Anda di halaman 1dari 9

HUKUM MEMBACA AL-QUR’AN BAGI WANITA HAID

Umum

‫مْر ِم ْن ُك ۚ ْم‬ َ ‫اْل‬‫ا‬ ‫ِى‬ ‫ل‬‫و‬ُ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ُو‬ْ ‫س‬ َّ‫الر‬ ‫ُوا‬ ‫ع‬ ْ
‫ي‬ َ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ٰ ٓيا َ ُّيها الَّ ِذيْن ٰام ُن ْٓوا اَطِ ْيعُوا هّٰللا‬
ِ َ َ ِ‫ط‬ َ َ َ َ َ
‫هّٰللا‬
‫ازعْ ُت ْم ِفيْ َشيْ ٍء َف ُر ُّد ْوهُ ِا َلى ِ َوالرَّ س ُْو ِل ِانْ ُك ْن ُت ْم ُت ْؤ ِم ُن ْو َن‬ َ ‫َف ِانْ َت َن‬
‫هّٰلل‬
ࣖ ‫ك َخ ْي ٌر وَّ اَحْ َسنُ َتأْ ِو ْياًل‬ َ ِ‫ِبا ِ َو ْال َي ْو ِم ااْل ٰ خ ۗ ِِر ٰذل‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa' Ayat 59)

َ ِ ‫ أَ َّن ُه َسم َِع َرسُو َل هَّللا‬:‫اص‬


‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َيقُو ُل‬ ِ ‫ْن ْال َع‬ ِ ‫مْرو ب‬ ِ ‫عنْ َع‬: َ
َ ‫ َوإِ َذا َح َك َم َفاجْ َت َهدَ ُث َّم أَ ْخ َطأ‬،‫ان‬
ِ ‫اب َف َل ُه أَجْ َر‬
َ ‫ص‬ َ َ‫إِ َذا َح َك َم ْال َحا ِك ُم َفاجْ َت َهدَ ُث َّم أ‬
‫ َف َل ُه أَجْ ٌر‬.
Dari Amr bin Ash bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ketika seorang hakim
hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad, kemudian benar, ia mendapatkan dua pahala.
Jika ia hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad kemudian ternyata salah, ia dapat satu
pahala.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalil Hadits:

1. Hadits Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda, ”Janganlah wanita haid dan
orang junub membaca sesuatu dari Al Quran.” (laa taqra`ul haa`idhu wa laa al
junubu syai`an minal qur`an) (HR Tirmidzi no 131; Ibnu Majah no 596).
2. Nabi SAW selalu membaca Al Quran dalam segala keadaan kecuali dalam keadaan
junub. Dari ‘Ali bin Abi Thalib RA, bahwasanya, ”Tidaklah menghalangi beliau
(Nabi SAW) sesuatu dari Al Quran selain junub.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasa`i, Ibnu Majah, hadits shahih).

Secara garis besar ada tiga pendapat.

Pertama, mengharamkan, mazhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal.
Dalilnya:
 Hadits Ibnu Umar RA, Imam Syaukani dan Imam Al Mundziri menilai hadits ini
hasan, sehingga mengharamkan perempuan haid membaca Al Quran. (Ahmad
Salim Malham, ibid, hlm. 97).
 Hadits ‘Ali bin Abi Thalib RA, ,jika telah terbukti hal ini (keharaman membaca Al
Quran) bagi orang junub, maka keharamannya bagi perempuan haid lebih utama,
karena hadatsnya perempuan haid lebih kuat. Maka dari itu perempuan haid haram
digauli, dilarang sholat dan gugur sholatnya, dan orang junub sama dengan
perempuan haid pada semua hukum-hukumnya.” (Imam Ibnu Qudamah, Al
Mughni, 1/193).

Kedua, membolehkan tapi tanpa menyentuh mushaf Al Quran. Ini pendapat mazhab
Maliki dan Zahiri.
Dalilnya:
 Hadits Ibnu Umar RA di atas yang dijadikan dalil pengharaman dinilai sebagai hadits
dhaif (lemah) sehingga tidak bisa dijadikan hujah pelarangannya.
 Nabi SAW selalu membaca Al Quran dalam segala keadaan kecuali dalam keadaan
junub. Dari ‘Ali bin Abi Thalib RA, bahwasanya, ”Tidaklah menghalangi beliau (Nabi
SAW) sesuatu dari Al Quran selain junub.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa`i, Ibnu
Majah, hadits shahih). Artinya, Hadits ini hanya melarang kondisi Junub bukan haid.

Ketiga, Boleh Membaca al-Qur’an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir
kepada Allah Azza wa Jalla, semua itu boleh dilakukan dengan berwudhu atau tanpa
wudhu dan (boleh) bagi yang junub dan juga yang haidh.
Dalil :
 Hal tersebut adalah bahwa membaca al-Qur’an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan
berdzikir kepada Allah merupakan perbuatan-perbuatan baik yang disunahkan, dan
orang yang melakukannya mendapat pahala, maka barangsiapa yang melarang hal-hal
tersebut dalam sebagian kondisi-kondisi tertentu, wajib untuk mendatangkan dalil”.
(Abu Muhammad bin Hazm ,Al—Muhalla: 1/77-78)
 Hadits Imam Al-Bukhari juga berkata (hadits no:1650)]
Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, Malik telah mengkhabarkan
kepada kami, dari Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, dari ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata: “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku dalam
keadaan haid dan aku belum thawaf di Ka’bah dan juga belum (sa’i) antara Shafa dan
Marwa.” Aisyah berkata: “Maka aku adukan hal tersebut kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” lalu beliau bersabda: “Lakukanlah apa-apa yang
dilakukan oleh orang yang berhaji selain thawaf di Ka’bah” Abdullah bin Yusuf telah
menceritakan kepada kami, Malik telah mengkhabarkan kepada kami, dari
Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa ia
berkata: “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku dalam keadaan haid dan aku belum
thawaf di Ka’bah dan juga belum (sa’i) antara Shafa dan Marwa.” Aisyah berkata:
“Maka aku adukan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” lalu
beliau bersabda: “Lakukanlah apa-apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji.
Jadi selain thawaf di Ka’bah” Sebagaimana orang berhaji boleh berdzikir kepada Allah
Azza wa Jalla dan membaca al-Qur’an, maka demikian pula bagi wanita haid ia boleh
berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan membaca al-Qur’an, sesungguhnya yang
terlarang baginya (wanita haid) hanyalah thawaf di Ka’bah sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits tersebut),

Diskusi Hadits Ibnu Umar:


 Yang melemahkan, Imam Syaukani dalam Nailul Authar menjelaskan sebagian
ulama seperti Imam Bukhari dan Imam Baihaqi mendhaifkan hadits Ibnu Umar
tersebut. Karena dalam sanadnya ada perawi bernama Isma’il bin ‘Ayyasy yang
riwayat-riwayat haditsnya dari ulama Hijaz dinilai lemah, dan hadits Ibnu Umar ini
adalah salah satunya. (Imam Syaukani, Nailul Authar, 1/187).
 Yang menguatkan, hadits Ibnu Umar RA di atas lebih tepat dihukumi sebagai hadits
hasan, bukan hadits dhaif. Karena Isma’il bin ‘Ayyasy sebenarnya adalah periwayat
hadits yang tsiqah, yakni memiliki sifat ‘adalah (bukan fasik) dan dhabith (kuat
hapalan), sehingga haditsnya layak dijadikan hujah.
Imam Syaukani dalam kitabnya As Sailul Jarar berkata, ”Penilaian lemah terhadap
Ismail bin ‘Ayyasy tertolak, karena haditsnya diriwayatkan juga melalui jalan
periwayatan lainnya, dan dia (Ismail bin ‘Ayyasy) juga tidak dapat dinilai cacat
yang mengakibatkan haditsnya tidak layak menjadi hujah.” (Imam Syaukani, As
Sailul Jarar, hlm. 68).
Imam Al Mundziri berkata, ”Hadits Ibnu Umar ini adalah hadits hasan. Isma’il bin
‘Ayyasy memang telah diperbincangkan oleh para ulama, namun sejumlah imam
telah memuji dia [menganggapnya tsiqah].” (Imam Ramli, Nihayatul Muhtaj, 1/220-
221).
Syekh Ahmad Muhammad Syakir dalam tahqiq-nya terhadap Sunan Tirmidzi
berkata, ”Ismail bin ‘Ayyasy adalah periwayat hadits yang tsiqah...” (Ahmad
Muhammad Syakir, Sunan At Tirmidzi bi-tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, 1/237-
238). (Lihat : Ahmad Salim Malham, Faidhur Rahman fi Al Ahkam Al Fiqhiyyah
Al Al Khashash bi Al Quran, hlm. 92-93).

Dalil Al-Qur’an:

ؕ‫اَّل يَ َمسُّهٗۤ اِاَّل ۡال ُمطَهَّر ُۡو َن‬


Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.( QS. Al-Waqiah Ayat
79)

 Diantara penyebab para ulama berbeda pendapat, apakah muslimah yang haid dan
nifas serta orang yang junub boleh membaca al Quran atau tidak adalah
sebagaimana yang di tulis
Imam Ibnu Qudamah al Maqdisy dalam kitabnya yang terkenal “Bidaayatul
Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid” yaitu para ulama berbeda pendapat dalam
menafsirkan ayat. Artinya: “Tidak menyentuhnya (al Quran) kecuali orang-orang
yang disucikan”. (QS. Al Waaqi’ah: 79)
Berikut ini adalah tafsir Ibnu Katsir yang menjelaskan ayat tersebut.
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat ini, diantaranya:
Ibnu Jarir berkata: telah menceritakan kepadaku Ismail bin Musa, Syarik
mengabarkan kepada kami dari Hakim, yaitu Ibnu Jubair dari Said bin Jubair dari
Ibnu Abbas: “La Yamassuhu Illal Muthaharun” yaitu al Quran yang ada dilangit.
Berkata Aufi dari Ibnu Abbas “La Yamassuhu Illal Muthaharun” yaitu para
malaikat. Pendapat ini didukung oleh Anas bin Malik, Mujahid, ‘Ikrimah, Said bin
Jubair, Ad Dhahak, Abu as Sya’tsa Jabir bin Zaid, Abu Nahik, as Suddy,
Abdurahman bin Zaid bin Aslam dan yang lainnya.
Berkata Ibnu Jarir: Menceritakan pada kami Ibnu ‘Abdul A’la, menceritakan pada
kami Ibnu Tsaur, menceritakan pada kami Ma’mar dari Qatadah: “La Yamassuhu
Illal Muthaharun” yaitu al Quran tidak disentuh di sisi Allah Swt kecuali mereka
yang suci. Adapun di dunia al Quran disentuh oleh orang Majusi dan orang Munafiq
yang najis. Hal ini menurut riwayat qiro’ah Ibnu Mas’ud, yaitu “Maa Yamassuhu
Illal Muthaharun” (menggunakan kata “Maa” bukan “Laa”).
Berkata Abu ‘Aliyah: “La Yamassuhu Illal Muthaharun” yaitu kalian bukan orang-
orang yang berdosa.
Berkata Ibnu Zaid: orang kafir Quraisy menyangka al Quran ini turun bersamaan
dengan turunnya syaitan, maka Allah Swt memberitakan “La Yamassuhu Illal
Muthaharun” sebagaimana juga disebutkan dalam ayat lain: “Dan Al Quran itu
bukanlah dibawa turun oleh syaitan- syaitan. Dan tidaklah patut mereka membawa
turun AL Quran itu, dan merekapun tidak akan kuasa. Sesungguhnya mereka benar-
benar dijauhkan daripada mendengar Al Quran itu. (QS. As Syu’ara: 210-212).
Pendapat yang lain mengatakan: “La Yamassuhu Illal Muthaharun” yaitu suci dari
janabah dan hadats besar. Dikatakan ayat ini lafaznya adalah mengabarkan (khobar)
namun maknanya permintaan (tholab). Dikatakan: maksud al Quran dalam ayat ini
adalah mushaf al Quran di dunia. Hal ini seperti disebut dalam hadits riwayat Imam
Muslim dari Ibnu Umar: Bahwa Rasulullah Saw melarang membawa mushaf al
Quran saat bepergian ke tempat orang-orang kafir, karena dikhawatirkan jatuh ke
tangan-tangan mereka.
Imam Malik mendukung pendapat ini yaitu disebutkan dalam kitabnya “al Muwatha
Imam Malik” dari Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm:
bahwa dalam surat yang dibuat Rasulullah Saw yang dibawa Amr bin Hazm ada
tulisan “Jangan Menyentuh al Quran kecuali orang-orang yang suci”.
 Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri
Suriah:
Tidak akan tersentuh makna Alquran kecuali orang yang suci dari dosa, yaitu para
Malaikat, atau juga tidak boleh menyentuhnya kecuali orang yang suci dari hadas/
dalam keadaan berwudhu
 Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H
79:
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” Maksudnya bahwa al-
Quran itu tidak disentuh kecuali oleh para malaikat yang mulia, yang mana Allah
telah menyucikan mereka dari segala kesalahan, dosa, dan cela. Apabila al-Quran
itu tidak didsentuh kecuali oleh para malaikat yang disucikan, dan bahwasanya
makhluk-makhluk yang keji dan setan-setan tidak memiliki kemampuan maupun
kekuatan untuk menyentuhnya, maka ayat ini menunjukkan adanya peringatan
bahwasanya tidaklah boleh menyentuh al-Quran kecuali orang yang suci,
sebagaimana disebutkan di dalam hadist Rasulullah. Karena itulah ada yang
berpendapat bahwa ayat ini merupakan khabar yang bermakna larangan, maksudnya
tidak boleh menyentuh al-Quran kecuali orang yang suci.
 https://tafsirweb.com/10583-quran-surat-al-waqiah-ayat-79.html:
Jumhur ulama mengistimbatkan bahwa ayat 79 ini melarang orang-orang yang
berhadas, baik hadas kecil maupun hadas besar, menyentuh atau memegang mushaf
Al-Qur'an, berdasarkan hadis Mu'adh bin Jabal, Rasul bersabda, "Tidak boleh
menyentuh mushaf kecuali orang suci." Pendapat inilah yang dianut oleh sebagian
besar umat Islam Indonesia. Ada dua pendapat tentang hukum menyentuh mushaf
yaitu: 1. Imam empat mazhab berpendapat tidak boleh menyentuh mushaf tanpa
wudhu. Menurut Imam Nawawi, firman Allah: la yamassuhu illal-muthahharun
bermakna tidak menyentuh mushaf ini kecuali orang suci dari hadas. 2. Mazhab az-
Zahiri berpendapat boleh menyentuh mushaf tanpa wudhu dengan alasan bahwa
Rasulullah SAW pernah mengirim surat yang ada ayat Al-Qur'annya kepada
Heraklius padahal dia non muslim dan tidak berwudu. Anak kecil membawa tempat
menulis Al-Qur'an dan buku yang ada tulisan Al-Qur'an diperbolehkan oleh para
ulama. Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa Al-Qur'an ini sesungguhnya
diturunkan dari Tuhan yang menguasai alam semesta. Sebagai pedoman hidup
untuk dibaca, dihafal, dipahami dan diamalkan. Maka sungguh sesatlah orang-orang
yang menuduh bahwa Al-Qur'an ini sihir atau syair.
 Tafsir Jalalayn:
(Tidak menyentuhnya) adalah kalimat berita, tetapi mengandung makna perintah,
yakni jangan menyentuhnya (kecuali orang-orang yang telah bersuci) yakni orang-
orang yang telah menyucikan dirinya dari hadats-hadats.

Kesimpulannya;,

1. Perkara di atas adalah merupakan perkara ikhtilaf dalam hukum Islam yang
dibangun oleh para ulama dengan dalil sebagaimana yang diperintahkan dalam QS.
An-Nisa' Ayat 5 sebagai ciri orang beriman, sehingga dampaknya:
a. Sama-sama memiliki potensi kebenaran atau kesalahan namun semuanya
diganjar pahala dengan nilai 2 jika benar dan 1 jika salah.
b. Siapapun yang ingin menyampaikan masalah tersebut (apalagi ustadz atau guru)
harus menyampaikan ke umat/jama’ahnya dengan semua perspektif/pendapat
ulama ini sebagai bagian dari ilmu untuk memperoleh potensi kebenaran yang
menghantarkan kepada kepastian pahala (yang bernilai minimal 1).
Menyampaikan salah satu perspektif pendapat yang dianggap benar dengan
menyalahkan atau membantah pendapat lain yang juga berlandaskan dalil,
hanya akan berujung kepada saling salah atau saling bantah yang berdampak
kepada kebencian serta perpecahan umat, dan perbuatan ini dilarang agama.
c. Hendaknya dalam mengamalkan salah satu pendapat ini dalam menjaga
ukhuwah islamiyah adalah dengan melihat amalan komunitas umat Islam yang
dimasuki. Karena dalam perkara di atas, memperoleh kebenaran, baru sebatas
potensi, namun menjaga ukhuwah islamiyah adalah perintah atau kepastian (QS.
Ali Imron:103:”Wa’tasimu bihablillahi jami’a wala tafarroqu: dan
berpeganglah kalian semua pada tali Allah dan janganlah bercerai berai)
2. Sebagai pilihan bagi madrasah, diantaranya yaitu dengan menggabungkan dan
mengkompromikannya (jam’u wat taufiq) sebagai kehati-hatian bahwa perempuan
yang sedang haid (belum suci) agar menghindari membaca Al Quran (kitab suci)
sebagai penghormatan, kecuali:
a. Jika tak diniatkan membaca, tapi diniatkan untuk berdzikir atau berdoa
hukumnya boleh. Misalnya membaca basmalah saat hendak makan atau
membaca hamdalah setelah makan dan sebagainya. (Imam Nawawi, Al Majmu’,
2/163), juga Imam malik dan Imam Hanafi. Termasuk dalam hal ini diniatkan
untuk belajar-mengajar (menjaga hapalan) sebagai misi madrasah.
b. Tidak menyentuh langsung mushaf Al-Qur’an, namun misalnya: melalui pensil
dsj, kain, HP.

WALLAHU A’LAM BISHSHOWAB

Anda mungkin juga menyukai