Anda di halaman 1dari 14

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala tipikal
(sesak napas, bengkak pergelangan kaki, dan kelelahan) yang dapat disertai
dengan tanda lain (seperti peningkatan tekanan vena jugular, ronkhi paru, dan
edema perifer) yang disebabkan oleh penurunan cardiac output atau peningkatan
tekanan intrakardiak saat istirahat ataupun saat aktivitas. Gagal jantung dapat
terjadi akut, yaitu perubahan yang cepat dari tanda dan gejala gagal jantung.
Kondisi ini mengancam kehidupan dan harus ditangani dengan segera.(11)

Terdapat 2 jenis gagal jantung akut, yaitu gagal jantung akut yang baru
terjadi pertama kali (de novo), dan gagal jantung dekompensasi akut (Acute
Decompensated Heart Failure/ADHF) yaitu perburukan kondisi yang ditandai
dengan memberatnya gejala gagal jantung yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba.
(8)

Gagal jantung dekompensata akut (Acute Decompensated Heart Failure)


adalah dekompensasi dari gagal jantung kronik yang sebelumnya stabil atau
manifestasi klinis gejala dan tanda kongesti serta perfusi organ yang buruk akibat
dari gagal jantung yang memerlukan terapi segera. ADHF ditandai dengan
abnormalitas hemodinamik dan aktivasi neurohormonal yang berkontribusi
terhadap gejala gagal jantung, disfungsi organ akhir, artimia, dan gagal jantung
progresif.(12)

3.2 Epidemiologi

Berdasarkan data April 2018 – Maret 2019 di Inggris, yang dirangkum


dalam National Heart Failure Audit (NHFA) 2020, terdapat 74.696 pasien
dengan diagnosis gagal jantung, dengan usia rata-rata 78 tahun. Jumlah ini
mengalami peningkatan sebesar 21% dibandingkan data tahun 2017 (58.885
kasus).(13)

Organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO)


menggambarkan bahwa meningkatnya jumlah penyakit gagal jantung di dunia,
termasuk Asia diakibatkan oleh meningkatnya angka perokok, tingkat obesitas,
dislipidemia, dan diabetes. Angka kejadian gagal jantung meningkat juga seiring
dengan bertambahnya usia. Menurut studi yang dilakukan Framingham, insiden
tahunan pada laki–laki dengan gagal jantung (per 1000 kejadian) meningkat dari
3 pada usia 50-59 tahun menjadi 27 pada usia 80–89 tahun, sementara wanita
memiliki insiden gagal jantung sepertiga kali lebih rendah dibanding pada laki–
laki.(11) Selain itu, risiko seumur hidup gagal jantung akut pada laki-laki adalah
sebesar 33%, sedangkan pada wanita sebesar 28%.(12)

Data angka kematian dari NHFA 2020, angka kematian pada pasien gagal
jantung dengan usia di atas 75 tahun tercatat lebih besar dari pada pasien dengan
usia kurang dari 75 tahun, yaitu sebesar 10,9% dibandingkan 5,4%.(13) Mayoritas
(80%) pasien yang dirawat di rumah sakit dengan penyakit gagal jantung hadir
sebagai dekompensasi akut HF Gagal Jantung Dekompensasi Akut. Berdasarkan
data tahun 2006 yang diwakili oleh 5 rumah sakit berbeda di kota yang berbeda,
rata-rata total rawat inap di rumah sakit adalah 7,1 hari, dengan total 3 hari berada
di ICCU. Total kematian di rumah sakit akibat ADHF adalah sebesar 6,5%.(14)

3.3 Etiologi

Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung. Penyebab


yang paling umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi kerusakan
atau hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan
vaskuler dengan hipertensi, atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi
(AF).(15) Penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab penyakit miokard,
menjadi penyebab gagal jantung pada 70% dari pasien gagal jantung. Penyakit
katup sekitar 10% dan kardiomiopati sebanyak 10%. Kardiomiopati merupakan
gangguan pada miokard dimana otot jantung secara struktur dan fungsionalnya
menjadi abnormal [dengan ketiadaan penyakit jantung koroner, hipertensi,
penyakit katup, atau penyakit jantung kongenital lainnya] yang berperan
terjadinya abormalitas miokard.(12)

3.4 Patofisiologi
Pada kondisi gagal jantung, jantung tidak mampu untuk memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan ataupun dapat menjalankan
fungsinya tetapi dengan tekanan pengisian yang lebih tinggi dari normal. Pada
kebanyakan kasus gagal jantung, jantung tidak dapat mengikuti ritme kebutuhan
dasar jaringan perifer. Pada beberapa kasus, gagal jantung terjadi akibat
peningkatan kebutuhan jaringan akan darah yang meningkat (high-output
failure). Pada definisi perlu dieksklusikan kondisi dimana cardiac output yang
tidak adekuat yang terjadi karena kehilangan darah maupun proses lain yang
menyebabkan penurunan pengembalian darah ke jantung.(16)

Secara mekanis, jantung yang gagal tidak dapat lagi memompakan darah
yang telah dikembalikan melaui sirkulasi vena. Cardiac output yang tidak
adekuat (forward failure) hampir selalu diikuti oleh peningkatan kongesti
sirkulasi vena (backward failure), dikarenakan kegagalan ventrikel untuk
mengejeksi darah vena yang diterimanya. Hal ini menyebabkan peningkatan
volume end-diastolic pada ventrikel, yang mengakibatkan peningkatan tekanan
end-diastolic, dan pada akhirnya meningkatkan tekanan vena.(16)

Sistem kardiovaskular dapat beradaptasi terhadap penurunan


kontraktilitas miokardium ataupun peningkatan kegagalan hemodinamik dengan
beberapa mekanisme, diantaranya adalah mekanisme Frank-Sterling, perubahan
neurohormonal, dan terjadinya hipertrofi ventrikel dan remodelling. Salah satu
yang paling penting adalah aktivasi sistem neurohumoral, terutama pelepasan
neurotransmitter norepinefrin oleh sistem saraf simpatis (peningkatan heart rate
dan kontraktilitas miokardium serta tahanan vaskuler), aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron, dan pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP), suatu
hormon polipeptida yang disekresi oleh atrium pada saat distensi atrium. ANP
menyebabkan vasodilatasi, natriuresis, dan diuresis yang akan membantu
pengaturan volume maupun tekanan.(16)

Mekanisme Frank-Sterling yaitu saat berjalannya kegagalan jantung,


tekanan end-diastolic akan meningkat, menyebabkan masing-masing serat otot
jantung teregang; kejadian ini secara bermakna meningkatkan volume ruang
jantung. Sesuai dengan hubungan Frank-Sterling, awalnya serat otot yang
memanjang ini akan berkontraksi dengan daya yang lebih, yang akan
menyebabkan peningkatan cardiac output. Jika ventrikel yang terdilatasi mampu
untuk mempertahankan cardiac output pada tingkatan yang dapat menyesuaikan
kebutuhan tubuh, pasien dikatakan memiliki compensated heart failure. Tetapi,
peningkatan dilatasi akan meningkatkan tegangan dinding ventrikel, yang
akan meningkatkan kebutuhan oksigen dari miokardium. Seiring berjalannya
waktu, miokardium yang mengalami kegagalan tidak lagi dapat memompakan
darah yang cukup untuk mencapai kebutuhan tubuh, walaupun saat istirahat. Pada
keadaan ini, pasien telah memasuki fase yang disebut decompensated heart
failure.(16)

Gambar 1. Mekanisme Kompensasi pada Gagal


Jantung

Pada awalnya, mekanisme adaptif di atas dapat mencukupi cardiac output


walaupun performa jantung mengalami penurunan. Dalam kondisi fungsi jantung
yang semakin memburuk, perubahan patologis tetap akan terjadi sehingga
mengakibatkan gangguan struktural dan fungsional; seperti misalnya perubahan
degeneratif yang meliputi apoptosis miosit, perubahan sitoskeletal, dan
perubahan sintesis dan remodelling matriks ekstraseluler. Kebutuhan oksigen dari
miokardium yang mengalami hipertrofi akan meningkat sebagai akibat dari
peningkatan massa sel miokardium dan peningkatan tekanan dari dinding
ventrikel. Karena kapiler miokardium tidak selalu meningkat sesuai dengan
peningkatan kebutuhan oksigen dari serat otot yang mengalami hipertrofi,
miokardium menjadi rentan mengalami kejadian iskemi.(16)
Gambar 2. Stimulasi neurohormonal sebagai kompensasi pada
gagal jantung

Gagal jantung dapat mempengaruhi salah satu sisi baik sisi kiri maupun
sisi kanan secara dominan, maupun kedua sisi dari jantung. Penyebab tersering
gagal jantung sisi kiri antara lain adalah Ischaemic Heart Disease (IHD),
hipertensi sistemik, penyakit katup mitral atau aorta, dan penyakit miokardium
primer. Penyebab tersering gagal jantung sisi kanan adalah kegagalan ventrikel
kiri, dengan asosiasi kongesti pulmoner dan peningkatan tekanan arteri pulmoner.
Gagal jantung sisi kanan juga dapat terjadi tanpa adanya gagal jantung sisi kiri
pada pasien dengan penyakit intrinsik pada parenkim paru ataupun vaskularisasi
pulmoner dan pada pasien dengan penyakit paru primer dan penyakit pada katup
trikuspid. Terkadang gagal jantung sisi kanan juga mengikuti kelainan jantung
kongenital.(16)

3.5 Klasifikasi

Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan gagal jantung,


klasifikasi bentuk gagal jantung akut dari The European Society of Cardiology
(ESC), klasifikasi New York Heart Association (NYHA) untuk menilai derajat
gangguan kapasitas fungsionalnya, klasifikasi Forrester yang lebih memfokuskan
pada keparahan mengenai presentasi klinis pada infark akut dari segi
hemodinamika.
 Klasifikasi menurut ESC

Klasifikasi gagal jantung menurut European Society of Cardiology (ESC)


dibagi menjadi 3 tipe yaitu:(12)
a. HFrEF (Heart Failure reduced Ejection Fraction) yaitu gagal jantung
dengan fraksi ejeksi < 40%
b. HFmrEF (Heart Failure mid-range Ejection Fraction) yaitu gagal jantung
dengan fraksi ejeksi rentang 40%-49%
c. HFpEF (Heart Failure preserved Ejection Fraction) yaitu gagal jantung
dengan fraksi ejeksi rentang > 50%.
 Klasifikasi NYHA

NYHA membagi gagal jantung berdasarkan tingkat aktivitas dan timbulnya


keluhan.(17)
Kelas I : penderita dengan kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas
fisik. Aktivitas sehari-hari tidak menimbulkan keluhan.
Kelas II : penderita dengan ke lainan jantung yang berakibat pembatasan
ringan aktivitas fisik sehari, merasa lebih baik saat istirahat.
Aktivitas sehari- hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dyspnea,
atau angina
Kelas III : penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan berat
pada aktivitas fisik. Merasa lebih baik saat istirahat. Aktivitas
yang kurang dari rutinitas sehari hari menimbulkan kelelahan,
palpitasi, dyspnea, atau angina
Kelas IV : penderita dengan kelainan jantung tidak mampu melakukan
aktivitas fisik apapun karena keluhan pun timbul saat istirahat.

 Klasifikasi Forrester
Gambar 3. Klasifikasi Forrester(17)

3.6 Manifestasi Klinis

Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, kongesti, dan kelelahan yang
sering tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala – gejala ini juga
dapat disebabkan oleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung,
komplikasi yang diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini. Variasi bentuk
penyakit pulmonal termasuk pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli
pulmonal, mungkin sangat sulit untuk dibedakan secara klinis dengan gagal

jantung.(18)
3.7 Diagnosis

1. Anamnesis
Pasien dengan gagal jantung umumnya datang di instalasi gawat darurat
dengan manifestasi klinis volume overload atau hipoperfusi atau keduanya.
Pasien yang datang dengan keluhan volume overload relatif mudah untuk
didiagnosis. Mereka umumnya memiliki tanda dan gejala kongesti paru (dispneu
saat melakukan kegiatan, Orthopnea, Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), dan
Ronchi). Sedangkan manifestasi cepat kenyang, mual dan muntah merupakan
akibat dari edema traktus gastrointestinal (GI).[15]

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang menyeluruh harus selalu dilakukan untuk
mengevaluasi pasien dengan gagal jantung. Tujuannya adalah untuk dapat
menentukan apa penyebab gagal jantung dan mengevaluasi beratnya sindroma
gagal jantung. Memperoleh informasi tambahan mengenai profil hemodinamik,
sebagai respon terhadap terapi dan menentukan prognosis adalah tujuan
tambahan saat pemeriksaan fisik.(19)

Pada pemeriksaan tanda-tanda vital, tekanan nadi bisa berkurang,


dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan tekanan diastolik arteri bisa
meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik. Sinus takikardi adalah gejala
non spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat.
Vasokontriksi perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan
sianosis dari bibir dan ujung jari juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang
berlebihan, waktu pengisian kapiler memanjang >2 detik.(20)

Pada saat pemeriksaan leher akan ditemukannya peningkatan tekanan vena


jugularis. Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal saat
istirahat, tapi dapat secara abnormal meningkat saat diberikan tekanan yang
cukup lama pada abdomen (refluk hepatojugular positif). Giant V wave
menandakan keberadaan regurgitasi katup tricuspid.(19,20)

Pada pemeriksaan paru akan ditemukan suara tambahan berupa ronkhi


basah halus yang terjadi akibat adanya transudasi cairan dari rongga intravaskular
ke dalam alveoli. Suara ronkhi biasanya dapat terdengar pada pasien dengan
edema paru, dimana ronkhi terdengar di kedua lapangan paru. Namun apabila
pada pasien tidak dijumpai kelainan pada paru, maka ronkhi tersebut mengarah
kepada gagal jantung. (19)

Pada saat dilakukan pemeriksaan jantung, pada beberapa pasien, bunyi


jantung ketiga dapat didengar dan teraba pada apex. [12][14] Bunyi jantung ketiga
(gallop) dapat ditemukan pada pasien dengan volume overload yang mengalami
takikardi dan takipnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik
yang berat.(19)

Pada pemeriksaan abdomen serta ekstremitas, ascites dapat timbul sebagai


akibat transudasi karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan sistem vena
yang berfungsi dalam drainase peritoneum.[16] Edema perifer juga sering dijumpai
karena edema perifer merupakan manisfestasi kardinal gagal jantung. Edema
perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris, beratnya tergantung pada
gagal jantung yang terjadi dan paling sering terjadi sekitar pergelangan kaki dan
daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas. Pada pasien yang telah
mendapatkan terapi diuretik kondisi edema perifer tidak dijumpai lagi.(19)

3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung
antara lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum &
kreatinine, GDs, CKMB, Troponin T, natriuretic peptide, dan analisa gas darah
pada kondisi yang berat. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien
dengan gagal jantung karena dapat mendeteksi anemia, gangguan elektrolit
(hipokalemia dan/atau hiponatremia), menilai fungsi ginjal dan hati, dan
mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan hemodinamik).(19) Pulse
oxymetry dibutuhkan untuk mengetahui saturasi oksigen dari pasien.

Pemeriksaan Biomarker BNP merupakan pemeriksaan yang sangat


disarankan untuk diperiksa pada semua pasien yang dicurigai gagal jantung untuk
menilai beratnya gangguan hemodinamik dan untuk menentukan prognosis.
Biomarker Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan BNP disekresikan sebagai
respon terhadap meningkatnya tekanan pada dinding jantung dan/atau
neurohormon yang bersirkulasi. Karena ANP memiliki waktu paruh yang pendek,
hanya NT-ANP yang secara klinis berguna. Untuk BNP, N-Terminal Pro-BNP
dan BNP memilik nilai klinis yang bermakna. Kadar ANP dan BNP meningkat
pada pasien dengan disfungsi sistolik, sementara disfungsi diastolik peningkatan
kadarnya lebih rendah.(16)

 Pemeriksaan Radiografi
Gambaran radiografi foto thorax normal tidak menyingkirkan diagnosis
gagal jantung. Sebanyak 40-50% pasien dengan tekanan arteri pada paru yang
tinggi memiliki gambaran foto thorax yang normal. Kongesti paru pada CXR
ditandai dengan adanya Kerley-lines, yaitu gambaran opak linear seperti garis
pada lobus bawah paru, yang timbul akibat meningkatnya kepadatan pada daerah
interlobular intersitial akibat adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular
terjadi pada dasar paru karena tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi.
Temuan tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien gagal jantung kronis, hal
ini dikarenakan pada gagal jantung kronis telah terjadi adaptasi sehingga
meningkatkan kemampuan sistem limfatik untuk membuang kelebihan cairan
interstitial dan/atau paru.(21)
 Elektrokardiogram (EKG)
Pada semua pasien yang dicurigai memiliki kelainan pada jantung harus
dilakukan pemeriksaan EKG, begitu juga pada pasien dengan gagal jantung. [9]
Dampak diagnostik EKG untuk gagal jantung cukup rendah, namun dampaknya
terhadap terapi cukup tinggi. Temuan seperti gelombang Q patologis, hipertrofi
ventrikel kiri dengan strain, right bundle branch block (RBBB), left
bundlebranch block (LBBB), AV blok, atau perubahan pada gelombang T pada
gagal jantung dapat ditemukan.(21)
 Echocardiography
Pemeriksaan echocardiography digunakan untuk menilai anatomi dan
fungsi jantung, miokardium dan perikadium, serta mengevaluasi gerakan dinding
jantung saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung.
Pemeriksaan ini bersifat non-invasif, dapat dilakukan secara cepat dan mudah
diulang di tempat rawat, serta memungkinkan penilaian fungsi global dan
regional ventrikel kiri. Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung
adalah penilaian Left-ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling
ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik. Echo dua dimensi sangat
berharga dalam menilai fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal
jantung.(21)

Kriteria Framingham dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis


gagal jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau (1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor). Kriteria minor tidak boleh berkaitan dengan
kondisi penyakit lain.(21) Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:(9)
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil
rontgen Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon
pengobatan gagal jantung

Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki
bilateral Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit

3.8 Tatalaksana

Terapi untuk pasien acute decompensated heart failure tidak


berubah secara signifikan selama 30 tahun. Algoritma terhadap acute
decompensated heart failure yang digunakan untuk mengevaluasi
diagnostik dan prognostik pasien dengan ADHF antara lain yaitu : (22,23)
1. Tirah Baring.
Kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, untuk gagal jantung
kongesti tahap akut dan sulit disembuhkan.
2. Pemberian diuretik
Pemberian terapi diuretik bertujuan untuk memacu ekskresi natrium dan air
melalui ginjal. Obat ini tidak diperlukan bila pasien bersedia merespon pembatasan
aktivitas, digitalis dan diet rendah natrium
3. Pemberian morphin
Untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi perifer, menurunkan aliran
balik vena dan kerja jantung, menghilangkan ansietas karena dispnea berat
4. Reduksi volume darah sirkulasi
Dengan metode plebotomi, yaitu suatu prosedur yang bermanfaat pada pasien
dengan edema pulmonal akut karena tindakan ini dengan segera memindahkan volume
darah dari sirkulasi sentral, menurunkan aliran balik vena dan tekanan pengisian serta
sebaliknya menciptakan masalah hemodinamik segera.
5. Terapi vasodilator
Obat-obat vasoaktif merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan gagal
jantung. Obat ini berfungsi untuk memperbaiki pengosongan ventrikel dan peningkatan
kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan dan dapat
dicapai penurunan dramatis kongesti paru dengan cepat
6. Inotropik positif
- Dopamin Pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang alphaadrenergik beta-
adrenergik dan reseptor dopamine ini mengakibatkan keluarnya katekolamin dari
sisi penyimpanan saraf. Memperbaiki kontraktilitas curah jantung dan isi sekuncup.
Dilatasi ginjal-serebral dan pembuluh koroner. Pada dosis maximal 10-20 mg/kg
BB akan menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja jantung.
- Dobutamin Merangsang hanya betha adrenergik. Dosis mirip dopamine
memperbaiki isi sekuncup, curah jantung dengan sedikit vasokonstriksi dan
tachicardi.
7. Dukungan diet (pembatasan natrium)
Pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengatur, atau mengurangi edema, seperti
pada hipertensiatau gagal jantung. Dalam menentukan ukuran sumber natrium harus spesifik dan
jumlahnya perlu diukur dalam milligram.
Gambar 4. Algoritma Tatalaksana Pasien Gagal Jantung Akut Berdasarkan Profil
Hemodinamik(11)

Anda mungkin juga menyukai