NIM : 043461085
Masalah investasi
Potensi dampak investasi di Indonesia bisa mencapai triliunan rupiah. Institute for
Development of Economics and Finance (INDEF) memprediksi, ada potensi kehilangan nilai
investasi sebesar Rp127 triliun akibat merebaknya COVID-19. Hal ini bukan tanpa alasan,
mengingat salah satu faktor penyebabnya adalah prospek kegiatan dan pertumbuhan
ekonomi yang semakin hari kian tertekan.
Hal ini dikuatkan oleh pemerintah yang menyatakan bahwa setiap ada penurunan nilai
ekonomi RRT 1% maka akan memberikan dampak penurunan pada ekonomi Indonesia
sebesar 0,3%. Melihat situasi yang terus berkembang, bukan tidak mungkin ekonomi RRT
bisa merosot sampai pada level 5% pada 2020.
Ida Fauziah, Menteri Ketenagakerjaan, memaparkan bahwa salah satu target industri yang
paling merasakan dampak dari COVID-19 adalah sektor pariwisata. Hal ini terutama
disebabkan oleh kebijakan Indonesia dan negara lain yang menutup akses bandara dari
penerbangan internasional yang membuat jumlah kunjungan turis ke Indonesia anjlok.
Badan Pusat Statistik mencatat, terdapat penurunan sebesar 7,62% pada kunjungan
wisatawan mancanegara di bulan Januari 2020, periode saat COVID-19 mulai merebak di
dunia. Akibatnya, menurut Kementerian Ketenagakerjaan, tidak sedikit pemilik hotel di Bali
dan Batam yang terpaksa merumahkan karyawan mereka.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga memprediksi, pandemi Corona akan membuat
lebih dari 20 juta orang di dunia kehilangan pekerjaannya. Hal ini setara dengan kondisi
pada krisis keuangan global yang terjadi pada rentang 2008-2009, yang mana jumlah
pengangguran level dunia mencapai 22 juta orang.
Masalah ekspor impor
Perkembangan ekspor-impor Indonesia terus mengalami pemburukan di tengah pandemi
Corona atau COVID-19. Kepala BPS Suhariyanto menyatakan capaian ekspor pada Mei
2020 ini adalah yang terendah sejak 2016, sementara posisi impor terburuk sejak tahun
2009. Ekspor pada Mei 2020 tercatat melanjutkan penurunannya dengan kisaran 13,40%
month to month (mtom) dan 28,95% year on year (yoy). Sementara impor turun lagi lebih
dalam dengan kisaran 32,65% mtom dan 42,20% yoy. Ekspor Januari 2020 tercatat 13,63
miliar dolar AS. Sempat naik pada Februari-Maret 2020 menjadi 14 miliar dolar AS, lalu
turun lagi di April menjadi 12,16 miliar dolar AS dan terus memburuk pada Mei 2020 menjadi
10,53 miliar dolar AS.
Sementara impor Januari 2020 tercatat 14,27 miliar dolar AS. Angka ini turun tipis pada
Maret 2020 menjadi 13,35 miliar dolar AS. Pada April 2020 angkanya terus menurun
menjadi 12,54 miliar dolar AS dan 8,44 miliar dolar AS pada Mei 2020. Gara-gara capaian
ini, surplus 2,09 miliar dolar AS pada Mei 2020 bukan kabar menggembirakan. Bahkan
Suhariyanto mengingatkan agar berhati-hati menyikapinya lantaran menjadi pertanda buruk
bagi pertumbuhan ekonomi kuartal II (Q2) dan kinerja industri Indonesia.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap
menjelaskan tren ini menunjukkan ekspor-impor melambat. Meski sebagian negara sudah
membuka aktivitasnya, tapi permintaan tak terkerek. Deretan komoditas ekspor terbesar
seperti Crude Palm Oil (CPO) dan batu bara kompak mengalami penurunan. BPS mencatat
Mei 2020 ekspor golongan minyak nabati dan bahan bakar mineral masing-masing turun
199,7 miliar dolar AS dan 225 miliar dolar AS mtom. Faktor pertama, Manap menilai ada
potensi industri di luar negeri masih memiliki stok usai aktivitas berhenti. Faktor kedua,
aktivitas ekonomi di negara tujuan masih rendah baik produksi maupun konsumsi. National
Bureau of Statistics of China menyatakan Purchasing Managers Index (PMI) mereka Mei
2020 turun lagi menjadi 50,6 padahal sempat membaik di 52 pada Maret 2020 yang berarti
ekspansi industri melambat. Indikator harga produsen dan konsumen di Cina juga terus
turun yang menjadi sinyal adanya peningkatan jumlah barang, tapi banyak tak terserap
sehingga menjadi deflasi. Efek tersebut pun terasa sampai Indonesia. Menurut BPS, Cina
menguasai 17,04% pangsa ekspor dan 28,13% impor non-migas.
Kinerja Perekonomian
Seperti diketahui, pandemi Covid-19 telah menekan kondisi perekonomian di banyak negara
di dunia, tak terkecuali Indonesia. Pemerintah memperkirakan, pada kuartal IV-2020
pertumbuhan ekonomi masih akan minus di kisaran 2,9 persen hingga 0,9 persen. Perkiraan
tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan proyeksi-proyeksi yang sebelumnya
diberikan, yakni kinerja perekonomian akan kian mendekati 0 persen dan ke arah positif.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, masih dalamnya batas bawah
proyeksi tersebut terjadi lantaran konsumsi masyarakat atau konsumsi rumah tangga yang
masih akan tertekan di akhir tahun. Ia memperkirakan konsumsi rumah tangga pada kuartal
IV di proyeksi masih tertekan di kisaran minus 3,6 persen hingga minus 2,6 persen. Dengan
demikian, dalam tiga kuartal di tahun 2020, kinerja perekonomian akan mengalami minus
secara berturut-turut. Sebab, pada kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi tercatat minus
5,32 persen, serta di kuartal III, pertumbuhan ekonomi tercatat mengalami kontraksi -3,49
persen.
Sri Mulyani pun memperkirakan, untuk keseluruhan tahun 2020, pertumbuhan ekonomi
bakal mengalami minus 2,2 persen hingga 1,7 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah bila
dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya di mana pertumbuhan ekonomi di perkirakan
minus 1,7 persen dan masih bisa tumbuh positif di kisaran 0,6 persen. Pasalnya, hingga
akhir tahun Sri Mulyani memperkirakan konsumsi rumah tangga bakal minus 2,7 persen
hingga minus 2,4 persen. Sementara itu indikator lain seperti konsumsi pemerintah juga
masih minus di kisaran minus 0,3 persen hingga 0,3 persen positif hingga akhir tahun.
Sedangkan untuk investasi bakal terkontraksi hingga 4 persen keseluruhan tahun. Proyeksi
pemerintah tersebut pun sejalan dengan proyeksi beberapa lembaga multilateral dunia.
Bank Dunia misalnya, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2020 ini
sebesar 2,2 persen. Sementara untuk Dana Moneter Internasional (IMF), memperkirakan
pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 mengalami kontraksi 1,5 persen dan Bank
Pembangunan Asia (ADB) memproyeksi pertumbuhan ekonomi RI di 2020 minus 2,2
persen.
Referensi :
Surhayono, Niam Sovie. (2020). Sistem Ekonomi Indonesia. Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka
Nvita, Yeni. (2018). Pengaruh Globalisasi terhapad Keberlanjutan Lingkungan. http://yeny-
novita-ambarsari-fisip16.web.unair.ac.id/artikel_detail-220474-Globalisasi%20dan
%20Strategi%20(SOH%20306)-Pengaruh%20Globalisasi%20terhadap%20Keberlanjutan
%20Isu%20Lingkungan%20%20Week%207.html diakses pada tanggal 26 April pukul 20.15
Amri, Ulil. (2011). Globalisasi dan Dampaknya terhadap Lingkungan dan Keamanan
Manusia di Asia Pasifik: Kasus China dan Papua Nugini1. Jurnal Kajian Wilayah, Vol. 2, No.
1, 2011, Hal. 56-71.
(2014). Krisis Ekonomi Global.
https://kemlu.go.id/portal/i/read/98/halaman_list_lainnya/krisis-ekonomi-global diakses pada
tanggal 26 April 2021 pukul 20.30
Pane, Murty Magda (2021). PANDEMI COVID-19 DAN PERMASALAHAN SOSIAL.
https://binus.ac.id/character-building/2021/01/pandemi-covid-19-dan-permasalahan-sosial-1/
diakses pada tangal 26 April 2021 pukul 20.48