Hukum Adat Tugas Akhir
Hukum Adat Tugas Akhir
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASILA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya dan juga
kami ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada dosen pengampu kami Dr. Kunthi
Tridewiyanti, SH., MA sehingga makalah “Silariang dalam Perspektif Masyarakat Hukum Adat”
dapat tersusun dengan baik dan sampai selesai. Kami sebagai penulis sangat berharap semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Kami sebagai
penyusun makalah ini merasa bahwa masih ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini
dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Maka dari itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah
ini.
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................3
1.1Latar Belakang........................................................................................................................3
1.2Identifikasi Masalah................................................................................................................3
1.3Rumusan Masalah...................................................................................................................4
1.4Tujuan Penelitian....................................................................................................................4
1.5Metode Penulisan....................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................5
2.1Pengertian Masyarakat Hukum Adat......................................................................................5
2.2Susunan Masyarakat Hukum Adat..........................................................................................6
2.3Bentuk-bentuk Masyarakat Hukum Adat.............................................................................10
2.4Analisis Kasus Silariang.......................................................................................................13
2.5Relevansi Kasus Silariang dengan Masyarakat Hukum Adat...............................................15
BAB III PENUTUP......................................................................................................................15
3.1Kesimpulan...........................................................................................................................15
3.2Saran......................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat Hukum Adat di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari perjalanan panjang sejarah perkembangan hukum di Indonesia. Secara historis,
Masyarakat Hukum Adat sudah ada, hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia sejak masa
kerajaan, penjajahan Belanda dan pada masa kemerdekaan Indonesia. Campur tangan oleh
pemerintah kerajaan, penjajah dan pemerintah Indonesia terus berubah sesuai dengan
perkembangan ketatanegaraan. Bentuk konkrit campur tangan ketatanegaraan saat ini dapat
terlihat dari dimuatnya jaminan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Menurut Maria SW Sumardjono, beberapa ciri pokok masyarakat hukum adat adalah
mereka merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari
kekayaan perorangan, mempunyai batas wilayah tertentu dan mempunyai kewenangan
tertentu.
3
3. Kasus Analisis Saur Matua
1. Penulisan makalah ini dilakukan untuk dapat memenuhi tujuan-tujuan yang dapat
bermanfaat bagi kelompok dalam pemahaman Silariang dan guna memenuhi tugas
yang diberikan oleh dosen.
2. Memberikan sumbangan pemikiranbagi disiplin ilmu khususnya hukum adat
3. Sebagai bahan acuan bagi penelitian lain yang tertarik untuk melakukan penelitian
sejenis secara mendalam
1) Ten Haar
Mengemukakan bahwa masyarakat hukum adat adalah kesatuan manusia yang teratur,
menetap disuatu daerah tertentu,mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai
kekayaan, yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-
masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat
alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya,
dalam melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.
2) Soepomo
Dalam mendeskripsikan masyarakat hukum adat/persekutuan hukum adat, menyatakan
bahwa persekutuan hukum di Indonesia dapat dibagi menjadi dua golongan, menurut
dasar susunannya, yaitu yang berdasar pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang
mendasar lengkungan daerah (teritorial).
3) Hazairin
Memberikan uraian mengenai masyarakat hukum adat sebagai berikut: masyarakat-
masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, adalah
kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk
sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak
bersama atas tanah dan air bagi semua anggota. Bentuk hukum kekeluargaannya
(patrilineal, matrilineal atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama
berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil
air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan,
semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri
komunal dimana gotong- royong, tolong-menolong, serasa dan semua mempunyai peran
yang besar.
Berdasarkan para pakar hukum adat tersebut diatas maka dapat dirumuskan kriteria hukum
adat sebagai berikut :
Dalam masyarakat hukum adat yang ditentukan berdasarkan keturunan, terdapat (empat)
macam pertalian keturunan, yaitu:
1) Struktur masyarakat Patrilineal, yaitu susunan masyarakat yang menarik garis ketu
runan dalam hubungan diri dengan orang lain melalui garis laki-laki. Contoh,
perkawinan jujur dan ciri-ciri perkawinan jujur adalah eksogami dan patrilokal.
Eksogami adalah perkawinan jujur yang ideal jika jodoh diambil dari luar marga
sendiri. Patrilokal adalah tempat tinggal bersama yang ideal ditempat tinggal suami.
Contoh perkawinan jujur di dalam masyarakat Gayo, Batak, Bali, Ambon
2) Struktur masyarakat Matrilineal, yaitu struktur masyarakat yang menarik garis
keturunan dengan menggabungkan diri dengan orang lain melalui garis perempuan.
Contoh, perkawinan semendo dan ciri-ciri perkawinan semendo adalah endogami dan
matrilokal. Endogami adalah perkawinan yang ideal jika jodoh diambil dalam
kalangan suku sendiri. Matrilokal adalah tempat tinggal bersama yang ideal di tempat
tinggal istri. Contoh masyarakat perkawinan semendo adalah Minangkabau, Kerinci.
3) Struktur masyarakat Patrilineal Beralih-alih, yaitu struktur masyarakat yang menarik
garis keturunan secara bergiliran atau berganti-ganti sesuai dengan bentuk
perkawinan yang dialami oleh orang tua, yaitu bergiliran kawin jujur, kawin semendo
maupun kawin semendorajo-rajo. Contoh pertalian keturunan demikian terdapat
dalam masyarakat Rejang Lebong, Lampung Pepadun.
4) Struktur masyarakat Parental/Bilateral, yaitu pertalian keturunan yang ditarik secara
garis keturunan melalui garis ayah maupun garis ibu. Pada masyarakat terstruktur
secara bilateral tidak ada perkawinan khusus, begitu juga dengan tempat tinggal
dalam perkawinan tidak ditentukan dengan jelas. Contoh masyarakat
bilateral/Parental dalam masyarakat Aceh, Jawa, Sunda, Makassar.
2. Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial (menurut asas asal
daerah)
Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial yaitu masyarakat hukum adat
yang disusun berasaskan lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para
anggotanya merasa bersatu dan bersama- sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Oleh karena itu, merasa ada ikatan antara mereka masing-masing dengan
tanah tempat tinggal mereka. Landasan yang mempersatukan para anggota masyarakat
hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial adalah ikatan antara orang yang anggota
masing-masing masyarakat tersebut dengan tanah yang didiami sejak kelahirannnya, yang
didiami oleh orang tuanya, yang didiami oleh neneknya, yang dialami oleh nenek
moyangnya, secara turun-temurun ikatan dengan tanah menjadi inti asas teritorial.
Ada (tiga) jenis masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial:
Masyarakat hukum desa adalah segolongan atau sekumpulan orang yang hidup
bersama berazaskan pandangan hidup, cara hidup dan sistim kepercayaan yang sama,
yang menetap pada suatu tempat kediaman bersama, merupakan satu kesatuan tata
susunan yang tertentu, baik keluar maupun kedalam. Masyarakat hukum desa tersebut
melingkupi pula kesatuan-kesatuan yang kecil yang terletak di luar wilayah desa yang
sebenarnya, yang lazim disebut teratak atau dukuh. Akan tetapi, mereka tunduk pada
penjabat kekuasaan desa dan juga sebagai pusat kediaman, contohnya, desa-desa di Jawa
dan Bali.
Masyarakat hukum wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang teritorial yang
melingkupi beberapa masyarakat hukum desa yang masing-masingnya tetap merupakan
kesatuan-kesatuan yang berdiri tersendiri. Masyarakat hukum desa yang tergabung dalam
masyarakat hukum wilayah itu masing-masing mempunyai tata susunan dan pengurus
sendiri-sendiri, namun masih juga masyarakat hukum wilayah tersebut merupakan bagian
yang tak terpisah dari keseluruhan, yaitu merupakan bagian yang tak terpisah dari
masyarakat, hukum wilayah sebagai kesatuan sosial teritorial yang lebih tinggi. Oleh
karena itu, masyarakat hukum wilayah itu merupakan masyarakat hukum bawahan yang
juga memiliki harta benda, menguasai hutan dan rimba yang terletak di antara masing-
masing kesatuan yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah dan tanah. Harta
benda tersebut baik yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah dan tanah, yang
ditanami maupun yang ditinggalkan atau yang belum dikerjakan. Contohnya, Kuria di
Angkola dan Mandailing, Kuria sebagai masyarakat hukum wilayah melingkupi beberapa
Huta, Marga di Sumatera Selatan, Marga sebagai masyarakat hukum wilayah melingkupi
beberapa dusun.Desa merupakan suatu masyarakat hukum adat yang disebut
Gemeinschaft, dan berbeda dengan kampung yang merupakan suatu Gesellschaft.
Kampung di kota-kota besar itu bukanlah masyarakat hukum, karena tidak mempunyai
tata susunan yang wajar, dan di antara penduduk-penduduk kampung tidak ada ikatan
batin.
Masyarakat hukum serikat desa adalah suatu kesatuan sosial yang teritorial, yang
selalu dibentuk atas dasar kerjasama diberbagai-bagai lapangan demi kepentingan
bersama masyarakat hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa
tersebut. Kerjasama tersebut dimungkinkan karena secara kebetulan berdekatan letaknya
masyarakat hukum desa yang bersama-sama membentuk masyarakat hukum serikat desa.
Masyarakat hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu secara
kebetulan, masih juga kerjasama tersebut bersifat tradisional. Dalam menjalankan
kerjasama, mempunyai pengurus bersama, yang biasanya, yaitu:
Mengurus pengairan,
Menyelesaikan perkara-perkara delik adat,
Mengurus hal-hal yang bersangkut paut dengan keamanan bersama, dan kadang-
kadang kerjasama ini diadakan karena ada keturunan yang sama. Contohnya,
portahian (perserikatan huta-huta) di Tapanuli.
Berdasarkan tiga jenis masyarakat hukum adat teritorial tersebut di atas, maka yang
merupakan pusat pergaulan sehari-hari adalah desa, huta dan dusun. Hal ini ditinjau dari
baik segi organisasi sosial maupun dari perasaaan perikatan yang bersifat tradisional.
Segala aktifitas masyarakat hukum desa dipusatkan dalam tangan kepala desa, yang
menjadi bapak masyarakat desa dan yang dianggap mengetahui segala peraturan-
peraturan adat dan hukum adat masyarakat hukum adat yang dipimpinnya, sehingga
kepala desa adalah juga kepala adat.
Masyarakat hukum adat di Indonesia tersusun atas dua faktor dominan, yakni faktor
genealogis dan teritorial. Pada mulanya faktor genealogis mempunyai dominasi yang sangat kuat
terhadap pembentukan suatu masyarakat hukum adat, disebabkan oleh hubungan daerah antara
satu dengan lainnya di antara mereka terikat dan terbentuk dalam satu ikatan yang kokoh. Tetapi
karena semakin meluasnya hubungan antar suku bangsa maka dominasi faktor genealogis sedikit
demi sedikit mulai tergeser oleh faktor teritorial.
Berdasarkan dua faktor tersebut dapat dibedakan 3 (tiga) bentuk masyarakat hukum adat yaitu:
Masyarakat hukum genealogis ini dibedakan dalam 3 (tiga) macam pertalian keturunan,
yaitu :
Masyarakat adat Makassar merupakan salah satu masyarakat adat di Sulawesi Selatan, Makassar
menganggap bahwa tempat yang mereka tinggali merupakan warisan dari leluhur sehingga harus
dijaga dengan baik.
Kawasan adat makassar perempuan sangat dihormati. Hal tersebut terlihat dari kehidupan sehari-
hari, kaum laki-laki tidak boleh mendekati sumur apabila perempuan sedang mandi. Kaum laki-
laki diperbolehkan beraktivitas di sumur apabila kaum perempuan telah menyelesaikan
aktivitasnya dan pulang ke rumah. Apabila ada yang melanggar maka akan mendapatkan sanksi
adat berupa denda sebab pelanggaran tersebut termasuk dalam pelanggaran asusila bahkan
nyawa bisa menjadi taruhannya.
Perbedaan tingkatan derajat menurut keturunan, merupakan rintangan besar bagi seorang
laki-laki untuk kawin dengan perempuan dari golongan tingkatan lebih tinggi. Pengaruh adanya
rintangan ini yang menyebabkan, sehingga pemuda dari golongan lebih rendah, akan
mendapatkan perempuan dari keturunan lebih tinggi, tidak mungkin dapat mengawini melalui
jalan yang dapat diterima oleh masyarakat. Satu-satunya jalan ialah dengan kawin lari yang dapat
menimbulkan siri’ dipihak keluarga/perempuan.
Bertling mengemukakan bahwa, beberapa peristiwa yang menyebabkan terjadinya kawin
Silariang, yaitu:
1. Menentang kawin paksa, yang datangnya dari orang tua/ saudara laki-laki dan
keluarganya.
Silariang atau kawin lari tidak hanya dikenal oleh suku Makassar. Suku lainnya pun di
Indonesia pun mengenalnya. Hanya saja yang membedakan adalah sanksi adat yang diterapkan
pada kedua pelaku silariang. Kalau pada suku lainnya, biasanya sanksi tidak begitu berat, tetapi
pada suku Makassar, biasanya berakhir dengan pembunuhan terhadap pelaku.
Kawin silariang ini biasanya terjadi karena salah satu pihak keluarga tak menyetujui
hubungan asmara dari kedua pasangan ini. Mungkin karena perbedaan strata sosial, atau karena
perempuan yang menjadi kekasihnya itu hamil di luar nikah, sehingga mereka mengambil jalan
pintas, yakni melalukan silariang. Walaupun kedua pasangan silariang ini menyadari, bahwa
tindakan silariang ini penuh resiko, tetapi inilah jalan yang terbaik baginya untuk membina
rumah tangga dengan kekasihnya kelak.
Untuk mengetahui secara jelas apa arti silariang ini, akan ditulis beberapa pendapat para
pakar budaya baik dalam maupun luar negeri:
1. Dr. T.H. Chabot mengatakan, perkawinan silariang adalah apabila perempuan dengan
laki-laki setelah lari bersama-sama.
2. Bertling berpendapat bahwa silariang adalah apabila gadis atau perempuan dengan
pemuda atau laki-laki setelah lari bersama atas kehendak bersama.
3. Mr. Moh Natsir Said berpendapat, silariang adalah perkawinan yang dilangsungkan
setelah pemuda atau laki-laki dengan gadis atau perempuan lari bersama-sama atas kehendak
sendiri-sendiri.
Silariang berarti berbuat salah, dalam hal ini berbuat salah terhadap adat perkawinan yang
diwujudkan dengan kawin lari. Dengan peristiwa ini maka timbullah ketegangan dalam
masyarakat, terutama keluarga gadis yang lari atau dibawa lari. Pihak keluarga gadis menderita
siri sehingga to masiri berkewajiban appaenteng siri keluarganya dengan membunuh lelaki yang
melarikan gadisnya, kecuali bila lelaki tadi telah berada dalam rumah atau pekarangan anggota
adat atau pemuka masyarakat atau setidaktidaknya telah sempat membuang penutup kepalanya
ke dalam pekarangan rumah anggota adat tersebut yang berarti ia sudah ada dalam perlindungan,
maka ia tak dapat diganggu lagi, begitu pula kalau ia sedang bekerja di kebun, di ladang atau di
sawahnya. Sebab umum dari pada peristiwa silariang ialah karena yang bersangkutan tidak dapat
melakukan syarat-syarat terlaksananya perkawinan adat. Dan adapun jalan keluarnya ialah
berusaha melakukan perkawinan di luar tata cara perkawinan adat dengan jalan silariang. Bila to
mannyala tadi telah berada di rumah salah satu pemuka masyarakat dalam hal ini imam atau
kadhi maka menjadi kewajiban baginya untuk segera menikahkan tu-manyala. Sebagai langkah
pertama dihubungilah orang tua gadis (to masirik) untuk diminta persetujuannya agar anak
gadisnya dapat dikawinkan. Tetapi biasanya orang tua tak dapat memberi jawaban apalagi
bertindak sebagai wali. Karena merasa antara ia dengan anak gadisnya tak ada hubungan lagi
yang disebut dengan mimateami (dianggap telah mati). Sebab itu tak ada jalan lain lagi bagi
imam atau kadhi kecuali mengawinkan to mannyala tersebut, dalam hal ini ia sendiri bertindak
sebagai wali yang disebut dengan wali hakim.
Selanjutnya setelah imam atau kadhi mengawinkan tu mannyala tadi bukanlah berarti bahwa
ketegangan dalam masyarakat telah pulih karena peristiwa adatnya belum selesai. Timbullah
pertanyaan tentang prosedur apa yang harus dilalui to mannyala agar ketegangan dengan
keluarga berakhir dan dia diterima sebagai keluarga yang sah dalam adat. Hubungan antara to
masirik dengan to mannyala sebagi to appakasari tetap tegang, dan dendam to masiri akan terus
berlangsung selama to mannyala belum abbajik (berdamai). Pada dasarnya perlindungan diri dari
To sala oleh kepala adat di mana To sala mendapat hak untuk tidak dihukum atau dibunuh oleh
To masiri dan perkaranya akan diselesaikan setelah diberikan sanksi atau hukuman dari raja atau
kepala adat, maka pulihlah siri bagi keluarga gadis yang dipermalukan.
Dari pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan tentang pengertian kawin silariang,
yakni sebagai berikut: kawin Silariang adalah perkawinan yang dilakukan antara sepasang laki-
laki dan perempuan setelah sepakat lari bersama, perkawinan dimana menimbulkan siri’ bagi
keluarganya khususnya keluarga pihak perempuan, dan kepadanya dikenakan sanksi adat.
Kasus silariang atau kawin lari di Sulawesi Selatan, sejak dulu hingga kini masih sering
terjadi.Pelaku silariang tidak peduli alias tidak menghiraukan sanksi yang bakal dihadapi,
meskipun harus berhadapan dengan ujung badik (ditikam). Bagi pelaku silariang, selama cinta
bersemi, sanksi maut pun akan tetap dihadapi.Dalam kasus silariang ini, pelaku tidak jarang
dihadang oleh tumasiri’ (dari pihak keluarga perempuan) yang kadang berakhir dengan
penganiayaan atau bahkan pembunuhan.Perempuan yang melakukan kawin lari disebut
tumanyala’ sedangkan keluarga perempuan yang malu akibat perbuatan si perempuan, disebut
tumasiri’. Bagi suku Bugis, sejak dari dulu berlaku hukum adat, khususnya menyangkut masalah
siri’, dan di sisi lain berlaku pula hukum positif yang disebut hukum pidana. Kedua hukum yang
hidup di masyarakat ini, dalam hal kasus silariang saling bertolak belakang. Di satu sisi, hukum
adat mengatakan, membunuh si pelaku silariang dengan alasan siri’ (malu atau harga diri), tidak
bisa dikenakan hukuman, ia (orang yang membunuh pelaku silariang) dianggap sebagai
pahlawan yang membela siri’-nya. Di sisi lain, hukum pidana tidak menerima alasan kalau ada
terjadi kasus pembunuhan, termasuk alasan siri’, maka pelakunya bisa dikenakan pasal
pembunuhan atau penganiayaan dalam KUHP. Banyak faktor yang menyebabkan suku Makassar
melakukan silariang, seperti: pergaulan bebas karena terlalu nekad dalam bercinta sehingga
menimbulkan hamilnya seorang perempuan, lamaran laki-laki tidak diterima (penolakan lamaran
oleh pihak keluarga perempuan), keluarga laki-laki menolak untuk melamar si perempuan,
menentang kawin paksa, karena orang tua mempunyai keinginan mengawinkan anaknya tanpa
persetujuan si anak dan bila si anak menolak akan dipaksa menikah dengan laki-laki atau
perempuan pilihan orang tuanya, dan karena pengaruh guna-guna pengaruh ilmu gaib
(pangngissengang). baik itu laki-laki maupun perempuan.
Faktor yang paling banyak menyebabkan silariang pada suku Makassar, adalah:
Kebiasaan sebagian orang tua, dalam mencarikan jodoh anaknya selalu mencari dari
keluarga dekat, baik itu sepupuh satu kali, dua kali dan tiga kali. Tujuannya, agar harta
warisan itu tidak jatuh keluar. Karena sama-sama tetap pada pendiriannya, maka si anak
melakukan kawin lari (silariang) sebagai jawaban atas sikap orang tuanya. Silariang dengan
cara menentang perjodohan (kawin paksa) ini, kadang berakibat fatal bagi anak. Orang tua
yang merasa dipermalukan (tumasiri) itu, kadang tidak mau lagi mengakui anaknya. Kadang
ada tumasiri yang menganggap anaknya sudah mati (nimateangi) oleh orang tuanya atau
keluarganya, sehingga putuslah hubungan silaturrahmi orang tua dan anak. Kalau silaring
ini dilakukan dengan cinta sejati dari kedua sejoli, maka tidak begitu bermasalah. Sebab
keduanya sudah siap membangun sebuah rumah tangga yang bahagia, walau tidak dapat
restu dari orang tuanya.
- Faktor ekonomi
Menurut adat perkawinan suku Makassar, sebelum melakukan suatu perkawinan, terlebih
dahulu pihak laki-laki melamar yang disertai dengan persyaratan berupa uang belanja (doe’
panai) berikut mahar dan mas kawinnya serta beberapa persyaratan lainnya. Bilamana
persyaratan yang ditetapkan oleh pihak perempuan tidak dapat dipenuhi oleh pihak laki-laki,
karena kondisi ekonominya memang tidak memungkinkan, yang bisa menyebabkan
perkawinannya batal. Sedang disisi lain, keduanya sudah saling mencintai, maka mereka
menempuh jalan dengan cara kawin lari (silariang) agar bisa selalu bersama. Pemberian doe’
panai terlalu tinggi itu, biasanya dijadikan sebagai alasan untuk menolak pinangan laki-laki
yang mekamar anak gadisnya itu. Doe’ panai yang tinggi itu dianggapnya sebagai suatu
kebanggaan bagi diri dan keluarganya. Permintaan uang atau mas kawin yang tinggi
memang tidak masalah sepanjang pihak laki-laki mampu. Tetapi kalau tidak, apa yang
terjadi, silariang atau annyala.
- Lamaran ditolak
Orang tua dari pihak perempuan menolak lamaran dari laki-laki yang mau melamar anak
gadisnya, bukanlah di tolak tanpa alasan lamaran dari pihak laki-laki itu ditolak oleh pihak
keluarga perempuan karena, perbedaan strata sosial/status sosial dalam masyarakat.
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya hidup bahagia kelak. Untuk hidup bahagia itu,
juga harus mencari calon suami dari keluarga baik-baik pula. Bilamana, orang tua melihat,
kehidupan pemuda yang melamar anaknya tingkah lakunya buruk, pengangguran, maka
orang tua yang mengetahui latar belakang pemuda tersebut, mereka akan menolak
lamarannya padahal anak mereka saling mencintai. Karena penolakan inilah mereka
mengambil jalan pintas dengan melakukan silariang.
2.5 Relevansi Kasus Silariang dengan Masyarakat Hukum Adat
Penyelesaian masalah adalah hal yang terpenting dalam kehidupan kelompok masyarakat, karena
dengan adanya penyelesaian masalah maka kehidupan dalam kelompok mayarakat tersebut
semakin erat, sehingga tercapai suatu kehidupan yang harmonis dalam kelompok masyarakat.
Penyelesaian kasus silariang dilakukan dengan penyelesaian ranah adat atau sosial dan
penyelesaian secara agama.
Penyelesaian secara sosial dikaitkan juga dengan penyelesaian secara adat. Terdapat
beberapa kasus silariang yang pernah terjadi di Desa Bululoe yang penyelesaiannya
dilakukan secara adat. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan, beberapa
informan mengungkapkan bahwa:
Wawancara dilakukan dengan Dg.Tyg (50 Tahun) yang mengatakan bahwa : “Untuk
hitungan sudah ada berapa banyak kasus yang terjadi dari tahun 2000-2015 saya kurang tahu
berapa persis angkanya, tapi kalau saya perkirakan sudah banyak pemuda yang terlibat kasus
silariang”.
Wawancara dilakukan dengan Dg Kul (55 Tahun)yang mengatakan bahwa : “Kasus silariang
penyelesaiannya dilakukan tergantung dari kesepakatan kedua pihak yang terlibat. Biasa nya
kedua pihak laki-laki dan perempuan dipertemukan secara langsung dengan melibatkan
kepala desa dan imam masjid untuk mencari kejelasan penyelesaiannya.”
Sebelumnya ditentukan abbaji, Imam yang ditunjuk terlebih dahulu menikahkan kedua
pasangan tersebut yang tentunya setelah menghubungi kedua orang tua perempuan dan laki-
laki atau walinya untuk minta rella (restu) dan telah lazim orang tua/keluarga perempuan
memberikan persetujuannya. Sebenarnya ini bukan berarti bahwa mereka dengan jujur
memberikan persetujuannya, melainkan hanya karena adanya hasrat untuk menolong imam
dalam menjalankan kewajibannya.
Mereka akan mengatakan, “kerjakan kewajiban kepada gadis apa yang di kehendakinya”.
Persetujuan ini disertai dengan meletakkan cap jempol orang tua perempuan/wali perempuan
diatas surat izin. Biasanya kepala kampung/imam Desa menanyakan kemungkinan sunrang
(dapat diterimakan kepada orang tua perempuan). Setelah mendapat izin dari tomannyala,
selain itu pihak pria juga harus menyediakan mas kawin sunrang juga pappasala. Pappasala
yang berarti denda, denda adalah kasalang. Antara kedua istilah itu tidak terdapat
pertentangan atau perbedaan pengertian. Akan tetapi dari segi tata bahasa pappasala dari kata
passala berarti denda, sedangkan kasalang berasal dari kata sala yaitu salah/ bersalah.
Pappasala yang dimaksudkan sebagai denda, yang berarti pihak tumannyala harus
menyerahkan juga sejumlah uang tertentu sebagai denda/ hukuman atas kesalahannya.
Sedangkan kasalang juga bermaksud untuk membayar jumlah uang tertentu untuk membayar
denda sebagai hukuman terhadap kesalahan yang diperbuatnya. Kalau sudah berhasil
perantara mendapatkan perdamaian maka Pappasala ini diserahkan kepada orang tua
perempuan, dan bila orang tua perempuan telah bersedia menerima pappasala. ini berarti
pula, telah terbuka jalan ke arah perdamaian yang disebut abbaji. Kedua orang tua
perempuan ini sudah ada restu untuk abbaji, maka pihak laki-laki juga tetap dikenakan doe’
passala (denda). Sebagian pengganti doe’ panai (uang mahar dan maskawin) hanya saja
besarnya tidak seperti saat melamar gadis. Besarnya disesuaikan dengan kemampuan pihak
laki-laki tersebut. Penerimaan pappasala dan sunrang dari tomannyala merupakan faktor
penting bagi berakhirnya siri’. Hadirnya kepala kampung/Imam Desa juga menentukan
berakhirnya siri’. Dengan demikian telah tercapai perdamaian.
Perdamaian abbaji selalu disertai dengan suatu pesta keramaian, agar seluruh keluarga turut
hadir menyaksikan, serta ada pesta keselamatan. Acara abbaji ini, kedua pelaku silariang
diantar kembali ke rumah orang tua perempuan untuk mendapatkan restunya. Kedatangan
perempuan itu biasanya melakukan tutup kepala, karena mereka merasa malu atas
perbuatanya. Setelah memohon doa restu dari orang tuanya, barulah keduanya menyalami
keluarganya yang hadir saat itu. Acara abbaji ini pertanda bahwa sanksi adat juga terhapus.
Biasanya, kedua pelaku silariang ini mengunjungi sanak kelurganya sekaligus
memperkenalkan diri bahwa mereka sudah datang abbaji. Keluarga yang mengetahui
kedatanganya, akan memaafkan perbuatan yang telah dilakukan, demikian juga sikap
keluarga perempuan, tadinya dijadikan lawan, setelah abbaji malah dijadikan sebagai kawan
atau anaknya atau keluarganya sendiri.
2. Ranah Agama
.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas mengenai hasil penelitian serta pembahasan maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Konsep silariang dalam masyarakat suku Makassar merupakan perkawinan yang
tidak sewajarnya karena tidak sesuai norma adat yang berlaku dalam masyarakat, bagi
keluarga pelaku silariang utamanya bagi keluarga perempuan, dan adapun sanksi
yang diterapkan tetua adat baik sanksi ringan maupun sanksi berat harus diterima oleh
pelaku silariang kerena sudah menjadi tradisi. Perasaan yang tinggi hanya timbul
pada saat adanya berita anaknya melakukan silariang tetapi setelah pelaku silariang
datang maeabbaji (diterima kembali oleh keluarga perempuan), maka perasaan
keluarga lambat laun semakin berkurang bahkan akan dilupakan.
.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas kami memberikan saran sebagai berikut:
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Penerbit, Sinar Grafika, Jakarta. 2006,
Adji Usman Sution, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Penerbit, Liberty, Yogyakarta, 1989.
Muhammad Bushar, Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2006
Hadikusuma Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit, Mandaar Maju,
Bandung, 2003.
Berry David. (1995). Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Dr.Elly M Setiadi.M.Si Dkk. (2006). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.Jakarta: Perdana Media
Group
Simatupang, Maurist. (2002). Budaya Indonesia Yang Supraetnis. Jakarta : Papas Sinar Sinanti
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. (2009). Metode penelitian sosial. Jakarta: PT.Bumi
Aksara
UNDANG – UNDANG