Anda di halaman 1dari 3

Gue selalu suka menikmati Jakarta di malam hari.

Jakarta gue rasa termasuk salah satu


kota paling ngehe di jagat universe ini. Hehe, gue emang belum pernah ke luar negeri. Gue
cuma tahu kota-kota sangar kayak New York ato Los Angeles dari film-film yang gue tonton
bareng sobat gue si Nugie. Film Gangs of New York yang dibintangi si Leonardo Dicaprio,
menurut gue benar-benar keren abis! Cool! Kayak gitulah seharusnya anak laki-laki sejati. Keras
kayak karang! Berani mati. Berani bertarung sampe titik darah penghabisan untuk hidup! Gile
banget! Gue ga mau pengen jadi laki-laki lembek, cengeng, dan kayak bencong! Laki-laki harus
nge-rock karena hidup, seperti kata orang-orang tua, emang keras!

Nama gue Ipang. Cukup Ipang aja. Lo semua gak perlu tahu siapa nama lengkap gue. Gak
penting banget! Buat apa coba, lo tau nama lengkap seseorang? Buat apa? Gak ada gunanya. Lo
gak bakalan tahu lebih baik tentang orang yang lo tahu nama lengkapnya kalo lo emang gak
tahu. Jadi lo boleh aja panggil gue Ipang Ngehe ato Ipang Ganteng, ato boleh juga Ipang Rock ‘
n roll! Yang terakhir gue paling suka. Gue bakal inget sama semua orang yang manggil gue Ipang
Rock ‘ n roll! Kalo soal ganteng gue gak pernah mikirin, soalnya diapa-apain juga gue emang
ganteng. Ini serius gue tahu meskipun semua cewek di sekolahan kelihatan sebel sama gue, tapi
mereka gak bisa nutupin mata mereka yang berbinar-binar. Ciee ..., berbinar-binar! Ini hasil
pelajaran bahasa indonesia yang baik, satu-satunya pelajaran yang mengisi rapor gue dengan
angka tujuh! Pelajaran lainnya? Jangan tanya! It’s really hot, Bro!
Di sebelah gue, Nugie asyik nyetir mobil sambil ngerokok. Jalanan udah mulai sepi.
Kayak gue bilang tadi, malam-malam gini, selewat jam 11, adalah waktu paling enak untuk
keluyuran menikmati Jakarta. Nugie adalah sobat sejati gue, soul mate gue ‘kali. Eh, tapi kalo
soul mate itu istilah untuk pasangan hidup, ya? Oke, sobat aja deh! Ntar gue dikira bencong
lagi. Gue dan Nugie selalu ngabisin waktu bareng-bareng, gak di sekolah, gak di jalanan, selalu
bareng. Seharian penuh. Biasanya baru selewat midnight, Nugie nganterin gue pulang. Soalnya
gue gak dikasih mobil sama Bokap-Nyokap, meskipun sebenarnya kalau mau Bokap bisa aja
beliin gue mobil. Masalahnya, dia gak mau! Hahaha, gue tau Bokap emang gak suka ngeliat
tingkah laku gue. Bodo amat. Gak dibeliin mobil sama sekali gak soal karena gue bisa pake
mobil Nugie kemana-mana.
Malam ini, gak beda ama malam-malam lainnya, gue dan Nugie menyusuri jalanan
Jakarta tanpa tujuan. “Hey! Brenti, Monyong! Merah tuh!” Ciiiittttt! Nugie menginjak rem
mendadak, dan langsung, kepala gue nyaris membentur kaca depan mobil. Untung refleks gue
masih bagus. “Dasar monyet, Lo!” Nugie cengar-cengir persis monyet Ragunan yang baru dapat
kacang rebus dari pengunjung kebun binatang. “Hehehe, emang enak?!” Dua bocah pengamen
nongol di jendela mobil dan langsung menyanyikan lagu gak jelas diiringi kecrekan dari tutup
botol. “Kasih tuh, Pang!” “Gak ada receh!” “Cari dulu!” Nugie emang berhati baik. Meski
penampilan rocker abis dan nyalinya juga gede, tapi dia baik hati dari sono-nya.
Gue akhirnya menemukan sekeping gopek di sela saku celana jins gue yang super belel
dan robek parah di bagian paha. “Nih, ditabung ya buat sekola!” “Ahh, cuman gopek!” “Belagu
neh si Om, ngasih gopek aja pake nyuruh nabung segala!” “Eh, kurang ajar lo!” “Pelit lo!”
Bahkan hampir setiap hari saya ingin berhenti. Tentu tidak sepanjang hari, tetapi pada
saat-saat tertentu.
Saya berani bertaruh, Anda pun pernah mengalaminya. Jika Anda jenis orang yang selalu
ingin meraih yang terbaik, berorientasi pada tujuan, dan selalu mendapati diri Anda sendiri
sedang membaca buku-buku semacam ini, mungkin Anda telah terbiasa menghadapi
hambatan. Hambatan profesional, hambatan pribadi, bahkan berbagai hambatan yang
berkaitan dengan kebugaran tubuh atau memenangkan permainan.
Biasanya, kita dapat menghadapi semua hambatan ini dengan ketekunan. Akan tetapi,
kadang kala kita berkecil hati. Kita pun kemudian berpaling membaca tulisan yang dapat
memberi inspirasi. Contohnya tulisan Vince Lombardi yang menyatakan : “Orang yang berhenti
tidak pernah menang. Sebaliknya, para pemenang tidak pernah berhenti.” Sungguh nasihat
yang buruk. Para pemenang selalu dapat berhent. Namun mereka dapat berhenti hanya karena
sesuatu yang benar dan pada saat yang tepat.
Kebanyakan orang berhenti begitu saja. Akan tetapi mereka berhenti tanpa hasil. Pada
kenyataannya, banyak profesional dan pasar memperoleh keuntungan dari mereka yang
berhenti dan masyarakat berasumsi bahwa Anda akan berenti. Dunia bisnis dan perusahaan
bahkan memperhitungkannya.
Jika Anda memperlajari sistem yang mendorong sikap berenti ini, kemungkinan besar
Anda akan dapat mengalahkannya. Kemudian, setelah Anda memahami lubang yang biasanya
menjebak begitu banyak orang (saya menyebutnya Dip atau “cekungan”), maka Anda akan
berada selangkah lebih dekat untuk melewatinya.
Manfaat luar biasa dapat diperoleh segelintir orang yang mampu bertahan sedikit lebih
lama daripada kebanyakan orang. Manfaat luar biasa juga akan diperoleh segelintir orang yang
memiliki nyali untuk berhenti dan memusatkan kembali usaha mereka pada hal yang baru.
Dalam kedua kasus ini, masalahnya adalah tentang menjadi yang terbaik di dunia. Tentang
melewati hal-hal sulit dan keluar di sisi yang lain. Berhenti melakukan hal-hal yang salah.
Bertahan dengan hal-hal yang benar. Memiliki nyali untuk melakukan sesuatu.
Hannah Smith, seorang panitera Mahkamah Aguung (MA), adalah seorang wanita yang
sangat beruntung. Ia merupakan yang terbaik di dunia.
Tahun lalu lebih dari 42.000 orang lulus dari fakultas hukum di AS. Tiga puluh tujuh
orang diantaranya mendapat pekerjaan di MA. Ke -37 orang itu pada dasarnya memiliki
jaminan kerja seumur hidup setelah mereka menyelesaikan masa kerja di mahkamah agung.
Firma hukum terkemuka biasa membayar bonus dengan uang muka sebesar $200.000 atau
lebih, untuk setiap panitera yang dapat mereka pekerjakan. Panitera itu sendiri kemudian dapat
menjadi rekanan, hakim, dan senator.
Ada dua hal yang patut dicatat. Pertama, Hannah Smith tidak sekedar beruntung. Ia
memang cerdas dan memiliki pikiran yang terfokus. Selain itu, ia seorang pekerja keras. Kedua,
siapa pun di antara empat puluh dua ribu orang yang lulus dari fakultas hukum tahun lalu bisa
mendapat pekerjaan seperti yang dimiliki Hannah. Kenyataannya tidak.
Impunitas atas pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan salah satu
masalah yang hingga saat ini sulit dipecahkan. Bila dibandingkan dengan pelanggaran-
pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik (civil and political rights) yang telah memiliki
mekanisme yang memadai baik di tingkat internasional maupun nasional, maka pelanggaran-
pelanggaran masif di bidang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ecosoc rights) sangat jauh
dari jamahan negara (state obligation). Apakah itu dalam bentuk pemantauan, investigasi
maupun pemulihan terhadap para korbanya. Boleh dikatakan sampai sekarang belum terdapat
mekanisme dalam menangani pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya (selanjutnya disingkat hak ekosob). Seakan-akan pelanggaran terhadap hak ekosob
tidak menimbulkan kewajiban bagi negara untuk menanganinya (state obligation to protect).
Keadaan inilah yang telah melanggengkan impunitas terhadap hak ekosob.
Mengapa impunitas itu terjadi? Masalah ini bukan hanya mengedepankan pada masa
depan transisi sekarang, tetapi sudah mengakar di masa pemerintahan sebelumnya (Orde
Baru). Memang saat ini pelanggaran terhadap hak ekosob semakin meluas. Apalagi setelah
pemerintah SBY-JK memutuskan untuk mencabut berbagai fasilitas subsidi terhadap rakyat
kecil, termasuk subsidi BBM. Kita menyaksikan bertambahnya jumlah orang miskin, nelayan-
nelayan kecil yang tak melaut, fasilitas kesehatan dasar tak terpenuhi, biaya sekolah semakin
tak terjangkau oleh rakyat kecil, lapangan kerja semakin langka, dst, yang semua fenomena itu
menunjukkan dengan gamblang, bahwa Negara telah melanggar kewajiban terhadap Kovenan
Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (violations of covenant obligations), yang baru kita
ratifikasi pada akhir bulan Oktober lalu. Kita kembali bertanya, mengapa impunitas itu terjadi?
Sebelum dapat menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita perlu memahami
legal nature tentang persisnya tanggung jawab negara (state obligation) dalam rangka
penegakan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya itu? Sebab dari konsep tanggung jawab negara
inilah, negara seharusnya merumuskan kebijakannya dalam memajukan dan melindungi hak-
hak ekosob. Misalnya, apakah kebijakan negara di bidang pertanian akan menghasilkan
perlindungan terhadap hak atas pangan (right to food) yang dikenal dengan isitilah obligationof
result, atau sebaliknya? Begitu pula kebijaksanaan negara di bidang ketenagakerjaan dst,
apakah menghasilkan perlindungan terhadap hak-hak yang dijamin dalam Kovenan Ekosob atau
tidak? Menurut saya, seharusmya kebijakan negara dalam pemenuhan hak ekosob diletakkan
dalam kerangka pemenuhan kewajibannya terhadap Kovenan Ekosob tersebut. Argumen ini
akan saya elaborasi lebih lanjut dalam sistematika pemaparan berikut ini.
Marilah kita awali dengan bahasan mengenai tempat hak ekosob di dalam hukum hak
asasi manusia internasional, sebelum kita memasuki bahasan pokok tulisan ini. Tidak berbeda
dengan hak-hak sipil dan politik, hak ekosob merupakan bagian yang esensial dalam hukum hak
asasi manusia internasional; bersama-sama dengan hak-hak sipil dan politik ia menjadi bagian
dari the international bill of human rights. Sebagai bagian dari the international bill of human
rights, kedudukan hak ekosob dengan demikian sangat penting dalam hukum hak asasi manusia
international; ia menjadi acuan pencapaian bersama dalam pemajuan ekosob.

Anda mungkin juga menyukai