Bab I-Iii Lalu Obi
Bab I-Iii Lalu Obi
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Human Enteric Corona Virus (HECV). Virus ini dapat diisolasi dari saluran napas
bagian atas dari penderita yang mengalami demam. Coronavirus diduga sebagai
penyebab penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), selain itu pada
manusia dapat pula menyebabkan gangguan pada sistem pencernaan dan sistem
saraf pusat. (Suprobowati & Kurniati, 2018).
Virus corona termasuk superdomain biota, kingdom virus. Virus corona
adalah kelompok virus terbesar dalam ordo Nidovirales. Semua virus dalam ordo
Nidovirales adalah non- segmented positive-sense RNA viruses. Virus corona
termasuk dalam familia Coronaviridae, sub familia Coronavirinae, genus
Betacoronavirus, subgenus Sarbecovirus. Pengelompokan virus pada awalnya
dipilah ke dalam kelompok- kelompok berdasarkan serologi tetapi sekarang
berdasar pengelompokan filogenetik. Lebih jauh dijelaskan bahwa subgenus
Sarbecovirus meliputi Bat-SL-CoV, SARS-CoV dan 2019-nCoV. Bat- SL-CoV
awalnya ditemukan di Zhejiang, Yunan, Guizhou, Guangxi, Shaanxi dan Hubei,
China. Pengelompokan yang lain memperlihatkan bahwa virus corona grup beta
meliputi Bat coronavirus (BcoV), Porcine hemagglutinating encephalomyelitis
virus (HEV), Murine hepatitis virus (MHV), Human coronavirus 4408
(HCoV4408), Human coronavirus OC43 (HCoV-OC43), Human coronavirus
HKU1 (HCoV-HKU1), Severe acute respiratory syndrome coronavirus
(SARSCoV) dan Middle Eastern respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV).
(Beniac et al., 2006).
sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari kompleks replikasi virus.
Tahap selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus (Burhan et al., 2020).
Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi
di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah itu menyebar
ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran
napas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal
setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul penyakit sekitar 3-7
hari. (Burhan et al., 2020).
Pada anamnesis gejala yang dapat ditemukan yaitu, tiga gejala utama: demam,
batuk kering (sebagian kecil berdahak) dan sulit bernapas atau sesak.
c. Kasus Probable
Pasien dalam pengawasan yang diperiksakan untuk COVID-19 tetapi
inkonklusif atau tidak dapat disimpulkan atau seseorang dengan hasil
konfirmasi positif pan-coronavirus atau beta coronavirus.
d. Kasus terkonfirmasi
Seseorang yang secara laboratorium terkonfirmasi COVID-19.
a. Hematology Analyzer
Pemeriksan hematologi dengan menggunakan alat hematology analyzer yang
dilakukan, selain lebih cepat juga ada beberapa paremeter tambahan untuk
membantu mendukung diagnosis COVID–19, seperti HFLC (High Fluorescent
Lymphocyte Count), hitung Limfosit Absolute / ALC, Netrofil Limfosit Rasio
(NLR).
b. Rapid Tes Antibody
Rapid tes antibody tidak membutuhkan peralatan yang khusus. Selain itu
hasil juga dapat dibaca dalam waktu 15-20 menit. Reagen rapid tes antibody ini
ada yang berupa antibodi total dan ada juga yang berupa IgG dan IgM secara
terpisah. Kedua tipe jenis reagen ini juga digunakan di laboratorium. Tes
immunoassay / sero-imunologik untuk mendeteksi Antigen (Ag) atau Antibody
(Ab) dinamakan rapid test adalah karena caranya mudah dan cepat namun
akurasi masih rendah. penggunaan rapid tes terutama rapid tes antibody ini
banyak digunakan di indonesia. Tes ini digunakan untuk mendeteksi
adanya antibody terhadap COVID-19. Antibody ini akan timbul pada hari ke 7
pasca infeksi / gejala, sehingga perlu strategi dalam penggunaan rapid
tes antibody. IgM biasanya muncul pada hari ke 7, meningkat sampai hari ke 28
dan mulai menurun pada hari ke 42. Sedangkan IgG muncul di hari ke 10,
meningkat sampai hari ke 49. Kadar IgG dan IgM lebih tinggi pada pasien
15
dengan klinis berat dibandingkan dengan klinis ringan. Tes Ag yang mendeteksi
bagian dari virus memang dapat lebih cepat reaktif dalam beberapa hari pertama
infeksi (fase virus bereplikasi di nasofaring) sedangkan Antibody yang
merupakan reaksi imunologik dari tubuh timbul lebih lambat, baru setelah hari
ke 6-8 atau bahkan lebih lambat lagi. Hasil non reaktif (negatif) pada
pemeriksaan rapid tes antibody ada beberapa kemungkinan jika belum terpapar
COVID-19 yaitu belum sakit atau belum memiliki kekebalan (antibody),
sehingga perlu menjaga diri, diulang lagi 7-10 hari, sedangkan jika sudah pernah
terpapar tahap awal COVID-19 kemungkinannya belum terbentuk antibody,
sehingga perlu diulang 7-10 hari kemudian, posisi masih dianggap berisiko,
belum aman, dan tetap harus isolasi mandiri serta jaga diri. Hasil reaktif (positif)
pada pemeriksaan rapid antibody COVID-19, kemungkinan sudah terpapar
COVID-19, untuk membuktikan benar-benar ada COVID-19, harus dikonfirmasi
PCR. Hasil invalid tidak nampak garis pada zona control (C), meskipun dapat /
tidak diikuti dengan penampakan garis pada zona test (T). Disarankan untuk
dilakukan pengulangan pemeriksaan menggunakan reagen lain. Dengan segala
keterbatasan pada pemeriksaan metode rapid, sehingga perlu memperhatikan
beberapa keterbatasan pada pemeriksaan rapid tes baik antigen
maupun antibody. Negatif palsu yaitu keadaan sebenarnya sakit tetapi hasil
pemeriksaan negatif, dimana saat dilakukan pemeriksaan belum
terbentuk antibody, atau kadarnya masih rendah (window periode) dan juga pada
keadaan tubuh tidak cukup membuat antibody ( keadaan immunocompromised,
misalnya penderita dalam pengobatan kanker, penderita penyakit autoimun,
AIDS, penyakit kronis, transplantasi organ, dan orang usia lanjut) atau ada
pengaruh obat-obatan atau zat tertentu, serta saat antigen sudah menghilang.
Positif palsu yaitu keadaan bukan merupakan penyakit COVID-19, tetapi hasil
pemeriksaannya positif dimana terdeteksi antibody, tapi sebenarnya
penyebabnya bukan COVID-19 (ada virus lain yang
menimbulkan antibody yang mirip) sehingga bisa menyebabkan reaksi silang,
misalkan dengan virus dengue (demam berdarah), atau infeksi Virus Corona
yang lain (Hadi, 2020).
16
TNF-a dan GM-CSF. Neutrofil aktif juga telah dilaporkan untuk mensintesis IL-1,
-1RA, -6, -12, TGF-b, TNF-a, oncostatin M dan BLyS, yang nantinya dapat
mengaktifkan neutrofil dan sel sistem imun lainnya. Neutrofil adalah sumber
penting leukotrien dan prostaglandin, terutama leukotrien B4 (LTB4) dan
prostaglandin E2 (PGE2), yang disintesis dari asam arakidonat oleh
lipoxygenases dan cyclo-oxygenases.LTB4 adalah kemoatraktan neutrofil, dan
dapat memicu migrasi neutrofil melalui up-regulation MAC-1. PGE2, sebaliknya,
memiliki efek terutama anti-inflamasi pada neutrofil, menghambat aktivitas
fosfolipase-D dan meningkatkan konsentrasi cyclic-adenosine monophosphate
(cAMP) intrasel, yang menghasilkan penurunan masuknya kalsium, kehilangan
NADPH oksidase sehingga menurunkan adhesi ke endotel dan kemotaksis. PGE2
juga telah diteliti dapat menunda apoptosis neutrofil.
Peningkatan aktivitas INOS (intrinsic nitric oxide systase) dan aktifasi TLR (toll
like receptor) dihubungkan dengan fenomena kegagalan migrasi neutrophil.
Fenomena kegagalan ini lebih lanjut di kenal dengan istilah “paralisis
neutrophil” pada kondisi sepsis (Alves-Filho J., 2010).
Limfosit T dapat dibedakan berdasar tipe reseptor antigen, yaitu sel T yang
memiliki TCR δ/γ, dan sel T yang memiliki TCR α/β, yang dibagi berdasarkan
koreseptor CD4+ atau CD8+ . Sel T δ/γ ditemukan di epitel mukosa, darah, serta
pada bagian tubuh lain, dan memiliki fungsi stimulasi terhadap imunitas bawaan
dan mukosa. Sel T δ/γ ini akan memproduksi IFN-γ dan mengaktivasi sel
dendritik dan makrofag. Jenis sel ini hanya berjumlah 5% dari seluruh limfosit
yang tersirkulasi, namun dapat meningkat hingga 20-60% pada infeksi patogen
tertentu. Sel T α /β diekspresikan pada sebagian besar sel T dan berperan dalam
respon imun yang diaktivasi antigen. Sel T α /β terbagi menjadi beberapa kelas
oleh ekspresi molekul CD4+ dan CD8+ menjadi T helper, T sitotoksik, T
regulatorik, dan sel NKT.1 Sel T Helper merupakan sel T yang mengekspresikan
CD4+. Sel ini berinteraksi dengan peptida yang dipresentasikan oleh molekul
MHC kelas II yang diekspresikan di permukaan APC (sel dendritik, makrofag,
dan sel B).Lebih lanjut sel T CD4+ kemudian berdiferensiasi menjadi sel TH0,
22
TH1, TH2, TH17.Diferensiasi ini salah satunya dipengaruhi oleh adanya sitokin
proinflamasi terutama IL-2.Sel TH0 memproduksi sitokin yang dapat
mengekspansi respon imunitas selular.Sel TH1 memproduksi IFN- γ dan IL-2
untuk mengaktivasi sel dendritik dan makrofag yang dapat meningkatkan respon
imun terhadap bakteri intraselular, serta meningkatkan produksi subtipe tertentu
dari IgG.Sel TH2 memiliki fungsi untuk meningkatkan respon antibodi.
Sedangkan TH17 akan mensekresi IL-17 untuk mengaktifkan neutrofil serta
meningkatkan respon inflamasi dan antifungal (Abbas A., 2015).
Limfosit T yang mengekspresikan CD8+ memiliki aktivitas sitotoksik dan
sering disebut sebagai cytotoxic T lymphocytes (CTLs).Aktivasi sel T CD8+ naif
diinduksi oleh antigen yang dipresentasikan terikat dengan MHC kelas I pada
permukaan APC.Sel T CD8+ dapat berespon terhadap bakteri intraseluler,
terutama bakteri intraseluler yang lolos dari mekanisme fagosom seperti
Mycobacterium tuberculosis, Salmonellae, dan Chlamydiae. Patogen lain yang
tidak mampu bertahan dari mekanisme fagosom masih mampu mengaktivasi sel T
CD8+ melalui mekanisme cross-priming yang memungkinkan sel yang terinfeksi
mengalami apoptosis dan melepaskan fragmen antigen yang ditangkap oleh sel
dendritik selaku APC. Sel T CD8+ akan merespon dengan melepaskan sitokin
proinflamasi dan sitokin yang dapat mengaktivasi makrofag serta membunuh sel
yang terinfeksi melalui pelepasan perforin, Fas, dan granulysin pada sebagian
kasus. Sel T CD8+ juga akan melepaskan IFN-γ yang akan mengenali sel yang
terinfeksi bakteri, dan kemudian mengaktivasi jalur proteksi oleh makrofag.
Selain itu sel T CD8+ melalui pengaruh IL-2 dapat berdeferensiasi menjadi sel T
memori yang berperan dalam sistem imun spesifik terhadap antigen tertentu.
Selain itu IL-2 juga mengoptimalkan diferensiasi sel T CD8+ menjadi sel efektor
(Abbas A., 2015).
23
Sepsis dapat menimbulkan deplesi yang besar pada limfosit B juga pada
CD4 limfosit T dalam organ limfoid sekunder, sehingga menyebabkan penurunan
kemampuan untuk melawan infeksi.Hubungan antara kondisi klinis yang
mengalami komplikasi atau prognosis yang buruk pada pasien sepsis dengan
penurunan konsentrasi CD4 T - limfosit dan limfosit T yang telah diaktifkan di
darah perifer pada sebagian besar pasien trauma atau pasien paska pembedahan
dengan sepsis sekunder.
Jumlah neutrofil absolut dan limfosit absolut dapat diketahui melalui pemeriksaan
yang rutin dilakukan di rumah sakit yaitu pemeriksaan hitung jenis leukosit.
(Epiloksa et al., 2018). Rasio neutrofil limfosit menggambarkan perbandingan
antara respons inflamasi pejamu (neutrofil) terhadap kanker dengan respons imun
pejamu (limfosit) (Christine et al., 2019). Neutrofil merupakan komponen utama
dari leukosit yang secara aktif bermigrasi menuju sistem atau organ imunitas.
Neutrofil mengeluarkan ROS (Reactive Oxygen Species) dalam jumlah besar yang
menginduksi kerusakan dari DNA sel dan menyebabkan virus bebas keluar dari
sel. Kemudian ADCC (Antibody-Dependent Cell-Mediated Cell) dapat langsung
membunuh virus secara langsung dan memicu imunitas humoral. Neutrofil dapat
dipicu oleh faktor-faktor inflamasi yang berkaitan dengan virus, seperti
interleukin-6, interleukin-8, faktor nekrosis tumor, granulocyte colony stimulating
factor, dan interferon-gamma factors, yang dihasilkan oleh limfosit dan sel
endotel. Di samping itu, respon imun manusia yang diakibatkan oleh virus
terutama bergantung pada limfosit, dimana inflamasi yang sistemik secara
signifikan menekan imunitas seluler, dimana secara signifikan menurunkan kadar
CD4+ limfosit T dan meningkatkan CD8+ supresor limfosit T. Oleh karena itu,
inflamasi yang dipicu okarena virus meningkatkan rasio neutrofil-limfosit
(Amanda, 2020).
Limfosit merupakan sel kompeten secara imunologik karena kemampuanya
membantu fagosit dan jumlahnya mencapai 20 – 40%. Sebagai imunosit, limfosit
memiliki kemampuan spesifisitas antigen dan ingatan imunologik. Peningkatan
limfosit terdapat pada leukemia limpositik, infeksi virus dan infeksi kronik.
(Prawesti, 2016).
Terdapat dua jenis limfosit, limfosit B dan limfosit T . Limfosit B
menghasilkan antibody, yang beredar dalam darah dan bertanggung jawab dalam
imunitas humoral, atau yang diperantarai oleh antibodi. Suatu antibodi berikatan
dengan benda asing spesifik, misalnya bakteri (yang memicu produksi antibodi),
dan menandainya untuk dihancurkan sel. Limfosit T tidak memproduksi antibodi,
sel ini secara langsung menghancurkan sel sasaran spesifiknya dengan
mengeluarkan beragam zat kimia yang melubangi sel korban, suatu proses yang
26
dinamai imunitas seluler. Sel sasaran sel T mencakup sel tubuh yang dimasuki
oleh virus dan sel kanker (Armah, 2017).
Jumlah total limfosit merupakan parameter yang dapat digunakan untuk
menilai respons imun selular. World Health Organization (WHO) menyebutkan
bahwa idealnya penilaian penurunan respon imun selular adalah dengan
pemeriksaan CD4, tetapi apabila terdapat keterbatasan biaya dan sarana yang
tidak memungkinkan untuk pemeriksaan CD4 dapat menggunakan pemeriksaan
jumlah total limfosit total lymphocyte count (TLC). Dalam penelitian lain oleh
obirikorang dkk, disebutkan bahwa jumlah limfosit total dapat digunakan sebagai
pengukuran dan monitoring terapi terhadap peningkatan respon imun selular.
Jumlah total limfosit (TLC) dihitung berdasarkan persentasi limfosit terhadap
jumlah leukosit total, pemeriksaan jumlah total dan hitung jenis leukosit
umumnya dapat dilakukan di hampir semua sarana pelayanan kesehatan di
Indonesia, sehingga penggunaan TLC ditambah dengan gejala klinis akan dapat
digunakan untuk memprediksi (Donosepoetro, 2008). Limfositopenia ditandai
3
dengan jumlah limfosit absolut (ALC) < 1,0 x 10 sel / µL. Anemia ditandai
dengan kadar hemoglobin < 14 mg/dL untuk pria atau < 12 gm / dL.
Trombositopenia ditandai dengan jumlah trombosit < 150,0 x 103 sel / µL.
Leukopenia ditandai dengan jumlah leukosit < 4,4 x 103 sel / µL. leukositosis
ditandai dengan jumlah leukosit > 11,0 x 103 sel / µL (Wagner et al., 2020).
Perbedaan profil imunologi antara kasus COVID-19 ringan dengan berat bisa
dilihat dari suatu penelitian di China. Penelitian tersebut mendapatkan hitung
limfosit yang lebih rendah, leukosit dan rasio neutrofil-limfosit yang lebih tinggi,
serta persentase monosit, eosinofil, dan basofil yang lebih rendah pada kasus
COVID-19 yang berat. Sitokin proinflamasi yaitu TNF-α, IL-1 dan IL-6 serta IL-
8 dan penanda infeksi seperti prokalsitonin, ferritin dan C-reactive protein juga
didapatkan lebih tinggi pada kasus dengan klinis berat. Sel T helper, T supresor,
dan T regulator ditemukan menurun pada pasien COVID-19 dengan kadar T
27
helper dan T regulator yang lebih rendah pada kasus berat (Qin C,2020). Laporan
kasus lain pada pasien COVID-19 dengan ARDS juga menunjukkan penurunan
limfosit T CD4 dan CD8. Limfosit CD4 dan CD8 tersebut berada dalam status
hiperaktivasi yang ditandai dengan tingginya proporsi fraksi HLA-DR+CD38+.
Limfosit T CD8 didapatkan mengandung granula sitotoksik dalam konsentrasi
tinggi (31,6% positif perforin, 64,2% positif granulisin, dan 30,5% positif
granulisin dan perforin). Selain itu ditemukan pula peningkatan konsentrasi Th17
CCR6+ yang proinflamasi.39 ARDS merupakan penyebab utama kematian pada
pasien COVID-19. Penyebab terjadinya ARDS pada infeksi SARS-CoV-2 adalah
badai sitokin, yaitu respons inflamasi sistemik yang tidak terkontrol akibat
pelepasan sitokin proinflamasi dalam jumlah besar ( IFN-α, IFN-γ, IL-1β, IL-2,
IL-6, IL-7, IL-10 IL-12, IL-18, IL-33, TNF-α, dan TGFβ) serta kemokin dalam
jumlah besar (CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, CXCL9, dan CXCL10) (Li X, dkk
2020).Granulocyte-colony stimulating factor, interferon-γ- inducible protein 10,
monocyte chemoattractant protein 1, dan macrophage inflammatory protein 1
alpha juga didapatkan peningkatan. Respons imun yang berlebihan ini dapat
menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis sehingga terjadi disabilitas fungsional
(.Zumla A., 2020).
28
Diagnosa
COVID-19
Lymphocyte Count),
= Yang diteliti
Limfosit (RNL)
2.6. Hipotesis
BAB III
30
METODELOGI PENELITIAN
C. Surat Izin
Pengantaran
Permohonan
D. Pengambilan
Data ke RSUD Tripat Gerung
Analisi Data
Kesimpulan
1. Analisis univariat
Analisa univariat untuk mendapatkan gambaran distribusi
frekuensi atau besarnya proporsi menurut berbagai karakteristik
variabel yang diteliti baik untuk variabel bebas maupun variabel
terikat dengan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 13.0.
2. Analisis bivariat
Keterangan :
DAFTAR PUSTAKA