Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Coronavirus adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan
atau manusia. Beberapa jenis coronavirus diketahui menyebabkan infeksi saluran nafas pada
manusia mulai dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti Middle East Respiratory
Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Belakangan ini
ditemukan coronavirus jenis baru yang menyebabkan penyakit COVID-19 (WHO, 2020).
COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus SARS-
CoV-2 . Ini merupakan virus baru dan penyakit yang sebelumnya tidak dikenal sebelum
terjadi wabah di Wuhan, Tiongkok, bulan Desember 2019. SARS-CoV-2 merupakan
kelompok virus terbesar dalam ordo Nidovirales, termasuk superdomain biota, kingdom
virus. Semua virus dalam ordo Nidovirales adalah non- segmented positive-sense RNA
viruses (WHO, 2020).
Penyakit COVID-19 yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2 pada umumnya bersifat
ringan, terutama pada anak-anak dan orang dewasa muda. Namun, infeksi ini tetap dapat
menyebabkan penyakit serius: sekitar 1 dari 5 orang yang terjangkit membutuhkan perawatan
di rumah sakit. Karenanya, banyak orang khawatir tentang dampak wabah COVID-19 pada
diri mereka dan orang-orang yang mereka kasihi (WHO, 2020).
Saat ini penyakit COVID-19 banyak dilaporkan melalui berbagai media informasi dari
seluruh belahan dunia. Penyebaran yang sangat cepat menyebabkan terjadinya wabah di
berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Data-data yang dilaporkan setiap hari terus
terjadi peningkatan jumlah orang yang terkonfirmasi positif terkena penyakit COVID-19.
Data yang dilaporkan WHO pada tanggal 12 Februari 2021, kasus yang terkonfirmasi
COVID-19 di dunia mencapai 107.423.526. Pada tanggal 12 Februari 2021, kasus yang
terkonfirmasi COVID-19 di di Indonesia mencapai 1. 201. 859. Di Provinsi NTB kasus yang
terkonfirmasi COVID-19 sejumlah 8068 (Kemenkes RI, 2021).
Data kasus COVID-19 yang terkonfirmasi positif dilaporkan menunjukkan masih terjadi
peningkatan, sehingga perlu dilakukan berbagai penelitian dan tinjauan pustaka yang dapat
menjadi acuan sumber informasi ilmiah mengenai penyakit COVID-19 termasuk
pengendalian dan pencegahan dengan melakukan screening awal dalam mendeteksi penyakit
COVID-19(PERDATIN, 2020).
Skrining atau deteksi dini merupakan bagian dari pencegahan sekunder yang terdiri dari
deteksi dini dan dikuti pengobatan tepat. Konsep dari deteksi dini adalah mendeteksi
kemungkinan mengalami suatu penyakit pada orang-orang tanpa gejala. Dengan melakukan
deteksi dini maka klasifikasi memungkinkan terkena suatu penyakit pada seseorang menjadi
lebih awal diketahui(Putra, dkk., 2016).
Skrining awal penyakit COVID-19 dapat dilakukan terhadap orang-orang yang memang
dicurigai terinfeksi oleh virus SARS-CoV-2, pemeriksaan skrining awal dapat dilakukan
dengan rapid test antibodi. Hasil rapid testantibodi yang reaktif menandakan orang yang
diperiksa pernah terinfeksi virus corona, meskipun begitu, orang yang sudah terinfeksi
SARS-CoV-2 dan memiliki virus di dalam tubuhnya bisa saja mendapatkan hasil rapid
testantibodi yang negatif karena pada tahap-tahap awal penyakit tubuhnya belum membentuk
antibodi terhadap virus SARS-CoV-2, oleh karena itu jika hasilnya negatif pada orang-orang
yang memiliki risiko tinggi terpajan virus dari orang yang sudah terkonfirmasi positif perlu
dilakukan pemeriksaan rapid testantibodi kembali setelah 7-10 hari, jika setelah itu hasil
tetap negatif dapat diartikan bahwa pasien terbebas dari virus SARS-CoV-2 (Kemenkes RI,
2020).
Bila hasil rapid test antibodi positif pada awal pemeriksaan menandakan terdapatnya
antibodi yang sudah terbentuk, namun bisa saja antibodi tersebut merupakan antibodi
terhadap virus lain atau coronavirus jenis lain, bukan yang menyebabkan penyakit COVID-
19 atau SARS-CoV-2, sehingga perlu dilakukan tesPCR untuk mengkonfirmasiseseorang
terinfeksi SARS-CoV-2 karena sejauh ini pemeriksaan yang dapat memastikan apakah
seseorang positif terinfeksi virus SARS-CoV-2 adalah pemeriksaan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Pemeriksaan ini biasa mendetaksi langsung keberadaan virus SARS-CoV-2,
bukan melalui ada tidaknya antibodi terhadap virus ini (Kemenkes RI, 2020).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Bruning et al., 2017) penggunaan alat
rapid test berbasis antigen untuk beberapa penyakit saluran pernapasan lain seperti influenza,
sensitifitas alat tes ini berkisar dari 34% sampai 80%.Kinerja alat tes ini dipengaruhi
beberapa faktor, yakni waktu mulai munculnya gejala penyakit, kualitas spesimen pada saat
diambil serta formulasi reagen didalam alat tes ini sehingga bisa saja mendapatkan hasil
positif maupun negatif palsu.Jenis rapid test yang berikutnya yakni tes antibodi dimana
mendeteksi antibodi dari sampel darah atau serum seseorang. Antibodi akan dihasilkan dalam
darah beberapa hari setelah terjadinya infeksi virus (WHO, 2020).
Beberapa penelitian yang telah mengkonfirmasi efektifikas dari alat ini, salah satunya
yakni penelitian yang dilakukan (Jia et al., 2020) yang bertujuan untuk mengevaluasi tes
cepat antibodi(rapid test) dengan mengumpulkan sampel darah dari 397 pasien positif
COVID-19 dan 128 pasien negatif. Pemeriksaan ini untuk memeriksa antibodi IgG dan IgM
secara bersamaan.Hasil penelitian ini didapatkan sensitifitas pemeriksaan kombinasi uji IgG
dan IgM sebesar 88,66% dan spesifisitasnya sebesar 90,63%.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Dohlan et al., 2020)
bertujuan untuk mengevaluasi tes cepat antibodi (rapid test) dan pemeriksaan berbasis rantai
reaksi polymerase kuantitatif (qPCR) di German Red Screening Center dengan jumlah
sampel 49 orang yang diambil secara random. Hasil penelitian menunjukkan dari 49 orang,
22 orang dinyatakan positif melalui test qPCR dan hanya 8 orang terdeteksi positif melalui
rapid test antibodi. Peningkatan antibodi dalam darah menunjukkan<40% dalam 7 hari
pertama terinfeksi dan kemudian meningkat cepat menjadi 100% pada hari ke 15 setelah
timbulnya gejala sehingga sudah sangat terlambat untuk mendeteksi pasien dengan COVID-
19.
Menurut WHO tahun 2020 beberapa pasien yang terkonfirmasi positif COVID-19
melalui tes qPCR, dilaporkan respon antibodi lambat, lemah bahkan tidak terbentuk.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien COVID-19 baru memberi
respon antibodi pada minggu kedua setelah timbulnya gejala. Hal ini menunjukkan diagnosis
COVID-19 berdasarkan respons antibodi baru yang terdeteksi pada fase pemulihan disaat
intervensi klinis terhadap penularan telah terlewat. Deteksi antibodi pada pasien covid-19
juga kemungkinan bereaksi silang dengan beberapa patogen lain seperti jenis-jenis
coronavirus yang lain sehingga bisa saja memberi hasil positif maupun negatif palsu.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik dalam melakukan penelitian
ini untuk mengetahui nilai diagnostik dari tes cepat antibodi (rapid test) yang digunakan
untuk mendeteksi SARS-CoV-2.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai
berikut : “Berapanilai diagnostikrapid testantibodidalam mendeteksi SARS-CoV-2 yang
sesuai dengan baku emas (PCR)?”.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui nilai diagnostikrapid testantibodi dalammendeteksiSARS-CoV-2.

1.3.2 Tujuan khusus


1. Mengetahui sensitifitas dan spesifisitas IgMdalam mendeteksiSARS-CoV-2.
2. Mengetahui sensitifitas dan spesifisitas IgGdalam mendeteksi SARS-CoV-2.
3. Mengetahui Positive Predictive Value (PPV) dan Negative Predictive Value (NPV)
IgM dalam mendeteksi SARS-CoV-2.
4. Mengetahui Positive Predictive Value (PPV) dan Negative Predictive Value (NPV)
IgG dalam mendeteksi SARS-CoV-2.
5. Menganalisis nilai diagnostikrapid testantibodi COVID-19 dalam mendeteksi SARS-
CoV-2.

1. 4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan pembaca maupun peneliti
dalam mengetahui nilai diagnostik padarapid test antibodi sebagai alat mendeteksiSARS-
CoV-2.

1.4.2 Manfaat Praktis


1. Bagi masyarakat :Menginformasikan kepada masyarakat tentangrapid test antibodi
sebagai alat mendeteksi SARS-CoV-2.

Bagi Institusi Kesehatan :Sebagai acuan untuk membandingkan dengan penelitian selanjutnya
yang menggunakan jenis rapid test lain

Anda mungkin juga menyukai