Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

RIBA

MATA KULIAH FIKIH MUAMALAH

KELOMPOK VI

1. NURUL HIDAYAH (173120105)


2. FADILAH SAFITRI (173120114)
3. MUH AFDHAL MUBARAK AS (173120112)

DOSEN

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALU

TAHUN (2018-2019)

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya makalah ini telah dapat diselesaikan. Makalah ini disusun
guna melengkapi tugas mata kuliah Fikih Muamalah, dengan harapan agar kita
semua mengerti dan memahami tentang kajian Wakalah. Makalah ini diharapkan
dapat dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa di dalam maupun di luar kegiatan
perkuliahan.

Kepada berbagai pihak yang telah berpartisipasi dalam proses penyusunan


makalah ini, kami ucapkan terima kasih. Kepada para pembaca, kami berharap
makalah ini dapat dimanfaatkan dengan baik dan demi perbaikan, kami
mengharapkan adanya masukan-masukan untuk penyempurnaan makalah ini di
masa mendatang.

Palu, 30 Desember 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………..…………………………………………2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN………….……………………………………………...4

A. Latar Belakang…………………………………………………..4
B. Rumusan Masalah………………….……………………………5
C. Tujuan……………………………………….…………………..5

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………….6

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakalah ..……………..………6


B. Rukun dan Syarat Wakalah ….………………………...……...8

C. Macam-Macam Wakalah………………………………..……10

D. Hukum Wakalah…………………………………….……..…10
E. Berakhirnya Wakalah……………………….………………..11

F. Hikmah Wakalah……………………………………………..12

G. Fatwa MUI Wakalah…………………………………………12

BAB III PENUTUP………………………………………………………………12

A. Kesimpulan………..…………………………………………13
B. Saran…………………………………………………………13

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………14

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Manusia
tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi dan
membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak sebagai wakilnya.
Dan Ijma para ulama telah sepakat telah membolehkan wakalah, karena wakalah
dipandang sebagai bentuk tolong-menolong atas dasar kebaika dan takwa yang
diperintahkan oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya. Firman Allah QS. Al-Maidah ayat
2:
‫اونُوا َعلَى ْالبِ ِّر َوالتَّ ْق َوى َواَل تَ َعا َونُوا َعلَى اإْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َوا ِن َواتَّقُوا هَّللا َ إِ َّن هَّللا َ َش ِدي ُد ْال ِعقَاب‬
َ ‫ َوتَ َع‬.
“Dan tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa
dan janganlah kamu tolong-menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih.
Para ulama memberikan definisi wakalah yang beragam, diantaranya yaitu:
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah adalah, seseorang menempati diri
orang lain dalam tasharruf (pengelolaan). Sedangkan Ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah bahwawakalah adalah seseorang menyerahkan sesuatu
kepada orang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakil) itu dapat secara sah
untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun karena satu dan lain hal
urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk
menggantikannya. Oleh karena itu, jika seorang (muwakil) itu adalah orang yang
tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila, atau anak kecil
maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah seperti
seorang terdakwa mewakilkan urusan kepada pengacaranya.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud wakalah?
2. Apa saja rukun dan syarat wakalah?
3. Apa saja macam-macam wakalah?

C. Tujuan
1) Untuk mengetahui pengertian wakalah
2) Untuk mengetahui rukun dan syarat wakalah
3) Untuk mengetahui macam macam wakalah

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar hukum wakalah


Secara bahasa kata Al-Wakalah atau Al-Wikalah berarti Altafwidh
(penyerahan, pendelegasian, dan pemberian mandat) seperti perkataan :

Artinya : “Aku serahkan urusan kepada Allah”.


Secara terminologi (syara) sebagaimana dikemukakan oleh fukaha:
1. Imam Taqy al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini

Artinya : “menyerahkan suatu pekerjaan yang dapat digantikan kepada


orang lain agar dikelola dan dijaga pada masa hidupnya”.1

2. Hasby Ash-Shiddiqie
“Akad penyerahan kekuasaan dimana pada akad itu seseorang menunjuk
orang lain sebagai gantinya untuk bertindak”

Dari dua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wakalah adalah
sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggatikan
dalam mengerjakan pekerjaannya atau perkaranya ketika masih hidup.

1
Imam Taqiyudin Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, (Bandung : PT Al-
Maarif, tt), hlm.283.

6
Pengertian mewakilkan bukan berarti seorang wakil dapat bertindak
semaunya, akan tetapi si wakil berbuat sesuai dengan yang diinginkan oleh orang
yang memberi kewenangan tersebut. Akan tetapi kalau orang yang mewakilkan
tersebut tidak memberi batasan atau aturan-aturan tertentu, maka menurut Abu
Hanifah si penerima wakil dapat berlaku sesuai dengan yang diinginkan dan dia
diberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu. 
Jika perwakilan tersebut bersifat terikat, maka wakil berkewajiban
mengikuti apa saja yang telah ditentukan oleh orang yang mewakilkan, ia tidak
boleh menyalahinya. Menurut Madzhab Imam Syafi’i, apabila yang mewakili
menyalahi aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat
merugikan pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut batal.
Dalam wakalh sebenarnya pemilik urusan (muwakkil) itu dapat secara sah
untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendri. Namun, karena satu dan lain hal
urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk
menggantikannya. Oleh karena itu, jika seorang muwakkil itu adalah seorang
yang tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila atau anak kecil
maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah, seseorang
mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali nikah dalam
pernikahan anak perempuannya. Contoh lain, seorang terdakwah mewakilkan
urusan kepada pengecaranya.
DASAR HUKUM
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Manusia
tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi. Ia
membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak wakilnya. Kegiatan
wakalah ini, telah dilakukan oleh orang terdahulu seperti yang dikisahkan dalam
Al-Quran tentang ashabul kahfi dimana ada orang diantara mereka diutus untuk
mengecek keabsahan mata uang yang mereka miliki ratusan tahun.
Ijma ulama membolehkan wakalah karena wakalah dipandang sebagai
bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwah yang diperintahkan oleh
Allah SWT. Dan Rasulnya. Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 2 :

7
Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan
takwa dan janganlah kamu tolong menolong dala mengerjakan dosa dan
permusuhan dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat
pedih”. (QS Al-Maidah ayat 2)
Dan hadist Rasulullah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

‫َوهَّللا ُ فِي ع َْو ِن ا ْل َع ْب ِد َما َكانَ ا ْل َع ْب ُد فِي ع َْو ِن أَ ِخي ِه‬

“Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut mau menolong


saudaranya.” (HR. Muslim)

Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah,


diantaranya:
1. “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang
Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. HR.
Malik dalam al-Muwaththa.
2. “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
(HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

B. Rukun dan Syarat Wakalah


Rukun wakalah adalah sebagai berikut :
1. Muwakil (Pemberi kuasa).
Syaratnya dia berstatus sebagai pemilik urusan / benda dan menguasainya
serta dapat bertindak terhadap harta tersebut dengan dirinya sendiri. Jika
muwakkil bukan pemiliknya atau bukan orang yang ahli maka batal dalam hal ini,

8
maka anak kecil dan orang gila tidak sah menjadi muwakkil karena tidak
termasuk orang yang berhak untuk bertindak.
2. Wakil (Penerima kuasa)
Wakil atau orang yang mewakili syaratnya ialah orang yang berakal. Jika ia
idiot, gila, atau belum dewasa maka batal. Tapi menurut Hanafiyah anak kecil
yang cerdas (dapat menbedakan yang baik dan buruk) sah menjadi wakil
alasannya bahwa Amr bin Sayyidah Ummu Salamah mengawinkan ibunya kepada
Rasulullah, saat itu Amr masih kecil yang belum baligh. Orang yang sudah
berstatus sebagai wakil ia tidak boleh berwakil kepada orang lain kecuali seizin
dari muwakkil pertama atau karena terpaksa seperti pekerjaan yang diwakilkan
terlalu banyak sehingga ia tidak dapat mengerjakannya sendiri maka boleh
berwakil kepada orang lain. Si wakil tidak wajib untuk menangung kerusakan
barang yang di wakilkan kecuali disengaja atau cara diluar batas.

3. Muwakkal fih (Sesuatu yang diwakilkan)


Syaratnya :
a) Pekerjaan atau urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang
lain. Oleh karena itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakan
ibadah seperti shalat, puasa, dan membaca Al-Quran.
b) pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh
karena itu, tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikianya.
c) pekerjaan itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu
yang masih samar seperti “aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk
mengawini salah satu anakku”.
d) shigat : shigat hendaknya berupa lafal yang menunjukan arti
“mewakilkan” yang diiringi kerelaan dari muwakkil seperti “saya
wakilkan atau serahkan pekerjaan ini kepada kamu untuk mengerjakan
pekerjaan ini” kemudian diterima oleh wakil. Dalam shigat kabul
siwakil tidak syaratkan artinya seandainya si wakil tidak mengucapkan
kabul tetap dianggap sah.

9
C. Macam-Macam Wakalah
Wakalah terbagi menjadi, muthlaq dan muqayyad.
a. Wakalah muqayyad adalah
Perwakilan terhad bermaksud, Akad perwakilan yang meletakkan had atau
sekatan pada tindakan seseorang wakil melalui syarat-syarat tertentu. Had ini
boleh berlaku dalam bentuk keperluan, keadaan dan kemampuan wakil. Ia
juga boleh dihadkan kepada individu, masa, tempat dan harga tertentu.
Contohnya seperti kata A kepada B: Aku wakilkan kepada kamu menjual
buku ini dengan harga Rp.10.000 tunai. Justru wakil bertanggungjawab untuk
melaksanakan tanggung jawabnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
pewakil dan tidak dibenarkan membelakangkan kuasa yang diberikan kecuali
bagi sesuatu yang difikirkan dapat memberikan faedah dan manfaat yang lebih
baik kepada pewakil.

b. Wakalah muthlaq adalah


Al-Wakalah Mutlak. Perwakilan mutlak adalah Pengangkatan wakil tanpa
mengikat wakil dengan sesuatu dan tidak meletakkan syarat syarat tertentu
dan khusus. Seperti kata A kepada B: “Aku wakilkan kamu untuk menjualkan
buku ini”. Dalam hal ini wakil dibenarkan untuk melaksanakan tugas sebagai
wakil selama mendapat persetujuan daripada pewakil. Menurut pandangan
Abu Hanifah dalam perwakilan ini wakil mempunyai kebebasan dalam
menguruskan urusan tersebut kerana menurut kaedah asal akad yang mutlak
hendaklah dilakukan secara mutlak dan tidak boleh dihadkan. Namun begitu,
walaupun wakil bebas melaksanakan sesuatu tugasan mengikut
kehendaknya,ia mestilah melaksanakan urusan tersebut mengikut kehendak
pewakil dan sentiasa berunding dengan pewakil dari masa ke semasa.

D. Hukum Wakalah

10
Para fuqaha meletakan kedisiplinan untuk hal yang boleh diwakilkan. 
Mereka mengatakan semua akad yang boleh diakadkan sendiri oleh manusia,
boleh pula ia wakilkan kepada orang lain, adapun yang tidak boleh diwakilkan,
adalah semua pekerjaan tanpa perwakilan, seperti shalat, sumpah, thaharah. 
Hukum Perwakilan (Wakalah) dealam Islam di antaranya:

a) Wajib, wakalah menjadi wajib jika menyangkut hal-hal yang darurat


menurut Islam.
b) Mubah, wakalah hukum asalnya adalah mubah, semua akad yang boleh
diakadkan sendiri oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang lain
c) Makruh, wakalah menjadi makruh jika yang diwakilkan adalah hal-hal
yang makruh menurut Islam.
d) Haram, wakalah menjadi haram jika menyangkut hal-hal yang dilarang
oleh syariah.
e) Sunah, wakalah menjadi sunah jika menyangkut hal-hal bersifat tolong
menolong (ta awun).

E. Berakhirnya Wakalah
a) Wakalah akan berakhir jika kondisi terjadi salah satu dari hal berikut:
b) Meninggalnya salah seorang dari yang berakad, karena salah satu syarat
sah nya akad adalah orang yang berakad masih hidup.
c) Salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah nya berakal.
d) Diberhentikannya pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah berhenti,
dalam keadaan ini al-wakalah tidak berfungsi lagi.
e) Pemutusan oleh orang yang mewakilkan terhadap wakil meskipun wakil
belum mengetahui (pendapat Syafi’I dan Hambali).  Menurut Mahzab
Hanafi wakil wajib mengetahui putusan yang mewakilkan.  Sebelum ia
mengetahui hal itu, tindakannya tak ubah sebelum diputuskan, untuk
segala konsekuensi hukumnya.

11
f) Wakil memutuskan sendiri, menurut Mahzab Hanafi tidak perlu orang
yang mewakilkan mengetahui pemutusan dirinya atau tidak perlu
kehadirannya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
g) Keluarnya orang yang mewakilkan dari status kepemilikan.2

F. Hikmah Wakalah

Pada hakikatnya wakalah merupakan pemberian dan pemeliharaan amanat.


Oleh karena itu, baik muwakkil (orang yang mewakilkan) dan wakil (orang yang
mewakili) yang telah melakukan kerja sama atau kontrak wajib bagi keduannya
untuk menjalankan hak dan kewajibannya, saling percaya, dan menghilangkan
sifat curiga dan buruk sangka. Dari sisi lain, dalam wakalh terdapat pembagian
tugas, karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menjalankan
pekerjaannya dengan sikap saling tolong menolong dan memberikan pekerjaan
bagi orang yang sedang menganggur. Dengan demikian, si muwakkil akan
terbantu dalam menjlankan pekerjaannya dan siwakil tidak kehilangan
pekerjaannya disamping akan mendaptkan imbalan sewajarnya.

G. Fatwa MUI Wakalah


Seiring dengan berkembangnya institusi keuangan Islam di Indonesia, maka
suatu aturan hukum turut pula dikembangkan untuk melegalisasi serta melindungi
akad-akad yang sesuai Syari’ah Islam diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di
Indonesia. Maka dari itu, Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia
telah mengeluarkan fatwa NO: 10/DSN-MUI/IV/2000.
Fatwa ini ditetapkan pada saat Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional (8
Muharram 1421 H./13 April 2000) yang menetapkan :
a.       Ketentuan Wakalah.
b.      Rukun dan Syarat Wakalah
c.       Aturan terjadinya perselisihan

2
Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 898.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara bahasa kata Al-Wakalah atau Al-Wikalah berarti Altafwidh


(penyerahan, pendelegasian, dan pemberian mandat). Pengertian mewakilkan
bukan berarti seorang wakil dapat bertindak semaunya, akan tetapi si wakil
berbuat sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang memberi kewenangan
tersebut. Akan tetapi kalau orang yang mewakilkan tersebut tidak memberi
batasan atau aturan-aturan tertentu, maka menurut Abu Hanifah si penerima wakil
dapat berlaku sesuai dengan yang diinginkan dan dia diberikan kebebasan untuk
melakukan sesuatu. 

Ijma ulama membolehkan wakalah karena wakalah dipandang sebagai


bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwah yang diperintahkan oleh
Allah SWT. Dan Rasulnya. Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 2.

Pada hakekatanya semua yang menyangkut hal-hal mengenai muamalah


boleh diwakilkan. Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua akad boleh diakadkan
sendiri oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang lain.

B. Saran

Setelah diuraikannya makalah dengan pembahasan mengenai wakalah ini,


diharapkan dapat menambah pengetahuan pembaca sehingga ke depannya bisa
menjadi sumber daya mansia yang mampu mengaplikasikan teori ini dalam
kehidupan sehari-hari terutama dalam melakukan kegiatan bermuamalah agar
kegiatan tersebut sejalan dengan prinsip syari’ah dan memperoleh ridha dari Allah
SWT

13
DAFTAR PUSTAKA

Ghazaly, Rahman, Abdul, dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana


Perdana Media Group.

Marwan, “Fiqh Wakalah Perwakilan” ,https://yufidia.com/fiqh-wakalah-


perwakilan/, (30 Desember 2018).

14

Anda mungkin juga menyukai