Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH MATA KULIAH

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Tentang:

“Pemikiran KH. Asy’ari tentang Pendidikan Islam

dan Relevansinya Dewasa Ini”

Oleh:

KELOMPOK 9

GISFA MONADIFI 2030101014

HUMAIROH ANA FELY 2030101017

MARDHATILLAH YUZA 2030101020

Dosen Pengampu:

DR. FADRIATI., M.AG.

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

2021 M / 1442 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji bagi Allah SWT., yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat beserta salam, semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW. Melalui beliau, agama Islam disempurnakan hingga beliau menjadi uswatun
hasanah (suri tauladan yang baik). Semoga keberkahan juga tercurah kepada keluarga dan sahabat
beliau serta seluruh manusia yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Penulis memiliki niat dan motivasi dalam penulisan makalah ini, yaitu untuk meningkatkan
pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. Makalah ini ditulis guna memenuhi tugas pada mata kuliah
Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam. Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang
“Pemikiran KH. Asy’ari tentang Pendidikan Islam dan Relevansinya Dewasa Ini”

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini tidak terlepas dari
keterbatasan penulis sebagai manusia yang tidak luput dari kekhilafan. Atas dasar itu, dengan rendah
hati penulis mengharapkan saran-saran dari pembaca untuk mendapatkan kesempurnaan Islam.

Batusangkar, 16 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah............................................................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan.................................................................................................................................. 1

BAB II: PEMBAHASAN

A. Biografi KH. Hasyim Asy’ari ........................................................................................................ 3

B. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam (Tujuan Pendidikan, Pendidik,
Anak Didik, Kurikulum dan Metode Pendidikan) ................................................................ 4

C. Relevansi Pemikiran KH. Hasyim asy’ari dengan Pendidikan Dewasa Ini ................. 10

D. Perbandingan Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dengan Tokoh Pendidikan Islam Lain
..........................................................................................................................................11

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................................................. 13

B. Saran......................................................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak pertengahan abad ke-19 telah banyak para pemuda Indonesia yang belajar di Mekkah dan
Madinah untuk menekuni agama Islam di pusat-pusat studi di Timur Tengah, terutama di Mekkah,
karena di sana banyak bertebaran berbagai literatur ke-Islaman. Realitas ini sangat memungkinkan
bagi mereka untuk mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas serta pandangan yang lebih terbuka
mengenai sosok Islam.
Diantara mereka yang berhasil dalam mengkaji Islam adalah Syekh Nawawi al Bantani dari
Banten, Jawa Barat, Syekh Mahfudz Attarmisi dari Pacitan Jawa Timur, serta Syekh Ahmad Chatib
Sambas dari Kalimantan. Kesuksesan mereka ini ditandai dengan kedalaman ilmu yang mereka
miliki, hal ini bukan saja diakui oleh masyarakat Tanah Suci Mekkah saja, tapi juga diakui oleh
masyarakat Arab pada umumnya.
Ketokahan KH. Hasyim Asy’ari sering kali dicampurkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini
dapat dipahami karena sebagian dari sejarah kehidupan KH. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk
merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih
organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha
sosial politik.
Akan tetapi, KH. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan
pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan bahwa KH. Hasyim Asy’ari bisa
dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di
Jawa.

B. Tujuan Penulisan
1. Apa Biografi KH. Hasyim Asy’ari?
2. Bagaimana konsep Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam (Tujuan Pendidikan,
Pendidik, Anak Didik, Kurikulum dan Metode Pendidikan)?
3. Bagaimana Relevansi Pemikiran KH. Hasyim asy’ari dengan Pendidikan Dewasa Ini?
4. Bagaimana Perbandingan Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dengan Tokoh Pendidikan Islam Lain?

C. Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui Biografi KH. Hasyim Asy’ari

1
2. Untuk memhami bagaimana konsep Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam
(Tujuan Pendidikan, Pendidik, Anak Didik, Kurikulum dan Metode Pendidikan)
3. Untuk memahami bagaimana Relevansi Pemikiran KH. Hasyim asy’ari dengan Pendidikan
Dewasa Ini
4. Untuk memahami bagaimana Perbandingan Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dengan Tokoh
Pendidikan Islam Lain

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI KH. HASYIM ASY’ARI


K. H. Hasyim Asy’ari dilahirkan di desa Gedang, Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 14
Februari 1871/ 24 Dzulqaidah 1287 H. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren di
sebelah Selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Sejak kecil, Hasyim belajar langsung dari Ayah
dan kakeknya, Kiai Ustman. Bakat kepemimpinan dan kecerdasannya memang sudah nampak. Di
antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Hasyim kecil sangat giat dan
cerdas. Hasilnya, ia saat masih berumur 13 tahun, sang ayah menyuruhnya mengajar di pesantren
karena kepandaian yang dimilikinya. (Badiatul Roziqin, 2009 :247)
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, pada usia 15 tahun, Hasyim berkelana dari satu
pesantren ke pesantren lain. Ia memulai petualangannnya menyerap ilmu agama di Pesantren
Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Trenggilis Semarang. Belum puas
dengan ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan belajar agama di Pesantren Kademangan Bangkalan,
Madura di bawah asuhan K. H. Khalil. Tak lama di Bangkalan, Hasyim pindah lagi di Pesantren
Siwalan Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh oleh K. H. Ya’qub inilah, agaknya Hasyim merasa benar-
benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. K. H. Ya’qub dikenal sebagai ulama yang
berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama.
Selama lima tahun, Hasyim menekuni ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya, K. H. Ya’qub
sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja
mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun dinikahkan dengan Khadijah,
salah satu putri K. H. Ya’qub.
Tidak lama setelah perkawinannya dengan Khadijah, KH. Hasyim bersama istrinya berangkat
ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana. Sesudah tujuh bulan berada di Kota
Suci, istrinya melahirkan putranya yang pertama dan diberi nama Abdullah. Tidak berapa lama
kemudian, istrinya yang sangat dicintainya itu wafat di Mekkah. Belum genap 40 hari sepeninggal
istrinya, Abdullah putranya yang masih bayi meninggal pula. Akhirnya, pada tahun berikutnya ia
kembali ke Indonesia.
Pada tahun 1893, Hasyim kembali ke Mekkah untuk kedua kalinya. Sejak itulah ia menetap di
Mekkah selama 7 tahun. Pada tahun 1899, ia kembali ke tanah air. Di Makkah ia berguru pada Syaikh

3
Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadits. Dalam perjalanan
pulang ke tanah air, ia singgah dahulu di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke
Indonesia pada tahun 1899, Hasyim mengajar di Pesantren milik kakeknya, Kiai Ustman.
Kemudian, ia mendirikan pesantren di Tebu Ireng. Sejak tahun 1900, Hasyim
memposisikan Pesantren Tebu Ireng menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam pesantren itu, bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum.
Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi
pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
K. H. Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang
sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya K. H. Hasyim istirahat
tidak mengajar. saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang kala, ia juga pergi ke Surabaya
untuk berdagang kuda, besi dan hasil pertaniannya.Dari bertani dan berdagang itulah, K. H.
Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putrid Kiai
Ilyas, K. H. Hasyim dikarunia 10 orang anak: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak
(istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan
Muhammad Yusuf. (sirojul.blog.com, 2014)
Aktifitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi
Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar lainnya, seperti Syekh Abdul Wahab dan Syekh
Bishri Syansuri, pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Organisasi ini didukung oleh
para ulama Jawa, dan komunitas pesantren. Memang pada awalnya, organisasi ini dikembangkan
untuk merespon wacana khalifah dan gerakan purifikasi itu dikembangkan Rasyid Ridha di Mesir,
tetapi pada perkembangannya kemudian organisasi itu melakukan rekonstruksi sosial keagamaan
yang lebih umum. Bahkan, dewasa ini, Nahdatul Ulama berkembang menjadi organisasi sosial
keagamaan terbesar di Indonesia. (ramayulis, 2011:338) KH. Hasyim Asy’ari wafat pada jam
03.45 dini hari tanggal 25 Juli 1947/ 7 Ramadhan 1366 H., dalam usia 79 tahun, di rumahnya di
Tebu Ireng Jombang dan dikebumikan di dalam kompleks pesantren yang dibangunnya.
(Suwendi, 2003:146)

B. PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY’ARI


1. Tujuan Pendidikan
Dalam membahas masalah ini, K. H. Hasyim Asy’ari mengorientasikan pendapatnya
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebagai contohnya ialah beliau mengambil pemikiran
pendidikan tentang keutamaan menuntut ilmu dan keutamaan bagi yang menuntut ilmu dari
surah Al-Mujadillah ayat 11 yang kemudian beliau uraikan secara singkat dan jelas. Misalnya
beliau menyebutkan bahwa keutamaan yang paling utama dalam menuntut ilmu adalah
mengamalkannya. Secara langsung beliau akan menjelaskan maksud perkataan itu, yaitu agar

4
seseorang tidak melupakan ilmu yang telah dimilikinya dan bermanfaat bagi kehidupannya di
akhirat kelak.
K.H. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa dalam menuntut ilmu harus memperhatikan
dua hal pokok selain dari keimanan dan tauhid. Dua hal pokok tersebut adalah:
1. Bagi seorang peserta didik hendaknya ia memiliki niat yang suci untuk menuntut ilmu,
jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal yang bersifat duniawi dan jangan melecehkan atau
menyepelekannya.

2. Bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu tidak
semata-mata hanya mengharapkan materi, di samping itu hendaknya apa yang diajarkan
sesuai dengan apa yang diperbuat.
K. H. Hasyim Asy’ari juga menekankan bahwa belajar bukanlah semata-mata hanya
untuk menghilangkan kebodohan. Namun belajar merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah
yang mengantarkan seseorang unutk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya
belajar harus diniati untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya
sekedar menjadi alat penyebrangan untuk mendapatkann materi yang
berlimpah.(Sirojul.blog.com,2014)

2. Pendidik

a. Etika Seorang Guru


Tidak hanya murid yang dituntut untuk beretika, apalah artinya etika diterapkan kepada
murid, jika guru yang mendidiknya tidak mempunyai etika. Oleh karena itu, ia juga
menawarkan beberapa etika yang harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain: senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah (taqarrab ila Allah), senantiasa takut kepada Allah, senantiasa
bersikap tenang, senantiasa berhati-hati (wara’), senantiasa tawaadhu’, senantiasa khusu’,
mengadukan segala persoalannya kepada Allah Swt, tidak menggunakan ilmunya untuk meraih
keduniawian semata, tidak selalu memanjakan anak didiknya, berlaku zuhud dalam kehidupan
dunia, berusaha menghindari hal-hal yang rendah, menghindari tempat-tempat yang kotor dan
tempat maksiat, mengamalkan sunnah Nabi, mengistiqomahkan membaca Al-Qur’an, bersikap
ramah, ceria, dan suka menaburkan salam, membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang
tidak disukai Allah, menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu pengetahuan, tidak
menyalah gunakan ilmu dengan cara menyombongkannya,, dan membiasakan diri menulis,
mengarang, dan meringkas.
Catatan menarik yang perlu dikedepankan dalam membahas masalah ini adalah etika
atau statement yang terakhir, di mana guru haruslah membiasakan diri menulis, mengarang dan
meringkas. Untuk menulis dan meringkas mungkin masih jarang dijumpai. Ini pula yang dapat
dijadikan sebagai salah satu faktor mengapa sulit dijumpai tulisan-tulisan berupa karya-karya

5
ilmiah. Sejak awal, ia memandang perlu adanya tulisan dan karangan, sebab lewat tulisan itulah
ilmu yang dimiliki seseorang akan terabadikan dan akan banyak memberikan manfaat bagi
generasi selanjutnya, di samping itu juga akan terkenang sepanjang masa.

b. Etika Guru Ketika Mengajar


Seorang guru ketika hendak mengajar dan ketika mengajar perlu memperhatikan
beberapa etika sebagai berikut: mensucikan diri dari hadas dan kotoran; berpakaian yang sopan
dan rapi dan usahakan berbau wangi, berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu
kepada anak didik, sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah, biasakan membaca untuk
menambah ilmu pengetahuan, berilah salam ketika masuk ke dalam kelas, sebelum mengajar
mulailah dulu dengan berdo’a untuk para ahli ilmu yang telah lama meninggalkan kita,
berpenampilanlah yang kalem dan jauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata, menjauhkan
diri dari bergurau dan banyak tertawa, jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah,
mengantuk, dan sebagainya; pada waktu mengajar hendaklah mengambil tempat duduk yang
strategis; usahakan tampilannya ramah, lemah lembut, jelas, tegas dan lugas serta tidak
sombong; dalam mengajar hendaklah mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuaikan
dengan profesioanal yang dimiliki.
Jangan sekali-kali mengajarkan hal-hal yang bersifat syubhat yang bisa membinasakan,
perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam mengajar dan tidak terlalu lama,
menciptakan ketenangan dalam ruangan belajar; menasehati dan menegur dengan baik bila
terdapat anak didik yang bandel, bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan-
persoalan yang ditemukan, berilah kesempatan kepada peserta didik yang datangnya
ketinggalan dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksud, dan bila sudah selesai
berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau belum
dipahami. Terlihat bahwa apa yang ditawarkannya lebih bersifat pragmatis. Artinya, apa yang
ditawarkannya berangkat dari parktek yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan
nilai tambah dalam konsep yang dikemukakan oleh bapak santri ini.

c. Etika Guru Bersama Murid


Guru dan murid tidak hanya masing-masing mempunyai etika yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Akan tetapi antara keduanya juga mempunyai etika yang sama.
Sama-sama harus dimiliki oleh guru dan murid. Diantara etika tersebut adalah berniat
mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat Islam,
menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawiaan, hendaknya selalu
memperhatikan introspeksi diri, mempergunakan metode yang sudah dipahami murid,
membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya, memberikan latihan-latihan
yang bersifat membantu, selalu memperhatikan kemampuan peserta didik, tidak terlalu
memunculkan salah seorang peserta didik dan menafikan yang lainnya, mengarahkan

6
minat peserta didik, bersikap terbuka dan lapang dada terhadap peserta didik, membantu
memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik; bila terdapat peserta didik yang
berhalangan hendaknya mencari hal ihwal kepada teman-temannya, tunjukkan sikap arif
dan penyayang, kepada peserta didik, dan tawadhu’.(Ramayulis,2011:345)
Bila sebelumnya seorang murid dengan guru memiliki tugas dan tanggung jawab
yang berbeda, maka setelah kita telaah kembali, ternyata seorang guru dan murid juga
memiliki tugas yang serupa seperti tersebut di atas. Ini mengindikasikan bahwa pemikiran
K. H. Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh
peserta didik dan guru, namun juga kesamaan yang dimiliki dan yang harus dijalani. Hal
ini pulalah yang memberikan indikasi nilai utama yang lebih pada hasil pemikirannya.

3. Anak Didik
a. Etika yang Harus diperhatikan dalam Belajar
Dalam hal ini terdapat sepuluh etika yang ditawarkannya adalah membersihkan hati
dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawiaan; membersihkan niat, tidak menunda-
nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah terhadap segala macam pemberian dan
cobaan, pandai mengatur waktu; menyederhanakan makanan dan minuman, bersikap hati-
hati (wara’), menghindari makanan dan minuman ynag menyebabkan kemalasan yang
menyebabkan kemalasan dan kebodohan, menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak
kesehatan, dan meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah. Dalam hal ini terlihat, bahwa
ia lebih menekankan pada pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian
pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur waktu, mengatur
makan dan minum dan sebagainya.

b. Etika Seorang Murid terhadap Guru

Dalam membahas masalah ini, ia menawarkan dua belas etika, yaitu: hendaknya selalu
memperhatikan dan mendengarkan apa yang dikatatakan atau dijelaskan oleh guru; memilih
guru yang wara’ (berhati-hati) di samping professional, mengikuti jejak-jejak guru;
memuliakan guru; memperhatikan apa yang menjadi hak guru; bersabar terhadap kekerasan
guru; berkunjung kepada guru pada tempatnya atau mintalah ijin terlebih dahulu kalau
keadaan memaksa harus tidak pada tempatnya; duduklah dengan rapi dan sopan bila
berhadapan dengan guru; berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut; dengarkanlah segala
fatwanya; jangan sekali-kali menyela ketika sedang menjelaskan; dan gunakan anggota yang
kanan bila menyerahkan sesuatu kepadanya.
c. Etika Murid terhadap Pelajaran
Murid dalam menuntut ilmu hendaknya memperhatikan etika sebagai berikut:
memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu’ain untuk dipelajari; harus mempelajari ilmu-ilmu

7
yang mendukung ilmu fardhu’ain; berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama;
mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada orang yang dipercayainya; senantiasa
menganalisa dan menyimak ilmu; pancangkan cita-cita yang tinggi; bergaullah dengan orang
yang berilmu lebih tinggi (pintar); ucapkan salam bila sampai tempat majelis ta’lim (sekolah/
madrasah); bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaklah ditanyakan; bila kebetulan
bersamaan dengan banyak teman sebaiknya jangan mendahului antrian kalau tidak mendapat
ijin; ke manapun kita pergi dan di manapun kita berada jangan lupa membawa catatan; pelajari
pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinyu (istiqamah); tanamkan rasa antusias/ semangat
dalam belajar.

4. Kurikulum
Menurut K.H. Hasyim Asy’ari materi-materi ilmu pengetahuan yang dipelajari secara
hirarkis adalah sebagai berikut: al- Qur’an, tafsir, hadist, Ulumul Hadist, Ushul Fiqih, Nahwu,
dan Sorrof. Penyajian materi demikian sesungguhnya selaras dengan perkembangan pemikiran
kependidikan kontemporer. Sayyid Naquib al- Attas, misalnya, memaparkan bahwa ilmu
pengetahuan terbagi menjadi dua: Pertama, adalah ilmu dasar untuk pembinaan jiwa, dan
ilmuperlengkapan yang digunakan untuk kepentingan dirinya didunia guna memenuhi tujuan-
tujuannya yang pragmatis. Materi al- Qur’an, Hadist, dan ilmu keagamaan lainnya merupakan
materi inti dalam pembentukan jiwa dan kepribadian manusia yang merupakan jenis
pengetahuan yang pertama. Sayyid Naqaib al-Attas, penggagas islamisasi ilmu pengetahuan
dari Malaysia, menyatakan: ”the holy Qur’an, the Sunnah, The Shariah, Ilmu al-Ladunni and
Hikmah are the essential elle ments of the first kind of knowledge”. Kitab suci al- Qur’an, al-
Hadist, Syariah, ilmu al-Ladunni, dan hikmah adalah unsur-unsur esensial dari pengetahuan
macam pertama itu. Bahkan ditegaskan” the holy Qur’an, the knowledge, par ekselence. Al-
Qur’an adalah pengetahuan paling baik. Jika dilahat dari aspek kandungan dalam kontek
pemikiran kependidikan K.H. Hasyim Asyari, secara esensial dapat disimpulkan bahwa
peserta didik harus mampu mengaplikasikan pengetahuan dengan kesatuan aksi yang
menjunjung tinggi nilai-nilai ahlak yang luhur secara integratif.(Suwendi,2003)
Bagi K.H. Hasyim Asy’ari, kurikulum yang penting dan mulia haruslah didahulukan
ketimbang kurikulum lainnya. Ini artinya bahwa peserta didik dapat melakukan kajian
terhadap kurikulum secara hirarkis.
Dalam pada itu, K.H. Hasyim Asy’ari memprioritaskan kurikulum al- Qur’an daripada
lainnya. Mengedepankan kurikulum al-Qur’an ini agaknya tepat. Sebab, sebagaimana
pendapat Muhammad Faisal Ali Sa’ud, kurikulum al-Qur’an merupakan ciri yang
membedakan antara kurikulum pendidikan Islam dengan kurikulum pendidikan lain. Hal ini
dikuatkan oleh Muhammad Fadhil al-Jamili bahwa ”al-Qur’an al-Karim adalah kitab terbesar

8
yang menjadi sumber filsafat pendidikan dan pengajaran bagi umat Islam. Sudah seharusnya
kurikulum pendidikan Islam disusun sesuai dengan al- Qur’an al-Karim, dan ditambah dengan
al-Hadits untuk melengkapinya.

5. Metode Pendidikan
Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai cara; pertama dengan cara ta’allum
yaitu belajar pada guru, Kyai, teman, lingkungan dan menelaah kitab-kitab yang dikarang oelh
para ilmuwan; kedua dengan kekuatan gaib. Kedua cara inilah yang telah ditempuh oleh KH.
M. Hasyim Asy’ari tatkala mudanya.
Memperoleh ilmu pengetahuan dengan cara ta’allum merupakan method yang sampai
sekarang para ilmuwan belum dapat merumuskan secara eksplisit, berbagai teori telah
dipraktekkan, baik yang ansih menggunakan teori salaf, teori modern atau ada yang mencoba
menggabungkan keduanya, tapi semuanya masih belum dijumpai, mana metode yang paling
jitu.
Pertimbangan itulah, dicoba mengungkap kembali teori yang sangat sederhana dan
yang telah membuktikan banyak menghasilkan para ulama. Teori ini memang menekankan
pada individu-individu yang menitik beratkan pada metode penggalia ilmu pengetahuan yang
bersumberkan Al-Qur’an dan Hadits dan menjurus kepada kerpasrahan diri kepada Yang
Maha Tahu, Allah swt.
Keteladanan, kebiasaan, nasehat dan hukuman adalah rangkaian yang tampak dari
metode KH. M. Hasyim Asy’ari dalam menuntun para santrinya untuk mendapatkan dan
mengamalkanilmu pengetahuan yang sedang digeluti.

C. RELEVANSI PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY’ARI DENGAN PENDIDIKAN DEWASA


INI
Pendidikan Islam pada periode sebelum Indonesia merdeka ditandai dengan munculnya
dua model pendidikan, yaitu pertama, pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah Barat yang
sekuler dan tidak mengenal ajaran agama; dan kedua, pendidikan yang diberikan oleh pondok
pesantren yang hanya mengenal agama saja.
Hasil penelitian Steenbrink menunjukan bahwa pendidikan kolonial tersebut sangat
berbeda dengan pendidikan Islam Indonesia yang tradisional, bukan saja dari segi metode, tetapi
lebih khusus dari segi isi dan tujuannya. Pendidikan yang dikelola oleh Belanda khususnya
berpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi, yaitu pendidikan umum. Adapun lembaga
pendidikan Islam lebih menekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi
penghayatan agama. Pada tingkat permulaan, isi pendidikan Islam meliputi belajar membaca al-

9
Qur’an, praktik sholat, pelajaran ketuhanan, fiqih, dan ushul fiqih. Menurut Mahmud Yunus,
bahwa isi pendidikan Islam pada pondok pesantren meliputi pengajian al- Qur’an, ilmu nahwu,
sharaf, fiqih dengan kitab ajurmiah, matan bina, fathul qorib, dan sebagainya.
Dengan demikian fungsi pendidikan Islam adalah melestarikan dan mempertahankan
nilai-nilai Ilahi dan insani sebagaimana terkandung dalam kitab- kitab ulama terdahulu. Fungsi
tersebut melekat pada setiap komponen aktivitas pendidikan Islam. Hakikat tujuan pendidikan
Islam adalah terwujudnya penguasaan ilmu agama Islam sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab
ulama terdahulu serta tertanamnya perasaan beragama yang mendalam dan mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Bersamaan dengan lahirnya madrasah-madrasah berkelas yang muncul sejak tahun 1909.
menurut penelitian Mahmud Yunus, pendidikan Islam yang kali pertama memiliki kelas dan
memakai bangku, meja, dan papan tulis ialah madrasah Adabiah di padang. Madrasah Adabiyah
merupakan madrasah pertama di Minangkabau, bahkan di seluruh Indonesia, yang didirikan oleh
Syeh Abdullah Ahmad pada tahun 1909.
Disamping itu K.H. Hasyim Asy’ari yang telah memperkenalkan pola pendidikan
madrasah di lingkungan pesantren Tebuireng Jombang. Pesantren ini didirikan pada tahun 1899
yang pengajarannya lebih menitikberatkan pada ilmu- ilmu agama dan bahasa Arab dengan
system sorogan dan bandungan ditingkatkan dengan menggunakan system klasikal yang terkenal
dengan system madrasah.
Dengan demikian posisinya yang sangat sentral dalam jaringan pesantren di Pulau Jawa
maka pembaruan yang terjadi di pesantren Tebuireng tersebut cepat menyebar kepesantren-
pesantren lain, seperti di Kediri, Kudus, Cirebon, dan Banten. Terlebih-lebih setelah pembentukan
organisasi Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 apa yang dilakukan K.H.Hasyim Asy’ari dijadikan
model bagi usaha perkumpulan dalam bidang pendidikan.(Rijaluddin: 14-16)

D. PERBANDINGAN PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY’ARI DENGAN TOKOH


PENDIDIKAN ISLAM LAIN
Perbandingan Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dengan KH. Hasyim Asyari tentang Tujuan
Pendidikan Islam
Pelaksanaan Pendidikan Islam menurut Ahmad Dahlan didasarkan pada landasan yang
kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofi bagi rumusan konsep dan tujuan ideal
pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan
Islam, paling tidak ada dua sisi tugas pembuatan manusia, yaitu Abdillah dan khalifah fi-al-ardhi.
Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah dengan al-ruh dan al-aql. Untuk itu
pendidikan menjadi media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar petunjuk
pelaksanaan ketundukkan dan kepatuhan manusia kepada khaliqnya. Dalam hal ini dapat

10
dikatakan bahwa eksistensi akal potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dikembangkan untuk
menyusun kerangka teori dan metodologi dalam menata hubungan baik secara vertikal maupun
horizontal dalam konteks tujun pembuatannya.
Islam kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya
dalam memahami fenomena alam semesta, baik alam mikro maupun alam makro akal, tetapi al-
qur'an juga mengakui keterbatasan kemampuan akal. Ada realitas fenomena yang tak dapat
dicapai oleh indra akal manusia.
Untuk mewujudkan idenya dibidang pendidikan, KH. Ahmad Dahlan merasa perlu untuk
mendirikan Lembaga Pendidikan yang berorientasi pada pendidikan yang berorientasi pada
pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Pada tahun 1911 ketika ia mulai
mendirikan sekolah Muhammadiyah, ia tidak memisahkan pelajaran agama dan pelajaran umum.
Apa yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan waktu itu adalah hal yang masih cukup langka dilakukan
oleh Lembaga Pendidikan Islam. Disini ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan
sistem pendidikan tradisional secara integral.

Pemikiran KH. Hasyim Asyari tentang Tujuan Pendidikan Islam

Dalam Sejarah Pendidikan Islamtransional, khususnya di jawa, KH Asyim Asyari digelari


Hadratus Syaikh, karena peranannya yang sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama
pimpinan pesantren mislanya, pesantren Asem bagus di situ bondo. Jawa Timur, pesantren Lirboyo
di kediri, dan lain-lain. Ketokohan Hasyim Asyari sangat ideal untuk seorang pemimpin selain
mengembangkan Pendidikan Islam melalui lembaga pesantren dan organisasi sosial keagamaan, aktif
di organisasi politik melawan kolonial. Umat Islam diharamkan berkompromi dan menerima bantuan
papun dari belanda, perjuangan melawan belanda adalah jihad (perang suci).

Orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman Hasyim Asyari sangat dipengaruhi oleh guru
utama Syaikh Mahfud At-Tarmizi yang banyak menganut tradisi Syaikh Nawawi. Menurutnya,
kembali langsung ke Alqur'an dan Sunnah tanpa melalui para Imam Mazhab adalah tidak mungkin.
Menafsirkan Alqur'an dan Hadis secara langsung tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan
Imam Mazhab, akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Ketika Kongres
Islam yang ke IV diselenggarakan di Bandung pada bulan Februari 1926, Kongres tersebut
sepenuhnya dikuasai oleh para pemimpin organisasi Islam modern yang membahas usul-usul
pemimpin Islam tradisional yang menghendaki untuk menerapkan praktik kegamaan tradisional
(antara lain ajaran-ajaran Mazhab) empat, pemeliharaan kuburan Nabi dan keempat sahabatnya di
Madinah).

Hasil KH. Hasyim Asyari kritik-kritik yang keras kepada kaum Islam modern, dan sejak awal
tahun 1926 membentuk Jam'iyah Nahdlatul Ulama sebagai wadah perjuangan para pemimpin Islam

11
Tradisional. Akibat KH. Hasyim Asyari yang sangat besar dikalangan kiai di Jawa Timur dan Jawa
Tengah menyebabkan para Kiai dan pengikut-pengikutnya segera mendukung Nahdlatul Ulama.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
K.H. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa pendidikan adalah sarana mencapai
kemanusiaannya, sehingga menyadari siapa sesungguhnya penciptanya, untuk apa diciptakan,
melakukan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya, untuk berbuat baik di dunia dan
menegakkan keadilan. Sehingga pendidikan Islam menurut dia adalah pendidikan manusia akan sadar
dengan sendirinya serta mengetahui hakikat manusia diciptakan oleh Tuhan. Maka, harapannya
dengan pendidikan agar manusia mengetahui tugas dan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka
bumi. Dan menurut dia, tujuan diberikannya sebuah pendidikan Islam pada setiap manusia adalah
menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan insan purna yang
mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat Dasar dan sumbernya Ilmu adalah al-
Qur’an dan Hadits.
Sesuai dengan perkataannya pada Kitab Adabul Ta’lim wal Muta’alim yaitu al-Qur’an
merupakan sumbernya segala ilmu, induk ilmu dan ilmu yang paling penting dari sekian macam
banyak ilmu. Semua ilmu berasal dari al-Qur’an bahkan sebelum ilmu itu ada alQuran sudah
menjelaskan ilmu dengan pembuktian kejadian-kejadian alam. Dari tiap-tiap bidang studi, dibuat satu
rangkuman lalu dihubungkan dengan al-Qur’an dan hadits adalah salah satu sayap ilmu syari’at.
Sedangkan sayap yang satunya adalah al-Qur’an yang menerangkan berbagai macam masalah baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Peserta didik harus mempunyai perilaku yang baik terhadap guru,
sesama teman dan harus menggunakan sarana pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Sedangkan
pendidik harus mempunyai kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional.
Menurut KH. Hasyim Asy’ari strategi pembelajaran yang baik adalah pelajari dulu pelajaran
tersebut karena merupakan amal baik dan apabila menemui kesulitan maka carilah ilmu tersebut
dengan bertanya sampai menemui pemhaman karena mencarinya terhitung ibadah dan selesai belajar
maka diskusikanlah dan membahas bersama-bersama karena merupakan suatu jihad. KH. Hasyim
Asy’Ari mengupayakan perubahan signifikan dalam kerangka sistem pendidikan di pesantren
Tebuireng. Menurut KH. Hasyim Asy’Ari, materi pelajaran yang diajarkan di pesantren haruslah
merupakan ilmu-ilmu yang komprehensif yang meliputi pembelajaran materi pendidikan agama dan
non-agama.
Upaya yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’Ari, yang berbentuk pengintegrasian pendidikan
agama dan non-agama dalam pendidikan pesantren, merupakan perwujudan dari pemahaman dia
tentang pentingnya keseimbangan di antara kedua aspek pendidikan tersebut, baik dalam tataran

13
teoritis maupun praktis. Dalam bingkai pendidikan di Indonesia saat ini, pemikiran pendidikan KH.
Hasyim Asy’Ari, kiranya dapat menjadi solusi terhadap salah satu problematika pendidikan nasional,
utamanya yang berkenaan dengan nilai dan moral. Degradasi moral yang terjadi secara merata dewasa
ini, ditengarai disebabkan oleh kegagalan dunia pendidikan, baik pendidikan umum dan pendidikan
yang berbasis keagamaan untuk memproduk siswa yang mampu menyelaraskan antara ilmu dengan
amal.

B. Saran
Dalam makalah ini penulis menyadari masih terdapat banyak kesalahan baik dari segi isi maupun
penulisan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
untuk kemajuan kedepannya. Dan penulis juga menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan,
maka penulis sangat mengharapkan kritikan yang dapat mendukung untuk lebih baiknya dimasa yang
akan datang.

14
DAFTAR PUSTAKA

Badiatul Roziqin, Badiatul Muclisin Asti, Junaidi Abdul Munif, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Cet. I;
Yogyakarta: e-Nusantara, 2009).

Anonim, “Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari” (online, http://sirojul.blog.com/
konsep-pendidikan-kh-hasyim-asy’ari).

Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para
Tokohnya, (Cet. III; Jakarta: Kalam Mulia, 2011)

Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari

15

Anda mungkin juga menyukai