Anda di halaman 1dari 2

MASALAH

Terkait dengan itu, Manuel Castells (1996) mengatakan bahwa meluasnya jejaring
komunikasi yang menyebabkan hubungan antarmasyarakat di seluruh dunia berjalan secara
cepat dan dekat menimbulkan dilema antara tetap bertahan dalam identitas asli (the self) atau
ikut melebur dalam identitas masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat
jaringan global (the net). Kuatnya penetrasi budaya yang terglobalkan menyebabkan sebagian
orang merasa identitas aslinya telah usang karena tidak sejalan dengan globalisasi. Mereka
lantas mengalami krisis identitas dan akibatnya meninggalkan the self untuk bergabung
dalam the net.

Krisis semacam ini dialami oleh banyak negara, terutama negara-negara miskin dan
berkembang yang tidak mampu bersaing dalam proses globalisasi, termasuk Indonesia. Harus
diakui, aktor utama dalam proses globalisasi masa kini adalah negara-negara maju seperti AS
dan negara-negara Barat lainnya sehingga globalisasi sering dianggap pula sebagai
Americanization atau westernization. Negara-negara ini berupaya mengekspor nilai-nilai
lokal di wilayahnya untuk disebarkan ke seluruh dunia sebagai nilai-nilai global. Mereka
dapat dengan mudah melakukan itu karena mereka menguasai arus teknologi informasi dan
komunikasi lintas batas negara-bangsa. Sebaliknya, pada saat yang sama, negara-negara
berkembang tidak mampu menyebarkan nilai-nilai lokalnya karena daya kompetitifnya yang
rendah. Akibatnya, negaranegara berkembang hanya menjadi penonton bagi masuk dan
berkembangnya nilai-nilai negara maju yang dianggap nilai-nilai global ke wilayah
negaranya.

Persoalannya, semangat persatuan itu kini semakin memudar seiring menjamurnya


pemakaian budaya asing dan penggunaan bahasa Inggris yang disebarkan oleh arus
globalisasi ke masyarakat Indonesia. Kesenian-kesenian daerah seperti ludruk, ketoprak,
wayang, gamelan, dan tari tradisional menghadapi ancaman serius dari berkembangnya
budaya pop khas Barat yang semakin diminati masyarakat karena dianggap lebih modern.
Budaya konvensional yang menempatkan tepo seliro, toleransi, keramahtamahan,
penghormatan pada yang lebih tua juga digempur oleh pergaulan bebas dan sikap
individualistik yang dibawa oleh arus globalisasi. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
sekarang menghadapi ancaman serius dari bahasa Inggris yang berupaya menghomogenisasi
penggunaan bahasa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dalam situasi demikian,
kesalahan dalam merespon globalisasi bisa berakibat pada memudarnya identitas nasional
dan budaya lokal. Kesalahan dalam merumuskan strategi mempertahankan eksistensi
identitas dan budaya Indonesia juga bisa mengakibatkan nilai-nilai khas Indonesia semakin
ditinggalkan masyarakat yang kini kian gandrung pada budaya yang dibawa arus globalisasi.
Inilah masalah terbesar dalam relasi globalisasi dan identitas Indonesia di era kekinian.
Karena itu, di era kontemporer sekarang ini, revitalisasi identitas kultural Indonesia
merupakan langkah penting dan mendesak. Strategi-strategi jitu perlu dirumuskan dalam
upaya revitalisasi itu.

SOLUSI

Menyikapi prolematika itu, dibutuhkan strategi yang tepat agar identitas kultural Indonesia
tidak semakin tergerus oleh identitas asing dan secara perlahan berpotensi melenyapkan.
Strategi yang bisa dijalankan adalah revitalisasi identitas kultural Indonesia melalui
pembangunan jati diri bangsa untuk memperkokoh identitas kebangsaan. Dalam menerapkan
implementasi strategi ini, negara memegang peran penting karena bagaimanapun negara tetap
menjadi aktor utama. Negara harus menyediakan perangkat yang memediasi pertemuan
antaridentitas agar identitas asing tidak langsung masuk dalam kehidupan masyarakat.
Perangkat itu berupa kurikulum pendidikan yang sejak dini mengajarkan siswa tentang nilai-
nilai identitas kultural khas Indonesia serta arti penting mempertahankannya dari
homogenisasi globalisasi dan regulasi yang melindungi kelestarian identitas nasional.

Anda mungkin juga menyukai