Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada Desember 2019, kasus pneumonia misterius pertama kali
dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei. Sumber penularan kasus ini masih
belum diketahui pasti, tetapi kasus pertama dikaitkan dengan pasar ikan di
Wuhan (Rothan HA,2020). Tanggal 18 Desember hingga 29 Desember
2019, terdapat lima pasien yang dirawat dengan Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS)( Ren L, dkk 2020). Sejak 31 Desember 2019
hingga 3 Januari 2020 kasus ini meningkat pesat, ditandai dengan
dilaporkannya sebanyak 44 kasus. Tidak sampai satu bulan, penyakit ini
telah menyebar di berbagai provinsi lain di China, Thailand, Jepang, dan
Korea Selatan (Huang C., et al., 2020).
Sampel yang diteliti menunjukkan etiologi coronavirus baru.
Awalnya, penyakit ini dinamakan sementara sebagai 2019 novel
coronavirus (2019-nCoV), kemudian WHO mengumumkan nama baru
pada 11 Februari 2020 yaitu Coronavirus Disease (COVID-19) yang
disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2
(SARS-CoV-2) (World Health Organization, 2020).
COVID-19 ( Coronavirus disease 2019 ) adalah penyakit yang
disebabkan oleh Severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-
CoV-2). SARS-CoV-2 merupakan kelompok virus terbesar dalam ordo
Nidovirales, termasuk superdomain biota, kingdom virus. Semua virus
dalam ordo Nidovirales adalah non- segmented positive-sense RNA
viruses (Beniac et al., 2006). Virus ini dapat ditularkan dari manusia ke
manusia dan telah menyebar secara luas di China dan lebih dari 190
negara dan teritori lainnya. Pada 12 Maret 2020, WHO mengumumkan
COVID-19 sebagai pandemik (World Health Organization, 2020).

1
Saat ini penyakit COVID-19 banyak dilaporkan melalui berbagai
media informasi dari seluruh belahan dunia. Penyebaran yang sangat cepat
menyebabkan terjadinya wabah di berbagai belahan dunia termasuk
Indonesia. Data-data yang dilaporkan setiap hari terus terjadi peningkatan
jumlah orang yang terkonfirmasi positif terkena penyakit COVID-19. Data
yang dilaporkan WHO pada tanggal 12 Februari 2021, kasus yang
terkonfirmasi COVID-19 di dunia mencapai 107.423.526. Pada tanggal 12
Februari 2021, kasus yang terkonfirmasi COVID-19 di di Indonesia
mencapai 1. 201. 859. Di Provinsi NTB kasus yang terkonfirmasi COVID-
19 sejumlah 8068 (Kemenkes RI, 2021).
Penyakit COVID-19 akan berdampak lebih berat pada pasien dengan
usia tua (>65 tahun), merokok, memiliki komorbid hipertensi, diabetes,
penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronik, dan keganasan
memiliki risiko lebih tinggi mengalami derajat penyakit yang lebih berat
dan mortalitas yang lebih tinggi jika terinfeksi COVID-19. (Willim et al.,
2020)
Perbedaan infeksi COVID-19 yang ringan atau berat dapat dilihat dari
penelitian yang telah dilakukan di China, dimana pada kasus infeksi
COVID-19 berat didapatkan hasil hitung limfosit menurun, leukosit dan
rasio neutrofil-limfosit meningkat (Susilo et al., 2020). Pada penelitian lain
yang dilakukan oleh Guan et al (2020) menunjukkan jumlah eosinofil dan
limfosit menurun secara signifikan setelah virus masuk ke dalam tubuh
dan meningkat seiring dengan perjalanan penyakit. Hasil tersebut sejalan
dengan penelitian (Lindsley et al., 2020) dan terbalik dengan penelitian
yang dilakukan oleh (Anurag et al., 2020) yang mendapatkan bahwa
eosinofil berkorelasi negatif dengan keparahan penyakit. Hasil penelitian
Huang et al. (2020) menunjukkan bahwa pasien COVID-19 dengan
diabetes yang dirawat di RS Tongji mengalami peningkatan jumlah hitung
leukosit dan neutrofil (Parapasan & Artasya, 2019).
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang digunakan sebagai
pemeriksaan untuk memantau tingkat keparahan penyakit pada pasien

2
terinfeksi COVID-19 adalah pemeriksaan hematologi yang terdiri dari
pemeriksaan Rasio neutrofil-limfosit (RNL) dan Absolut Limfosit Count
(ALC) (Putranto, 2020). Rasio neutrofil-limfosit (RNL) merupakan
indikator dari adanya respon inflamasi sistematis yang secara luas
digunakan sebagai penentu prognosis dari pasien dengan pneumonia yang
disebabkan oleh virus. Peningkatan rasio neutrofil-limfosit (RNL) dapat
merefleksikan proses inflamasi yang meningkat dan dapat berkaitan
dengan prognosis yang buruk. Peningkatan rasio neutrofil-limfosit secara
signifikan berhubungan dengan keparahan dari penyakit (Amanda, 2020).
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut, penulis menemukan
permasalahan bahwa pasien dengan infeksi COVID-19 yang ringan dan
berat berhubungan dengan hasil hitung limfosit, leukosit dan rasio
neutrofil-limfosit. Oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana
keadaan kadar Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) sebagai acuan untuk
mengetahui tingkat keparahan penyakit serta diharapkan lebih efektif
untuk pemantauan terapi dan pengobatan pasien sehingga dapat
mengurangi angka kasus kematian COVID-19.
Dari latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian
tentang “Analisis Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) pada Pasien
Terdiagnosis COVID-19 di RSUD Patut Patuh Patju Lombok Barat”.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah terdapat hubungan Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) pada Pasien
Terdiagnosis COVID-19 di RSUD Patut Patuh Patju Lombok Barat?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) pada
pasien terdiagnosis COVID-19 di RSUD Patut Patuh Patju
Lombok Barat.

3
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Menghitung Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) pada pasien terinfeksi
COVID-19 di RSUD Patut Patuh Patju Lombok Barat.
b. Menganalisis hubungan Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) pada
Pasien Terdiagnosis COVID-19 di RSUD Patut Patuh Patju
Lombok Barat.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi ilmiah tentang
penerapan pemeriksaan laboratorium khususnya dibidang
hematologi klinik tentang hubungan Rasio Neutrofil Limfosit
(RNL) pada pasien terdiagnosis COVID-19.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat diketahui tingkat keparahan penyakit,
sehingga lebih cepat penanganannya.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Corona Virus Desease (COVID-19)

2.1.1 Virus Corona


Kata “Corona” berasal dari bahasa Latin yang artinya “crown” atau
mahkota. Bentuk mahkota ini ditandai oleh adanya “Protein S” yang berupa
sepatu, sehingga dinamakan “spike protein”, yang tersebar disekeliling
permukaan virus. “Protein S” inilah yang berperan penting dalam proses infeksi
virus terhadap manusia. Coronavirus adalah virus RNA yang besar dan
berselubung.
Coronavirus merupakan virus dengan virion berselubung yang berbentuk
pleomorfik atau sferis dengan diameter 70-160 nm mengandung genom single
stranded RNA yang positif dan tidak bersegmen. Nukleokapsid virus ini berbentuk
helikal, mempunyai ukuran garis tengah antara 11-13 nm. Terdapat 4 struktur
protein utama pada Coronavirus yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M
(membran), glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung). Protein S atau
spike protein merupakan salah satu protein antigen utama virus dan merupakan
struktur utama untuk penulisan gen. Protein S ini berperan dalam penempelan dan
masuknya virus kedalam sel host (interaksi protein S dengan reseptornya di sel
inang) (Yuliana, 2020).

2.1.2 Morfologi Virus Corona


Morfologi virusnya berbentuk bulat dengan protein spike (S) yang
menonjol dari permukaan partikel virus (virion) dan memiliki materi genetik
berupa RNA rantai tunggal. Kata corona dalam bahasa Latin mengandung arti
crown atau mahkota. Jika dilihat dari mikroskop elektron, bentuk partikel virus
SARS-CoV-2 ini menyerupai mahkota sehingga disebut coronavirus (Beniac et
al., 2006). Infeksi pada manusia disebabkan oleh Human Coronavirus (HcoV) dan
Human Enteric Corona Virus (HECV). Virus ini dapat diisolasi dari saluran napas
bagian atas dari penderita yang mengalami demam. Coronavirus diduga sebagai
penyebab penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), selain itu pada
manusia dapat pula menyebabkan gangguan pada sistem pencernaan dan sistem
saraf pusat. (Suprobowati & Kurniati, 2018).
Virus corona termasuk superdomain biota, kingdom virus. Virus corona
adalah kelompok virus terbesar dalam ordo Nidovirales. Semua virus dalam ordo
Nidovirales adalah non- segmented positive-sense RNA viruses. Virus corona
termasuk dalam familia Coronaviridae, sub familia Coronavirinae, genus
Betacoronavirus, subgenus Sarbecovirus. Pengelompokan virus pada awalnya
dipilah ke dalam kelompok- kelompok berdasarkan serologi tetapi sekarang
berdasar pengelompokan filogenetik. Lebih jauh dijelaskan bahwa subgenus
Sarbecovirus meliputi Bat-SL-CoV, SARS-CoV dan 2019-nCoV. Bat- SL-CoV
awalnya ditemukan di Zhejiang, Yunan, Guizhou, Guangxi, Shaanxi dan Hubei,
China. Pengelompokan yang lain memperlihatkan bahwa virus corona grup beta
meliputi Bat coronavirus (BcoV), Porcine hemagglutinating encephalomyelitis
virus (HEV), Murine hepatitis virus (MHV), Human coronavirus 4408
(HCoV4408), Human coronavirus OC43 (HCoV-OC43), Human coronavirus
HKU1 (HCoV-HKU1), Severe acute respiratory syndrome coronavirus
(SARSCoV) dan Middle Eastern respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV).
(Beniac et al., 2006).

Gambar 2. 1 Struktur virus corona

8
2.1.3 Patofisiologi Virus Corona

Coronavirus merupakan virus zoonotik, RNA strain tunggal positif,


berkapsul dan tidak bersegmen, bersirkulasi di hewan, seperti unta, kucing, dan
kelelawar. Hewan dengan coronavirus dapat berkembang dan menginfeksi
manusia seperti pada kasus MERS dan SARS seperti kasus outbreak saat ini.
Epidemi dua betacoronavirus SARS dan MERS sekitar 10.000 kasus ; tingkat
kematian 10 % untuk SARS dan 37% untuk MERS. Studi saat ini telah
mengungkapkan bahwa COVID-19 mungkin berasal dari hewan liar, tetapi asal
pastinya masih belum jelas (Morfi, 2020).

Coronavirus yaitu virus yang ditransmisikan dari hewan ke manusia.


Banyak hewan liar yang dapat membawa patogen dan bertindak sebagai vektor
untuk penyakit menular tertentu. Coronavirus pada kelelawar merupakan sumber
utama untuk kejadian SARS dan MERS. Secara umum, alur Coronavirus dari
hewan ke manusia dan dari manusia ke manusia melalui transmisi kontak,
transmisi droplet, rute feses dan oral (Burhan et al., 2020).

Coronavirus terutama menginfeksi dewasa atau anak usia lebih tua,


dengan gejala klinis ringan seperti common cold dan faringitis sampai berat
seperti SARS atau MERS serta beberapa strain menyebabkan diare pada dewasa.
Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya. Virus tidak bisa
hidup tanpa sel host. Berikut siklus dari Coronavirus setelah menemukan sel host
sesuai tropismenya. Pertama, penempelan dan masuk virus ke sel host diperantarai
oleh Protein S yang ada dipermukaan virus. Protein S penentu utama dalam
menginfeksi spesies host-nya serta penentu tropisnya. Pada studi SARS-CoV
protein S berikatan dengan reseptor di sel host yaitu enzim Angiotensinconverting
Enzyme 2 (ACE-2). ACE-2 dapat ditemukan pada mukosa oral dan nasal,
nasofaring, paru, lambung, usus halus, usus besar, kulit, timus, sumsum tulang,
limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, enterosit usus halus, sel endotel
arteri vena, dan sel otot polos. Setelah berhasil masuk selanjutnya translasi
replikasi gen dari RNA genom virus. Selanjutnya replikasi dan transkripsi dimana

9
sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari kompleks replikasi virus.
Tahap selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus (Burhan et al., 2020).

Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi
di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah itu menyebar
ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran
napas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal
setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul penyakit sekitar 3-7
hari. (Burhan et al., 2020).

Gambar 2. 2 Siklus Hidup Coronavirus (SARS)

Pada SARS-CoV-2 ditemukan target sel kemungkinan berlokasi di saluran


napas bawah. Virus SARS-CoV-2 diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia
COVID-19 menggunakan ACE-2 sebagai reseptor, sama dengan pada SARS-CoV.
Sekuens dari Reseptor-Binding Domain (RBD) termasuk Receptor-Binding Motif
(RBM) pada SARS-CoV-2 kontak langsung dengan enzim ACE-2. Hasil residu
pada SARS-CoV-2 RBM (Gln493) berinteraksi dengan ACE-2 pada manusia,
konsisten dengan kapasitas SARS-CoV-2 untuk infeksi sel manusia. Beberapa
residu kritis lain dari SARS-CoV-2 RBM (Asn501) kompatibel mengikat ACE2

10
pada manusia, menunjukkan SARS-CoV-2 mempunyai kapasitas untuk transmisi
manusia ke manusia. (Burhan et al., 2020).

2.1.4 Manifestasi Klinis Virus Corona

Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai


dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat,
ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau
sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam
keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi asimtomatik belum diketahui (World
Health Organization; 2020). Viremia dan viral load yang tinggi dari swab
nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan (Kam K.Q., et al.,
2020).
Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas
atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau
tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit
kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus
pasien juga mengeluhkan diare dan muntah (Chen H., 2020). Pasien COVID-19
dengan pneumonia berat ditandai dengan demam, ditambah salah satu dari gejala:
(1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres pernapasan berat, atau (3)
saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien geriatri dapat muncul
gejala-gejala yang atipikal (World Health Organization, 2020).
Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejala-
gejala pada sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas.1
Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk kering, dan
fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk produktif, sesak napas,
sakit tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah,
kongesti nasal, diare, nyeri abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva
(World Health Organization, 2020). Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-
19 memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C
Pasien dengan COVID-19 mengalami demam dengan suhu lebih tinggi
dari 38°C. Pasien juga mengalami batuk, kelelahan dan nyeri otot, dan pasien

11
dengan imunitas kurang baik akan berlanjut dengan gejala sesak nafas. Sejumlah
kecil pasien juga mengembangkan ekspektorasi (28%), sakit kepala (8%),
hemoptisis (5%), dan diare (3%), dengan kasus usia tua dan pemilik penyakit
komorbid serta ARDS akan memiliki prognosis lebih buruk ketika terinfeksi virus
ini (Grace, 2020).

2.1.5 Penegakkan Diagnosis

Pada anamnesis gejala yang dapat ditemukan yaitu, tiga gejala utama: demam,
batuk kering (sebagian kecil berdahak) dan sulit bernapas atau sesak.

a. Pasien dalam pengawasan atau kasus suspek / possible


1. Seseorang yang mengalami:

a. Demam (≥38 0C) atau riwayat demam


b. Batuk atau pilek atau nyeri tenggorokan
c. Pneumonia ringan sampai berat berdasarkan klinis dan/atau gambaran
radiologis. (pada pasien immunocompromised presentasi
kemungkinan atipikal) DAN disertai minimal satu kondisi sebagai
berikut :
 Memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau wilayah/ negara
yang terjangkit* dalam 14 hari sebelum timbul gejala
 Petugas kesehatan yang sakit dengan gejala sama setelah merawat
pasien infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) berat yang tidak
diketahui penyebab / etiologi penyakitnya, tanpa memperhatikan
riwayat bepergian atau tempat tinggal.

2. Pasien infeksi pernapasan akut dengan tingkat keparahan ringan sampai


berat dan salah satu berikut dalam 14 hari sebelum onset gejala:
a. Kontak erat dengan pasien kasus terkonfirmasi atau probable COVID-
19, ATAU
b. Riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan sudah
teridentifikasi), ATAU
c. bekerja atau mengunjungi fasilitas layanan kesehatan dengan kasus
terkonfirmasi atau probable infeksi COVID-19 di Tiongkok atau

12
wilayah/negara yang terjangkit.
d. Memiliki riwayat perjalanan ke Wuhan dan memiliki demam (suhu
≥38 0C) atau riwayat demam.

b. Orang dalam Pemantauan


Seseorang yang mengalami gejala demam atau riwayat demam tanpa
pneumonia yang memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau
wilayah/negara yang terjangkit, dan tidak memiliki satu atau lebih riwayat
paparan diantaranya:
 Riwayat kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19
 Bekerja atau mengunjungi fasilitas kesehatan yang berhubungan dengan
pasien konfirmasi COVID-19 di Tiongkok atau wilayah/negara yang
terjangkit (sesuai dengan perkembangan penyakit),
Memiliki riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan penular sudah
teridentifikasi) di Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit (sesuai dengan
perkembangan penyakit)

c. Kasus Probable
Pasien dalam pengawasan yang diperiksakan untuk COVID-19 tetapi
inkonklusif atau tidak dapat disimpulkan atau seseorang dengan hasil
konfirmasi positif pan-coronavirus atau beta coronavirus.

d. Kasus terkonfirmasi
Seseorang yang secara laboratorium terkonfirmasi COVID-19.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Dengan makin meningkatnya penyebaran kasus COVID-19 ini maka
diperlukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis penyakit COVID-19 ini.
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk mendukung
tatalaksana kasus COVID-19. Pada tahap awal yaitu, skrining dilakukan
pemeriksaan laboratorium hematologi, rapid test serta pemeriksaan molekuler.
Parameter hematologi yang mendukung pemeriksaan COVID-19 adalah
penurunan jumlah lekosit / lekopenia, yaitu jumlah lekosit / sel darah putih < 4000
/ ul); hitung netrofil absolute > 2500 / ul, hitung limfosit absolute / ALC : < 1500 /

13
ul, netrofil limfosit rasio (NLR) : > 3,13 dan CRP : > 10 mg / L. Pemeriksan rapid
tes dapat menggunakan rapid tes antigen atau antibody. Sedangkan pemeriksaan
Molekuler terdiri dari Tes Cepat Molekuler (TCM) atau Real Time PCR (Hadi,
2020).
Untuk pemeriksaan diagnosis selain pemeriksaan laboratorium perlu
diperhatikan klinis pasien, serta riwayat kontak atau terpapar dengan orang yang
terkonfirmasi positif COVID-19. Pemeriksaan yang diperlukan untuk
mendukung diagnostik COVID-19, dapat berupa pemeriksaan hematologi,
kombinasi antara rapid tes antigen dan antibody dengan pemeriksaan molekuler
(RT PCR atau Tes cepat Molekuler). Dengan banyaknya parameter untuk
mendukung baik itu skrining maupun diagnostik, maka diperlukan beberapa
peralatan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium COVID-19 :

a. Hematology Analyzer
Pemeriksan hematologi dengan menggunakan alat hematology analyzer yang
dilakukan, selain lebih cepat juga ada beberapa paremeter tambahan untuk
membantu mendukung diagnosis COVID–19, seperti HFLC (High Fluorescent
Lymphocyte Count), hitung Limfosit Absolute / ALC, Netrofil Limfosit Rasio
(NLR).
b. Rapid Tes Antibody
Rapid tes antibody tidak membutuhkan peralatan yang khusus. Selain itu
hasil juga dapat dibaca dalam waktu 15-20 menit. Reagen rapid tes antibody ini
ada yang berupa antibodi total dan ada juga yang berupa IgG dan IgM secara
terpisah. Kedua tipe jenis reagen ini juga digunakan di laboratorium. Tes
immunoassay / sero-imunologik untuk mendeteksi Antigen (Ag) atau Antibody
(Ab) dinamakan rapid test adalah karena caranya mudah dan cepat namun
akurasi masih rendah. penggunaan rapid tes terutama rapid tes antibody ini
banyak digunakan di indonesia. Tes ini digunakan untuk mendeteksi
adanya antibody terhadap COVID-19. Antibody ini akan timbul pada hari ke 7
pasca infeksi / gejala, sehingga perlu strategi dalam penggunaan rapid
tes antibody. IgM biasanya muncul pada hari ke 7, meningkat sampai hari ke 28
dan mulai menurun pada hari ke 42. Sedangkan IgG muncul di hari ke 10,

14
meningkat sampai hari ke 49. Kadar IgG dan IgM lebih tinggi pada pasien
dengan klinis berat dibandingkan dengan klinis ringan. Tes Ag yang mendeteksi
bagian dari virus memang dapat lebih cepat reaktif dalam beberapa hari pertama
infeksi (fase virus bereplikasi di nasofaring) sedangkan Antibody yang
merupakan reaksi imunologik dari tubuh timbul lebih lambat, baru setelah hari
ke 6-8 atau bahkan lebih lambat lagi. Hasil non reaktif (negatif) pada
pemeriksaan rapid tes antibody ada beberapa kemungkinan jika belum terpapar
COVID-19 yaitu belum sakit atau belum memiliki kekebalan (antibody),
sehingga perlu menjaga diri, diulang lagi 7-10 hari, sedangkan jika sudah pernah
terpapar tahap awal COVID-19 kemungkinannya belum terbentuk antibody,
sehingga perlu diulang 7-10 hari kemudian, posisi masih dianggap berisiko,
belum aman, dan tetap harus isolasi mandiri serta jaga diri. Hasil reaktif (positif)
pada pemeriksaan rapid antibody COVID-19, kemungkinan sudah terpapar
COVID-19, untuk membuktikan benar-benar ada COVID-19, harus dikonfirmasi
PCR. Hasil invalid tidak nampak garis pada zona control (C), meskipun dapat /
tidak diikuti dengan penampakan garis pada zona test (T). Disarankan untuk
dilakukan pengulangan pemeriksaan menggunakan reagen lain. Dengan segala
keterbatasan pada pemeriksaan metode rapid, sehingga perlu memperhatikan
beberapa keterbatasan pada pemeriksaan rapid tes baik antigen
maupun antibody. Negatif palsu yaitu keadaan sebenarnya sakit tetapi hasil
pemeriksaan negatif, dimana saat dilakukan pemeriksaan belum
terbentuk antibody, atau kadarnya masih rendah (window periode) dan juga pada
keadaan tubuh tidak cukup membuat antibody ( keadaan immunocompromised,
misalnya penderita dalam pengobatan kanker, penderita penyakit autoimun,
AIDS, penyakit kronis, transplantasi organ, dan orang usia lanjut) atau ada
pengaruh obat-obatan atau zat tertentu, serta saat antigen sudah menghilang.
Positif palsu yaitu keadaan bukan merupakan penyakit COVID-19, tetapi hasil
pemeriksaannya positif dimana terdeteksi antibody, tapi sebenarnya
penyebabnya bukan COVID-19 (ada virus lain yang
menimbulkan antibody yang mirip) sehingga bisa menyebabkan reaksi silang,
misalkan dengan virus dengue (demam berdarah), atau infeksi Virus Corona
yang lain (Hadi, 2020).

15
c. TCM (Tes Cepat Molekuler)
Tes cepat berbasis molekuler ini mampu mendeteksi COVID–19
secara qualitative. Dengan target gen: multiple region of viral genom. Bahan
sampel yang digunakan pada pemeriksaan ini adalah swab nasofaring (Hadi,
2020).

d. RT PCR (Real Time Polymerase Chain Reaction)


Teknik PCR merupakan gold standart pada pemeriksaan COVID-19 ini,
dengan cara medeteksi adanya gen virus COVID-19. Teknik yang digunakan
pada pemeriksaan ini adalah dengan memperbanyak atau mereplikasi RNA virus
secara enzimatik. Pemeriksaan PCR ini merupakan pemeriksaan spesifik untuk
COVID-19. Kalau hasilnya positif, maka dapat dipastikan ada virus SARS CoV-
2. Namun perlu juga temuan dan analisa klinis yang lainnya untuk
mengkonfirmasi infeksi COVID-19. Sebaliknya kalau PCR negatif, tidak boleh
disimpulkan, harus ada pemeriksaan dengan sampel kedua. Diambil dihari
berikutmya. Bila sudah 2 kali negatif, baru dapat disimpulkan bahwa PCR
negative (Hadi, 2020).

2.2 Rasio Neutrofil-Limfosit (NLR)


2.2.1 Mekanisme Neutrofil
Neutrofil merupakan mekanisme pertahanan tubuh pertama apabila ada
jaringan tubuh yang rusak atau ada benda asing masuk dalam tubuh.Fungsi sel-
sel ini berkaitan erat dengan pengaktifan antibodi (immunoglobulin) dan sistem
komplemen.Interaksi sistem-sistem ini dengan neutofil meningkatkan
kemampuan sel ini untuk melakukan fagositosis dan menguraikan beragam
partikel. Neutrofil mampu mengeluarkan bahan yang tertelan atau difagositosis,
dan neutrofil juga mampu mengeluarkan enzim mielinperoksidase ke lingkungan
sekitarnya (Yoji K., 2020).
Neutrofil merupakan leukosit pertama yang menjangkau daerah inflamasi
dan mengawali pertahanan host melawan patogen. Aktivasi neutrofil juga
berperan untuk melawan infeksi secara efektif, bersama monosit dan makrofag

16
lewat fagositosis dan mikroorganisme atau lewat pengeluaran komponen
inflamasi seperti radikal oksigen, protease, atau peroksidase. Migrasi neutrofil
dari sirkulasi darah menuju jaringan inflamasi merupakan suatu proses yang
kompleks dan tergantung dari banyak fungsi seluler. Salah satu kunci proses
tersebut adalah reseptor adhesi (Craig A., 2008).
Neutrofil (Leukosit Polimorfonuklear/PMN) adalah granulosit dalam
sirkulasi yang berperan dalam inflamasi terhadap infeksi dalam tubuh.Jumlah
leukosit dalam sirkulasi 70% merupakan neutrofil dengan fungsi utama yaitu
fagositosis.Neutrofil dari sirkulasi darah menuju jaringan sasaran berfungsi untuk
menghancurkan mikroba. Neutrofil dengan proses kemotaksis berfungsi sebagai
fagosit dan bakterisid, dan dengan melepaskan kolagenase yang dapat
memperbaiki kerusakan sel dalam merubah matrik ekstraseluler dan
membersihkan luka dari sel yang rusak (Cotran R., 2005).
Selama respon inflamasi, pada proses marginasi neutrofil berakumulasi
mendekati sel endotel dinding venula, hal ini terjadi karena adanya molekul
adhesi yang dilepaskan oleh endotel akibat pengaruh IL-1 yang dihasilkan
neutrofil, molekul adhesi tersebut antara lain P-selektin, Intracellular Adhesion
Molecule-1 (ICAM-1). Selanjutnya neutrofil bergulir pada permukaan endotel
akibat daya dorong aliran plasma, dan penempelan neutrofil pada endotel makin
kuat dan bergerak aktif secara diapedesis, kemudian berhenti dan mengeluarkan
pseudopodia mengerutkan diri menyusup melewati celah antara membran sel
endotel dan bermigrasi meninggalkan kapiler menuju jaringan target infeksi
(Cotran R., 2005).

17
Gambar 2.3. Mekanisme kerja neutrofil

Setelah neutrofil meninggalkan sirkulasi dan melalui endothelium, mereka


bermigrasi ke jaringan yang terinfeksi. Paparan neutrofil terhadap kemoatraktan
seperti N-formylmethionyl-leucyl-phenylalanine (fMLP) dan komplemen-5a (C5a)
menginduksi polarisasi seluler kemoreseptor dan pembentukan pseudopodia di
tepi sel. Di tempat infeksi, reseptor membran untuk protein komplemen dan
imunoglobulin mengenali dan mengikat bakteri opsonisasi yang kemudian
membentuk pseudopodia, fagositosis patogen dan menghancurkannya di dalam
fagosom intrasel. Neutrofil memiliki banyak enzim protease dan dapat
menghasilkan reactive oxygen species (ROS) yang dapat membunuh patogen yang
telah difagosit secara cepat, tetapi molekul-molekul beracun ini juga dapat
merusak jaringan individu sendiri, misalnya pada pengeluaran berlebihan di
neutrofil dengan penyakit autoimun. Neutrofil aktif juga mampu
mempresentasikan antigen melalui MHCII, sehingga merangsang aktivasi dan
proliferasi sel T. Selain itu, neutrofil juga bisa mengekspos epitop yang
tersembunyi, karena mereka memiliki protease yang berbeda dari sel APC
lainnya (Wright H., 2010).

Neutrofil mensintesis dan mensekresi sitokin, kemokinin, leukotrien dan


prostaglandin dalam jumlah besar di jaringan inflamasi, yang berkontribusi
terhadap produksi mediator inflamasi lokal.Neutrofil telah terbukti mensintesis
dan mensekresi IL-8 sebagai respons terhadap sejumlah rangsangan, termasuk

18
TNF-a dan GM-CSF. Neutrofil aktif juga telah dilaporkan untuk mensintesis IL-1,
-1RA, -6, -12, TGF-b, TNF-a, oncostatin M dan BLyS, yang nantinya dapat
mengaktifkan neutrofil dan sel sistem imun lainnya. Neutrofil adalah sumber
penting leukotrien dan prostaglandin, terutama leukotrien B4 (LTB4) dan
prostaglandin E2 (PGE2), yang disintesis dari asam arakidonat oleh
lipoxygenases dan cyclo-oxygenases.LTB4 adalah kemoatraktan neutrofil, dan
dapat memicu migrasi neutrofil melalui up-regulation MAC-1. PGE2, sebaliknya,
memiliki efek terutama anti-inflamasi pada neutrofil, menghambat aktivitas
fosfolipase-D dan meningkatkan konsentrasi cyclic-adenosine monophosphate
(cAMP) intrasel, yang menghasilkan penurunan masuknya kalsium, kehilangan
NADPH oksidase sehingga menurunkan adhesi ke endotel dan kemotaksis. PGE2
juga telah diteliti dapat menunda apoptosis neutrofil.

Gambar 2.4. Fungsi dan produk mediator inflamasi neutrofil

Defisiensi fungsi neutrophil telah diteliti dan dihubungkan jelas dengan


meningkatnya frekuensi dan keparahan infeksi bakteri.Pasien dengan jumlah
netrofil yang rendah dihubungkan dengan resiko infeksi bakteri nososkomial &
infeksi jamur.Besarnya tingkat supresi daya kemoktaksis neutrophil (gangguan
dalam daya migrasi nuetrofil) pada pasien sepsis dihubungkan dengan tingkat
keparahan penyakit. Menggunakan analisis mikroskopik,kegagalan migrasi
netrofil bukan hanya dengan adanya penurunan daya kemotaksis neutrophil ,
namun juga penurunan daya gulung dan adhesi neutrophil pada endotel. Produksi
sitokin dalam sirkulasi berlebihan, Peningkatan sekresi APP (acute phase protein),

19
Peningkatan aktivitas INOS (intrinsic nitric oxide systase) dan aktifasi TLR (toll
like receptor) dihubungkan dengan fenomena kegagalan migrasi neutrophil.
Fenomena kegagalan ini lebih lanjut di kenal dengan istilah “paralisis
neutrophil” pada kondisi sepsis (Alves-Filho J., 2010).

2.2.2 Mekanisme Limfosit


Fungsi utama limfosit adalah untuk meregulasi sistem imun. Apabila sel-
sel asing (antigen eksogen, antigen endogen yang mengalami alterasi, sel- sel
maligna, dan sebagainya) ditelan, didegradasi, atau dieliminasi sepenuhnya oleh
fagosit, maka tidak ada sistem imun yang akan dibangkitkan. Sedangkan, apabila
respon tersebut tidak terjadi, fragmen antigen ditransportasikan menuju sinus
subkapsuler limfonodi.Pada bagian medula, antigen terfiksasi pada bagian
eksterior, dan kemudian terbawa menuju ke lisozim makrofag.Selain itu antigen
juga dibawa oleh sel dendritik untuk dipresentasikan kepada limfosit B. Sel
dendritik dapat melepaskan sitokin yang memfasilitasi diferensiasi limfosit B
menjadi sel yang dapat memproduksi antibodi. Ketika terjadi diferensiasi ini,
terjadi proliferasi yang intens selama 48 jam. Makrofag akan melepaskan IL-1, 11
sedangkan limfosit T meningkatkan produksi dan aktivasi antigen specific CD8+
T cells. Kerja faktor diferensiasi limfosit sitotoksik akan mengembangkan kloning
dari limfosit B untuk antigen spesifik dan limfosit T sitotoksik. Dalam kerjanya,
limfosit sitotoksik membutuhkan aktivasi awal dan antigen MHC kelas I. Limfosit
T mengeluarkan beberapa soluble factors yang mengaktivasi sel limfosit
sitotoksik. Sebagai umpan balik, sel supresor meredam respon imun spesifik dan
menghambat kerja limfosit T yang sudah teraktivasi (Cotran R., 2005).
Limfosit B memiliki fungsi menghasilkan antibodi, internalisasi antigen,
memproses antigen, dan mempresentasikan antigen kepada limfosit T untuk
meningkatkan respon imun. Limfosit B yang teraktivasi akan berkembang
menjadi sel memori yang mengekspresikan penanda permukaan CD45RO yang
pada akhirnya akan berdeferensiasi menjadi sel plasma. Aktivasi sel B memiliki
pola yang serupa dengan sel T. Pada sel B pengkodean diatur oleh heterodimer Ig
α dan Igβ yang pada bagian ekornya membawa immunoreceptor tyrosine
activation motifs (ITAM). Heterodimer ini berhubungan dengan Ig

20
permukaanuntuk membentuk reseptor sel B. Terjadinya cross-linking pada Ig
permukaan akan menyebabkan aktivasi dari tirosin kinase, yaitu Lck, Lyn, Fyn,
dan Blk yang menyebabkan fosforilasi dari ITAM. Hal ini menyebabkan
terikatnya kinase lain yaitu Syk (analog ZAP-70 pada limfosit T), yang akan
mengaktifkan phospholipase C pada membrane PIP2 untuk membangkitkan IP3
dan DAG yang kemudian akan mengaktivasi protein kinase C. Semua sinyal ini
akanmengaktivasi kaskade kinase dan ditransduksikan untuk mengaktivasi nuclear
transcription factors. Proses ini juga terjadi pada limfosit T (Abbas A., 2015).

Gambar 2.5. Aktivasi sel B intraseluler

Limfosit T dapat dibedakan berdasar tipe reseptor antigen, yaitu sel T yang
memiliki TCR δ/γ, dan sel T yang memiliki TCR α/β, yang dibagi berdasarkan
koreseptor CD4+ atau CD8+ . Sel T δ/γ ditemukan di epitel mukosa, darah, serta
pada bagian tubuh lain, dan memiliki fungsi stimulasi terhadap imunitas bawaan
dan mukosa. Sel T δ/γ ini akan memproduksi IFN-γ dan mengaktivasi sel
dendritik dan makrofag. Jenis sel ini hanya berjumlah 5% dari seluruh limfosit
yang tersirkulasi, namun dapat meningkat hingga 20-60% pada infeksi patogen
tertentu. Sel T α /β diekspresikan pada sebagian besar sel T dan berperan dalam
respon imun yang diaktivasi antigen. Sel T α /β terbagi menjadi beberapa kelas
oleh ekspresi molekul CD4+ dan CD8+ menjadi T helper, T sitotoksik, T
regulatorik, dan sel NKT.1 Sel T Helper merupakan sel T yang mengekspresikan
CD4+. Sel ini berinteraksi dengan peptida yang dipresentasikan oleh molekul
MHC kelas II yang diekspresikan di permukaan APC (sel dendritik, makrofag,
dan sel B).Lebih lanjut sel T CD4+ kemudian berdiferensiasi menjadi sel TH0,

21
TH1, TH2, TH17.Diferensiasi ini salah satunya dipengaruhi oleh adanya sitokin
proinflamasi terutama IL-2.Sel TH0 memproduksi sitokin yang dapat
mengekspansi respon imunitas selular.Sel TH1 memproduksi IFN- γ dan IL-2
untuk mengaktivasi sel dendritik dan makrofag yang dapat meningkatkan respon
imun terhadap bakteri intraselular, serta meningkatkan produksi subtipe tertentu
dari IgG.Sel TH2 memiliki fungsi untuk meningkatkan respon antibodi.
Sedangkan TH17 akan mensekresi IL-17 untuk mengaktifkan neutrofil serta
meningkatkan respon inflamasi dan antifungal (Abbas A., 2015).
Limfosit T yang mengekspresikan CD8+ memiliki aktivitas sitotoksik dan
sering disebut sebagai cytotoxic T lymphocytes (CTLs).Aktivasi sel T CD8+ naif
diinduksi oleh antigen yang dipresentasikan terikat dengan MHC kelas I pada
permukaan APC.Sel T CD8+ dapat berespon terhadap bakteri intraseluler,
terutama bakteri intraseluler yang lolos dari mekanisme fagosom seperti
Mycobacterium tuberculosis, Salmonellae, dan Chlamydiae. Patogen lain yang
tidak mampu bertahan dari mekanisme fagosom masih mampu mengaktivasi sel T
CD8+ melalui mekanisme cross-priming yang memungkinkan sel yang terinfeksi
mengalami apoptosis dan melepaskan fragmen antigen yang ditangkap oleh sel
dendritik selaku APC. Sel T CD8+ akan merespon dengan melepaskan sitokin
proinflamasi dan sitokin yang dapat mengaktivasi makrofag serta membunuh sel
yang terinfeksi melalui pelepasan perforin, Fas, dan granulysin pada sebagian
kasus. Sel T CD8+ juga akan melepaskan IFN-γ yang akan mengenali sel yang
terinfeksi bakteri, dan kemudian mengaktivasi jalur proteksi oleh makrofag.
Selain itu sel T CD8+ melalui pengaruh IL-2 dapat berdeferensiasi menjadi sel T
memori yang berperan dalam sistem imun spesifik terhadap antigen tertentu.
Selain itu IL-2 juga mengoptimalkan diferensiasi sel T CD8+ menjadi sel efektor
(Abbas A., 2015).

22
Gambar 6. Jalur aktivasi sel T CD8+

T reg mengekspresikan CD4+ dan CD25+ yang berfungsi untuk


mengontrol respon imun dan menghindari respon berlebihan dari sel T. Sel NKT
merupakan perpaduan antara sel NK dan sel T. Sel ini bereaksi terhadap molekul
CD1 yang mempresentasikan glikolipid dan glikopeptida yang contohnya terdapat
pada Mycobacterium (Murray P. R., 2013).
Sistem imun adaptif, yaitu sel T CD4+ dan sel T CD8+ akan berespon
terhadap antigen dari mikroba yang terfagositosis yang terekspresi sebagai peptida
yang terikat pada MHC kelas II dan kelas I. Selanjutnya IL-12 yang diproduksi
makrofag dan sel dendritik akan mendorong diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel
efektor TH1. Kemudian sel T akan mngekspresikan CD40 dan mensekresikan
IFN-γ, yang keduanya akan mengaktifkan makrofag untuk memproduksi
substansi mikrobisidal, termasuk ROS, NO dan enzim lizosimal. Lebih lanjut
terjadi produksi isotype antibodi (IgG2 pada tikus) yang akan mengopsonisasi
bakteri dan mengaktivasi sistem komplen. Respon ini juga distimulasi oleh IFN-
γ . Respon imun yang dimediasi oleh sel T CD8+ akan teraktivasi apabila bakteri
yang berada pada fagosom dapat menghindari ingesti oleh fagosom dan berada di
sitoplasma sel yang terinfeksi. Respon mikrobisidal tidak dapat mengeliminasi
bakteri yang berada di sitosol, sehingga perlu adanya aktivasi limfosit T
sitotoksik. Sehingga dapat disimpulkan dalam mekanisme pertahanan terhadap
bakteri intraseluler sel T CD4+ dan sel T CD8+ harus saling bekerja sama
(Murray P. R., 2013).

23
Sepsis dapat menimbulkan deplesi yang besar pada limfosit B juga pada
CD4 limfosit T dalam organ limfoid sekunder, sehingga menyebabkan penurunan
kemampuan untuk melawan infeksi.Hubungan antara kondisi klinis yang
mengalami komplikasi atau prognosis yang buruk pada pasien sepsis dengan
penurunan konsentrasi CD4 T - limfosit dan limfosit T yang telah diaktifkan di
darah perifer pada sebagian besar pasien trauma atau pasien paska pembedahan
dengan sepsis sekunder.

Pada studi yang dilakukan Holub dkk.tentang penurunan limfosit pada


sepsis ditemukan bahwa adanya penurunan yang signifikan dari nilai normal sel
limfosit CD4, CD8 dan jumlah total limfosit T diamati pada pasien sepsis, namun
penurunan yang berlangsung lama hanya pada sel CD4 limfosit T 3 hari dan sel
Natural killer ( NK) 7 hari (Holub M., et al, 2012).

2.2.3 Rasio Neutrofil Limfosit (NLR)


Leukosit (sel darah putih) dihasilkan oleh thymus, lien dan sumsum tulang
belakang. Leukosit bersirkulasi di dalam tubuh melalui pembuluh limfe dan
pembuluh darah, sehingga sistem imun bekerja terkoordinasi baik memonitor
tubuh dari kuman maupun substansi lain yang bisa menyebabkan permasalahan
dalam tubuh. Leukosit pada umumnya memiliki dua tipe, yaitu fagosit yang
bertugas memakan organisme yang masuk ke dalam tubuh dan limfosit yang
bertugas mengingat dan mengenali yang masuk ke dalam tubuh serta membantu
tubuh menghancurkan benda asing tersebut (Naim, 2018).
Leukosit juga berperan penting dalam respons inflamasi sistemik (infeksi
berat, trauma, dan syok). Respons imun terhadap endotoksin telah ditemukan
dengan peningkatan jumlah neutrofil dan penurunan jumlah limfosit. Akibat
peningkatan jumlah neutrofil serta penurunan jumlah limfosit akan meningkatkan
rasio neutrofil–limfosit (RNL). Rasio neutrofil-limfosit merupakan salah satu
indikator dari adanya respon inflamasi sistematis yang secara luas digunakan
sebagai penentu prognosis dari pasien dengan pneumonia oleh karena virus.
Peningkatan rasio neutrofil-limfosit dapat merefleksikan proses inflamasi yang
meningkat dan dapat berkaitan dengan prognosis yang buruk (Amanda, 2020).
RNL adalah perbandingan jumlah neutrofil absolut dengan limfosit absolut.

24
Jumlah neutrofil absolut dan limfosit absolut dapat diketahui melalui pemeriksaan
yang rutin dilakukan di rumah sakit yaitu pemeriksaan hitung jenis leukosit.
(Epiloksa et al., 2018). Rasio neutrofil limfosit menggambarkan perbandingan
antara respons inflamasi pejamu (neutrofil) terhadap kanker dengan respons imun
pejamu (limfosit) (Christine et al., 2019). Neutrofil merupakan komponen utama
dari leukosit yang secara aktif bermigrasi menuju sistem atau organ imunitas.
Neutrofil mengeluarkan ROS (Reactive Oxygen Species) dalam jumlah besar yang
menginduksi kerusakan dari DNA sel dan menyebabkan virus bebas keluar dari
sel. Kemudian ADCC (Antibody-Dependent Cell-Mediated Cell) dapat langsung
membunuh virus secara langsung dan memicu imunitas humoral. Neutrofil dapat
dipicu oleh faktor-faktor inflamasi yang berkaitan dengan virus, seperti
interleukin-6, interleukin-8, faktor nekrosis tumor, granulocyte colony stimulating
factor, dan interferon-gamma factors, yang dihasilkan oleh limfosit dan sel
endotel. Di samping itu, respon imun manusia yang diakibatkan oleh virus
terutama bergantung pada limfosit, dimana inflamasi yang sistemik secara
signifikan menekan imunitas seluler, dimana secara signifikan menurunkan kadar
CD4+ limfosit T dan meningkatkan CD8+ supresor limfosit T. Oleh karena itu,
inflamasi yang dipicu okarena virus meningkatkan rasio neutrofil-limfosit
(Amanda, 2020).
Limfosit merupakan sel kompeten secara imunologik karena kemampuanya
membantu fagosit dan jumlahnya mencapai 20 – 40%. Sebagai imunosit, limfosit
memiliki kemampuan spesifisitas antigen dan ingatan imunologik. Peningkatan
limfosit terdapat pada leukemia limpositik, infeksi virus dan infeksi kronik.
(Prawesti, 2016).
Terdapat dua jenis limfosit, limfosit B dan limfosit T . Limfosit B
menghasilkan antibody, yang beredar dalam darah dan bertanggung jawab dalam
imunitas humoral, atau yang diperantarai oleh antibodi. Suatu antibodi berikatan
dengan benda asing spesifik, misalnya bakteri (yang memicu produksi antibodi),
dan menandainya untuk dihancurkan sel. Limfosit T tidak memproduksi antibodi,
sel ini secara langsung menghancurkan sel sasaran spesifiknya dengan
mengeluarkan beragam zat kimia yang melubangi sel korban, suatu proses yang

25
dinamai imunitas seluler. Sel sasaran sel T mencakup sel tubuh yang dimasuki
oleh virus dan sel kanker (Armah, 2017).
Jumlah total limfosit merupakan parameter yang dapat digunakan untuk
menilai respons imun selular. World Health Organization (WHO) menyebutkan
bahwa idealnya penilaian penurunan respon imun selular adalah dengan
pemeriksaan CD4, tetapi apabila terdapat keterbatasan biaya dan sarana yang
tidak memungkinkan untuk pemeriksaan CD4 dapat menggunakan pemeriksaan
jumlah total limfosit total lymphocyte count (TLC). Dalam penelitian lain oleh
obirikorang dkk, disebutkan bahwa jumlah limfosit total dapat digunakan sebagai
pengukuran dan monitoring terapi terhadap peningkatan respon imun selular.
Jumlah total limfosit (TLC) dihitung berdasarkan persentasi limfosit terhadap
jumlah leukosit total, pemeriksaan jumlah total dan hitung jenis leukosit
umumnya dapat dilakukan di hampir semua sarana pelayanan kesehatan di
Indonesia, sehingga penggunaan TLC ditambah dengan gejala klinis akan dapat
digunakan untuk memprediksi (Donosepoetro, 2008). Limfositopenia ditandai
3
dengan jumlah limfosit absolut (ALC) < 1,0 x 10 sel / µL. Anemia ditandai
dengan kadar hemoglobin < 14 mg/dL untuk pria atau < 12 gm / dL.
Trombositopenia ditandai dengan jumlah trombosit < 150,0 x 103 sel / µL.
Leukopenia ditandai dengan jumlah leukosit < 4,4 x 103 sel / µL. leukositosis
ditandai dengan jumlah leukosit > 11,0 x 103 sel / µL (Wagner et al., 2020).

2.3 Hubungan Hitung Rasio Neutrofil Limfosit ( RNL ) dengan pasien


terinfeksi COVID 19

Perbedaan profil imunologi antara kasus COVID-19 ringan dengan berat bisa
dilihat dari suatu penelitian di China. Penelitian tersebut mendapatkan hitung
limfosit yang lebih rendah, leukosit dan rasio neutrofil-limfosit yang lebih tinggi,
serta persentase monosit, eosinofil, dan basofil yang lebih rendah pada kasus
COVID-19 yang berat. Sitokin proinflamasi yaitu TNF-α, IL-1 dan IL-6 serta IL-
8 dan penanda infeksi seperti prokalsitonin, ferritin dan C-reactive protein juga
didapatkan lebih tinggi pada kasus dengan klinis berat. Sel T helper, T supresor,
dan T regulator ditemukan menurun pada pasien COVID-19 dengan kadar T

26
helper dan T regulator yang lebih rendah pada kasus berat (Qin C., 2020).
Laporan kasus lain pada pasien COVID-19 dengan ARDS juga menunjukkan
penurunan limfosit T CD4 dan CD8. Limfosit CD4 dan CD8 tersebut berada
dalam status hiperaktivasi yang ditandai dengan tingginya proporsi fraksi HLA-
DR+CD38+. Limfosit T CD8 didapatkan mengandung granula sitotoksik dalam
konsentrasi tinggi (31,6% positif perforin, 64,2% positif granulisin, dan 30,5%
positif granulisin dan perforin). Selain itu ditemukan pula peningkatan
konsentrasi Th17 CCR6+ yang proinflamasi.39 ARDS merupakan penyebab
utama kematian pada pasien COVID-19. Penyebab terjadinya ARDS pada
infeksi SARS-CoV-2 adalah badai sitokin, yaitu respons inflamasi sistemik yang
tidak terkontrol akibat pelepasan sitokin proinflamasi dalam jumlah besar ( IFN-
α, IFN-γ, IL-1β, IL-2, IL-6, IL-7, IL-10 IL-12, IL-18, IL-33, TNF-α, dan TGFβ)
serta kemokin dalam jumlah besar (CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, CXCL9, dan
CXCL10) (Li X., et al 2020).Granulocyte-colony stimulating factor, interferon-
γ- inducible protein 10, monocyte chemoattractant protein 1, dan macrophage
inflammatory protein 1 alpha juga didapatkan peningkatan. Respons imun yang
berlebihan ini dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis sehingga terjadi
disabilitas fungsional (Zumla A., 2020).

27
2.4 Kerangka Teori

Diagnosa
COVID-19

Rapid Ag / Ab Pemeriksaan hematologi : Kimia klinik : PCR

- HFLC (High Fluorescent Glukosa Darah

Lymphocyte Count),

- Limfosit Absolute / ALC,

- Rasio Neutrofil Limfosit


(RNL)

Keterangan : Analisis Perjalanan Penyakit

= Yang diteliti

= Yang tidak diteliti

28
2.5. Kerangka konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep penelitian


ini adalah :

Variabel bebas Variabel terikat

Rasio Neutrofil Covid 19

Limfosit (RNL)

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

2.6. Hipotesis

“Ada hubungan Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) pada pasien terdiagnosis


COVID-19 di RSUD Patut Patuh Patju Lombok Barat”.

BAB III
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan jenis
penelitian observasional analitik yaitu dengan melakukan pengamatan
langsung pada objek yang diteliti dan mencari hubungan antar variabel.
Adapun pendekatan yang digunakan adalah cross sectional, dimana
variabel terikat dan variabel bebas diambil dalam waktu yang bersamaan.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Rumah Sakit


Patut Patuh Patju Gerung, Kabupaten Lombok Barat.
3.2.2 Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan
bulan April 2021.

3.3 Variabel Penelitian


1. Variabel bebas (Independent) dalam penelitian ini adalah Rasio
Neutrofil Limfosit (RNL) dan tingkat keparahan penyakit.
2. Variabel terikat (Dependent) dalam penelitian ini adalah COVID-19.

3.4 Definisi Operasional


1. Peningkatan rasio neutrofil limfosit menunjukkan prognosis klinis yang
buruk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SARS-CoV2 dapat bekerja
pada limfosit T, dan kerusakan limfosit T merupakan factor penting
yang menyebabkan kondisi pasien memburuk.
2. Pasien positif COVID-19 adalah pasien yang terinfeksi virus SARS-
CoV2 dan terkonfirmasi denga PCR yang dirawat di RSUD Patut Patuh
Patju kabupaten Lombok Barat.

30
3.5 Populasi dan Sampel
1. Populasi suatu keseluruhan objek yang diteliti atau diselidiki yang
hasilnya dapat mewakili atau mencakup seluruh objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua
pasien positif COVID-19 di Rumah Sakit Patut Patuh Patju Gerung,
Lombok Barat.
2. Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi ini (Notoatmodjo, 2012). Sampel dalam penelitian ini adalah
pasien positif COVID - 19 di Rumah Sakit Patut Patuh Patju Gerung,
Lombok Barat pada bulan Oktober sampai Desember 2020.

3.6 Teknik Sampling


Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purpose
Sampling yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu yang
dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang
sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2012). Adapun kriteria sebagai
berikut :
1. Pasien COVID-19
2. Memiliki data pemeriksaan rasio neutrofil limfosit (RNL),

3.7 Instrumen dan Bahan Penelitian


Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder
berupa rekam medis yang diperoleh dari bagian rekam medis di RSUD Patut
Patuh Patju kabupaten Lombok Barat periode Maret sampai April 2021.
Pengumpulan data dilakukan dengan mencatat data-data yang diperlukan dari
rekam medis.

31
3.8 Alur Penelitian

Surat IzinA.Permohonan
Pengambilan
B. Data

C. Surat Izin
Pengantaran
Permohonan D.
Pengambilan Data
ke RSUD Tripat Gerung

Proses pengumpulan data

Analisi Data

Kesimpulan

3.9 Pengolahan dan analisis data


3.9.1 Pengolahan data
Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data
ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara
tertentu:
1. Editing adalah mencakup tentang kualitas isian dalam alat
pengumpulan data dan memeriksa kelengkapan isian, apabila tidak
lengkap diperbaiki dan mengulang pengumpulan data.

32
2. Coding adalah memberi kode untuk jawaban menggunakan huruf
dan angka yang telah ditentukan dengan tujuan mempermudah
pembuatan tabel.
3. Entry data adalah kegiatan memasukkan data yang telah didapat ke
dalam program komputer yang ditetapkan program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) for Windows). Pada penelitian
ini menggunakan SPSS versi 13.0.
4. Cleaning adalah pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan
ke dalam komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam
pemasukan data.

3.9.2 Analisis data


Analisa data merupakan bagian penting dari suatu penelitian.
Dimana tujuan dari analisis ini adalah agar diperoleh suatu kesimpulan
dari masalah yang diteliti. Data yang telah terkumpul akan diolah dan
dianalisis dengan menggunakan program komputer. Adapun langkah-
langkah pengolahan data meliputi:

1. Analisis univariat
Analisa univariat untuk mendapatkan gambaran distribusi
frekuensi atau besarnya proporsi menurut berbagai karakteristik
variabel yang diteliti baik untuk variabel bebas maupun variabel
terikat dengan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 13.0.

2. Analisis bivariat

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua


variabel yaitu variabel bebas (PCR) dan variabel terikat (Rasio
Neutrofil Limfosit (RNL)) dengan menggunakan test kemaknaan
berupa test X2 (chi square) dengan derajat kepercayaan 95 %. Hasil
perhitungan statistik dapat menunjukkan ada tidaknya hubungan yang
signifikan antara variabel yang diteliti yaitu dengan melihat nilai p,
Bila dari hasil perhitungan statistik nilai p < 0,05 maka hasil

33
perhitungan statistik bermakna yang berarti terdapat pengaruh yang
signifikan antara satu variabel dengan variabel lainnya.

Adapun rumus chi-square adalah sebagai berikut :

Keterangan :

X2 = Koefisien chi square


O = Frekuensi yang diamati
E = Frekuensi yang diharapkan

3.10 Etika Penelitian


Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika
penelitian. Etika penelitian meliputi:

a. Lembar Persetujuan (Informed consent)


Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti memberikan informasi
tentang tujuan dan manfaat penelitian kepada pihak terkait di RSUD Patut
Patuh Patju Kabupaten Lombok Barat. Setelah itu meminta persetujuan
untuk dilakukannya penelitian di tempat tersebut. Pada penelitian ini data
rekam medis pasien di jadikan sebagai sampel penelitian.
b. Tanpa Nama (Anonimity)
Untuk menjaga kerahasiaan sampel dalam penelitian maka peneliti
tidak mencantumkan nama pada lembar penelitian cukup dengan member
nomor kode pada masing-masing lembar yang hanya diketahui oleh
peneliti.
c. Kerahasiaan (Confidentiality)
Peneliti menyimpan data penelitian pada dokumen pribadi penelitian
dan data-data penelitian dilaporkan dalam bentuk kelompok bukan sebagai
data-data yang mewakili pribadi sampel penelitian.

34
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai