Anda di halaman 1dari 8

Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.

4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716

PLURALISM JUSTICE SYSTEM DALAM PENYELESAIAN MASALAH


KEBEBASAN BERAGAMA
Muhammad Nizar Kherid*, Fifiana Wisnaeni
Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Jl. Imam Bardjo, S.H. No. 1-3, Kampus Pleburan, Semarang 50241
nizarkherid@gmail.com

Abstract

The idea of legal pluralism concepted pluralism justice system as a non enforcement of law in
the case of religious freedom. The workings of this mechanism prioritize the process of
deliberation which is essentially a revitalization of moral ethics and religious values. The
discussion explores the legal perspective from the state law and the theory of legal pluralism.
UUD NRI 1945 outlines religious freedom as a conditional constitutional for the creation of
substantive harmony which has two aspects, aspects of individuality and social aspects. The
conclusion of this paper is that the resolution of the case of religious freedom as regulated in
Law No. 5 of 1965 is not solutive because it is repressive (oppressive) and retributive
(retaliatory). This idea formulates the political law of religious freedom to form a good and
harmonious legal culture in the structure of society.

Keywords: Religion; Legal Pluralism; Enforcement of Law

Abstrak

Gagasan pluralisme hukum melahirkan konsep pluralism justice system sebagai mekanisme non
enforcement of law dalam kasus kebebasan beragama. Cara kerja mekanisme ini mengedepankan
proses musyawarah yang hakikatnya merupakan revitalisasi moral etika dan nilai-nilai agama itu
sendiri. Pembahasan mengupas perspektif hukum serta teori pluralisme hukum. UUD NRI 1945
menggariskan kebebasan beragama sebagai konstitusional bersyarat demi terciptanya kerukunan
substantif yang memiliki dua aspek, yakni aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosial
(masyarakat). Kesimpulan dari tulisan ini bahwa penyelesaian kasus kebebasan beragama
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1965 tidak solutif karena bercorak
represif (menindas) dan retributif (pembalasan). Gagasan ini merumuskan politik hukum
kebebasan beragama untuk membentuk kultur hukum yang baik dan harmonis di dalam struktur
masyarakat.

Kata Kunci: Agama; Pluralisme Hukum; Penegakan Hukum

A. Pendahuluan beragama. Namun seringkali hak beragama


yang disalahgunakan hingga memicu
Kebebasan beragama merupakan bagian
disintegrasi sosial. Berdasarkan catatan
dari kebebasan berekspresi, menafsirkan dan
penulis, ada beberapa kasus bermotif agama
memilih agama dan kepercayaan. Undang-
yang cukup menyita perhatian publik,
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
diantaranya: 1) Meilana, Kota Tanjungbalai-
(UUD NRI 1945) menjamin setiap warga
Sumut 22 Juli 2016. Meilana seorang
untuk berekspresi dan menjalankan kegiatan
keturunan Tionghoa beragama Budha
keagamaan dalam bingkai negara hukum.
mengeluhkan volume speaker masjid terlalu
Prinsip negara hukum Indonesia adalah
keras. Vonis 1,5 tahun; 2) Basuki Tjahaja
menjamin dan melindungi hak semua umat

385
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716

Purnama, Kepulauan Seribu-DKI Jakarta 27 hukum. Pendekatan ini mendahulukan


September 2016. Pidato Basuki mekanisme pluralism justice system sebagai
menyinggung surat Al-Maidah ayat 51. pilihan dalam penerapan hukum sebelum
Vonis 2 tahun 6 bulan; 3) Lia Aminuddin menempuh jalur pidana (diversi hukum).
atau Lia Eden, Jakarta 2 Juni 2009. Tokoh Pendekatan pluralisme hukum mendukung
pimpinan aliran Kerajaan Tuhan terbukti peran aktif masyarakat melalui satuan
melakukan tidak pidana penistaan agama. organisasi bernama Forum Kerukunan antar
Vonis 2 tahun 6 bulan; 4) Penganut Syiah, Umat Beragama (FKUB). Pola
Sampang-Jatim Agustus 2012. 1 tewas, 4 penyelesaiannya mirip dengan mekanisme
terluka. Rois Al Hukama terdakwa sekaligus Restorative Justice System yang
otak kerusuhan divonis bebas di PN mengedepankan mediasi secara musyawarah
Surabaya; 5) Pembunuhan tiga orang antar pihak, namun perbedaannya kasus
penganut Ahmadiyah, Cikeusik-Banten berlatar agama maka penyelesaiannya pun
Februari 2011. Sebanyak dua belas pelaku mengedepankan nilai-nilai pluralisme yang
divonis 3-6 bulan. bersumber dari agama (moral, dan etika).
Di antara kasus di atas, yang paling Tujuannya untuk melahirkan kultur hukum
mengenaskan adalah penganiayaan berujung baru, yakni kesadaran hukum bahwa
tewasnya tiga orang penganut Ahmadiyah di beragama berarti konsisten dengan nilai
Cikeusik, Banten pada Februari tahun 2011. agama. Moral sebagai kaidah berguna
Ketiganya dibunuh karena dianggap sebagai suatu ukuran tingkah laku baik atau
menyebarkan ajaran sesat. Kasus intoleransi buruk manusia menurut ajaran agama yang
hingga berujung pada kekerasan atas nama inklusif (Kusuma, 2015).
agama tidak dibenarkan dari sudut pandang Pluralism justice system menekankan
apapun. Jika dibiarkan, kasus penodaan reformasi cara berhukum melalui
agama terus berulang. Moralitas beragama pendekatan kultur hukum. Hukum di
terkikis hingga menjadi paham eksklusif dan Indonesia tak dapat dipisahkan dengan
arogan dalam beragama. Kenyataan ini kultur yang sesungguhnya merupakan nilai
memprihatinkan karena tidak semua penting dalam membantu penegakan hukum.
pemeluk agama sadar dan bermoral dalam Teori pluralisme hukum diartikan sebagai
beragama. Mulanya kebebasan beragama garis penghubung antara berbagai sistem
diartikan sebagai kebebasan menafsirkan hukum dalam masyarakat tertentu, termasuk
ajaran agama, kebebasan beraktivitas kultur hukum. Inilah yang ditangkap oleh
spiritual dan kebebasan dalam mengamalkan Werner Menski, seorang guru besar hukum
nilai agama. Namun kebebasan ini dapat dari University of London pada saat meneliti
mengarah kepada penodaan agama. Agama tentang perbandingan hukum negara-negara
dengan mudah disusupi berbagai di Asia dan Afrika. Menski menyimpulkan
kepentingan termasuk kepentingan penegakan hukum di Asia dan Afrika
kontestasi politik. Sejak satu dekade terakhir berbeda dengan penegakan hukum di Barat,
politik atas nama agam merusak logika khususnya di Eropa. Penegakan hukum di
beragama. Ajaran Tuhan tentang humanisme Eropa tidak terlalu dipengaruhi unsur-unsur
dikalahkan dengan fanatisme. “Saat agama non hukum, seperti moral, etika dan agama.
mengalahkan Tuhan” adalah gambaran Bangsa-bangsa di eropa sangat nyaman
betapa hebatnya provokasi dari politisasi dengan state law. Berbeda dengan bangsa-
agama. Logika manusia sebagai hamba tidak bangsa di Asia dan Afrika yang sangat
lagi berjalan (Kherid, 2018). dipengaruhi oleh moral, etika dan agama
Fenomena ini perlu ditangani melalui dalam cara berhukumnya (Suteki, 2015).
pembenahan instrumen hukum (law reform). Menski berpendapat untuk melihat
Perlu sebuah pendekatan preventif agar api efektivitas cara bekerjanya hukum di Asia
dalam sekam di masyarakat bisa langsung dan Afrika menggunakan pendekatan
dipadamkan oleh pendekatan pluralisme pluralisme hukum yang mengandalkan

386
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716

pertautan antara state (positive law), aspek Agama dalam Pasal 29. Jika dijabarkan
kemasyarakatan (socio-legal approach) dan lebih jauh, ayat (1) menegaskan bahwa
moral, etika dan agama (natural law) Indonesia menganut prinsip ketuhanan
(Suteki, 2015). sebagai wujud pengakuan negara terhadap
Kultur hukum dalam teori pluralisme agama. Ayat (2) menegaskan adanya
hukum berada di ranah socio legal jaminan negara kepada warganya untuk
approach. Menurut Lawrence M Friedman memiliki agama dan kepercayaanya serta
dalam teori sistem hukum, komponen kultur jaminan untuk beraktivitas spiritual tanpa
hukum efektif mensinkronkan komponen ada unsur paksaan.
struktur hukum dengan komponen substansi Dua ayat dalam Pasal 29 merupakan
hukum. Begitu pentingnya kultur hukum satu kerangka hubungan antara negara-
menurut Eman Suparman justru agama-warga. Ketiga unsur tersebut
sesungguhnya penegakan hukum yang baik berorientasi pada terciptanya kerukunan
bukan ditentukan oleh substansi perundang- substantif. Kerukuran substantif memiliki
undangannya, melainkan lebih banyak dua aspek yakni, aspek individualitas
ditentukan oleh kultur hukum. Kultur (pribadi) dan aspek sosial (bermasyarakat).
hukum mencakup ajaran moral dan cara Dalam aspek individual, kebebasan
bertindak dalam menyelesaikan beragama dalam pengertian meyakini suatu
permasalahan terutama menyangkut agama. agama tertentu merupakan ranah khusus
Di titik inilah perlu penguatan kultur hukum (forum internum). Sedangkan dalam aspek
melalui penjabaran teori pluralisme hukum. sosial hubungan antar umat beragama dalam
Teori pluralisme hukum mendahulukan kehidupan bermasyarakat masuk kategori
proses musyawarah daripada penyelesaian umum (forum eksternum) yang terdapat
melalui legal formal. Proses musyawarah batasan dalam kerangka negara hukum.
pada hakikatnya merupakan nilai yang Batasan ini dimuat dalam Pasal 28J UUD
sangat religius sebagaimana diajarkan dalam NRI 1945 yang mengandung makna bahwa
Pancasila sila pertama serta tujuan kebebasan beragama merupakan
kemufakatan (egalitarian) sebagaimana konstitusional bersyarat, yakni hak
dalam sila keempat. Nilai inilah yang perlu menentukan agama yang dijamin dan
dikembalikan dalam penyelesaian kasus dilindungi konstitusi dalam hal aspek
sosial keagamaan tanpa harus diselesaikan individual, sedangkan dalam aspek
di pengadilan (non enforcement of law). bermasyarakat tunduk pada batasan atau
Berdasarkan uraian, tulisan ini rambu-rambu hukum.
merumuskan permasalahan sebagai berikut: Forum internum adalah hak untuk
Bagaimana cara pluralisme hukum memeluk suatu agama, hak untuk meyakini
menyelesaikan masalah kebebasan kebenaran dari suatu agama, hak untuk
beragama? Bagaimana pluralisme hukum beribadah, dan hak untuk menafsirkan suatu
membentuk politik hukum kebebasan teks agama. Adapun forum eksternum
beragama? adalah hak untuk mengekspresikan atau
menyebarkan ajaran agama yang tentu ada
B. Pembahasan batasannya. Undang-Undang No. 5 Tahun
1. Penyelesaian Masalah Kebebasan 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Beragama melalui Pluralisme Hukum dan Penodaan Agama (UU
No.5/PNPS/1965) mengakui ada enam
Kebebasan beragama merupakan hak
agama di Indonesia yakni, Islam, Kristen,
asasi manusia (HAM) yang sifatnya
Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
universal. Indonesia mengakui hak-hak
Meski demikian bukan berarti agama-agama
warganya untuk bebas menentukan agama
dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh
sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang
dan berkembang di Indonesia. Pemerintah
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
wajib menjamin setiap hak warga negara
1945 (UUD NRI 1945) melalui Bab tentang

387
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716

dalam kebebasan forum internum sepanjang Pemahaman ini dikuatkan dengan


tidak berbenturan dengan aturan. putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
Hasyim Muzadi sebagai Ahli saat uji 140/PUU-VII/2009 tentang uji materi UU
materi UU No.5/PNPS/1965 berpendapat 5/PNPS/Tahun 1965. MK menolak
bahwa negara tidak boleh mencampuri permohonan yang diajukan pemohon atas
substansi dan teologi suatu agama tetapi kerugian konstitusional dari beberapa pasal
berkewajiban melindungi kerukunan semua yang dianggap membatasi ruang kebebasan
umat beragama dalam konteks berbangsa beragama. Putusan MK menguatkan
dan bernegara. Hasyim merumuskan kandungan konstitusi dalam undang-undang
pengertian ini bukan liberalisasi agama dan tersebut. Dalam pertimbangannya MK
bukan konservasi beragama. Namun dalam menilai kebebasan beragama bukanlah
kebebasan beragama bukanlah bagian dari kebebasan yang bebas nilai, melainkan
demokrasi tetapi merupakan agresi moral kebebasan yang disertai dengan tanggung
terhadap keluhuran suatu agama (Hasyim jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi
Muzadi, 2009). Dalam kasus tewasnya tiga setiap orang. Negara berperan untuk
penganut Ahmadiyah Tahun 2011, menyeimbangkan hak asasi setiap warganya
ketentuan forum internum dan forum dan memastikan bahwa dalam pelaksanaan
eksternum tidak berjalan baik. Forum kebebasan beragama seseorang tidak
internum bukan membatasi dan mengurangi melukai kebebasan beragama orang lain.
kebebasan penganut Ahmadiyah untuk Artinya Undang-Undang tersebut tidak
berekspresi spiritual, tetapi perlu sedikitpun mematikan kemajemukan agama
memperhatikan apakah penafsiran atas di Indonesia. Semua penganut agama
lahirnya keyakinan Ahmadiyah menodai mendapat pengakuan dan jaminan
agama Islam atau tidak. Jawaban ini dapat perlindungan yang sama. Adapun
ditemukan dari para tokoh agama serta pengakuan enam agama bersifat pengakuan
respon masyarakat sekitar. Jika terjadi sosiologis.
penolakan secara masif, maka mekanisme Pengertian pluralisme berada dalam
forum eksternum harus ditegakkan. ranah hukum kemasyarakatan (socio legal
Penegakan forum eksternum demi studies). Menski menggambarkan
melindungi keselamatan penganut pluralisme dengan segitiga yang terdiri dari
Ahmadiyah. Inilah menurut Hasyim Muzadi natural law, state positivism dan socio legal
yang disebut Pluralisme sosiologis dalam approach. Ketiga unsur ini membentuk
bingkai Bhinneka Tunggal Ika, bukan pluralisme hukum kemudian diperkenalkan
pluralisme teologis (Muzadi, 2009). oleh Menski pada tahun 2006. Konsep
Apakah pengertian forum eksternum segitiga pluralisme hukum dari Menski ini
tidak boleh mengganggu agama yang mendukung teori legal system dari Lawrence
sebelumnya dianut di Indonesia? Penulis M. Friedman, yaitu Legal Structure, Legal
menilai persoalan ini bukan persoalan waktu Substance, dan Legal Culture. Dalam hal
atau pengakuan atas suatu agama yang lebih legal culture inilah pluralisme hukum
dulu dianut, melainkan pengakuan atas bekerja. Cara kerja pluralisme hukum dalam
eksistensi agama dalam UU kultur hukum di Indonesia dipengaruhi oleh
No.5/PNPS/1965. Artinya kalaupun ada nilai-nilai hukum lokal. Hukum akan
penafsiran agama atas agama yang bekerja efektif dan diterima masyarakat
sebelumnya dianut masyarakat di Indonesia, manakala tak ada benturan dengan perasaan
penafsiran tersebut tidaklah mengganggu hukum masyarakat. Dalam konteks
ajaran fundamental dan keluhuran agama Indonesia, inti legal culture adalah Pancasila
tertentu. Dengan kata lain penafsiran yang menjadi patokan bekerjanya struktur
tersebut dapat diterima jika mengandung hukum (Saptomo, 2012).
unsur ajaran baru yang berbeda dengan ke Pluralisme hukum melihat kasus
enam agama di Indonesia. penodaan agama tidak sepenuhnya

388
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716

diselesaikan melalui pemidanaan (criminal kuntul baris (semangat gotong royong),


justice system). Pendekatan aspek menang tanpo ngasorake
kemasyarakatan (socio-legal approach) dan (pemenang/penguasa tidak boleh digdaya).
moral, etika dan agama (natural law) perlu Dalam masyarakat batak pepatah dos ni
ditekankan sebagai bentuk kepedulian roha do sibaen nasaut bermakna hasil
hukum atas kasus penodaan agama. musyawarah adalah hasil yang terbaik).
Pluralisme hukum dilihat sebagai strategi Budaya merupakan unsur penting dalam
pendekatan hukum melalui non enforcement sistem hukum. Perannya sangat efektif
of law. Pendekatannya tidak lagi terpenjara mengikat masyarakat sebagai hukum
oleh ketentuan legal formalism melainkan kebiasaan (customary law). Nilai yang
telah melompat ke arah pertimbangan living tumbuh dan kuat dalam masyarakat
law dan natural law. Cara berhukum di membuat hukum selalu hidup dinamis.
Indonesia tidak tepat apabila digunakan Friedman menyimpulkan bahwa kultur
pendekatan positivistik seperti negara asal hukum merupakan komponen yang sangat
hukum Indonesia (khususnya Eropa) tanpa menentukan apakah substansi hukum
melihat aspek moral etika dan agama serta maupun tatanan proseduralnya diterima oleh
pertimbangan aspek socio-legal-nya masyarakat. Itulah sebabnya friedman
Berdasarkan cirinya, unsur-unsur menegaskan bahwa komponen budaya
pluralism justice system dapat dirinci merupakan motor penggerak bagi tatanan
sebagai berikut: (a) Tindakan preventif. hukum (Warassih, 2016); (c) Pemberdayaan
Mekanisme ini merupakan upaya FKUB. FKUB merupakan sebuah
pencegahan atas kekerasan atau kejahatan komponen yang membuat urusan
atas nama agama. Tindakan preventif berarti keagamaan lebih humanis dan merekatkan
mendeteksi gejala kekerasan sehingga cepat hubungan antar kelompok agama. Cara kerja
diselesaikan melalui revitalisasi nilai-nilai FKUB dalam penyelesaian kasus penodaan
moral, etika, agama, hingga adat istiadat. agama tidak bertujuan retributif
Namun jika kasus penodaan agama terus (pembalasan) ataupun restitutif (ganti rugi).
membesar, berskala masif hingga berpotensi Keberadaannya bukan menggantikan peran
terjadi kejahatan kemanusiaan, penegak hukum, melainkan sebagai sarana
penyelesaiannya dibawa ke ranah pidana penyelesaian masalah keagamaan diluar
sebagai ultimum remedium. Penyelesaian di prosedur positivistik. Orientasi FKUB demi
ranah pidana bukan berarti cara kerja pencapaian kemanfaatan hukum.
pluralism justice system lemah. Mekanisme Mekanisme ini menggunakan pendekatan
ini menekankan pada preventif dengan cara kultural sebagai bagian dari unsur
mendeteksi dini masalah-masalah pluralisme hukum. Nilai-nilai tersebut akan
keagamaan. Penguatan tindakan preventif mengembalikan pesan moral agama agar
merupakan usaha menciptakan terlebih dahulu kasus keagamaan
keseimbangan antara nilai-nilai hukum diselesaikan dengan musyawarah. Tujuan
positif dengan nilai-nilai sosial. dari mekanisme ini untuk menciptakan
Interaksional antara norma hukum dengan kultur hukum dalam beragama, yakni
masyarakat akan menghasilkan output penyadaran moral bahwa salah satu pihak
berupa kultur hukum yang baik. Kultur menyadari kesalahannya dan pihak lainnya
hukum yang baik menghendaki memaafkan perbuatannya.
penyelesaian kasus hukum tidak selamanya Ada kemiripan antara pluralism justice
dengan pemidanaan. Penegakan hukum system dengan restorative justice system,
melalui musyawarah (non enforcement of yakni diversi atau pengalihan penegakan
law) menempatkan hukum sebagai hukum. Dalam pidana anak, sistem restoratif
penyatuan kekuatan norma dan kekuatan mendorong perdamaian daripada proses
sosial; (b) Kultur Hukum. Dalam hukum formal. Gagasan ini sudah diatur
masyarakat Jawa dikenal pepatah holo bis dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun

389
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyimpang. Pasal 2 ayat (2)
yang mengutamakan prinsip-prinsip umum Pembubaran organisasi atau aliran
perlindungan anak, non diskriminasi, dan keagamaan yang menyimpang setelah
kelangsungan hidup anak. Mahkamah melalui prosedur peringatan. Pasal 3
Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah ancaman pidana terhadap pengurus atau
Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang kader organisasi terlarang. Norma-norma
Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem represif dalam undang-undang ini tidak
Peradilan Pidana Anak. Perma mewajibkan didahului ketentuan umum meliputi
Hakim menyelesaikan kasus anak dengan pengertian, hak dan kewajiban, maupun
acara diversi yang merupakan prosedur batasan tertentu; (b) Tidak Responsif.
hukum baru dalam sistem hukum pidana di Secara historis undang-undang ini lahir
Indonesia (Mansyur, 2017). dalam mengantisipasi maraknya gerakan
Sama seperti FKUB, undang-undang keagamaan yang mengancam stabilitas
peradilan anak juga mengakui struktur bangsa. Terlebih sistem politik pada tahun
hukum selain penegak hukum, yakni 1965 adalah demokrasi terpimpin, atau
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), sistem peralihan dari parlementer yang
Lembaga Penempatan Anak Sementara dibubarkan melalui dekrit presiden 5 Juli
(LPAS) dan Lembaga Penyelenggaraan 1959. Dalam kurun waktu 1959-1965
Kesejahteraan Sosial (LPKS). Satuan-satuan kondisi politik tidak stabil dengan gejolak
ini menangani anak mulai dari sistem penolakan demokrasi terpimpin yang
peradilan hingga menentukan apakah anak memberi porsi kekuasaan besar kepada
akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan Presiden. Kondisi ini diperparah dengan
(Mansyur, 2017). propaganda ideologi Komunisme melalui
PKI. Propaganda komunis kemudian
2. Gagasan Pluralisme Hukum dalam memuncak hingga tragedi G30S PKI 1
Politik Hukum Kebebasan Beragama Oktober 1965 ketika Tujuh Perwira tinggi
militer beserta beberapa orang lainnya
Gagasan pluralisme hukum mendorong
dibunuh dalam usaha kudeta. Peristiwa ini
revisi UU No.5/PNPS/1965 agar lebih
terus memanas hingga terjadi transisi
humanis, bersifat holistik, menekankan
pemerintah kepada Soeharto. Situasi politik
upaya preventif dengan melibatkan berbagai
elemen masyarakat. Politik hukum yang yang tidak stabil melatarbelakangi lahirnya
undang-undang ini (Muktiono, 2012); (c)
diusung berorientasi pada hukum sebagai
Eksklusif. Pasal 2 memberi wewenang
sarana rekayasa sosial (social engineering
kepada Menteri Agama, Jaksa Agung dan
by law). Merekayasa sosial agar tercipta
Menteri Dalam Negeri untuk
situasi yang toleran dan tertib hukum
memperingatkan organisasi menyimpang
dengan cara mengontrol tingkah laku
sebelum dibubarkan. Pasal ini terlalu
masyarakat untuk mencapai keadaan yang
eksklusif karena sebuah pelanggaran
diinginkan hukum. Hukum sebagai sarana
langsung ditangani oleh pejabat tinggi atau
merekayasa sosial merupakan tolak ukur
kementerian. Lompatan ini berpotensi
efektivitas bekerjanya hukum, sekaligus
menghilangkan fakta-fakta hukum serta
menyeimbangkan antara hak personal atau
menghapus penyelesaian melalui
forum internum (nonderogable right)
musyawarah, serta meniadakan fungsi
dengan tanggung jawab sosial atau forum
penegakan hukum di tingkat bawah.
eksternum (derogable rights) (Utoyo, 2013).
Politik hukum keagamaan perlu
Model penyelesaian kebebasan
menerjemahkan konsistensi nilai dari
beragama dalam UU No.5/PNPS/1965
Undang-Undang Dasar dimulai alinea
memiliki beberapa kekurangan, diantaranya:
pertama perihal hak atas kemerdekaan, hak
(a) Represif. Norma-norma represif bisa
atas kewarganegaraan (Pasal 26), persamaan
dilihat dari Pasal 1 yang mengatur larangan
di muka hukum dan pemerintahan (Pasal 27
menafsirkan agama dan kegiatan keagamaan

390
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716

ayat 1), hak kehidupan yang layak (Pasal 27 bermacam-macam sudut pandang, seperti
ayat 2), hak berserikat dan berkumpul (Pasal politik, agama, budaya, sosiologi,
28) dan kemerdekaan memeluk agama dan antropologi hingga adat-istiadat. Penegakan
beribadat menurut agama dan hukum diarahkan untuk menyusun undang-
kepercayaannya (Pasal 29 ayat 2). Pasal- undang yang plural, holistik, dan
pasal tersebut sudah meletakkan batasan hak berorientasi pada pembangunan cita-cita
dan kewajiban umat beragama sehingga bangsa. Dalam menuju cita-cita tersebut
norma di bawahnya wajib seirama. Agama pembuat undang-undang hendaknya
memang dapat menjadi faktor pemersatu, memiliki visi jangka panjang dalam politik
tetapi bukan penyatuan (Pinilih, 2018). hukum (ius constituendum). Konstitusi
Politik hukum keagamaan adalah penjabaran sebagai state law atau
falsafah pancasila. Menurut Aloysius R. staatsfundamentalnorm meletakkan dasar
Entah, nilai-nilai agama dalam pancasila pluralisme sebagai dasar atau acuan dalam
bisa dilihat dari karakteristik sila pertama pembentukan undang-undang. Norma dasar
dan kedua, yakni NKRI berbhineka bukan merupakan kewajiban yang dikehendaki
negara sekuler, bukan negara agama dan yang bersumber dari objektifikasi keinginan
bukan negara atheis, melainkan negara pendiri bangsa. Oleh karena hasil
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. objektifikasi dari kehendak bersama maka
NKRI adalah negara yang menjunjung norma dasar tidak berubah-ubah sebagai
tinggi persamaan hak dan menghormati panduan dalam (Samekto, 2015).
perbedaan, serta cinta perdamaian atas dasar Pancasila yang terdiri dari asas
Kemanusiaan yang adil dan beradab (Entah, ketuhanan, asas kemanusiaan, asas
2016). persatuan/nasionalisme, asas musyawarah
Leopold Pospisil dalam bukunya The dan asas keadilan adalah panduan dalam
Anthropological of Law (1971), pembentukan Undang-Undang (ius
mengemukakan bahwa sumber hukum yang constituendum). Pada akhirnya pluralisme
paling utama bukan berasal dari negara hukum diharapkan mampu mengubah
(positivistik) melainkan dari perilaku paradigma berhukum yang positivistik
masyarakat dan hukum yang mampu menjadi hukum yang progresif dengan cara
mewadahi pluralisme masyarakat. Demikian memberi pilihan kepada masyarakat bahwa
pula Frederick Karl von Savigny ada banyak cara berhukum untuk
memandang bahwa hukum yang baik menyelesaikan masalah di luar pengadilan.
bersumber dari adat-istiadat, kebiasaan, dan Cara berhukum yang pluralistik, korektif,
kemauan masyarakat yang diwujudkan rehabilitatif dan restoratifadalah cara kerja
melalui lembaga perwakilan sehingga pluralism justice system.
hukum yang dihasilkan dapat memenuhi
kehendak masyarakat dalam rangka C. Simpulan
memenuhi kehidupan sosialnya (Saptomo, Pluralism Justice System
2012). mengedepankan diversi hukum dengan
Dalam ajaran hukum progresif, revisi strategi non enforcement of law. Pendekatan
suatu peraturan dibutuhkan jika memang ini sebagai kritik sentralisme dan
terbukti tidak mendukung upaya penegakan positivisme yang lemah dalam menerapkan
hukum (Sasmito, 2011). Karakter progresif pola preventif. Proses diversi hukum
adalah karakter berhukum yang peka merevitalisasi nilai moral etika dan agama
terhadap perubahan di masyarakat.
dalam menyelesaikan masalah kebebasan
Tantangan dalam pembuatan hukum (law beragama. Strategi non enforcement of law
making) merupakan proses penegakan hakikatnya merupakan nilai yang sangat
hukum lebih dini. Penegakan hukum dalam religius sebagaimana dimuat dalam
law making meliputi perdebatan pemikiran Pancasila sila keempat.
para pembuat hukum yang berangkat dari

391
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.4, Oktober2019, Halaman 385-392 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716

Gagasan pluralisme hukum memiliki https://www.mahkamahagung.go.id/id/


landasan kuat untuk membentuk politik artikel/2613/keadilan-restoratif-
hukum kebebasan beragama. Landasan ini sebagai-tujuan-pelaksanaan-diversi-
meliputi landasan yuridis, bahwa UU pada-sistem-peradilan-pidana-anak
No.5/PNPS/1965 tidak responsif dan Muktiono, M. (2012). Mengkaji Politik
cenderung represif. Landasan sosiologis Hukum Kebebasan Beragama Dan
bahwa pluralisme hukum dapat merekatkan Berkeyakinan Di Indonesia. Jurnal
relasi sosial menjadi sebuah konstruksi Dinamika Hukum, 12(2).
hukum termasuk pengaturan mekanisme
pluralism justice system yang melibatkan Muzadi, H. Putusan MK Nomor 140/PUU-
semua pihak dalam struktur sosial. Landasan VII/2009. , (2009).
filosofis bahwa kebebasan beragama Sasmito, H. A. (2011). Putusan Ultra Petita
merupakan nonderogable right dalam Mahkamah Konstitusi Dalam
menentukan aktivitas spiritual. Kebebasan Pengujian Undang-Undang.Law
disini dikonsepkan sebagai hak Reform,6(2), 55–81.
konstitusional bersyarat, karena ada aspek
masyarakat yang perlu diperhatikan. Pinilih, S. A. G. (2018). Aktualisasi Nilai-
Nilai Pancasila Terhadap Hak Atas
DAFTAR PUSTAKA Kebebasan Beragama Dan Beribadah
Di Indonesia. Masalah-Masalah
Aloysius, R., Pancasila, B., & Entah, A. R. Hukum, 47(1), 40.
(2016). Indonesia : Negara Hukum Samekto, F. A. (2015). Normativitas
yang Berdasarkan Pancasila . 533– Keilmuan Hukum Dalam Perspektif
542. Aliran Pemikiran Neo-Kantian.
Kherid, N. (2018). Deklarasi Damai atau Masalah-Masalah Hukum, Vol. 44, p.
Dekorasi Damai? Retrieved September 11.
16, 2019, from medcom.id website: Saptomo, A. (2012). Budaya Hukum dalam
https://www.medcom.id/oase/kolom/1b Masyarakat Plural dan Problem
V4RjnK-deklarasi-damai-atau- Implementasinya. (Dialektika). Jakarta:
dekorasi-damai Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial.
Kusuma, E. H. (2015). Hubungan Antara Suteki. (2015). Masa Depan Hukum
Moral dan Agama dengan Hukum. Progresif. Yogyakarta: Thafa Media.
Jurnal Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan, 28(2), 96–104. Utoyo, M. (2013). Kebebasan Beragama
Yang Terbatas. Masalah-Masalah
Mansyur, R. (2017). Keadilan Restoratif Hukum, 42(4), 583–592.
Sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi
Pada Sistem Peradilan Pidana Anak. Warassih, E. (2016). Pranata Hukum
Retrieved September 16, 2019, from Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang:
mahkamahagung.go.id website: Pustaka Magister.

392

Anda mungkin juga menyukai