melakukan kegiatan dalam menyelesaikan
masalahnya
Intervensi:
1) Bicara secara langsung dengan klien, hargai individu dan
ruang pribadinya jika tepat
2) Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan
perawatan
3) Beri kesempatan bagi pasien untuk bertanggung
jawab terhadap perawatan dirinya
4) Beri kesempatan menetapkan tujuan perawatan dirinya.
Contoh : minta pasien memilih apakah mau mandi, sikat gigi
atau gunting kuku
5) Beri kesempatan untuk menetapkan aktifitas perawatan diri
untuk mencapai tujuan. Contoh: Jika pasien memilih mandi,
bantu pasien untuk menetapkan aktifitas untuk mandi (bawa
sabun, handuk, pakaian bersih)
6) Berikan pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya
7) Tanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiatannya
a) Sepakati jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut secara
teratur
b) Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa
dilakukan pasien saat ini
c) Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap
kemampuan yang masih dimiliki pasien.
d) Anjurkan keluarga untuk membantu pasien melakukan
kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki
e) Anjurkan keluarga memberikan pujian jika pasien
melakukan kegiatan sesuai dengan jadwal kegiatan yang
sudah dibuat.
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas
Tujuan :
1) Pasien mampu mengidentifikasi penyebab gangguan pola tidur
2) Pasien mampu memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur
Intervensi:
a) Identifikasi gangguan dan variasi tidur yang dialami dari pola yang
biasanya
b) Anjurkan latihan relaksasi, seperti musik lembut sebelum tidur
c) Diskusikan cara-cara utuk memenuhi kebutuhan tidur
d) Kurangi tidur pada siang hari
e) Minum air hangat/susu hangat sebelum tidur
f) Hindarkan minum yang mengandung kafein dan coca cola
g) Mandi air hangat sebelum tidur
h) Dengarkan musik yang lembut sebelum tidur
i) Anjurkan pasien untuk memilih cara yang sesuai dengan
kebutuhannya)
j) Berikan pujian jika pasien memilih cara yang tepat untuk memenuhi
kebutuhantidurnya
k) Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang tenang untuk
memfasilitasi agar pasien dapat tidur.
d. Resiko membahayakan diri berhubungan dengan perasaan tidak
berharga dan putus asa
Tujuan :
1) Pasien tidak membahayakan dirinya sendiri
2) Pasien mampu memilih alternatif penyelesaian masalah yang
konstruktif
Intervensi:

1) Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri


2) Bantu pasien mengenali perasaan yang menjadi penyebab
timbulnya ide bunuh diri
3) Ajarkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah yang
konstruktif
4) Bantu pasien untuk memilih cara yang palin tepat untuk
menyelesaikan masalah secara konstruktif
5) Beri pujian terhadap pilihan yang telah dibuat pasien dengan tepat
6) Anjurkan pasien mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di
lingkungannya
7) Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
8) Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah
dimiliki klien dalam menyelesaikan masalah
e. Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif
sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
Tujuan :
1) Klien merasa harga dirinya naik
2) Klien mengunakan koping yang adaptif
3) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya

Intervensi

a) Bina hubungan saling percaya dan keterbukaan


b) Maksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik
c) Bantu klien menerima perasaan dan pikirannya
d) Bantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan
orang lain melalui keterbukaan
e) Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk
berubah ada pada klien
f) Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap
masalahnya
g) Bantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah
h) Bantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah
respon maladaptif dan mempertahankan respon koping yang adaptif
i) Identifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap
kenyataan
j) Berikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan
perasaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019. Jakarta: Badan
Pusat Statistik; 2019.
Berlian, R., & Heppy, F. (2014). Hubungan depresi dengan kejadian insomnia
pada lansia dipanti sosial tresna wedha kasih sayang ibu batusangkar. Jurnal
Kesehatan Stikes Prima Nusantara Bukit Tinggi , 83.

Darmojo, Boedhi. 2015. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut).
Jakarta: FKUI

Kemenkes RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia 2016. Keputusan Menteri


kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Lestari, Sri. (2012). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan


Konflik Dalam Keluarga. Jakarta: Kencana.

Maramis MM. Depresi Pada Lanjut Usia. Jurnal Widya Medika Surabaya. 2014;
2(1): 39-49.

Mood Disorders Society of Canada. Depression in Elderly. (cited 2019 Mei)


Available from: https://mdsc.ca/documents/Consumer%20and%20Family
%20Support/Depression%20in%20Elderly%20edited%20Dec16%202010.pdf.

National Institute of Mental Health. Depression Basics. (updated 2016; cited 2019
Jul 6). Available from:
https://www.nimh.nih.gov/health/publications/depression/index.shtml

O’Brien, P. G. (2013). Keperawatan Kesehatan Jiwa Psikiatrik : Teori & Praktik.


Jakarta: EGC.
Ratnawati, E. 2017. Asuhan keperawatan gerontik.Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
Stuart, G. W. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Suma PC, Hasan A. Depression. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls
publishing. (updated 2019 Jan; cited 2019 Jul 6). Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430847/.
World Health Organization (2017). Mental disorders fact sheets. World Health
Organization. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs396/en/

World Health Organization. Mental health action plan 2013-2020. Switzerland:


World Health Organization. 2013. http://apps.who.int/iris/
bitstream/10665/89966/1/9789241506021_eng.pdf?ua=1

Anda mungkin juga menyukai