Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif Care
yang diampu oleh :
Disusun Oleh:
Kelompok II Tk 3A Keperawatan.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat serta
hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
Menjelang Ajal dan Paliatif Care ini pada program S1 Keperawatan Universitas Galuh
dengan baik. Penyusun juga mengucap terimakasih kepada dosen mata kuliah Keperawatan
Paliatif, Asri Aprilia Rohman, S.Kep.,Ners.,M.Kes. atas bimbingan yang telah diberikan
selama perkuliahan.
Harapan penyusun, semoga makalah ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan yang
lebih kepada pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat pula dalam bidang
keperawatan khususnya bagi proses pembelajaran Keperawatan Paliatif.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan baik dari segi materi maupun teknik
penulisan.
Kelompok II
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................4
1.1. Latar Belakang...............................................................................4
1.2. Rumusan Masalah .........................................................................5
1.3. Tujuan ...........................................................................................5
1.4. Metode Penulisan ……………………………………………….5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................6
2.1. Perawatan Paliatif .........................................................................6
2.2. Masalah Keperawatan pada Pasien Paliatif ..................................8
2.3. Tahapan Penerimaan Pasien Paliatif..............................................16
2.4. Peran Perawat Paliatif ...................................................................17
2.5. Kajian Sosial Budaya tentang Perawatan Paliatif……………….18
BAB 3 PENUTUP.......................................................................................20
3.1 Kesimpulan.....................................................................................20
3.2 Saran...............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila
faktor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan
masyarakat ada kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut
sulit untuk dilakukan. Untuk itu, mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan
diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya suatu
daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif bertujuan
untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalh yang berhububgan dengan
penyakit yang mengancam kehidupan.
Kebutuhan akan perawatan paliatif tidak dapat dihindari sehubungan dengan
makin meningkatnya jumlah pasien kanker. Dengan sudah dituangkannya program
pelayanan paliatif ke dalam Sistem Kesehatan Nasional perawatan paliatif kini
menjadi bagian dari tata laksana penyakit kanker di Indonesia yang perlu terus
dikembangkan. Dalam makalah ini, penulis akan membahas asuhan keperawatan
paliatif dalam perspektif agama, spiritual budaya dan sosial.
Penulisan makalah ini menggunakan berdasarkan literatur yang diperoleh dari buku
ataupun sumber dari internet
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
1. menghilangkan nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta keluhan fisik
lainnya, penanggulangan nyeri,
2. menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses normal ,
3. tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian,
4. memberikan dukungan psikologis, sosial dan spiritual,
5. memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin,
6. memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita,
7. serta menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya.
7
9. Perawatan yang berkesinambungan. Dimana seluru sistem pelayanan kesehatan
yang ada dapat menjamin koordinasi, komunikasi, serta kelanjutan perawatan
paliatif untuk mencegah krisis dan rujukan yang tidak diperukan.
10. Akses yang tepat. Dalam pemberian perawatan paliatif dimana timharus bekerja
pada akses yang tepat bagi seluruh cakupanusia, populasi, kategori diagnosis,
komunitas, tanpa memandang ras, etnik, jenis kelamin, serta kemampuan
instrumental pasien.
11. Hambatan pengaturan. Perawatan paliatif seharusnya mencakup pembuat
kebijakan, pelaksanaan undang-undang, dan pengaturan yang dapat mewujudkan
lingkungan klinis yang optimal.
12. Peningkatan kualitas. Dimana dalam peningkatan kualitas membutuhkan evaluasi
teratur dan sistemik dalam kebutuhan pasien.
a. Masalah Fisik
Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan dari
pasien paliatif yaitu nyeri (Anonim, 2017). Nyeri merupakan pengalaman
emosional dan sensori yang tidak menyenangkan yang muncul akibat rusaknya
jaringan aktual yang terjadi secara tiba-tiba dari intensitas ringan hingga berat
yang dapat diantisipasi dan diprediksi. Masalah nyeri dapat ditegakkan
apabiladata subjektif dan objektif dari pasien memenuhi minimal tiga kriteria
(NANDA, 2015).
b. Masalah Psikologi
8
Masalah psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif adalah
kecemasan. Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan ialah diagnosa
penyakit yang membuat pasien takut sehingga menyebabkan kecemasan bagi
pasien maupun keluarga (Misgiyanto & Susilawati, 2014).
Durand dan Barlow (2006) mengatakan kecemasan adalah keadaan
suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmani
dimana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau
kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir. Menurut
Carpenito (2000) kecemasan merupakan keadaan individu atau kelompok saat
mengalami perasaan yang sulit (ketakutan) dan aktivasi sistem saraf otonom
dalam berespon terhadap ketidakjelasan atau ancaman tidak spesifik. NANDA
(2015) menyatakan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau
kekhawatiran yang diseratai oleh respon otonom, perasaan takut yang disebabkan
olehantisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan tanda waspada yang member
tanda individu akan adanya bahaya dan mampukah individu tersebut
mengatasinya.
c. Masalah Spiritual
Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul pada
pasien paliatif adalah distress spiritual. Distres spiritual dapat terjadi karena
diagnose penyakit kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan
serta ketidakmampuan pasien dalam melakukan ritual keagamaan yang mana
biasanya dapat dilakukan secara mandiri. Distres spiritual adalah kerusakan
kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup
seseorang dengan diri, orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang
lebih besr dari dirinya (Hamid, 2008).Definisi lain mengatakan bahwa distres
spiritual adalah gangguan dalam prinsip hidup yang meliputi seluruh kehidupan
seseorang dan diintegrasikan biologis dan psikososial (Keliat dkk, 2011)
d. Masalah Sosial
Masalah pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya ketidak normalan
kondisi hubungan social pasien dengan orang yang ada disekitar pasien baik itu
keluarga maupun rekan kerja (Misgiyanto & Susilawati, 2014). Isolasi sosial
adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain
menyatakan sikap yang negatif dan mengancam ( Twondsend, 1998 ). Atau suatu
9
keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali
tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain
(Kelliat, 2006 ).
Penyakit yang tidak dapat disembuhkan mengubah status sosial pasien. Selain
rasa sakit, dan gejala serta komplikasi yang menghancurkan lainnya, pasien
mungkin menderita efek yang tidak diinginkan dari penyakit yang mempengaruhi
penampilan pasien; hilangnya peran sosial, profesional, dan keluarga; kemampuan
untuk tetap mandiri dan berfungsi secara normal, dan sebagian besar penting
persepsi masa depan. Menurut Sherbourne dan Stewart, dukungan sosial melayani
berbagai dimensi termasuk
11
1. Dukungan emosional yang didefinisikan sebagai empati dan memahami,
memiliki pengaruh positif, dan mendorong ekspresi perasaan;
2. Memberikan bantuan dan bantuan seperti transportasi, bantuan keuangan dan /
atau rumah tangga dianggap sebagai instrumen mendukung;
3. Dukungan informasi melibatkan penawaran informasi, bimbingan, dan saran;
dan
4. Dukungan penuh kasih sayang yang terdiri memiliki seseorang yang
mengekspresikan cinta dan kasih sayang.
Ini, pada gilirannya, memberi pasien alasan untuk hidup dan tujuan untuk
tetap terlibat dan hidup saat mereka sekarat. Demikian pula, Mikulincer, Florian,
dan Hirschberger mendalilkan bahwa sosial dekat hubungan yang melampaui
kematian fisik dapat memberikan perlindungan yang memungkinkan pasien untuk
menghadapi kenyataan kematian dengan lebih baik. Mereka menunjukkan bahwa
hubungan dekat ini mempromosikan pelestarian diri, bantuan pasien dengan
masalah kematian, dan membantu mereka dalam mewujudkan artinya dan nilai
hidup mereka.
e. Masalah Budaya
Budaya adalah istilah yang menggabungkan konsep ras, etnis, agama,
bahasa, asal kebangsaan, dan faktor lainnya. Ras dan etnis bisa dipertukarkan
sebagai variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi budaya. Menurut
12
Johnson, Kuchibhatla, dan Tulsky (2008), etnisitas adalah pembuat kepercayaan
budaya dan nilai-nilai yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan di akhir
kehidupan. Selanjutnya, Peneliti dan cendekiawan telah menyarankan bahwa
pandangan dunia budaya pada kelompok orang tertentu menentukan bagaimana
mereka memahami kehidupan dan kematian, dan pendekatan pengambilan
keputusan akhir kehidupan (Braun et al., 2000; Parry & Ryan, 2000). Pengetahuan
dan kesadaran akan nilai-nilai budaya, sikap, dan perilaku dapat membantu
praktisi menghindari stereotip dan bias, sementara menciptakan interaksi positif
dengan pasien yang mengarah pada hasil pasien yang lebih baik dibandingkan
ketika penyedia kurang sadar budaya (Reith & Payne, 2009).
Dalam kelompok budaya, kesehatan didefinisikan untuk para anggotanya.
Metode adalah diresepkan untuk menjaga kesehatan, serta untuk menangani
penyakit dan kematian (Lo, 2010; Parry & Ryan, 2000). Nilai-nilai bersama,
tradisi, norma, adat, pengalaman hidup, dan peran institusi (yaitu, keluarga,
agama, perkawinan) dari sekelompok orang menentukan bagaimana seseorang
akan berinteraksi dengan penyedia layanan (Braun et al., 2000) dan apakah
seseorang akan memilih untuk melakukan kontrol dan otonomi dalam proses
perawatan akhir kehidupan (Volker, 2005). Penelitian sebelumnya telah
menyarankan bahwa perbedaan dalam nilai, keyakinan (Ludke & Smucker, 2007;
Bullock et al., 2005; Burr, 1995; Reese, Ahern, Nair, O'Faire, & Warren, 1999),
dan perilaku terikat budaya — termasuk pola komunikasi (Shrank et al., 2005) —
pengaruh pengambilan keputusan akhir kehidupan. Nilai-nilai pasien dan
keyakinan tentang, dan interpretasi dari apa yang diceritakan oleh seorang anggota
tim perawatan, dan harapan perawatan mereka mungkin berbeda dari mereka
penyedia perawatan.
Namun, ketika bekerja dengan pasien ras dan etnis minoritas, yang
cenderung untuk lebih mengandalkan dukungan informal daripada dukungan
formal, keluarga mungkin seorang aspek yang lebih besar dari rencana perawatan.
Bagi para praktisi, yang beroperasi pada a Model perawatan medis berbasis Barat,
ini mungkin menjadi sumber pertengkaran.
14
Menurut Volker (2005), antara Hispanik dan Afrika-Amerika individu,
pentingnya menggunakan keluarga untuk menyuarakan keinginan pasien adalah
dipandang lebih relevan secara budaya daripada melengkapi arahan tertulis.
Bahkan, orang yang lebih menghargai hubungan keluarga mungkin lebih suka
untuk mengidentifikasi anggota keluarga atau teman tepercaya untuk membuat
keputusan akhir kehidupan atas nama mereka daripada membuat keputusan
sendiri.
Penilaian budaya
Mengembangkan kompetensi budaya mensyaratkan bahwa perawat
mendengarkan dengan cermat dan mengumpulkan informasi budaya. Latar
belakang pasien dapat memberikan petunjuk tentang keyakinan seseorang;
Namun, ini hanya asumsi kecuali divalidasi dengan menanyakan pasien tentang
keyakinan, kebutuhan, harapan, dan keinginan mereka. Pengetahuan tentang
kelompok budaya seseorang harus berfungsi hanya sebagai titik awal atau
pedoman dalam menilai keyakinan dan perilaku individu (Kagawa-Singer, 1998;
Lipson, Dibble, & Minarik, 1996).
Dalam melakukan penilaian budaya, ada beberapa bidang yang harus ditangani:
1. Identifikasi tempat kelahiran pasien.
2. Tanyakan kepada pasien tentang pengalaman imigrasi mereka.
3. Tentukan tingkat identitas etnisnya.
4. Mengevaluasi tingkat akulturasi yang dibuktikan dengan penggunaannya atas
Bahasa Inggris, lamanya waktu di Amerika Serikat, dan adaptasinya.
15
5. Tentukan struktur keluarganya.
6. Identifikasi penggunaan jaringan informal dan sumber dukungan dalam
masyarakat.
7. Identifikasi siapa yang mengambil keputusan, seperti pasien individu,
keluarga, atau unit sosial lainnya.
8. Menilai bahasa primer dan sekundernya.
9. Tentukan pola komunikasi verbal dan nonverbal orang tersebut
10. Pertimbangkan masalah gender dan kekuasaan dalam hubungan.
11. Mengevaluasi rasa harga diri pasien.
12. Identifikasi pengaruh agama atau kerohanian pada harapan dan perilaku pasien
dan keluarga.
13. Pastikan persepsi pasien tentang diskriminasi atau rasisme.
14. Identifikasi tradisi memasak dan makan dan arti makanan.
15. Tentukan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi pasien.
16. Menilai sikap, kepercayaan, dan praktik yang terkait dengan kesehatan,
penyakit, penderitaan, dan kematian.
17. Tentukan preferensi pasien dan keluarga mengenai lokasi kematian.
18. Diskusikan harapan tentang perawatan kesehatan.
19. Tentukan tingkat fatalisme atau aktivisme dalam menerima atau
mengendalikan perawatan dan kematian.
20. Mengevaluasi pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai sistem
perawatan kesehatan.
21. Menilai nilai dan penggunaan terapi komplementer.
22. Diskusikan bagaimana harapan dipertahankan
(American Medical Student Association, 2001; ELNEC, 2013; Ersek et al., 1998)
16
Respons psikologis yang dialami seseorang karena kehilangan oleh Kubler-
Ross (1969) dikemukakan dalam teori yang disebut “The Five Stages of Grief”, teori
ini membagi respons psikologis dalam lima tahap, yaitu penyangkalan (denial),
marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan
penerimaan (acceptance).
Kelima tahap respons psikologis ini sering diidentikkan dengan lima tahap
model duka cita yang disebabkan oleh proses kematian. Namun akhirnya berkembang
tidak hanya sebatas itu, lima tahap respons psikologis ini juga bisa digunakan untuk
mengidentifikasi individu pasca pemutusan hubungan kerja, adanya bencana sehingga
terpaksa harus mengungsi, kehilangan anggota tubuh, hukuman, kebangkrutan,
korban kejahatan atau kriminal dan keputusasaan. Sehingga teori ini berkembang
lebih luas dan dapat digunakan untuk memahami reaksi pasca kejadian traumatik
yang dialami oleh seseorang.
17
Perawat pendidik dengan tim lainnya, seperti komite dan ahli farmasi,
berdasarkan pedoman dan tim perawatan paliatif, maka memberikan perawatan yang
berbeda dan khusus dalam menggunaan obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri
neuropatik yang tidak mudah di atasi.
Perawat sebagai peneliti menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui
pertanyaan-pertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang ditujukan pada
pertanyaan-pertanyaan. Perawat dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian
perawatan paliatif.
Perawat sebagai salah satu tim pelayanan kesehatan akan bekerjasama
(Collaborator) melakukan pengkajian dalam mengkaji bio-psiko-sosial-spiritual serta
penatalaksananya. Perawat membangun dan mempertahankan kolaborasi dengan tim
perawatan paliatif. Perawat memfasilitasi dalam mengembangkan anggota dalam
pelayanan, perawat bekerjasama dengan tim perawatan paliatif dalam rangka
mempersiapkan pelayanan dengan hasil yang terbaik.
Perawat sebagai penasihat (concultant) akan bekerjasama dan berdiskusi dengan
dokter, tim perawatan paliatif dan komite untuk menentukan strategi pengobatan yang
tepat untuk menetukan tindakan dan memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga.
18
2. Budaya Masyarakat Tentang Pengobatan Pada Penyakit Paliatif
Kanker payudara merupakan penyakit yang mematikan. Jumlah
penderitanya pun tak sedikit. Sayang, banyak penderita justru memilih ke
dukun alias pengobatan alternatif. Ujung-ujungnya, malah bertambah parah.
Banyak penderita yang baru berobat ke dokter setelah menderita kanker
payudara stadium tinggi.
Selain itu, fenomena dukun Ponari sempat menyita perhatian
masyarakat Indonesia beberapa tahun yang lalu, cerita kemunculan dukun
Ponari dengan batu saktinya sebagai media penyembuhan dengan cara di
celupkan ke air.
Kabar tentang kehebatan ponari ini terus meluas hingga menyebabkan
jumlah pasien yang berobat kerumah Ponari dari hari kehari semakin
meningkat. Tindakan masyarakat yang datang ke Dukun Ponari itu tidak
terlepas dari peran budaya yang ada di masyarakat kita terhadap hal-hal yang
bersifat mistis. Percaya terhadap kesaktian batu yang dimiliki Ponari itu
merupakan sebuah budaya yang mengakar dan bertahan dimasyarakat sebagai
bagian dari kearifan lokal.
Pemahaman masyarakat terhadap hal-hal yang dipercayai secara turun-
temurun merupakan bagian dari kearifan lokal yang sulit untuk dilepaskan.
Hingga pemahaman magis yang irasional terhadap pengobatan melalui dukun
seperti diatas sangat dipercayai oleh masyarakat. Peranan budaya dan
kepercayaan yang ada dimasyarakat itu diperkuat oleh rendahnya tingkat
pendidikan dan tingkat ekonomi.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang memiliki tujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien yang terfokus pada pasien dan keluarga pasien dalam menghadapi
penyakit yang sedang dialami. Pada perawatan paliatif ini, kematian tidak dianggap
sebagai sesuatu yang harus dihindari, tetapi kematian merupakan suatu hal yang harus
dihadapi sebagai bagian dari siklus kehidupan normal setiap yang bernyawa.
Permasalahan yang sering muncul ataupun terjadi pada pasien dengan perawat paliatif
meliputi masalah psikologis, social, konsep diri, dukungan keluarga dan aspek spiritual.
Permasalahan yang sering digambarkan pasien yaitu kejadian-kejadian yang
dapat mengancam diri sendiri, misalnya nyeri, masalah fisik, psikologi, social, kultural
dan spiritual. Perawatan paliatifi ini bertujuan untuk membantu pasien yang sudah
mendekati ajalnya, agar pasien aktif dan dapat bertahan hidup selama mungkin.
Teori “The Five Stage of Grief” menyebutkan bahwa respon psikologis yang
dialami seseorang karena kehilangan terbagi atas lima tahap, yaitu penyangkalan
(denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan
penerimaan (acceptance). Respons psikologi ini juga bias digunakan untuk memahami
reaksi pasca kejadian traumatic yang dialami oleh seseorang. Dapat dikatakan pula
bahwa teori ini berkembang sangat pesat.
Dalam hal ini peran perawat paliatif memiliki peran penting dalam memberikan
dukungan bagi penderita kanker dalam mengatasi gejala yang dialami. Sebagai salah
satu petugas klinik tentu perawat dapat memahami dan mengevaluasi keluhan-keluhan
pasien. Perawat dapat berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya, guna
mengembangkan dan menerapkan perencanaan perawatan yang komprehensif.
Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu
tingkah laku yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang
merupakan bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Perilaku tersebut terpola
dalam kehidupan nilai sosial budaya yang ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku
merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang
untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan,
kepercayaan, nilai, dan norma kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan
masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-
20
individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik
yang berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit. Oleh
karena itu dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam
hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-
individunya terutama dalam paliatif care.
3.2 Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
Dobríková, P., Macková, J., Pavelek, L., AlTurabi, L., Miller, A., & West, D. (2016). The
effect of social and existential aspects during end of life care. Nursing and Palliative
Care, 1(3), 47-51.
Dochteran, J. M., & Bulechek, G. M. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). 6th
ed. America: Mosby Elseiver
Dwi Hapsari, dkk.2012. Pengaruh Lingkungan Sehat dan Perilaku Hidup Sehat Terhadap
Status Kesehatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan.
Jakarta.
Entjang, Indan. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing Diagnoses:
Definitions & Classification, 2015–2017. 10nd ed. Oxford: Wiley Blackwell.
Lukman Hakim, dkk.. 2013. Faktor Sosial Budaya Dan Orientasi Masyarakat Dalam Berobat
(Socio-Cultural Factors And Societal Orientation In The Treatment). Universitas
Jember (UNEJ). Jember.
Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). 5th ed. United states of America: Mosby Elseiver.
Makalah keperawatan paliatif dalam perspektif social dan budaya diakses pada 17 November
2021 dari https://id.scribd.com/document/410517959/MAKALAH-
KEPERAWATAN-PALIATIF-PERAWATAN-PALIATIF-DALAM-PERSPEKTIF-
SOSIAL-DAN-BUDAYA-SGD-5-docx
Tinjauan social budaya keperawatan paliatif diakses pada 17 November 2021 dari
https://id.scribd.com/document/428069388/Tinjauan-sosial-budaya-keperawatan-
paliatif
22
23