Bab 1-3 Lalu Obi
Bab 1-3 Lalu Obi
PENDAHULUAN
1
Saat ini penyakit COVID-19 banyak dilaporkan melalui berbagai
media informasi dari seluruh belahan dunia. Penyebaran yang sangat cepat
menyebabkan terjadinya wabah di berbagai belahan dunia termasuk
Indonesia. Data-data yang dilaporkan setiap hari terus terjadi peningkatan
jumlah orang yang terkonfirmasi positif terkena penyakit COVID-19. Data
yang dilaporkan WHO pada tanggal 12 Februari 2021, kasus yang
terkonfirmasi COVID-19 di dunia mencapai 107.423.526. Pada tanggal 12
Februari 2021, kasus yang terkonfirmasi COVID-19 di di Indonesia
mencapai 1. 201. 859. Di Provinsi NTB kasus yang terkonfirmasi COVID-
19 sejumlah 8068 (Kemenkes RI, 2021).
Penyakit COVID-19 akan berdampak lebih berat pada pasien dengan
usia tua (>65 tahun), merokok, memiliki komorbid hipertensi, diabetes,
penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronik, dan keganasan
memiliki risiko lebih tinggi mengalami derajat penyakit yang lebih berat
dan mortalitas yang lebih tinggi jika terinfeksi COVID-19. (Willim et al.,
2020)
Perbedaan infeksi COVID-19 yang ringan atau berat dapat dilihat dari
penelitian yang telah dilakukan di China, dimana pada kasus infeksi
COVID-19 berat didapatkan hasil hitung limfosit menurun, leukosit dan
rasio neutrofil-limfosit meningkat (Susilo et al., 2020). Pada penelitian lain
yang dilakukan oleh Guan et al (2020) menunjukkan jumlah eosinofil dan
limfosit menurun secara signifikan setelah virus masuk ke dalam tubuh
dan meningkat seiring dengan perjalanan penyakit. Hasil tersebut sejalan
dengan penelitian (Lindsley et al., 2020) dan terbalik dengan penelitian
yang dilakukan oleh (Anurag et al., 2020) yang mendapatkan bahwa
eosinofil berkorelasi negatif dengan keparahan penyakit. Hasil penelitian
Huang et al. (2020) menunjukkan bahwa pasien COVID-19 dengan
diabetes yang dirawat di RS Tongji mengalami peningkatan jumlah hitung
leukosit dan neutrofil (Parapasan & Artasya, 2019).
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang digunakan sebagai
pemeriksaan untuk memantau tingkat keparahan penyakit pada pasien
2
terinfeksi COVID-19 adalah pemeriksaan hematologi yang terdiri dari
pemeriksaan Rasio neutrofil-limfosit (RNL) dan Absolut Limfosit Count
(ALC) (Putranto, 2020). Rasio neutrofil-limfosit (RNL) merupakan
indikator dari adanya respon inflamasi sistematis yang secara luas
digunakan sebagai penentu prognosis dari pasien dengan pneumonia yang
disebabkan oleh virus. Peningkatan rasio neutrofil-limfosit (RNL) dapat
merefleksikan proses inflamasi yang meningkat dan dapat berkaitan
dengan prognosis yang buruk. Peningkatan rasio neutrofil-limfosit secara
signifikan berhubungan dengan keparahan dari penyakit (Amanda, 2020).
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut, penulis menemukan
permasalahan bahwa pasien dengan infeksi COVID-19 yang ringan dan
berat berhubungan dengan hasil hitung limfosit, leukosit dan rasio
neutrofil-limfosit. Oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana
keadaan kadar Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) sebagai acuan untuk
mengetahui tingkat keparahan penyakit serta diharapkan lebih efektif
untuk pemantauan terapi dan pengobatan pasien sehingga dapat
mengurangi angka kasus kematian COVID-19.
Dari latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian
tentang “Analisis Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) pada Pasien
Terdiagnosis COVID-19 di RSUD Patut Patuh Patju Lombok Barat”.
3
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Menghitung Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) pada pasien terinfeksi
COVID-19 di RSUD Patut Patuh Patju Lombok Barat.
b. Menganalisis hubungan Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) pada
Pasien Terdiagnosis COVID-19 di RSUD Patut Patuh Patju
Lombok Barat.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
2.1.3 Patofisiologi Virus Corona
9
sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari kompleks replikasi virus.
Tahap selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus (Burhan et al., 2020).
Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi
di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah itu menyebar
ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran
napas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal
setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul penyakit sekitar 3-7
hari. (Burhan et al., 2020).
10
pada manusia, menunjukkan SARS-CoV-2 mempunyai kapasitas untuk transmisi
manusia ke manusia. (Burhan et al., 2020).
11
dengan imunitas kurang baik akan berlanjut dengan gejala sesak nafas. Sejumlah
kecil pasien juga mengembangkan ekspektorasi (28%), sakit kepala (8%),
hemoptisis (5%), dan diare (3%), dengan kasus usia tua dan pemilik penyakit
komorbid serta ARDS akan memiliki prognosis lebih buruk ketika terinfeksi virus
ini (Grace, 2020).
Pada anamnesis gejala yang dapat ditemukan yaitu, tiga gejala utama: demam,
batuk kering (sebagian kecil berdahak) dan sulit bernapas atau sesak.
12
wilayah/negara yang terjangkit.
d. Memiliki riwayat perjalanan ke Wuhan dan memiliki demam (suhu
≥38 0C) atau riwayat demam.
c. Kasus Probable
Pasien dalam pengawasan yang diperiksakan untuk COVID-19 tetapi
inkonklusif atau tidak dapat disimpulkan atau seseorang dengan hasil
konfirmasi positif pan-coronavirus atau beta coronavirus.
d. Kasus terkonfirmasi
Seseorang yang secara laboratorium terkonfirmasi COVID-19.
13
ul, netrofil limfosit rasio (NLR) : > 3,13 dan CRP : > 10 mg / L. Pemeriksan rapid
tes dapat menggunakan rapid tes antigen atau antibody. Sedangkan pemeriksaan
Molekuler terdiri dari Tes Cepat Molekuler (TCM) atau Real Time PCR (Hadi,
2020).
Untuk pemeriksaan diagnosis selain pemeriksaan laboratorium perlu
diperhatikan klinis pasien, serta riwayat kontak atau terpapar dengan orang yang
terkonfirmasi positif COVID-19. Pemeriksaan yang diperlukan untuk
mendukung diagnostik COVID-19, dapat berupa pemeriksaan hematologi,
kombinasi antara rapid tes antigen dan antibody dengan pemeriksaan molekuler
(RT PCR atau Tes cepat Molekuler). Dengan banyaknya parameter untuk
mendukung baik itu skrining maupun diagnostik, maka diperlukan beberapa
peralatan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium COVID-19 :
a. Hematology Analyzer
Pemeriksan hematologi dengan menggunakan alat hematology analyzer yang
dilakukan, selain lebih cepat juga ada beberapa paremeter tambahan untuk
membantu mendukung diagnosis COVID–19, seperti HFLC (High Fluorescent
Lymphocyte Count), hitung Limfosit Absolute / ALC, Netrofil Limfosit Rasio
(NLR).
b. Rapid Tes Antibody
Rapid tes antibody tidak membutuhkan peralatan yang khusus. Selain itu
hasil juga dapat dibaca dalam waktu 15-20 menit. Reagen rapid tes antibody ini
ada yang berupa antibodi total dan ada juga yang berupa IgG dan IgM secara
terpisah. Kedua tipe jenis reagen ini juga digunakan di laboratorium. Tes
immunoassay / sero-imunologik untuk mendeteksi Antigen (Ag) atau Antibody
(Ab) dinamakan rapid test adalah karena caranya mudah dan cepat namun
akurasi masih rendah. penggunaan rapid tes terutama rapid tes antibody ini
banyak digunakan di indonesia. Tes ini digunakan untuk mendeteksi
adanya antibody terhadap COVID-19. Antibody ini akan timbul pada hari ke 7
pasca infeksi / gejala, sehingga perlu strategi dalam penggunaan rapid
tes antibody. IgM biasanya muncul pada hari ke 7, meningkat sampai hari ke 28
dan mulai menurun pada hari ke 42. Sedangkan IgG muncul di hari ke 10,
14
meningkat sampai hari ke 49. Kadar IgG dan IgM lebih tinggi pada pasien
dengan klinis berat dibandingkan dengan klinis ringan. Tes Ag yang mendeteksi
bagian dari virus memang dapat lebih cepat reaktif dalam beberapa hari pertama
infeksi (fase virus bereplikasi di nasofaring) sedangkan Antibody yang
merupakan reaksi imunologik dari tubuh timbul lebih lambat, baru setelah hari
ke 6-8 atau bahkan lebih lambat lagi. Hasil non reaktif (negatif) pada
pemeriksaan rapid tes antibody ada beberapa kemungkinan jika belum terpapar
COVID-19 yaitu belum sakit atau belum memiliki kekebalan (antibody),
sehingga perlu menjaga diri, diulang lagi 7-10 hari, sedangkan jika sudah pernah
terpapar tahap awal COVID-19 kemungkinannya belum terbentuk antibody,
sehingga perlu diulang 7-10 hari kemudian, posisi masih dianggap berisiko,
belum aman, dan tetap harus isolasi mandiri serta jaga diri. Hasil reaktif (positif)
pada pemeriksaan rapid antibody COVID-19, kemungkinan sudah terpapar
COVID-19, untuk membuktikan benar-benar ada COVID-19, harus dikonfirmasi
PCR. Hasil invalid tidak nampak garis pada zona control (C), meskipun dapat /
tidak diikuti dengan penampakan garis pada zona test (T). Disarankan untuk
dilakukan pengulangan pemeriksaan menggunakan reagen lain. Dengan segala
keterbatasan pada pemeriksaan metode rapid, sehingga perlu memperhatikan
beberapa keterbatasan pada pemeriksaan rapid tes baik antigen
maupun antibody. Negatif palsu yaitu keadaan sebenarnya sakit tetapi hasil
pemeriksaan negatif, dimana saat dilakukan pemeriksaan belum
terbentuk antibody, atau kadarnya masih rendah (window periode) dan juga pada
keadaan tubuh tidak cukup membuat antibody ( keadaan immunocompromised,
misalnya penderita dalam pengobatan kanker, penderita penyakit autoimun,
AIDS, penyakit kronis, transplantasi organ, dan orang usia lanjut) atau ada
pengaruh obat-obatan atau zat tertentu, serta saat antigen sudah menghilang.
Positif palsu yaitu keadaan bukan merupakan penyakit COVID-19, tetapi hasil
pemeriksaannya positif dimana terdeteksi antibody, tapi sebenarnya
penyebabnya bukan COVID-19 (ada virus lain yang
menimbulkan antibody yang mirip) sehingga bisa menyebabkan reaksi silang,
misalkan dengan virus dengue (demam berdarah), atau infeksi Virus Corona
yang lain (Hadi, 2020).
15
c. TCM (Tes Cepat Molekuler)
Tes cepat berbasis molekuler ini mampu mendeteksi COVID–19
secara qualitative. Dengan target gen: multiple region of viral genom. Bahan
sampel yang digunakan pada pemeriksaan ini adalah swab nasofaring (Hadi,
2020).
16
lewat fagositosis dan mikroorganisme atau lewat pengeluaran komponen
inflamasi seperti radikal oksigen, protease, atau peroksidase. Migrasi neutrofil
dari sirkulasi darah menuju jaringan inflamasi merupakan suatu proses yang
kompleks dan tergantung dari banyak fungsi seluler. Salah satu kunci proses
tersebut adalah reseptor adhesi (Craig A., 2008).
Neutrofil (Leukosit Polimorfonuklear/PMN) adalah granulosit dalam
sirkulasi yang berperan dalam inflamasi terhadap infeksi dalam tubuh.Jumlah
leukosit dalam sirkulasi 70% merupakan neutrofil dengan fungsi utama yaitu
fagositosis.Neutrofil dari sirkulasi darah menuju jaringan sasaran berfungsi untuk
menghancurkan mikroba. Neutrofil dengan proses kemotaksis berfungsi sebagai
fagosit dan bakterisid, dan dengan melepaskan kolagenase yang dapat
memperbaiki kerusakan sel dalam merubah matrik ekstraseluler dan
membersihkan luka dari sel yang rusak (Cotran R., 2005).
Selama respon inflamasi, pada proses marginasi neutrofil berakumulasi
mendekati sel endotel dinding venula, hal ini terjadi karena adanya molekul
adhesi yang dilepaskan oleh endotel akibat pengaruh IL-1 yang dihasilkan
neutrofil, molekul adhesi tersebut antara lain P-selektin, Intracellular Adhesion
Molecule-1 (ICAM-1). Selanjutnya neutrofil bergulir pada permukaan endotel
akibat daya dorong aliran plasma, dan penempelan neutrofil pada endotel makin
kuat dan bergerak aktif secara diapedesis, kemudian berhenti dan mengeluarkan
pseudopodia mengerutkan diri menyusup melewati celah antara membran sel
endotel dan bermigrasi meninggalkan kapiler menuju jaringan target infeksi
(Cotran R., 2005).
17
Gambar 2.3. Mekanisme kerja neutrofil
18
TNF-a dan GM-CSF. Neutrofil aktif juga telah dilaporkan untuk mensintesis IL-1,
-1RA, -6, -12, TGF-b, TNF-a, oncostatin M dan BLyS, yang nantinya dapat
mengaktifkan neutrofil dan sel sistem imun lainnya. Neutrofil adalah sumber
penting leukotrien dan prostaglandin, terutama leukotrien B4 (LTB4) dan
prostaglandin E2 (PGE2), yang disintesis dari asam arakidonat oleh
lipoxygenases dan cyclo-oxygenases.LTB4 adalah kemoatraktan neutrofil, dan
dapat memicu migrasi neutrofil melalui up-regulation MAC-1. PGE2, sebaliknya,
memiliki efek terutama anti-inflamasi pada neutrofil, menghambat aktivitas
fosfolipase-D dan meningkatkan konsentrasi cyclic-adenosine monophosphate
(cAMP) intrasel, yang menghasilkan penurunan masuknya kalsium, kehilangan
NADPH oksidase sehingga menurunkan adhesi ke endotel dan kemotaksis. PGE2
juga telah diteliti dapat menunda apoptosis neutrofil.
19
Peningkatan aktivitas INOS (intrinsic nitric oxide systase) dan aktifasi TLR (toll
like receptor) dihubungkan dengan fenomena kegagalan migrasi neutrophil.
Fenomena kegagalan ini lebih lanjut di kenal dengan istilah “paralisis
neutrophil” pada kondisi sepsis (Alves-Filho J., 2010).
20
permukaanuntuk membentuk reseptor sel B. Terjadinya cross-linking pada Ig
permukaan akan menyebabkan aktivasi dari tirosin kinase, yaitu Lck, Lyn, Fyn,
dan Blk yang menyebabkan fosforilasi dari ITAM. Hal ini menyebabkan
terikatnya kinase lain yaitu Syk (analog ZAP-70 pada limfosit T), yang akan
mengaktifkan phospholipase C pada membrane PIP2 untuk membangkitkan IP3
dan DAG yang kemudian akan mengaktivasi protein kinase C. Semua sinyal ini
akanmengaktivasi kaskade kinase dan ditransduksikan untuk mengaktivasi nuclear
transcription factors. Proses ini juga terjadi pada limfosit T (Abbas A., 2015).
Limfosit T dapat dibedakan berdasar tipe reseptor antigen, yaitu sel T yang
memiliki TCR δ/γ, dan sel T yang memiliki TCR α/β, yang dibagi berdasarkan
koreseptor CD4+ atau CD8+ . Sel T δ/γ ditemukan di epitel mukosa, darah, serta
pada bagian tubuh lain, dan memiliki fungsi stimulasi terhadap imunitas bawaan
dan mukosa. Sel T δ/γ ini akan memproduksi IFN-γ dan mengaktivasi sel
dendritik dan makrofag. Jenis sel ini hanya berjumlah 5% dari seluruh limfosit
yang tersirkulasi, namun dapat meningkat hingga 20-60% pada infeksi patogen
tertentu. Sel T α /β diekspresikan pada sebagian besar sel T dan berperan dalam
respon imun yang diaktivasi antigen. Sel T α /β terbagi menjadi beberapa kelas
oleh ekspresi molekul CD4+ dan CD8+ menjadi T helper, T sitotoksik, T
regulatorik, dan sel NKT.1 Sel T Helper merupakan sel T yang mengekspresikan
CD4+. Sel ini berinteraksi dengan peptida yang dipresentasikan oleh molekul
MHC kelas II yang diekspresikan di permukaan APC (sel dendritik, makrofag,
dan sel B).Lebih lanjut sel T CD4+ kemudian berdiferensiasi menjadi sel TH0,
21
TH1, TH2, TH17.Diferensiasi ini salah satunya dipengaruhi oleh adanya sitokin
proinflamasi terutama IL-2.Sel TH0 memproduksi sitokin yang dapat
mengekspansi respon imunitas selular.Sel TH1 memproduksi IFN- γ dan IL-2
untuk mengaktivasi sel dendritik dan makrofag yang dapat meningkatkan respon
imun terhadap bakteri intraselular, serta meningkatkan produksi subtipe tertentu
dari IgG.Sel TH2 memiliki fungsi untuk meningkatkan respon antibodi.
Sedangkan TH17 akan mensekresi IL-17 untuk mengaktifkan neutrofil serta
meningkatkan respon inflamasi dan antifungal (Abbas A., 2015).
Limfosit T yang mengekspresikan CD8+ memiliki aktivitas sitotoksik dan
sering disebut sebagai cytotoxic T lymphocytes (CTLs).Aktivasi sel T CD8+ naif
diinduksi oleh antigen yang dipresentasikan terikat dengan MHC kelas I pada
permukaan APC.Sel T CD8+ dapat berespon terhadap bakteri intraseluler,
terutama bakteri intraseluler yang lolos dari mekanisme fagosom seperti
Mycobacterium tuberculosis, Salmonellae, dan Chlamydiae. Patogen lain yang
tidak mampu bertahan dari mekanisme fagosom masih mampu mengaktivasi sel T
CD8+ melalui mekanisme cross-priming yang memungkinkan sel yang terinfeksi
mengalami apoptosis dan melepaskan fragmen antigen yang ditangkap oleh sel
dendritik selaku APC. Sel T CD8+ akan merespon dengan melepaskan sitokin
proinflamasi dan sitokin yang dapat mengaktivasi makrofag serta membunuh sel
yang terinfeksi melalui pelepasan perforin, Fas, dan granulysin pada sebagian
kasus. Sel T CD8+ juga akan melepaskan IFN-γ yang akan mengenali sel yang
terinfeksi bakteri, dan kemudian mengaktivasi jalur proteksi oleh makrofag.
Selain itu sel T CD8+ melalui pengaruh IL-2 dapat berdeferensiasi menjadi sel T
memori yang berperan dalam sistem imun spesifik terhadap antigen tertentu.
Selain itu IL-2 juga mengoptimalkan diferensiasi sel T CD8+ menjadi sel efektor
(Abbas A., 2015).
22
Gambar 6. Jalur aktivasi sel T CD8+
23
Sepsis dapat menimbulkan deplesi yang besar pada limfosit B juga pada
CD4 limfosit T dalam organ limfoid sekunder, sehingga menyebabkan penurunan
kemampuan untuk melawan infeksi.Hubungan antara kondisi klinis yang
mengalami komplikasi atau prognosis yang buruk pada pasien sepsis dengan
penurunan konsentrasi CD4 T - limfosit dan limfosit T yang telah diaktifkan di
darah perifer pada sebagian besar pasien trauma atau pasien paska pembedahan
dengan sepsis sekunder.
24
Jumlah neutrofil absolut dan limfosit absolut dapat diketahui melalui pemeriksaan
yang rutin dilakukan di rumah sakit yaitu pemeriksaan hitung jenis leukosit.
(Epiloksa et al., 2018). Rasio neutrofil limfosit menggambarkan perbandingan
antara respons inflamasi pejamu (neutrofil) terhadap kanker dengan respons imun
pejamu (limfosit) (Christine et al., 2019). Neutrofil merupakan komponen utama
dari leukosit yang secara aktif bermigrasi menuju sistem atau organ imunitas.
Neutrofil mengeluarkan ROS (Reactive Oxygen Species) dalam jumlah besar yang
menginduksi kerusakan dari DNA sel dan menyebabkan virus bebas keluar dari
sel. Kemudian ADCC (Antibody-Dependent Cell-Mediated Cell) dapat langsung
membunuh virus secara langsung dan memicu imunitas humoral. Neutrofil dapat
dipicu oleh faktor-faktor inflamasi yang berkaitan dengan virus, seperti
interleukin-6, interleukin-8, faktor nekrosis tumor, granulocyte colony stimulating
factor, dan interferon-gamma factors, yang dihasilkan oleh limfosit dan sel
endotel. Di samping itu, respon imun manusia yang diakibatkan oleh virus
terutama bergantung pada limfosit, dimana inflamasi yang sistemik secara
signifikan menekan imunitas seluler, dimana secara signifikan menurunkan kadar
CD4+ limfosit T dan meningkatkan CD8+ supresor limfosit T. Oleh karena itu,
inflamasi yang dipicu okarena virus meningkatkan rasio neutrofil-limfosit
(Amanda, 2020).
Limfosit merupakan sel kompeten secara imunologik karena kemampuanya
membantu fagosit dan jumlahnya mencapai 20 – 40%. Sebagai imunosit, limfosit
memiliki kemampuan spesifisitas antigen dan ingatan imunologik. Peningkatan
limfosit terdapat pada leukemia limpositik, infeksi virus dan infeksi kronik.
(Prawesti, 2016).
Terdapat dua jenis limfosit, limfosit B dan limfosit T . Limfosit B
menghasilkan antibody, yang beredar dalam darah dan bertanggung jawab dalam
imunitas humoral, atau yang diperantarai oleh antibodi. Suatu antibodi berikatan
dengan benda asing spesifik, misalnya bakteri (yang memicu produksi antibodi),
dan menandainya untuk dihancurkan sel. Limfosit T tidak memproduksi antibodi,
sel ini secara langsung menghancurkan sel sasaran spesifiknya dengan
mengeluarkan beragam zat kimia yang melubangi sel korban, suatu proses yang
25
dinamai imunitas seluler. Sel sasaran sel T mencakup sel tubuh yang dimasuki
oleh virus dan sel kanker (Armah, 2017).
Jumlah total limfosit merupakan parameter yang dapat digunakan untuk
menilai respons imun selular. World Health Organization (WHO) menyebutkan
bahwa idealnya penilaian penurunan respon imun selular adalah dengan
pemeriksaan CD4, tetapi apabila terdapat keterbatasan biaya dan sarana yang
tidak memungkinkan untuk pemeriksaan CD4 dapat menggunakan pemeriksaan
jumlah total limfosit total lymphocyte count (TLC). Dalam penelitian lain oleh
obirikorang dkk, disebutkan bahwa jumlah limfosit total dapat digunakan sebagai
pengukuran dan monitoring terapi terhadap peningkatan respon imun selular.
Jumlah total limfosit (TLC) dihitung berdasarkan persentasi limfosit terhadap
jumlah leukosit total, pemeriksaan jumlah total dan hitung jenis leukosit
umumnya dapat dilakukan di hampir semua sarana pelayanan kesehatan di
Indonesia, sehingga penggunaan TLC ditambah dengan gejala klinis akan dapat
digunakan untuk memprediksi (Donosepoetro, 2008). Limfositopenia ditandai
3
dengan jumlah limfosit absolut (ALC) < 1,0 x 10 sel / µL. Anemia ditandai
dengan kadar hemoglobin < 14 mg/dL untuk pria atau < 12 gm / dL.
Trombositopenia ditandai dengan jumlah trombosit < 150,0 x 103 sel / µL.
Leukopenia ditandai dengan jumlah leukosit < 4,4 x 103 sel / µL. leukositosis
ditandai dengan jumlah leukosit > 11,0 x 103 sel / µL (Wagner et al., 2020).
Perbedaan profil imunologi antara kasus COVID-19 ringan dengan berat bisa
dilihat dari suatu penelitian di China. Penelitian tersebut mendapatkan hitung
limfosit yang lebih rendah, leukosit dan rasio neutrofil-limfosit yang lebih tinggi,
serta persentase monosit, eosinofil, dan basofil yang lebih rendah pada kasus
COVID-19 yang berat. Sitokin proinflamasi yaitu TNF-α, IL-1 dan IL-6 serta IL-
8 dan penanda infeksi seperti prokalsitonin, ferritin dan C-reactive protein juga
didapatkan lebih tinggi pada kasus dengan klinis berat. Sel T helper, T supresor,
dan T regulator ditemukan menurun pada pasien COVID-19 dengan kadar T
26
helper dan T regulator yang lebih rendah pada kasus berat (Qin C., 2020).
Laporan kasus lain pada pasien COVID-19 dengan ARDS juga menunjukkan
penurunan limfosit T CD4 dan CD8. Limfosit CD4 dan CD8 tersebut berada
dalam status hiperaktivasi yang ditandai dengan tingginya proporsi fraksi HLA-
DR+CD38+. Limfosit T CD8 didapatkan mengandung granula sitotoksik dalam
konsentrasi tinggi (31,6% positif perforin, 64,2% positif granulisin, dan 30,5%
positif granulisin dan perforin). Selain itu ditemukan pula peningkatan
konsentrasi Th17 CCR6+ yang proinflamasi.39 ARDS merupakan penyebab
utama kematian pada pasien COVID-19. Penyebab terjadinya ARDS pada
infeksi SARS-CoV-2 adalah badai sitokin, yaitu respons inflamasi sistemik yang
tidak terkontrol akibat pelepasan sitokin proinflamasi dalam jumlah besar ( IFN-
α, IFN-γ, IL-1β, IL-2, IL-6, IL-7, IL-10 IL-12, IL-18, IL-33, TNF-α, dan TGFβ)
serta kemokin dalam jumlah besar (CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, CXCL9, dan
CXCL10) (Li X., et al 2020).Granulocyte-colony stimulating factor, interferon-
γ- inducible protein 10, monocyte chemoattractant protein 1, dan macrophage
inflammatory protein 1 alpha juga didapatkan peningkatan. Respons imun yang
berlebihan ini dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis sehingga terjadi
disabilitas fungsional (Zumla A., 2020).
27
2.4 Kerangka Teori
Diagnosa
COVID-19
Lymphocyte Count),
= Yang diteliti
28
2.5. Kerangka konsep
Limfosit (RNL)
2.6. Hipotesis
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
30
3.5 Populasi dan Sampel
1. Populasi suatu keseluruhan objek yang diteliti atau diselidiki yang
hasilnya dapat mewakili atau mencakup seluruh objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua
pasien positif COVID-19 di Rumah Sakit Patut Patuh Patju Gerung,
Lombok Barat.
2. Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi ini (Notoatmodjo, 2012). Sampel dalam penelitian ini adalah
pasien positif COVID - 19 di Rumah Sakit Patut Patuh Patju Gerung,
Lombok Barat pada bulan Oktober sampai Desember 2020.
31
3.8 Alur Penelitian
Surat IzinA.Permohonan
Pengambilan
B. Data
C. Surat Izin
Pengantaran
Permohonan D.
Pengambilan Data
ke RSUD Tripat Gerung
Analisi Data
Kesimpulan
32
2. Coding adalah memberi kode untuk jawaban menggunakan huruf
dan angka yang telah ditentukan dengan tujuan mempermudah
pembuatan tabel.
3. Entry data adalah kegiatan memasukkan data yang telah didapat ke
dalam program komputer yang ditetapkan program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) for Windows). Pada penelitian
ini menggunakan SPSS versi 13.0.
4. Cleaning adalah pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan
ke dalam komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam
pemasukan data.
1. Analisis univariat
Analisa univariat untuk mendapatkan gambaran distribusi
frekuensi atau besarnya proporsi menurut berbagai karakteristik
variabel yang diteliti baik untuk variabel bebas maupun variabel
terikat dengan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 13.0.
2. Analisis bivariat
33
perhitungan statistik bermakna yang berarti terdapat pengaruh yang
signifikan antara satu variabel dengan variabel lainnya.
Keterangan :
34
DAFTAR PUSTAKA