Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN FRAKTUR

DI RUANG MAHONI RS BHAYANGKARA Tk. I RADEN SAID SUKANTO

Makalah disusun guna memenuhi praktek profesi


mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah

Dosen Pengampu: Ns. Mareta Dea Rosaline, M.Kep

Disusun oleh:
Dinda Triananda
2110721115

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2021
A. Konsep Dasar
1. Anatomi Fisiologi
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-oto yang menggerakkan kerangka tubuh. Tulang juga merupakan
tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fhosfat. Tulang
rangka orang dewasa terdiri atas 206 tulang. Tulang adalah jaringan hidup yang
akan suplai saraf dan darah. Tulang banyak mengandung bahan kristalin
anorganik (terutama garam-garam kalsium) yang membuat tulang keras dan kaku,
tetapi sepertiga dari bahan tersebut adalah fibrosa yang membuatnya kuat dan
elastis (Price & Wilson, 2006). Tulang ekstrimitas bawah atau anggota gerak
bawah dikaitkan pada batang tubuh dengan perantara gelang panggul terdiri dari
31 pasang antara lain: tulang koksa, tulang femur, tibia, fibula, patella, tarsalia,
meta tarsalia dan falang (Price & Wilson, 2006).
a. Koksa OS koksa turut membentuk gelang panggul, letaknya di setiap sisi
dan di depan bersatu dengan simfisis pubis dan membentuk sebagian
besar tulang pelvis.
b. Tulang Femur merupakan tulang pipa dan terbesar di dalam tulang
kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum
membentuk kepala sendi yang disebut kaput femoris. Di sebelah atas dan
bawah dari kolumna femoris terdapat laju yang disebut trokanter mayor
dan trokanter minor. Di bagian ujung membentuk persendian lutut,
terdapat dua buah tonjolan yang disebut kondilus lateralis dan medialis.
Di antara dua kondilus ini terdapat lakukan tempat letaknya tulang
tempurung lutut (patella) yang disebut dengan fosa kondilus.
c. Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari tungkai
bawah dan terletak medial dari fibula atau tulang betis. Tibia adalah
tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung.
d. Fibula atau tulang betis adalah tulang sebelah lateral tungkai bawah,
tulang itu adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung
(Evelyn, 2007). Sendi tibia fibula dibentuk antara ujung atas dan ujung
bawah, kedua tungkai bawah batang dari tulang-tulang itu digabungkan
oleh sebuah ligamen antara tulang membentuk sebuah sendi ketiga antara
tulang-tulang itu.
e. Meta tarsalia terdiri dari tulang-tulang pendek yang banyaknya 5 buah
yang masing-masing berhubungan dengan tarsus dan falangus dengan
perantara sendi.
f. Falangus merupakan tulang-tulang pipa yang pendek yang masing-masing
terdiri dari 3 ruas kecuali ibu jari sebanyak 2 ruas, pada metatarsalia
bagian ibu jari terdapat dua buah tulang kecil bentuknya bundar yang
disebut tulang bijian (osteum sesarnoid).
2. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditetukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gerakan puntir
mendadak, gaya remuk dan bahkan kontraksi otot eksterm (Brunner & Sudarth,
2002). Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma dan tenaga fisik. Kekuatan, sudut
tenaga, keadaan tulang dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi tersebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap
terjadi jika seluruh tulang patah sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan
seluruh ketebalan tulang.
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika
terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu.
Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak
mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau
pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi komplikasi pemulihan klien
(Black & Hawks, 2014).
3. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut (Price & Wilson, 2006) yaitu:
a. Cidera atau benturan (jatuh pada kecelakaan)
b. Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis
c. Fraktur karena letih
d. Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang baru
saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru diterima dalam
angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari.
4. Patofisiologis
Menurut (Brunner & Sudarth, 2002), trauma dan kondisi patologis yang terjadi
pada tulang yang menyebabkan fraktur. Fraktur menyebabkan diskontinuitas
jaringan tulang yang dapat membuat penderita mengalami kerusakan mobilitas
fisiknya. Diskontinuitas jaringan tulang dapat mengenai 3 bagian yaitu jaringan
lunak, pembuluh darah dan saraf serta tulang itu sendiri. Jika mengenai jaringan
lunak makan akan terjadi spasme otot yang menekan ujung saraf dan pembuluh
darah dapat mengakibatkan nyeri, deformitas serta syndrome compartement.
Fraktur adalah semua kerusakan pada kontinuitas tulang, fraktur beragam
dalam hal keparahan berdasarkan lokasi dan jenis fraktur. Meskipun fraktur
terjadi pada semua kelompok usia, kondisi ini lebih umum pada orang yang
mengalami trauma yang terus-menerus dan pada pasien lansia. Fraktur dapat
terjadi akibat pukulan langsung, kekuatan tabrakan, gerakan memutar tiba-tiba,
kontraksi otot berat, atau penyakit yang melemahkan tulang. Dua mekanisme
dasar yang fraktur: kekuatan langsung atau kekuatan tidak langsung. Dengan
kekuatan langsung, energi kinetik diberikan pada atau dekat tempat fraktur.
Tulang tidak dapat menahan kekuatan. Dengan kekuatan tidak langsung, energi
kinetik di transmisikan dari titik dampak ke tempat tulang yang lemah. Fraktur
terjadi pada titik yang lemah. Sewaktu tulang patah, pendarahan biasanya terjadi
di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan
lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorpsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembekakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak
terkontrol pebekakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom compartment (Brunner
dan Suddarth, 2002).
Pathway
5. Manifestasi Klinis
Manisfestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna
(Brunner & Sudarth, 2002).
a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupkan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur.
d. Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainnya (uji krepitus dapat merusakkan jaringan lunak yang lainnnya
lebih berat).
e. Pembengkakan akan mengalami perubahan warna lokal pada kulit terjadi
sebagai trauma dan pendarahan akibat fraktur
6. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut (Muliha, 2010), antara lain :
a. Kerusakan Arteri. Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
ada nadi, CRT menurun, synosis bagian distal, hematoma yang lebar dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.
b. Sindroma Kompartement. Merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
perfusi jaringa dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan
jaringan. Hal ini bisa disebabkan karena edema atau pendarahan yang
menekan otot, penurunan ukuran kompartement oto karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat, saraf, pembuluh darah atau tekanan dari luar
seperti gips.
c. Fad Emboli Syndrome. Merupakan komplikasi serius yang terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. Fes terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
kadar oksigen dalam darah menjadi rendah. Hal ini ditandai dengan
ganggguan pernapasan, takikardia, hipertensi, takipnea dan demam.
d. Infeksi. Sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada jaringan.
e. Pada trauma ortopedi, infeksi-infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tetapi
dapat juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan dan pasca
operasi pemasangan pin.
f. Avaskuler nekrosi (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001 & Arif Muttaqin,
2005).
g. Syok hipovolemik atau traumatic (banyak kehilangan darah dan
meningkatnya permeabilitas kapilar eksternal maupun yang tidak
kehillangan yang bisa menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan
cairan dan dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan
vertebra.
7. Penatalaksanaan Medis
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi semula
dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang. Cara
pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau imobilisasi, misalnya
menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada fraktur iga dan fraktur klavikula
pada anak. Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan
pada patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah reposisi
dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, biasanya dilakukan pada
patah tulang radius distal. Cara keempat adalah reposisi dengan traksi secara
terus-menerus selama masa tertentu. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang
apabila direposisi akan terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa reposisi
yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa reposisi
secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif.
Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna yang
biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Cara yang
terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dengan prostesis (Sjamsuhidajat,
2010).
Menurut (Istianah, 2017) penatalaksanaan medis antara lain :
a. Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan untuk
mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai
untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.
b. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis
tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi terbuka.
Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau mekanis untuk
menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi untuk mengembalikan
kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal atau kurang memuaskan,
maka bisa dilakukan reduksi terbuka. Reduksi terbuka dilakukan dengan
menggunakan alat fiksasi internal untuk mempertahankan posisi sampai
penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain
pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur
melalui pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan
terbuka ini akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah
dapat tersambung kembali.
c. Retensi Imobilisasi fraktur
Bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan mencegah pergerakan
yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan plat atau traksi dimaksudkan
untuk mempertahankan reduksi ekstremitas yang mengalami fraktur.
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Proses keperawataan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan secara
ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah klien,
merencanakan secara sistemastis dan melaksanakannya secara mengevaluasi hasil
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Wijaya & Putri, 2013).
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian dalam menangani masalah-masalah klien
sehingga dapat menentukan tindakan keperawatan yang tepat.
Anamnesis
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomer
register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosis medis (Padila, 2012).
b. Keluhan utama
Keluhan utamanya adalah rasa nyeri akut atau kronik. Selain itu klien juga
akan kesulitan beraktivitas. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan menurut (Padila, 2012):
- Provoking incident : Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor presipitasi
nyeri
- Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk 21
- Region : Radiation, relief : Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
- Severity (scale) of pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
memepengaruhi kemampuan fungsinya.
- Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan
penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Padila,
2012).
e. Riwayat penyakit keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan
penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Padila, 2012).
f. Riwayat psikososial Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari (Padila, 2012).
g. Pola-pola
- Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Pada kasus fraktur akan timbul
ketakutan akan terjadi kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain
itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat
steroid yang dapat menggangu metabolisme kalsium, pengonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melaksanakan
olahraga atau tidak (Padila, 2012).
- Pola nutrisi dan metabolisme Insufisiensi pancreas/DM (predisposisi untuk
hipoglikemia atau ketoasidosis), malnutrisi termasuk obesitas, membran
mukosa kering karena pembatasan pemasukan atau periode post puasa. Pada
klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin untuk membantu proses
penyembuhan tulang dan pantau keseimbangan cairan (Padila, 2012).
- Pola eliminasi Pantau pengeluaran urine frekuensi, kepekatannya, warna,
bau, dan jumlah apakah terjadi retensi urine. Retensi urine dapat disebabkan
oleh posisi berkemih yang tidak alamiah, pembesaran prostat dan adanya
tanda infeksi saluran kemih Kaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau
feses.
- Pola tidur dan istirahat Klien akan merasakan nyeri, keterbatasan gerak
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Padila,
2012). Tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan, peka terhadap
rangsang, stimulasi simpatis. e) Pola aktivitas Timbulnya nyeri, keterbatasan
gerak maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan
klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas (Padila, 2012).
- Pola hubungan dan peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap (Padila, 2012).
- Persepsi dan konsep diri Dampak yang timbul pada klien adalah rasa takut
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal dan pandangan dirinya yang salah (Padila, 2012).
- Pola sensori dan kognitif Klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian fraktur, sedangkan pada indera yang lainnya tidak timbul
gangguan begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan (Padila,
2012).
- Pola reproduksi seksual Klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena
harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri. Selain itu,
klien juga perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya (Padila, 2012).
- Pola penanggulangan stress Perasaan cemas, takut, marah, apatis, faktor-
faktor stress multiple seperti masalah finansial, hubungan, gaya hidup
(Doenges dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010). Timbul kecemasan
akan kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien biasanya tidak efektif (Padila, 2012).
- Pola tata nilai dan keyakinan Klien tidak dapat melakukan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi (Padila, 2012).

Pemeriksaan fisik menurut Suratun dkk (2008) antara lain :


a. Keadaan umum :
1) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
2) Tanda-tanda vital : Kaji dan pantau potensial masalah yang berkaitan dengan
pembedahan : tanda vital, derajat kesadaran, cairan yang keluar dari luka,
suara nafas, pernafasan infeksi kondisi yang kronis atau batuk dan merokok.
3) Pantau keseimbangan cairan
4) Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan darah pada
pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan darah turun, konfusi,
dan gelisah)
5) Observasi tanda infeksi (infeksi luka terjadi 5-9 hari, flebitis biasanya timbul
selama minggu kedua) dan tanda vital
6) Kaji komplikasi tromboembolik : kaji tungkai untuk tandai nyeri tekan,
panas, kemerahan, dan edema pada betis
7) Kaji komplikasi emboli lemak : perubahan pola panas, tingkah laku, dan
tingkat kesadaran
8) Kaji kemungkinan komplikasi paru dan jantung : observasi perubahan
frekuensi frekuensi nadi, pernafasan, warna kulit, suhu tubuh, riwayat
penyakit paru, dan jantung sebelumnya
9) Kaji pernafasan : infeksi, kondisi yang kronis atau batuk dan merokok.

Secara sistemik menurut Padila (2012) antara lain:


1) Sistem integumen
Terdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma meningkat, bengkak, edema,
nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu normo cephalik simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada
4) Muka Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tak edema
5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
6) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak
pucat.
9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris
10) Paru Inspeksi :Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru Palpasi : Pergerakan
sama atau simetris, fermitus raba sama Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada
redup atau suara tambahan lainnya Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada
wheezing atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronkhi
11) Jantung Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung Palpasi :Nadi meningkat, iktus
tidak teraba Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal tak ada mur-mur
12) Abdomen Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia Palpasi : Turgor
baik, tidak ada defands muskuler hepar tidak teraba Perkusi : Suara
thympani, ada pantulan gelombang cairan Auskultasi : Kaji bising usus
13) Inguinal-genetalis-anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, ada
kesulitan buang air besar.
14) Sistem muskuloskeletal Tidak dapat digerakkan secara bebas dan terdapat
jahitan, darah merembes atau tidak.
Tindakan Kolaborasi Perawat Penggunaaan antikoagulasi, steroid, dan
antibiotik, antihipertensi, kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator,
diuretic, dekongestan, analgetik, anti inflamasi, anti koagulan.. Penggunaan
alkohol (resiko akan kerusakan ginjal yang mempengaruhi koagulasi dan
pilihan anastesia dan juga potensial penarikan diri post operasi (Jitowiyono &
Kristiyanasari, 2010).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien fraktur berdasarkan SDKI
adalah sebagai berikut:
a. Nyeri akut b.d agen cidera fisiologis.
b. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang.
c. Resiko Infeksi b.d integritas kulit
d. Gangguan Integritas Kulit/Jaringan b.d kelembapan dibuktikan pasien
dengan kerusakan jarinagn / lapisan kulit nyeri, pendarahan, hematoma.

3. Rencana Keperawatan
Perencanaan tindakan keperawatan secara teoritis menurut Diagnosa (PPNI,
2016)
No. SDKI SLKI SIKI
1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (1.08238)
berhubungan keperawatan selama 2x24 1. Identifikasi lokasi,
dengan agen jam didapatkan Tingkat karakteristik, durasi,
cidera fisiologis Nyeri (L.08066) adekuat frekuensi, kualitas dan
(distensi dengan kriteria hasil : intensitas nyeri
jaringan 2. Identifikasi respon
intestinal oleh 1. Keluhan nyeri (4 / non verbal
inflamasi) cukup menurun) 3. Berikan teknik
2. Gelisah (4 / cukup nonfarmakologi untuk
menurun) mengurangi rasa nyeri
3. Frekuensi nadi (4 / (relaksasi nafas
cukup membaik) dalam)
4. Pola nafas (4 / cukup 4. Fasilitasi istirahat dan
membaik) tidur
5. Tekanan darah (4 / 5. Jelaskan penyebab,
cukup membaik) periode dan pemicu
nyeri
6. Kolaborasi pemberian
analgesik
7. Ajarkan relaksasi otot
autogenic atau cara
nonfarmakologi
lainnya
2 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Ambulasi
Mobilitas Fisik keperawatan selama 2x24 (I.06171)
berhubungan jam didapatkan gangguan Observasi :
dengan mobilitas (L.05042) fisik 1. Identifikasi adanya nyeri
kerusakan adekuat dengan kriteria atau keluhan fisik lainnya
integritas hasil : 2. Identifikasi
struktur tulang. 1. Pergerakan toleransi fisik melakukan
ekstremitas: 1-3 ambulasi
2. Kekuatan otot: 1-3 3. Monitor frekuensi jantung
3. Rentang gerak: 1 -4 dan tekanan darah
4. Nyeri : 2- 5 sebelum memulai
5. Kecemasan: 2 -5 ambulasi
6. Kaku sendi: 2 -4 4. Monitor kondisi umum
7. Gerakan tidak selama melakukan
terkoordinasi :2-4 ambulasi
8. Gerakan terbatas :1- Terapeutik :
4 1. Fasilitasi aktivitas ambulasi
9. Kelemahan dengan alat bantu (mis,
f isik : 2 -5 tongkat,kruk)
2. Fasilitasi melakukan
mobilisasi fisik, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien
dalam meningkatkan
ambulasi
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
2. Anjurkan melakukan
ambulasi dini
3. Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan
3. Resiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan Observasi
berhubungan keperawatan selama 1x 24 • Monitor tanda dan gejala
dengan jam maka integritas kulit infeksi local dan sistemik.
integritas kulit meningkat Terapeutik
KH : • Batasi jumlah
Tingkat Nyeri pengunjung.
 Nyeri menurun (5) • Berikan perawatan kulit
 Kemerahan menurun pada area edema.
(5) • Cuci tangan sebelum dan
 Bengkak menurun(5) sesudah kontak dengan
Integritas kulit dan pasien dan lingkungan
jaringan pasien.
 Perfusi jaringan • Pemberian teknik aseptik

meningkat (5) pada pasien beresiko

 Kerusakan jaringan tinggi.

menurun (5) Edukasi

 Kerusakan lapisan kulit • Jelaskan tanda dan gejala

menurun (5) infeksi.

 Nyeri menurun (5) • Ajarkan cara mencuci


 Suhu kulit membaik (5) tangan dengan benar.
• Ajarkan etika batuk.
• Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka
operasi.
• Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi.
• Anjurkan meningkatkan
asupan cairan.
4. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Observasi
Integritas keperawatan selama 1x 24 • Monitor karakteristik
Kulit/Jaringan jam gangguan integritas luka (dranase, warna,
b.d kelembapan kulit menurun: ukuran, bau)
dibuktikan KH : • Monitor tanda-tanda
pasien dengan Integritas Kulit dan infeksi.
kerusakan Jaringan Terapeutik
jarinagn / • Perfusi jaringan • Lepaskan balutan dan
lapisan kulit • meningkat (5) plaster secara perlahan.
nyeri, • Kerusakan jaringan • Cukur rambut di sekitar
pendarahan, menurun (5) luka, jika perlu
hematoma • Kerusakan lapisan • Bersihkan dengan NACL
kulit menurun (5) atau pembersih
• Nyeri menurun (5) nontoksik, sesuai
• Pedarahan menurun kebutuhan
(5) • Bersihkan jaringan
• Kemerahan menurun nekrotik.
(5) • Berikan salep yang sesuai
• Nekrosis menurun (5) dengan luka / lesi, jika
• Suhu kulit membaik perlu
(5) • Bersihkan jaringan
Penyembuhan luka nekrotik.
• Penyatuan kulit • Pasang balutan sesuai
meningkat (5) jenis luka.
• Pembentukan • Pertahankan teknik steril
jaringan arut saat perawatan luka.
menurun (1) • Ganti balutan sesuai
• Edema pada sisi luka dengan jumlah eksudat
menurun (5) dan drenase.
• Peradangan menurun • Jadwalkan perubahan
(5) posisi setiap 2 jam atau
• Nyeri menurun (5) sesuai dengan kondisi
• Infeksi menurun (5) pasien.
Edukasi
• Jelaskan tanda dan gejala
infeksi.
• Anjurkan mengkonsumsi
makanan tinggi kalori
dan protein.
Kolaborasi
• Kolaborasi prosedur
debridement (mis,
enzimatik, biologis,
mekanis)
• Kolaborasi pemberian
antibiotik,jika perlu.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang dimulai
setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Rencana keperawatan yang
dibuat berdasarkan diagnosis yang tepat, diharapkan dapat mencapai tujuan dan
hasil yang diinginkan untuk mendukung dan meningkatkan status kesehatan klien
(Bararah & Jauhar, 2016).
Implementasi yang dapat dilakukan pada kasus fraktur menurut (Indah, 2019)
adalah merubah posisi pasien, ambulasi dini (mengatur posisi duduk di atas
tempat tidur), dan melatih pasien dalam memenuhu kebutuhan ADL secara
mandiri.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu proses kontinyu yang terjadi saat melakukan kontak
dengan klien. Setelah melaksanakan intervensi, kumpulkan data subyektif dan
obyektif dari klien, keluarga dan anggota tim kesehatan lain (Bararah & Jauhar,
2016).
Tiga alternative dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai:
 Berhasil : perilaku pasien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau
tanggal yang ditetapkan di tujuan.
 Tercapai sebagian : pasien menunjukan perilaku tetapi tidak sebaik yang
ditentukan dalam pernyataan tujuan.
 Belum tercapai : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan perilaku
yang diharapkan sesuai dengan pernyataan tujuan (Bararah & Jauhar,
2016)
DAFTAR PUSTAKA

Bararah, T dan Jauhar, M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat
Profesional. Jakarta : Prestasi Pustakaraya
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah (8th ed.). Jakarta: Salemba
Medika.
Brunner, & Sudarth. (2002). Keperawatan Medikal Bedah Edisi (2nd ed.). Jakarta: EGC.
Indah, Pratiwi. 2019. Implementasi Keperawatan Pada Pasien Post Operasi Implementasi
Fraktur Femur Keperawatan Pada Pasien dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik
di Rumah Sakit Post Operasi TK II Dr. AK Gani Palembang. Palembang.
Istianah, U. (2017). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Jitowiyono, & Kristiyanasari. (2010). Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Muliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.
Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit (4th ed.).
Jakarta: EGC.
Pokja, Tim, SDKI, DPP, PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Defenisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus pusat Persatuan Perawat
Nasional Indnesia
Sjamsuhidajat. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah (2nd ed.). Jakarta: EGC.
Wijaya, A.S, Putri,Y.M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai