Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH HUKUM ADAT

SILARIANG DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT HUKUM


ADAT

Dosen Pengampu: Dr. Kunthi Tridewiyanti, SH., MA

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4:

1. WESYA ALFIANTO 3017210303


2. NASYRAH RAMADHANI NA MORA 3020210105
3. NAOMI DOMINIQUE HUTAHAEAN 3020210125
4. EKISYACH GAIZKA MAHDAVIKIA 3020210130
5. GAGAS PURYA DINATA 3020210131
6. LULA KAMELIAF 3020210137

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PANCASILA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya dan juga
kami ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada dosen pengampu kami Dr. Kunthi
Tridewiyanti, SH., MA sehingga makalah “Silariang dalam Perspektif Masyarakat Hukum Adat”
dapat tersusun dengan baik dan sampai selesai. Kami sebagai penulis sangat berharap semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Kami sebagai
penyusun makalah ini merasa bahwa masih ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini
dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Maka dari itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah
ini.

Jakarta, 14 Desember 2021

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................3
1.1Latar Belakang........................................................................................................................3
1.2Identifikasi Masalah................................................................................................................3
1.3Rumusan Masalah...................................................................................................................4
1.4Tujuan Penelitian....................................................................................................................4
1.5Metode Penulisan....................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................5
2.1Pengertian Masyarakat Hukum Adat......................................................................................5
2.2Susunan Masyarakat Hukum Adat..........................................................................................6
2.3Bentuk-bentuk Masyarakat Hukum Adat.............................................................................10
2.4Analisis Kasus Silariang.......................................................................................................13
2.5Relevansi Kasus Silariang dengan Masyarakat Hukum Adat...............................................15
BAB III PENUTUP......................................................................................................................15
3.1Kesimpulan...........................................................................................................................15
3.2Saran......................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sebagai Negara kepulauan yang merupakan suatu gugusan terpanjang dan
terbesar di dunia yang senantiasa kaya dengan budaya dan masyarakat majemuk yang terdiri
dari berbagai suku (etnik),berbagai agama dan kepercayaan yang dianut oleh anggota
masyarakat. Hampir setiap suku bangsa memiliki bahasa daerah dan adat istiadat yang
berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu tepat sekali keanekaragaman dan kemajemukan
budaya yang ada menjadi motto yang melekat pada bangsa Indonesia sendiri yaitu Bhineka
Tunggal Ika.

Masyarakat Hukum Adat di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari perjalanan panjang sejarah perkembangan hukum di Indonesia. Secara historis,
Masyarakat Hukum Adat sudah ada, hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia sejak masa
kerajaan, penjajahan Belanda dan pada masa kemerdekaan Indonesia. Campur tangan oleh
pemerintah kerajaan, penjajah dan pemerintah Indonesia terus berubah sesuai dengan
perkembangan ketatanegaraan. Bentuk konkrit campur tangan ketatanegaraan saat ini dapat
terlihat dari dimuatnya jaminan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Menurut Maria SW Sumardjono, beberapa ciri pokok masyarakat hukum adat adalah
mereka merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari
kekayaan perorangan, mempunyai batas wilayah tertentu dan mempunyai kewenangan
tertentu.

1.2 Identifikasi Masalah


Melihat semua hal yang melatar belakangi penerapan dari Saur Matua adat Batak, kami
menarik beberapa point-point di dalamnya yaitu :
1. Masyarakat Hukum Adat
2. Pengertian Saur Matua

3
3. Kasus Analisis Saur Matua

1.3 Rumusan Masalah


Atas dasar penentuan latar belakang dan identifikasi masalah diatas, maka saya dapat
mengambil perumusan masalah sebagai berikut: “Apa itu Masyarakat Hukum Adat?” dan
“Apa saja Penjelasan, Unsur-Unsur dan Akibat mengenai Silariang?”

1.4 Tujuan Penelitian

1. Penulisan makalah ini dilakukan untuk dapat memenuhi tujuan-tujuan yang dapat
bermanfaat bagi kelompok dalam pemahaman Silariang dan guna memenuhi tugas
yang diberikan oleh dosen.
2. Memberikan sumbangan pemikiranbagi disiplin ilmu khususnya hukum adat

3. Sebagai bahan acuan bagi penelitian lain yang tertarik untuk melakukan penelitian
sejenis secara mendalam

1.5 Metode Penulisan


Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis mempergunakan teknik
studi kepustakaan atau studi pustaka. Tidak hanya itu, kelompok kami juga mencari bahan
dan sumber-sumber dari media massa elektronik yang berjangkauan nasional yaitu, Bahan
Ajar dosen Hukum Adat (C) dan juga Internet.
BAB II
PEMBAHASAN

.1 Pengertian Masyarakat Hukum Adat


Hukum adat memandang masyarakat sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia
memandang sesamanya manusia sebagai tujuan bersama. Sistem kehidupan bersama
menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan
yang lainnya. Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan masyarakat memiliki arti
ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society. Bisa dikatakan
bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial.
Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi,
sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.

Beberapa pakar Hukum Adat mencoba mendeskripsikan masyarakat hukum adat.


Diantaranya adalah Ter Haar dan Soepomo, yang mendeskripsikan sebagai berikut:

1) Ten Haar
Mengemukakan bahwa masyarakat hukum adat adalah kesatuan manusia yang teratur,
menetap disuatu daerah tertentu,mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai
kekayaan, yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-
masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat
alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya,
dalam melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.

2) Soepomo
Dalam mendeskripsikan masyarakat hukum adat/persekutuan hukum adat, menyatakan
bahwa persekutuan hukum di Indonesia dapat dibagi menjadi dua golongan, menurut
dasar susunannya, yaitu yang berdasar pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang
mendasar lengkungan daerah (teritorial).
3) Hazairin
Memberikan uraian mengenai masyarakat hukum adat sebagai berikut: masyarakat-
masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, adalah
kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk
sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak
bersama atas tanah dan air bagi semua anggota. Bentuk hukum kekeluargaannya
(patrilineal, matrilineal atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama
berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil
air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan,
semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri
komunal dimana gotong- royong, tolong-menolong, serasa dan semua mempunyai peran
yang besar.

Berdasarkan para pakar hukum adat tersebut diatas maka dapat dirumuskan kriteria hukum
adat sebagai berikut :

1) Terdapat masyarakat yang teratur;


2) Menempati suatu tempat tertentu;
3) Ada kelembagaannya;
4) Memiliki kekayaan bersama;
5) Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan atau berdasarkan lingkungan
daerah;
6) Hidup secara komunal

.2 Susunan Masyarakat Hukum Adat


Masyarakat hukum merupakan faktor penting untuk menentukan susunan hukum adat. Ada
dua penggolongan struktur masyarakat hukum adat, yaitu:

1. Masyarakat hukum adat yang strukturnya berdasarkan asas keturunan (azas


genealogis)
Masyarakat hukum adat yang strukturnya berdasarkan asas keturunan ialah masyarakat
hukum adat yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan
kepercayaan bahwa mereka semua berasal satu keturunan yang sama. Artinya, seseorang
menjadi anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan karena ia menjadi atau
menganggap diri keturunan dari seorang bapak asal (nenek moyang dari laki-laki), tunggal
melalui garis keturunan laki-laki atau dari seorang ibu asal (nenek moyang dari perempuan),
tunggal melalui garis keturunan perempuan, sehingga menjadi semua anggota-anggota
masyarakat tersebut sebagai satu kesatuan dan tunduk pada peraturan-peraturan hukum adat
yang sama.

Dalam masyarakat hukum adat yang ditentukan berdasarkan keturunan, terdapat (empat)
macam pertalian keturunan, yaitu:

1) Struktur masyarakat Patrilineal, yaitu susunan masyarakat yang menarik garis ketu
runan dalam hubungan diri dengan orang lain melalui garis laki-laki. Contoh,
perkawinan jujur dan ciri-ciri perkawinan jujur adalah eksogami dan patrilokal.
Eksogami adalah perkawinan jujur yang ideal jika jodoh diambil dari luar marga
sendiri. Patrilokal adalah tempat tinggal bersama yang ideal ditempat tinggal suami.
Contoh perkawinan jujur di dalam masyarakat Gayo, Batak, Bali, Ambon
2) Struktur masyarakat Matrilineal, yaitu struktur masyarakat yang menarik garis
keturunan dengan menggabungkan diri dengan orang lain melalui garis perempuan.
Contoh, perkawinan semendo dan ciri-ciri perkawinan semendo adalah endogami dan
matrilokal. Endogami adalah perkawinan yang ideal jika jodoh diambil dalam
kalangan suku sendiri. Matrilokal adalah tempat tinggal bersama yang ideal di tempat
tinggal istri. Contoh masyarakat perkawinan semendo adalah Minangkabau, Kerinci.
3) Struktur masyarakat Patrilineal Beralih-alih, yaitu struktur masyarakat yang menarik
garis keturunan secara bergiliran atau berganti-ganti sesuai dengan bentuk
perkawinan yang dialami oleh orang tua, yaitu bergiliran kawin jujur, kawin semendo
maupun kawin semendorajo-rajo. Contoh pertalian keturunan demikian terdapat
dalam masyarakat Rejang Lebong, Lampung Pepadun.
4) Struktur masyarakat Parental/Bilateral, yaitu pertalian keturunan yang ditarik secara
garis keturunan melalui garis ayah maupun garis ibu. Pada masyarakat terstruktur
secara bilateral tidak ada perkawinan khusus, begitu juga dengan tempat tinggal
dalam perkawinan tidak ditentukan dengan jelas. Contoh masyarakat
bilateral/Parental dalam masyarakat Aceh, Jawa, Sunda, Makassar.

2. Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial (menurut asas asal
daerah)

Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial yaitu masyarakat hukum adat
yang disusun berasaskan lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para
anggotanya merasa bersatu dan bersama- sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Oleh karena itu, merasa ada ikatan antara mereka masing-masing dengan
tanah tempat tinggal mereka. Landasan yang mempersatukan para anggota masyarakat
hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial adalah ikatan antara orang yang anggota
masing-masing masyarakat tersebut dengan tanah yang didiami sejak kelahirannnya, yang
didiami oleh orang tuanya, yang didiami oleh neneknya, yang dialami oleh nenek
moyangnya, secara turun-temurun ikatan dengan tanah menjadi inti asas teritorial.

Meninggalkan tempat tinggal bersama, lingkungan daerah untuk sementara waktu,


tidaklah membawa hilangnya keangotaan masyarakat. Sebaliknya, orang asing (orang yang
berasal dan datang dari luar lingkungan-daerah) tidak dengan begitu saja diterima dan
diangkat menurut hukum adat menjadi anggota masyarakat hukum adat. Mereka akan
menjadi teman segolongan, teman hidup sedesa, seraya mempunyai hak dan kewajiban
sebagai anggota sepenuhnya (misalnya, berhak ikut-serta dalam rukun desa). Supaya dapat
menjadi anggota penuh masyarakat hukum adat, maka orang asing berstatus sebagai
pendatang. Di dalam kehidupan nyata sehari-hari di desa, perbedaan antara penduduk inti dan
pendatang kelihatan dengan terang, biarpun dalam suasana desa yang sudah modern.
Perbedaan tersebut makin lama makin lenyap sesuai dengan keadaan sosial struktur desa.

Ada (tiga) jenis masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial:

1) Masyarakat hukum desa

Masyarakat hukum desa adalah segolongan atau sekumpulan orang yang hidup
bersama berazaskan pandangan hidup, cara hidup dan sistim kepercayaan yang sama,
yang menetap pada suatu tempat kediaman bersama, merupakan satu kesatuan tata
susunan yang tertentu, baik keluar maupun kedalam. Masyarakat hukum desa tersebut
melingkupi pula kesatuan-kesatuan yang kecil yang terletak di luar wilayah desa yang
sebenarnya, yang lazim disebut teratak atau dukuh. Akan tetapi, mereka tunduk pada
penjabat kekuasaan desa dan juga sebagai pusat kediaman, contohnya, desa-desa di Jawa
dan Bali.

2) Masyarakat hukum wilayah (persekutuan desa)

Masyarakat hukum wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang teritorial yang
melingkupi beberapa masyarakat hukum desa yang masing-masingnya tetap merupakan
kesatuan-kesatuan yang berdiri tersendiri. Masyarakat hukum desa yang tergabung dalam
masyarakat hukum wilayah itu masing-masing mempunyai tata susunan dan pengurus
sendiri-sendiri, namun masih juga masyarakat hukum wilayah tersebut merupakan bagian
yang tak terpisah dari keseluruhan, yaitu merupakan bagian yang tak terpisah dari
masyarakat, hukum wilayah sebagai kesatuan sosial teritorial yang lebih tinggi. Oleh
karena itu, masyarakat hukum wilayah itu merupakan masyarakat hukum bawahan yang
juga memiliki harta benda, menguasai hutan dan rimba yang terletak di antara masing-
masing kesatuan yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah dan tanah. Harta
benda tersebut baik yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah dan tanah, yang
ditanami maupun yang ditinggalkan atau yang belum dikerjakan. Contohnya, Kuria di
Angkola dan Mandailing, Kuria sebagai masyarakat hukum wilayah melingkupi beberapa
Huta, Marga di Sumatera Selatan, Marga sebagai masyarakat hukum wilayah melingkupi
beberapa dusun.Desa merupakan suatu masyarakat hukum adat yang disebut
Gemeinschaft, dan berbeda dengan kampung yang merupakan suatu Gesellschaft.
Kampung di kota-kota besar itu bukanlah masyarakat hukum, karena tidak mempunyai
tata susunan yang wajar, dan di antara penduduk-penduduk kampung tidak ada ikatan
batin.

3) Masyarakat hukum serikat desa (perserikatan desa)

Masyarakat hukum serikat desa adalah suatu kesatuan sosial yang teritorial, yang
selalu dibentuk atas dasar kerjasama diberbagai-bagai lapangan demi kepentingan
bersama masyarakat hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa
tersebut. Kerjasama tersebut dimungkinkan karena secara kebetulan berdekatan letaknya
masyarakat hukum desa yang bersama-sama membentuk masyarakat hukum serikat desa.
Masyarakat hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu secara
kebetulan, masih juga kerjasama tersebut bersifat tradisional. Dalam menjalankan
kerjasama, mempunyai pengurus bersama, yang biasanya, yaitu:

 Mengurus pengairan,
 Menyelesaikan perkara-perkara delik adat,
 Mengurus hal-hal yang bersangkut paut dengan keamanan bersama, dan kadang-
kadang kerjasama ini diadakan karena ada keturunan yang sama. Contohnya,
portahian (perserikatan huta-huta) di Tapanuli.

Berdasarkan tiga jenis masyarakat hukum adat teritorial tersebut di atas, maka yang
merupakan pusat pergaulan sehari-hari adalah desa, huta dan dusun. Hal ini ditinjau dari
baik segi organisasi sosial maupun dari perasaaan perikatan yang bersifat tradisional.
Segala aktifitas masyarakat hukum desa dipusatkan dalam tangan kepala desa, yang
menjadi bapak masyarakat desa dan yang dianggap mengetahui segala peraturan-
peraturan adat dan hukum adat masyarakat hukum adat yang dipimpinnya, sehingga
kepala desa adalah juga kepala adat.

.3 Bentuk-bentuk Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat di Indonesia tersusun atas dua faktor dominan, yakni faktor
genealogis dan teritorial. Pada mulanya faktor genealogis mempunyai dominasi yang sangat kuat
terhadap pembentukan suatu masyarakat hukum adat, disebabkan oleh hubungan daerah antara
satu dengan lainnya di antara mereka terikat dan terbentuk dalam satu ikatan yang kokoh. Tetapi
karena semakin meluasnya hubungan antar suku bangsa maka dominasi faktor genealogis sedikit
demi sedikit mulai tergeser oleh faktor teritorial.

Berdasarkan dua faktor tersebut dapat dibedakan 3 (tiga) bentuk masyarakat hukum adat yaitu:

1. Masyarakat hukum adat genealogis


Masyarakat hukum genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat di mana para
anggotanya terikat oleh suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur baik secara
langsung karena hubungan darah atau tidak langsung karena pertalian perkawinan atau
pertalian adat. Pada jenis masyarakat hukum genealogis pengikat anggota persekutuan adalah
kesamaan keturunan dalam arti semua anggota dari persekutuan terikat dan mempunyai
ikatan yang kuat karena mereka berasal dari satu nenek moyang yang satu atau sama.

Masyarakat hukum genealogis ini dibedakan dalam 3 (tiga) macam pertalian keturunan,
yaitu :

A. Masyarakat hukum menurut garis laki-laki (patrilineal), yaitu masyarakat yang


susunannya ditarik menurut garis keturunan bapak (garis laki-laki). Setiap anggota
merasa dirinya sebagai keturunan dari seorang laki-laki asal. Bentuk masyarakat ini
terdapat dalam masyarakat Batak, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku,
dan Irian.
B. Masyarakat hukum menurut garis perempuan (matrilineal), yaitu masyarakat yang
tersusun berdasarkan garis keturunan ibu (garis wanita). Setiap anggota merasa
dirinya sebagai keturunan dari seorang ibu asal. Bentuk masyarakat semacam ini
terdapat pada masyarakat Minangkabau, Kerinci, Semendo di Sumatera Selatan, dan
beberapa suku di Timor.
C. Masyarakat hukum menurut garis ibu dan bapak (bilateral/parental), adalah
masyarakat yang tersusun berdasarkan garis keturunan orang tua, yaitu bapak dan ibu
secara bersama-sama. Bentuk masyarakat seperti ini terdapat di masyarakat hukum
adat orang Bugis, Dayak, dan Jawa. Bilateral artinya dua pihak, yaitu pihak ibu dan
pihak ayah.

2. Masyarakat hukum adat teritorial


Masyarakat hukum teritorial adalah masyarakat hukum yang anggota-anggota
masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi
maupun dalam kaitan rohani. Terdapat ikatan yang kuat sebagai pengikat di antara
anggotanya karena mereka merasa dilahirkan dan menjalani kehidupan bersama serta tumbuh
dan berkembang di tempat yang sama.
Masyarakat hukum teritorial dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yatu sebagai :

A. Masyarakat hukum/persekutuan desa, adalah sebagaimana desa dijumpai di Jawa,


merupakan suatu tempat kediaman bersama di dalam daerahnya sendiri termasuk
beberapa persekutuan yang terletak di sekitarnya yang tunduk pada perangkat desa
yang berkediaman di pusat desa. Jadi warga terikat pada suatu tempat tinggal yang
meliputi desa-desa/perkampungan yang jauh dari pusat kediaman di mana pemimpin
desa bertempat tinggal dan semua tunduk pada pimpinan tersebut. Contohnya, desa di
Jawa dan di Bali. Desa di Jawa merupakan persekutuan hukum yang mempunyai tata
susunan tetap, mempunyai pengurus, mempunyai wilayah, dan harta benda, bertindak
sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar dan tidak mungkin desa itu dibubarkan.
B. Masyarakat hukum/persekutuan daerah, adalah kesatuan dari beberapa tempat
kediaman yang masing-masing mempunyai pimpinan sendiri dan sederajat, tetapi
kediaman itu merupakan bagian dari satu kesatuan yang lebih besar. Bentuk seperti
ini, misalnya kesatuan nagari di Minangkabau, marga di Sumatera Selatan dan
Lampung, dan kuria di Tapanuli. Desa di Jawa terdiri dari bagian-bagian yaitu dusun
dan tiap dusun mempunyai pimpinan. Kuria di Tapanuli merupakan kesatuan dan
bagian-bagian yang disebut huta. Huta mempunyai pemimpin sendiri.
C. Masyarakat hukum/perserikatan desa, adalah apabila di antara beberapa desa atau
marga yang terletak berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri mengadakan
perjanjian kerja sama, misalnya kepentingan mengatur pemerintahan adat bersama,
kehidupan ekonomi, pertanian, dan pemasaran. Beberapa desa bergabung dan
mengadakan permufakatan untuk melakukan kerja sama untuk kepentingan bersama.
Untuk itu dibentuk suatu badan pengurus yang terdiri dari pengurus desa, seperti
subak di Bali.

3. Masyarakat hukum genealogis-teritorial


Timbulnya masyarakat genealogis-teritorial disebabkan bahwa dalam kenyataannya
tidak ada kehidupan tidak tergantung dari tanah, tempat ia dilahirkan, mengusahakan
hidup, tempat kediaman, dan mati. Masyarakat genealogis-teritorial adalah kesatuan
masyarakat dimana para anggotanya tidak saja terikat pada tempat kediaman, tetapi juga
terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau
kekerabatan.Bentuk masyarakat ini terdapat pada masyarakat kuria dengan huta-huta di
lingkungan masyarakat Tapanuli Selatan (Angkola, Mandailing), umi (Mentawai), euri
(Nias), nagari (Minangkabau), Marga dengan dusun-dusun di Sumatera Selatan, dan
marga dengan tiyuh-tiyuh di Lampung.

.4 Analisis Kasus Silariang


Pernikahan adalah suatu hubungan antara pria dan wanita yang sudah cukup umur, yang
dapat melakukan perbuatan hukum (dewasa), sehat jasmani maupun rohani. H. J. Friedrecy
berpendapat bahwa masyarakat Bugis-Makassar terbagi atas tiga golongan, yaitu bangsawan
murni, golongan merdeka, dan golongan budak. Selanjutnya dijelaskan bahwa golongan budak
tidak dapat dimasukkan dalam ke dua golongan lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan
bahwa ke tiga sumber perbudakan, yaitu perang, perampasan manusia, dan hukuman atas
pelanggaran yang telah dilakukan muncul kemudian. Tambahan lagi bahwa golongan budak
tidak mempunyak hak-hak dan kewajiban seperti yang dipunyai oleh golongan sosial lainnya.

Masyarakat adat Makassar merupakan salah satu masyarakat adat di Sulawesi Selatan, Makassar
menganggap bahwa tempat yang mereka tinggali merupakan warisan dari leluhur sehingga harus
dijaga dengan baik.

Kawasan adat makassar perempuan sangat dihormati. Hal tersebut terlihat dari kehidupan sehari-
hari, kaum laki-laki tidak boleh mendekati sumur apabila perempuan sedang mandi. Kaum laki-
laki diperbolehkan beraktivitas di sumur apabila kaum perempuan telah menyelesaikan
aktivitasnya dan pulang ke rumah. Apabila ada yang melanggar maka akan mendapatkan sanksi
adat berupa denda sebab pelanggaran tersebut termasuk dalam pelanggaran asusila bahkan
nyawa bisa menjadi taruhannya.

Perbedaan tingkatan derajat menurut keturunan, merupakan rintangan besar bagi seorang
laki-laki untuk kawin dengan perempuan dari golongan tingkatan lebih tinggi. Pengaruh adanya
rintangan ini yang menyebabkan, sehingga pemuda dari golongan lebih rendah, akan
mendapatkan perempuan dari keturunan lebih tinggi, tidak mungkin dapat mengawini melalui
jalan yang dapat diterima oleh masyarakat. Satu-satunya jalan ialah dengan kawin lari yang dapat
menimbulkan siri’ dipihak keluarga/perempuan.
Bertling mengemukakan bahwa, beberapa peristiwa yang menyebabkan terjadinya kawin
Silariang, yaitu:

1. Menentang kawin paksa, yang datangnya dari orang tua/ saudara laki-laki dan
keluarganya.

2. Tidak mampu membayar mas kawin yang terlalu tinggi.

3. Ada perbedaan status/derajat menurut keturunannya.

Silariang atau kawin lari tidak hanya dikenal oleh suku Makassar. Suku lainnya pun di
Indonesia pun mengenalnya. Hanya saja yang membedakan adalah sanksi adat yang diterapkan
pada kedua pelaku silariang. Kalau pada suku lainnya, biasanya sanksi tidak begitu berat, tetapi
pada suku Makassar, biasanya berakhir dengan pembunuhan terhadap pelaku.

Kawin silariang ini biasanya terjadi karena salah satu pihak keluarga tak menyetujui
hubungan asmara dari kedua pasangan ini. Mungkin karena perbedaan strata sosial, atau karena
perempuan yang menjadi kekasihnya itu hamil di luar nikah, sehingga mereka mengambil jalan
pintas, yakni melalukan silariang. Walaupun kedua pasangan silariang ini menyadari, bahwa
tindakan silariang ini penuh resiko, tetapi inilah jalan yang terbaik baginya untuk membina
rumah tangga dengan kekasihnya kelak.

Untuk mengetahui secara jelas apa arti silariang ini, akan ditulis beberapa pendapat para
pakar budaya baik dalam maupun luar negeri:

1. Dr. T.H. Chabot mengatakan, perkawinan silariang adalah apabila perempuan dengan
laki-laki setelah lari bersama-sama.

2. Bertling berpendapat bahwa silariang adalah apabila gadis atau perempuan dengan
pemuda atau laki-laki setelah lari bersama atas kehendak bersama.

3. Mr. Moh Natsir Said berpendapat, silariang adalah perkawinan yang dilangsungkan
setelah pemuda atau laki-laki dengan gadis atau perempuan lari bersama-sama atas kehendak
sendiri-sendiri.

Silariang berarti berbuat salah, dalam hal ini berbuat salah terhadap adat perkawinan yang
diwujudkan dengan kawin lari. Dengan peristiwa ini maka timbullah ketegangan dalam
masyarakat, terutama keluarga gadis yang lari atau dibawa lari. Pihak keluarga gadis menderita
siri sehingga to masiri berkewajiban appaenteng siri keluarganya dengan membunuh lelaki yang
melarikan gadisnya, kecuali bila lelaki tadi telah berada dalam rumah atau pekarangan anggota
adat atau pemuka masyarakat atau setidaktidaknya telah sempat membuang penutup kepalanya
ke dalam pekarangan rumah anggota adat tersebut yang berarti ia sudah ada dalam perlindungan,
maka ia tak dapat diganggu lagi, begitu pula kalau ia sedang bekerja di kebun, di ladang atau di
sawahnya. Sebab umum dari pada peristiwa silariang ialah karena yang bersangkutan tidak dapat
melakukan syarat-syarat terlaksananya perkawinan adat. Dan adapun jalan keluarnya ialah
berusaha melakukan perkawinan di luar tata cara perkawinan adat dengan jalan silariang. Bila to
mannyala tadi telah berada di rumah salah satu pemuka masyarakat dalam hal ini imam atau
kadhi maka menjadi kewajiban baginya untuk segera menikahkan tu-manyala. Sebagai langkah
pertama dihubungilah orang tua gadis (to masirik) untuk diminta persetujuannya agar anak
gadisnya dapat dikawinkan. Tetapi biasanya orang tua tak dapat memberi jawaban apalagi
bertindak sebagai wali. Karena merasa antara ia dengan anak gadisnya tak ada hubungan lagi
yang disebut dengan mimateami (dianggap telah mati). Sebab itu tak ada jalan lain lagi bagi
imam atau kadhi kecuali mengawinkan to mannyala tersebut, dalam hal ini ia sendiri bertindak
sebagai wali yang disebut dengan wali hakim.

Selanjutnya setelah imam atau kadhi mengawinkan tu mannyala tadi bukanlah berarti bahwa
ketegangan dalam masyarakat telah pulih karena peristiwa adatnya belum selesai. Timbullah
pertanyaan tentang prosedur apa yang harus dilalui to mannyala agar ketegangan dengan
keluarga berakhir dan dia diterima sebagai keluarga yang sah dalam adat. Hubungan antara to
masirik dengan to mannyala sebagi to appakasari tetap tegang, dan dendam to masiri akan terus
berlangsung selama to mannyala belum abbajik (berdamai). Pada dasarnya perlindungan diri dari
To sala oleh kepala adat di mana To sala mendapat hak untuk tidak dihukum atau dibunuh oleh
To masiri dan perkaranya akan diselesaikan setelah diberikan sanksi atau hukuman dari raja atau
kepala adat, maka pulihlah siri bagi keluarga gadis yang dipermalukan.

Dari pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan tentang pengertian kawin silariang,
yakni sebagai berikut: kawin Silariang adalah perkawinan yang dilakukan antara sepasang laki-
laki dan perempuan setelah sepakat lari bersama, perkawinan dimana menimbulkan siri’ bagi
keluarganya khususnya keluarga pihak perempuan, dan kepadanya dikenakan sanksi adat.
Kasus silariang atau kawin lari di Sulawesi Selatan, sejak dulu hingga kini masih sering
terjadi.Pelaku silariang tidak peduli alias tidak menghiraukan sanksi yang bakal dihadapi,
meskipun harus berhadapan dengan ujung badik (ditikam). Bagi pelaku silariang, selama cinta
bersemi, sanksi maut pun akan tetap dihadapi.Dalam kasus silariang ini, pelaku tidak jarang
dihadang oleh tumasiri’ (dari pihak keluarga perempuan) yang kadang berakhir dengan
penganiayaan atau bahkan pembunuhan.Perempuan yang melakukan kawin lari disebut
tumanyala’ sedangkan keluarga perempuan yang malu akibat perbuatan si perempuan, disebut
tumasiri’. Bagi suku Bugis, sejak dari dulu berlaku hukum adat, khususnya menyangkut masalah
siri’, dan di sisi lain berlaku pula hukum positif yang disebut hukum pidana. Kedua hukum yang
hidup di masyarakat ini, dalam hal kasus silariang saling bertolak belakang. Di satu sisi, hukum
adat mengatakan, membunuh si pelaku silariang dengan alasan siri’ (malu atau harga diri), tidak
bisa dikenakan hukuman, ia (orang yang membunuh pelaku silariang) dianggap sebagai
pahlawan yang membela siri’-nya. Di sisi lain, hukum pidana tidak menerima alasan kalau ada
terjadi kasus pembunuhan, termasuk alasan siri’, maka pelakunya bisa dikenakan pasal
pembunuhan atau penganiayaan dalam KUHP. Banyak faktor yang menyebabkan suku Makassar
melakukan silariang, seperti: pergaulan bebas karena terlalu nekad dalam bercinta sehingga
menimbulkan hamilnya seorang perempuan, lamaran laki-laki tidak diterima (penolakan lamaran
oleh pihak keluarga perempuan), keluarga laki-laki menolak untuk melamar si perempuan,
menentang kawin paksa, karena orang tua mempunyai keinginan mengawinkan anaknya tanpa
persetujuan si anak dan bila si anak menolak akan dipaksa menikah dengan laki-laki atau
perempuan pilihan orang tuanya, dan karena pengaruh guna-guna pengaruh ilmu gaib
(pangngissengang). baik itu laki-laki maupun perempuan.

Faktor yang paling banyak menyebabkan silariang pada suku Makassar, adalah:

- Menentang perjodohan (kawin paksa)

Kebiasaan sebagian orang tua, dalam mencarikan jodoh anaknya selalu mencari dari
keluarga dekat, baik itu sepupuh satu kali, dua kali dan tiga kali. Tujuannya, agar harta
warisan itu tidak jatuh keluar. Karena sama-sama tetap pada pendiriannya, maka si anak
melakukan kawin lari (silariang) sebagai jawaban atas sikap orang tuanya. Silariang dengan
cara menentang perjodohan (kawin paksa) ini, kadang berakibat fatal bagi anak. Orang tua
yang merasa dipermalukan (tumasiri) itu, kadang tidak mau lagi mengakui anaknya. Kadang
ada tumasiri yang menganggap anaknya sudah mati (nimateangi) oleh orang tuanya atau
keluarganya, sehingga putuslah hubungan silaturrahmi orang tua dan anak. Kalau silaring
ini dilakukan dengan cinta sejati dari kedua sejoli, maka tidak begitu bermasalah. Sebab
keduanya sudah siap membangun sebuah rumah tangga yang bahagia, walau tidak dapat
restu dari orang tuanya.

- Faktor ekonomi

Menurut adat perkawinan suku Makassar, sebelum melakukan suatu perkawinan, terlebih
dahulu pihak laki-laki melamar yang disertai dengan persyaratan berupa uang belanja (doe’
panai) berikut mahar dan mas kawinnya serta beberapa persyaratan lainnya. Bilamana
persyaratan yang ditetapkan oleh pihak perempuan tidak dapat dipenuhi oleh pihak laki-laki,
karena kondisi ekonominya memang tidak memungkinkan, yang bisa menyebabkan
perkawinannya batal. Sedang disisi lain, keduanya sudah saling mencintai, maka mereka
menempuh jalan dengan cara kawin lari (silariang) agar bisa selalu bersama. Pemberian doe’
panai terlalu tinggi itu, biasanya dijadikan sebagai alasan untuk menolak pinangan laki-laki
yang mekamar anak gadisnya itu. Doe’ panai yang tinggi itu dianggapnya sebagai suatu
kebanggaan bagi diri dan keluarganya. Permintaan uang atau mas kawin yang tinggi
memang tidak masalah sepanjang pihak laki-laki mampu. Tetapi kalau tidak, apa yang
terjadi, silariang atau annyala.

- Lamaran ditolak

Orang tua dari pihak perempuan menolak lamaran dari laki-laki yang mau melamar anak
gadisnya, bukanlah di tolak tanpa alasan lamaran dari pihak laki-laki itu ditolak oleh pihak
keluarga perempuan karena, perbedaan strata sosial/status sosial dalam masyarakat.

- Tingkah laku laki-laki buruk

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya hidup bahagia kelak. Untuk hidup bahagia itu,
juga harus mencari calon suami dari keluarga baik-baik pula. Bilamana, orang tua melihat,
kehidupan pemuda yang melamar anaknya tingkah lakunya buruk, pengangguran, maka
orang tua yang mengetahui latar belakang pemuda tersebut, mereka akan menolak
lamarannya padahal anak mereka saling mencintai. Karena penolakan inilah mereka
mengambil jalan pintas dengan melakukan silariang.
2.5 Relevansi Kasus Silariang dengan Masyarakat Hukum Adat

Penyelesaian masalah adalah hal yang terpenting dalam kehidupan kelompok masyarakat, karena
dengan adanya penyelesaian masalah maka kehidupan dalam kelompok mayarakat tersebut
semakin erat, sehingga tercapai suatu kehidupan yang harmonis dalam kelompok masyarakat.
Penyelesaian kasus silariang dilakukan dengan penyelesaian ranah adat atau sosial dan
penyelesaian secara agama.

1. Ranah Adat atau Sosial

Penyelesaian secara sosial dikaitkan juga dengan penyelesaian secara adat. Terdapat
beberapa kasus silariang yang pernah terjadi di Desa Bululoe yang penyelesaiannya
dilakukan secara adat. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan, beberapa
informan mengungkapkan bahwa:

Wawancara dilakukan dengan Dg.Tyg (50 Tahun) yang mengatakan bahwa : “Untuk
hitungan sudah ada berapa banyak kasus yang terjadi dari tahun 2000-2015 saya kurang tahu
berapa persis angkanya, tapi kalau saya perkirakan sudah banyak pemuda yang terlibat kasus
silariang”.

Wawancara dilakukan dengan Dg Kul (55 Tahun)yang mengatakan bahwa : “Kasus silariang
penyelesaiannya dilakukan tergantung dari kesepakatan kedua pihak yang terlibat. Biasa nya
kedua pihak laki-laki dan perempuan dipertemukan secara langsung dengan melibatkan
kepala desa dan imam masjid untuk mencari kejelasan penyelesaiannya.”

Wawancara dilakukan dengan H. MA (44 Tahun) mengatakan bahwa : “Penyelesaian adat


silariang ini dengan cara pelaku silariang ini kerumah pak imam kampung yg didatangi,
setelah itu pak imam menjadi perantara meminta rella dari orang tua pelaku silariang, setelah
ada restu dari orang tuanya, kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan pappasala atau doe
panai (uang mahar). Setelah itu mereka dinikahkan dirumahnya pak imam, saat uang
panainya dari pihak laki-laki sudah tersedia uangnya. Maka langkah selanjutnya ditentukan
hari abbaji nya.
Dari hasil penelitian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa Untuk mendamaikan
tumasiri’ dan tumannyala, dan memerlukan pekerjaan yang cukup berliku dan disertai
dengan kebijaksanaan. Mereka yang mengambil kebijaksanaan untuk mendapatkan
perdamaian adalah orang-orang dari golongan atas seperti kepala kampung atau Imam Desa
yang memegang peranan dalam masalah ini. Kedua pelaku silariang harus mendatagi rumah
imam masjid yang ditunjuk. Rumah imam masjid yang ditunjuk bersama dengan kepala desa
menjadi perantara agar abbaji tercapai.

Sebelumnya ditentukan abbaji, Imam yang ditunjuk terlebih dahulu menikahkan kedua
pasangan tersebut yang tentunya setelah menghubungi kedua orang tua perempuan dan laki-
laki atau walinya untuk minta rella (restu) dan telah lazim orang tua/keluarga perempuan
memberikan persetujuannya. Sebenarnya ini bukan berarti bahwa mereka dengan jujur
memberikan persetujuannya, melainkan hanya karena adanya hasrat untuk menolong imam
dalam menjalankan kewajibannya.

Mereka akan mengatakan, “kerjakan kewajiban kepada gadis apa yang di kehendakinya”.
Persetujuan ini disertai dengan meletakkan cap jempol orang tua perempuan/wali perempuan
diatas surat izin. Biasanya kepala kampung/imam Desa menanyakan kemungkinan sunrang
(dapat diterimakan kepada orang tua perempuan). Setelah mendapat izin dari tomannyala,
selain itu pihak pria juga harus menyediakan mas kawin sunrang juga pappasala. Pappasala
yang berarti denda, denda adalah kasalang. Antara kedua istilah itu tidak terdapat
pertentangan atau perbedaan pengertian. Akan tetapi dari segi tata bahasa pappasala dari kata
passala berarti denda, sedangkan kasalang berasal dari kata sala yaitu salah/ bersalah.
Pappasala yang dimaksudkan sebagai denda, yang berarti pihak tumannyala harus
menyerahkan juga sejumlah uang tertentu sebagai denda/ hukuman atas kesalahannya.
Sedangkan kasalang juga bermaksud untuk membayar jumlah uang tertentu untuk membayar
denda sebagai hukuman terhadap kesalahan yang diperbuatnya. Kalau sudah berhasil
perantara mendapatkan perdamaian maka Pappasala ini diserahkan kepada orang tua
perempuan, dan bila orang tua perempuan telah bersedia menerima pappasala. ini berarti
pula, telah terbuka jalan ke arah perdamaian yang disebut abbaji. Kedua orang tua
perempuan ini sudah ada restu untuk abbaji, maka pihak laki-laki juga tetap dikenakan doe’
passala (denda). Sebagian pengganti doe’ panai (uang mahar dan maskawin) hanya saja
besarnya tidak seperti saat melamar gadis. Besarnya disesuaikan dengan kemampuan pihak
laki-laki tersebut. Penerimaan pappasala dan sunrang dari tomannyala merupakan faktor
penting bagi berakhirnya siri’. Hadirnya kepala kampung/Imam Desa juga menentukan
berakhirnya siri’. Dengan demikian telah tercapai perdamaian.

Perdamaian abbaji selalu disertai dengan suatu pesta keramaian, agar seluruh keluarga turut
hadir menyaksikan, serta ada pesta keselamatan. Acara abbaji ini, kedua pelaku silariang
diantar kembali ke rumah orang tua perempuan untuk mendapatkan restunya. Kedatangan
perempuan itu biasanya melakukan tutup kepala, karena mereka merasa malu atas
perbuatanya. Setelah memohon doa restu dari orang tuanya, barulah keduanya menyalami
keluarganya yang hadir saat itu. Acara abbaji ini pertanda bahwa sanksi adat juga terhapus.
Biasanya, kedua pelaku silariang ini mengunjungi sanak kelurganya sekaligus
memperkenalkan diri bahwa mereka sudah datang abbaji. Keluarga yang mengetahui
kedatanganya, akan memaafkan perbuatan yang telah dilakukan, demikian juga sikap
keluarga perempuan, tadinya dijadikan lawan, setelah abbaji malah dijadikan sebagai kawan
atau anaknya atau keluarganya sendiri.

2. Ranah Agama

penyelesaian silariang dengan ranah agama merupakan penyelesaian permasalahan yang


dilakukan jika melalui ranah adat tidak menemukan kejelasan. Dalam hal ini ranah agama
menggunakan hasil mufakat yang dilakukan oleh para pemangku adat, kepala Desa, imam
masjid, beberapa perwakilan warga dan juga ikut perwakilan dari kedua pihak. Jika salah
satu anggota keluarga ada yang tidak menyetujui keduanya dinikahkan, akan tetapi kondisi
yang sudah mengharuskan adanya pernikahan sehingga keputusan yang haruys diambil
adalah menikahkan keduanya walaupun tanpa restu orang tua mereka. Tapi disamping
keduanya harus dinikahkan pelaku silariang juga wajib meminta maaf kepada seluruh
keluarga mereka dan juga kepada warga desa tempat pelaku. Akan tetapi setelah dinikahkan,
pelaku silariang biasanya tetap akan diusir oleh warga untuk memberikan efek jera kepada
keduanya dan memberikan pelajaran kepada warga lainnya untuk tidak melakukan hal yang
sama.
BAB III
PENUTUP

.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas mengenai hasil penelitian serta pembahasan maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Konsep silariang dalam masyarakat suku Makassar merupakan perkawinan yang
tidak sewajarnya karena tidak sesuai norma adat yang berlaku dalam masyarakat, bagi
keluarga pelaku silariang utamanya bagi keluarga perempuan, dan adapun sanksi
yang diterapkan tetua adat baik sanksi ringan maupun sanksi berat harus diterima oleh
pelaku silariang kerena sudah menjadi tradisi. Perasaan yang tinggi hanya timbul
pada saat adanya berita anaknya melakukan silariang tetapi setelah pelaku silariang
datang maeabbaji (diterima kembali oleh keluarga perempuan), maka perasaan
keluarga lambat laun semakin berkurang bahkan akan dilupakan.

2. Umumnya penyebab terjadinya Silariang yang paling mendominan adalah Mahalnya


uang panai mungkin bisa ditawar tapi hubungan asmara kedua insan ini untuk
membina rumah tangga juga tak kalah pentingnya. Namun terkadang Jalinan kasih itu
harus menelan pil pahit akibat restu kedua orang tua yang mereka harapkan tidak
terijabah hanya karna perbedaan kasta atau status sosial. Akibatnya, mimpimimpi
akan ikatan rumah tangga yang indah harus sirna ditangan sang pemberi restu.

.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas kami memberikan saran sebagai berikut:

1. Mempertahankan eksistensi hukum adat Makassar Kabupaten Takalar. Terkait dengan


pelanggaran adat silariang yang terjadi di kawasan adat tersebut juga pengaruh dari
adanya sanksi yang berkelanjutan mulai dari sanksi ringan sampai sanksi berat sehingga
masyarakat adat mempertimbangkan banyak hal jika timbul niat untuk melakukan
silariang.
2. Perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai faktor-faktor penyebab terjdinya silariang
agar supaya faktor penyebab ini dapat ditanggulangi oleh tetua adat yang berwenang dan
menimbulkan nilai-nilai kearifan lokal dihubungkan dengan jiwa pribadi, jiwa keluarga,
harkat dan martabat, serta harga diri sebagai salah satu bagian terpenting yang ditegakkan
oleh masyarakat adat Makasar Kabupaten Takalar dalam memahami aturanaturan adat
yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU DAN JURNAL

Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Penerbit, Sinar Grafika, Jakarta. 2006,

Adji Usman Sution, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Penerbit, Liberty, Yogyakarta, 1989.

Muhammad Bushar, Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2006

Hadikusuma Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit, Mandaar Maju,
Bandung, 2003.

Berry David. (1995). Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Dr.Elly M Setiadi.M.Si Dkk. (2006). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.Jakarta: Perdana Media
Group

Dwiriatno, Sabarno.(2013).Kompilasi Sosiologi Tokoh dan Teori. Pekanbaru:UR Press

Koentjaraningrat.(1987). Pokok-pokok Antropologi, Jakarta, PT. Dian Rakyat

Simatupang, Maurist. (2002). Budaya Indonesia Yang Supraetnis. Jakarta : Papas Sinar Sinanti

Simajuntak, Posman. (1996). Bekenalan Dengan Antropologi. Jakarta : Erlangga

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. (2009). Metode penelitian sosial. Jakarta: PT.Bumi
Aksara

UNDANG – UNDANG

Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 perkawinan, lembar negara RI tahun 1974


Kompilasi Hukum Islam, 2012, Penerbit Fokusmedia, Bandung

Anda mungkin juga menyukai