Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PERAWATAN PALIATIF DALAM PERSPEKTIF SOSIAL DAN


BUDAYA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif Care
yang diampu oleh :

Asri Aprilia Rohman, S.Kep.,Ners.,M.Kes

Disusun Oleh:
Kelompok II Tk 3A Keperawatan.

Dini Andriani (1420119016)


Ita Hartati (1420119051)
Nurul Ilmi Aulia (1420119004)
Putri Dwi Diani (1420119023)
Yunus Agustin (1420119007)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS GALUH
CIAMIS

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat serta
hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
Menjelang Ajal dan Paliatif Care ini pada program S1 Keperawatan Universitas Galuh
dengan baik. Penyusun juga mengucap terimakasih kepada dosen mata kuliah Keperawatan
Paliatif, Asri Aprilia Rohman, S.Kep.,Ners.,M.Kes. atas bimbingan yang telah diberikan
selama perkuliahan.

Harapan penyusun, semoga makalah ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan yang
lebih kepada pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat pula dalam bidang
keperawatan khususnya bagi proses pembelajaran Keperawatan Paliatif.

Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan baik dari segi materi maupun teknik
penulisan.

Ciamis, 17 November 2021

Kelompok II

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................4
1.1. Latar Belakang...............................................................................4
1.2. Rumusan Masalah .........................................................................5
1.3. Tujuan ...........................................................................................5
1.4. Metode Penulisan ……………………………………………….5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................6
2.1. Perawatan Paliatif .........................................................................6
2.2. Masalah Keperawatan pada Pasien Paliatif ..................................8
2.3. Tahapan Penerimaan Pasien Paliatif..............................................16
2.4. Peran Perawat Paliatif ...................................................................17
2.5. Kajian Sosial Budaya tentang Perawatan Paliatif……………….18

BAB 3 PENUTUP.......................................................................................20
3.1 Kesimpulan.....................................................................................20
3.2 Saran...............................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu kemajuan utama dalam perawatan kesehatan modern adalah perbaikan
perawatan akhir hayat pada pasien yang mengalami penyakit terminal. Sebagian besar
pasien terminal akan sangat menderita, penderitaan berupa fisik, mental dan atau
spiritual (Kemp, 2009). Selain kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif,
pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan seperti penyakit kanker, penyakit
degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal
jantung/ heart failure, penyakit genetika, dan HIV/AIDS juga memerlukan perawatan
paliatif (Supari, 2007).
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup
pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit dan
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi
dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya
baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual (WHO, 2016). Menurut Ketua Masyarakat
Paliatif Indonesia (MPI) Drajad Ryanto Suardi dalam seminar yang bertema Sharing
the care (Peduli perawatan paliatif untuk sesama), jumlah pasien yang memerlukan
perawatan paliatif meningkat, seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup,
disamping pasien kanker, jumlah penyakit motor neuron dan penyakit saraf serta
pasien HIV-ADIS juga meningkat. Dari pasien yang rawat inap di RSCM pada 2009,
terdapat 65% pasien paliatif, yang 60% pasien neurologi, lebih 60% pasien ODHA
dalam stadium lanjut (Hendry, 2010).
Agama merupakan hubungan antara manusia dengan tuhan. Terapi religious
sangat penting dalam memberikan palliative care. Kurangnya pemenuhan kehidupan
beragama, menimbulkan masalah pada saat terapi. Pengetahuan dasar dari masing-
masing agama sangat membantu dalam mengembangkan palliative care. Terkadang
palliative care spiritual sering disamakan dengan terapi paliatif religious. Palliative
care spiritual bisa ditujukan kepada pasien yang banyak meyakini akan adanya Tuhan
tanpa mengalami ritual suatu agama dan bisa juga sebagai terapinreligius dimana
selain meyakini ritual agama memiliki tata cara beribadah dalam suatu agama.
Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah perilaku
kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku ini

4
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila
faktor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan
masyarakat ada kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut
sulit untuk dilakukan. Untuk itu, mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan
diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya suatu
daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif bertujuan
untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalh yang berhububgan dengan
penyakit yang mengancam kehidupan.
Kebutuhan akan perawatan paliatif tidak dapat dihindari sehubungan dengan
makin meningkatnya jumlah pasien kanker. Dengan sudah dituangkannya program
pelayanan paliatif ke dalam Sistem Kesehatan Nasional perawatan paliatif kini
menjadi bagian dari tata laksana penyakit kanker di Indonesia yang perlu terus
dikembangkan. Dalam makalah ini, penulis akan membahas asuhan keperawatan
paliatif dalam perspektif agama, spiritual budaya dan sosial.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi perawatan paliatif?
2. Apa saja masalah keperawatan pada pasien paliatif?
3. Bagaimana tahapan penerimaan pasien paliatif?
4. Bagaimana peran perawat paliatif?
5. Bagaimana kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif ?
6.
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan definisi perawatan paliatif
2. Menjelaskan masalah keperawatan pada pasien paliatif
3. Menjelaskan tahapan penerimaan pasien paliatif
4. Menjelaskan peran perawat paliatif
5. Menjelaskan tentang social budaya pada perawatan paliatif

1.4 Metode Penulisan

Penulisan makalah ini menggunakan berdasarkan literatur yang diperoleh dari buku
ataupun sumber dari internet

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas


hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit
yangmengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui
identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah
lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual. (World Health Organization
(WHO) 2016).
Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien dan
keluarga dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi, mencegah,
dan menghilangkan penderitaan. Perawatan paliatif mencangkup seluruh rangkaian
penyakit termasuk fisik, intelektual, emosional, sosial, dan kebutuhan spiritual serta
untuk memfasilitasi otonomi pasien, mengakses informasi, dan pilihan (National
Consensus Project for Quality Palliative Care, 2013). Pada perawatan paliatif ini,
kematian tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus di hindari tetapi kematian
merupakan suatu hal yang harus dihadapi sebagai bagian dari siklus kehidupan
normal setiap yang bernyawa (Nurwijaya dkk, 2010).
Permasalahan yang sering muncul ataupun terjadi pada pasien dengan
perawatan paliatif meliputi masalah psikologi, masalah hubungan sosial, konsep diri,
masalah dukungan keluarga serta masalah pada aspek spiritual (Campbell, 2013).
Perawatan paliatif ini bertujuan untuk membantu pasien yang sudah mendekati
ajalnya, agar pasien aktif dan dapat bertahan hidupselama mungkin. Perawatan
paliatif ini meliputi mengurangi rasa sakit dan gejala lainnya, membuat pasien
menganggap kematias sebagai prosesyang normal, mengintegrasikan aspek-aspek
spikokologis dan spritual (Hartati & Suheimi, 2010). Selain itu perawatan paliatif juga
bertujuan agar pasien terminal tetap dalam keadaan nyaman dan dapat meninggal
dunia dengan baik dan tenang (Bertens, 2009).
Prinsip perawatan paliatif yaitu menghormati dan menghargai martabat serta
harga diri pasien dan keluarganya (Ferrel & Coyle, 2007). Menurut Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES, 2013) dan Aziz, Witjaksono, dan
Rasjidi (2008) prinsip pelayanan perawatan paliatif yaitu

6
1. menghilangkan nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta keluhan fisik
lainnya, penanggulangan nyeri,
2. menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses normal ,
3. tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian,
4. memberikan dukungan psikologis, sosial dan spiritual,
5. memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin,
6. memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita,
7. serta menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya.

Elemen dalam perawatan paliatif menurut National Consensus Project dalam


Campbell (2013), meliputi :
1. Populasi pasien. Dimana dalam populasi pasien ini mencakup pasien dengan
semua usia, penyakit kronis atau penyakit yang mengancam kehidupan.
2. Perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga. Dimana pasien dan keluarga
merupakan bagian dari perawatan paliatif itu sendiri.
3. Waktu perawatan paliatif. Waktu dalam pemberian perawatan paliatif berlangsung
mulai sejak terdiagnosanya penyakit dan berlanjut hingga sembuh atau meninggal
sampai periode duka cita.
4. Perawatan komprehensif. Dimana perawatan ini bersifat multidimensi yang
bertujuan untuk menanggulangi gejala penderitaan yang termasuk dalam aspek
fisik, psikologis, sosial maupun keagamaan.
5. Tim interdisiplin. Tim ini termasuk profesional dari kedokteran, perawat, farmasi,
pekerja sosial, sukarelawan, koordinator pengurusan jenazah, pemuka agama,
psikolog, asisten perawat, ahli diet, sukarelawan terlatih.
6. Perhatian terhadap berkurangnya penderitaan : Tujuan perawatan paliatif adalah
mencegah dan mengurangi gejala penderitaan yang disebabkan oleh penyakit
maupun pengobatan.
7. Kemampuan berkomunikasi : Komunikasi efektif diperlukan dalam memberikan
informasi, mendengarkan aktif, menentukan tujuan, membantu membuat
keputusan medis dan komunikasi efektif terhadap individu yang membantu pasien
dan keluarga.
8. Kemampuan merawat pasien yang meninggal dan berduka

7
9. Perawatan yang berkesinambungan. Dimana seluru sistem pelayanan kesehatan
yang ada dapat menjamin koordinasi, komunikasi, serta kelanjutan perawatan
paliatif untuk mencegah krisis dan rujukan yang tidak diperukan.
10. Akses yang tepat. Dalam pemberian perawatan paliatif dimana timharus bekerja
pada akses yang tepat bagi seluruh cakupanusia, populasi, kategori diagnosis,
komunitas, tanpa memandang ras, etnik, jenis kelamin, serta kemampuan
instrumental pasien.
11. Hambatan pengaturan. Perawatan paliatif seharusnya mencakup pembuat
kebijakan, pelaksanaan undang-undang, dan pengaturan yang dapat mewujudkan
lingkungan klinis yang optimal.
12. Peningkatan kualitas. Dimana dalam peningkatan kualitas membutuhkan evaluasi
teratur dan sistemik dalam kebutuhan pasien.

2.2. Masalah Keperawatan pada Pasien Paliatif

Permasalahan perawatan paliatif yang sering digambarkan pasien yaitu


kejadian-kejadian yang dapat mengancam diri sendiri dimana masalah yang seringkali
di keluhkan pasien yaitu mengenai masalah seperti nyeri, masalah fisik, psikologi
sosial, kultural serta spiritual (IAHPC, 2016). Permasalahan yang muncul pada pasien
yang menerima perawatan paliatif dilihat dari persepktif keperawatan meliputi
masalah psikologi, masalah hubungan sosial, konsep diri, masalah dukungan keluarga
serta masalah pada aspek spiritual atau keagamaan (Campbell, 2013).

a. Masalah Fisik
Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan dari
pasien paliatif yaitu nyeri (Anonim, 2017). Nyeri merupakan pengalaman
emosional dan sensori yang tidak menyenangkan yang muncul akibat rusaknya
jaringan aktual yang terjadi secara tiba-tiba dari intensitas ringan hingga berat
yang dapat diantisipasi dan diprediksi. Masalah nyeri dapat ditegakkan
apabiladata subjektif dan objektif dari pasien memenuhi minimal tiga kriteria
(NANDA, 2015).

b. Masalah Psikologi

8
Masalah psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif adalah
kecemasan. Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan ialah diagnosa
penyakit yang membuat pasien takut sehingga menyebabkan kecemasan bagi
pasien maupun keluarga (Misgiyanto & Susilawati, 2014).
Durand dan Barlow (2006) mengatakan kecemasan adalah keadaan
suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmani
dimana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau
kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir. Menurut
Carpenito (2000) kecemasan merupakan keadaan individu atau kelompok saat
mengalami perasaan yang sulit (ketakutan) dan aktivasi sistem saraf otonom
dalam berespon terhadap ketidakjelasan atau ancaman tidak spesifik. NANDA
(2015) menyatakan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau
kekhawatiran yang diseratai oleh respon otonom, perasaan takut yang disebabkan
olehantisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan tanda waspada yang member
tanda individu akan adanya bahaya dan mampukah individu tersebut
mengatasinya.

c. Masalah Spiritual
Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul pada
pasien paliatif adalah distress spiritual. Distres spiritual dapat terjadi karena
diagnose penyakit kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan
serta ketidakmampuan pasien dalam melakukan ritual keagamaan yang mana
biasanya dapat dilakukan secara mandiri. Distres spiritual adalah kerusakan
kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup
seseorang dengan diri, orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang
lebih besr dari dirinya (Hamid, 2008).Definisi lain mengatakan bahwa distres
spiritual adalah gangguan dalam prinsip hidup yang meliputi seluruh kehidupan
seseorang dan diintegrasikan biologis dan psikososial (Keliat dkk, 2011)
d. Masalah Sosial
Masalah pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya ketidak normalan
kondisi hubungan social pasien dengan orang yang ada disekitar pasien baik itu
keluarga maupun rekan kerja (Misgiyanto & Susilawati, 2014). Isolasi sosial
adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain
menyatakan sikap yang negatif dan mengancam ( Twondsend, 1998 ). Atau suatu
9
keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali
tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain
(Kelliat, 2006 ).

Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah


perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya,
bila faktor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan
kegiatan masyarakat ada kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah
terbentuk tersebut sulit untuk dilakukan. Untuk itu, untuk mengatasi dan
memahami suatu masalah kesehatan diperlukan pengetahuan yang memadai
mengenai budaya dasar dan budaya suatu daerah. Sehingga dalam kajian sosial
budaya tentang perawatan paliatif bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam
menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam
kehidupan.

Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala


sesuatu yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan. Kebudayaan atau kultur
dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam
segala masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena itulah penting bagi
tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi juga
membuat mereka mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan
bagaimana meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan
kesehatan. Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan
garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai
sikap anggota masyarakat, karena kebudayaanlah yang memberi corak
pengalaman individuindividu masyarakat. Green dalam Notoatmodjo (2007)
mengatakan bahwa perilaku manusia dari tingkat kesehatan dipengaruhi oleh 2
faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour cause) dan faktor di luar perilaku
(non-behaviour cause).

Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga faktor, yaitu :


10
1. Faktor Predisposisi ( predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya
2. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana kesehatan,
misalnya puskesmas, obat-obatan, air bersih dan sebagainya
3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat.

Contoh lain, sosial budaya mempengaruhi kesehatan adalah pandangan


suatu masyarakat terhadap tindakan yang mereka lakukan ketika mereka
mengalami sakit, ini akan sangat dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan
kepercayaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat tersebut. Misalnya
masyarakat yang sangat mempercayai dukun yang memiliki kekuatan gaib sebagai
penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi yang menderita demam atau diare
berarti pertanda bahwa bayi tersebut akan pintar berjalan. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa sosial budaya sangat mempengaruhi kesehatan baik itu individu maupun
kelompok.

Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat beragam dan


sudah melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali
berupa kepercayaan gaib. Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk mengubah
kebudayaan tersebut adalah dengan mempelajari kebudayaan mereka dan
menciptakan kebudayaan yang inovatif sesuai dengan norma, berpola, dan benda
hasil karya manusia.

Aspek sosial pasien yang sakit parah

Penyakit yang tidak dapat disembuhkan mengubah status sosial pasien. Selain
rasa sakit, dan gejala serta komplikasi yang menghancurkan lainnya, pasien
mungkin menderita efek yang tidak diinginkan dari penyakit yang mempengaruhi
penampilan pasien; hilangnya peran sosial, profesional, dan keluarga; kemampuan
untuk tetap mandiri dan berfungsi secara normal, dan sebagian besar penting
persepsi masa depan. Menurut Sherbourne dan Stewart, dukungan sosial melayani
berbagai dimensi termasuk

11
1. Dukungan emosional yang didefinisikan sebagai empati dan memahami,
memiliki pengaruh positif, dan mendorong ekspresi perasaan;
2. Memberikan bantuan dan bantuan seperti transportasi, bantuan keuangan dan /
atau rumah tangga dianggap sebagai instrumen mendukung;
3. Dukungan informasi melibatkan penawaran informasi, bimbingan, dan saran;
dan
4. Dukungan penuh kasih sayang yang terdiri memiliki seseorang yang
mengekspresikan cinta dan kasih sayang.

Helgeson menunjukkan bahwa hubungan sosial menempatkan pasien dalam


suasana hati yang lebih baik dan memberi mereka rasa identitas dan persahabatan.
Sosial dukungan mungkin memengaruhi kualitas hidup dan kebermaknaan pasien
hidup dengan membantu mereka mengatasi lebih efektif dengan penderitaan
mereka dan membuat mereka merasa dihargai, dicintai, dan diperhatikan. Selain
itu, Schwartz dan Frohner menemukan bahwa semakin banyak dukungan sosial
yang dirasakan pasien, semakin sedikit rasa sakit yang diderita, dan semakin baik
ia menilai kesehatan umum dan kesejahteraan. Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan pada pasien dewasa yang sakit parah didiagnosis menderita kanker,
untuk memahami makna kesejahteraan sosial pada akhir kehidupan, Pangeran-
Paul menemukan bahwa semua peserta dalam studi mengidentifikasi kebutuhan
untuk dikelilingi oleh keluarga dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

Ini, pada gilirannya, memberi pasien alasan untuk hidup dan tujuan untuk
tetap terlibat dan hidup saat mereka sekarat. Demikian pula, Mikulincer, Florian,
dan Hirschberger mendalilkan bahwa sosial dekat hubungan yang melampaui
kematian fisik dapat memberikan perlindungan yang memungkinkan pasien untuk
menghadapi kenyataan kematian dengan lebih baik. Mereka menunjukkan bahwa
hubungan dekat ini mempromosikan pelestarian diri, bantuan pasien dengan
masalah kematian, dan membantu mereka dalam mewujudkan artinya dan nilai
hidup mereka.

e. Masalah Budaya
Budaya adalah istilah yang menggabungkan konsep ras, etnis, agama,
bahasa, asal kebangsaan, dan faktor lainnya. Ras dan etnis bisa dipertukarkan
sebagai variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi budaya. Menurut

12
Johnson, Kuchibhatla, dan Tulsky (2008), etnisitas adalah pembuat kepercayaan
budaya dan nilai-nilai yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan di akhir
kehidupan. Selanjutnya, Peneliti dan cendekiawan telah menyarankan bahwa
pandangan dunia budaya pada kelompok orang tertentu menentukan bagaimana
mereka memahami kehidupan dan kematian, dan pendekatan pengambilan
keputusan akhir kehidupan (Braun et al., 2000; Parry & Ryan, 2000). Pengetahuan
dan kesadaran akan nilai-nilai budaya, sikap, dan perilaku dapat membantu
praktisi menghindari stereotip dan bias, sementara menciptakan interaksi positif
dengan pasien yang mengarah pada hasil pasien yang lebih baik dibandingkan
ketika penyedia kurang sadar budaya (Reith & Payne, 2009).
Dalam kelompok budaya, kesehatan didefinisikan untuk para anggotanya.
Metode adalah diresepkan untuk menjaga kesehatan, serta untuk menangani
penyakit dan kematian (Lo, 2010; Parry & Ryan, 2000). Nilai-nilai bersama,
tradisi, norma, adat, pengalaman hidup, dan peran institusi (yaitu, keluarga,
agama, perkawinan) dari sekelompok orang menentukan bagaimana seseorang
akan berinteraksi dengan penyedia layanan (Braun et al., 2000) dan apakah
seseorang akan memilih untuk melakukan kontrol dan otonomi dalam proses
perawatan akhir kehidupan (Volker, 2005). Penelitian sebelumnya telah
menyarankan bahwa perbedaan dalam nilai, keyakinan (Ludke & Smucker, 2007;
Bullock et al., 2005; Burr, 1995; Reese, Ahern, Nair, O'Faire, & Warren, 1999),
dan perilaku terikat budaya — termasuk pola komunikasi (Shrank et al., 2005) —
pengaruh pengambilan keputusan akhir kehidupan. Nilai-nilai pasien dan
keyakinan tentang, dan interpretasi dari apa yang diceritakan oleh seorang anggota
tim perawatan, dan harapan perawatan mereka mungkin berbeda dari mereka
penyedia perawatan.

Kompetensi Budaya sebagai Standar Perawatan

Praktek kompetensi budaya telah diterima secara luas dalam pekerjaan


sosial sebagai a standar yang mengurangi kesenjangan dalam kualitas layanan
yang disampaikan ke etnis kelompok minoritas. NASW (2007) Standar untuk
Kompetensi Budaya termasuk pedoman yang membahas beberapa bidang utama
praktik kerja sosial— termasuk etika dan nilai-nilai, kesadaran diri, pengetahuan
lintas budaya, keterampilan lintas budaya, pemberian layanan, pemberdayaan dan
advokasi, keanekaragaman tenaga kerja, pendidikan profesional, keanekaragaman
13
bahasa, dan kepemimpinan lintas budaya. Namun, pedoman tidak cukup tanpa
pemahaman yang lebih jelas tentang apa yang penting bagi pasien dan keluarga
mereka. Studi ras dan perbedaan etnis dalam preferensi perawatan akhir hidup
(Caralis, Davis, Wright, & Marcial, 1993; Tulsky, Cassileth, & Bennett, 1997;
Blackhall et al., 1999) telah digunakan untuk membuat kesimpulan terhadap
perbedaan budaya pengambilan keputusan perawatan akhir hidup. Sebagai contoh,
praktisi sangat menyadari bahwa banyak pasien, terlepas dari apa pun latar
belakang budaya, melibatkan keluarga ketika mereka menerima paliatif dan
perawatan akhir kehidupan (Kehl, Kirchhoff, Kramer, & Hovland-Scafe, 2009;
Hudson, Remedios, & Thomas, 2010; Kovacs, Bellin, & Fauri, 2006; Kramer,
Boelk, & Auer, 2006; Townsend, Ishler, Shapiro, Pitorak, & Matthews, 2010).

Namun, ketika bekerja dengan pasien ras dan etnis minoritas, yang
cenderung untuk lebih mengandalkan dukungan informal daripada dukungan
formal, keluarga mungkin seorang aspek yang lebih besar dari rencana perawatan.
Bagi para praktisi, yang beroperasi pada a Model perawatan medis berbasis Barat,
ini mungkin menjadi sumber pertengkaran.

Terlebih lagi, bagi praktisi tampaknya tujuan perawatan kurang diarahkan


pada pasien daripada pada anggota keluarga. Penelitian difokuskan pada etnis dan
variasi rasial dalam dokumen keputusan akhir kehidupan yang berpotensi menjadi
area konflik (Bright-Long, 2010; Stein, Sherman, & Bullock, 2009; Torke, Quest,
Kinlaw, Eley, & Branch, 2004). Ketika konflik antara sistem nilai penyedia
layanan kesehatan dan pasien muncul (Lo, 2010), kegagalan untuk berurusan
dengan mereka dengan benar dapat mengakibatkan perawatan yang tidak
memadai (Fins, 2006) atau tidak ada perawatan.

Dukungan keluarga telah menjadi tema yang konsisten dalam penelitian


perawatan akhir kehidupan berfokus pada etnis minoritas. Afrika Amerika
cenderung melihat anggota keluarga pertama dalam keputusan akhir kehidupan
mereka (Klessing, 1992; Tinggi, 1994; Hauser, Kleefield, Brennen, & Fishchbach,
1997; Bullock, 2004) daripada konsultasi dengan staf medis. Selanjutnya,
ketidakpercayaan penyedia formal memimpin mereka untuk memilih perawatan
yang lebih agresif dan invasif daripada perawatan paliatif (Lahir, Greiner, Sylvia,
Butler, & Ahluwalia, 2004; Caralis et al., 1993; Crawley et al., 2002).

14
Menurut Volker (2005), antara Hispanik dan Afrika-Amerika individu,
pentingnya menggunakan keluarga untuk menyuarakan keinginan pasien adalah
dipandang lebih relevan secara budaya daripada melengkapi arahan tertulis.
Bahkan, orang yang lebih menghargai hubungan keluarga mungkin lebih suka
untuk mengidentifikasi anggota keluarga atau teman tepercaya untuk membuat
keputusan akhir kehidupan atas nama mereka daripada membuat keputusan
sendiri.

Eksplorasi sistematis dari faktor-faktor ini penting karena mengidentifikasi


pengaruh keputusan akhir kehidupan di antara kelompok-kelompok minoritas
menambah tubuh pengetahuan saat ini tersedia untuk mempromosikan kompetensi
budaya di antara praktisi, yang dapat meningkatkan perawatan pasien dan
keluarga menerima. Selanjutnya, kesadaran dan keterampilan budaya dapat
ditingkatkan ketika pengetahuan diperluas. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi
Penyelesaian Arahan Lanjutan Diantara Penelitian Lebih Tua Afrika Amerika
(FICA), disajikan di sini, dirancang untuk mengeksplorasi nilai-nilai, norma,
sikap, dan perilaku seputar keputusan akhir perawatan untuk tujuan meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran akan keputusan akhir kehidupan orang Afrika-
Amerika.

Penilaian budaya
Mengembangkan kompetensi budaya mensyaratkan bahwa perawat
mendengarkan dengan cermat dan mengumpulkan informasi budaya. Latar
belakang pasien dapat memberikan petunjuk tentang keyakinan seseorang;
Namun, ini hanya asumsi kecuali divalidasi dengan menanyakan pasien tentang
keyakinan, kebutuhan, harapan, dan keinginan mereka. Pengetahuan tentang
kelompok budaya seseorang harus berfungsi hanya sebagai titik awal atau
pedoman dalam menilai keyakinan dan perilaku individu (Kagawa-Singer, 1998;
Lipson, Dibble, & Minarik, 1996).
Dalam melakukan penilaian budaya, ada beberapa bidang yang harus ditangani:
1. Identifikasi tempat kelahiran pasien.
2. Tanyakan kepada pasien tentang pengalaman imigrasi mereka.
3. Tentukan tingkat identitas etnisnya.
4. Mengevaluasi tingkat akulturasi yang dibuktikan dengan penggunaannya atas
Bahasa Inggris, lamanya waktu di Amerika Serikat, dan adaptasinya.
15
5. Tentukan struktur keluarganya.
6. Identifikasi penggunaan jaringan informal dan sumber dukungan dalam
masyarakat.
7. Identifikasi siapa yang mengambil keputusan, seperti pasien individu,
keluarga, atau unit sosial lainnya.
8. Menilai bahasa primer dan sekundernya.
9. Tentukan pola komunikasi verbal dan nonverbal orang tersebut
10. Pertimbangkan masalah gender dan kekuasaan dalam hubungan.
11. Mengevaluasi rasa harga diri pasien.
12. Identifikasi pengaruh agama atau kerohanian pada harapan dan perilaku pasien
dan keluarga.
13. Pastikan persepsi pasien tentang diskriminasi atau rasisme.
14. Identifikasi tradisi memasak dan makan dan arti makanan.
15. Tentukan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi pasien.
16. Menilai sikap, kepercayaan, dan praktik yang terkait dengan kesehatan,
penyakit, penderitaan, dan kematian.
17. Tentukan preferensi pasien dan keluarga mengenai lokasi kematian.
18. Diskusikan harapan tentang perawatan kesehatan.
19. Tentukan tingkat fatalisme atau aktivisme dalam menerima atau
mengendalikan perawatan dan kematian.
20. Mengevaluasi pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai sistem
perawatan kesehatan.
21. Menilai nilai dan penggunaan terapi komplementer.
22. Diskusikan bagaimana harapan dipertahankan
(American Medical Student Association, 2001; ELNEC, 2013; Ersek et al., 1998)

Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat beragam dan


sudah melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali
berupa kepercayaan gaib. Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk mengubah
kebudayaan tersebut adalah dengan mempelajari kebudayaan mereka dan
menciptakan kebudayaan yang inovatif sesuai dengan norma, berpola, dan benda
hasil karya manusia.

2.3. Tahapan Penerimaan Pasien Paliatif

16
Respons psikologis yang dialami seseorang karena kehilangan oleh Kubler-
Ross (1969) dikemukakan dalam teori yang disebut “The Five Stages of Grief”, teori
ini membagi respons psikologis dalam lima tahap, yaitu penyangkalan (denial),
marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan
penerimaan (acceptance).
Kelima tahap respons psikologis ini sering diidentikkan dengan lima tahap
model duka cita yang disebabkan oleh proses kematian. Namun akhirnya berkembang
tidak hanya sebatas itu, lima tahap respons psikologis ini juga bisa digunakan untuk
mengidentifikasi individu pasca pemutusan hubungan kerja, adanya bencana sehingga
terpaksa harus mengungsi, kehilangan anggota tubuh, hukuman, kebangkrutan,
korban kejahatan atau kriminal dan keputusasaan. Sehingga teori ini berkembang
lebih luas dan dapat digunakan untuk memahami reaksi pasca kejadian traumatik
yang dialami oleh seseorang.

2.4. Peran Perawat Paliatif

Peran perawat di perawatan paliatif perawat memiliki peranan penting dalam


memberikan dukungan bagi penderita kanker dalam mengatasi gejala yang di alami
(Mackenzie & Mac Callam, 2009). Menurut Matzo & Sherman (2014) peran perawat
dalam perawatan paliatif meliputi sebagai praktik di klinik, pendidik, peneliti,
bekerjasama (Collaborator), penasihat.
Perawat sebagai salah satu petugas praktik di klinik memiliki kemampuan untuk
memahami dan mengevaluasi nyeri beserta keluhan dari nyeri yang dialami pasien.
Perawat dapat berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya dalam mengembangkan
dan menerapkan perencanaan perawatan yang komprehensif. Perawat
mengidentifikasi pendekatan baru dalam mengatasi nyeri dan dikembangkan sesuai
dengan standar rumah sakit sehingga dapat dipraktekkan sesuai denga aturan di rumah
sakit.
Perawat sebagai pendidik memfasilitasi filosofi yang kompleks, etik dan diskusi
tentang penatalaksanaan di klinik sehingga semua tim dapat mencapai hasil yang
positif. Perawat memperlihatkan dasar keilmuannya yang meliputi : mengatasi nyeri
neuropatik, berperan mengatasi konflik profesi, mencegah dukacita dan resiko
kehilangan.

17
Perawat pendidik dengan tim lainnya, seperti komite dan ahli farmasi,
berdasarkan pedoman dan tim perawatan paliatif, maka memberikan perawatan yang
berbeda dan khusus dalam menggunaan obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri
neuropatik yang tidak mudah di atasi.
Perawat sebagai peneliti menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui
pertanyaan-pertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang ditujukan pada
pertanyaan-pertanyaan. Perawat dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian
perawatan paliatif.
Perawat sebagai salah satu tim pelayanan kesehatan akan bekerjasama
(Collaborator) melakukan pengkajian dalam mengkaji bio-psiko-sosial-spiritual serta
penatalaksananya. Perawat membangun dan mempertahankan kolaborasi dengan tim
perawatan paliatif. Perawat memfasilitasi dalam mengembangkan anggota dalam
pelayanan, perawat bekerjasama dengan tim perawatan paliatif dalam rangka
mempersiapkan pelayanan dengan hasil yang terbaik.
Perawat sebagai penasihat (concultant) akan bekerjasama dan berdiskusi dengan
dokter, tim perawatan paliatif dan komite untuk menentukan strategi pengobatan yang
tepat untuk menetukan tindakan dan memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga.

2.5 Kajian Sosial Budaya tentang Perawatan Paliatif

1. Kajian Sosial Budaya Tentang Perawatan Paliatif


Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat
adalah perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya
perilaku ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor
sosial budaya, bila faktor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam
kehidupan dan kegiatan masyarakat ada kecenderungan untuk merubah
perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit untuk dilakukan.
Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan
diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya
suatu daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif
bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah
yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam kehidupan.

18
2. Budaya Masyarakat Tentang Pengobatan Pada Penyakit Paliatif
Kanker payudara merupakan penyakit yang mematikan. Jumlah
penderitanya pun tak sedikit. Sayang, banyak penderita justru memilih ke
dukun alias pengobatan alternatif. Ujung-ujungnya, malah bertambah parah.
Banyak penderita yang baru berobat ke dokter setelah menderita kanker
payudara stadium tinggi.
Selain itu, fenomena dukun Ponari sempat menyita perhatian
masyarakat Indonesia beberapa tahun yang lalu, cerita kemunculan dukun
Ponari dengan batu saktinya sebagai media penyembuhan dengan cara di
celupkan ke air.
Kabar tentang kehebatan ponari ini terus meluas hingga menyebabkan
jumlah pasien yang berobat kerumah Ponari dari hari kehari semakin
meningkat. Tindakan masyarakat yang datang ke Dukun Ponari itu tidak
terlepas dari peran budaya yang ada di masyarakat kita terhadap hal-hal yang
bersifat mistis. Percaya terhadap kesaktian batu yang dimiliki Ponari itu
merupakan sebuah budaya yang mengakar dan bertahan dimasyarakat sebagai
bagian dari kearifan lokal.
Pemahaman masyarakat terhadap hal-hal yang dipercayai secara turun-
temurun merupakan bagian dari kearifan lokal yang sulit untuk dilepaskan.
Hingga pemahaman magis yang irasional terhadap pengobatan melalui dukun
seperti diatas sangat dipercayai oleh masyarakat. Peranan budaya dan
kepercayaan yang ada dimasyarakat itu diperkuat oleh rendahnya tingkat
pendidikan dan tingkat ekonomi.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang memiliki tujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien yang terfokus pada pasien dan keluarga pasien dalam menghadapi
penyakit yang sedang dialami. Pada perawatan paliatif ini, kematian tidak dianggap
sebagai sesuatu yang harus dihindari, tetapi kematian merupakan suatu hal yang harus
dihadapi sebagai bagian dari siklus kehidupan normal setiap yang bernyawa.
Permasalahan yang sering muncul ataupun terjadi pada pasien dengan perawat paliatif
meliputi masalah psikologis, social, konsep diri, dukungan keluarga dan aspek spiritual.
Permasalahan yang sering digambarkan pasien yaitu kejadian-kejadian yang
dapat mengancam diri sendiri, misalnya nyeri, masalah fisik, psikologi, social, kultural
dan spiritual. Perawatan paliatifi ini bertujuan untuk membantu pasien yang sudah
mendekati ajalnya, agar pasien aktif dan dapat bertahan hidup selama mungkin.
Teori “The Five Stage of Grief” menyebutkan bahwa respon psikologis yang
dialami seseorang karena kehilangan terbagi atas lima tahap, yaitu penyangkalan
(denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan
penerimaan (acceptance). Respons psikologi ini juga bias digunakan untuk memahami
reaksi pasca kejadian traumatic yang dialami oleh seseorang. Dapat dikatakan pula
bahwa teori ini berkembang sangat pesat.
Dalam hal ini peran perawat paliatif memiliki peran penting dalam memberikan
dukungan bagi penderita kanker dalam mengatasi gejala yang dialami. Sebagai salah
satu petugas klinik tentu perawat dapat memahami dan mengevaluasi keluhan-keluhan
pasien. Perawat dapat berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya, guna
mengembangkan dan menerapkan perencanaan perawatan yang komprehensif.
Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu
tingkah laku yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang
merupakan bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Perilaku tersebut terpola
dalam kehidupan nilai sosial budaya yang ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku
merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang
untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan,
kepercayaan, nilai, dan norma kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan
masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-
20
individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik
yang berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit. Oleh
karena itu dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam
hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-
individunya terutama dalam paliatif care.

3.2 Saran

Sebagai tenaga profesional keperawatan khususnya asuhan keperawatan pada


pasien paliatif dengan Ca Kolon, perawat perlu mengetahui konsep perawatan paliatif dan
asuhan keperawatan yang akan dilakukan pada pasien paliatif. Kita sebagai mahasiswa
keperawatan , yang nantinya akan menjadi tenaga kesehatan di rumah sakit juga
seharusnya mempelajari dan mengembangkan pengetahuan asuhan keperawatan pasien
paliatif.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ayu Purnamaningrum. 2010. F aktor-F aktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku


Masyarakat Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Mata (Factors Related To The
Community’s Behaviour To Get Eye Health Servic). Universitas Diponegoro.
Boedhi, Darmojo, R. 2011 .Buku Ajar Geriatic (IlmuKesehatanLanjutUsia) edisike –
4.Jakarta :BalaiPenerbit FKUI
Bullock, K. (2011). The influence of culture on end-of-life decision making. Journal of social
work in end-of-life & palliative care, 7(1), 83-98.

Dobríková, P., Macková, J., Pavelek, L., AlTurabi, L., Miller, A., & West, D. (2016). The
effect of social and existential aspects during end of life care. Nursing and Palliative
Care, 1(3), 47-51.

Dochteran, J. M., & Bulechek, G. M. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). 6th
ed. America: Mosby Elseiver

Dwi Hapsari, dkk.2012. Pengaruh Lingkungan Sehat dan Perilaku Hidup Sehat Terhadap
Status Kesehatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan.
Jakarta.
Entjang, Indan. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing Diagnoses:
Definitions & Classification, 2015–2017. 10nd ed. Oxford: Wiley Blackwell.
Lukman Hakim, dkk.. 2013. Faktor Sosial Budaya Dan Orientasi Masyarakat Dalam Berobat
(Socio-Cultural Factors And Societal Orientation In The Treatment). Universitas
Jember (UNEJ). Jember.
Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). 5th ed. United states of America: Mosby Elseiver.

Makalah keperawatan paliatif dalam perspektif social dan budaya diakses pada 17 November
2021 dari https://id.scribd.com/document/410517959/MAKALAH-
KEPERAWATAN-PALIATIF-PERAWATAN-PALIATIF-DALAM-PERSPEKTIF-
SOSIAL-DAN-BUDAYA-SGD-5-docx

Tinjauan social budaya keperawatan paliatif diakses pada 17 November 2021 dari
https://id.scribd.com/document/428069388/Tinjauan-sosial-budaya-keperawatan-
paliatif

22
23

Anda mungkin juga menyukai