Anda di halaman 1dari 6

BAB 2

KEBUTUHAN MANUSIA AKAN PEDOMAN DAN ATURAN HIDUP

Manusia memiliki berbagai potensi yang hebat dan unik, baik lahir maupun batin,
bahkan pada setiap anggota tubuhnya. Sebagian ahli menyatakan bahwa manusia
memiliki potensi-potensi: IQ (Intelligent Quotient), EQ (Emotional Quotient), CQ
(Creativity Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient). Gardner menemukan multiple-
intelligence, yaitu: Kecerdasan visual dan Spasial; Kecerdasan Musik; Kecerdasan
Linguistik; Kecerdasan Logik/Matematik; Kecerdasan Kinestetik; Kecerdasan
Interpersonal; Kecerdasan Intrapersonal; dan Naturalis. Bahkan ditambah dengan
kecerdasan emosional dan spiritual. Sebagai potensi, maka ia masih merupakan
kemampuan dasar atau daya yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan
melalui aktivitas belajar secara berkelanjutan.
Karena itu,  potensi tersebut perlu diaktualkan, dikembangkan dan diberdayakan
secara optimal untuk mencapai kemajuan peradaban manusia. Pentingnya
pengembangan dan pembedayaan potensi-potensi tersebut dijelaskan dalam Q.S. An-
Nahl: 78 , yang maksudnya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan-penglihatan dan aneka hati, agar kamu bersyukur”.
Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa pada mulanya manusia tidak memiliki
pengetahuan atau tidak mengetahui sesuatu pun yang ada di sekelilingnya. Namun
demikian, Allah menjadikan baginya pendengaran, penglihatan-penglihatan dan aneka
hati sebagai bekal dan alat-alat potensial untuk meraih pengetahuan agar ia bersyukur,
yakni dengan menggunakan dan memberdayakan alat-alat tersebut sesuai dengan tujuan
Allah menganugerahkannya kepada manusia.
Alat-alat potensial yang diberikan oleh Allah kepada manusia meliputi as-sam’
(pendengaran), al-abshar (penglihatan-penglihatan) sebagai bentuk jamak dari kata al-
bashar, dan al-af’idah (aneka hati) sebagai bentuk jamak dari kata al-fu’ad. Penyebutan
indera-indera secara berurutan pada ayat di atas mencerminkan tahap perkembangan
fungsi indera-indera tersebut. Didahulukannya kata as-sam’ atas al-abshar, merupakan
perurutan yang sungguh tepat, karena menurut ilmu kedokteran modern membuktikan
bahwa indera pendengaran berfungsi mendahului indera penglihatan. Indera
pendengaran mulai tumbuh pada diri anak bayi pada pekan-pekan pertama, sedangkan
indera penglihatan baru bermula pada bulan ketiga dan menjadi sempurna menginjak
bulan keenam. Adapun al-af’idah atau kemampuan akal dan mata hati yang berfungsi
membedakan yang benar dan salah atau yang baik dan buruk, maka alat ini berfungsi
jauh sesudah kedua indera (pendengaran dan penglihatan) tersebut.
Di dalam ayat di atas disebutkan kata al-sam’ (pendengaran) dalam bentuk mufrad
(tunggal), sedangkan kata al-abshar (penglihatan-penglihatan) dan al-af’idah (aneka hati)
dalam bentuk jamak.  Hal ini mengandung makna bahwa apa yang didengar selalu saja
sama baik oleh seorang maupun banyak orang dan dari arah mana pun datangnya suara.
Ini berbeda dengan apa yang dilihat. Posisi tempat berpijak dan arah pandang seseorang
bisa melahirkan perbedaan hasil pandangan. Demikian pula hasil kerja akal dan hati.
Hati manusia sekali senang sekali susah, sekali benci dan sekali rindu, tingkat-tingkatnya
pun berbeda-beda walaupun obyek yang dibenci dan dirindui sama. Hasil penalaran akal
pun dapat berbeda, boleh jadi ada yang sangat jitu dan tepat, dan ada pula yang
merupakan kesalahan fatal. Kepala sama berambut, tetapi pikiran bisa berbeda-beda.
Alat-alat potensial yang diberikan oleh Allah kepada manusia tersebut ada yang
hanya bisa menangkap obyek-obyek yang bersifat material, seperti pendengaran (as-
sam’) dan penglihatan (al-bashar), dan ada pula yang bisa menangkap obyek-obyek
immaterial, yaitu al-af’idah (akal pikiran dan hati atau qalbu). Dalam pandangan al-
Qur’an ada obyek-obyek yang tidak bisa ditangkap oleh indera pendengaran dan
penglihatan, bahkan oleh akal pikiran betapapun tajamnya mata kepala dan pikiran
seseorang. Misalnya masalah hakikat Allah, surga, neraka, malaikat, shalat subuh harus
dua raka’at sedangkan shalat dhuhur empat rakaat, segala tindakan manusia yang tampak
dan tersembunyi akan dilihat oleh Allah dan dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid,
masalah nasib manusia dan lain-lainnya,  adalah contoh-contoh obyek yang tidak bisa
ditangkap dengan akal pikiran. Yang dapat menangkapnya hanyalah hati melalui wahyu,
ilham atau intuisi. Karena itu, al-Qur’an di samping menuntun dan mengarahkan
pendengaran dan penglihatan, juga memerintahkan agar mengasah akal (daya pikir) dan
mengasuh daya qalbu.
Demikian uniknya alat-alat potensial dengan berbagai daya dan kemampuannya
yang dimiliki oleh manusia itu dan merupakan nikmat Allah yang patut disyukuri.
Karena itu dalam ayat tersebut di atas diakhiri dengan kalimat la’allakum tasykurun
(supaya kamu bersyukur). Menurut Muhammad Abduh, bahwa yang dinamakan syukur
itu tiada lain kecuali menggunakan nikmat anugerah sesuai dengan fungsinya, dan sesuai
dengan kehendak yang menganugerahkannya (yaitu Allah SWT.). Memfungsikan dan
memberdayakan as-sam’, al-abshar dan al-af’idah secara optimal dalam kehidupan
sehari-hari merupakan perwujudan dari syukur kepada-Nya.
Dilihat dari proses kejadiannya, manusia itu terdiri atas dua substansi, yaitu: (1)
substansi jasad/materi, yang bahan dasarnya adalah dari materi yang merupakan bagian
dari alam semesta ciptaan Allah SWT. dan dalam pertumbuhan dan perkembangannya
tunduk pada dan mengikuti sunnatullah (aturan, ketentuan, hukum Allah yang berlaku di
alam semesta); (2) substansi immateri/non jasadi, yaitu penghembusan/peniupan ruh
(ciptaanNya) ke dalam diri manusia, sehingga manusia merupakan benda organik yang
mempunyai hakekat kemanusiaan serta mempunyai berbagai alat potensial dan fitrah.
Atau menurut al-Farabi, manusia itu terdiri atas dua unsur, yaitu: (1) satu unsur berasal
dari ’alam al-khalq; dan (2) satu unsur berasal dari ’alam al-amr (ruh dari perintah
Tuhan).
Dari kedua substansi tersebut, maka yang paling esensial adalah substansi
immateri atau ruhnya. Jasad hanyalah alat ruh di alam nyata. Suatu ketika alat (jasad) itu
terpisah dari ruh. Perpisahan itulah yang disebut dengan peristiwa maut. Yang mati
adalah jasad, sedangkan ruh akan melanjutkan eksistensinya di alam barzah. Manusia
yang terdiri atas dua substansi itu, telah dilengkapi dengan alat-alat potensial dan
potensi-potensi dasar atau disebut fitrah, yang harus diaktualkan dan atau
ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di dunia ini melalui proses pendidikan,
untuk selanjutnya dipertanggung-jawabkan di hadapanNya kelak di akhirat.
Menurut Abdul Fattah Jalal (1977), bahwa alat-alat potensial manusia yang siap
digunakan untuk memperoleh dan mencapai pengetahuan  adalah sebagai berikut: (1)
Al-lams dan al-syum (alat peraba dan alat penciuman/ pembau), sebagaimana firman
Allah dalam Q.S. al-An’am ayat 7 dan Q.S. Yusuf ayat 94; (2) Al-Sam’u (alat
pendengaran). Penyebutan alat ini dihubungkan dengan penglihatan dan qalbu, yang
menunjukkan adanya saling melengkapi antara berbagai alat itu untuk mencapai ilmu
pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Isra’ ayat 36, al-Mukminun ayat
78, al-Sajdah ayat 9, al-Mulk ayat 23, dan sebagainya; (3) Al-abshar (penglihatan).
Banyak ayat al-Qur’an yang menyeru manusia untuk melihat dan merenungkan apa yang
dilihatnya, sehingga dapat mencapai hakekatnya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S.
al-A’raf ayat 185, Yunus ayat 101, al-Sajdah ayat 27, dan sebagainya; (4) Al-’aql (akal
atau daya berfikir). Al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan akal
dalam berfikir, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 191. Al-Qur’an
menjelaskan bahwa Islam tegak di atas pemikiran, sebagaimana firmanNya dalam Q.S.
al-An’am ayat 50. Dalam al-Qur^an dinyatakan bahwa penggunaan akal memungkinkan
diri manusia untuk terus ingat (dzikr) dan memikirkan/merenungkan ciptaanNya,
sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Ra’d ayat 19. Dan penggunaan akal
memungkinkan manusia mengetahui tanda-tanda (kebesaran/keagungan) Allah serta
mengambil pelajaran daripadanya. Dalam beberapa ayat, kata al-nuha digunakan sebagai
makna al-’uqul sebagaimana firmanNya dalam Q.S. Thaha ayat 53-54, dan sebagainya;
(5) Al-Qalb (kalbu). Hal ini termasuk alat ma’rifah yang digunakan manusia untuk dapat
mencapai ilmu, sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Hajj ayat 46, Q.S. Muhammad
ayat 24 dan sebagainya. Qalbu ini mempunyai kedudukan khusus dalam ma’rifah
ilahiyah, dengan qalbu manusia dapat meraih berbagai ilmu serta ma’rifah yang diserap
dari sumber Ilahi. Dan wahyu itu sendiri diturunkan ke dalam qalbu Nabi Muhammad
SAW. sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Syu’ara’ ayat 192-194.
Di samping itu Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa manusia itu telah diberi
hidayah oleh Allah secara bertingkat-tingkat. Pengertian hidayah di sini, sebagaimana
dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridla, ialah petunjuk halus yang memudahkan
seseorang untuk mencapai sesuatu yang dicari atau mencapai tujuan. Macam-macam
hidayah yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia ialah: (1) hidayah al-ilhami
(instink), yakni renyut hati (gerak hati, impuls) yang terdapat dalam bakat manusia
maupun binatang. Termasuk di dalamnya nafsu, dorongan untuk melakukan sesuatu,
dorongan tersebut tidak berdasarkan suatu pikiran. Atau dengan kata lain dorongan yang
bersifat animal, tidak berdasarkan pikir panjang; (2) hidayah al-hawasi (indera), yaitu
alat badani yang peka terhadap rangsangan dari luar, yang meliputi : al-bashirah (indera
penglihatan), al-sami’ah (indera pendengaran), hassah al-tha’m (indera pengecap),
hassah al-syum (indera pembau/penciuman), dan hassah al-lams (indera perabaan); (3)
hidayah al-’aql (hidayah akal budi); (4) hidayah al-adyani atau hidayah agama; dan (5)
hidayah al-taufiqi atau hidayah al-ma’unah.
Hidayah yang pertama dan kedua dianugerahkan baik kepada manusia maupun
hewan; hidayah yang ketiga sampai dengan yang kelima hanya diberikan kepada
manusia. Dan hidayah yang kelima tersebut (yang tertinggi) semata-mata monopoli
Allah, Nabi sekalipun tidak berkompeten untuk memberi hidayah tingkat tertinggi itu.
Sebagai contoh, Nabi SAW. tidak mampu memberi hidayah tingkat kelima itu kepada
paman beliau, Abu Thalib, yang mencintai beliau dan sangat beliau cintai. Sebagaimana
firmanNya dalam Q.S. al-Qashash ayat 56, yang maksudnya bahwa “Engkau
(Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah (al-taufiqi/al-ma^unah) ini kepada
siapapun yang engkau cintai. Allahlah yang berkenan menganugerahkan hidayah
tersebut kepada siapa saja yang dikehendakiNya”.
Dalam diskursus (perbincangan) para filosof Islam, manusia itu mempunyai bermacam-
macam alat potensial dengan berbagai kemampuannya yang sangat unik. Menurut
mereka bahwa dalam diri manusia itu terdapat tiga macam jiwa sebagai berikut :
Pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), yang mempunyai tiga daya,
yaitu: daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak. Kedua, jiwa binatang (al-nafs al-
hayawaniyah), yang memiliki dua daya, yaitu : daya penggerak (al-muharrikah), dan
daya mencerap (al-mudrikah). Daya penggerak bisa berbentuk nafsu (al-syahwah) serta
amarah (al-ghadlab), dan bisa berbentuk gerak tempat (al-harakah al-makaniyah). Daya
mencerap terbagi dua, yaitu : daya mencerap dari luar melalui pancaindera lahir
(penglihatan. pendengaran, penciuman, perasaan lidah, dan perasaan tubuh); dan daya
mencerap dari dalam melalui pancaindera batin, yang meliputi: (1) indera bersama (al-
hiss al-musytarak) bertempat di bagian depan dari otak dan berfungsi menerima kesan-
kesan yang diperoleh dari pancaindera luar dan meneruskannya ke indera batin
berikutnya; (2) indera penggambar (al-khayal), juga bertempat di bagian depan dari otak,
tugasnya ialah melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya;
(3) indera pengreka (al-mutakhayyalah), yang bertempat di bagian tengah dari otak,
mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari materi itu dengan memisah-misah
dan kemudian memperhubungkannya satu dengan yang lain; (4) indera penganggap (al-
wahmiyah), juga bertempat di bagian tengah dari otak, mempunyai fungsi menangkap
arti-arti yang dikandung gambaran-gambaran itu; (5) indera pengingat (al-hafidhah),
yang bertempat di bagian belakang dari otak, menyimpan arti-arti yang ditangkap indera
penganggap.
Ketiga, jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah) yang hanya mempunyai daya berfikir
yang disebut akal. Akal ini terbagi dua, yaitu: akal praktis yang menerima arti-arti yang
berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa binatang; dan akal
teoretis yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam materi,
seperti Tuhan, roh dan malaikat. Dengan demikian, akal praktis memusatkan perhatian
kepada alam materi, menangkap kekhususan (particulars), sedangkan akal teoretis
bersifat metafisis, yang mencurahkan perhatian kepada dunia immateri dan menangkap
keumuman (universals). Selanjutnya akal teoretis mempunyai empat derajat, yaitu: (1)
akal materiil (al-’aql al-hayulani) yang merupakan potensi belaka, dalam arti akal yang
kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah berada dalam
materi, belum keluar; (2) akal bakat (al-’aql bi al-malakah), yakni akal yang kesanggu-
pannya berfikir secara murni abstrak telah mulai kelihatan, ia telah dapat menangkap
pengertian dan kaidah umum, seperti seluruh lebih besar dari bagian; (3) akal aktual
(al-’aql bi al-fi’l), yakni akal yang telah lebih mudah dan telah lebih banyak dapat
menangkap pengertian dan kaidah umum dimaksud, dan akal aktual ini merupakan
gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki; dan (4)
akal perolehan (al-’aql al-mustafad), yakni akal yang di dalamnya arti-arti abstrak
tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan mudah sekali. Akal dalam derajat
keempat inilah yang tertinggi dan terkuat dayanya, yang dimiliki filosof, dan yang dapat
memahami alam murni abstrak (yang tak pernah berada dalam materi).
Di samping itu, manusia juga mempunyai potensi-potensi dasar yang disebut
dengan ”fitrah”. Dari segi bahasa (sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Al-Munjid),
fitrah berarti: “ciptaan, sifat tertentu yang mana setiap yang maujud disifati dengannya
pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), agama,
as-sunnah”. Al-Asfahani, ketika menjelaskan makna fitrah dari segi bahasa, ia
mengungkapkan kalimat “fathara Allah al-khalq”, yang maksudnya Allah mewujudkan
sesuatu dan menciptakannya bentuk/keadaan  kemampuan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan. Sedangkan maksud fitrah Allah, sebagaimana dalam Q.S. al-Rum ayat 30,
adalah suatu kekuatan/daya untuk mengenal/mengakui Allah  (keimanan kepadaNya)
yang menetap/menancap di dalam diri manusia. Dengan demikian, makna fitrah adalah
suatu kekuatan atau kemampuan (potensi terpendam) yang menetap/menancap pada diri
manusia sejak awal kejadiannya, untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan
kepadaNya, cenderung kepada kebenaran (hanif), dan potensi itu merupakan ciptaan
Allah.
Menurut Langgulung, bahwa ketika Allah menghembuskan/meniupkan ruh pada
diri manusia (pada proses kejadian manusia secara non fisik/immateri), maka pada saat
itu pula manusia (dalam bentuknya yang sempurna) mempunyai sebagian sifat-sifat
ketuhanan sebagaimana yang tertuang dalam al-Asma’ al-Husna, hanya saja kalau Allah
serba Maha, sedangkan manusia hanya diberi sebagiannya. Sebagian sifat-sifat
ketuhanan yang menancap pada diri manusia dan dibawanya sejak lahir itulah yang
disebut fitrah. Misalnya: al-’Aliim (Maha Mengetahui), manusia juga diberi
kemampuan/potensi untuk mengetahui sesuatu; al-Rahman (Maha Pengasih) dan al-
Rahiim (Maha Penyayang), manusia juga diberi kemampuan untuk mengasihi dan
menyayangi orang lain; al-’Afuw al-Ghafur (Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun),
manusia juga diberi kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni kesalahan orang
lain; al-Khaliq (Maha Pencipta), manusia juga diberi kemampuan untuk mengkreasi
sesuatu, membudayakan alam; al-Lathif al-Khabir (Maha Lembut lagi Maha Mengetahui
segala sesuatu yang nampak maupun tersembunyi), manusia juga diberi kemampuan/
potensi untuk merahasiakan sesuatu atau dirinya dan kemampuan mengetahui fenomena
sosial atau rahasia alam; al-Qadir (Maha Kuasa), manusia juga diberi kemampuan untuk
berkuasa; al-’Adil (Maha Adil), manusia juga diberi kemampuan untuk berlaku adil; al-
Murid (Maha Berkehendak), manusia juga diberi potensi untuk berkehendak,
mempunyai motivasi untuk berbuat; al-Hadi (Maha Pemberi Petunjuk), manusia juga
diberi kemampuan untuk mendidik atau memberi pengajaran; demikian seterusnya.
Pemahaman tentang fitrah manusia juga bisa dikaji dari ajaran agama Islam
sebagaimana yang ditunjukkan  dalam al-Qur’an dan as-sunnah, karena di dalam Q.S. al-
Rum ayat 30 dinyatakan bahwa agama Islam bersesuaian benar dengan fitrah manusia.
Ajaran Islam – yang hendaknya dipatuhi oleh manusia – itu sarat dengan nilai-nilai
Ilahiyah yang universal dan manusiawi yang patut dikembangkan dalam berbagai aspek
kehidupan manusia. Bahkan segala perintah dan laranganNya pun erat berhubungan
dengan fitrah manusia.
Bila ditinjau dari aspek tersebut, maka fitrah manusia itu cukup banyak
macamnya, yang terpenting di antaranya, yaitu: (1) fitrah beragama, yang merupakan
potensi bawaan yang mendorong manusia untuk selalu pasrah, tunduk dan patuh kepada
Tuhan yang menguasai dan mengatur segala aspek kehidupan manusia; dan fitrah ini
merupakan sentral yang mengarahkan dan mengontrol perkembangan fitrah-fitrah
lainnya; (2) fitrah berakal budi merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia
untuk berfikir dan berdzikir dalam memahami tanda-tanda keagungan Tuhan yang ada di
alam semesta, berkreasi dan berbudaya, serta memahami persoalan dan tantangan hidup
yang dihadapinya dan berusaha memecahkannya; (3) fitrah kebersihan dan kesucian,
yang mendorong manusia untuk selalu komitmen terhadap kebersihan dan kesucian diri
dan lingkungannya; (4) fitrah bermoral/berakhlak, yang mendorong manusia untuk
komitmen terhadap norma-norma atau nilai-nilai dan aturan yang berlaku; (5) fitrah
kebenaran, yang mendorong manusia untuk selalu mencari dan mencapai kebenaran; (6)
fitrah kemerdekaan yang mendorong manusia untuk bersikap bebas/merdeka, tidak
terbelenggu dan tidak mau diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh keinginannya
sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan; (7) fitrah keadilan yang mendorong manusia
untuk berusaha menegakkan keadilan di muka bumi; (8) fitrah persamaan dan persatuan
yang mendorong manusia untuk mewujudkan persamaan hak serta menentang
diskriminasi ras, etnik, bahasa, dan sebagainya, dan berusaha menjalin kesatuan dan
persatuan di muka bumi; (9) fitrah individu yang mendorong manusia untuk bersikap
mandiri, bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan, mempertahankan
harga diri dan  kehormatannya, serta menjaga keselamatan diri dan hartanya; (10) fitrah
sosial yang mendorong manusia untuk hidup bersama, bekerjasama, bergotong royong,
saling membantu dan sebagainya; (11) fitrah seksual yang mendorong seseorang untuk
mengembangkan keturunan (berkembang biak), melanjutkan keturunan, dan mewariskan
tugas-tugas kepada generasi penerusnya; (12) fitrah ekonomi yang mendorong manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas ekonomi; (13) fitrah politik yang
mendorong manusia untuk berusaha menyusun suatu kekuasaan dan institusi yang
mampu melindungi kepentingan bersama; (14) fitrah seni yang mendorong manusia
untuk menghargai dan mengembangkan kebutuhan seni dalam kehidupannya; dan fitrah-
fitrah lainnya.
Alat-alat potensial dan berbagai potensi dasar atau fitrah manusia tersebut harus
ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang
hayatnya. Manusia diberi kebebasan/kemerdekaan untuk berikhtiar mengembangkan
alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau fitrah manusia tersebut. Namun demi-
kian dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari adanya batas-
batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap yang menguasai alam,
hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri, yang tidak
tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum inilah yang
disebut dengan taqdir (“Keharusan Universal” atau “kepastian umum” sebagai batas
akhir dari ikhtiar manusia dalam kehidupannya di dunia). Di samping itu, pertumbuhan
dan perkembangan alat-alat potensial dan fitrah manusia itu juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor hereditas, lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio-kultural,
sejarah dan faktor-faktor temporal.

Anda mungkin juga menyukai