1 PB
1 PB
151 Jurnal Geografi Gea, Volume 20, Nomor 2, Oktober 2020 https://ejournal.upi.edu/index.php/gea
ABSTRACT
The growing of peri-urban regions has been characterized urbanization process of
cities in Java including in both large and much smaller ones. This paper uses villages’
monograph data from 1990 to 2017 to present the extent to which peri-urban
development has been occurring in Pekalongan region, as an elaboration of such
process in a small city in Java, the densest populated big islands in the world. The study
reveals peri-urban development process also happen in Pekalongan Region that shows
as an extended urbanization phenomenon from the core to the surroundings
peripheries. The elaboration shows peri-urban development in this region is highly
concentrated along the national road of Pantura that form a more than 40 km urban
corridor. Long term analysis shows the influence of the regional road network as well
as the availability of the previous urban centers in the peripheries of Pekalongan City
bring strong support to the extended formation of Pekalongan Urban Region. The paper
concludes with a discussion of the policy implications of the findings.
Keywords: Java, peri-urbanization, spatial pattern, urban population growth.
ABSTRAK
Perkembangan kawasan peri-urban telah menjadi karakteristik penting pada proses
urbanisasi kota-kota di Jawa, baik pada kota-kota yang berukuran besar maupun kecil.
Tulisan ini mempergunakan data monografi desa-desa dari tahun 1990 hingga 2017
untuk mempresentasikan sejauh mana perkembangan kawasan peri-urban terjadi di
Kawasan Pekalongan, sebagai suatu pemahaman terhadap proses tersebut dalam proses
urbanisasi yang terjadi pada suatu kota yang berukuran kecil di Jawa, yang merupakan
pulau besar yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi di dunia. Penelitian ini
mengungkapkan bahwa proses perkembangan kawasan peri-urban juga terjadi pada
Kawasan Pekalongan, yang memperlihatkan suatu fenomena perkembangan kawasan
perkotaan yang meluas dari kawasan inti ke kawasan pinggiran di sekitarnya. Analisis
memperlihatkan bahwa perkembangan peri-urban di kawasan ini sangat terkonsentrasi
di sepanjang jalan nasional Patura, yang membentuk suatu koridor perkotaan lebih dari
40 km. Analisis jangka panjang memperlihatkan bahwa keberadaan jalan regional
utama dan keberadaan pusat-pusat aktivitas perkotaan pada kawasan pinggiran Kota
Pekalongan telah memberikan dukungan kuat terhadap pembentukan kawasan koridor
perkotaan ini. Tulisan ini ditutup oleh sebuah diskusi implikasi kebijakan dari temuan-
temuan yang dihasilkan.
Kata kunci: Jawa, periurbanisasi, pertumbuhan penduduk perkotaam, pola spasial.
H. Mardiansjah, P. Rahayu. Perkembangan Kawasan Perkotaan… 152
PENDAHULUAN di wilayah dari kabupaten-kabupaten yang
berlokasi di antara ketiga kota tersebut.
Pulau Jawa merupakan pulau besar
terkecil di Indonesia, dengan luas sekitar 7% Firman (2003) berpendapat bahwa
dari luas daratan nasional. Namun, pertumbuhan penduduk perkotaan di Pulau
berdasarkan perkiraan Survey Penduduk Jawa menunjukkan pola spasial yang melebar
Antar-Sensus (SUPAS) terakhir di tahun (extended metropolitan regions) telah dimulai
2015, pulau ini merupakan kawasan tempat sejak tahun 1980an. Perkembangan ini yang
terkonsentrasinya 145,01 juta penduduk, yang ditandai oleh melambatnya pertumbuhan
merupakan 56,8% dari 255,2 juta penduduk penduduk perkotaan di daerah-daerah kota
Indonesia di tahun tersebut (BPS, 2015). yang ada, serta meningkatnya laju
Besarnya jumlah penduduk yang ada pertumbuhan penduduk perkotaan di wilayah
membuat kepadatan rata-rata di pulau ini kabupaten-kabupaten sekitarnya (Firman,
menjadi 1.115 jiwa/km2, sebagai tingkat 2003, lihat juga Firman dkk, 2007, dan
kepadatan penduduk yang tertinggi dan jauh Firman, 2016). Berdasarkan observasinya
lebih tinggi daripada tingkat kepadatan pada beberapa kota Asia di India, Jepang,
penduduk nasional di tahun yang sama, Cina dan Thailand, di tahun 1950an dan
sebesar 129,8 jiwa/km2. Tingkat kepadatan 1960an, Ginsburg (1991) menjelaskan bahwa
penduduk tersebut juga membuat Jawa, yang perkembangan formasi kawasan perkotaan
merupakan pulau terbesar ke-13 di dunia, yang meluas ini merupakan suatu
menjadi pulau besar terpadat di dunia setelah karakteristik spasial dari proses urbanisasi
Honshu yang merupakan pulau terbesar pada kota-kota utama di Asia, yang sangat
ketujuh di dunia dengan kepadatan penduduk berbeda dengan pola yang terjadi pada proses
sekitar 447 jiwa/ km2 di tahun 2017. urbanisasi yang terjadi sebelumnya di Eropa
dan di Amerika. Ginsburg (1991) mengatakan
Tingginya kepadatan penduduk proses ini sebagai suatu proses urbanisasi
tersebut mendorong Jawa menjadi kawasan pedesaan (urbanization of the countryside).
yang subur bagi pertumbuhan penduduk dan
kawasan perkotaan. SUPAS 2015 McGee (1991) mengatakan bahwa
memperkirakan 90,83 juta atau 62,63% darri perkembangan kawasan perkotaan yang
145,0 juta penduduk Jawa tergolong kepada melebar merupakan salah satu karakter
penduduk perkotaan, dimana jumlah tersebut penting dari proses urbanisasi di Pulau Jawa.
mengkontribusi sebesar 66,97% dari seluruh Beliau merumuskan pendapatnya tersebut
peduduk perkotaan Indonesia. Jawa juga dalam konsep ―desakota‖ yang
merupakan kawasan pertumbuhan perkotaan menggambarkan suatu kawasan padat
utama di Indonesia. Walau jumlah daerah penduduk di kawasan pinggiran kota yang
kotanya relatif tidak banyak berubah, Jawa berdekatan dan terhubung kepada kawasan
menyumbang tujuh dari sepuluh kota terbesar inti atau pusat konsentrasi utama dari
di Indonesia (Rahayu dan Mardiansjah, 2019). penduduk dan aktivitas kota, yang
Namun, pertumbuhan kawasan perkotaan di mencerminkan suatu proses dan karakteristik
Jawa tidak hanya terjadi di daerah-daerah perubahan fisik, sosial dan ekonomi yang
kotanya saja. Pertumbuhan penduduk dan membawa dan mengarahkan kepada
kawasan perkotaannya juga terjadi pada pembentukan suatu metropolitan besar (Mc
wilayah kabupaten-kabupaten, baik yang Gee, 1971, lihat juga McGee, 2005). Oleh
bersebelahan dengan daerah kota maupun karena itu, ketimbang mengatakannya sebagai
tidak (Mardiansjah, 2013). Dengan suatu urbanisasi pedesaan, McGee (1991)
menggunakan kasus pada Jawa Tengah dan memilih mengatakannya sebagai suatu
Kawasan Segitiga Pertumbuhan Joglo Semar continuous urbanization, yaitu suatu pola
(Yogyakarta-Surakarta-Semarang dan urbanisasi yang menerus di dalam suatu
sekitarnya), Setyono dkk (2016) juga transisi ruang-ekonomi (space-economy
menjelaskan besarnya proses pertumbuhan transition). Hal yang menarik menurut
kawasan perkotaan (urbanisasi) yang terjadi McGee adalah bahwa bentukan kawasan
perkotaan yang melebar ini memperlihatkan
153 Jurnal Geografi Gea, Volume 20, Nomor 2, Oktober 2020
suatu sistem spasial perkotaan yang melebar, melampaui batas wilayah administrasi
yang mengaburkan batas-batas di antara kota kotanya ke kawasan pinggiran. Biasanya,
dengan kawasan perdesaan di sekitarnya, desa-desa yang tereklasifikasi ini tidak saja
yang juga membangun integrasi spasial di memiliki kawasan-kawasan permukiman
antara keduanya (McGee, 1991). perkotaan yang padat penduduk saja di
dalamnya. Seringkali desa-desa ini juga
Perkembangan teknologi, terutama kawasan permukiman dengan kepadatan
teknologi transportasi dan telekomunikasi, rendah, seperti permukiman pedesaan, yang
pasca perang dunia kedua telah meningkatkan terkombinasi dengan perkembangan
konektivitas antara banyak kota di Asia signifikan dari aktivitas-aktivitas perkotaan di
dengan kawasan perdesaan di sekitarnya dan dalamnya, seperti kegiatan industri dan/atau
memfasilitasi sirkulasi orang/tenaga kerja dan perdagangan. Dalam proses ini, terjadi
barang-barang komoditas serta ide dan modal perubanan karakter fisik kawasan pinggiran
di atara kawasan metropolitan tersebut yang mengkaburkan batasan antara perkotaan
(McGee, 1991). Kondisi ini tidak hanya dan perdesaan akibat dari perkembangan
mempersilahkan tenaga kerja untuk tetap kawasan campuran perkotaan dan perdesaan
tinggal di kawasan pinggiran ketika (Dutta dkk, 2013). Dealam konteks yang lebih
memperoleh pekerjaan non pertanian di kota, luas, perkembangan pola spasial
tetapi juga memungkinkan keluarga-keluarga periurbanisasi akibat dari pertumbuhan
di kota untuk bertempat tinggal di pingggiran spasial yang melebar (extend) dan/atau
dengan tetap mempertahankan aktivitas dan meloncat (sprawl) ke kawasan pinggiran ini
pekerjaannya di kota. sering membentuk suatu wilayah perkotaan
Dalam perkembangannya di Pulau (urban region) yang sangat luas dan jauh
Jawa, pola pertumbuhan kawasan perkotaan lebih luas daripada batas administrasi dari
melebar ini tidak hanya terjadi pada kawasan- kota intinya (Dutta dkk, 2013).
kawasan perkotaan (metropolitan) besar Dutta dkk (2013) menjelaskan bahwa
seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang kawasan periurbanisasi seperti ini sering
dan Malang saja (Prawatya, 2013). Pada saat dihadapkan pada beberapa masalah penting
ini pola perkembangan spasial ini juga telah dalam perkembangan perkotaannya, yang
terjadi pada kawasan-kawasan perkotaan yang meliputi tekanan besar kepada kondis
jauh lebih kecil seperti pada Kawasan lingkungannya, perkembangan kawasan
Cirebon (Fahmi dkk, 2014) dan Kawasan kumuh, rendahnya ketersediaan infrastruktur
Tegal (Mardiansjah, 2020). Selain itu, pola lingkungan dan sanitasi, hingga kepada
spasial pertumbuhan perkotaan yang melebar masalah tekanan migrasi akibat dari
juga terjadi pada kawasan kota-kota rendahnya kemampuan dan kapasitas
menengah yang ada di Jawa seperti pada Kota perencanaan yang ada. Tacoli (2006) dan
Surakarta (Mardiansjah dkk, 2018; lihat juga McGregor dkk (2006) mengatakan bahwa
Pradoto dkk , 2018) dan Malang rendahnya kemampuan perencanaan di
(Mardiansjah, 2013). kawasan peri-urban diakibatkan oleh
Firman (2016) menjelaskan bahwa karakteristik kawasan yang berada di luar
perluasan kawasan perkotaan melebar ini juridiksi dann administrasi kota, sehingga
tidak saja diakibatkan oleh perluasan kawasan umumnya kawasan seperti ini menjadi
terbangun, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh kawasan yang informal dan tak terencana,
terjadinya reklasifikasi desa-desa yang ada di walaupun umumnya memiliki aktivitas dan
pinggiran kota inti dari desa non-perkotaan pelayanan perkotaan.
menjadi desa perkotaan. Dalam konteks ini, Artikel ini ditujukan untuk melengkapi
Firman dan Fahmi (2017) mengatakan bahwa pemahaman tentang pola spasial pertumbuhan
proses perkembangan melebar merupakan perkotaan melebar pada kawasan perkotaan
proses urbanisasi in-situ yang mengubah yang berbasis pada kota kecil di Jawa, dengan
desa-desa di pinggiran menjadi desa-desa melakukan elaborasi pada perkembangan
perkotaan sehingga mengakibatkan terjadiya kawasan perkotaan di sekitar Kota
perluasan kawasan perkotaan yang Pekalongan. Kota Pekalongan bisa
H. Mardiansjah, P. Rahayu. Perkembangan Kawasan Perkotaan… 154
dikategorikan sebagai kota kecil-menengah timur. Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten
dengan jumlah penduduk sekitar 300 ribu Batang terletak bersebelahan dengan Kota
jiwa. Kota ini yang terletak di jalur/koridor Pekalongan, sementara Kabupaten Pemalang
jalan regional Pantura (pantai utara) Jawa terletak di sebelah barat kota tersebut. Karena
Tengah, dengan jarak sekitar 100 km dari lokasi Kabupaten Pekalongan dan Pemalang
Semarang ke arah barat. Pemahaman terhadap berada pada kawasan pinggiran sebelah barat
pola spasial perkembangan kawasan dan selatan, maka kedua kabupaten tersebut
perkotaan di Pulau Jawa ini sangat penting, dikategorikan sebagai kawasan pinggiran
karena Pulau Jawa merupakan tempat barat, sementara Kabupaten Batang
terkonsentrasinya pemduduk perkotaan diklasifikasi sebagai pinggiran timur karena
Indonesia, yang hingga kini masih lokasinya yang berada di sebelah timur Kota
menampung dua per tiga penduduk perkotaan Pekalongan.
nasional. Selain itu, pemahaman yang baik
Pengamatan terhadap kawasan-
terhadap proses urbanisasi, termasuk
pembentukan struktur dan pola spasialnya, kawasan perkotaan di kawasan pinggiran ini
akan bermanfaat bagi perumusan kebiijakan dilakukan melalui mengamati perkembangan
dan strategi pengelolaan urbanisasi dan desa-desa perkotaan di kabupaten-kabupaten
perkembangan perkotaan di Jawa, yang sekitar, yang diklasifikasi oleh BPS secara
diperkirakan akan terus menjadi salah satu berkala, terutama pada tahun dilaksanakannya
Sensus Penduduk yaitu tahun 1980, 1990,
tantangan pembangunan perkotaan nasional
hingga beberapa dekade mendatang. Besarnya 2000 dan 2010, serta tahun 2017 sebagai data
tahun terakhir BPS melakukan klasifikasi
jumlah dan proporsi penduduk perkotaan di
Jawa saat ini dan masa depan membuat masa desa perkotaan dan non-perkotaan hingga saat
ini. Selain mengamati jumlah desa perkotaan
depan perkotaan di Jawa akan memberikan
pengaruh yang sangat besar kepada masa yang tergabung di dalam setiap aglomerasi
perkotaan, indentifikasi kawasan perkotaan
depan perkotaan di Indonesia.
ini juga memperhatikan besaran penduduk
yang berada di dalam setiap aglomerasi
METODE PENELITIAN
perkotaan yang terbentuk dan berkembang.
Penelitian ini dilakukan dengan Identifikasi kawasan perkotaan dilakukan
menggunakan studi kasus perkembangan dengan mengamati aglomerasi desa-desa
kawasan perkotaan kecil yang terjadi di perkotaan yang ada di setiap tahun amatan
pinggiran Kota Pekalongan untuk dengan menggunakan dua variable, yaitu
memperlihatkan fenomena urbanisasi yang lokasi/posisi desa perkotaan dan batas
menyebar di kawasan pinggiran dari suatu kecamatan. Desa-desa perkotaan yang
kota yang berukuran kecil-menengah di Pulau bersebelahan di dalam kecamatan yang sama
Jawa. Pengamatan terhadap perkembangan dianggap membentuk suatu kawasan
kawasan perkotaan kecil ini dilakukan dengan perkotaan yang sama, namun desa-desa
mengamati perkembangan kawasan-kawasan perkotaan yang bersebelahan tetapi berasal
perkotaan yang tumbuh dan berkembang pada dari kecamatan yang berbeda dianggap
tiga buah kabupaten yang berada dalam radius merupakan kawasan perkotaan yang berbeda.
sekitar 40 - 50 km dari Kota Pekalongan, Selanjutnya, aglomerasi desa-desa perkotaan
yaitu: Kabupaten Pekalongan, Kabupaten yang membentuk kawasan-kawasan perkotaan
Batang dan Kabupaten Pemalang, yang itu diklasifikasi ke dalam empat kategori
masing-masing beribukotakan di Kecamatan kawasan perkotaan berdasarkan jumlah
Kajen, Kecamatan Batang dan Kecamatan penduduknya, yaitu: (1) kawasan perkotaan
Pemalang. Jarak 40 km tersebut merupakan besar dengan lebih dari 100 ribu penduduk;
setengah jarak dari Kota Pekalongan ke Kota (2) kawasan perkotaan sedang dengan
Tegal yang berada 80 km dari Kota penduduk antara 30.000 – 100.000 jiwa; dan
Pekalongan ke barat, sementara jarak 50 km (3) kawasan perkotaan kecil dengan penduduk
merupakan setengah jarak dari Kota kurang dari 30.000 jiwa.
Pekalongan ke Kota Semarang yang berlokasi
sekitar 100 km dari Kota Pekalongan ke
155 Jurnal Geografi Gea, Volume 20, Nomor 2, Oktober 2020
Analisis dan pengamatan terhadap yang terbentuk oleh Kota Pekalongan dan tiga
perkembangan kawasan perkortaan kecil ini kabupaten di sekitarnya ini telah mulai dapat
juga mempertimbangkan pola spasial dari dikategorikan sebagai masyarakat perkotaan.
aglomerasi atau kawasan-kawasan perkotaan
yang terbentuk dan berkembang. Analisis ini Pada dasarnya, rata-rata laju
dilakukan dengan mengamati posisi dan pola pertumbuhan penduduk total di kawasan
lokasi dari kawasan-kawasan perkotaan yang pinggiran (0,8% per tahun) masih sedikit
berkembang terhadap dua buah acuan lokasi lebih rendah daripada rata-rata lajunya di
utama, yaitu Kota Pekalongan sebagai kawasan pusat, yaitu Kota Pekalongan (0,9%
kawasan inti dari kawasan perkotaan besar per tahun). Namun, pertumbuhan penduduk
(urban region) yang terbangun, dan perkotaan yang terjadi sangat berbeda dengan
keberadaan elemen-elemen spasial penting pertumbuhan penduduk totalnya. Kawasan
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pinggiran memiliki rata-rata laju pertumbuhan
perkembangan perkotaan, yaitu infrastruktur penduduk perkotaan tahunan sebesar 4,0%
transportasi regional utama yang ada, per tahun pada antara 1980 hingga 2010,
terutama jaringan Jalan Nasional Pantura sedangkan kawasan pusat hanya sebesar 2,5%
(Pantai Utara) Jawa. Diharapkan analisis per tahun di periode yang sama.
lokasi ini juga mampu memberikan Laju pertumbuhan tinggi di kawasan
penjelasan terhadap perkembangan kawasan- pusat hanya terjadi pada periode 1980an
kawasan perkotaan kecil tersebut. dengan angka sebesar 6,3% per tahun sebagai
akibat adanya perubahan definisi penduduk
perkotaan di wilayah daerah kota, atau
HASIL DAN PEMBAHASAN
kotamadya pada terminologinya di masa lalu,
Perkembangan Penduduk Perkotaan di dari hanya penduduk kelurahan-kelurahan
Kawasan Pekalongan yang berkarakter fisik perkotaan menurut
definisinya di Sensus Penduduk Tahun 1980
Hasil Sensus Penduduk Nasional menjadi seluruh penduduk di wilayah
beberapa dekade terakhir memperlihatkan kotamadya menurut definisinya pada Sensus
bahwa Kawasan Pekalongan telah menjadi Penduduk tahun 1990. Pada periode
kawasan tempat berlokasinya pertumbuhan selanjutnya, Kota Pekalongan hanya memiliki
penduduk perkotaan yang pesat (lihat Tabel rata-rata laju pertumbuhan penduduk
1). Pada antara tahun 1980 hingga 2010, perkotaan antara 0,7% hingga 0,9% per tahun.
penduduk perkotaan di kawasan ini tumbuh Sementara itu, kawasan pinggiran memiliki
dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar laju pertumbuhan tinggi sebesar 4,7% per
3,7% per tahun, sedangkan rata-rata laju tahun pada dekade 1980an dan 6,1% pada
pertumbuhan penduduk totalnya di periode dekade 1990an, walau kemudian melambat ke
yang hanya sebesar 0,9% per tahun. Laju angka 1,3% per tahun pada dekade 2000an
pertumbuhan penduduk perkotaan tertinggi dan sedikit meningkat menjadi 1,5%per tahun
terjadi pada periode 1980an, yaitu sebesar pada antara tahun 2010 hingga 2017.
5,1% per tahun yang kemudian sedikit
menurun pada dekade 1990an dengan rata- Di antara kedua kawasan pinggiran,
rata sebesar 4,9% per tahun. Pasca tahun kawasan pinggiran timur (Kabupaten Batang)
2000, laju pertumbuhannya melambat drastis yang berada di antara Kota Pekalongan dan
dengan rata-rata antara 1,2% per tahun antar. Kota Semarang, merupakan kawasan yang
Sebagai salah satu implikainya, hasil Sensus memiliki laju pertumbuhan penduduk
Penduduk di tahun 2010 telah perkotaan yang lebih tinggi (4,8% per tahun)
mengkonfirmasi bahwa lebih dari setengah daripada yang terjadi di pinggiran barat (3,8%
penduduk kawasan ini merupakan penduduk per tahun). Bahkan laju pertumbuhan
perkotaan dengan tingkat urbanisasi sebesar penduduk total di Kabupaten Batang juga
53,06%, walaupun di tahun 1980 angka lebih tinggi daripada laju pertumbuhan kedua
proporsi tersebut baru mencapai 23,42%. kabupaten yang berada di kawasan barat.
Dengan demikian, masyarakat di kawasan Namun pola pertumbuhan tinggi di kabupaten
ini berbeda dengan yang terjadi di kedua
H. Mardiansjah, P. Rahayu. Perkembangan Kawasan Perkotaan… 156
kabupaten pinggiran barat. Laju laju 4,2% per tahun) pada dekade sebelumnya.
pertumbuhan sangat tinggi Kabupaten Batang Selain itu, berbeda dengan kawasan barat
(8,1% per tahun) terjadi pada tahun 1980an yang telah sangat melambat sehingga hanya
yang kemudian melambat menjadi 3,6% per memiliki laju pertumbuhan penduduk
tahun pada dekade 1990an. Sementara itu, perkotaan antara 1,0% hingga 1,3% per tahun
kedua kabupaten di pinggiran barat, yaitu pada paska tahun 2000an hingga 2017,
Kabupaten Pekalongan dan Pemalang, Kabupaten Batang masih memiliki laju
memiliki laju pertumbuhan sangat tinggi pertumbuhan penduduk perkotaan yang cukup
(masing-masing 6,5% per tahun dan 7,0% per tinggi dengan angka rata-rata sebesar 2,1%
tahun) pada dekade 1990an setelah hingga 2,8% per tahun pada perioda yang
pertumbuhan yang lebih lambat (3,2% dan sama.
Kawasan-kawasan Perkotaan Kecil dengan penduduk lebih dari 100 ribu jiwa
1 Pemalang (Pml) KP Pemalang 6 desa 93,754 6 desa 101,272 15 desa 167,627 15 desa 167,627
2 Petarukan (Pml) KP Petarukan 5 desa 45,001 5 desa 54,150 14 desa 126,341 14 desa 126,341
3 Taman (Pml) KP Taman 8 desa 83,426 8 desa 70,757 12 desa 122,566 12 desa 122,561
4 Batang (Btg) Batang 6 desa 29,957 13 desa 147,409 18 desa 103,275 18 desa 111,583
1 Kedungwuni (Pkl) KP Kedungwuni 8 desa 48,585 9 desa 67,143 15 desa 82,656 15 desa 84,888
2 Comal (Pml) KP Comal 8 desa 38,639 8 desa 44,163 16 desa 134,811 16 desa 85,811
3 Tirto (Pkl) KP Tirto 3 desa 11,866 6 desa 22,415 13 desa 59,203 13 desa 60,643
4 Ulujami (Pml) KP Ulujami 3 desa 15,541 3 desa 18,095 9 desa 57,239 9 desa 57,239
5 Wiradesa (Pkl) KP Wiradesa 6 desa 20,699 8 desa 29,120 12 desa 47,270 12 desa 49,180
6 Buaran (Pkl) KP Buaran 8 desa 28,385 9 desa 33,434 10 desa 44,082 10 desa 46,426
7 Randudongkal (Pml) KP Randudongkal 1 desa 16,473 1 desa 18,991 5 desa 43,972 5 desa 43,972
8 Bojong (Pkl) KP Bojong 15 desa 32,966 15 desa 37,375 15 desa 39,846 15 desa 40,632
Tabel 3. Pertumbuhan Kawasan-kawasan Perkotaan Kecil dengan penduduk di bawah 30 ribu jiwa, dari tahun 1990 hingga 2017
17 Bawang (Btg) KP Bawang 1 desa 4,436 1 desa 4,893 1 desa 5,028 1 desa 5,305
KP Sibebek - - - - 1 desa 1,934 1 desa 2,114
18 Watukumpul Pml) KP Watukumpul - - - - 1 desa 5,180 1 desa 5,180
19 Blado (Btg) KP Blado 1 desa 2,146 1 desa 2,584 1 desa 3,987 1 desa 4,410
KP Kalipancur - - - - 1 desa 2,218 1 desa 2,474
20 Doro (Pkl) KP Doro 1 desa 3,073 1 desa 3,583 1 desa 4,025 1 desa 4,148
21 Paninggaran (Pkl) KP Paninggaran - - - - 1 desa 3,643 1 desa 3,739
22 Tersono (Btg) KP Rejosari Barat - - - - 1 desa 2,728 1 desa 2,755
KP Tanjungsari - - - - 1 desa 3,340 1 desa 2,101
23 Reban (Btg) KP Reban - - - - 1 desa 2,374 1 desa 2,448
24 Kandangserang (Pkl) KP Kandangserang - - 1 desa 1,337 1 desa 1,363 1 desa 1,369
Sumber: Diolah berdasarkan klasifikasi desa-desa perkotaan pada Data Potensi Desa tahun 1990, 2000, 2010 dan 2017.
165 Jurnal Geografi Gea, Volume 20, Nomor 2, Oktober 2020
Pada kelompok kesebelas kawasan SIMPULAN
perkotaan yang pertama, terdapat kawasan-
kawasan perkotaan yang memiliki jumlah Pembahasan di atas memperlihatkan
desa perkotaan yang cukup banyak, seperti bahwa proses perkembangan kawasan
Kawasan Wonopringgo Kabupaten pinggiran dari kota kecil-menengah seperti
Pekalongan (Pkl) dann Tulis Kabupaten Kota Pekalongan ini juga telah menjadi suatu
Batang (Btg) yang masing-masing memiliki proses penting yang harus dicermati di dalam
sembilan buah desa perkotaan, serta Sragi proses urbanisasi di Indonesia. Proses
(Pkl), Ampelgading Kabupaten Pemalang perkembangan di kawasan pinggiran ini tidak
(Pml), Karngdadap (Pkl), dan Limpung (Btg) saja telah membawa implikasi kepada tumbuh
yang memiliki tujuh atau enam desa dan berkembangnya kawasan-kawasan
perkotaan. Namun pertambahan jumlah desa perkotaan lain di kawasan pinggiran Kota
perkotaan yang terjadi relative kecil bila Pekalongan, tetapi bersama dengan
dibandingkan dengan pertambahan yang perkembangan Kota Pekalongan sebagai
dialami oleh kawasan-kawasan perkotaan lain kawasan perkotaan inti/utamanya juga telah
yang lebihbesar. Bahkan, Kawasan membangun sebuah koridor perkotaan besar
Bantarbolang Kabupaten Pemalang (Pml) dengan ukuran jumlah peduduk yang lebih
yang berpenduduk 15.372 jiwa di tahun 2017 dari satu juta penduduk, sebuah ukuran
tetap hanya memiliki sebuah desa perkotaan penduduk yang setara dengan kota-kota besar
atau metropolitan.
hingga saat ini. Diperkirakan, rendahnya
pertambahan jumlah desa perkotaan, yang Selain kawasan-kawasan perkotaan
kemudian juga berimplikasi kepada yang bersama Kota Pekalongan membentuk
rendahnya pertambahan penduduknya, Korodor Perkotaan Pekalongan tersebut,
diakibatkan oleh kondisi lokasi dari kawasan- kawasan pinggiran dari Kota Pekalongan juga
kawasan perkotaan ini yang jauh dari Kota memiliki sekitar 45 kawasan perkotaan lain
Pekalongan dan/atau jaringan jalan utama. dari berbagai ukuran, dari sedang hingga ke
Sementara itu, sebagian besar kawasan mikro. Di dalam konstelasi wilayah dari
perkotaan pada kelompok mikro merupakan ketiga kabupaten dimana penggunaan
kawasan perkotaan yang hanya memiliki satu lahannya masih didominasi oleh penggunaan
desa perkotaan saja. Hanya lima kawasan dari lahan perkotaan, kawasan-kawasan perkotaan
18 kawasan perkotaan mikro yang memiliki tersebut turut membangun kawasan pinggiran
tiga atau dua desa perkotaan hingga kini, Kota Pekalongan menjadi suatu kawasan peri-
yaitu Kasesi (Pkl), Banyuputih (Btg) dan urban dengan koridor perkotaan tadi sebagai
Siwalan (Pkl) serta Subah (Byg) dan kawasan perkotaan utama yang didukung
Karanganyar (Pkl) (lihat Tabel 3). oleh kawasan-kawasan perkotaan sedang,
Sebagian besar dari kawasan-kawasan kecil dan mikro sebagai kawasan-kawasan
perkotaan mikro ini merupakan ibukota- yang membangun penetrasi aktivitas
ibukota kecamatan dari kecamatan- perkotaan di dalam lingkungan kawasan
kecamatan yang berlokasi jauh dari lokasi pertanian perdesaan yang masih menjadi
ibukota kabupatennya dan/atau dari jaringan karakter dominan dari ketiga wilayah
jalan utama yang ada di wilayahnya. Dalam kabupaten tersebut.
konteks ini, maka dapat dikatakan bahwa Bisa dikatakan bahwa proses ini
faktor lokasi dan jarak menjadi faktor-faktor merupakan suatu pengulangan (replikasi) dari
yang membawa implikasi pada proses proses serupa yang terjadi pada kota-kota
pertumbuhannya. Tabel 3 juga besar utama (primate cities) wilayah di Asia
memperlihatkan bahwa sebagian besar yaitu Timur dan Selatan, seperti yang disampaikan
12 kawasan perkotaan mikro ini juga baru oleg Ginsburg (1991) dan McGee (1991)
terkategori sebagai kawasan perkotaan sejak sebagai suatu proses urbanisasi pedesaas
tahun 2010, sehingga kawasan-kawasan (urbanization of the countryside) dan juga
tersebut bisa dibilang sebagai kawasan urbanisasi yang menerus (continuous
perkotaan baru. urbanization) sebagai akibat dari
perkembangan ruang ekonomi yang juga
H. Mardiansjah, P. Rahayu. Perkembangan Kawasan Perkotaan … 166
dihasilkan oleh proses urbanisasi. Penelitian kawasan-kawasan perkotaan baru terutama
ini ini juga mengkonfirmasi pendapat Tommy yang berukuran kecil dan mikro pada masa
Firman (2003) yang mengatakan setelah tahun 2000 yang merupakan masa
pertumbuhan melebar dari kota-kota di Pulau atau era desentralisasi dan otonomi daerah.
Jawa, dimana penelitian ini memperlihatkan
fenomena urbanisasi melebar dan mendorong REKOMENDASI
terjadinya perkembangan yang melompat
Penelitian ini menrekomendasikan
(sprawl) pada kota kecil-menegah di Pulau
Jawa, termasuk pada kawasan-kawasan dilakukannya penelitian serupa yang
perkotaan kecil yang berada di pinggirannya. dilakukan paada kota-kota kecil-menengah
lain yang berada di Pulau Jawa maupun di
Simpulan lain yang bisa dilihat adalah luar Jawa agar pemahaman terhadap proses
kondisi perkembangan dari kawasan-kawasan urbanisasi pada kota-kota kecil dan menengah
perkotaan di kawasan pinggiran ini sangat di Indonesia dapat dilakukan secara lebih
dipengaruhi oleh beberapa faktor utama. lengkap dan lebih mendalam. Selain itu,
Faktor lokasi menjadi faktor yang penelitian ini juga merekomendasikan
diperkirakan memiliki berpengaruh yang dilakukannya penelitian tentang
paling besar. Indikasi ini tampak dari kondisi pengembangan pola kerjasama antar daerah
bahwa sebagian besar dari kawasan kota dan kabupaten, terutama yang
perkotaan, baik yang terkategori besar bersebelah-sebelahan dan membentuk suatu
maupun sedang berlokasi pada tempat-tempat kawasan perkotaan yang sama dan masif, di
yang cukup dekat dari Kota Pekalongan dalan proses pengelolaan pembangunan
dan/atau jaringan Jalan Nasional Pantura, dan perkotaannya.
sebagian besar dari kawasan perkotaan yang
Proses urbanisasi yang melebar dan
terkategori kecil dan mikro berlokasi jauh dari
kedua acuan tersebut. Faktor sejarah fungsi mendorong terjadinya sprawl pada kota-kota
kawasan dalam fungsi administratif juga kecil-menengah, termasuk di wilayah
diperkirakan menjadi faktor yang turut kabupaten seperti ini membutuhkan
memberi pengaruh signifikan.Indikasi ini pengelolaan yang tepat dan cermat agar dapat
tampak dari kondisi bahwa Kawasan menghindari terjadinya berbagai persoalan
Perkotaan Pemalang dan Batang merupakan yang seringkali juga dibawa oleg proses
kawasan-kawasan perkotaan terbesar di urbanisasi seperti pertumbuhan yang tidak
wilayahnya adalah kawasan-kawasan yang merata dan periperalisasi wilayah (lihat Tan,
berfungsi sebagai ibukota kabupaten sejak 2017 dan Pradoto dkk, 2018), dan bahkan
masa lalu. Kawasan Kajen yang merupakan dapat meningkatkan pemanfaatan urbanisasi
ibukota Kabupaten Pekalongan bukan terhadap pengentasan kemiskinan (lihat Chen
menjadi kawasan perkotaan terbesar karena dkk, 2019), pengelolaan kawasan hijau
ibukota Kajen merupakan ibukota baru yang termasuk hutan alami yang dimiliki (lihat Sun
baru difungsikan sejak tahun 2001 dengan dkk, 2019), dan peningkatan/penguatan relasi
dilakukan pemindahan ibukota Kabupaten dan interkoneksi fungsi lingkungan antar
Pekalongan dari Kota Pekalongan ke Kajen. kawasan di dalam proses urbanisasi (lihat
Faktor ketiga yang juga diperkirakan turut Wang dkk, 2019 dan Yu dan Zhou, 2018).
memberikan pengaruh signifikan terhadap Oleh karena itu, bagi para pemangku jabatan
perkembangan kawasan-kawasan perkotaan pengelolaan pembangunan wilayah, termasuk
tersebut adalah factor sejarah pengelolaan proses urbanisasi di dalamnya, penelitian ini
pembangunan wilayah atau yang juga bisa merekomendasikan peningkatan dan
disebut sebagai faktor desentralisasi atau pengembangan kapasitas pengelolaan
otonomi daerah. Indikasi ini sangat tampak pembangunan perkotaan, termasuk
dari besarnya pertambahan desa-desa pengembangan kapasitas kerjasama di
perkotaan pada masa setelah tahun 2000, atau dalamnya. Rekomendasi ini tidak hanya
antara tahun 2000 hingga 2010, terutama pada ditujukan kepada para pemangku jabatan di
kawasan-kawasan perkotaan besar dan daerah-daerah kota saja, tetapi juga kepada
sedang, dan banyaknya bermunculan mereka yang berada di daerah-daerah
167 Jurnal Geografi Gea, Volume 20, Nomor 2, Oktober 2020
kabupaten, terutama kabupaten-kabupaten urban regions.‘ Asian Population
yang telah mengalami proses urbanisasi yang Studies, 13(1), 50–66.
cepat seperti kabupaten-kabupaten yang https://doi.org/10.1080/17441730.2016.1
diamati di dalam penelitian ini. 247587
Firman, T., & Fahmi, F. Z. (2017). The
DAFTAR PUSTAKA
Privatization of Metropolitan Jakarta‘s
Chen, M., Sui, Y., Liu, W., Liu, H., & Huang, (Jabodetabek) Urban Fringes: The Early
Y. (2019). Urbanization patterns and Stages of ―Post-Suburbanization‖ in
poverty reduction: A new perspective to Indonesia. Journal of the American
explore the countries along the Belt and Planning Association, 83(1), 68–79.
Road. Habitat International, https://doi.org/10.1080/01944363.2016.1
84(November 2018), 1–14. 249010
https://doi.org/10.1016/j.habitatint.2018.
12.001 Firman, T., Kombaitan, B., & Pradono, P.
(2007). The dynamics of Indonesia‘s
P. Rahayu, P dan Mardiansjah, F.H. 2019. urbanisation, 1980–2006. Urban Policy
The gowth and distribution of cities in and Research, 25(4), 433–454.
Java dalam A.S Permana, P. Rahayu, https://doi.org/10.1080/08111140701540
H.N.Ismail of Contemporary Urban LIfe 752
and Development p. 1-26, Surakarta,
Indonesia UNS Press Ginsburg, N. (1991). Extended Metropolitan
Regions in Asia: A new spatial paradigm
Dutta, S., Bardhan, S., & Bhaduri, S. (2013). dalam N.Ginsburg, B. Koppel, and T.G.
Patterns of Urbanization and McGee of The Extended Metropolis:
Environmental Quality in the Context of Settlement Transition in Asia, pp. 27-46,
Indian Cities. Environment and Honolulu University of Hawai Press
Urbanization Asia, 4(2), 287–299.
Mardiansjah, F. H. (2013). Urbanisation
https://doi.org/10.1177/09754253135107
68 durable des territoires et politiques de
développement urbain en Indonésie.
Fahmi, F. Z., Hudalah, D., Rahayu, P., &
Woltjer, J. (2014). Extended Mardiansjah, F. H., Handayani, W., &
urbanization in small and medium-sized Setyono, J. S. (2018). Pertumbuhan
cities: The case of Cirebon, Indonesia. Penduduk Perkotaan dan Perkembangan
Habitat International, 42, 1–10. Pola Distribusinya pada Kawasan
https://doi.org/10.1016/j.habitatint.2013. Metropolitan Surakarta. Jurnal Wilayah
10.003 Dan Lingkungan, 6(3), 215.
https://doi.org/10.14710/jwl.6.3.215-233
Firman, T. (2003a). Potential impacts of
Indonesia‘s fiscal decentralisation reform McGee, T.G. (1971). The urbanization
on urban and regional development: process in the Third World: explorations
Towards a new pattern of spatial in search of a theory. London, UK: Bell.
disparity. Space and Polity, 7(3), 247– McGee, T.G. (1991). The emergence of desa
271. kota region in Asia: expanding a
https://doi.org/10.1080/13562570320001 hyphoteshis dalam N.Ginsburg, B.
69712 Koppel, and T.G. McGee of The
Firman, T. (2003b). The spatial pattern of Extended Metropolis: Settlement
Transition in Asia, pp. 3-26, Honolulu:
population growth in Java , 1990 ± 2000.
International Development Planning University of Hawai Press
Review, 25(1), 53–66. McGee, T.G. (2005). Distinctive urbanization
Firman, T. (2017). The urbanisation of Java, in the peri-urban regions of East and
2000–2010: towards ‗the island of mega- Southeast Asia: Renewing the debate,
Jurnal Perencanaan Wilayah dan
H. Mardiansjah, P. Rahayu. Perkembangan Kawasan Perkotaan … 168
Kota.16.1: 39-55 Spatial pattern of urban green spaces in a
long-term compact urbanization
McGregor, D. Simon, D., Thomson, D. process—A case study in China.
(2006). The peri-urban interface in Ecological Indicators, 96(August 2017),
developing areas: The research agenda. 111–119.
D. McGregor, D. Simon, D.Thompson, https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2017.09
The Peri-urban Interface: Approaches to .043
Sustainable NAtural and HUman
Resource Use, pp.311-325. New York, Tacoli, C. (2006). The earth scan reader in
USA: Earthscan rural-urban linkages. London, UK:
Earthscan.
Pradoto, W., Mardiansjah, F. H., Manullang,
O. R., & Putra, A. A. (2018). Tan, M. (2017). Uneven growth of urban
Urbanization and the Resulting clusters in megaregions and its policy
Peripheralization in Solo Raya, implications for new urbanization in
Indonesia. IOP Conference Series: Earth China. Land Use Policy, 66(April), 72–
and Environmental Science, 123(1). 79.
https://doi.org/10.1088/1755- https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2017
1315/123/1/012047 .04.032
Prawatya, N. A. (2013). Perkembangan Wang, J., Xu, C., Pauleit, S., Kindler, A., &
Spasial Kota-Kota Kecil Di Jawa Banzhaf, E. (2019). Spatial patterns of
Tengah. Jurnal Wilayah Dan urban green infrastructure for equity: A
Lingkungan, 1(1), 17. novel exploration. Journal of Cleaner
https://doi.org/10.14710/jwl.1.1.17-32 Production, 238, 117858.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2019.11
Setyono, J. S., Yunus, H. S., & Giyarsih, S. R. 7858
(2016). the Spatial Pattern of
Urbanization and Small Cities Yu, W., & Zhou, W. (2018). Spatial pattern of
Development in Central Java: a Case urban change in two Chinese
Study of Semarang-Yogyakarta- megaregions: Contrasting responses to
Surakarta Region. Geoplanning: Journal national policy and economic mode.
of Geomatics and Planning, 3(1), 53–66. Science of the Total Environment, 634,
https://doi.org/10.14710/geoplanning.3.1 1362–1371.
.53-66 https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2018.0
4.039
Sun, C., Lin, T., Zhao, Q., Li, X., Ye, H.,
Zhang, G., Liu, X., & Zhao, Y. (2019).