RIBA
KELOMPOK VI
DOSEN
TAHUN (2018-2019)
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya makalah ini telah dapat diselesaikan. Makalah ini disusun
guna melengkapi tugas mata kuliah Fikih Muamalah, dengan harapan agar kita
semua mengerti dan memahami tentang kajian Wakalah. Makalah ini diharapkan
dapat dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa di dalam maupun di luar kegiatan
perkuliahan.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………..…………………………………………2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………3
BAB I PENDAHULUAN………….……………………………………………...4
A. Latar Belakang…………………………………………………..4
B. Rumusan Masalah………………….……………………………5
C. Tujuan……………………………………….…………………..5
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………….6
C. Macam-Macam Wakalah………………………………..……10
D. Hukum Wakalah…………………………………….……..…10
E. Berakhirnya Wakalah……………………….………………..11
F. Hikmah Wakalah……………………………………………..12
A. Kesimpulan………..…………………………………………13
B. Saran…………………………………………………………13
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Manusia
tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi dan
membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak sebagai wakilnya.
Dan Ijma para ulama telah sepakat telah membolehkan wakalah, karena wakalah
dipandang sebagai bentuk tolong-menolong atas dasar kebaika dan takwa yang
diperintahkan oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya. Firman Allah QS. Al-Maidah ayat
2:
اونُوا َعلَى ْالبِ ِّر َوالتَّ ْق َوى َواَل تَ َعا َونُوا َعلَى اإْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َوا ِن َواتَّقُوا هَّللا َ إِ َّن هَّللا َ َش ِدي ُد ْال ِعقَاب
َ َوتَ َع.
“Dan tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa
dan janganlah kamu tolong-menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih.
Para ulama memberikan definisi wakalah yang beragam, diantaranya yaitu:
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah adalah, seseorang menempati diri
orang lain dalam tasharruf (pengelolaan). Sedangkan Ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah bahwawakalah adalah seseorang menyerahkan sesuatu
kepada orang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakil) itu dapat secara sah
untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun karena satu dan lain hal
urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk
menggantikannya. Oleh karena itu, jika seorang (muwakil) itu adalah orang yang
tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila, atau anak kecil
maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah seperti
seorang terdakwa mewakilkan urusan kepada pengacaranya.
4
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud wakalah?
2. Apa saja rukun dan syarat wakalah?
3. Apa saja macam-macam wakalah?
C. Tujuan
1) Untuk mengetahui pengertian wakalah
2) Untuk mengetahui rukun dan syarat wakalah
3) Untuk mengetahui macam macam wakalah
5
BAB II
PEMBAHASAN
2. Hasby Ash-Shiddiqie
“Akad penyerahan kekuasaan dimana pada akad itu seseorang menunjuk
orang lain sebagai gantinya untuk bertindak”
Dari dua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wakalah adalah
sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggatikan
dalam mengerjakan pekerjaannya atau perkaranya ketika masih hidup.
1
Imam Taqiyudin Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, (Bandung : PT Al-
Maarif, tt), hlm.283.
6
Pengertian mewakilkan bukan berarti seorang wakil dapat bertindak
semaunya, akan tetapi si wakil berbuat sesuai dengan yang diinginkan oleh orang
yang memberi kewenangan tersebut. Akan tetapi kalau orang yang mewakilkan
tersebut tidak memberi batasan atau aturan-aturan tertentu, maka menurut Abu
Hanifah si penerima wakil dapat berlaku sesuai dengan yang diinginkan dan dia
diberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu.
Jika perwakilan tersebut bersifat terikat, maka wakil berkewajiban
mengikuti apa saja yang telah ditentukan oleh orang yang mewakilkan, ia tidak
boleh menyalahinya. Menurut Madzhab Imam Syafi’i, apabila yang mewakili
menyalahi aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat
merugikan pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut batal.
Dalam wakalh sebenarnya pemilik urusan (muwakkil) itu dapat secara sah
untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendri. Namun, karena satu dan lain hal
urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk
menggantikannya. Oleh karena itu, jika seorang muwakkil itu adalah seorang
yang tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila atau anak kecil
maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah, seseorang
mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali nikah dalam
pernikahan anak perempuannya. Contoh lain, seorang terdakwah mewakilkan
urusan kepada pengecaranya.
DASAR HUKUM
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Manusia
tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi. Ia
membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak wakilnya. Kegiatan
wakalah ini, telah dilakukan oleh orang terdahulu seperti yang dikisahkan dalam
Al-Quran tentang ashabul kahfi dimana ada orang diantara mereka diutus untuk
mengecek keabsahan mata uang yang mereka miliki ratusan tahun.
Ijma ulama membolehkan wakalah karena wakalah dipandang sebagai
bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwah yang diperintahkan oleh
Allah SWT. Dan Rasulnya. Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 2 :
7
Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan
takwa dan janganlah kamu tolong menolong dala mengerjakan dosa dan
permusuhan dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat
pedih”. (QS Al-Maidah ayat 2)
Dan hadist Rasulullah
8
maka anak kecil dan orang gila tidak sah menjadi muwakkil karena tidak
termasuk orang yang berhak untuk bertindak.
2. Wakil (Penerima kuasa)
Wakil atau orang yang mewakili syaratnya ialah orang yang berakal. Jika ia
idiot, gila, atau belum dewasa maka batal. Tapi menurut Hanafiyah anak kecil
yang cerdas (dapat menbedakan yang baik dan buruk) sah menjadi wakil
alasannya bahwa Amr bin Sayyidah Ummu Salamah mengawinkan ibunya kepada
Rasulullah, saat itu Amr masih kecil yang belum baligh. Orang yang sudah
berstatus sebagai wakil ia tidak boleh berwakil kepada orang lain kecuali seizin
dari muwakkil pertama atau karena terpaksa seperti pekerjaan yang diwakilkan
terlalu banyak sehingga ia tidak dapat mengerjakannya sendiri maka boleh
berwakil kepada orang lain. Si wakil tidak wajib untuk menangung kerusakan
barang yang di wakilkan kecuali disengaja atau cara diluar batas.
9
C. Macam-Macam Wakalah
Wakalah terbagi menjadi, muthlaq dan muqayyad.
a. Wakalah muqayyad adalah
Perwakilan terhad bermaksud, Akad perwakilan yang meletakkan had atau
sekatan pada tindakan seseorang wakil melalui syarat-syarat tertentu. Had ini
boleh berlaku dalam bentuk keperluan, keadaan dan kemampuan wakil. Ia
juga boleh dihadkan kepada individu, masa, tempat dan harga tertentu.
Contohnya seperti kata A kepada B: Aku wakilkan kepada kamu menjual
buku ini dengan harga Rp.10.000 tunai. Justru wakil bertanggungjawab untuk
melaksanakan tanggung jawabnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
pewakil dan tidak dibenarkan membelakangkan kuasa yang diberikan kecuali
bagi sesuatu yang difikirkan dapat memberikan faedah dan manfaat yang lebih
baik kepada pewakil.
D. Hukum Wakalah
10
Para fuqaha meletakan kedisiplinan untuk hal yang boleh diwakilkan.
Mereka mengatakan semua akad yang boleh diakadkan sendiri oleh manusia,
boleh pula ia wakilkan kepada orang lain, adapun yang tidak boleh diwakilkan,
adalah semua pekerjaan tanpa perwakilan, seperti shalat, sumpah, thaharah.
Hukum Perwakilan (Wakalah) dealam Islam di antaranya:
E. Berakhirnya Wakalah
a) Wakalah akan berakhir jika kondisi terjadi salah satu dari hal berikut:
b) Meninggalnya salah seorang dari yang berakad, karena salah satu syarat
sah nya akad adalah orang yang berakad masih hidup.
c) Salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah nya berakal.
d) Diberhentikannya pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah berhenti,
dalam keadaan ini al-wakalah tidak berfungsi lagi.
e) Pemutusan oleh orang yang mewakilkan terhadap wakil meskipun wakil
belum mengetahui (pendapat Syafi’I dan Hambali). Menurut Mahzab
Hanafi wakil wajib mengetahui putusan yang mewakilkan. Sebelum ia
mengetahui hal itu, tindakannya tak ubah sebelum diputuskan, untuk
segala konsekuensi hukumnya.
11
f) Wakil memutuskan sendiri, menurut Mahzab Hanafi tidak perlu orang
yang mewakilkan mengetahui pemutusan dirinya atau tidak perlu
kehadirannya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
g) Keluarnya orang yang mewakilkan dari status kepemilikan.2
F. Hikmah Wakalah
2
Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 898.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
14