Abstract
The idea of legal pluralism concepted pluralism justice system as a non enforcement of law in
the case of religious freedom. The workings of this mechanism prioritize the process of
deliberation which is essentially a revitalization of moral ethics and religious values. The
discussion explores the legal perspective from the state law and the theory of legal pluralism.
UUD NRI 1945 outlines religious freedom as a conditional constitutional for the creation of
substantive harmony which has two aspects, aspects of individuality and social aspects. The
conclusion of this paper is that the resolution of the case of religious freedom as regulated in
Law No. 5 of 1965 is not solutive because it is repressive (oppressive) and retributive
(retaliatory). This idea formulates the political law of religious freedom to form a good and
harmonious legal culture in the structure of society.
Abstrak
Gagasan pluralisme hukum melahirkan konsep pluralism justice system sebagai mekanisme non
enforcement of law dalam kasus kebebasan beragama. Cara kerja mekanisme ini mengedepankan
proses musyawarah yang hakikatnya merupakan revitalisasi moral etika dan nilai-nilai agama itu
sendiri. Pembahasan mengupas perspektif hukum serta teori pluralisme hukum. UUD NRI 1945
menggariskan kebebasan beragama sebagai konstitusional bersyarat demi terciptanya kerukunan
substantif yang memiliki dua aspek, yakni aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosial
(masyarakat). Kesimpulan dari tulisan ini bahwa penyelesaian kasus kebebasan beragama
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1965 tidak solutif karena bercorak
represif (menindas) dan retributif (pembalasan). Gagasan ini merumuskan politik hukum
kebebasan beragama untuk membentuk kultur hukum yang baik dan harmonis di dalam struktur
masyarakat.
385
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716
386
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716
pertautan antara state (positive law), aspek Agama dalam Pasal 29. Jika dijabarkan
kemasyarakatan (socio-legal approach) dan lebih jauh, ayat (1) menegaskan bahwa
moral, etika dan agama (natural law) Indonesia menganut prinsip ketuhanan
(Suteki, 2015). sebagai wujud pengakuan negara terhadap
Kultur hukum dalam teori pluralisme agama. Ayat (2) menegaskan adanya
hukum berada di ranah socio legal jaminan negara kepada warganya untuk
approach. Menurut Lawrence M Friedman memiliki agama dan kepercayaanya serta
dalam teori sistem hukum, komponen kultur jaminan untuk beraktivitas spiritual tanpa
hukum efektif mensinkronkan komponen ada unsur paksaan.
struktur hukum dengan komponen substansi Dua ayat dalam Pasal 29 merupakan
hukum. Begitu pentingnya kultur hukum satu kerangka hubungan antara negara-
menurut Eman Suparman justru agama-warga. Ketiga unsur tersebut
sesungguhnya penegakan hukum yang baik berorientasi pada terciptanya kerukunan
bukan ditentukan oleh substansi perundang- substantif. Kerukuran substantif memiliki
undangannya, melainkan lebih banyak dua aspek yakni, aspek individualitas
ditentukan oleh kultur hukum. Kultur (pribadi) dan aspek sosial (bermasyarakat).
hukum mencakup ajaran moral dan cara Dalam aspek individual, kebebasan
bertindak dalam menyelesaikan beragama dalam pengertian meyakini suatu
permasalahan terutama menyangkut agama. agama tertentu merupakan ranah khusus
Di titik inilah perlu penguatan kultur hukum (forum internum). Sedangkan dalam aspek
melalui penjabaran teori pluralisme hukum. sosial hubungan antar umat beragama dalam
Teori pluralisme hukum mendahulukan kehidupan bermasyarakat masuk kategori
proses musyawarah daripada penyelesaian umum (forum eksternum) yang terdapat
melalui legal formal. Proses musyawarah batasan dalam kerangka negara hukum.
pada hakikatnya merupakan nilai yang Batasan ini dimuat dalam Pasal 28J UUD
sangat religius sebagaimana diajarkan dalam NRI 1945 yang mengandung makna bahwa
Pancasila sila pertama serta tujuan kebebasan beragama merupakan
kemufakatan (egalitarian) sebagaimana konstitusional bersyarat, yakni hak
dalam sila keempat. Nilai inilah yang perlu menentukan agama yang dijamin dan
dikembalikan dalam penyelesaian kasus dilindungi konstitusi dalam hal aspek
sosial keagamaan tanpa harus diselesaikan individual, sedangkan dalam aspek
di pengadilan (non enforcement of law). bermasyarakat tunduk pada batasan atau
Berdasarkan uraian, tulisan ini rambu-rambu hukum.
merumuskan permasalahan sebagai berikut: Forum internum adalah hak untuk
Bagaimana cara pluralisme hukum memeluk suatu agama, hak untuk meyakini
menyelesaikan masalah kebebasan kebenaran dari suatu agama, hak untuk
beragama? Bagaimana pluralisme hukum beribadah, dan hak untuk menafsirkan suatu
membentuk politik hukum kebebasan teks agama. Adapun forum eksternum
beragama? adalah hak untuk mengekspresikan atau
menyebarkan ajaran agama yang tentu ada
B. Pembahasan batasannya. Undang-Undang No. 5 Tahun
1. Penyelesaian Masalah Kebebasan 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Beragama melalui Pluralisme Hukum dan Penodaan Agama (UU
No.5/PNPS/1965) mengakui ada enam
Kebebasan beragama merupakan hak
agama di Indonesia yakni, Islam, Kristen,
asasi manusia (HAM) yang sifatnya
Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
universal. Indonesia mengakui hak-hak
Meski demikian bukan berarti agama-agama
warganya untuk bebas menentukan agama
dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh
sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang
dan berkembang di Indonesia. Pemerintah
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
wajib menjamin setiap hak warga negara
1945 (UUD NRI 1945) melalui Bab tentang
387
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716
388
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716
389
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyimpang. Pasal 2 ayat (2)
yang mengutamakan prinsip-prinsip umum Pembubaran organisasi atau aliran
perlindungan anak, non diskriminasi, dan keagamaan yang menyimpang setelah
kelangsungan hidup anak. Mahkamah melalui prosedur peringatan. Pasal 3
Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah ancaman pidana terhadap pengurus atau
Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang kader organisasi terlarang. Norma-norma
Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem represif dalam undang-undang ini tidak
Peradilan Pidana Anak. Perma mewajibkan didahului ketentuan umum meliputi
Hakim menyelesaikan kasus anak dengan pengertian, hak dan kewajiban, maupun
acara diversi yang merupakan prosedur batasan tertentu; (b) Tidak Responsif.
hukum baru dalam sistem hukum pidana di Secara historis undang-undang ini lahir
Indonesia (Mansyur, 2017). dalam mengantisipasi maraknya gerakan
Sama seperti FKUB, undang-undang keagamaan yang mengancam stabilitas
peradilan anak juga mengakui struktur bangsa. Terlebih sistem politik pada tahun
hukum selain penegak hukum, yakni 1965 adalah demokrasi terpimpin, atau
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), sistem peralihan dari parlementer yang
Lembaga Penempatan Anak Sementara dibubarkan melalui dekrit presiden 5 Juli
(LPAS) dan Lembaga Penyelenggaraan 1959. Dalam kurun waktu 1959-1965
Kesejahteraan Sosial (LPKS). Satuan-satuan kondisi politik tidak stabil dengan gejolak
ini menangani anak mulai dari sistem penolakan demokrasi terpimpin yang
peradilan hingga menentukan apakah anak memberi porsi kekuasaan besar kepada
akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan Presiden. Kondisi ini diperparah dengan
(Mansyur, 2017). propaganda ideologi Komunisme melalui
PKI. Propaganda komunis kemudian
2. Gagasan Pluralisme Hukum dalam memuncak hingga tragedi G30S PKI 1
Politik Hukum Kebebasan Beragama Oktober 1965 ketika Tujuh Perwira tinggi
militer beserta beberapa orang lainnya
Gagasan pluralisme hukum mendorong
dibunuh dalam usaha kudeta. Peristiwa ini
revisi UU No.5/PNPS/1965 agar lebih
terus memanas hingga terjadi transisi
humanis, bersifat holistik, menekankan
pemerintah kepada Soeharto. Situasi politik
upaya preventif dengan melibatkan berbagai
elemen masyarakat. Politik hukum yang yang tidak stabil melatarbelakangi lahirnya
undang-undang ini (Muktiono, 2012); (c)
diusung berorientasi pada hukum sebagai
Eksklusif. Pasal 2 memberi wewenang
sarana rekayasa sosial (social engineering
kepada Menteri Agama, Jaksa Agung dan
by law). Merekayasa sosial agar tercipta
Menteri Dalam Negeri untuk
situasi yang toleran dan tertib hukum
memperingatkan organisasi menyimpang
dengan cara mengontrol tingkah laku
sebelum dibubarkan. Pasal ini terlalu
masyarakat untuk mencapai keadaan yang
eksklusif karena sebuah pelanggaran
diinginkan hukum. Hukum sebagai sarana
langsung ditangani oleh pejabat tinggi atau
merekayasa sosial merupakan tolak ukur
kementerian. Lompatan ini berpotensi
efektivitas bekerjanya hukum, sekaligus
menghilangkan fakta-fakta hukum serta
menyeimbangkan antara hak personal atau
menghapus penyelesaian melalui
forum internum (nonderogable right)
musyawarah, serta meniadakan fungsi
dengan tanggung jawab sosial atau forum
penegakan hukum di tingkat bawah.
eksternum (derogable rights) (Utoyo, 2013).
Politik hukum keagamaan perlu
Model penyelesaian kebebasan
menerjemahkan konsistensi nilai dari
beragama dalam UU No.5/PNPS/1965
Undang-Undang Dasar dimulai alinea
memiliki beberapa kekurangan, diantaranya:
pertama perihal hak atas kemerdekaan, hak
(a) Represif. Norma-norma represif bisa
atas kewarganegaraan (Pasal 26), persamaan
dilihat dari Pasal 1 yang mengatur larangan
di muka hukum dan pemerintahan (Pasal 27
menafsirkan agama dan kegiatan keagamaan
390
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716
ayat 1), hak kehidupan yang layak (Pasal 27 bermacam-macam sudut pandang, seperti
ayat 2), hak berserikat dan berkumpul (Pasal politik, agama, budaya, sosiologi,
28) dan kemerdekaan memeluk agama dan antropologi hingga adat-istiadat. Penegakan
beribadat menurut agama dan hukum diarahkan untuk menyusun undang-
kepercayaannya (Pasal 29 ayat 2). Pasal- undang yang plural, holistik, dan
pasal tersebut sudah meletakkan batasan hak berorientasi pada pembangunan cita-cita
dan kewajiban umat beragama sehingga bangsa. Dalam menuju cita-cita tersebut
norma di bawahnya wajib seirama. Agama pembuat undang-undang hendaknya
memang dapat menjadi faktor pemersatu, memiliki visi jangka panjang dalam politik
tetapi bukan penyatuan (Pinilih, 2018). hukum (ius constituendum). Konstitusi
Politik hukum keagamaan adalah penjabaran sebagai state law atau
falsafah pancasila. Menurut Aloysius R. staatsfundamentalnorm meletakkan dasar
Entah, nilai-nilai agama dalam pancasila pluralisme sebagai dasar atau acuan dalam
bisa dilihat dari karakteristik sila pertama pembentukan undang-undang. Norma dasar
dan kedua, yakni NKRI berbhineka bukan merupakan kewajiban yang dikehendaki
negara sekuler, bukan negara agama dan yang bersumber dari objektifikasi keinginan
bukan negara atheis, melainkan negara pendiri bangsa. Oleh karena hasil
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. objektifikasi dari kehendak bersama maka
NKRI adalah negara yang menjunjung norma dasar tidak berubah-ubah sebagai
tinggi persamaan hak dan menghormati panduan dalam (Samekto, 2015).
perbedaan, serta cinta perdamaian atas dasar Pancasila yang terdiri dari asas
Kemanusiaan yang adil dan beradab (Entah, ketuhanan, asas kemanusiaan, asas
2016). persatuan/nasionalisme, asas musyawarah
Leopold Pospisil dalam bukunya The dan asas keadilan adalah panduan dalam
Anthropological of Law (1971), pembentukan Undang-Undang (ius
mengemukakan bahwa sumber hukum yang constituendum). Pada akhirnya pluralisme
paling utama bukan berasal dari negara hukum diharapkan mampu mengubah
(positivistik) melainkan dari perilaku paradigma berhukum yang positivistik
masyarakat dan hukum yang mampu menjadi hukum yang progresif dengan cara
mewadahi pluralisme masyarakat. Demikian memberi pilihan kepada masyarakat bahwa
pula Frederick Karl von Savigny ada banyak cara berhukum untuk
memandang bahwa hukum yang baik menyelesaikan masalah di luar pengadilan.
bersumber dari adat-istiadat, kebiasaan, dan Cara berhukum yang pluralistik, korektif,
kemauan masyarakat yang diwujudkan rehabilitatif dan restoratifadalah cara kerja
melalui lembaga perwakilan sehingga pluralism justice system.
hukum yang dihasilkan dapat memenuhi
kehendak masyarakat dalam rangka C. Simpulan
memenuhi kehidupan sosialnya (Saptomo, Pluralism Justice System
2012). mengedepankan diversi hukum dengan
Dalam ajaran hukum progresif, revisi strategi non enforcement of law. Pendekatan
suatu peraturan dibutuhkan jika memang ini sebagai kritik sentralisme dan
terbukti tidak mendukung upaya penegakan positivisme yang lemah dalam menerapkan
hukum (Sasmito, 2011). Karakter progresif pola preventif. Proses diversi hukum
adalah karakter berhukum yang peka merevitalisasi nilai moral etika dan agama
terhadap perubahan di masyarakat.
dalam menyelesaikan masalah kebebasan
Tantangan dalam pembuatan hukum (law beragama. Strategi non enforcement of law
making) merupakan proses penegakan hakikatnya merupakan nilai yang sangat
hukum lebih dini. Penegakan hukum dalam religius sebagaimana dimuat dalam
law making meliputi perdebatan pemikiran Pancasila sila keempat.
para pembuat hukum yang berangkat dari
391
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716
392