Toaz - Info Buku Biru Anestesi PR
Toaz - Info Buku Biru Anestesi PR
PUBLICATION *
Editor:
Profc Dr.4>oenarjo, SpAn KIC, KAKV Dr. Heru
Dwi Jatmiko, StiAn KAKV, KAP
Pasal 2
(1). Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 72
(1) . Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
(2) . Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedar
kan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagal-mana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah).
V ________________________________________________ J
ANESTESIOLOGI
Editor:
Prof. Dr. Soenarjo, SpAn, KIC, KAKV
Dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
Editor:
Prof. dr. Soenarjo, SpAn, KIC, KAKV
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV,KAP
Desain Isi:
dr. Aunun Rofiq
dr. Mohammad Arief Kurniawan
Desain Cover:
dr. Iwan Dwi Cahyono, SpAn
dr. Puja Laksana Maqbul
PENERBIT:
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF (PERDATIN)
CABANG JAWA - TENGAH
RS. dr. Kariadi Jl. dr. Sutomo 16 Semarang
ISBN 978-602-96968-0-6
Hak Cipta dilindungi Undang-undang No. 19 Th. 2002
All rights reserved
Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Juni 2010 M.
Edisi Kedua, Cetakan Pertama April 2013 M
Edisi Kedua, Cetakan Kedua April 2015 M
PENGANTAR
Puji suku kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Kuasa, karena kami masih diberi
kesempatan dan kesehatan sehingga buku Anestesiologi edisi kedua ini dapat terwujud.
Terbitnya edisi kedua buku Anestesiologi ini adalah dalam rangka menyesuaikan
perkembangan Ilmu Anestesiologi yang semakin pesat.
Dalam edisi kedua ini ada beberapa perubahan, terutama adalah perubahan di bab
CPR dimana sekarang sudah terjadi perubahan tentang pedoman CPR dengan mengikuti
AHA 2010. Sedangkan untuk penambahan bab adalah tentang ICU dimana hal ini sesuai
dengan cakupan anestesiologi dan terapi intensif yang berkompeten dalam penanganan
pasien di ICU.
Kemudian untuk sejarah anestesi ada penambahan sub bab tentang anestesi di masa
depan, hal ini dalam rangka mengikuti perkembangan ilmu anestesi yang semakin pesat,
dimana sekarang cabang ilmu anestesi sudah berkembang banyak, antara lain: anestesi
kardiovaskuler, neuroanestesi, intensif care, obsetri anestesi, pediatric anestesi, regional
anestesi, pain managemen.
Mudah-mudahan edisi kedua ini semakin membuat para pembaca bisa lebih mudah
mempelajari Ilmu Anestesiologi.
Tim Penyusun
v
SAMBUTAN
KEPALA SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUP DR. KARI ADI
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya sekali lagi saya ucapkan kepada para staf
Anestesiologi FK Undip dan tim penyusun yang terus tiada henti mengembangkan buku
Anestesiologi sehingga terbitlah buku edisi kedua ini.
Buku edisi kedua ini diharapkan lebih lengkap dan lebih baik dari edisi sebelumnya
sehingga dapat memberikan sumbangsih yang lebih baik bagi pelayanan Bagian
Anestesiologi pada umumnya serta dapat membantu adik- adik mahasiswa, coas, residen
dalam mendalami Ilmu Anestesi pada khususnya.
Dengan semakin meningkatnya peran bagian anestesi dalam pelayanan di rumah
sakit tentunya juga harus diimbangi dengan peningkatan pengetahuan tentang
perkembangan terbaru Ilmu Anestesiologi sehingga pelayanan yang kita berikan telah
sesuai dengan standart yang telah ada baik di level nasional maupun internasional.
Mari kita berikan yang terbaik bagi pasien, anak didik kita serta bangsa dan negara.
vi
SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
Ucapan selamat dan terima kasih saya ucapkan kepada Bagian Anes- tesiologi dan
Terapi Intensif FK UNDIP bekerjasama dengan PERDATIN (Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesi dan Terapi Intensif) cabang Jawa Tengah yang telah berhasil menyusun buku
Anestesiologi edisi kedua ini.
Kami bangga dengan kerja keras dari para staf Bagian Anestesiologi demi kemajuan
pendidikan Ilmu Anestesi di FK UNDIP dan demi perkembangan Ilmu Anestesiologi pada
umumnya, oleh karena itu FK UNDIP akan terus memberikan dukungan kepada Bagian
Anestesiologi. Hasil yang positif ini juga diharapkan mampu mendorong bagian-bagian yang
lain untuk menghasilkan karya yang serupa.
FK UNDIP dengan para civitas akademik yang terkait akan terus berupaya
menjadikan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro menjadi center pendidikan
Kedokteran yang modern, dan diharapkan akan terus mencetak dokter-dokter di Indonesia
yang berkualitas dan berintegritas tinggi. Dan itulah sumbangsih yang akan kita berikan bagi
bangsa dan Negara kita tercinta.
Saya berharap dan memohon kepada para staf Bagian Anestesiologi agar karya ini
terus berkembang dan tidak berhenti sampai disini.
Semoga buku edisi kedua ini bisa bermanfaat bagi para mahasiswa, coas, residen,
dan civitas akademik yang terkait dalam mendalami Ilmu Anestesi.
PENGANTAR-v
SAMBUTAN KEPALA SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUP DR. KARIADI - vii
SAMBUTAN DEKAN FK. UNDIP - ix
DAFTAR ISI—xi
Bab I : Sejarah Anestesi -1
Soenarjo, Witjaksono
Bab II : Fisiologi-9
Widya Istanto Nurcahyo, Himawan Sasongko,
Hari Hendriarto Satoto
Bab III : Tes Faal Paru - 27
Hari Hendriarto Satoto, Himawan Sasongko, Widya Istanto Nurcahyo
Bab IV : Resusitasi Jantung Paru - 47
Soenarjo, Mochamat
Bab V : Mesin Alat Anestesi - 65
Heru Dwi Jatmiko, Yusmalinda, Hari Hendriarto Satoto
Bab VI : Persiapan Preanestesi - 95
Johan Arifin, M. Sofyan Harahap, Himawan Sasongko
Bab VII : Anestesi Umum -111
Uripno Budiono
Obat Anestesi inhalasi - 131
Obat Anestesi Intravena Non Narkotik -149
Bab VIII : Muscle Relaxant / Pelumpuh Otot -171
Uripno Budiono
Bab IX : Narkotik Analgetik -183
Uripno Budiono
Bab X : Pengelolaan Jalan Nafas -197
Doso Sutiyono, Danu Susilowati, Widya Istanto Nurcahyo
Bab XI : Intubasi Endotrakea - 209
Doso Sutiyono, Yulia Wahyu Villyastuti, Danu Susilowati
xi
Bab XII : Terapi Oksigen - 221
Widya Istanto Nurcahyo, Danu Susilowati, Doso Sutiyono
Bab XIII : Pemantauan Selama Anestesi - 241
Himawan Sasongko, Heru DwiJatmiko, M. Sofyan Harahap
Bab XIV : Terapi Cairan - 271
Ery Leksana, Jati Listiyanto P, Danu Susilowati
Bab XV : Syok dan Pengelolaan Hemodinamik – 281
Jati Listiyanto Pujo, Heru DwiJatmiko, Johan Arifin
Bab XVI : Resusitasi Cairan - 297
Soenarjo
Bab XVII : Masalah Nyeri - 309
Witjaksono, Yulia Wahyu Villyastuti, Doso Sutiyono
Bab XVIII : Anestesi Lokal / Regional - 323
Marwoto, Aria Dian Primatika
Bab XIX : Teknik Anestesi Spinal dan Epidural - 339
Aria Dian Primatika, Marwoto, Doso Sutiyono
Bab XX : Anestesi Obstetri - 345
Danu Susilowati, Ery Leksana, M. Sofyan Harahap
Bab XXI : Anestesi Pada Pediatri - 351
Yulia Wahyu Villyastuti, Danu Susilowati, Jati Listiyanto Pujo
Bab XXII : Perawatan Pasca Operasi di Ruang Pemulihan - 357
Hariyo Satoto, Hari Hendriarto Satoto
Bab XXIII : Tanda-tanda Kematian dan Mati Batang Otak – 375
M. Sofyan Harahap, Abdul Lian, Himawan Sasongko
Bab XXIV : Perawatan Intensive/lntensive Care Unit (ICU) - 385
Johan Arifin, Taufik Eko Nugroho
Bab XXV : Anestesi untuk Pelayanan Bedah Sehari/Pembedahan Pasien
dengan Rawat Jalan (One Day Surgery) - 421
Johan Arifin
xii
BABI
SEJARAH ANESTESI
Soenarjo, Witjaksono, Moh. Sofyan Harahap
PERKEMBANGAN ANESTESIOLOGI
PADA masa lalu, masyarakat umum bahkan filusuf dan tabib beranggapan bahwa
nyeri adalah hal penting bagi pembentukan watak seseorang dan harus diterima sebagai
bagian dari kehidupan. Ketabahan dan pengalaman penderitaan adalah penting bagi
penyembuhan selanjutnya. Penyelesaian kekerasan membutuhkan pribadi berani dan
ruang operasi diisi oleh korban- korban perang, jeritan penderita dan penolong, dan
pemaksaan kehendak terhadap penderita. Ahli bedah melakukan operasi pada lesi
permukaan, amputasi atau operasi besar dalam jumlah yang terbatas dalam suasana
seperti kejagalan yang tak terbayangkan dan rasa nyeri yang luar biasa.
Hippocrates (400 SM) memberikan perhatian terhadap masalah nyeri dan
menjelaskan penghilang nyeri dengan opium. Selama beberapa abad kemudian ahli bedah
telah berusaha meringankan nyeri pembedahan dengan ekstrak tumbuh-tumbuhan dan
cara-cara mekanik yang lain. Discorides (100 M) dari Yunani, memberikan campuran akar
mandragora, sedangkan Huang To (250 M) dari Cina, menggunakan ganja untuk membuat
penderita tak sadar selama pembedahan, Nicolás (1200 M) dari Salerno, memberikan
pertimbangan tentang manfaat inhalasi uap dari "busa saporifik" (yang di celupkan dalam
ganja, opium, mandragora, dll) pada anestesi bedah.
Valerius Cardus (1540 M) mensitesis "minyak manis vitriol" dan Paracelsus dari Swiss
menjelaskan induksi tidur dengan uapnya pada ayam. August
Froberins (1730 M) dari Jerman, memberikan nama ether pada minyak manis dari vitrol.
Michael Faradey (1818 M) dari Inggris, mengamati efek analgesi dari inhalasi ether.
Sebelumnya dari Inggris, Joseph Priestly secara berurutan menemukan oksigen (1771) dan
2 II Anestesiologi
bahkan di lapangan bencana. Mungkin hal tersebut disebabkan kemampuannya dalam
mempertahankan fungsi normal pada penderita dengan penyakit pra operasi yang
seringkah komplek di kamar operasi.
Selain penemuan Morton WTG (1846) dan Cari Koller (1884), penggunaan kurare
dan ventilasi terkendali oleh Gray TC. dan Halton J. (1946) membuka cakrawala baru
pelaksanaan anestesi multi farmasi yang di mulai sejak awal 1950. Gray TC. dari Liverpool,
menggambarkan bahwa anestesi terdiri dari 3 komponen, yang dapat dan seharusnya
dikendalikan secara terpisah. Pada masa ini, pelaksanaan anestesi modern dapat
membantu operasi pada organ penting seperti otak, jantung dan sebagainya, dengan
kondisi-kondisi tertentu seperti keadaan hipotensi dan hipothermi.
Perkembangan anestesiologi di Indonesia di mulai pada awal 1950-an di Jakarta oleh
Prof. Kelan (Alm), bersama Prof. Haditopo (Alm) dari Semarang, Prof. Muhardi dan dr.
Untung (Alm) dari Jakarta, dr. Zuhradi dari Bandung, Prof. Kariadi W dari Surabaya, di
kembangkan penelitian, pelayanan anestesi dan rawat intensif dan pendidikan dokter ahli
anestesiologi setelah belajar di pusat pendidikan anestesiologi di luar negeri. Pada saat ini,
pendidikan dokter ahli anestesiologi dapat di lakukan Fakultas Kedokteran Negeri di Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Ujung Pandang, Medan dan Surakarta.
4 II Anestesiologi
ANESTESIA DI MASA DEPAN
Bentuk pelayanan di bidang medis, yang mempunyai kaitan erat dengan
penggunaan peralatan dan pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaannya, seperti
misalnya Anestesia, akan mengalami perkembangan yang terus menerus sejalan dengan
perkembangan teknologi peralatan yang digunakan.
Salah satu perkembangan adalah teknik untuk mengetahui komorbiditas pada
pasien yang akan menjalani operasi, dengan suatu pemeriksaan yang non invasif. Misalnya
pemeriksaan non invasif untuk mengetahui risiko anestesia pada pasien dengan kelainan
jantung, mengetahui profil genetik seorang penderita terhadap obat-obat yang akan
diterimanya. Contoh lain adalah pemberian infus yang diatur komputer, sehingga secara
otomatis dapat memberikan umpan balik kondisi fisiologis pasien yang selanjutnya dapat
mengatur sendiri jumlah obat yang di infus. Perkembangan alat monitor intraoperatif non
invasif, monitor intraoperatif yang dapat dilihat dari jarak jauh, demikian pula hasil
laboratorium yang dapat dipantau dari jarak jauh.
Pertanyaan yang timbul dari para pengambil keputusan dalam bidang pendidikan
ahli anestesi adalah: Bagaimana cara mempersiapkan seorang ahli anestesi pada tahun
2015-2025 untuk dapat menjalankan karier dengan baik ditengah kemajuan teknologi
seperti ini.
Kita ketahui bahwa pola pelayanan kesehatan berbasis keluarga makin maju
disamping teknologi home care, sehingga dimasa depan Rumah Sakit hanya untuk
perawatan pasien dengan penyakit akut dan kritis, artinya dimasa depan ruang rawat
intensif akan lebih banyak dari pada ruang bangsal perawatan. Obat-obatan masa depan
juga diharapkan akan lebih aman, karena perkembangan di bidang farmakogenetik akan
memungkinkan untuk mengatur jenis dan dosis obat yang tepat untuk seorang pasien.
Monitor yang non invasif juga akan makin berkembang, demikian juga pemeriksaan
laboratorium yang pengambilan sampelnya secara transdermal atau trans- mukosa makin
memberi rasa nyaman pada pasien. Sehingga tidak diperlukan lagi pengalaman dan
ketrampilan menggunakan alat-alat monitor invasif, demikian juga ketrampilan mengambil
sampel darah dari akses intravena atau intra arteri akan makin berkurang.[]
6 II Anestesiologi
BAB II
FISIOLOGI
Widya Istanto Nurcahyo, Himawan Sasongko,
Hari Hendriarto Satoto
FISIOLOGI JANTUNG
MESKIPUN secara anatomi jantung hanya terdiri dari satu organ tunggal, tetapi
secara fungsional jantung terbagi atas dua pompa yaitu pompa jantung kanan dan kiri di
mana masing-masing terdiri atas atrium dan ventrikel. Ventrikel, baik kanan maupun kiri,
bertindak sebagai pompa utama. Ventrikel kanan menerima darah dari sistem vena yang
miskin oksigen (deoxygenated) dan memompanya masuk ke sirkulasi pulmoner. Ventrikel
kiri menerima darah yang kaya oksigen (oxygenated) dari vena pulmonaris dan memompa-
nya masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Empat katup yang bergerak dalam arah yang sama
menjadi pintu masuk ke dalam dan pintu keluar darah dari tiap-tiap ruangan jantung
(Gambar 1).
BAB II - Fisiologi || 7
Normal
JH Oxygen-'ich blood □
to lungs Oxygen poor blood
lungs
Superior
vena cava
Pulmonary
veins from
iunijs
Atrial septum P
Aortic valve
ulmonary
veins
from
Tricuspid lungs
valve Ventricular Left atrium
Inferior septum
vena
cava
Pulmonary valve
Mitral valve
Gambar 1
Struktur Anatomi Jantung Normal dan Arah Aliran Darah di Jantung
Aksi pompa jantung secara normal merupakan hasil peristiwa mekanik dan elektrik
yang sangat kompleks. Otot jantung dapat dibagi atau dibedakan menjadi empat jenis yaitu
atrial, ventrikular, specialized pacemaker dan sel- sel konduksi. Eksitasi alamiah dari sel-sel
otot jantung dan organisasi yang unik menyebabkan jantung dapat berfungsi sebagai
pompa yang sangat efisien.
8 H Anestesiologi
Simpul SA normalnya paling cepat melepaskan listrik, kemudian de- polarisasi
menyebar ke seluruh bagian miokardium sebelum melepaskan listrik spontan. Simpul SA
merupakan pacu jantung normal di mana kecepatan pelepasan listriknya menentukan
frekuensi denyut jantung. Impuls yang dibentuk dalam simpul SA melewati lintasan atrium
ke simpul AV, kemudian ke berkas His dan cabang-cabangnya dilanjutkan melalui sistem
Purkinje sebelum ke otot ventrikel.
BAB II - Fisiologi || 9
Sistole Ventrikel
Masa kontraksi ventrikel isovolumetrik (isovolumik, isometrik) ditandai dengan
menutupnya katup mitrai dan trikuspidal. Otot ventrikel mula-mula memendek, tetapi
tekanan pada ventrikel meningkat tajam karena mio- kardium menekan darah ke dalam
ventrikel. Masa ini berlangsung sekitar 0,05 detik sampai tekanan dalam ventrikel melebihi
tekanan dalam aorta (80 mmHg) dan arteria pulmonalis (10 mmHg) serta katup aorta dan
pulmonalis membuka. Selama kontraksi isovolumetrik, katup AV menonjol ke dalam
atrium, yang menyebabkan peningkatan kecil tapi tajam pada atrium.
Fase ejeksi ventrikel dimulai saat katup aorta dan pulmonalis membuka. Ejeksi ini
mula-mula cepat kemudian pelan-pelan menurun dengan berlanjutnya sistole. Tekanan
intraventrikel meningkat sampai maksimum (120 mmHg pada ventrikel kiri dan 25 mmHg
pada ventrikel kanan), kemudian agak menurun sebelum sistole ventrikel berakhir. Katup
AV didorong ke bawah oleh kontraksi otot ventrikel dan tekanan atrium turun. Jumlah
darah yang disemburkan setiap ventrikel menguncup saat istirahat mencapai 70-90 mL
Volume ventrikel akhir diastolik sekitar 130 mL. Fraksi ejeksi, persentasi volume ventrikel
yang disemburkan setiap menguncup sekitar 65% dan sekitar 50mL darah tetap dalam
ventrikel pada akhir sistole (volume ventrikel akhir sistolik). Fraksi ejeksi merupakan indeks
fungsi ventrikel yang relatif baik serta seperti dihitung dalam berbagai keadaan klinik.
Awal Diastole
Setelah otot ventrikel kontraksi penuh, maka tekanan ventrikel turun dengan cepat
(masa protodiastole) dan berlangsung sekitar 0,04 detik. Pada masa ini diakhiri dengan
menutupnya katup aorta dan pulmonalis. Setelah katup menutup, tekanan kontinyu turun
cepat selama masa relaksasi ventrikel isovolumetrik. Masa relaksasi ventrikel isovolumetrik
ini berakhir bila tekanan ventrikel turun di bawah tekanan atrium dan katup AV membuka,
isovolumetrik isovolumetrik
Gambar 3
Aliran Darah dalam Jantung dan Pembuluh Darah Selama Siklus Jantung
10 || Anestesiologi
FISIOLOGI SIRKULASI JANTUNG NORMAL
Sistem sirkulasi terdiri atas jantung, pembuluh darah dan darah itu sendiri. Fungsinya
adalah untuk menyediakan oksigen dan zat-zat makanan bagi jaringan dan membawa hasil
metabolisme yang tidak perlu untuk dibuang. Jantung membagi darah menjadi dua sistem
sirkulasi yang bekerja secara seri. Pada sirkulasi pulmoner, darah mengalir melalui
membran kapiler alveolar untuk mengambil oksigen dan mengeliminasi karbondioksida.
Pada sirkulasi sistemik, darah yang kaya oksigen dipompakan ke jaringan untuk
metabolisme, dan produk-produk metabolisme diangkut untuk dieliminasi melalui paru,
ginjal atau hati.
Darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri dipompa keluar jantung saat ejeksi sistolik,
masuk ke dalam aorta melewati katup aorta dan akan dialirkan ke sirkulasi darah sistemik.
Darah kembali ke jantung melalui sistem vena masuk ke atrium kanan melalui vena kava
superior dan inferior, kemudian masuk ke ventrikel kanan melewati katup trikuspidal.
Darah yang miskin oksigen ini oleh ventrikel kanan dipompa masuk ke paru melalui
arteria pulmonalis, melewati katup pulmoner. Di paru kemudian darah mengalami
oksigenasi, kemudian dialirkan kembali ke jantung. Darah yang kaya oksigen ini melalui
vena pulmonlis masuk ke atrium kiri kemudian masuk ventrikel kiri melewati katup mitrai.
Oleh ventrikel kiri kemudian dipompakan kembali untuk masuk ke sirkulasi darah sistemik
(Gambar 4,5),
| Kepala dan Ekstremitas Atas
BAB II - Fisiologi || 11
Hukum Frank-Starling
Makin panjang otot jantung sebelum kontraksi, makin kuat kontraksi yang terjadi.
Tapi ini hanya sampai keadaan maksimum. Jika otot jantung diregang melampaui batas
maksimum, maka kekuatan kontraksi akan melemah. Hal ini disebut juga dengan
mekanisme Frank-Starling yaitu kekuatan kontraksi tergantung pada panjang serat otot
sebelum kontraksi.
Pada otot jantung akan berlaku keadaan di mana panjang awal itu adalah sebanding
dengan volume akhir diastolik. Kalau volume besar, maka pemenjangan otot jantung
bertambah. Namun demikian pemanjangan serat jantung yang akan menambah kekuatan
kontraksi ini hanya sampai batas tertentu, yang kalau melampaui batas itu kontraksi akan
sangat berkurang.
Gambar 5
Skema Sirkulasi Sistem Kardiovaskuler
12 || Anestesiologi
Paru-paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut dan terletak di dalam rongga
dada atau toraks. Kedua paru-paru saling terpisah oleh medias- tinum sentral yang berisi
jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru-paru mempunyai apeks (bagian
atas paru-paru) dan basis. Pembuluh darah paru-paru, bronkial, saraf dan pembuluh limfe
memasuki tiap paru- paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru-paru. Paru-paru
kanan lebih besar daripada paru-paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura
interlobaris, sedangkan paru-paru kiri dibagi menjadi dua lobus (Gambar 6) Lobus-lobus
tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya. Paru-
paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru-paru kiri menjadi 9 segmen. Pleura
merupakan lapisan tipis, kontinyu mengandung kolagen, dan jaringan elastis yang melapisi
rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru-paru (pleura viseralis). Di
antara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu lapisan tipis berisi cairan pleura
yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernafasan dan
untuk mencegah pemisahan toraks dan paru-paru.
Kavum pleura atau pleura hanyalah suatu ruangan potensial karena tidak ada
ruangan sesungguhnya antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Tekanan dalam rongga
pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir sehingga dapat mencegah kolapsnya paru- paru.
Trachea
{Wind Pipe)
Gambar 6
Pembagian Lobus Paru-paru
BAB II - Fisiologi || 13
pergerakan udara masuk dan keluar paru-paru disebut sebagai ventilasi. Yang mempunyai
peranan penting adalah pompa resiprokatif yang disebut pipa penghembus nafas. Pipa ini
mempunyai dua komponen volume-elastis: paru- paru itu sendiri dan dinding yang
mengelilingi paru-paru. Dinding terdiri dari rangka dan jaringan dinding toraks, diafragma, isi
abdomen dan dinding abdomen. Otot-otot pernafasan yang merupakan bagian dinding
toraks merupakan sumber kekuatan untuk menghembus pipa. Diafragma merupakan otot
utama yang ikut berperan dalam peningkatan volume paru-paru dan dinding toraks selama
inspirasi; ekspirasi merupakan suatu proses pasif pada pernafasan tenang.
Penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah arteri Pa02 dapat juga merangsang
ventilasi. Kemoreseptor perifir yang terdapat dalam badan karotis pada percabangan arteri
karotis komunis dan dalam badan aorta pada lengkung aorta peka terhadap penurunan
Pa02. Akan tetapi Pa02 harus turun dari tingkat normal sebesar 90 sampai 100 mmHg hingga
mencapai sekitar 60 mmHg sebelum ventilasi mendapat rangsangan cukup berarti.
Hubungan antara Ventilasi-Perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan
distribusi merata udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Pada
orang normal dengan posisi tegak dan keadaan istirahat maka ventilasi dan perfusi hampir
seimbang kecuali pada apeks paru-paru. Sirkulasi pulmonar dengan tekanan dan resistensi
rendah mengakibatkan aliran darah di basis paru-paru lebih besar daripada bagian apeks.
Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi (V/Q) adalah 0,8. Angka ini didapatkan
dari rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4 L/menit).
Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi pada kebanyakan penyakit
pernafasan. Tiga unit pernafasan abnormal secara teoritis terlihat pada gambar 8Gambar
8A menggambarkan unit ruang sepi yang mempunyai ventilasi normal, tetapi tanpa perfusi
sehingga ventilasi terbuang percuma (V/Q = tidak terhingga). Unti pernafasan abnormal
kedua (Gambar 8B) merupakan unit pirau, di mana tidak ada ventilasi tetapi perfusi normal
sehingga perfusi terbuang sia-sia (V/Q = 0). Unit terakhir Gambar 8C merupakan unit diam di
mana tidak ada ventilasi dan perfusi.
Transport Oksigen dalam Darah
Oksigen dapat diangkut dari paru ke jaringan melalui dua jalan: secara fisik larut
dalam plasma atau secara kimia berkaitan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin
(Hb02). Ikatan kimia oksigen dengan hemoglobin ini bersifat reversibel. Jumlah
sesungguhnya yang di angkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan monoliner dengan
Pa02 (tekanan parsial oksigen dalam darah arterial), yang ditentukan oleh jumlah oksigen
yang secara fisik larut dalam plasma darah. Selanjutnya jumlah oksigen yang secara fisik
larut dalam plasma mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial oksigen dalam
alveolus (PA02). Kecuali itu juga tergantung daya larut oksigen dalam plasma. Jumlah
oksigen dalam keadaan normal larut secara fisik sangat kecil karena daya larut oksigen
dalam plasma yang rendah. Hanya sekitar 1% dari jumlah oksigen total yang diangkut ke
BAB II - Fisiologi \ | 14
jaringan ditranspor dengan cara ini. Cara transpor seperti ini tidak dapat memadai untuk
mempertahankan hidup walaupun penderita dalam keadaan istirahat sekalipun. Sebagian
besar oksigen diangkut oleh hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah. Dalam
keadaan tertentu (misalnya: keracunan karbon dioksida atau hemolisis masif di mana terjadi
Insufisiensi hemoglobin) maka oksigen yang cukup untuk mempertahankan hidup dapat
ditranspor dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan oksigen tekanan yang lebih tinggi
dari tekanan atmosfer (ruang oksigen hiperbarik).
Hal-hal yang berkaitan dengan transpor oksihemoglobin dilukiskan pada Gambar 7.
Satu gram hemoglobin dapat mengikat 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin
rata-rata dalam darah pria dewasa besarnya sekitar 15 g per 100 ml, maka 100 ml darah
dapat mengangkut (15 x 1,34)= 20,11 ml oksigen bila darah jenuh total (Sa02= 100%). Tetapi
darah yang sudah teroksi- genisasi dan meninggalkan kapiler paru ini mendapatkan sedikit
tambahan darah vena campuran dari sirkulasi bronkial (Gambar 7). Proses pengenceran ini
yang menjadi penyebab sehingga darah yang meninggalkan paru hanya jenuh 97 persen,
dan hanya (0,97 x 20,1) = 19,5 volume persen diangkut ke jaringan.
Pada tingkat jaringan oksigen akan berdisosiasi dari hemoglobin dan berdifusi ke
dalam plasma. Dari plasma oksigen berdifusi ke sel jaringan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan bervariasi, namun
sekitar 75% dari hemoglobin kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi
sesungguhnya hanya sekitar 25 % oksigen dalam darah arteria yang digunakan untuk
keperluan jaringan. Hemoglobin yang telah melepaskan oksigen pada tingkat jaringan
disebut hemoglobin tereduksi (Hb). Hemoglobin tereduksi berwarna ungu dan me-
nyebabkan warna kebiruan pada darah vena, seperti yang kita lihat pada vena superfisial,
misalnya pada tangan. Sedangkan oksihemoglobin (hemoglobin yang berkaitan dengan
oksigen) berwarna terang dan menyebabkan warna ke merah merahan pada darah.
BAB II - Fisiologi || 15
Transpor Karbon Dioksida dalam Darah
Homeostasis karbon dioksida juga suatu aspek penting dalam kecukupan respirasi.
Transpor karbon dioksida dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara.
Sekitar 10% C02 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O2, C02 mudah larut
dalam plasma. Sekitar 20% C02 berikatan dengan gugus amino pada hemoglobin
(karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk
bikarbonat plasma. Karbon dioksida berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini:
Gambar 8
Transport Karbon Dioksida
Reaksi ini reversibel dan dikenal dengan nama persamaan dasar asam karbonat-
bikarbonat. Keseimbangan asam-basa tubuh sangat dipengaruhi oleh fungsi paru dan
homeostatis karbon dioksida. Pada umumnya hiper- ventilasi menyebabkan alkalosis akibat
ekskresi C02 berlebihan dari paru.
Hipoventilasi dapat menyebabkan asidosis (penurunan kadar pH di bawah pH normal
7,4) akibat retensi karbon dioksida oleh paru. Dengan memeriksa persamaan dapat terbukti
bahwa penurunan PC02 seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan menyebabkan reaksi
menjurus ke kiri dengan akibat terjadi penurunan kesentrasi H+ (kenaikan pH), dan
peningkatan PC02 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan, menimbulkan kenaikan H+
(penurunan pH). Hipoventilasi terjadi pada banyak keadaan yang mempengaruhi napas.
Retensi karbon dioksida juga dihubungkan dengan emfisema dan bronkitis kronik akibat
udara yang terperangkap dalam paru.
Sama seperti jumlah 02 yang diangkut dalam darah berkaitam dengan P02 pada darah
tersebut, demikian jumlah C02 dalam darah berkaitan dengan PC02. tidak seperti kurva
disosiasi oksihemoglobin yang bentuknya seperti huruf S, kurva disosiasi C02 hampir linier
pada batas-batas fisiologis PC02. ini berarti bahwa kandungan karbondioksida dalam darah
berhubungan langsung dengan PC02. Selain itu tidak pernah ada hambatan yang nyata
terhadap difusi C02. karena itu PaC02 merupakan petunjuk yang baik akan kecukupan
ventilasi.
16 11 Anestesiologi
FISIOLOGI HEPAR
Hepar merupakan organ kelenjar tubuh yang terbesar dengan berat 1000-4000 gram
dengan rata-rata berat sekitar 1500 gram atau dihitung secara kasar kira-kira seperlimabelas
dari berat badan. Pada bayi heparnya relatif lebih besar, kurang lebih seperdelapan belas
berat badan waktu lahir, sebagian besar terdiri dari lobus kiri sehingga perut bayi tampak
seperti lebih menonjol.
Hepar merupakan organ plastis lunak yang terletak oleh struktur di- sekitarnya.
Permukaan superior adalah cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan
sebagian kubah kiri setinggi iga ke-5 dan procesus xyphoideus. Bagian bawah hepar adalah
cekung dan merupakan atap dari ginjal, lambung, pankreas, dan usus.
Unit fungsional dasar hepar adalah lobulus hepar yang berbentuk silindris dengan
panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter, yang merupakan unit
mikroskopis dan fungsional organ. Hepar manusia terdiri dari 50.000 sampai 100.000
lobulus. Lobulus-lobulus ini terdiri dari lempengan-lempengan sel hepar yang tersusun
secara radier dan centrifugal dari vena centralis seperti jari-jari sebuah roda. Tiap lobulus
dipisahkan oleh jaringan interseptal di mana terdapat banyak pembuluh-pembuluh darah
cabang-cabang kecil dari vena porta, a. hepatis, selain itu duktus terminalis saluran empedu,
saluran limfe dan jaringan ikat lainnya. Hepar manusia ter-
diri dari dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan
posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi
segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar.
Ligamentum falsiforme berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen.
Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan
posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan
lipatan peritoneum membantu menyokong hepar. Di bawah peritoneum terdapat jaringan
penyambung padat yang dinamakan kapsula glisson, yang meliputi seluruh permukaan
organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatis di permukaan inferior, melanjutkan diri ke
dalam massa hati, membentuk cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dam saluran
empedu.
Pada umumnya lempengan sel hepar terdiri dari beberapa sel yang di antaranya
terdapat kanal-kanal kecil yang mengalirkan cairan empedu ke- duktus terminalis saluran
empedu (dalam septal). Di dalam septal berjalan venul portal yang membentuk sinus
hepatis yang semuanya menuju vena centralise. Jadi sel-sel hepar terletak di antara sinus
hepatis kanal-kanal kecil dari saluran empedu, sel kupffer (disebut juga sel retikuloendotel)
yang bersifat fagosit terletak pada dinding sinus hepatis. Di antara sel-sel hepar terdapat
ruang-ruang yang sangat kecil yang disebut ruang dari Disse (space of Disse), membentuk
pori-pori yang besar sehingga plasma protein dapat berdiffusi secara bebas melalui ruang
ini. Ruang dari Disse ini juga berhubungan dengan saluran limfe, bilamana terjadi kelebihan
cairan dalam ruangan ini, akan dialirkan ke dalam saluran limfe.
Seperti telah kita ketahui hepar merupakan organ parenkim terbesar yang
BAB II - Fisiologi || 17
mempunyai daya regenerasi dan cadangan kemampuan yang besar serta menduduki
urutan pertama dalam hal banyaknya, kerumitan dan ragam dari fungsinya. Bila terjadi
kerusakan kurang dari 80% atau fungsi hati sekitar 10-20% saja dari jaringan normal, hepar
mampu mempertahankan kehidupan. Jelaslah peranan hepar sangat penting untuk
mempertahankan kehidupan dan kesehatan seseorang sebagai tanggung jawab fungsi
metabolisme dan lebih dari 500 aktivitas berbeda. Fungsi utama hepar meliputi:
1. Pembentukan dan ekskresi empedu.
2. Metabolisme pigmen empedu (billirubin).
3. Metabolisme karbohidrat.
4. Metabolisme protein.
5. Metabolisme lemak.
6. Metabolisme steroid.
7. Penyimpanan air, vitamin dan mineral.R
8. Regulasi koagulasi darah.
9. Penyimpanan besi.
10. Metabolisme obat (detoksikasi).
11. Fungsi sistem retikuloendotelial.
Bilirubin serum merupakan indikasi yang sederhana dan test terbaik untuk
mengetahui adanya kelainan pada fungsi obstruksi. Pada keadaan normal total bilirubin
serum kurang dari 1,5 mg/100 ml dan akan mulai terlihat adanya ikterus bila lebih besar
sama dengan 3 mg/100 ml.
Albumin dan waktu protrombine merupakan out-come test dari indikator gangguan
fungsi sintesa. Waktu protrombine mencerminkan keadaan faktor pembekuan II, V, VII, dan
X yang semuanya diproduksi di hepar. Faktor VII mempunyai waktu paruh biologik dalam
serum lebih kurang 5 jam. Apabila terjadi gangguan fungsi sintesa ini maka akan terjadi
pemanjangan beberapa jam waktu protrombine.
Pada kelainan hepar yang kronis fungsi sintesa albumin akan terlihat secara sensitif
oleh karena waktu paruh albumin yang hanya 10-14 hari, apabila dibandingkan pada
penyakit hepar yang akut. Dengan demikian pada penyakit hepar yang kronis penurunan
kadar serum albumin sering diikuti perpanjangan waktu protrombine.
Peningkatan nilai serum SGOT dan SGPT sering digunakan untuk menilai gangguan
dan kerusakan pada hepatoseluler. Perbandingan ratio SGOT/SGPT digunakan untuk
menentukan jenis kelainan penyakit hepar. Bila ratio meningkat tapi SGPT normal,
peningkatan SGOT ini menggambarkan kelainan di luar hepar, bila SGOT dan SGPT
meningkat keduanya dengan peningkatan ratio di atas 4 menggambarkan kelainan hepatitis
Wilson, bila nilai ratio antara 2-4 menunjukkan penyakit liver alkoholik, bila nilai ratio di
bawah 1 berarti penyakit nonalkoholik steatosis atau hepatitis (tanpa cirrhosis). Apabila
SGOT dan SGPT di bawah 300IU/L dan ratio melebihi 2 pasti penyakit liver alkoholik atau
chirrosis karena penyebab apapun.
Nilai aminotransferase < 250 IU/L kelainannya hepatik steatosis, hepatitis karena
18 11 Anestesiologi
alkohol atau obat, hepatitis kronik virus, cirrhosis, hemochromatosis, cholestasis, neoplasma
atau previus jejunoileal by pass.
Nilai aminotransferase 250-500 IU/L gambarannya hepatocelluler necrosis
kelainannya hepatitis virus atau karena obat, excacerbations hepatitis kronik. Nilai
aminotransferase di atas 1000 IU/L selalu serangan virus atau induksi obat yang menyertai
penyakit liver alkoholik, outoimmune dan hepatitis. Nilai aminotransferase lebih 2000 IU/L
gambarannya massive hepatic necrosis biasanya karena obat (acethaminophen, halothane
hepatitis). Peningkatan LDH ditemukan di hepar dan non hepar jadi test ini kurang spesifik
dibandingkan test aminotransferase.
Serum alkaline phosphatase biasanya digunakan untuk screening test penyakit hepar
atau saluran billier termasuk hepatitis akut, keganasan, dan cholestatic disorder. Serum ini
juga ditemukan di tulang, plasenta, usus halus, ginjal, leukosit, dan neoplasma.
Peningkatan y-Gluyamyl Transpeptidase hampir selalu disertai kenaikan bilirubin akan
tetapi enzim ini tidak diproduksi di tulang. Jadi bila ada penyakit tulang tidak akan ditemukan
peningkatan enzim ini.
FISIOLOGI GINJAL
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga peritoneal bagian
atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi
ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur- struktur pembuluh darah, sistem limfatik,
sistem syaraf dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal.
Walaupun hanya merupakan 0,5% massa tubuh, namun keberadaan ginjal sangatlah
penting dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi seperti pengaturan keseimbangan
elektrolit dan air, pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, ekskresi
produk sisa metabolik dan zat asing, pengaturan tekanan arterial, pengaturan
keseimbangan asam basa, pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit,
sekresi hormon dan glukoneogenesis. Seluruh proses yang demikian kompleks dikerjakan
oleh bagian tertentu dari ginjal baik secara independen ataupun simultan antara satu bagian
ginjal dengan bagian ginjal yang lain ataupun dengan sistem organ lain.
Pada masing-masing ginjal terdapat 1 juta nefron sebagai unit fungsional dasar ginjal.
Nefron tidak dapat dibentuk lagi dan jumlahnya akan menurun bertahap oleh karena
trauma, penyakit atau proses penuaan, sehingga jumlahnya akan berkurang 10% setiap 10
tahun sejak usia 40 tahun. Penurunan jumlah ini tidak akan membahayakan karena adanya
perubahan adaptif pada nefron yang tersisa sehingga tetap dapat mengekresikan air,
elektrolit dan produk sisa dengan tepat. Berdasarkan anatomi fungsionalnya nefron terdiri
atas:
1. Kapiler Glomerolus.
2. Tubulus Proksimal.
3. Ansa Henle.
4. Tubulus Distal.
BAB II - Fisiologi || 19
5. Tubulus Kolektivus.
6. Aparatus Juxta Glumerular.
Glomerolus merupakan tempat utama terjadi proses filtrasi. Jumlah filtrat yang
dibentuk setiap menitnya pada semua nefron kedua ginjal disebut laju filtrasi glomerolus,
dengan nilai normal rata-rata 125 ml/menit. Proses filtrasi tergantung dari permeabilitas
barier filtrasi dan selisih dari gaya hidros- tatik yang mendorong cairan ke celah Bowman.
Tubulus merupakan tempat utama terjadinya proses reabsorpsi zat-zat yang berguna
bagi tubuh. Kapasitas maksimum dari tubulus dalam mengabsorpsi zat-zat tersebut dapat
diukur dan disebut sebagai proses obligatorik. Tubulus memiliki kapasitas yang besar untuk
reabsorpsi air dan NaCl. Tubulus juga mempunyai fungsi ekskresi zat-zat asing dari kapiler
peritubuler ke dalam filtrat dan sintesis amonia sebagai regulator asam basa.
Ansa Henle menyerap 15-20% dari natrium yang terfiltrasi. Ansa Henle bersama
dengan tubulus kolektivus dan vasa recta berperan dalam mekanisme countercurrent
Selain itu ansa Henle juga berperan dalam reabsorpsi kalsium, magnesium, dan hormon
paratiroid.
Proses filtrasi glomerolus dan reabsorpsi tubulus secara kuantitatif berpengaruh besar
terhadap produksi urin. Ginjal memiliki kemampuan untuk mengubah komposisi urin dari
waktu ke waktu yang mencerminkan kebutuhan tubuh dalam mengatur berbagai zat.
Mekanisme ini disebut juga dengan countercurrent, yang terbagi menjadi countercurrent
multiplier dan counter- current exchanger.
Ginjal merupakan organ tubuh yang penting dalam pengaturan cairan tubuh dengan
mengontrol volume darah, volume cairan ekstraseluler, osmo- laritas cairan tubuh, dan
konsentrasi beberapa ion dalam tubuh.
Bekerja sama dengan paru-paru, ginjal menjaga keseimbangan asam basa dalam
tubuh. Mekanismenya dengan menghasilkan buter natrium bikarbonat, buter kombinasi
20 11 Anestesiologi
ion H+ dengan karbonat hasil filtrasi glomerolus, buter lainnya, antara lain fosfat inorganik,
urat, ion kreatinin dan juga mampu mengabsorpsi amonia.
Ginjal berperan dalam pengaturan kerja hormon renin, aldosteron, atrial natruretik
peptida dan anti diuretik hormon. Selain itu ginjal juga memproduksi hormon eritropoeitin
yang menstimulasi produksi sel darah merah.[]
BAB II - Fisiologi || 21
DAFTAR PUSTAKA
1. Maas ML, Kumpulan Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Berkala X Ikatan Dokter
Spesialis Anesthesiology Indonesia, Bandung Mei 2000, hal. 231- 145.
2. Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit,
editors. Wijaya C. dr. Alih bahasa: Peter A; ed. 4, cetakan I, EGC, Jakarta 1995
3. Guyton AC; Hall JE, Editor Bahasa Indonesia oleh Setiawan I; Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran, Edisi 9 Jakarta, EGC: p.1323-1325
4. Collins VJ. Hepatobiliary Disease and Anesthesia, in: Physiologic and Pharmacologic
Base of Anesthesia. Baltimore: Williams dan Wilkins, 1996: p. 396-416
5. Orfei E. dr, Drug Induced Liver Injury, Available from URL http://
www.medicalcentre.osu.edu//ptiencare/healthinformation/otherhealth
opik/liverbilliery pancreatic dos 4540/the liver anatomy function 4542.
6. Orfei E. dr, The liver: Anatomy and Function, available from URL, http://
www.medden.luc.edu/lumen/med ED/orfpath/drug %20hepatitis.
7. Martini FH, Ober WC, Garrison CW, Editors Development and Inheritance, in:
Fundamentals of Anatomy and Physiology; 7th ed, San Fransisco: Pearson Education
Benyamin Commings, 2006: p.1074-1109.
8. Morgan GE, Mikhail MS, Muray MJ, Clinical Anestesiology; 3th ed. New York: Me.
Grawhill; 2002. p. 808-873,2312.
9. Mushlin PS, Gelman S, Hepatic Physiology and Patophysiology. In: MillerRD, editors.
Miller's Anesthesia. 9th ed. Philadelphia: Elseiver Churchill Livingstone 2005. p. 743-
750
10. Katzung, BG, Editor Bahasa Indonesia oleh: Sjabana D. dkk: Farmakologi Dasar dan
Klinik, Edisi 8-Buku 2 Jakarta; Salemba Medika: 2002: p.24-56, 130-203,469-479.
11. Aitkenhead AR, Rowbotham DJ, Smith G, Text Book of Anesthesia; 4th ed. London:
Elseiver Churchill Livingstone 2005. P250-258.
22 11 Anestesiologi
BAB III
PENDAHULUAN
Tes faal paru mempunyai peranan penting dalam persiapan pre anestesi. Meskipun
sederhana dan tanpa resiko, tes faal paru sering dilakukan tanpa indikasi yang jelas akibat
keterbatasan pengetahuan tentang fisiologi dari para dokter. Hal ini menyebabkan para
dokter sering mengalami kesulitan untuk menginterpretasi hasil tes.1
Tes faal paru sebagai pemeriksaan pre anestesi ditujukan untuk mengetahui fungsi
paru seseorang apakah terdapat kelainan paru dan tingkat keparahannya.1,2 Tujuannya
untuk mengurangi resiko terjadinya kegagalan fungsi paru, komplikasi paru post anestesi
lain dan mengetahui kemajuan perbaikan paru setelah pemberian obat-obatan.1
Wighman (1968) menyatakan faktor resiko terjadinya komplikasi paru adalah
pembedahan di daerah thorax dan abdomen atas, penyakit paru sebelumnya, merokok,
operasi > 180 menit dan usia tua.3 Tisi (1979) menyatakan bahwa faktor resiko komplikasi
paru adalah umur > 70 tahun, obesitas, pembedahan di daerah thorax dan abdominal atas,
riwayat merokok dan adanya kelainan paru sebelumnya. Pada perkembangannya, data
menurut Tisi ini masih dianggap terlalu luas, maka American College of Chest Physician
(1995) membuat guidelines baru yaitu tes faal paru perlu diperiksa pada reseksi paru,
riwayat merokok, dyspnea, bedah jantung, pembedahan di
24 II Anestesiologi
aliran udara bisa sangat pelan, sehingga tidak terdengar wheezing, ini disebut silent chest.
Tanda ketiga adalah memanjangnya waktu ekspirasi. Dapat dilihat saat pemeriksaan
FVC. Pemeriksa meletakkan stetoskopnya di atas laring. Secara normal terdengar suara
bronkial selama 1-2 menit. Di mana pada obstruksi berat, pasien mengambil nafas lagi
sebelum ekspirasi dalam selesai.
Suara yang ditimbulkan karena retensi sputum paling baik didengarkan pada paru
bagian posterior. Pada kelainan bronkial ringan, suara hilang bila pasien batuk. Tetapi bila
suara tetap ada setelah batuk, kemungkinan besar terjadi bronkiektasis.2,11
C. Fluoroskopi
Fluoroskopi dapat memberi informasi tambahan tentang fungsi paru. Penilaian
dalam fluoroskopi menurut rekomendasi dari American Medical Association adalah:10
1. Kecepatan udara masuk dan keluar.
2. Pernafasan (diafragma, abdominal, intercostal dan aksesoria).
3. Perpanjangan aerasi selama inspirasi dan ekspirasi.
4. Gerakan abnormal atau adanya fixasi: hila, mediastinum, tanda paru lain.
5. Perbedaan antara paru dan segmen paru.
6. Bukti adanya kista dan proses patologis yang lain.
D. Spirometri
Pemeriksaan kuantitatif ventilasi diukur menggunakan spirometri.10 John Hutchinson
adalah penemu spirometer pada abad ke-19. Ada 2 macam spirometer, yaitu wet
spirometer dan dry spirometer. Wet spirometer adalah alat yang terdiri dari silinder padat
yang di dalamnya terdapat rongga berisi air. Wet spirometer sangat akurat tetapi kurang
nyaman dipakai karena gerakan air sangat mempengaruhi pengukuran aliran udara. Dry
spirometer lebih sering digunakan. Di sini udara mengisi rongga dalam silinder. Pasien
meniup spirometer saat ekhalasi maksimal menuju tube. Pengembangan spirometer
kemudian dicatat di tabel yang bergerak sesuai axis x. Pengukuran dilakukan 3-5 kali,
kemudian diambil hasil pengukuran tertinggi.12
Gambar 1
Pengukuran Paru dengan Spirometer
1. Vital capacity
a. Cara Pemeriksaan
Vital Capacity (VC) adalah volume yang diukur pada individu yang melakukan
inspirasi dalam dan maksimal sampai mencapai Totai Lung Capacity (TLQ dan kemudian
ekspirasi maksimal hingga mencapai Residual Volume (RV) kemudian ditiupkan pada
spirometer sebanyak 3 kali secara perlahan.2,13
b. Harga normal dan interpretasi
Harga normal vital capacity dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1
Harga Normal untuk Vital Capacity (VC)10
VC dikatakan abnormal jika turun kurang dari 80 % dari nilai yang diprediksi.
Harga normal VC lebih rendah pada pasien yang tidur terlentang daripada pasien duduk
dan bervariasi tergantung berat badan dan umur. Pasien dengan penyakit paru restriktif
seperti pneumonia, atelektasis atau fibrosis pulmonal, mempunyai nilai VC yang rendah.
Penurunan VC jug
26 II Anestesioiogi
terjadi pada kelemahan otot atau nyeri sehingga pasien sulit melakukan inspirasi
maksimal.14
2. Forced Vital Capacity (FVC)
a. Cara pemeriksaan
Forced Vital Capacity (FVC) adalah volume yang diukur pada individu yang melakukan
inspirasi dalam dan maksimal sampai mencapai Total Lung Capacity (TLC) dan kemudian
ekspirasi maksimal hingga mencapai Residual Volume (RV) kemudian ditiupkan pada
spirometer sebanyak 3 kali lagi secara cepat.2 Ekspirasi sekurang-kurangnya dilakukan
dalam waktu 4 detik dan tidak boleh diganggu batuk, penutupan glotis atau obstruksi
mekanis.1
Time (see)
Gambar 2
Forced Vital Capacity (FVC) dan Forced Expiratory Volume Detik ke-1 (FEVi)
pada Pasien Normal1
Pada penyakit paru obstruktif, terjadi penurunan FEVX dan FEVj/FVC akibat
penurunan aliran ekspirasi.1,10 Pada penyakit paru restriktif terjadinya penurunan TLC yang
menyebabkan penurunan FVC. Akibat dari bermacam- macam kelainan paru dapat dilihat
pada tabel 2.1
Tabel 2
Derajat obstruksi jalan nafas diketahui dengan prosentase FEV]/FVC. Nilai FEVj/FVC
<70% menunjukkan obstruksi ringan. Nilai <60% menunjukkan obstruksi sedang dan nilai <
50% menunjukkan obstruksi berat.1
Perlu diingat bahwa FEVj/FVC menunjukkan suatu perbandingan, sehingga
prosentase yang sama belum tentu menunjukkan derajat disfungsi paru yang sama.
Sebagai contoh pasien dengan FEVi 1,5 liter dan FVC 3 liter berbeda derajat kelainan
parunya dibandingkan pasien dengan FEVi 0,75 liter dan FVC 1,5 liter, meskipun keduanya
mempunyai rasio FEVi/FCV 50%. (Gambar 3f°
n&sx 4-5- C A; Normal, (S3 ixsîruenvs. asal iCi e&tncOsc ¡x»:í«>ms « &
Gambar 3
Perbandingan FEV/FVC pada Pasien Sehat (A), Obstruktif (B), Restriktif (C) 12
3. Flow Rates
a. Cara pemeriksaan
Pengukuran flowrate dapat menggunakan beberapa alat, yaitu spirometer, hand held
flow meter atau pneumotachygraph,1,12 Peak flow dapat diukur dengan menggambar
kemiringan yang paling curam pada spirogram, tetapi cara ini terdapat banyak kesalahan.
Oleh karena itu peak flow rate diukur mulai 0,1 detik setelah FVC atau dihitung sebagai rata-
rata udara ekspirasi 200 mL setelah FVC. Ini disebut Forced Expiratory Flow (FEF200-1200)
28 j I Anestesiologi
atau maximum expiratory flow rate yaitu FVC yang diukur 200-1200 mL setelah FVC. Flow
rate sering diukur pada pertengahan FVC (25-75% volume ekspirasi). Parameter ini, dulu
disebut maximum midexpiratory flow, sekarang disebut forced midexpiratory flow (FEF25%-
75%).1,2'13
b. Harga normal dan interpretasi
Peak flow tergantung ukuran jalan nafas, kekuatan otot ekspirasi, usaha dan
koordinasi pasien. Nilai normal flow rate pria dewasa kurang dari 40 tahun adalah 500
L/menit. Nilai kurang dari 200 L/menit menunjukkan komplikasi post anestesi yang besar.
Nilai FEF25%-75% pada pria sehat dewasa adalah 4,5-5 L/detik, tetapi karena variasi
yang banyak, indeks normal berkisar pada 2L/detik. FEF25%-75% sering disebut juga effort
independent karena tidak tergantung terhadap usaha bernafas. FEF25%-75% menurun
karena penurunan usaha ekspirasi dan inspirasi submaksila. Kejadian ini disebut juga
negative effort dependence, yang tampak sebagai perbedaan pada pengukuran volume
pada mulut dibanding perubahan di volume thorak.1
4. Maximum Breathing Capacity (MBC)
a. Cara pemeriksaan
Kemampuan dinamis paru dinilai dengan mengukur Maximum Breathing Capacity
atau Maximal Minute Ventilation atau Maximum Voluntary Ventilation (MW). MW
merupakan test komprehensif untuk fungsi ventilasi yang dipengaruhi faktor-faktor seperti
tahanan jalan nafas, elastisitas paru dan dinding dada, kekuatan otot-otot pernafasan,
koordinasi dan motivasi pasien. MW adalah volume terbesar yang dapat dihirup setiap
menit dengan usaha volunter. Cara pemeriksaannya adalah pasien diinstruksikan bernafas
sekuat dan secepat mungkin selama 12-15 detik.14 Volume diukur mulai menit pertama dan
kemudian dihitung berapa liter per menit.1
30 j I Anestesiologi
b. Harga normal dan interpretasi
kurang dari +40 cm H20 menunjukkan ketidakmampuan dalam reflek batuk yang adekuat.
6 Kurva Flow-Volume
a. Cara pemeriksaan
Pemeriksaan kurva flow-volume menggunakan spirometer untuk mengetahui FVC,
kemudian saat mencapai TLC dihubungkan dengan pneumotachograph untuk mengetahui
flow, sinyal dari pengukuran dihubungkan komputer untuk dibuat kurva flow-volume.
Aliran udara dan volume dicatat sejak pasien inspirasi maksimal sampai mencapai TLC
kemudian diikuti ekspirasi maksimal. Aliran udara akan menurun pada pertengahan
ekspirasi. Seluruh usaha ekspirasi dan inspirasi di sekitar TLC sangat tergantung pada
usaha. Perbandingan aliran inspirasi dan ekspirasi adalah 50%. Sehingga perbandingannya
adalah 1. Perbandingan ini digunakan untuk mengindentifikasi obstruksi jalan nafas atas,
di mana aliran inspirasi akan turun dibanding aliran ekspirasi sehingga perbandingannya
meningkat >l}
b. Harga normal dan interpretasi
Dari kurva, dapat dilihat flow udara pada berbagai volume paru. Pada permulaan
inspirasi, aliran udara naik dengan cepat menuju nilai maksimum volume paru mendekati
TLC. Ketika mulai ekspirasi, volume paru menurun, jalan nafas menyempit, tahanan
meningkat dan aliran udara menurun secara pasif. Berikut adalah kurva flow-volume pada
orang normal (gambar5).
Skema Maksimum Inspirasi (Vi) dan Ekspirasi (Ve) Kurva Flow-Volume pada Orang Normal
Pengaruh usaha ekspirasi dalam aliran udara sangat penting. Setiap individu
mempunyai kurva yang berbeda untuk setiap usaha yang berbeda, meskipun dengan FVC
yang sama. Pada volume mendekati TLC, aliran udara naik seperti ditunjukkan kurva A pada
gambar 6. Pada usaha yang diturunkan, kurva B dan C, tampak adanya penurunan aliran.
Tetapi pada ketiga kurva akan menyatu pada satu titik dan menurun bersama sampai
mencapai RV. Pada volume paru tengah sampai rendah hanya diperlukan usaha sedang
untuk mencapainya. Karenanya kenaikan usaha ekspirasi hanya berbeda sedikit antara
ketiga kurva pada bagian ini. bagian ini disebut effort independent. Pada titik ini, fungsi aliran
hanya tergantung pada 2 variabel. (PL dan Paw).1
Kurva flow-volume membantu mendeteksi obstruksi jalan nafas atas dan melokalisasi
tempat obstruksi. Pada kebanyakan kelainan, tidak ada perubahan yang signifikan pada
jalan nafas selama inspirasi dan ekspirasi. Sehingga aliran ekspirasi memperlihatkan aliran
yang konstan pada VC. Aliran udara inspirasi memperlihatkan kemiringan yang sama.
(Gambar 7)
32 11 Anestesioiogi
Gambar 7
Maksimum Inspirasi dan Ekspirasi pada Kurva Flow-Volume
Contoh obstruksi ekstrathorak adalah paralise plika vocalis yang ditandai stridor
inspirasi. Selama inspirasi kuat, tekanan transmural jalan nafas menyebabkan kolapsnya
jalan nafas. Selama ekspirasi, tekanan positif jalan nafas atas menyebabkan penurunan
obstruksi dan aliran ekspirasi menurun sampai normal.
Contoh obstruksi intrathorak adalah tumor di trakea atau bronkus. Selama inspirasi
kuat, PPLs tinggi menurunkan diameter jalan nafas dan meningkatkan obstruksi. Selama
inspirasi, penurunan PPL di sekitar jalan nafas akan menyebabkan penurunan obstruksi.
Perbandingannya rendah karena adanya obstruksi jalan nafas difus. Contohnya obstruksi
jalan nafas difus distal akan menunjukkan gambaran abnormal yaitu penurunan aliran di
sekitar RV.1
7. Maximum Flow Rate
a. Cara pemeriksaan
Maximum flow rate tergantung 3 faktor. Faktor pertama adalah tingkat usaha
yang digunakan untuk kontraksi otot. Usaha pernafasan dinilai dengan mengukur kadar
Pemax dan Pimax.
Faktor kedua adalah recoil pressure of the lung (PL). Nilai PL terbesar saat TLC (25-
30 cm H20) dan terendah saat RV (2-3 cm H20) (gambar 8). PL berlawanan dengan recoil
pressure of the chest wall (Pew). Recoil pressure of respiratory system (Prs) merupakan
jumlah PL+ Pew. PL dan Pew adalah sama, sehingga normalnya harga Prs adalah O.1
Faktor ketiga adalah airway resistance (Raw) dan airway conductance (Gaw). Batas
atas Raw adalah 2 cm H20 dalam 1 detik. Gaw dihitung dari volume paru saat pengukuran
dibuat (FRC). Koefisien variasi (standar deviasi/rata-rata x 100%) normal untuk pasien <10%.
Pada pasien normal, tahanan jalan nafas atas akan naik dengan flexi kepala, karena
berkurangnya diameter hipofaring. (gambar 9)
Gambar9
Grafik Airway Resistance (RAW) dan Airway Conductance (GAW)
34 j I Anestesioiogi
b. Harga normal dan interpretasi
Aliran udara ekspirasi menyebabkan terjadinya perubahan pada 3 aliran udara
utama. (PEmax, PL dan Paw) seperti terlihat pada tabel 4. Contohnya, pada pasien dengan
kelainan neuromuskular seperti miastenia grafis, distrofi muskuler, sindroma Gullain-Barre
dan transeksi spinal, dapat terjadi penurunan aliran ekspirasi, yang ditunjukkan dengan
penurunan PEMA)C Contoh penurunan kemampuan kembang paru adalah pada emfisema, di
mana kekuatan otot ekspirasi cukup dan distensi paru normal. Pada pasien paru obstruktif,
yaitu bronkitis dan asma, jalan nafas menyempit, sehingga terjadi peningkatan Raw.1
Tabel 4
Mekanisme Penurunan Aliran Udara Ekspirasi
Variabel Fisiologis
Penyakit PEMAX PL
Raw
DLCO= CO miymin/mmHg
PACCTPCCO
36 || Anestestologl
Teknik yang sering digunakan untuk mengukur DLco/ adalah dengan tes single breath.
Pada metode ini, pasien ini menginspirasi gabungan dilusi CO dan menahan nafas sampai
10 detik. Selama periode ini, CO meninggalkan gas alveolar untuk masuk ke darah secara
difusi. Kadar CO yang ditransfer dihitung dari prosentase CO pada gas alveolar pada
permulaan dan akhir dengan analisis inframerah. Metode single breath ini sederhana
karena tidak memerlukan sampel darah, tetapi kerugiannya tidak sensitif pada CO darah
dan terpengaruh ringan pada V/Q. Harga normal DLco berkisar antara 20-30
miymnt/mmHg. Penurunan volume kapiler darah menyebabkan penurunan DLCO seperti
pada emfisema, reseksi paru, emboli pulmonum, anemia dan fibrosis pulmonal.
Peningkatan DLCO dapat terjadi pada posisi supine, olahraga, obesitas1
F. Tes Excercise
Terdapat peningkatan evaluasi preanestesi untuk kapasitas exercise sejak akhir
1990an. Contoh tes exercise yang paling mudah adalah naik tangga. Kemampuan untuk
naik 3 anak tangga (1 tangga = 6 inci) dianggap baik sedangkan kemampuan untuk naik 2
anak tangga, memperlihatkan resiko tinggi.
Perkiraan kuantitatif dari fungsi kardiopulmonal diukur dari uptake 02 maksimum
selama exercise. Kadar V02 max sangat penting untuk mengukur kemampuan fisik
seseorang dan menunjukkan kemampuan untuk bertahan dari stress perioperatif dan
sesudahnya. Pasien dengan nilai V02 max 20 miykg/mnt atau lebih mempunyai morbiditas
yang minimal. Pasien dengan nilai <15 mL/kg/mnt mempunyai kemungkinan komplikasi
yang lebih tinggi di mana jika V02 max <10 miykg/mnt mempunyai resiko tinggi dengan
angka mortalitasnya >30 %. Nilai V02 max juga dapat diperiksa dengan menggunakan naik 2
anak tangga (20 langkah/menit) tanpa dyspnea kira-kira mempunyai kadar V02 max 16
miykg/mnt.
Test lain yang mudah dikerjakan adalah test berjalan 6 menit. Di mana pasien yang
mampu berjalan 180 kaki dalam 1 menit (2mph) mempunyai kemampuan jalan 6 menit
sepanjang 1080 kaki, dianggap mempunyai V02 max sekitar 12 ml/kg/mnt. Jarak kurang dari
2000 kaki untuk test jalan 6 menit menunjukkan V02 max kurang dari 15 mL/kg/mnt.1
Tabel 5
Faktor yang Mempengaruhi Evaluasi Paru Preoperatif Olehtisi (1979)
Obesitas
Tes faal paru digunakan untuk mengetahui kemungkinan kegagalan paru post
operasi. Disini disampaikan salah satu pedoman pemeriksaan paru preoperatif oleh Tisi
(1979) (tabel5)
38 11 Anestesiologi
Tabel 6
Guideline Tes Faal Paru Preoperatif (American College of Physicians)
Pada perkembangannya, data menurut Tisi ini masih dianggap terlalu luas, maka
American College of Chest Physician membuat guidelines baru (Tabel 6). Tujuannya adalah
mengurangi tes spirometri yang tidak perlu dan menghabiskan biaya.
B. Indikasi Tes Faal Paru pada Pasien Reseksi Paru
Tujuan utama dari penilaian adalah menentukan apakah penghilangan paru dapat
ditoleransi tanpa adanya insufisiensi dari paru. Kemampuan jangka panjang untuk hidup
pada reseksi paru berhubungan dengan banyaknya jaringan dan fungsi paru yang direseksi
dan fungsi paru yang tersisa.
Di bawah ini adalah syarat tes faal paru pada pasien yang akan dilakukan reseksi paru
menurut Miller (2005):
1. FEVi lebih besar dari 2 L dan perbandingan FEVi/FVC minimal 50%.
2. MW lebih besar dari 50% perkiraan.
3. Perbandingan RV/TLC <50%.
Jika ada salah satu kriteria yang tidak terpenuhi, tes faal paru dilanjutkan dengan tes
pada tiap paru untuk memperkirakan fungsi tiap paru. Jika fungsi paru yang diangkat lebih
rendah dari fungsi ventilasi, hasil spirometri yang rendah bisa diabaikan. Tes faal paru yang
digunakan adalah radiospirometri xenon untuk mengetahui ventilasi dan iodium atau
technetium untuk menilai perfusi. Prediksi FEVi postoperasi adalah sekitar 800 mL Jika
terdapat hipertensi pulmonal (>35 mmhlg) dan hipoksemia arterial (Pa02 < 45 mmhlg) tidak
terjadi, dapat diperkirakan sisa paru dapat mengakomodasi seluruh cardiac output. Pasien
seperti ini dapat dibedah walaupun terdapat kelainan1
C. Usaha Peningkatan Fungsi Paru
Tujuan utama untuk evaluasi paru preanestesi adalah untuk mengurangi
kemungkinan komplikasi paru. Di mana pasien dengan fungsi abnormal dapat diperbaiki
dengan terapi untuk meningkatkan fungsi paru, sehingga terjadi penurunan komplikasi post
40 11 Anestesiologi
KESIMPULAN
Tes faal paru mempunyai peranan penting dalam persiapan pre anestesi. Tetapi
karena keterbatasan pengetahuan tentang fisiologi dari para dokter, maka pelaksanaannya
justru dianggap memberatkan pasien dan menambah biaya
Tes faal paru sebagai pemeriksaan pre anestesi ditujukan untuk mengetahui fungsi
paru seseorang apakah terdapat kelainan paru dan tingkat keparahannya. Tujuannya untuk
mengurangi resiko terjadinya kegagalan fungsi paru, komplikasi paru post anestesi lain dan
mengetahui kemajuan perbaikan paru setelah pemberian obat-obatan.
Dengan berbagai macam tes faal paru yang ada, tes dengan spirometer adalah tes
yang paling sering digunakan. Spirometer digunakan secara luas karena dapat mengetahui
fungsi paru secara umum, mudah dan tidak memberatkan pasien secara biaya. Walaupun
begitu, para anestesiologis tidak boleh melupakan anamnesa dan pemeriksaan fisik dalam
pemeriksaan fungsi paru.
Indikasi tes faal paru terus berubah sampai sekarang, karena pertimbangan-
pertimbangan tertentu. Guideline terbaru adalah dari American College of Physician (1995)
di mana tes faal paru perlu diperiksa pada reseksi paru, riwayat merokok, dyspnea, bedah
jantung, pembedahan di daerah abdominal atas dan bawah dan pada kelainan paru
dengan gejala tidak spesifik.[]
1. Gal TJ: Pulmonary Function Testing. In: Miller, RD (ed.): Miller's Anesthesia, 6th Ed.
Philadelphia, Churchill Livingstone, 2005:999-1016.
2. Milledge JS: Preoperative Assessment in Patients with Pre-Existing Disease of The
Respiratory System. In: Gray TC (ed.): General Anesthesia, 5th Ed. Essex,
Butterworth & Co, 1989:360-364.
3. Wighman JA: A Prospective Survey of Incidence of Postoperative Pulmonary
Complication. Br J Surg, 1968; 55:85-91.
4. Kroenke et. al.: Postoperative Complications After Thoracic and Major Abdominal
Surgery in Patients with and Without Obstructive Lung Disease. Chest. 1993; 104 (5):
1445-1551.
5. Badget RG et. al.: Can Moderate Chronic Obstructive Pulmonary Disease be
Diagnosed by Historical and Physical Findings Alone? Am J Med. 1993; 94 (2): 188-
196.
6. Wa Ish G L et. a I. : Resection of Lung Cancer is Justified in High Risk Patients Selected
by Exercise Oxygen Consumption. Ann Thorax Surg. 1994; 58 (3): 704-710.
7. Bolliger CT et. al.: Lung Scanning and Exercise Testing for the Prediction of
Postoperative Performance in Lung Resection Candidates at Increased Risk For
Complications. Chest. 1995; 108 (2): 341-348.
8. Nomori Hepatitis et. al.: Preoperative Respiratory Muscle Training: Assessment in
Thoracic Surgery Patients with Special Reference to Postoperative Pulmonary
Complications. Chest. 1994:105(6): 1782-1788.
9. Passannante AN, Rock P: When Should Pulmonary Function be Performed
Preoperatively In: Fleisher LA (ed.): Evidence-Based Practice of Anesthesiology.
Philadelphia, Saunders, 2003:31-33.
10. Collins VJ: Physiologic and Pharmacologic Bases of Anesthesia. Pennsylvania,
Williams & Wilkin, 1996:38-43.
11. Trauber KB: Preoperative Evaluation. In: Longnecker DE, Murphy FL (ed.):
Introduction to Anesthesia. Philadelphia, W.B. Saunders, 1997:11-19
12. Rushton ARA, Langton JA: Clinical measurement. In: Aitkenhead AR, Rowbotham DJ,
Smith G (ed.): Textbook of Anesthesia. 4th Ed. London, Elsevier Science Limited,
2002:363-366.
13. Braun MD, Cheney FW, Loehnen CP: Introduction to Respiratory Physiology. 2nd Ed.
Boston, Little Brown & Company, 1980:27-37.
14. Atkinson RS, Rushnan GB, Lee JA: A Synopsis of Anesthesia. Bristol, John Wright &
Sons, 1977:71-77.
42 j I Anestesiologi
BAB IV
PENDAHULUAN
44 11 Anestesiologi
PERUBAHAN DARI A-B-C KE C-A-B
Pedoman AHA 2010 untuk resusitasi paru jantung (CPR) dan ECC dianjurkan
mangalami perubahan dalam Basic Life Support (BLS) dari A-B-C [Airway, Breathing, Chest
compressions) untuk dewasa, anak-anak, dan infant (kecuali bayi baru lahir) menjadi CAB.
Perubahan fundamental CPR tersebut akan memerlukan pembelajaran kembali pada setiap
orang yang telah belajar resusitasi.
Perubahan perlu dilakukan mengingat bahwa sebagian besar penderita henti jantung
terjadi pada orang dewasa, dan survival rate tertinggi terjadi sewaktu kejadian diketahui dan
dimulai dengan irama fibrilasi ventrikel atau hilangnya nadi pada penderita ventrikel
takhikardi. Pada saat kejadian tersebut elemen kritis BLS adalah kompresi jantung dan
defibrilasi dini. Pada langkah A-B-C kompresi jantung sering terlambat sedangkan penolong
sibuk membuka jalan nafas untuk melakukan nafas bantu dari mulut ke mulut atau
memberikan nafas bantu dengan peralatan lain. Dengan mengubah langkah ke C-A-B,
kompresi dada dapat dimulai lebih dini dan keterlambatan ventilasi dapat diminimalkan
(yaitu hanya waktu melakukan kompresi dada 30X, atau sekitar 18 detik; dan bila penolong
dua orang pada waktu melakukan resusitasi pada infant atau anak keterlambatan bisa lebih
pendek). Sebagian besar penderita henti jantung terjadi di luar rumah sakit dan tidak
ditolong oleh tenaga yang tahu CPR. Salah satu hambatan dalam melakukan langkah A-B-C
adalah langkah membuka jalan nafas dan memulai memberi nafas. Pada skema CAB
kompresi dada langsung dimulai dimana hal ini dapat mendorong penolong memulai CPR.
Pada penolong yang bekerja dalam team, misalnya satu penolong melakukan
kompresi jantung, sedangkan penolong lain mempersiapkan automated
externaldefibrillator (AED) dan meminta pertolongan, dan penolong ketiga membuka jalan
nafas dan memberi ventilasi.
KOMPRESI DADA
Perubahan tahun 2010: bila penolong tidak terlatih dalam CPR, sebaiknya
menggunakan "kompresi dada saja" pada penderita yang tiba-tiba roboh dihadapan
penolong dengan penekanan pada "push hard and fast" pada tengah dada, segera setelah
aktifkan sistem EMS (emergency medical Services).Penolong meneruskan kompresi dada
saja sampai AED tiba sehingga segera bisa dipakai atau menggunakan EMS atau penolong
lain mengambil alih pertolongan. Semua penolong terlatih minimal memberikan kompresi
dada pada penderita henti jantung. Sebagai tambahan bila penolong mampu memberi
nafas bantu, "lakukan kompresi dada dan nafas bantu dengan perbandingan 30:2."
Kompresi dada saja" lebih mudah dilakukan pada penolong tidak terlatih dan dapat dipandu
lewat telepon.
Kompresi dada memungkinkan jantung dan otak mendapat aliran darah, dan pada
penelitian terkait henti jantung di luar rumah sakit menunjukkan bahwa survival rate lebih
KEDALAMAN KOMPRESI
Sternum dewasa dapat ditekan paling sedikit sedalam 2 inchi (5cm). Kompresi dada
menyebabkan aliran darah primer dengan meningkatkan tekanan intrathoraks dan
langsung menekan jantung. Kompresi menghasilkan aliran darah darurat dan oksigen dan
energi ke jantung danotak. Penolong sering tidak melakukan kompresi dada yang cukup
meskipun ada anjuran melakukan "push hard". Penelitian menunjukkan bahwa kedalaman
46 11 Anestesiologi
kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) lebih efektif bila dibandingkan dengan kedalaman 1,5
inchi. Dengan alasan itu pedoman AHA 2010 untuk CPR dan ECC menganjurkan kedalaman
minimum tunggal kompresi pada dewasa.
Kapan CPR dimulai?
CPR dimulai bila korban:
1. Tidak ada respon
2. Tidak bernapas
3. Napas tidak normal
Pada waktu memberikan bantuan nafas dengan cara mulut ke mulut dengan udara
kamar atau oksigen, penolong memberikan setiap kali pernafasan dalam satu detik dan
melihat apakah dada korban naik atau tidak.
Perlu ditekankan dalam melakukan CPR:
1. Pemijatan (kompresi) jantung luar harus keras dan kecepatannya paling sedikit 100
X/menit, sesedikit mungkin melakukan sela waktu.
2. Penolong tunggal pada korban infant (kecuali newborn), sampai anak, atau dewasa
gunakan rasio kompresi dan ventilasi 30:2, tujuannya untuk menyederhanakan
pembelajaran, memungkinkan ketrampilan tidak cepat hilang. Menaikkan jumlah
kompresi yang diberikan dapat mengurangi waktu sela selama kompresi. Resusitasi
paru jantung dengan dua penolong pada infant atau anak, penolong menggunakan
rasio kompresi: ventilasi sebanyakl5:2.
3. Selama CPR korban dengan advanced airway terpasang(misalnya pipa endotrakhea,
combitube, laryngeal maskairway [LMA],ventilasi dengan kecepatan 8 - 10 X /menit
pada infant (kecuali newborn),anak dan dewasa, tanpa istirahat selama kompresi
dada.
Sewaktu melakukan resusitasi dan penolong membuka air way dengan
menggunakan cara head tilt-chin lift. Penolong menggunakan jari untuk membersihkan
mulut penderita tidak sadar dengan dugaan obstruksi jalan
Upstroke
Downstr
Ri
48 11 Anestesioiogi
Keadaan khusus Cidera tulang belakang
Gambar 1,2,3
Cara Melakukan Kompresi Dada Dari Luar
50 11 Anestesiologi
Cricoid Pressure
Secara rutin sudah tidak dianjurkan lagi. Cricoid pressure dapat menghambat
pemasangan jalan nafas, selain itu masih memungkinkan terjadi aspirasi.
Perkembangan terpenting dalam advanced life support (ALS) sejak review ILCOR
terakhir tahun 2000 meliputi:
Medical emergency teams perlu ada di dalam rumah sakit
Perlu tambahan data-data klinik dalam penggunaan vasopressin pada
henti jantung
Beberapa alat baru untuk membantu sirkulasi selama CPR Penggunaan terapi
hipotermi untuk memperbaiki outcome neurology sesudah henti jantung akibat
fibrilasi ventrikel (VF)
Kontrol glukose sesudah henti jantung.
Obat dan Cairan untuk Henti Jantung
Obat-obat dan cairan yang didiskusikan pada consensus conference2005
dikategorikan sebagai berikut:
1. Vasopresor
2. Obat lain dan cairan
3. Anti aritmi dan
4. Alternative routes of delivery
1. Vasopresor.
Adrenalin merupakan standar vasopresor pada henti jantung. Masih kurang bukti
bukti untuk memakai atau menolak penggunaan vasopressin sebagai alternatif atau
kombinasi dengan adrenalin pada henti jantung. Dosis adrenalin 1 mg, diberikan secara
intravena, dan boleh diulang tiap 3-5 menit.
Untuk refractory VF/VT perlu dipertimbangkan penggunaan amiodaron. Pemberian
amiodaron bolus 300 mg intravena. Bila VFA/T masih tetap ada sesudah 3 x syok
(pemakaian 3x defibrilator),maka perlu penambahan 150mg intravena dan dilanjutkan
dengan infus 900 mg selama 24 jam. Kadang- kadang amiodaron belum tersedia, sebagai
penggantinya penderita dapat diberi lidokain dengan dosis 1 mg/kg berat badan.
Pemberian lidokain total jangan melebihi 3mg/kg. Lidokain jangan diberikan bila
sebelumnya sudah mendapat amiodaron.
52 11 Anestesiologi
>94% agar terhindar dari keracunan oksigen. Hiperventilasi atau overbagging pada
pasien dihindari karena berpotensi memperburuk hemodinamik. Hiperventilasi
meningkatkan tekanan intrathorak dan secara tidak langsung menurunkan cardiac
output. penurunan PaC02 karena hiperventilasi juga berpotensi menurunkan aliran
darah otak. Ventilasi diberikan 10-12 kali per menit dan dititrasi sampai PETCCG
mencapai 35-40 mmHg atau PaC0240-45 mmHg.
Tenaga medis harus mengawasi tanda vital untuk melihat ada tidaknya aritmia
jantung yang muncul kembali. Monitor elektro kardiografi kontinyu setelah ROSC,
selama transportasi pasien, dan selama dirawat di ICU sampai stabil harus terpasang.
Akses intravena harus terpasang termasuk untuk menggantikan akses emergensi
intraosseus. Jika pasien mengalami hipotensi (tekanan darah sistolik <90mmHg),
pertimbangkan untuk memberikan bolus cairan. Cairan dingin dapat berguna jika
terapi hipotermi dipilih. Infus obat vasoaktif seperti dopamin, norepinefrin, atau
epinefrin dapat mulai diberikan jika memang dibutuhkan dengan pemberian titrasi
sampai target tekanan darah sistolik >90mmHg atau tekanan arteri rerata >65mmHg.
Cedera otak dan ketidakstabilan kardiovaskuler adalah faktor survival penentu
setelah kejadian henti jantung. Karena terapi hipotermi merupakan satu-satunya
intervensi medis yang menunjukkan perbaikan pemulihan fungsi neorologis, maka
hal ini juga dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien yang tidak dapat
mengikuti perintah verbal setelah ROSC. Secara keseluruhan, penyebab utama henti
jantung adalah iskhemia koroner dan penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu
dipasang EKG 12 lead untuk mendeteksi ST elevasi. Apabila ada kecurigaan tinggi
muncul infark miokard akut, prosedur pengelolaan diaktifkan.
e. Bantu pasien dengan pelayanan rehabilitasi jika diperlukan.
55 11 Anestesioiogi
AED Algorithm
58 11 Anestesiologi
BAB V
ALAT anestesi adalah alat yang digunakan untuk memberikan anestesi umum dengan
inhalasi, terdiri dari:
1. Breathing system.
2. Alat penghubung antara breathing system dengan pasien.
3. Mesin anestesi.
oo
Gambar 1
Gambaran Pasien dengan Mesin Anestesi
60 j I Anestesioiogi
Copyright ©2006 by The McGraw-Hill Companies, Inc.
Gambar 3.
Sungkup Muka dan Endhotracheal Tube
2. Mesin Anestesi
Mesin Anestesi terdiri dari:
a. Sumber Gas.
b. Vaporizer.
c. Flowmeter.
Breathin
g
system
Gambar 4
Mesin Anestesi
a. Sumber gas
Oksigen dan gas anestesi berupa cairan atau gas yang tersimpan dalam tabung
bertekanan tinggi. Tabung tersebut dilengkapi dengan regulator/ pengaturan tekanan.
Masing-masing tabung mempunyai warna yang sudah ditentukan oleh WHO.
Tabel 1
Tabel Warna Tabung Gas menurut WHO
Physical State in
Compressed Gases Color
Cylinder
62 j I Anestesiologi
b. Vaporizer
Vaporizer/alat penguap, suatu alat digunakan untuk menguapkan obat/ cairan
anestesi yang mudah menguap/volatile agent
Gambar 6
Vaporizer
c. Flow meter
Flowmeter merupakan alat berbentuk tabung kaca untuk mengetahui volume gas
yang berasal dari tabung gas. Di dalam flowmeter terdapat indikator berbentuk bola atau
rotameter. Apabila berbentuk bola, indikator laju aliran dibaca pada garis tengah bola, bila
berbentuk rotameter, indikator dibaca pada bagian atas rotameter.
Tidak ada satu alat pun yang lebih erat hubungannya dengan seorang ahli
anestesiologi selain mesin anestesi.1 Tugas utama seorang ahli anes- tesiologi adalah
memastikan bahwa peralatannya dapat memberikan suatu kadar oksigen yang adekuat
pada penderita.2
Mesin anestesi digunakan oleh ahli anestesi untuk mendukung pemberian anestesi.
Tipe mesin anestesi yang digunakan di negara maju adalah mesin anestesi jenis cotinuous-
flow, yang dirancang untuk memberikan secara akurat dan terus-menerus pasokan gas
(seperti oksigen dan nitrogen oksida), dicampur dengan uap agen anestesi (seperti
isoflurane) yang dihantarkan dengan aliran dan tekanan yang aman bagi pasien. Mesin
anestesi modern dilengkapi ventilator, sucktion unit, dan peralatan monitoring pasien.3
Kesalahan penggunaan peralatan penghantar gas tiga kali lebih sering menyebabkan
akibat samping dibandingkan dengan kegagalan fungsi mesin itu sendiri.1,4 Kurangnya
penguasaan alat dan kelalaian dalam pemeriksaan fungsi mesin merupakan penyebab
tersering. Kecelakaan ini mencatat angka 2% kasus pada American Society of Anesthesioiogy
(ASA) Ciose Claim Project Database. Sirkuit nafas merupakan sumber tersering terjadinya
kecelakaan (39%) dan menyebabkan 70% kematian atau kerusakan otak, hampir semua
insiden berhubungan dengan miskoneksi dan diskoneksi alat.1
Konsep asal mesin anestesi ini diciptakan oleh seorang ahli anestesi Inggris Hendry
Edmund Gaskin Boyle pada tahun 1917. Sebelum masa ini, seorang ahli anestesi selalu
membawa sendiri semua perlengkapannya, tetapi dengan berkembangnya alat-alat yang
lebih berat, tabung penyimpanan gas yang besar, dan kelengkapan alat-alat pengaman jalan
nafas, hal ini menjadi tidak praktis.3
Setiap kemajuan dari mesin anestesi ini dibuat dengan tujuan untuk memperbaiki
dan mengurangi efek samping yang terjadi akibat penghantaran gas oleh mesin anestesi
yang sangat penting bagi keamanan pasien.1
Istilah "mesin anestesi" adalah tradisional berlaku untuk suatu perlengkapan yang
mengirimkan oksigen dan agen bersifat gas dan/atau cairan yang mudah menguap.2
Yang dimaksud dengan peralatan anestesi adalah alat-alat anestesi dan
perlengkapannya yang digunakan untuk memberikan anestesi umum secara inhalasi.5
Mesin anestesi adalah peralatan yang digunakan untuk memberikan anestesi
inhalasi.6
Suatu cabang ilmu kedokteran yang sekarang dikenal dengan anestesi boleh
dikatakan dimulai sejak hari di mana Sir Humphry Davy, pencipta lampu tambang,
menemukan "gas gelak" atau Nitrogen-oksida. Davy menemukan bahwa senyawa Nitrogen
dan Oksigen (Nitrogen-oksida) dapat menimbulkan akibat yang tidak biasa. Pada mulanya,
64 11 Anestesioiogi
saat Davy menghirup gas ini, timbul euforia yang segera diikuti oleh ledakan tawa yang tidak
dapat dikendalikan hingga terjadi hilangnya kesadaran.7 Davy juga mendapati sakit giginya
hilang ketika secara tidak sengaja ia menghirup gas ini. Ini terjadi sekitar desember tahun
1799. Saat itu ia berfikir bahwa nitrogen-oksida dapat digunakan pada pembedahan, akan
tetapi tidak ada yang mencoba menggunakannya selama bertahun-tahun.8
Dalam buku yang ditulisnya sekitar Juli tahunl800 yang berjudul "Researches Chemical
and Philosophical; Chiefly Concerning Nitrous Oxide or Dephlogisticated Nitrous Air, and its
Aspiration", dalam salah satu kesimpulannya terkutip satu paragraf yang sekarang sering
disebut-sebut sebagai berikut:
"As nitrous oxide in its etensive operation appears capable of destroying physical pain,
it may probably be used with advantage during surgical operations in which no great
effusion of blood take place."9
Pemikiran Davy ini tampaknya menjadi benih yang tumbuh dengan digunakannya
nitrogen oksida sebagai anestesi untuk pertamakalinya.9 Pemakaian anestesi untuk
menghilangkan nyeri selama pembedahan diprakarsai oleh dokter gigi di Amerika Serikat.
Horace Wells (1815-1848) seorang dokter gigi di Connecticut merupakan orang pertama
yang berhasil menggunakan nitrogen-oksida (gas gelak) sebagai anestesi untuk percabutan
gigi. Dr. Horace Wells melakukan beberapa kali demonstasi didepan koleganya sehingga
dalam waktu singkat manfaat dari gas ini dapat diketahui orang.7 Pada 11 Desember 1844 ia
meminta seseorang untuk mencabut salah satu giginya sementara ia menghirup nitrogen-
oksida dan berhasil dengan baik sekali. Sayangnya ketika ia melakukannya di Rumah Sakit
Umum Massachusetts, Boston, percobaannya tidak berjalan mulus, para pelajar yang
melihatnya mengejek dan berteriak "penipu!". Akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri
dalam usia 33 tahun.8
Penghargaan bagi pengguna pertama anestesi untuk prosedur pembedahan adalah
milik Dr. Crawford Long (1815-1878), seorang praktisi pemerintah di Georgia yang memulai
penggunaan eter untuk kasus bedah minor pada 30 Maret 1842, Pasien pertamanya, James
Venable, menghirup handuk yang dibasahi eter dan kemudian menjadi tidak sadarkan diri.
Long kemudian dapat mengangkat kista dari lehernya, namun ia tidak mempublikasikan
teknik ini sampai tahun 1848.9
Gambar 8
A. Sir Humphrey Davy.10 B. Dr. Horace Wells.11 C. Dr. Crawford Long.12
Dr. William Morton, seorang dokter gigi di Boston yang merupakan rekan Dr. Horace
wells adalah merupakan salah satu orang yang pertama kali menggunakan eter sebagai
anestesia. Pada tahun 1846, hanya dua tahun setelah Horace Wells berhasil melakukan
anestesi dengan nitrogen-oksida, Dr. William Morton (1819-1868) membuat mesin anestesi
pertama. Alat sederhana yang dibuat Morton berupa sebuah gelas bulat yang dilengkapi
dengan busa yang dibasahi dengan larutan eter, dalam hal ini yang harus dilakukan pasien
adalah menghirup uap melalui salah satu dari dua lubang/ saluran keluar.7 Morton berfikir
untuk menggunakan gas nitrogen-oksida dalam praktiknya sebagaimana yang dilakukan
Wells. Kemudian ia meminta gas nitrogen-oksida kepada Charles Jackson, seorang ahli kimia
ternama di sekolah kedokteran Harvard. Namun Jackson justru menyarankan eter sebagai
pengganti gas nitrogen-oksida. Morton menemukan efek bius eter lebih kuat dibandingkan
gas nitrogen-oksida.13
Hasil ciptaan Morton ini diuji coba pada 16 oktober 1846 dikamar bedah Rumah sakit
umum Massacusetts Boston pada seorang laki-laki berusia dua puluh tahun yang berhasil
dianestesi sehingga tumor di daerah leher (sebagian menyebutkan tumor pada rahang)
dapat diangkat tanpa hambatan berarti. Tanggal 16 oktober 1846 tepatnya pada hari jum'at
ini kemudian ditetapkan sebagai "Hari Eter".9 Eter sendiri ditemukan pertama kali oleh
seorang ahli kimia berkebangsaan Spanyol, Raymundus Lullius pada tahun 1275 yang me-
66 11 Anestesioiogi
namainya "sweet vitriol" kemudian diubah namanya menjadi eter oleh W.G. Frobenius
pada tahun 1730.13
Gambar 9
A B
A. Dr. William Morton dengan Inhaler Eter Ciptaannya.14
B. Suasana Demonstrasi Anestesi Pertama Morton.10
Gambar 10
A. Dr. James Young Simpson11
B. Ilustrasi Simpson dengan Uji Kloroformnya15
68 11 Anestesiologi
Skinner merupakan seorang ahli kebidanan di Liverpool yang merancang masker
penutup berkerangka besi yang berbentuk kubah.13
Gambar 11
A. Inhaler Kloroform John Snow.14
B. Dr. John Snow (1813-1858).17
C.
Gambar 12
Inhaler Skinner, Masker Kawat Buatannya Banyak Ditiru Orang.18
Johann Friedrich August von Esmarch, seorang profesor bedah di Kiel pada tahun
1862 memodifikasi masker Skinner.19 Masker ditutupkan ke wajah, kemudian selembar kain
yang telah dibasahi agen anestesi inhalai diselubung- kan di atasnya. Pasien menghirup uap
gasnya melalui hidung dan mulut.6
Gambar 13
A. Masker Esmarch.
iq
B. Johann Friedrich August von Esmarch (1823-1908).
Gambar 4
A. Ferdinand Edelberg Junker Von Langegg (1828-1902) B. Inhaler Junker.19
70 j I Anestesioiogi
Inhaler Eter Clover (1877)
Setelah kematian John Snow, Joseph T Clover (1825-1822) menjadi pemimpin
peneliti anestesi ilmiah di Inggris. Pada tahun 1862 ia menciptakan suatu inhaler kloroform
yang memungkinkan pengukuran konsentrasi dan pemberian secara akurat campuran
kloroform dan udara. Alat ini berbentuk kantung besar yang disandang dipunggung ahli
anestesi dan mengandung 4- 5% uap kloroform dalam udara. Clover menyebutkan
beberapa keuntungan dari inhaler buatannya:
1. Tidak memiliki katup.
2. Nafas tenang dengan hantaran gas secara perlahan.
3. Penderita akan tertidur dalam 2 menit
4. Tidak diperlukan pengisian kembali eter intraoperatif.
5. Masa pemulihan lebih cepat.
6. Tidak memiliki busa/sponge dan tidak berasa.
7. Sisa eter cukup aman digunakan untuk pasien berikutnya.20
A B
Gambar 16
Masker/lnhaler Schimmeibusch dengan Cekungan untuk Mengumpul Kelebihan Agen
Anestesi22
72 11 Anestesiofogi
A
B
Gambarl7
A. Inhaler Hewitt34'20
B. Alat Inhalasi Ether Koleksi Prof. dr. Soenarjo, SpAn, KIC, KAKV
Gambar 19
Masker Yankauer22
Gambar 22
Perlengkapan Endotrakea Magill24
Gambar 23
Mesin Boyle (Model G)25
78 11 Anestesiologi
A B
Gambar 24
A. Mesin Marret. B. Mesin Gillis25
Gambar 25
Unit Vaporizer Draw-Over (EMO dengan IOB)25
Biease PulmoflatorSeri 5050 (1960)
Dibuat oleh Blease Anesthetic Equipment Ltd, Ryefield crescent, Middlesex. Mesin ini
benar-benar merupakan salah satu keajaiban yang dicapai dibidang anestesi. Ventilator
dirancang pada tahun 1960-70an untuk digunakan terutama jika memakai obat pelumpuh
Gambar 26
Blease Pulmoflator Seri 505024
80 || Anestesiologl
Gambar 27
Mesin Boyle (Model F)26
Gambar 28
North American Drager, dari kiri ke kanan: Narkomed 2 (1982), Narkomed AMIN (1977),
Narkomed Standard (1972), Narkomed Compact (1977)14
Keterbatasan mesin anestesi konvensional
1. Mesin anestesi konvensional memiliki bayak hubungan/koneksi ekternal
Meskipun telah dilakukan standarisasi ukuran pipa/tabung, banyaknya koneksi
eksterna ini merupakan sumber terjadinya diskoneksi atau miskoneksi, kinking,
82 11 Anestesiologi
Flush oksigen aliran tinggi yang dapat memberikan oksigen sebanyak 30 -menit.
Pengukur dan pengatur tekanan untuk melindungi komponen mesin dan pasien dari
gas bertekanan tinggi.
Flow meter (rotameter) untuk oksigen, udara dan nitrogen oksida yang digunakan
oleh ahli anestesi untuk dapat memberikan gas-gas ini kepada pasien dalam
campuran yang akurat. Flow meter biasanya ber- bentuk pneumatik, akan tetapi
akhir-akhir ini banyak digunakan jenis digital elektromagnetik.
Satu atau lebih vaporizer untuk memberikan zat anestesi volatile secara akurat.
Ventilator.
Monitor fisiologi untuk memonitor laju jantung, EKG, tekanan darah, dan saturasi
oksigen (umumnya tersedia monitor tambahan untuk memantau suhu, tekanan
arteri rata-rata dan tekanan vena sentral dan sebagainya). Sirkuit nafas, sebagian
besar dengan sistem lingkar.
Alat penukar panas dan uap.
Sistem pembuangan.
Perlengkapan sucktion.
Biasanya terdapat tatakan/laci meja kecil tempat meletakkan perlengkapan
pengelolaan jalan nafas sehingga mudah diraih oleh ahli anestesi.3
Gambar 29
Mesin Anestesi Modern3
84 11 Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
86 11 Anestesiologi
BAB VI
PERSIAPAN PREANESTESI
Johan Arifin, M. Sofyan Harahap, Himawan Sasongko
PENDAHULUAN
SEMUA pasien yang dijadwalkan akan menjalani tindakan pembedahan harus dilakukan
persiapan dan pengelolaan perioperasi dengan optimal. Kunjungan praanestesi pada tindakan
bedah efektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya dan pada bedah darurat dilakukan dalam waktu
yang sesingkat mungkin. Kunjungan ini bertujuan untuk mempersiapkan mental dan fisik
pasien secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat-obatan anestesi yang
sesuai untuk digunakan serta menentukan klasifikasi yang sesuai menurut ASA. Kesalahan yang
terjadi akibat tindakan ini tidak dilakukan akan meningkatkan resiko pasien terhadap
morbiditas dan mortalitas perioperasi.
Tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukannya pengelolaan preoperasi termasuk di
dalamnya adalah sebagai berikut:
Mengkonfirmasikan bahwa tindakan bedah yang akan dilakukan terhadap penderita
akan memberikan hasil yang optimal dengan segala resikonya.
Dapat mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin terjadi dan memastikan bahwa
fasilitas dan tenaga yang ada cukup terlatih untuk melakukan perawatan perioperasi
yang memuaskan.
Memastikan bahwa penderita dipersiapkan dengan tepat untuk pembedahan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor penyulit yang mungkin ada yang dapat meningkatkan
resiko buruk dari hasil tindakan. Mendapatkan informasi yang tepat tentang keadaan
pasien dan dapat merencanakan teknik anestesi yang tepat.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Tinggi dan berat badan: untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan
serta jumlah urin selama dan pasca bedah.
2. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, suhu.
3. Jalan nafas. Daerah kepala dan leher diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi trakea, massa dan bruit.
4. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung. EKG bila perlu.
5. Paru-paru untuk melihat adanya dispneu, ronkhi dan mengi. Bila perlu lakukan foto
toraks.
6. Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia dan tanda regurgitasi.
7. Ekstremitas, terutama untuk melihat perfusi distal, adanya jari tabuh, sianosis dan infeksi
kulit (blok/regional anestesi).
8. Punggung bila ditemukan adanya memar, deformitas atau infeksi.
9. Neurologis, misalnya status mental, fungsi saraf kranial, kesadaran dan fungsi
sensorimotorik.
88 11 Anestesiologi
C. Pemeriksaan Laboratorium
1. Rutin:
Darah: Hb, lekosit, hitung jenis lekosit, golongan darah, PTT, PTTK.
Urin: Protein, reduksi dan sedimen.
Foto X-ray, terutama untuk bedah mayor.
EKG, terutama untuk pasien usia 40 tahun ke atas.
2. Khusus, dilakukan bila ada riwayat atau indikasi:
EKG pada anak.
Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru.
Fungsi hati pada pasien ikterus.
Fungsi ginjal pada pasien hipertensi.
Tabel 1
Pemeriksaan Klinis yang Penting Dilakukan Berhubungan
dengan Ahli Anestesi
Kardiovaskuler
Pulsasi perifer (laju jantung, ritme, isi). Pulsasi dan tekanan
vena jugularis. Tekanan arteri.
Suara jantung.
Carotid bruits.
Edema dependen.
Respirasi
Sianosis sentral atau perifer. Observasi dispneu.
Auskultasi pada lapangan paru.
Jalan nafas
Sistem saraf
Disfungsi dari sistem sarat pusat, saraf perifer atau
kelainan motorik perifer.
90 11 Anestesiologi
Bagaimanapun, menjadi sesuatu yang sulit untuk memprediksi hal-hal yang
berpengaruh untuk terjadinya hasil yang tidak baik, apakah itu karena karakteristik pasien,
jenis tindakan pembedahan atau teknik anestesi yang digunakan. Yang jelas, tidak hanya
satu faktor yang berpengaruh.
Klasifikasi ASA
Klasifikasi ASA mulai diperkenalkan pada tahun 1960-an oleh American Society
ofAnesthesiologist sebagai deskripsi yang mudah yang menunjukkan status fisik pasien
yang berhubungan dengan indikasi apakah tindakan bedah harus dilakukan segera/cito
atau elektif. Klasifikasi ini sangat berguna dan harus diaplikasikan pada pasien yang akan
dilakukan tindakan pembedahan, meskipun banyak faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap hasil keluaran setelah tindakan pembedahan.
Tabel 2
Klasifikasi ASA dan Hubungannya dengan Tingkat Mortalitas
Klasifikasi Deskripsi pasien Angka
ASA kematian {%)
Hard palate
92 ¡I Anestesiologi
Kondisi jantung yang tidak baik
Lebih dari 20 tahun yang lalu, Goldman dkk. mempublikasikan analisa retrospektif
dari faktor-faktor resiko preoperasi yang berhubungan dengan kondisi jantung yang tidak baik
pada operasi non-bedah jantung. Topik ini masih terus berkembang sampai saat ini, dengan
kebanyakan hasil setuju dengan kesimpulan yang diajukan oleh Goldman dkk.
Komplikasi respirasi
Pada pasien dengan kebiasaan merokok, penyakit paru sebelumnya, obesitas dan
pasien yang menjalani operasi daerah toraks atau abdomen mempunyai kemungkinan untuk
timbulnya komplikasi masalah respirasi pasca operasi. Tetapi untuk memprediksikan hal ini
adalah sesuatu yang sulit. Tidak hanya cukup tes faal paru yang dilakukan, tetapi diperlukan
pemeriksaan lain seperti analisa gas darah preoperasi. Bila nilai Pa02 preoperasi kurang dari 9
kPa, ditambah dengan dispneu saat istirahat, hampir dapat dipastikan diperlukan bantuan
ventilasi mekanik pasca bedah.
Tabel 3
Indeks Goldman dari Resiko Kardiak pada Prosedur Non-Kardiak
Total nilai 53
PREANESTESI
Persiapan
Keadaan fisik pasien telah dinilai sebelumnya pada kunjungan pra- anestesi meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan lain-lain. Saat masuk ruang
operasi pasien dalam keadaan puasa. Identitas pasien harus sudah ditandatangani sesuai
rencana operasi dan informed consent.
Dilakukan penilaian preoperasi. Keadaan hidrasi pasien dinilai, apakah terdapat keadaan
hipovolemia, perdarahan, diare, muntah atau demam. Akses intravena dipasang untuk
pemberian cairan infus, transfusi dan obat- obatan. Pasang kateter intra vena sebesar mungkin
yang dapat masuk ke pembuluh darah. Dilakukan pemantauan EKG, tekanan darah, saturasi 02,
kadar C02 dalam darah (kapnografi) dan jika diperlukan tekanan vena sentral (CVP).
Premedikasi dapat diberikan oral, rektal, IM atau IV.
Kelengkapan dan fungsi mesin anestesi serta peralatan diperiksa. Pipa ET dipilih sesuai
dengan pasien, dengan cadangan satu nomor di atas dan satu nomor di bawahnya. Selain itu
juga disiapkan laringoskop yang sesuai. Lampu diperiksa fungsinya, pipa ET diberi pelicin
analgetik dan balon pipa ET (cuff) diperiksa. Selain itu semua, obat-obatan anestesi yang akan
digunakan harus dipersiapkan dengan baik. Obat-obatan emergensi harus selalu tersedia untuk
mengatasi keadaan darurat yang mungkin terjadi.
Penundaan Operasi karena Alasan Klinis
Ada beberapa alasan untuk ditundanya pembedahan atau operasi karena alasan klinis
dari pihak ahli anestesi. Alasan ini harus dijelaskan baik kepada dokter bedah, kepada pasien itu
sendiri dan kepada semua anggota tim yang mungkin terlibat dalam tindakan pembedahan
tersebut dengan sejelas-jelasnya. Beberapa hal tersebut di antaranya adalah:
Infeksi saluran pernafasan akut bagian atas.
Adanya sekret di hidung, suhu tinggi (demam) dan pemeriksaan fisik
toraks yang menunjukkan adanya kelainan akibat ISPA, maka tindakan
94 || Anestesiologi
pembedahan elektif harus ditunda sampai kondisi pasien benar-benar sehat.
Penyakit tidak terkontrol yang ada sebelumnya dan terapi obat-obatan.
Pada pasien yang menderita penyakit lain yang tidak terkontrol dengan baik yang
mungkin dapat memberikan hasil yang buruk setelah tindakan anestesi, untuk
pembedahan yang sifatnya elektif harus ditunda sampai mendapatkan jawaban/saran
dari dokter ahli lainnya sesuai dengan bidangnya. Demikian juga pasien yang sedang
menjalani terapi.
Resusitasi yang tidak adekuat pada pembedahan gawat darurat.
Penundaan yang dilakukan hanya untuk waktu 1-2 jam untuk menghasilkan
keadaan sirkulasi yang lebih baik. Hal ini perlu diperhatikan, apalagi jika perdarahan
sangat ekstensif dan berlangsung terus menerus.
Pasien makan/minum beberapa saat sebelum tindakan bedah.
Pada umumnya, sebelum dilakukan tindakan pembedahan elektif penderita harus
dipuasakan selama 6 jam untuk makanan padat. Sedangkan untuk dear fluids dapat
dalam waktu minimal 2 jam sebelum pembedaan dengan jumlah yang tidak banyak.
Pasien belum memberikan informed consent.
Semua pasien yang telah dewasa yang dianggap mampu/kapabel wajib
memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan anestesi atau pembedahan. Apabila
ada keraguan atau pasien belum memberikan persetujuannya, maka operasi elektif
dapat ditunda untuk sementara waktu sampai mendapatkan ijin dari yang bersangkutan
atau keluarganya.
96 || Anestesiologi
Premedikasi dengan menggunakan antikolinergik dapat dipertimbangkan pada
situasi khusus yang dapat menyebabkan terjadinya vagal bradikardi seperti:
Penarikan dari otot bola mata (okulokardiak refleks).
Pemberian ulang suksinilkolin yang biasanya dapat menyebabkan
terjadinya bradikardi hingga dapat terjadi asistol. Pemberian atropin
dilakukan sebelum pemberian kedua suksinilkolin.
Induksi anestesi dengan halotan, utamanya pada anak-anak.
Stimulasi bedah selama teknik balans anestesia, dapat terjadi bradikardi.
Pemberian propofol pada pasien dengan slow heart rate dapat
menyebabkan bradikardi yang berbahaya.
8. Membatasi respons simpatoadrenal
Induksi anestesi dan tindakan laringoskopi intubasi dapat mengakibatkan
rangsangan aktivitas simpatoadrenal, yang ditandai dengan takikardi, hipertensi dan
peningkatan konsentrasi katekolamin plasma. Keadaan ini berbahaya pada pasien sehat
dan dapat berakibat fatal bagi penderita dengan hipertensi atau penyakit jantung
iskemik. Untuk mencegahnya dapat diberikan premedikasi dengan P-bloker atau
klonidin.
Tujuan yang hendak dicapai dari premedikasi yang telah diuraikan di atas dapat
dicapai dengan pemberian obat-obatan pada saat induksi atau selama tindakan
pemeliharaan anestesi. Pemberian obat-obatan sangat tergantung dari kebiasaan ahli
anestesi.
Tabel 4
Obat-obatan yang Sering Digunakan untuk Premedikasi
Benzodiazepin
Golongan obat ini mempunyai berbagai manfaat dan sangat berguna untuk
premedikasi. Efek yang dapat dihasilkan antara lain ansiolisis, sedasi dan amnesia. Efeknya dari
obat ini sangat tergantung dari respon individual masing-masing pasien.
Diazepam adalah obat golongan ini yang pertama dan cukup sering digunakan,
meskipun sekarang lebih memilih temazepam (10-30 mg) karena durasi aksinya lebih pendek.
98 || Anestesiologi
Lorazepam (1-5 mg) menghasilkan efek amnesia lebih besar dibandingkan obat lainnya.
Benzodiazepin menghasilkan efek ansiolisis pada dosis yang tidak menyebabkan sedasi
yang eksesif dan ini bermanfaat pada pasien dengan fungsi respirasi yang terganggu, meskipun
tetap harus diberikan perhatian penggunaannya. Obat golongan ini dapat diberikan secara
intramuskuler, tetapi hasil penelitian menyebutkan bahwa pemberian secara oral memberi
hasil yang lebih baik. Untuk menghilangkan efek sedasi yang berat dari benzodiazepin dapat
digunakan phisostigmin atau spesifik antagonis golongan ini yaitu flumazenil.
Analgesik Opioid
Perlu diberikan apabila pasien mengalami nyeri preoperasi. Golongan opioid
menyebabkan sedasi, tapi tidak sebagai ansiolitik yang baik. Opioid dapat menyebabkan
euforia, dan penggunaan opioid dengan waktu paruh yang panjang dapat sebagai analgetik
pasca operasi. Obat opioid ini lebih baik diberikan secara intravena saat induksi dilakukan
daripada intramuskuler untuk premedikasi.
Efek samping dari opioid yang penting adalah:
Depresi ventilasi dan delayed resumption dari spontan ventilasi pada akhir anestesi di
mana digunakan pelumpuh otot.
Mual dan muntah, karena stimulasi pada chemoreceptor trigger zone pada medula,
sering terjadi. Penggunaannya harus dikombinasikan dengan obat anti emetik.
Morfin dapat menyebabkan spasme sfingter Oddi dan hal ini dapat menyebabkan rasa
nyeri pada daerah kuadran atas kanan pada pasien yang dilakukan pembedahan traktus
biliaris.
Butirofenon
Dari dua macam obat golongan ini yaitu haloperidol dan droperidol, hanya droperidol
yang populer pada praktek anestesi. Obat ini mempunyai efek neuroleptik (yang
bermanifestasi sebagai withdrawl dan seklusi), aksi a- blocking dan efek antiemetik. Tetapi
droperidol dapat meyebabkan reaksi dose-dependent disphoric dan efek ekstra piramidal.
Butirofenon mempunyai masa kerja yang panjang dan dapat menyebabkan terlambat
bangun setelah anestesi utamanya pada pasien tua. Efek yang paling sering diambil dari
droperidol adalah antiemetik dengan dosis 2,5 mg intravena sebagai premedikasi dan 1,25 mg
atau kurang secara intravena selama anestesi.
Phenothiazines
Obat ini sangat bermanfaat sebagai obat premedikasi oleh karena mempunyai efek
sebagai berikut:
Aksi entiemetik sentral.
Sedasi.
Ansiolisis.
Antagonis H2-reseptor.
100 || Anestesiologi
Excessive drying. Meskipun antikolinergik digunakan untuk anti sialogogue, tetapi hal ini
kadang tidak nyaman bagi pasien.
Meningkatkan dead-space fisiologis. Atropin dan hyosin akan meningkatkan dead-space
fisiologis antara 20-25 %, tetapi hal ini akan dikompensasi dengan peningkatan ventilasi.
6-blockers
Penggunaan obat 6-blocker (misalnya atenolol) selama periode perioperatif akan
membatasi respon hemodinamik pada stimulasi nociceptive seperti intubasi endotrakea dan
pembedahan serta menghambat respon stress neuroendokrin. Penggunaan obat golongan ini
pada penderita dengan resiko penyakit arteri koroner dapat berhubungan dengan outcome
yang lebih baik. Penggunaan pada pasien dengan keterbatasan fungsi ventrikel kiri hendaknya
dipertimbangkan secara matang dan hati-hati.
Klonidin dan Deksmedetomidin
Obat ini adalah golongan a2-agonis yang potensi sebagai obat anestesi adalah dengan
menurunkan aktivitas notadrenergik sentral. Deksmedetomidin lebih spesifik untuk a2 reseptor
dan mempunyai efek yang lebih besar sebagai obat premedikasi. Pemberiannya
mengakibatkan kebutuhan akan agen anestesi inhalasi atau propofol menjadi lebih kecil,
meskipun dapat terjadi terlambat bangun. Obat ini diduga juga mempunyai peranan dalam
melemahkan respon simpatoadrenal pada saat induksi anestesi.[j
1. Fleisher RA. Risk of anesthesia. In: Miller RD (ed.). Anesthesia. 6th ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone, 2005:893-927.
2. Roizen MF. Preoperative evaluation. In: Miller RD (ed.). Anesthesia. 6th ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone, 2005:927-999.
3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. The Practice of Anesthesiology. In:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anesthesiology 3rd ed. New York:
Lange Medical Books/McGraw-Flill Medical Publishing Edition, 2002:5-14.
4. Traber KB. Preoperative Evaluation. In: Longnecker DE., Murphy FL (eds). Introduction to
anesthesia. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1997: 11-19.
5. Baxendale B, Smith G. Preoperative Assesment and Premedication. In: Altkenhead AR,
Rowbotham DJ, Smith G. Textbook of Anaesthesia. London: Churchill Livingstone,
2002:417-28.
102 || Anestesiologi
BAB VII
ANESTESI UMUM
Uripno Budiono
DALAM bidang kedokteran, selain dipakai untuk tindakan operatif, anestesi umum
juga dipakai untuk mempermudah tindakan diagnostik maupun terapeutik khususnya yang
menimbulkan rasa nyeri. Dalam tindakan diagnostik Rontgen misalnya, anestesi umum
mempermudah pembuatan foto CT scan otak, arteriografi, atau MRI pada penderita yang
gelisah, bayi atau anak. Anestesi umum juga dipakai untuk detoksifikasi cepat penderita
kecanduan narkotik. Di rumah sakit dr. Kariadi anestesi umum biasa dipakai pada tindakan
pemasangan radium untuk terapi carsinoma cervix uteri.
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan dengan anestesi lokal antara lain,
pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat sedang pada anestesi umum seluruh
tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh syaraf perifer, sedang pada anestesi umum
yang terpengaruh syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran.
Di dalam praktek obat-obat anestesi dimasukkan ke dalam tubuh melalui inhalasi,
atau parental, ada pula yang dimasukkan melalui rektal tetapi jarang dilakukan. Yang
melalui inhalasi antara lain: N20, halothan, enflurane, ether, isoflurane, sevoflurane,
metoxiflurane, trilene.
Yang melalui parental:
Intravena antara lain penthotal, ketamin, propofol, etomidat dan golongan
benzodiazepine.
Intramuskuler antara lain ketamin.
Yang melalui rektal:
Etomidat (dilakukan untuk induksi anak).
Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk ke dalam
104 || Anestesiologi
Faktor Jaringan
Yang menentukan antara lain:
Perbedaan tekanan parsial obat anestesi di dalam sirkulasi darah dan di dalam
jaringan.
Kecepatan metabolisme obat.
Aliran darah dalam jaringan.
Tissue/blood partition coefisien.
Faktor Zat Anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur potensi
obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration). Menurut
Merkel dan Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada
tekanan udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang
sakit supra maksimal pada 50% pasien atau dapat diartikan sebagai konsentrasi obat
inhalasi dalam alveoli yang dapat mencegah respon terhadap incisi pembedahan pada 50 %
individu. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut.
Teori Terjadinya Anestesi Umum
1. Lipid solubility theory (Meyer 1899, Overton 1901)
Obat anestesi adalah lipid solubel sehingga efeknya berhubungan dengan daya
larutnya di dalam lemak. Makin besar daya larutnya, makin besar efek anestesinya.
2. Teori colloid
Efek anestesi disebabkan karena terjadinya agregasi colloid dalam sel yang
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi pada sel.
3. Teori adsorbsi/tegangan permukaan
Menghubungkan efek anestesi dengan daya adsorbsi atau menurunnya tegangan
permukaan membran sel. Dengan mengumpulnya obat anestesi pada membran sel
berakibat perubahan permeabilitas membran/daya adsorbsi dan menyebabkan
terjadinya hambatan fungsi neuron.
4. Teori biokimiawi (Quastel 1952)
Menerangkan efek obat anestesi dengan peningkatan reaksi enzimatik atau dalam
sel. Antara lain beberapa obat anestesi menyebabkan uncoupling dan oxsidative
phosphorilation dan menghambat konsumsi oksigen.
5. Teori fisik
Menghubungkan daya anestesi dengan aktifitas thermodinamik atau bentuk dasar
molekul. Menurut Mullins 1954 bekerjanya obat anestesi yang inert adalah dengan
pengisian ruangan-ruangan non aqueous dari membran sel oleh obat anestesi
sehingga permeabilitas membran terganggu.
Pauling 1964 mengemukakan bahwa zat anestesi dapat membentuk mikro kristal
dengan air dalam membran sel neuron dan ini menyebabkan stabilisasi membran sel. Teori
ini disebut juga hidrat mikro kristal teori.
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar tidak
terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekwat untuk
melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasar tanda klinik yang didapat. Guedel
membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerakan bola
mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi
ether.
1. Stadium I disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak
diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi kecil bisa
dilakukan.
2. Stadium II disebut juga stadium delirium atau stadium eksitasi.
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita
bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif
gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks fisiologi
masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan
selanjutnya nafas menjadi teratur.
Stadium ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri.
Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan
psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat.
3. Stadium III disebut juga stadium operasi.
Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas.
Dibagi menjadi 4 plane:
Plana I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi
meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
Plana II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa otot
interkostal.
Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun dan
frekwensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal, bola mata
berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya menurun, refleks
kornea menghilang dan tonus otot makin menurun.
Plana III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot
Interkostal.
Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari torakal
karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar dan refleks
cahaya menjadi hilang, lakrimasi negatif, refleks laring dan peritoneal
menghilang, tonus otot makin menurun.
106 || Anestesiologi
Plana IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma.
Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat, iregular
dan tidak adekwat, terjadi jerky karena terjadi paralise diafragma. Tonus
otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks
cahaya negatif refleks spincter ani negatif.
4. Stadium IV dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium
over dosis atau stadium paralysis.
Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan
dikuti dengan circulatory failure.
INDUKSI
Induksi dapat dilakukan dengan cara inhalasi, intravena, intramuskuler atau perrektal.
Induksi Inhalasi sering disebut dengan istilah induksi lambat karena membutuhkan waktu
yang lama, sedangkan induksi intravena, disebut juga dengan induksi cepat karena
penderita cepat tertidur.
Induksi Inhalasi
Diberikan dengan meminta penderita menghirup campuran gas anestesi dengan
udara atau oksigen, dengan memakai face mask (sungkup muka/kap). Tergantung yang
PEMELIHARAAN (MAINTENANCE)
Dalam periode ini diberikan obat anestesi dalam dosis tertentu, tergantung jenis
operasinya. Anestesi tidak boleh terlalu dalam karena membahayakan jiwa penderita,
tetapi juga tidak boleh terlalu ringan sehingga penderita masih merasakan nyeri yang akan
menimbulkan trauma psikis yang berkepanjangan. Selain itu anestesi yang terlalu ringan
juga dapat menyebabkan spasme saluran pernafasan, batuk, mutah atau gangguan kardio
vaskuler.
108 || Anestesiologi
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat inhalasi atau
intravena. Obat intravena bisa, diberikan secara intermitten atau continous drip. Kadang-
kadang dipakai gabungan obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat
diperkecil.
Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi umum sampai tingkat
kedalamannya mencapai trias anestesi yaitu penderita tidur, analgesi cukup dan terjadi
relaksasi otot. Pada penderita yang tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat
pelemas otot, maka bila mendapat rangsang nyeri dapat timbul:
Gerakan lengan atau kaki.
Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada penderita yang memakai pipa
endotrakeal.
Adanya lakrimasi.
Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laringeal, broncospasme.
Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambah
cepat, tekanan darah meningkat, berkeringat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan anestesi. Pada operasi-operasi
yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya kurang maka ahli bedah akan mengeluh
karena tidak bisa bekerja dengan baik, untuk operasi yang membuka abdomen maka usus
akan bergerak dan menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan otot juga sukar
dilakukan.
Keadaan relaksasi bisa terjadi pada anestesi yang dalam, sehingga bila kurang
relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi adalah dengan mendalamkan
anestesi, yaitu dengan cara menambah dosis obat. Bila hanya menggunakan satu macam
obat, keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat anestesi yang diberikan
sedemikian tinggi, sehingga menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan demikian
keadaan ini akan mengancam jiwa penderita, lebih-lebih pada penderita yang sensitif atau
memang sudah ada gangguan pada organ vital sebelumnya.
Untuk mengatasi hal ini maka ada tehnik tertentu agar tercapai trias anestesi pada
kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik, analgesinya
menggunakan analgetik kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant)
tehnik ini disebut balance anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot mengalami
relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan, termasuk otot respirasi,
jadi penderita tidak dapat bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa),
tanpa, dilakukan nafas buatan, penderita akan mengalami kematian, karena hipoksia. Jadi
nafas penderita sepenuhnya tergantung dari pengendalian kita, karena itu balance anestesi
110 || Anestesiologi
Gambari
Pemakaian Ether dengan Sistem Open Drop
Gambar 2
Sistem Insuflasi untuk Induksi Anak
Dalam sistem semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag selain reservoir
bag, adapula yang masih ditambah dengan klep 1 arah, yang mengarahkan udara ekspirasi
keluar, klep ini disebut non-rebreathlng vah/e. Dalam sistem ini tingkat keborosan dan
polusi kamar operasi lebih rendah dibanding sistem open.
Dalam sistem semi ciosed, udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi dan
oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi mengandung C02 yang lebih tinggi,
dialirkan menuju tabung yang berisi sodalime, disini CO2 akan diikat oleh sodalime.
Selanjutnya udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi dan oksigen dari sumber
gas (FGF/Fresh Gas Fiow) untuk di- inspirasi kembali. Kelebihan aliran gas dikeluarkan
melalui klep over fiow. Karena udara ekspirasi diinspirasi lagi, maka pemakaian obat anestesi
dan oksigen dapat dihemat dan kurang menimbulkan polusi kamar operasi.
Dalam sistem closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak ada udara
yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas. Penambahan oksigen dan gas
anestesi harus diperhitungkan, agar tidak kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan
anestesi kurang adekuat, tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian yang berlebihan
112 || Anestesiologi
bisa berakibat tekanan makin meninggi sehingga, menimbulkan pecahnya alveoli paru.
Sistem ini adalah sistem yang paling hemat obat anestesi dan tidak menimbulkan polusi.
Pada sistem closed dan semi closed juga disebut sistem rebreathing, karena udara
ekspirasi diinspirasi kembali, sistem ini juga perlu sodalime untuk membersihkan C02. Pada
sistem open dan semi open juga disebut sistem non rebreathing karena tidak boleh ada
udara ekspirasi yang diinspirasi kembali, sistem ini tidak perlu sodalime. Untuk menjaga agar
pada system semi open tidak terjadi rebreathing, aliran campuran gas anestesi dan oksigen
harus cepat, biasanya diberikan antara 2-3 kali menit volume respirasi penderita.
Tabel 1
Perbedaan Antara Sistem Open, Semi Open, Semi Closed Opdan Closed
Tingkat
Sistem Rebreat Reservoir Sodalime Tingkat Polusi Keboros an
hing Bag Kamar Operasi Obat
Open - - - ++++ +++
Semi Open - + - +++ ++
Semi Closed + + + ++ +
Closed + + + + -
Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena, maka disebut anestesi
intravena total (total intravenous anesthesia/TW/A). Bila induksi dan maintenance anestesi
menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile Inhalation and Maintenance
Anesthesia).
PEMULIHAN ANESTESI
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
Ada banyak pedoman untuk menentukan kapan penderita dapat dipindahkan dari
kamar operasi. Di RSUP. Dr. Kariadi memakai Aldrette Score yaitu penilaian yang didasarkan
114 || Anestesiologi
atas respirasi, kesadaran, sirkulasi, aktifitas dan warna kulit. Masing-masing mempunyai nilai
terendah 0 dan tertinggi 2. Hasil penjumlahan ke-5 faktor tersebut, yang mempunyai nilai
maksimal 10 menentukan dapat tidaknya penderita dipindahkan. Penderita dengan nilai
Aldrette Score 8, dapat dipindahkan ke ruang perawatan. Untuk penderita rawat jalan
setelah Aldrette Score mencapai 10 tidak boleh langsung pulang, tetapi harus menunggu
minimal 2 jam lebih dulu, dalam waktu ini penderita dapat dilatih duduk, turun, jalan dan
minum secara bertahap. Dalam perjalanan pulang penderita ini tidak boleh mengemudikan
kendaraan sendiri dan tidak boleh pulang sendirian tetapi harus ada teman yang sudah
dewasa.
Tabel 2
Nilai Penderita Paska Operasi menurut Aldrette
Hal yang Dinilai Nilai
1. Kesadaran
Sadar penuh 2
Bangun bila dipanggil 1
Tidak ada respons 0
2. Respirasi
Dapat melakukan nafas dalam, bebas dan dapat batuk 2
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan 1
Apnoe 0
3. Sirkulasi: Perbedaan dengan tekanan darah pre anestesi
Perbedaan + 20 2
Perbedaan + 50 1
Perbedaan lebih dari 50 0
4. Aktifitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah
4 ekstremitas 2
2 ekstremitas 1
Tidak dapat 0
5. Warna kulit
Normal 2
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik 1
Cyanotik 0
116 || Anestesiologi
3. Sirkulasi: Perbedaan dengan tekanan darah pre
anestesi
Perbedaan + 20 2
Perbedaan + 50 1
Perbedaan lebih dari 50 0
4. Aktifitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah
4 ekstremitas 2
2 ekstremitas 1
tidak dapat 0
5. Saturasi 02
Sp02> 9 2 % pada suhu kamar 2
Penambahan 02 diperlukan untuk menjaga Sp02 >90% 1
Sp02 < 92% dengan penambahan 02 0
Proses pengikatan C02 dilakukan dengan cara reaksi kimia, karena itu agar fungsinya
maksimal diperlukan sebanyak mungkin udara ekspirasi yang bersinggungan dengan
pengikat C02, maka diperlukan permukaan pengikat C02 yang luas. Untuk memperluas
permukaan, pengikat C02 dibuat dalam bentuk butiran-butiran, makin kecil ukuran butiran,
dalam total volume yang sama didapatkan permukaan butiran yang makin luas, sehingga
reaksi dengan C02 juga makin lebih banyak terjadi. Tetapi dengan makin kecilnya ukuran,
tahanan aliran udara juga makin besar pula. Dari penelitian didapat bahwa ukuran butiran
yang paling optimal antara 4-8 mesh. Mesh menggambarkan jumlah saringan diantara
partikel granula pada garis lurus per inci yang dapat dilalui oleh udara. Sebagai contoh, 4
mesh berarti terdapat 4 buah saringan sebesar 0,25 inci untuk setiap inci garis lurus.
Butiran pengikat C02 dilengkapi dengan indikator yang berubah warna apabila sudah
tidak berfungsi. Indikator-indikator tersebut adalah:
Indikator Warna
Berfungsi baik Tidak berfungsi
Ethyl violet Putih Purple (ungu)
Phenolphthalein Putih Pink (jambon)
Clayton yellow Merah Kuning
Ethylorange Orange Kuning
Mimosa 2 Merah Putih
117 H Anestesiologi
absorptive capacity. Saat ini ada 3 macam pengikat C02 yaitu:
Sodalime
Baralyme
Amsorb p\us/calcium hydroxide lime
Sodalime
Sodalime adalah butiran pengikat C02 yang dibuat dari campuran 15% air, 80%
kalsium hidroksida, 4% natrium hidroksida dan 1% kalium hidroksida. Butiran ini mudah
pecah membentuk debu alkaline yang dapat menyebabkan bronkospasme bila terhirup.
Untuk mencegah terjadinya debu maka diperkeras dengan menambah sejumlah kecil silica
agar terbentuk kalsium dan natrium silikat, penambahan silica tidak boleh terlalu banyak
agar reaksi pengikatan C02 dapat berjalan baik. Proses pengikatan C02 melalui proses reaksi
kimia sebagai berikut:
co2+ H2O H2CO3
H2C03+2 NaOH/KOH N a2C03/K2C03+2 H20 + panas
Na2C03/K2C03 + Ca(0H)2 CaC03+ 2NaOH/KOH
Juga terjadi reaksi langsung antara C02 dengan Ca(OH)2 membentuk CaC03 tetapi
berjalan lambat. Air yang terbentuk dari reaksi tersebut, air dari butiran soda lime dan uap
air dari gas ekshalasi pasien menapis basa alkali dari soda lime, terkumpul dalam dasar
tabung, basa monovalent tersebut korosif pada kulit. Absorbtive capacity sodalime adalah
14-23.
Baralyme
Baralyme adalah butiran pengikat C02 yang dibuat dari campuran yang terdiri dari
20% barium hidroksida dan 80% kalsium hidroksida, dapat juga diberi sedikit kalium
hidroksida. Tidak memerlukan silica sebagai penguat. Kurang bersifat soda dan
menghasilkan panas yang lebih sedikit dibanding soda lime. Mempunyai absorptive capacity
9-18. Proses reaksi pengikatan C02 berjalan sebagai berikut:
Ba(0H)2+8H20 + C02 BaC03 + 9 H20 + panas
9 H20 + 9 C02 9 H2C03
9 H2C03 + Ca(OH)2 CaC03 +18 H20 + panas
Amsorb Plus
Amsorb plus diperkenalkan pada tahun 2000, dibuat dari campuran yang terdiri dari
13-18% air, 80% kalsium hidroksida dan kalsium klorida. Sebagai penguat agar tidak mudah
pecah ditambahkan sedikit kalsium sulfat dan Polivinylpyrolidine. Dalam campuran ini tidak
terdapat basa monovalent (KOH/NaOH) yang korosif. Reaksi antar C02 dengan amsorb plus
adalah sebagai berikut:
CO2+H2O H2CO3
H2C03+Ca(0H)2 CaC03+ 2 H20 + panas
118 || Anestesiologi
Interaksi Obat Anestesi Inhalasi dengan Pengikat C02
Sodalime bereaksi dengan trichlorethylen akibat adanya panas yang dihasilkan dari
reaksi kimia dan terdapatnya alkali membentuk dichloroacetylene, zat ini menyebabkan
lesi syaraf kranialis dan encephalitis juga terbentuk phosgene yang iritatif pada paru
menyebabkan ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).
Sevoflurane bereaksi dengan sodalime atau baralime membentuk fluo- romethyl 2,2-
difluoro-l- (trifluoromethyl) vinyl ether disebut juga compound A. Hal yang dihubungkan
dengan terbentuknya compound A antara lain anestesi low flow, sistem tertutup,
konsentrasi sevoflurane tinggi, tingginya suhu pengikat C02 dan pengikat C02 yang baru.
Baralyme membentuk compound A lebih tinggi dibanding sodalime, baralime kering
meningkatkan produksi compound A, sodalime kering menurunkan produksi compound A.
Baralyme dan sodalime membentuk gas CO yang berbahaya karena berikatan
dengan Hb lebih kuat dibanding ikatan Hb dengan oksigen. Baralyme menghasilkan CO lebih
banyak dibandingkan sodalime. Besarnya produksi CO desfluran > enfluran > isoflurane »
halotan = sevoflurane. Butiran pengikat C02 yang kering lebih banyak membentuk CO
dibanding butiran yang basah. Temperatur yang tinggi meningkatkan produksi CO,
konsentrasi obat anestesi makin tinggi meningkatkan produksi CO.
Penggunaan baralyme pada anestesi sevoflurane dapat menimbulkan panas yang
tinggi dan menimbulkan kebakaran pada tabung dan Circuit anestesi. Hal ini disebabkan
karena reaksi antara baralyme dan C02 menimbulkan panas yang ekstrim.[]
DAFTAR PUSTAKA
1. Brockwell RC, Andrew JJ: Inhaled Anesthetic Delivery Sistems dalam Miller RD: Miller's
Anesthesia, 6th ed. Philadelphia, Elsevier Churchill Livingstone, 2005, p 273-311.
2. Orkin FK: Anesthetic Systems dalam Miller RD: Anesthesia. New York, Churchill
Livingstone, 1981, p 117-152.
3. Howley JE, Roth PA: Anesthesia Delivery Systems dalam Stoelting RK, Miller RD (eds.):
Basics of Anesthesia. 5th ed. Philadelphia. Churchill Livingstone, 2007, p 185-206.
4. Taylor D: Choice of Anesthetic Technique dalam Stoelting RK, Miller RD (eds): Basics of
Anesthesia, 5th ed. Philadelphia, Churchill Livingstone, 2007, p 178-184.
5. Atkinson RS, Rushman GB, Lee JA: Apparatus and Methods for General Anesthesia
dalam A Synopsis of Anesthesia, 8th ed. Bristol. John Wright & Sons. 1977, p 151-176.
Sesuai dengan prosedur pembedahan, kemajuan dari hasil penelitian dalam bidang
farmasi, farmakologi dan anestesiologi, macam obat inhalasi yang dipakai juga mengalami
perubahan guna mendapatkan hasil kerja yang ideal. Untuk mencapai hal tersebut
mestinya dipakai obat anestesi inhalasi yang ideal tetapi sampai saat ini belum ditemukan
obat anestesi inhalasi yang ideal, karena masing-masing obat mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Idealnya obat anestesi inhalasi memenuhi persyaratan antara lain:
Tidak dapat terbakar, atau menimbulkan ledakan.
Mudah diuapkan pada suhu normal,
Stabil dalam penyimpanan, tidak mengalami reaksi atau perubahan bila terkena soda
lime atau peralatan anestesi,
Potensinya kuat,
Harganya murah,
Sedikit mengalami metabolisme, dan tidak menimbulkan alergi baik zat asli maupun
hasil metabolitnya.
Waktu induksinya cepat tetapi pemulihannya juga cepat,
Tidak menjadi pencetus malignant hipertermi,
Selaras dipakai pada tindakan dengan epinefrin,
Tidak menimbulkan vasodilatasi serebral,
Tidak menekan aktifitas sistem syaraf simpatis yang berlebihan,
Tidak menimbulkan mual dan muntah,
Tidak menimbulkan iritasi jalan napas, dan tidak mendefresi pernafasan. Bersifat
bronkhodilatasi,
Tidak menimbulkan depresi otot jantung,
Tidak menimbulkan vasodilatasi perifer,
Tidak toksik pada ginjal dan hepar.
Sampai saat ini obat-obat inhalasi yang telah dipakai untuk praktek anestesi antara
lain: nitrogen oksida(N20), ether (diethyl ether), chloroform, ethyl chloride, ethylene,
120 || Anestesiologi
cyclopropane, trichloroethylene (trilene), divinylether, isopropenyl vinyl ether, propyl
methyl ether, fluoroxene, ethyl vinyl ether, halothane, methoxyflurane, enflurane,
isoflurane, desflurane, sevoflurane.
Disini hanya diuraikan mengenai obat-obat yang dipakai di RSUP Dr. Kariadi antara
lain halothan, enflurane, isoflurane, sevoflurane dan N20. Meskipun ether sudah tidak
dipakai di RSUP Dr. Kariadi tetapi akan dibicarakan juga karena masih dipakai di RS daerah,
bisa dibuat di Indonesia, dan murah harganya.
Adalah zat yang mula-mula disiapkan oleh Valerius Cordus (1540) dengan nama
sweet oil ofvitril. Unggas-unggas menjadi tertidur dan bangun kembali dengan selamat
setelah diberi zat tersebut oleh Paracelcus. Zat tersebut diberi nama aether oleh Frobenius
dalam bahasa Yunani berarti sinar atau membakar. Di dalam klinik pertama kali dipakai
untuk ekstraksi gigi oleh W.E. Clarke dari Rochester (1842) dan Crawford Long dari Georgia
(1842), tetapi tidak dipublikasikan. Demonstrasi pemakaian ether untuk operasi dilakukan
oleh W.T.G. Morton dari Boston (1846). Obat ini kemudian digunakan secara rutin di
Amerika. Posisi ini kemudian digantikan dengan cyclo propane (1930).
Sejak pembedahan dilakukan terpusat di Instalasi Bedah Sentral (1984), RSUP Dr.
Kariadi tidak menggunakan ether karena mudah terbakar. Sedangkan pembedahan banyak
dilakukan menggunakan cauter yang menimbulkan percikan api. Sebelum itu sebagian
besar tindakan anestesi inhalasi di RSUP Dr. Kariadi menggunakan ether.
Dibuat dengan memanaskan campuran asam sulfat pekat dan ethyl alkohol 95%
pada suhu 130 °C dalam alat distilasi. Ke dalam campuran tersebut terus dialirkan uap
alkohol sehingga terjadi reaksi dehidrasi. Proses selanjutnya adalah pemisahan dari zat yang
terbentuk sebagai reaksi ikutan maupun sisa-sisa zat anestesi.
C2H5OH + H2SO4 C2H5HSO4+H2O
C2H5HSO4+ C2H5OH H2SO4+C2H5OC2H5
2C2H5OH C2H5OC2H5+H2O
Ether merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap dengan berat molekul 74,
titik didih 35°C, tekanan uap jenuh pada suhu 20°C 425 mmHg. Rasio kelarutan dalam
minyak/air 32. Koefisien partisi minyak/gas 65, Koefisien parti darah/gas 12,0. Konsentrasi
alveolar minimal adalah 1,92. Uap ether dalam udara mudah terbakar pada konsentrasi
antara 1,83-48%. Meledak dalam oksigen pada konsentrasi antara 2%-82%. Di dalam
penyimpanan dapat tercampur dengan zat-zat lain yang terbentuk pada waktu proses
pembuatan atau dalam penyimpanan. Pada waktu pembuatan dapat tercampur dengan
oksida belerang, sulfat, aldehid, thio ether dan asam thio yang lain. Selama proses
penyimpanan dapat terbentuk peroksida, aldehid, keton dan mercaptan. Terbentuknya zat-
zat tersebut didukung oleh udara, cahaya, keadaan lembab dan panas, dan dihambat oleh
122 || Anestesiologi
konsentrasi dalam darah fetus dengan cepat meningkat menyamai konsentrasi dalam
darah ibu.
Pada otot skelet, ether menyebabkan relaksasi karena blok myoneural (dapat
direverse dengan neostigmin) dan berkurangnya impuls saraf motorik.
Pada metabolisme dapat terjadi asidosis metabolik karena meningkatnya asam
laktat, piruvat, asam lemak non esterifikasi dan keton bodies. Ether juga menimbulkan
kenaikan kadar gula darah.
Keuntungan anestesi dengan ether:
Menghasilkan relaksasi yang sempurna,
Depresi respirasi tidak diikuti dengan kerusakan jantung bila tidak terjadi hipoksia,
Relatif non toksik, khususnya pada anestesi ringan dengan pelumpuh otot,
Merupakan obat anestesi yang aman bila tidak terjadi hipoksia,
Harga murah,
Bisa digunakan dengan alat-alat sederhana yang memungkinkan mudah dibawa
kemana-mana (portable),
Tanda-tanda stadium anestesi jelas.
Kerugian anestesi dengan ether:
Menimbulkan sekresi mukus yang banyak pada mulut dan jalan nafas,
Menyebabkan mual dan muntah,
Induksinya memerlukan waktu lama,
Mudah terbakar.
NH4N03^ 2H20+N20
N N
O
Nitrogen oksida (N20) diabsorpsi
melalui paru masuk ke dalam plasma darah dan seterusnya didistribusikan ke seluruh
tubuh. Eliminasi sebagian besar dengan cara ekshalasi melalui paru. Hanya sebagian kecil
melalui kulit, urin, dan usus. Kurang dari 0,01% mengalami metabolisme oleh kuman-
kuman usus, menghasilkan gas nitric oxide, ion nitrat, nitrogen dioxide dan amonia atau
metabolit ion non volatil yang larut dalam air seperti N03', N02' dan NH4+.
Meskipun analgesinya kuat tetapi N20 adalah agent anestesi yang lemah, karena itu
sukar mendapatkan anestesi yang mulus, meskipun hanya untuk tindakan yang singkat
apabila hanya menggunakan obat tunggal. Pemakaiannya biasanya didahului dengan
premedikasi, induksi obat intra vena atau obat inhalasi yang lain, diteruskan dengan
kombinasi dengan obat intra vena atau inhalasi lain untuk pemeliharaan, bisa juga
ditambah dengan pelumpuh otot.
124 || Anestesiologi
Campuran 50% N20 dan 50% 02 (Entonox) dapat dipakai untuk mengatasi nyeri
misalnya pada waktu mengganti pembalut, analgesi obstetrik, analgesi pada ekstraksi gigi,
koreksi drain, fisioterapi paska bedah.
N20 cenderung mengisi bagian tubuh yang berongga karena difusi ke ruang berongga
lebih cepat dibanding pengeluarannya dari rongga ke sirkulasi, karena itu pada anestesi
dengan N20:
Memperberat pneumothoraks tertutup, pada inspirasi 75% N20 selama 10 menit
volume pneumothorak meningkat 2x lipat, dan bila 45 menit menjadi 3x lipat.
Mengisi rongga usus, hal ini dapat memperbesar volume dan tekanan di dalam usus
pada penderita obstruksi usus. Sebaiknya dihindari penggunaannya pada penderita
hernia diafragmatika atau omphalocele.
Pada operasi mata, kadang-kadang disuntikkan gelembung udara untuk mencegah
terlepasnya retina. N20 dapat berdifusi ke dalam gelembung tersebut sehingga
memperbesar tekanan intra oculi sampai dengan di atas 200% yang merugikan
sirkulasi retina.
Mengisi rongga sinus paranasalis dan rongga telinga tengah. Pada keadaan infeksi di
mana ada sumbatan pada rongga tersebut (misalnya sumbatan tuba eustachii) maka
tekanan dalam rongga tersebut akan meningkat. Pada operasi timpanoplastik N20
yang terakumulasi akan menyebabkan terlepasnya graft, karena itu N20 harus
dihentikan 10 menit sebelum pemasangan graft.
Emboli udara dalam sirkulasi darah akan membesar dan dapat mempengaruhi
sirkulasi.
Berdifusi ke dalam kaf pipa endotrakheal mengakibatkan tekanan dalam kaf
meninggi dan menekan mukosa trakhea.
Menyebabkan tension pneumoencephalus sesudah penutupan duramater atau
pneumoencephalografi.
Hipoksemia difusa disebabkan karena sesudah N20 dihentikan masih terjadi difusi N20
dari jaringan dan rongga tubuh ke dalam sirkulasi, dan dari sirkulasi ke dalam alveoli,
karena itu kadar N20 di dalam alveoli masih tinggi. Untuk mencegah terjadinya
hipoksia harus diberikan 100% oksigen selama 5-10 menit setelah pemberian N20
diakhiri.
Pada sistem saraf pusat, N20 pada konsentrasi 25% menyebabkan sedasi ringan, efek
analgetik timbul pada konsentrasi 27%. Pada konsentrasi 50% menimbulkan analgesi setara
dengan analgesi yang ditimbulkan oleh morfin. N20 menaikkan aliran darah otak, sedikit
menaikkan tekanan intrakranial dan menaikkan kebutuhan oksigen otak (CMR02).
Pada sistem kardiovaskuler, N20 cenderung merangsang sistem saraf simpatis, selain
itu N20 juga mendepresi kontraktilitas otot jantung sehingga tekanan darah, curah jantung,
dan laju jantung tidak mengalami perubahan atau sedikit berubah. Depresi otot jantung
dapat terjadi pada pasien dengan penyakit koroner atau hipovolemi berat. Konstriksi otot
HALOTAN
126 || Anestesiologi
F Cl
Halotan merupakan cairan yang mudah menguap, tidak berwarna, berbau manis,
stabil dalam suhu kamar, tidak mudah terbakar, mudah rusak bila kena cahaya, tetapi stabil
disimpan memakai botol warna gelap. Berat molekul 197,4, berat jenis dalam bentuk cairan
1,86, titik didih 50,2°C, titik beku - 118,3°C, kelarutan dalam air pada suhu 37 °C 0,345%,
kelarutan dalam darah 1,160 %, koefisien partisi air/gas: 0,63, darah/gas: 2,3, KAM: 0,75.
obat ini merusak alat anestesi yang terbuat dari karet.
Dosis untuk induksi inhalasi adalah 2-4%, dosis induksi anak 1,5-2%. Pada induksi
inhalasi kedalaman yang cukup terjadi setelah 10 menit.
Dosis untuk pemeliharaan adalah 1-2%, dan dapat dikurangi bila digunakan juga N20
atau narkotik. Pemeliharaan pada anak 0,5-2%. Waktu pulih sadar sekitar 10 menit setelah
obat dihentikan.
Setelah diabsorbsi dari paru obat ini didistribusikan ke seluruh tubuh. Metabolisme
secara oksidasi dan reduksi di dalam retikulum endoplasma hepar. Metabolisme oksidasi
dipengaruhi cytochrom P450 monooxygenase menghasilkan trifluoroaceticacid (TFA),
bromide dan chloride. Pada reaksi ini membutuhkan oksigen dan NADPH sebagai donor
elektron. Metabolisme reduksi menghasilkan chlorotrifluoroethane (CTF),
chlorodifluoroethane (CDF) dan bromochlorodifluoro ethylane (BCDF).
Trifluoroaceticacid (TFA) dapat berikatan dengan protein hepar secara kovalent
menghasilkan hapten yang dapat menyebabkan reaksi imunologi. Radikal bebas hasil
metabolisme reduksi halotan dapat merusak protein hepatosit dan membran fosfolipid
yang menyebabkan kerusakan atau nekrosis sel.
Eliminasi halotan sebagian besar secara ekshalasi lewat paru, sebagian kecil melalui
urin. Hasil metabolisme sebagian besar diekskresi lewat urin sebagian kecil bromide dan
chloride diekskresi lewat paru.
Pada sistem saraf pusat (SSP), halotan pada konsentrasi 0,5-3% men- depresi SSP.
Halotan menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak, menurunkan resistensi pembuluh
darah otak dan meningkatkan aliran darah otak sehingga meningkatkan tekanan intra
kranial. Peningkatan tekanan intra kranial dapat diturunkan dengan hiperventilasi.
127 || Anestesiologi
Pada sistem kardiovaskuler, tergantung dosis, tekanan darah menurun akibat depresi
pada otot jantung, makin tinggi dosisnya depresi makin berat. Meskipun bersifat vasodilator
koroner tetapi aliran darah koroner dapat menurun akibat turunnya tekanan darah
sistemik. Pada bayi, halotan menurunkan curah jantung karena turunnya kontraktilitas
miokardium dan menurunnya laju jantung.
Halotan dapat menyebabkan Ventikel Ekstra Sistole (VES), Ventrikel Takikardi (VT)
dan Ventrikel Fibrilasi (VF), sebagai faktor penyebab meliputi retensi C02 stimulasi sensorik
pada anestesi dangkal, suntikan sulfas atropin dan pemakaian adrenalin. Halotan
menimbulkan sensitifitas jantung pada adrenalin meningkat, karena itu harus dihindari
pemakaian epineprin melebihi
1,5 pg/kgBB pada anestesi dengan halotan.
Pada sistem respirasi, halotan menyebabkan pernafasan cepat tetapi dangkal,
kenaikan frekuensi respirasi tidak bisa mengkompensasi dangkalnya volume tidal sehingga
ventilasi alveolar menurun dan menimbulkan retensi C02. Pengaruh halotan pada sistem
respirasi diduga karena bersifat sentral (depresi medulla) dan perifer (disfungsi otot
interkostal). Perubahan ini diperberat oleh penyakit paru.
Respon ventilasi terhadap hipoksemia menurun karena sensitifitas ke- moreseptor
perifer terganggu. Respon ventilasi pada kenaikan kadar C02 juga menurun akibat inhibisi
halotan langsung pada batang otak.
Sekresi bronkus dan tonus bronkomotor akan turun. Halotan adalah bronkodilator
yang potent, dapat dipakai untuk terapi bronkospasme karena asma, aksi ini tidak dapat
dihambat oleh propanolol (beta adrenergik blocking agent). Halotan menghambat reflek
jalan nafas dan reflek otot polos bronkhial. Halotan juga menekan fungsi mukosiliaris
sehingga pembersihan mukus dari traktus respiratorius terhambat, akibatnya memicu
hipoksia dan atelektasis post anestesi.
Pada ginjal halotan dapat mengurangi aliran darah ginjal (GFR) dan produksi urin
akibat dari turunnya tekanan darah dan curah jantung, tetapi sifatnya reversibel dan
biasanya fungsi autoregulasi masih baik.
Halotan dapat menurunkan aliran darah sphlanic sekitar 25-30% akibat turunnya
curah jantung, tetapi tahanan vaskuler sphlanicus relatif tidak berubah, kecuali pada usia
lanjut dapat menurun sampai 20%. Turunnya aliran darah sphlanic menyebabkan aliran
darah hati menurun. Metabolisme dan klirens obat dapat mengalami penurunan. Insiden
terjadinya halotan hepatitis sekitar 1:36400.
Halotan berpotensiasi dengan pelumpuh non depolarising. Halotan juga
dihubungkan dengan terjadinya malignant hipertermia.
ENFLURAN
F F Cl
128 || Anestesiologi
H ------ C ------- 0 --------- C ------- C ------ H
F F F
Enfluran adalah obat anestesi inhalasi volatil dengan rumus kimia 1,1,2 tri fluoro -2-
chlorethyl di fluoro methyl ether (CHF2-OCF2-CHFCI) dengan berat molekul 184, titik didih
56,5 °C, pada suhu 37 °C koefisien partisi darah/gas 1,91. Koefisien partikel udara/gas 0,78.
Tidak mudah terbakar, stabil terkena soda lime, tidak terpengaruh cahaya dan tidak
bereaksi dengan logam.
Mula-mula disintesis oleh Speers dkk. (1963) setelah diteliti oleh Kranz dkk di
Universitas Maryland dinyatakan bahwa enfluran adalah obat anestesi yang potent aman
dan nyaman digunakan. Selanjutnya digunakan dalam praktek anestesi mulai tahun 1972.
Dalam penggunaannya memerlukan vaporizer.
Setelah diabsorbsi dari paru ke dalam darah, enfluran akan didistribusikan ke seluruh
tubuh. Kelarutan enfluran dalam lemak lebih rendah dibandingkan halothan. Ekskresi
melalui paru. Sekitar 2-8% mengalami metabolisme membentuk fluorida dan campuran
senyawa fluor yang tidak volatil, dieksresi lewat urin. Hasil metabolisme terbanyak adalah
difluormethoxydifluoroacetic acid. Metabolit ini antara lain dipengaruhi oleh sitokrom P45o.
Konsentrasi alveolar minimal enfluran menurun sesuai dengan bertambahnya umur.
Pada bayi 2,4; pada usia 80 tahun 1,4 dan pada usia 40 tahun 1,7. Kombinasi dengan 50%
N20 mengurangi sekitar 50%. Induksi inhalasi dengan enfluran dilakukan dengan
meningkatkan konsentrasi enfluran secara bertahap hingga mencapai 4% dengan
menggunakan sungkup muka. Selanjutnya pembedahan dapat dilakukan sekitar 7-10 menit
kemudian. Dosis untuk pemeliharaan antara %-3% dan jangan melebihi 3%. Untuk sectio
caesaria antara %-l%. Waktu pulih sadar tergantung lamanya mendapat anestesi enfluran.
Pada tindakan selama 30 menit penderita sadar sekitar 4 menit. Pada tindakan yang lama
kesadaran terjadi kurang dari 15 menit pada sebagian besar pasien.
Pada SSP enfluran membentuk gelombang epileptic, menimbulkan iritabilitas di area
motorik pada 2% pasien ditandai dengan kekakuan gerak rahang bawah, leher dan
ekstremitas yang dihubungkan dengan kedalaman dan hipokarbi. Pada tingkat anestesi
yang dalam menimbulkan jerky yang bisa dihilangkan dengan mengurangi kedalaman
anestesi. Enfluran meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intra kranial, dengan 134
KAM aliran darah otak meningkat 2 kali lipat Aliran darah otak dapat dikurangi dengan
hiperventilasi, tetapi hiper- ventilasi menyebabkan hiperkarbi, yang dapat meningkatkan
resiko terjadinya kejang dengan akibat meningkatnya kebutuhan oksigen otak, produksi C02
meningkat, aliran darah meningkat, akibatnya tekanan intra kranial akan naik.
Pada sistem respirasi tidak meningkatkan sekresi bronkhial dan ludah, tidak
meningkatkan iritabilitas pharing dan laring. Frekuensi nafas meningkat tetapi ventilasi
semenit berkurang karena volume tidal yang menurun. PaC02 meningkat, menurunnya
respon pada hiperkapnia, hilangnya hipoxic chive, depresi pada fungsi mukosiliar dan
ISOFLURAN
F Cl F
F F F
Isofluran adalah obat anestesi isomer dari enfluran dengan rumus 1- Chloro-2,2,2-
Trifluoroethyl Difluoro Methyl Ether (CHF2-0-CHCL-CF3). Disintesis oleh Terrel dkk tahun
1965 dipakai dalam anestesi mulai 1981, merupakan cairan tak berwarna dan berbau
tajam, menimbulkan iritasi jalan nafas jika dipakai dengan konsentrasi tinggi menggunakan
sungkup muka. Tidak mudah terbakar, tidak terpengaruh cahaya dan tidak merusak logam.
Berat molekul
184.5 dengan titik didih 48,5 °C. Koefisien partisi darah/gas 1,4; koefisien partisi air/gas
0,61. Menurut Stevens WC (1975), konsentrasi alveolar minimal isofluran pada usia 20-30
tahun adalah 1,28; usia 20-55 tahun 1,15; dan usia diatas 55 tahun 1,05. N20 menurunkan
konsentrasi alveolar minimal dari isofluran, tidak berbeda antara pria dan wanita, kehamilan
mengurangi konsentrasi alveolar minimal sekitar 45%.
Induksi inhalasi dengan 5% isofluran pasien akan tertidur dalam waktu 40 detik pada
pasien yang mendapat premedikasi 5 pg/kgBB fentanyl. Baunya yang tajam membuat
tindakan induksi tidak nyaman. Induksi inhalasi dengan
3.5 % isofluran dapat mengurangi terjadinya bronkhospasme dan batuk. Induksi
anestesi sebaiknya dimulai dengan 0,5% dan dinaikkan bertahap dengan konsentrasi 1,3-
3%. Dalam waktu 7-10 menit biasanya sudah capai stadium pembedahan anestesi. Induksi
130 || Anestesiologi
inhalasi isofluran pada bayi menyebabkan turunnya laju jantung, tekanan darah sistolik dan
tekanan arteri rerata. Premedikasi atropin dapat mengurangi bradikardi, tetapi tidak dapat
mencegah turunnya tekanan darah.
Pemeliharaan anestesi antara 1-2,5 % dengan kombinasi N20 dan 02. apabila tidak
menggunakan N20 (hanya 02) diperlukan dosis 1,5-3%.
Pada pasien yang mendapat anestesi isofluran kurang dari 1 jam akan sadar kembali
sekitar 7 menit setelah obat dihentikan. Sedangkan pada tindakan antara 5-6 jam, kembali
sadar sekitar 11 menit setelah anestesi isofluran dihentikan.
Flanya 20% isofluran mengalami metabolise secara oksidasi menghasilkan ion
fluorida dan difluoro methanol dan trifluoroacetic acid. Metabolisme reduksi tidak terjadi.
Pada sistem kardiovaskuler menimbulkan depresi ringan pada jantung, curah jantung
dipertahankan dengan meningkatnya frekuensi jantung. Stimulasi ringan pada (3-
adrenergik meningkatkan aliran darah pada otot rangka menurunkan tahanan vasculer
sistemik dan menurunnya tekanan darah mungkin keadaan ini tidak dapat ditoleransi oleh
pasien hipovolemi. Peningkatan konsentrasi isofluran yang cepat menyebabkan
peningkatan sementara pada laju jantung, tekanan darah arteri dan kadar norepinefrin
plasma. Isofluran menyebabkan dilatasi arteri koroner terutama bila konsentrasinya
meningkat tiba-tiba. Dilatasi pada arteri koroner normal menyebabkan darah
SEVOFLURAN
F C ------- F
F ------- C -------- F H
132 || Anestesiologi
Sevofluran adalah obat anestesi inhalasi dengan rumus kimia 1,1,1,3/3,3, hexa fluoro-
2-prophyl fluoromethyl ether atau fluoromethyl-2,2,2-tri fluoro-1- (Trifluoromethyl) ethyl
ether. Diperkenalkan sebagai obat anestesi oleh Wallin & Napoli dari Traverol Laboratories
(1971).
Merupakan cairan jernih, tidak berwarna, berbau enak, tidak iritatif, titik didih 58,5.
Berat molekul 200,053 tekanan uap jenuh 21,3 KpA pada suhu 20 °C. Tidak korosif terhadap
stainless steel, kuningan maupun alumunium, tidak mudah terbakar, tidak eksplosif, stabil
terkena cahaya. Dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi volatil lain, kelarutan
sevofluran dalam karet dan plastik lebih rendah.
Konsentrasi alveolar minimal (KAM) 1,7, bila dikombinasikan dengan 60% N20, KAM
menjadi 0,66%. Sevofluran nyaman dipakai untuk induksi baik dewasa atau anak-anak
karena baunya enak dan tidak iritatif pada jalan nafas. Kombinasi 4-8 % sevofluran 50% N20
dan 50% 02 induksi dapat dicapai dalam waktu 1-3 menit. Waktu pulih sadar antara 7-5
menit setelah anestesi menggunakan 2-3 KAM sevofluran selama 1 jam.
Sevofluran mengalami dekomposisi bila tekanan soda lime tergantung tingginya
temperatur. Pada suhu 80 degradasi mencapai 92%. Waktu dilakukan anestesi biasanya
suhu canister soda lime kurang dari 50°C, hanya ditemukan 2 komponen (komponen A+B)
yang jumlahnya kurang dari 80 ppm. Komponen tersebut menyebabkan kematian pada
tikus bila mencapai 1100 ppm. Meskipun pengaruh degradasi tersebut secara klinik belum
jelas, tetapi FDA menunda pemakaian sevofluran untuk anestesi, tetapi di Jepang telah
digunakan secara luas.
Kira-kira 3% sevofluran mengalami biotransformasi menjadi fluorida anorganik dan
hexa fluoroisopropanol.
Pada sistem kardiovaskuler menimbulkan depresi ringan kontraksi otot jantung,
terjadi penurunan tekanan vaskuler sistemik dan tekanan arteri yang ringan. Sevofluran
dapat memperpanjang interval QT mekanismenya tidak jelas tetapi terdapat bukti yang
dapat dihubungkan dengan coronary steal syndrome. Tidak meningkatkan sensitifitas
jantung pada katekolamin.
Pada sistem respirasi, menimbulkan depresi respirasi dan dapat memicu terjadi
bronkhospasme.
Pada SSP, sevofluran sedikit menaikkan aliran darah otak dan tekanan intra kranial
pada keadaan normokarbia. Pada konsentrasi lebih dari 1,5 KAM dapat mengganggu
autoregulasi aliran darah otak. Kebutuhan metabolik oksigen otak menurun dan tidak
terdapat aktifitas kejang.
Induksi dengan sevofluran menimbulkan relaksasi yang memungkinkan intubasi
pada anak. Obat ini juga berpotensiasi dengan pelumpuh otot.
Aliran darah ginjal sedikit mengalami penurunan. Hasil metabolisme dihubungkan
dengan gangguan fungsi pada tubulus ginjal.
Sevofluran menurunkan aliran darah portal, tetapi meningkatkan aliran darah a.
hepatica dengan demikian dapat mempertahankan total aliran darah dan kebutuhan
DESFLURANE
Desfluran adalah obat anestesi volatile dengan rumus kimia 1,2,2,2-tetra fluro ethyl
difluoromethyl ether. Diperkenalkan dalam klinik pada tahun 1992. Perbedaannya dengan
isoflurane adalah kedudukan atom klor pada alfa ethyl carbon diganti dengan atom fluor.
Obat ini adalah senyawa yang sangat stabil, merupakan cairan jernih yang tidak
berwarna dan berbau tajam, tidak mudah terbakar, tidak bereaksi dengan stainless Steel,
tembaga, kuningan maupun alumunium. Dengan sodalime dapat mengalami degradasi
membentuk fluoroform (CHF3).
Potensinya rendah dengan KAM 7,2% pada usia antara 18-30 tahun, dan 6% pada
usia 31-65 tahun, pada bayi 1 tahun KAM 10%. Bila digunakan bersama-sama dengan 60%
N20, KAM pada usia 18-30 tahun 4% dan pada usia 31-65 tahun 2,8 atau sekitar 50% tanpa
N20.
Desflurane memerlukan vaporizer khusus dengan sistem pemanasan elektrik yang
telah dikalibrasi kejenuhan uapnya dalam sistem tersebut. Vaporizer ini diperlukan karena
obat ini mempunyai tekanan uap yang tinggi (669 mmHg pada suhu kamar 20°C)
sementara titik didih desflurane mendekati suhu kamar (22,8°C).
Dengan induksi inhalasi reflek bulu mata hilang dalam waktu 2 menit, karena sifatnya
iritatif pada jalan nafas maka induksi inhalasi menggunakan desflurane dapat mengalami
gangguan seperti batuk, apnea, meningkatnya sekresi, laringospasme, gangguan tersebut
terutama pada anak. Premedikasi tidak merubah terjadinya gangguan-gangguan tersebut.
Sesudah 1,5 jam dianestesi dengan 'A-1 KAM pasien akan sadar kembali dalam waktu
sekitar 4 menit. Pada anestesi dengan 1,25 KAM selama 1 jam pasien kembali sadar
sesudah 16 menit.
Di dalam tubuh, desflurane amat sedikit mengalami metabolisme. Sesudah anestesi
dengan desflurane, kadar trifluoro acetic acid dalam serum dan urin hanya 1/1.000 dari
pasien yang mendapat anestesi halotan atau 1/10 dari pasien yang mendapat anestesi
isoflurane.
Pada sistem kardiovaskuler, desflurane menurunkan resistensi vascular sistemik,
134 || Anestesiologi
menyebabkan turunnya tekanan darah. Dengan konsentrasi 1-2 KAM curah jantung sedikit
menurun. Menyebabkan meningkatnya laju jantung, tekanan vena sentral dan tekanan
arteri pulmonalis. Peningkatan konsentrasi desflurane dengan cepat menyebabkan
peningkatan tekanan darah, laju jantung, dan katekolamin. Keadaan ini bisa dikurangi
dengan memberikan klonidin, fentanil, atau esmolol. Desflurane tidak meningkatkan aliran
darah coroner.
Pada sistem respirasi, desflurane menyebabkan menurunnya volume tidal dan
meningkatnya frekuensi nafas. Hal ini menyebabkan turunnya ventilasi alveolar sehingga
terjadi peningkatan kadar C02. Desflurane bersifat iritatif sehingga tidak ideal untuk induksi.
Desflurane meningkatkan aliran darah otak dan menurunkan CMR02. Kenaikan
tekanan intra kranial akibat meningkatnya aliran darah otak dapat dikurangi dengan
hiperventilasi. Efek pada EEG sama dengan isoflurane.
Tidak bersifat nefrotoksik, test faal hati juga tidak mengalami perubahan, juga belum
ditemukan adanya hepatic injury pada pasien sesudah mendapat anestesi dengan
desflurane.
Berpotensiasi dengan pelumpuh otot. Aman digunakan bersama-sama dengan
epinefrin sampai dengan 4,5p/kgBB, karena tidak merubah sensisitas
disritmogenikepinefrin pada miokardium.[j
1. Stoelting RK, Hillier SC: Inhaled Anesthetics dalam Pharmacology & Physiology in
Anesthetic Practice. 4th ed, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, p 42-82.
2. McKay RE: Inhaled Anesthetics dalam Miller RD, Pardo MC, (eds): Basics of Anesthesia,
6th ed. Philadelphia, Elsevier Sounders, 2011, p 78 -98.
3. Morgan GE, Mikail MS, Murray MJ: Inhalation Anesthetic dalam Clinical
Anesthesiology, 4th ed. Lange Medical Books/McGraw Hill. 2006, p 155-178.
4. Atkinson RS, Rushman GB, Lee JA.: Inhalation Anesthetic Agents dalam Synopsis of
Anesthesia, 8th ed. Bristol, John Wright & Sons. 1977, p 176-232.
136 || Anestesiologi
OBAT ANESTESI INTRAVENA
NON NARKOTIK
Uripno Budiono
OBAT-OBAT ini biasanya dipakai untuk induksi, meskipun bisa juga dipakai untuk
pemeliharaan, selain ketamin, obat yang biasa dipakai untuk praktek anestesi adalah obat-
obat hipnotik, sedatif dan tranquiliser. Obat- obat ini bisa dipakai secara tunggal atau
kombinasi, kadang-kadang dipakai bersama narkotik dengan atau tanpa pelumpuh otot.
Idealnya obat anestesi intravena seharusnya memenuhi persyaratan:
Onsetnya cepat.
Pemulihan penderita cepat.
Menimbulkan analgesia pada dosis sub anestesi.
Menimbulkan depresi yang minimal pada cardiovasculer dan respirasi.
Tidak menimbulkan mual muntah.
Tidak menimbulkan batuk, cegukan, atau gerak-gerak involunter pada
waktu induksi.
Tidak menimbulkan eksitasi pada waktu induksi.
Tidak berinteraksi dengan obat pelumpuh otot.
Tidak menimbulkan nyeri pada tempat penyuntikan.
Tidak menimbulkan sequele pada vena.
Tidak menimbulkan efek yang merugikan bila suntikannya mengenai
arteri.
GOLONGAN BARBITURAT
Tergolong obat hipnotik sedatif, merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat
adalah hasil kondensasi antara ureum dan asam malonat. Asam barbiturat sendiri tidak
mempunyai sifat depresi pada sistem saraf pusat, tetapi dengan penambahan satu atau
beberapa radikal organik pada atom C no 5, radikal alkil pada atom N dan substitusi atom 0
dari gugus karbonil, dengan atom S pada atom C no. 2 akan menghasilkan bermacam-
macam variasi Pentothal
obat.
Struktur Umum
H— N ----------------- y C H — N ---------- C = O
V\|
i H HO ; / H H
/ /
I I XH HO H
IIH x
/\
HN H—NC=O
H - N ------ O
fvww
16 I
R1 CH CH-
0 , 2 5^-
.
: / s =j; ic 2 3
X —
34
R3- N -------C = O
R2
_ CH — CH
N --- C
23
CH-CH | 2
I \\O ChL
138 || Anestesiologi
Macam-macam Barbiturat
Barbiturat R1 R2 R3 X
Nama Dagang/ Sinonim
Allybarbituric Acid Sandoptal Allyl Isobutyl H 0
Amobarbital Amytal Ethyl Isoamyl H 0
Aprobarbital Alurate Allyl Isopropyl H 0
Barbital Veronal, Barbitone Ethyl Ethyl H 0
Butabarbital Butisol Ethyl Secbuthyl H 0
Cyclobarbital Phanodorm Ethyl Cydohexenyl H 0
Hexobarbital Evipal, Hexobarbitone Methyl Cyclohexenyl CH3 0
Kemithal Allyl Cydohexenyl H
s
Mephobarbital Mebaral Ethyl Phenyl CH3 0
Pentobarbital Nembutal Ethyl 1-methyl-butyl H 0
Phénobarbital Luminal Ethyl Phenyl H 0
Secobarbital Seconal Allyl 1-methyl-butyl H 0
Thiopental Pentothal Ethyl 1-methyl-butyl H
s
Berdasar lama kerjanya Barbiturat dibagi menjadi 4 golongan:
- Long acting (6 jam) : Barbital,
phénobarbital, mephobarbrtal,
diallyl barbituric acid.
Intermediate acting (3-6 jam) : Probarbital, amobarbital, aprobarbital,
butabarbital, butethal.
- Short acting (3 jam) :
Pentobarbital,secobarbital,cydobarbital.
Ultra short acting : Thiamylal, thiopental, Kemital, Hexo-
barbital.
Golongan ultra short acting barbiturat adalah obat yang dipakai dalam praktek
anestesi. Disini hanya akan disajikan tentang thiopental (Pentothal), karena dari barbiturat
hanya obat inilah yang biasa dipakai untuk anestesi di Indonesia khususnya di RS. Dr. Kariadi.
Pentothal/Thiopenthal Sodium/Penthio Barbital/Thiopenton
Obat hipnotik sedatif dari golongan ultra short acting dengan rumus 5 ethyl -5 (1-
methyl buthyl)-2-2 thiobarbiturat.
Obat ini tersedia dalam bentuk serbuk higroskopis, bersifat basa, berbau belerang,
larut dalam air dan alkohol. Dalam larutan hanya bertahan antara 24-48 jam, sedangkan
dalam bentuk serbuk dapat bertahan sampai 5 tahun. Sebelum dipakai obat ini dilarutkan
dalam air lebih dahulu menjadi larutan 2,5-5%.
140 || Anestesiologi
Pada orang tua, pemulihan kesadaran dan fungsi-fungsi psychomotor lebih lambat
dibanding orang muda.
Penggunaan pentothal
1. Untuk induksi anestesi sebelum digunakan obat anestesi yang lain.
2. Sebagai obat anestesi untuk tindakan/operasi-operasi yang waktunya pendek.
3. Sebagai suplement pada Regional Anestesi.
4. Sebagai suplement pada anestesi inhalasi.
5. Untuk terapi status convulsivus.
6. Untuk sedasi.
7. Untuk menurunkan metabolisme otak pada penderita yang memerlukan resusitasi
otak.
Kontra indikasi
1. Alergi barbiturat.
2. Status asthmaticus.
3. Porphyria.
4. Pericarditis constrictiva.
5. Tidak didapatnya vena yang bisa dipakai untuk menyuntik.
6. Syok.
7. Hati-hati pada anak usianya kurang dari 4 tahun karena pusat respirasi mudah
terdepresi, sementara jalan nafas sempit.
Diazepam Lorazépam
142 H Anestesiologi
Midazolam Flunitrazepam
Diazepam
Mempunyai rumus kimia 7 chloro 13 dihydro 1 metil 5 phenil 2 H-1,4 Benzodiazepin-
2. Karena tidak larut dalam air, maka obat ini dilarutkan dalam pelarut organik yang terdiri
atas propilen glikol, dan sodium bensoat, karena itu bersifat agak asam, rendahnya pH
menimbulkan rasa sakit pada penyuntikan intra vena atau intra muskuler, thrombosis dan
phlebitis dapat terjadi terutama bila disuntikkan pada vena kecil dan pada orang tua.
Sedasi biasanya terjadi 1-2 menit setelah penyuntikan intra vena. Reaksinya veriabel,
beberapa pasien dengan BB 70 kg tidak sadar sesudah mendapat 5 mg. Sementara pasien
yang lain baru timbul sesudah disuntik 1 mg/Kg BB. Premedikasi narkotik memperkuat efek
diazepam.
Di dalam darah diazepam larut dan plasma menuju ke jaringan dan menembus
bloocfbrain barrier ke otak. Metabolisme terjadi di dalam hati antara lain menjadi
desmetyl diazepam dan hydroxi diazepam yang mempunyai kekuatan lebih lemah dari
diazepam, aksinya memanjang pada penderita penyakit hati dan orang tua.
Pengeluaran/ekskresi lewat urine dalam bentuk glucoronide dan sulfat, sebagian
kedi dikeluarkan lewat empedu, selanjutnya empedu yang mengandung diazepam dapat
masuk ke dalam usus dan diabsorbsi kembali (Entero Hepatic Circulation). Diazepam
yang diabsorbsi kembali dapat menyebabkan penderita kembali tertidur. Karena itu
menjadi perhatian bagi penderita yang telah mendapat diazepam agar tidak segera
mengemudikan kendaraan atau menjalankan mesin.
144 || Anestesiologi
nilai apgar rendah pada neonatus yang dilahirkan dari ibu yang mendapat anestesi epidural
maupun spinal dan dosis kecil midazolam pre anestesi. Dari penelitian di RSUP Dr Kariadi,
Semarang Eva Susana dan Uripno (2009) pada ibu seksio dengan anestesi spinal dan
mendapat midazolam intra vena didapatkan kadar midazolam vena umbilikalis lebih rendah
dibanding kadar midazolam darah ibu dengan rasio fetomaternal 0,37 (0,08-0,51). Dari
penelitian ini juga tidak didapatkan bayi dengan nilai apgar kurang dari 7.
Metabolisme terjadi di dalam hepar. Dalam microsomal hati, mengalami hidroxylasi
menjadi a hidroksi midazolam dan 4 hidroksi midazolam, keduanya cepat mengalami
konjungasi. Dapat juga keduanya mengalami hidroksilasi lagi menjadi a hidrozi metil
midazolam, yang mempunyai efek farmakologi yang sama dan lebih lemah dari midazolam,
tetapi cepat mengalami konjungasi. Ekskresi lewat ginjal, sebagian besar dalam bentuk
glucoronid, kurang dari 1 % dalam bentuk asli.
Obat untuksurrtikan dikemas dalam ampul, ada 2 jenis ampul, ampul yang berisi 5 ml,
mengandung 5 mg midazolam, sedangkan yang berisi 3 ml mengandung 15 mg midazolam.
Dosis:
Untuk sedasi dan axiolitik 0,1 mg/kg BB im. Onset sekitar 15 menit, puncaknya
tercapai dalam 30-45 menit. Dengan dosis 1-2,5 mg iv efektif untuk sedasi pada
anestesi regional.
Untuk induksi 10-15 mg (0,1-0,4 mg/kgBB) iv, penderita akan tertidur sesudah 2-3
menit. Dari penelitian M. Id. Syatar (1998), dosis induksi per rectal pada pediatri
adalah 1 mg/kgBB.
Untuk premedikasi dewasa: 0,07-0,1 mg/kgBB.
Untuk premedikasi pediatrik:
Intra nasal : 0,2-0,3 mg/kgBB
Buccal : 0,07 mg/kgBB
Sub lingual : 0,1 mg/kgBB
Rectal : 0,5-1,0 mg/kgBB.
146 || Anestesiologi
Flumazenil adalah obat yang ditemukan tahun 1979 oleh Hun Keller dan digunakan
secara luas pada tahun 1987. Obat ini larut dalam air BM 703,3 pH 7,4 dikemas dalam
ampul 5 ml berisi 500 pg atau 1 mg dalam 10 cc disimpan pada suhu maksimal 30° C. Dapat
diencerkan dengan NaCI 0,9%, 0,45%, dextrose 5% atau dextrose 2 'A % dalam keadaan
stabil selama 24 jam.
Flumazenil bekerja dengan menempati reseptor benzodiazepine. Afinitasnya
terhadap reseptor tersebut lebih tinggi dibanding benzodiazepine.
Metabolisme terjadi di dalam hati, ekskresi 90-95 % melalui urin, 5-6 % melalui feses,
60-70 % dikeluarkan melalui urin dalam waktu 2 jam dan seluruhnya diekskresi dalam waktu
48-72 jam. Flumazenil dapat menghilangkan efek sedasi, amnesia, depresi nafas, dan
kardiovaskular dari benzodiazepine. Onset- nya cepat antara 1-2 menit. Menurut Amrien,
dkk dengan dosis 0,1-1 mg flumazenil dapat menghilangkan efek midazolam pada dosis
terapeutik. Sedangkan Laurent memberikan dengan dosis 10 mg pada dewasa muda.
Manfaat flumazenil terhadap benzodiazepine bersifat individual, ada yang
memerlukan dosis rendah, ada yang memerlukan dosis tinggi. Untuk anak dianjurkan
memakai cara titrasi mulai dengan dosis rendah (0,lmg) sampai ada respon. Tidak
ditemukan flumazenil pada air susu ibu dari ibu yang mendapat flumazenil.
Flumazenil dapat memberikan gejala withdrawl (putus obat) pada penderita yang
memakai benzodiazepine terus menerus dalam jangka lama, ditandai antara lain dengan
kejang.
Dari penelitian Heru DJ dan Kainus AC (1997) didapat bahwa 2 mg/kgBB aminofilin
maupun flumazenil 0,3 mg/kgBB dapat menghilangkan efek sedasi dari midazolam. Efek
flumazenil lebih cepat dari aminofilin, dengan dosis tersebut aminofilin mempercepat
denyut jantung sedangkan flumazenil tidak.
Propof
ol
Adalah suatu obat anestesi umum yang mempunyai rumus kimia 2,6 diisoprophyl
phenol untuk suntikan intravena. Obat ini merupakan cairan emulsi isotonikyang berwarna
putih. Emulsi ini antara lain terdiri dari gliserol, phospatid dari telur, sodium hidroksida,
minyak kedelai dan air.
Obat ini onsetnya cepat dan duration of actionnya singkat Mekanisme aksinya belum
diketahui, kemungkinan menyebabkan peningkatan aktifitas GABA dalam menghambat
neuro transmiter di SSP.
Propofol mempunyai sifat sangat larut dalam lemak, sesudah disuntikkan intra vena,
dengan cepat didistribusikan menuju jaringan, dengan mudah obat ini menembus
bloodbrain barier dan didistribusikan di jaringan otak. Obat ini dengan cepat juga dieliminasi,
metabolisme terutama terjadi di dalam hati.
Propofol glucoronide merupakan hasil metabolisme yang utama. Sebagian besar
diekskresi lewat ginjal. Kirk Patrick, dkk. mendapatkan penurunan total klirens dan distribusi
volume propofol, pada penderita usia tua. Dundee, dkk. juga telah mengamati, bahwa
kebutuhan propofol untuk induksi dan pemeliharaan anestesi berkurang pada penderita
tua.
Pada ibu hamil propofol dapat menembus placenta dan dengan cepat masuk ke
dalam janin dan menyebabkan depresi janin.
Pada sistem kardiovaskuler menyebabkan turunnya tekanan darah dan sedikit
perubahan pada nadi. Obat ini tidak mempunyai efek vagolitik, sehingga pernah dilaporkan
terjadinya bradikardi sampai asistole pada pemakaian propofol. Karena itu dianjurkan untuk
memberikan anti cholinergik sebelum pemakaian propofol, khususnya pada keadaan di
mana tonus vagal lebih dominan atau bila propofol dipakai bersama dengan obat-obat
penyebab bradikardi.
148 || Anestesiologi
Propofol menimbulkan depresi pada sistem respirasi, sering menimbulkan apnea.
Pada pemakaian secara intravena kontinyu dapat mengurangi tidal volume dan laju nafas.
Propofol juga mengurangi reflek jalan nafas atas.
Propofol menurunkan aliran darah otak, tekanan intra kranial dan metabolisme otak.
Obat ini juga menurunkan tekanan intra oculi. Propofol menyebabkan depresi respirasi.
Efek ini diperberat bila dipakai bersama dengan narkotik. Efek mual-dan muntah lebih
sedikit dibanding dengan obat inhalasi.
Propofol tidak menghambat sekresi hormon adreno kortikal dan hanya
menimbulkan sedikit pelepasan histamin. Obat ini meningkatkan terjadinya gatal-gatal yang
disebabkan oleh opiat dan penyakit hati. Pemberian obat ini mempunyai resiko terjadinya
kejang pada penderita epilepsi.
Propofol tidak direkomendasikan untuk dipakai pada anak, sedangkan pada
penderita dengan usia diatas 55 tahun dosisnya perlu dikurangi. Sebaiknya pemberian
propofol secara titrasi. Pada bayi yang masih menyusu belum diketahui keamanannya, bila
ibu yang menyusuinya mendapat propofol.
Obat ini menimbulkan rasa nyeri di tempat suntikan, terutama bila disuntikkan pada
vena kecil, untuk mengurangi rasa nyeri, dapat disuntikkan bersama obat lokal anestesi
atau memilih vena besar. Bila obat lokal anestesi yang dipakai Lidocain 1%, maka volume
lidokain yang digunakan adalah seper dua puluh volume Propofol.
Kontraindikasi : : Penderita yang alergi pada propofol.
Dosis
: - Induksi pada pasien dewasa usia kurang dari 55 tahun, antara 2-2,5
mg/kg BB.
Maintenance 4-12 mg/kg BB/jam.
- Sedasi di ICU 0,3-4mg/kg BB/jam, dimulai dengan bolus l-2mg/kg
BB.
Onset : 30-60 detik
Preparat
KETAMIN
rangsang yang diterima akan diinterpretasikan berbeda. Hal ini oleh karena ketamin
menimbulkan gangguan fungsi dan gangguan elektro fisiologi, antara thalamokortical dan
sistem limbik. Dalam hal ini pasien mengalami katalepsi, mendapat analgesi yang kuat dan
amnesia, tetapi hanya mengalami sedasi yang ringan. Pasien dapat mengalami halusinasi
dan mimpi buruk, kejadian ini lebih sering terjadi pada wanita dan orang dewasa. Kadang-
kadang pasien mengalami diplopia atau gangguan penglihatan lain, yang bertahan sampai
beberapa saat, setelah pemulihan kesadaran.
150 || Anestesiologi
Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak dan tekanan
intra kranial, karena itu berbahaya memberikan ketamin pada penderita dengan tekanan
intra kranial yang tinggi. Ketamin juga meningkatkan terjadinya kejang pada pasien-pasien
epilepsi.
Sesudah mendapatkan dosis anestesi secara intravena, 10-60 detik kemudian,
penderita menjadi tidak sadar. Reflek-reflek bulu mata, korneal dan laringeal agak
terdepresi. Tonus otot meningkat, sering terjadi gerakan otot involunter dan kadang-kadang
bersuara, meskipun pasien mengalami amnesia.
Setelah pemberian ketamin 2 mg/kg BB iv single dose, pemulihan terjadi antara 10-
15 menit kemudian. Pemulihan lebih lambat, bila pemberiannya bersama dengan
benzodiazepin, butyrophenon atau narkotik.
Pada sistem kardiovaskuler, ketamin meningkatkan tekanan darah, laju jantung dan
curah jantung. Peningkatan maksimal terjadi 2-4 menit sesudah pemberian intra vena,
kemudian dengan perlahan-lahan antara 10-20 menit akan kembali normal. Peningkatan
kardiovaskuler ini, diduga akibat eksitasi pusat simpatis. Di dalam plasma, terjadi
peningkatan kadar epinefrin dan nor epinefrin, 2 menit sesudah penyuntikan intra vena dan
kembali normal 15 menit kemudian.
Dengan adanya efek stimulasi cardiovaskuler, maka ketamin dipakai untuk induksi
pasien syok.
Pada sistem respirasi, ketamin hanya sedikit mengurangi respiratory rate. Kadang-
kadang menyebabkan apnoe pada penyuntikan iv cepat, atau pada pasien yang mendapat
narkotik. Sedang pemberian dosis kecil diazepam (0,2 mg/kg/BB) hanya menimbulkan
sedikit pengaruh pada respirasi, tetapi dengan dosis tinggi akan menimbulkan depresi nafas.
Reflek-reflek dan tonus otot jalan nafas atas, biasanya masih aktif. Sekresi kelenjar
tracheo bronkhial dan saliva meningkat, efek ini bisa dihambat dengan obat-obat anti
sekresi. Ketamin mempunyai sifat melebarkan bronkus dan dapat menjadi antagonis
broncho konstriktor akibat histamin. Karena itu ketamin dapat dipakai untuk penderita
asthma bronchiale. Obat ini menimbulkan nausea dan vomitus. Ketamin tidak
menimbulkan perubahan yang signifikan pada test faal hati dan test faal ginjal. Ketamin
dapat menembus barier placenta dan meningkatkan tonus otot janin, tetapi tidak
menurunkan tonus uterus. Pengaruh pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat
ketamin untuk analgesi persalinan tergantung dosisnya. Pada dosis yang tinggi
menyebabkan depresi, di sini angka kejadian bayi dengan Apgar Score rendah tinggi. Tetapi
dengan dosis 0,2-0,5 mg/kg BB, tidak menyebabkan depresi bayi.
152 || Anestesiologi
Preemptif Analgesi : 0,15-0,25 mg/kgBB iv
Maintenance : 15-45 pg/KgBB/menit dengan 50-70% N20
3
0
-
:910-60 detik :
3-20
0 menit
|ig/KgBB/menit tanpa N20
Onset:
IV
IM
Preparat:
Biasanya dikemas dalam flacon berisi 10 cc larutan ada yang tiap cc mengandung 50 mg dan
ada yang 100 mg.
ETOMIDAT
Adalah suatu imidazol karboksilat yang larut dalam air pada pH asam dan larut dalam
lipid pada pH fisiologis. Disintesis sejak tahun 1964 dan digunakan dalam praktek sejak
tahun 1972. Hanya bentuk dekstro isomer yang dapat menimbulkan sedatif. Tidak
mempunyai khasiat analgetik.
O
N
CH3 C
Pada pH netral tidak larut dalam air, karena itu perlu ditambah zat pelarut, pada saat
ini etomidat dikemas dalam larutan 0,2 % dengan 35 % propilen glikol yang menimbulkan
nyeri pada penyuntikan dan kadang-kadang menimbulkan iritasi vena, larutan ini
mempunyai pH 6,9 osmolalitasnya 4,64.
Etomidat digunakan untuk induksi anestesi, pemeliharaan anestesi dan sedasi pada
pasien kritis.
Onsetnya cepat, aksi kerjanya singkat. Dosis untuk induksi dapat dikurangi dengan
memberikan premedikasi benzodiazepin, opiat atau barbiturat. Pada anak induksi dapat
diberikan melalui rektal dengan dosis 6,5 mg/kg BB, pada induksi ini hipnosis terjadi dalam
waktu 4 menit dan tidak menimbulkan perubahan hemodinamik yang berarti, pemulihan
kesadarannya terjadi dengan cepat.
DEKSMEDETOMIDIN
Adalah obat a2 agonis selektif yang mempunyai sifat sedatif. Obat ini mulai digunakan
pada manusia pada tahun 1999. Pemakaian obat ini dalam anestesi didasari dari
menurunnya kebutuhan obat anestesi bagi pasien- pasien yang mendapat terapi kronis
dengan klonidin (termasuk golongan a-2 agonis).
Gambar
Rumus Bangun Deksmedetomidin
154 || Anestesiologi
pembedahan, menyebabkan sedasi dan axiofysis sesuai dengan dosis yang diberikan.
Mempunyai sifat opioid sparing effect yang tidak menyebabkan depresi nafas tetapi pada
dosis yang berlebihan dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Pengaruhnya pada sistem
respirasi yang lain adalah menimbulkan penurunan ringan sampai sedang pada volume tidal
tetapi frekuensi nafas hanya mengalami sangat sedikit perubahan. Respon ventilasi
terhadap kadar C02 tidak mengalami perubahan.
Pada sistem kardiovaskuler pada pemberian secara infus obat ini menurunkan laju
jantung dan tahanan vaskuler sistemik sehingga terjadi penurunan tekanan darah.
Pemberian secara bolus dapat menyebabkan meningkatnya tekanan darah dan penurunan
laju jantung yang bersifat sementara, mungkin akibat dari aktivasi reseptor a adrenergik
perifer. Bradikardi yang ditimbulkan oleh deksmedetomidin intra vena perlu diberi terapi.
Pernah terjadi heart block, bradikardi berat dan asistole, merupakan akibat dari stimulasi
vagal. Respon pada obat-obat antikolinergik pada penderita yang mendapat
deksmedetomidin tidak mengalami perubahan.
Obat ini dipakai untuk sedasi pada regional anestesi, pada intubasi sadar,
memasukkan alat fiberoptic ke dalam trakea dalam keadaan sadar, untuk suplement pada
anestesi umum dengan maksud untuk menurunkan kebutuhan obat-obat inhalasi atau
intravena.
Keuntungan pasien yang menerima obat ini, pada periode post anestesi adalah
mendapat manfaat analgesi dan sedasi tanpa terjadi depresi respirasi.
Penghentian obat ini setelah pemakaian lama menimbulkan withdrawl phenomenon
seperti klonidin, karena itu obat ini hanya dipakai untuk sedasi pada pasien-pasien
terintubasi atau memakai ventilasi mekanik kurang dari 24 jam.
Tatang Bisri (2002) berpendapat bahwa deksmedetomidin merupakan obat pilihan
utama untuk sedasi dan analgesi di ICU bagi pasien-pasien bedah syaraf karena
menurunkan aliran darah otak, menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan
tekanan perfusi otak, mempunyai efek proteksi otak dan memudahkan evaluasi neurologis
karena pasien dapat dibangunkan. Respon ventilasi terhadap kadar C02 tidak mengalami
perubahan.
Penelitian Sofyan Harahap (2009) pada hewan coba model cedera otak,
membuktikan bahwa Deksmedetomidin mempunyai peranan sebagai protektor otak
karena dapat mengurangi proses inflamasi, antara lain mengurangi pelepasan sitokin pro
inflamasi (inter Leukin G/IL-G) dan menurunkan Cox-2 (siklooksigenase).
Dosis awal 1 p/kgBB iv disuntikkan sekitar 10 menit, untuk pemeliharaan adalah 0,2-
0,7 p/kgBB/jam. Onsetnya cepat. Pada pasien-pasien dengan gangguan hepar atau ginjal
dosisnya perlu dikurangi.
Karena bersifat sinergis dengan sedatif atau hipnotik maka obat anestesi atau
hipnotik perlu dikurangi dosisnya.
Untuk premedikasi dapat dipakai sebagai obat tunggal karena mempunyai sifat
ansiolitik, analgetik dan simpatolitik. Efek analgesi terjadi pada dosis lebih dari 0,5 p/kgBB.
Dari penelitian Adhy Sugiharto dan Ery Leksana (2004) dengan dosis 0,6 p/kgBB obat ini
Obat-obat ini tidak beredar di Indonesia. Obat-obat tersebut antara lain: Propanidid : Adalah
eugenol dari minyak cengkeh dan minyak daun cinamoni (kayu manis) banyak digunakan di
Eropa tapi tidak digunakan di Amerika Serikat. Mulai digunakan pada tahun 1964, durasi of
actionnya pendek karena cepat dimetabolisir oleh cholinesterase. Menimbulkan nausea,
vomitus, gerakan otot dan reaksi anafilaktoid. Chlemophor diperkenalkan pada tahun 1972,
dipakai di Inggris tetapi tidak dipakai di AS. Obat ini sudah tidak dipakai karena adanya
sejumlah laporan adanya efek merugikan.
Althesin : Termasuk golongan steroid yang terdiri campuran 2 steroid yaitu Alphaxolon dan
Alphadolon acetat. Obat ini dilarutkan dalam Chremophor. Dipakai di
Inggris tetapi tidak dipakai di AS.
156 || Anestesiologi
Diperkenalkan tahun 1972, kemudian obat ini tidak dipakai karena
adanya sejumlah laporan tentang terjadinya efek yang merugikan.
Minaxolon Termasuk golongan steroid yang larut dalam air, karena larut dalam air
maka mempunyai prospek yang lebih baik dibandingkan dengan
Althesin.
Metohexital : Adalah golongan barbiturat, lebih kuat dari pentothal dan pemulihannya
lebih cepat. Banyak dipakai di Inggris.
Kemithal : Termasuk golongan barbiturat.[j
1. Reves JG, Glass PSA, Lubarsky DA, McEvoy MD: Intravenous Non Opioid Anesthetics,
dalam Miller RD (eds): Miller's Anesthesia, 6th ed. Philadelphia, Elsevier Churchill
Livingstone, 2005. p 317-362.
2. Stoelting RK, Hillier SC: Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice, 4th ed.
Philadelphia. Lippincott William & Wilkins, 2006, p 127-178.
3. Eilers H: Intravenous Anesthetics dalam Miller RD, Pardo MC, (eds): Basics of
Anesthesia. 6th ed. Philadelphia, Elsevior Sounders, 2011, p 99- 114.
4. Morgan GE, Mikail MS, Murray MJ: Non Volatile Anesthetic Agents dalam Clinical
Anesthesiology, 4th ed. New York, Lange Medical Book Me Graw-Hill. 2006, p 179-
204.
5. Stanley TH: Pharmacology of Intravenous Non Narcotic Anesthetics dalam Miller RD
(eds): Anesthesia, New York, Churchill Livingstone, 198, p 451-476.
158 || Anestesiologi
BAB VIII
WALAUPUN bukan obat tidur dan tidak berkhasiat analgesi, tetapi dalam praktek
anestesi modern maupun terapi intensif, obat ini telah digunakan secara luas. Pada saat ini,
hampir semua tindakan anestesi umum, menggunakan obat pelumpuh otot.
Asal mula penggunaan obat ini berdasar pendapat Griffith dan Jonsson (1942) bahwa
6- tubokurarin adalah obat pelumpuh otot yang aman digunakan untuk membuat relaksasi
otot selama pembedahan. Setahun kemudian Cullen menguraikan penggunaan curare
pada anestesi cydopropane untuk pembedahan abdomen pada 131 pasien. Tetapi Beecher
dan Todd (1952) melaporkan bahwa pada penggunaan tubokurarin menimbulkan
kematian 6 kali lipat dibandingkan dengan yang tidak menggunakannya.
Hal ini disebabkan oleh pengetahuan tentang blok neuromuskuler yang belum
memadai. Selanjutnya angka kematian bisa diturunkan setelah farmakologi pelumpuh otot
dipahami, dilakukan monitoring yang baik dan antisipasi yang tepat.
Penggunaan pelumpuh otot makin populer dengan ditemukannya obat- obat baru
dengan berbagai sifat, sehingga memungkinkan dilakukan pemilihan sesuai dengan kondisi
pasien.
Pada dosis tertentu obat ini menimbulkan relaksasi atau kelumpuhan otot termasuk
otot-otot pernafasan sehingga penderita tidak dapat bernafas. Karena itu, pelumpuh otot
harus diberikan oleh orang yang terlatih mengelola jalan nafas.
Selama kelumpuhan otot-otot pernafasan, pita suara juga membuka sehingga
memudahkan untuk tindakan intubasi, peristaltik dan gerakan usus juga berhenti sehingga
memudahkan operasi pada rongga perut.
Karena mekanisme kerja obat golongan ini menghambat transmisi neuro muskuler,
maka lebih dulu kita bicarakan mulai dari fisiologi transmisi neuro muskuler.
160 || Anestesiologi
PENGGOLONGAN MUSCLE RELAXANT
Berdasarkan cara kerjanya muscle relaxant dibagi dalam 2 golongan:
1. Golongan depolarizing: (Succinyl cholin/suxamethonium).
2. Golongan non depolarizing: (D tubocurarine, Pancuronium bromide, Galamin,
Alcuronium, Atracurium, Vecuronium, Mivacurium).
Berdasarkan lama kerjanya (duration of action) dibagi dalam 4 golongan:
1. Ultra short acting (Succinnyl choline).
2. Short acting (Mivacurium).
3. Intermediate acting (Atracurium, Cisatracurium, Rocuronium, Vecuronium).
4. Long acting (Pancuronium, Doxacurium, D-tubocurarine, Galamin dan Alcuronium).
TUBOKURARIN
162 || Anestesiologi
Adalah alkaloid derivat iso quinolin dari tanaman chondro dendron tomentosum,
yang banyak tumbuh di Amazon, dulu dipakai sebagai racun panah orang Indian.
Pada dosis terapetik akan menimbulkan paralisa otot mulai ptosis, diplopia (karena
relaksasi otot mata), relaksasi otot wajah, rahang, leher dan ekstremitas, kemudian otot
dinding abdomen, interkostal dan seterusnya diafragma, maka terjadilah kelumpuhan
pernapasan, sehingga penderita apnoe. Lama paralise bervariasi antara 15-50 menit.
Umumnya diberikan secara i.v, meskipun dapat diberikan secara i.m subkutan, sub
lingual, per rektum dan intra peritoneal.
Kira-kira 60 % berikatan dengan albumin dan 24 % dengan globulin ekskresi terutama
melalui ginjal, sebagian melalui empedu.
Eliminasi sebagian besar melalui ginjal (80%) dan sebagian kecil (20%) melalui hepar.
Karena itu tidak dapat digunakan pada pasien dengan gagal ginjal.
Hipotensi dan bradikardi dapat terjadi akibat pengaruh pada ganglion para simpatik
yang lebih kuat daripada simpatik. Hipotensi juga disebabkan oleh sifat tubo kurarin yang
menyebabkan pelepasan histamin.
ALKURONIUM KLORIDA
Disintese dari Toxiferin, alkaloid dari tanaman strychnos toxifera. Tidak menimbulkan
pelepasan histamin tetapi sedikit menaikkan tekanan darah dan nadi karena menghambat
ganglion sinaptik. Ekskresi melalui ginjal dan hati
Dosis : 0,25-0,3 mg/kg BB untuk intubasi.
0, 15-0,2 mg/kg BB untuk relaksasi.
0,05-0,1 mg/kg BB untuk maintenance.
Onset : 3 menit (untuk dosis intubasi).
Durasi : Dosis intubasi 60-120 menit.
Dosis relaksasi 40-60 menit.
164 H Anestesiologi
PANCURONIUM BROMIDE
Merupakan steroid sintetis dan dikemas dalam ampul yang berisi 2 ml dan tiap ml
mengandung 2 mg.
Di dalam darah 53 % terikat globulin dan 34 % dengan albumin dan 13 % tidak terikat.
Ekskresi sebagian besar melalui ginjal (85%), sebagian melalui empedu (15%).
Selain dapat menyebabkan sedikit pelepasan histamin, obat ini juga menyebabkan
pelepasan nor adrenalin dan blokade vagal, sehingga mempercepat denyut jantung, tetapi
hanya kadang-kadang meningkatkan tekanan darah.
Dosis : Osis intubasi :0,08-0,12mg/kgBB, durasi 60-120 menit.
Dosis relaxasi : 0,05-0,06 mg/kgBB, durasi 30-60 menit.
Maintenance : 0,01-0,0015mg/kgBB.
Onset : 2-3 menit (dengan dosis intubasi).
ROCURONIUM
Rocuronium adalah pelumpuh otot non depolarisasi turunan aminosteroid. Onsetnya
cepat, dengan dosis 0,6 mg/kgBB dalam waktu 1 menit sudah dapat dilakukan intubasi
dengan baik dan mulus, tetapi paralise otot yang adekuat untuk berbagai macam operasi,
baru dicapai dalam waktu 2 menit. Hal ini disebabkan karena paralisis otot laring lebih cepat
terjadi dibandingkan paralisis otot adductor pollicis.
Rocuronium tidak menimbulkan pelepasan histamin. Rocuronium sedikit
menimbulkan perubahan kardiovaskuler pada pasien sehat. Perubahan ini disebabkan oleh
efek vagolitik atau rasa nyeri akibat penyuntikan rocuronium. Karena bersifat vagolitik,
rocuronium baik digunakan untuk operasi yang memerlukan stimulasi vagal misalnya
operasi mata atau laparoskopi. Sebagian besar eliminasi terjadi di hepar, sebagian kecil di
ginjal. Karena itu efeknya akan memanjang pada penderita penyakit hepar.
ATRACURIUM BESYLATE
Berasal dari tanaman Leontice Leonto 2,5 ml. Tiap ml mengandung lOmg atracurium
dan menyerupai Benzil isoquinolin. Kemasan dalam ampul berisi 5 cc dan mengandung 10
mg tiap ml. Harus disimpan dalam suhu yang dingin dan terlindung dari cahaya.
Metabolisme terjadi di dalam darah melalui reaksi kimia yang disebut Eliminasi
Hoffman dan hidrolisis ester non spesifik, sehingga tidak tergantung dari fungsi hati dan
ginjal. Karena itu merupakan obat pilihan untuk penderita dengan gangguan faal hati dan
ginjal. Obat ini juga tidak menyebabkan perubahan kardiovaskuler yang bermakna, maka
dapat dipakai untuk penderita penyakit jantung.
Dosis : 0,5-0,6 mg/kg BB untuk intubasi, durasi 30-45 menit.
VECURONIUM
Merupakan homolog pancuronium dengan masa kerja yang singkat. Tidak
mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan
kardiovaskular dan tidak menyebabkan pelepasan histamin.
Tingginya lipid solubility menyebabkan vecuronium mudah masuk ke dalam
hepatocyt dan mengalami deacetylasi. Sifatnya yang lipid solubility ini juga mempermudah
ekskresinya melalui empedu, selain di ekskresi lewat empedu (50-60%), kira-kira 40-50% di
ekskresi melalui ginjal. Hasil metabolik vecuronium (3-desasetil vecuronium) mempunyai
potensi 80% vecuronium. Pada pasien dengan gagal ginjal akan terjadi akumulasi dengan
hasil metabolik ini yang menyebabkan terjadinya blokade neuromuskuleryang memanjang.
Pada anak usia < 1 tahun di mana fungsi hati dan ginjal belum optimal dan pada
orang tua, di mana fungsi hati dan ginjal menurun, maka durasi vecuronium memanjang.
Dosis 0,1-0,2 mg/kg BB untuk intubasi, durasi : 45-90 menit.
0,03- 0,04 mg/kgBB untuk relaksasi, durasi : 25-40 menit. 0,01-0,02 untuk
maintenance.
Onset : 1,5-3 menit (dengan dosis intubasi).
ANTI KOLIN ESTERASE
Yaitu obat yang menghambat kerja kolin esterase, sehingga hidrolisa asetil kolin
dihambat, akibatnya jumlah asetil kolin meningkat. Karena sifatnya dapat memperbanyak
asetil kolin, maka akan terlihat efek muskarinik dan nikotinik setelah pemberian obat ini.
Efek muskarinik yaitu efek terhadap otot polos dan kelenjar sedang efek nikotinik
yaitu efek terhadap otot rangka dan ganglion.
Efek muskarinik antara lain adalah meningkatnya sekresi kelenjar eksokrin seperti
keringat, bronkus, air mata, lambung & usus.
Otot polos bronkus mengalami konstriksi sampai bronko spasme, peristaltik usus dan
ureter meningkat vesika urinaria berkontraksi, pembuluh darah perifer vasodilatasi, pada
jantung menyebabkan bradikardi, pada mata menyebabkan miosis.
Efek nikotinik pada ganglion, merangsang pada dosis rendah dan menghambat pada
dosis tinggi. Pada otot rangka menyebabkan perangsangan otot rangka.
Ada dua golongan kolin esterase yaitu:
1. Yang bekerja secara irreversible:
166 || Anestesiologi
DFP (Diisoprofil fluoro phosphat).
Gas perang: sarin, tabun.
Insektisida fosfat ester malathion, parathion, TEPP (Tetra Ethyl Pyro Phosphate),
HEPP (Hexa Ethyl Pyro Phosphate).
2. Yang bekerja secara reversible:
Edrophonium.
Physostigmin.
Neostigmin/Prostigmin.
Di bidang anestesi yang digunakan adalah edrophonium & prostigmin, sedang
physostigmin dipakai sebagai obat tetes mata agar terjadi miosis. Di Bagian Anestesi dan
Terapi Intensif RSUP. Dr. Kariadi yang dipakai adalah prostigmin.
PROSTIGMIN/NEOSTIGMIN
Di dalam tubuh akan mengalami hidrolisa, 1 mg prostigmin dihidrolisa dalam waktu 2
jam setelah suntikan subkutan. Ekskresi melalui urin dalam bentuk metabolitnya. Dalam
anestesi dipakai untuk me-reverse penderita yang mendapat pelumpuh otot non
depolarisasi.
Efek muskarinik yang ditimbulkan (antara lain bradikardi) di netralisir dengan obat
anti kolinergik (parasimpatolitik) yaitu sulfas atropin. Sebagai pedoman:
1. Bila denyut nadi kurang dari 100/menit penderita diberi sulfan afropin lebih dulu
sampai nadi meningkat menjadi 100 kemudian diberi prostigmin.
2. Bila nadi lebih dari 100/menit sulfas atropin dan prostigmin dicampur dalam satu
spuit.
Dosis : 0,06 mg/kgBB.[]
168 || Anestesiologi
BAB IX
NARKOTIK ANALGETIK
Uripno Budiono
NARKOTIK yang sudah dikenal sejak jaman dulu adalah OPIUM atau CANDU. Zat ini
adalah getah papaver somniferum kering. Dari getah ini dapat diisolasi 20 macam alkaloid
antara lain morfin (1803), kodein (1831) dan thebain (1848).
Alkaloid ini dibedakan menjadi 2 golongan yaitu derivat fenantren dan derivat benzil
iso kinolin. Termasuk derivat fenantren antara lain morfin, kodein dan thebain. Golongan ini
mempunyai sifat narkotik analgetik. Sedang yang termasuk derivat benzil iso kinolin tidak
mempunyai sifat narkotik antara lain papaverin dan noskapin.
Narkotik analgetik mempunyai sifat analgetik yang kuat sehingga dipakai untuk
menghilangkan nyeri. Di dalam anestesi obat-obat ini dipakai untuk premedikasi, analgetik
durante operasi maupun pasca operasi.
Salah satu kekurangan obat ini adalah timbulnya adiksi pada pasien, karena itu terus
dilakukan penelitian-penelitian untuk mencari obat yang kekuatannya setara narkotik tetapi
tidak menimbulkan adiksi.
Narkotik analgetik dapat dibedakan dalam 3 golongan yaitu narkotik alami, narkotik
semi sintetis dan narkotik sintetis(lihat tabel).
Narkotik alami : Morfin, codein, thebain.
Narkotik semi sintetis : Heroin, dihidro morphon (morphinon), derivat
thebain (eterphin, buprenorfin).
Narkotik sintetis : Morphinan: levorphanol,butorophanol.
Struktur kimia morfin telah ditetapkan oleh Gulland dan Robinson (1925). Struktur ini
telah dibuktikan oleh Gates dan Tschudi (1952), sehingga morfin dapat dibuat secara
sintetis. Seperti terlihat pada gambar, morfin mempunyai inti fenantren. Aksi narkotik
tergantung dari cincin nitrogen, bila cincin ini terbuka, sifat narkotiknya hilang.
Ri dan R2 morfin adalah atom H', sehingga terbentuk gugus OH. Pada Ri gugus OH
bersifat fenol sehingga disebut gugus fenolin, sedang pada R2 gugus disebut gugus alkoholik
karena bersifat alkohol. Adanya gugus OH fenolik bebas menyebabkan terjadinya efek
analgetik, hipnotik, depresi pernapasan, obstipasi, meningkatnya tonus otot polos usus dan
bronkhus, spasme ureter dan biliaris. Gugus OH alkoholik bebas mempunyai efek
berlawanan dengan efek depresi dari gugus OH fenolik. Gugus ini menimbulkan efek
stimulasi sentral dan mempunyai efek emetik.
Narkotik semi sintetis dibuat dengan mengubah atom pada Ri dan R2 dari alkaloid
derivat fenantren. Khasiat farmakologi secara kualitatif sama dengan morfin tetapi secara
kuantitatif berbeda. Penambahan pada R2
170 || Anestesiologi
menyebabkan berkurangnya efek analgetik, depresi pernapasan, dan spasmolitik usus
tetapi memperkuat stimulasi sistem saraf pusat (SSP). Penambahan pada R2 menyebabkan
bertambahnya efek depresi pernapasan dan analgetik. Penambahan pada Ri dan R2
sekaligus menyebabkan efek konvulsi bertambah, tetapi efek emetik berkurang.
MORFIN
Sejak dulu dipakai untuk mengurangi nyeri dan membebaskan dari rasa cemas. Obat
ini umumnya diberikan secara subkutan, intra muskular, atau intra vena. Dosisnya harus
mempertimbangkan umur dan faktor yang mempengaruhi metabolismenya. Umumnya
tidak melebihi 0,2 mg/kgBB. Untuk mengatasi nyeri pada orang dewasa dengan berat
badan 70 kg dosisnya 10 mg. Pemberian morfin sebelum timbul rasa nyeri lebih efektif
dibandingkan sesudah terjadi nyeri. Pemberian sebelum anestesi dapat menunda timbul-
nya nyeri post operatif.
Dosis yang digunakan untuk pembedahan adalah:
Pria dewasa (70 kg) : 10 mg
Wanita dewasa (60Kg) : 8 mg (kira-kira 75% pria)
Jika dosis melebihi 15 mg jangan diberikan sekaligus. Untuk anak-anak dosis harus
dikurangi.
Absorbsi morfin dalam traktus digestivus jelek dan sulit diprediksi, karena itu dosis
oral 4-6 kali dosis sub kutan (dosis oral 40-60 mg setara dengan lOmg subkutan). Morfin
dapat diberikan per rektal secara suppositoria. Absorbsi setelah pemberian subkutan
bervariasi karena tergantung dari sirkulasi setempat. Pemberian morfin yang terpilih adalah
secara intravena.
Sesudah diabsorbsi morfin didistribusikan ke semua jaringan parenkhimatosus.
Konsentrasinya dalam tulang lebih rendah dari pada dalam jaringan lain. Meskipun
mempunyai site of action adalah SSP tetapi hanya dalam jumlah kecil yang menembus
blood brain barrier.
Di dalam darah sekitar 6% terikat dengan protein, dan diantaranya 80- 90% berikatan
dengan albumin dan lainnya dengan globulin. Ikatan dengan protein meningkat pada pasien
adiksi dan menurun pada pasien gagal ginjal dan hepar.
Morfin dimetabolisir hampir sempurna di dalam hepar oleh enzim glucoronil
transferase menjadi bentuk glucoronid yang mudah larut dalam air. Sekitar 10% mengalami
demetilasi membentuk nor morfin yang inaktif.
Eliminasi melalui urin 85% dalam bentuk glucoronid, 5% nor morfin dan 5% dalam
bentuk morfin yang tidak berubah. Sekitar 8% morfin glucoronid tereliminasi lewat empedu.
Metabolisme ekstra hepatal sering terjadi di dalam ginjal. Eliminasi pada bayi berjalan
lambat, bayi yang lebih muda lebih lambat eliminasinya dibanding dengan bayi yang lebih
tua.
172 || Anestesiologi
darah khususnya bila diberikan secara intravena. Morfin menurunkan kerja jantung
dan menurunkan kebutuhan oksigen pada otot jantung.
Pada sistem endokrin, morfin menimbulkan stimulasi hipofisis posterior dan medula
adrenalis sehingga meningkatkan hormon ADH dan naiknya katekolamin. Gula darah
dapat meningkat akibat terjadinya glukoneogenesis. Morfin dapat menimbulkan
gatal-gatal khususnya pada hidung, mulut dan bibir. Kejadian ini lebih banyak terjadi
pada wanita. Keadaan ini disebabkan reflek enkephalinergik, bukan karena pelepasan
histamin dan dapat diatasi dengan pemberian nalokson.
MEPERIDIN/PETHIDIN
FENTANIL
Merupakan opioid agonis turunan fenil piperidin. Potensi analgesinya antara 75-125
kali lebih kuat dibanding morfin. Pada balans anestesi, fentanil diberikan dengan loading
dose 2-8 pg/kgBB dilanjutkan dengan infus kontinyu 0,5-3 pg/kgBB/jam. Sebagai obat
tunggal untuk menimbulkan surgikal anestesia diperlukan dosis 50-150 pg/kgBB iv. Dengan
dosis 2-10 pg iv dipakai untuk mencegah gejolak kardiovaskuler pada tindakan laringoskopi
intubasi.
Fentanil bekerja pada talamus, hipotalamus sistem retikuler dan neuron- neuronnya.
Dengan demikian rangsang sakit tidak dapat mencapai daerah kortikal. Blokade terhadap
rangsang sakit, somatik dan viseral berhubungan dengan blokade fentanil pada
mesenchephalon.
Pada pemberian intravena, mula kerja 30 detik dan mencapai puncak dalam waktu 5
menit, kemudian menurun dengan cepat dalam waktu 5 menit pertama kadarnya
berkurang sampai 20%, selanjutnya relatif menurun dengan lambat selama 10 sampai 20
menit. Kelarutannya dalam lemak tinggi sehingga mudah melewati sawar otak.
174 || Anestesiologi
Fentanil dimetabolisir di hepar dengan cara dealkilasi hidroksilasi dan hidrolisa amida
menjadi metabolit tidak aktif meliputi nor fentanil dan des propionil nor fentanil. Kemudian
diekskresi melalui empedu dan urin. Di dalam feses dan urin, 72 jam sesudah pemberian
sebagian besar di dapat dalam bentuk metabolit dan 8% dalam bentuk asli. Waktu paruh
eliminasi 185-219 menit. Ikatan dengan protein 79-87, volume distribusi 3,2-5,9 l/kg, klirens
10- 20 ml/kg/menit. Durasi pada orang tua memanjang karena penurunan klirens, aliran
darah hepar, aktivitas enzim dan produksi albumin.
Fentanil menyebabkan ketergantungan, euforia, perlambatan EKG, miosis, mual dan
muntah yang tergantung pada dosis.
Efek terhadap jantung minimal meskipun laju jantung dapat menurun akibat efek
vagal dan depresi nodus SA dan AV. Pemberian atropin sulfat dapat menurunkan kejadian
bradikardi, karena itu dianjurkan pemberiannya pada penggunaan dosis tinggi.
Dengan dosis 10 g/kgBB menurunkan 32% kebutuhan oksigen otot jantung, sehingga
menguntungkan pada penderita kerusakan otot jantung dan insufisiensi koroner.
Fentanil menyebabkan depresi respirasi dan kekakuan otot rangka khususnya otot
thorak, abdomen dan ekstremitas terutama pada pemberian intravena cepat. Mekanisme
kekakuan otot belum jelas tetapi bukan karena efek langsung pada otot, bukan karena efek
pada konduksi neuromuskuler maupun peningkatan kreatin kinase. Diduga kekakuan ini
karena aktifitas sentral antara lain agonis pada reseptor p.
Depresi nafas dipengaruhi beberapa faktor antara lain dosis, cara pemberian, tingkat
kesadaran penderita dan obat-obat lain yang diberikan. Umumnya dengan dosis 1-3 g/kgBB
tidak menimbulkan depresi nafas, depresi nafas terjadi pada pemberian 200 intravena. Pada
penggunaan berulang- ulang depresi nafas terjadi sekunder karena akumulasi.
Depresi nafas sering menjadi masalah pada periode pasca bedah, mekanismenya
belum jelas, diduga terjadi akibat sequesterasi fentanil dalam asam lambung (ion trapping).
Sequesterasi fentanil kemudian diabsorpsi dari usus halus yang lebih bersifat alkalis ke
dalam sirkulasi, selanjutnya meningkatkan konsentrasi opioid dalam plasma dan
menyebabkan depresi nafas.
Fentanil tidak mempengaruhi aliran darah paru dan hepar. Meningkatkan tekanan
intra bilier dengan singkat. Fentanil tidak menyebabkan pelepasan histamin.
Obat ini disintese dari narkotik dengan merubah radikal yang berikatan dengan
nitrogen. Obat-obat tersebut antara lain nalokson, naltrekson, dan nalmefen.
Obat tersebut dipakai untuk terapi depresi ventilasi pasca operasi akibat agonis
opioid, depresi ventilasi neonatus akibat ibunya memakai opioid, pengobatan over dosis
narkotik dan deteksi adanya ketergantungan narkotik.
176 || Anestesiologi
NALOKSON
Nalokson adalah antagonist opiat semi sintetis derivat dari thebain dengan rumus
kimia N-alkyl-nor oxymorphone. Obat ini tidak menimbulkan adiksi dan tidak menimbulkan
toleransi bila dipergunakan dalam jangka panjang. Obat ini mempunyai aksi pada reseptor ,
K, 5 SSP dengan affinitas terkuatnya pada reseptor .
Onset pada pemberian intravena antara 1-2 menit, pada pemberian intramuskuler
atau subkutan sekitar 2- 5 menit. Masa kerja pada pemberian intravena antara 30-45
menit. Pada pemberian intramuskuler lebih panjang. Pada pemberian oral dengan cepat
akan mengalami inaktivasi sehingga diperlukan dosis tinggi.
Sesudah disuntikkan cepat didistribusikan ke dalam jaringan antara lain otak, ginjal,
limpa, paru, jantung, dan otot rangka. Obat ini juga mudah melintasi plasenta masuk ke
dalam janin. Waktu paruh plasma pada dewasa antara 60-90 menit, pada neonatus sekitar
3 jam.
Metabolisme di dalam hepar, yaitu konjugasi dengan glukoronid, N dealkilasi dan
reduksi diikuti konjugasi. Hasil metabolit terbesar adalah naloxon-3- glukoronid dan sekitar
25-40% dari pemakaian oral atau parenteral diekskresi sebagai metabolit dalam urin, sekitar
50% dalam 24 jam dan 60-70% dalam 72 jam
Dosis awal untuk terapi depresi pernafasan pasca operasi akibat agonis opiat untuk
dewasa adalah 0,1-0,2 mg intravena dan 0,005-0,1 mg intravena untuk anak. Seterusnya
diulangi dalam interval waktu antara 2-3 menit sampai didapatkan respon yang
dikehendaki.
Karena masa kerja nalokson yang singkat maka kadang-kadang perlu beberapa kali
diberikan nalokson ulang, khususnya untuk mengatasi opioid dengan masa kerja yang
panjang. Dapat juga diberikan infus kontinyu larutan naloxon dalam NaCL 0,9% atau
dekstrose 5% dengan konsentrasi 4 g/cc kecepatannya 5 g/kgBB/jam.
Neonatus asfiksi akibat opiat diterapi dengan dosis awal 0,01 mg melalui vena
umbilikalis. Selanjutnya diberikan dalam interval 2-3 menit sampai didapatkan respon.
Penderita over dosis opiat diberikan dosis awal 0,4-2 mg nalokson intravena,
dilanjutkan setiap 2-3 menit sesuai kebutuhan. Bila total pemberian sudah mencapai 10 mg
tetapi belum ada respon maka perlu dicari penyebab depresi pernafasan yang lain.
Hal yang tidak dapat dielakkan dari penggunaan nalokson adalah seiring dengan
kembalinya fungsi pernafasan efek analgesi dari opioid juga berkurang,
NALTREKSON
Naltrekson dalah antagonis opiat semi sintetis derivat dari thebain dengan rumus
kimia N-cycloprophyl methyl normorprone. Sama dengan nalokson obat ini juga
mempunyai aksi pada reseptor , K dan 6 SSP dengan afinitas terkuat pada reseptor .
Perbedaannya dengan nalokson obat ini mempunyai masa kerja yang panjang dan efektif
diberikan peroral. Onset sesudah pemberian peroral antara 15-30 menit. Pemberian oral
dosis tunggal dalam plasma kadarnya bertahan konstan selama 24 jam.
Setelah pemberian, naltrekson cepat didistribusikan ke seluruh tubuh.
Metabolismenya terjadi di dalam hepar, 6-ketogrup naltrekson direduksi menjadi 6-15
naltrexol yang mempunyai sifat antagonis opiat. Selain itu juga dipengaruhi cathecol-o-
methyl transferase menjadi 2-hydroxy-3-metroxy-6-(i naltrexol dan 2-hydroxy-3-metroxy
naltrekson. Seterusnya mengalami konjugasi dengan glucoronid. Ekskresi naltrekson dan
hasil metabolismenya melalui urin.
Penggunaan naltrekson sama dengan nalokson, untuk mengatasi efek depresi nafas
dari narkotik. Naltrekson baik digunakan untuk pemeliharaan penghentian kecanduan
narkotik setelah dilakukan detoksifikasi. Dosisnya 50- 100 mg oral perhari.
Untuk mengurangi terjadinya pruritus, mual, dan muntah pada tindakan epidural
dengan morfin dapat diberikan 5-10 mg naltrekson oral, dengan dosis ini efek analgesi
masih adekuat.
Efek pada kardiovaskuler sama dengan nalokson. Pada penggunaan kronis
didapatkan 10% penderita mengalami gastrointestinal distress. Obat ini dapat
menyebabkan terjadinya tanda dan gejala opiat withdrawl dari ringan sampai berat pada
penderita kecanduan narkotik.
178 || Anestesiologi
NALMEFENE
Mempunyai rumus kimia N-cycloprophylmethyl-4-5-epoxy-6-methylene morphinan-
314 diol. Obat ini sama dengan naloxon mempunyai afinitas pada reseptor , K, dan 6
dengan aktifitas terkuat pada reseptor . Masa kerja nalmefene panjang, baik diberikan oral
maupun perenteral.
Obat ini aman digunakan karena lebarnya jarak antara dosis terapetik dengan dosis
yang dapat menimbulkan efek merugikan.
Pada pemberian oral konsentrasinya dalam plasma mencapai puncak dalam waktu
1-2 jam. Pada penggunaan intravena cepat didistribusikan dalam darah.
Metabolisme terjadi di dalam hepar, terbanyak mengalami konjugasi dengan
glukoronid dan sulfuric acid. Ekskresi melalui sistem bilier dan renal. Hanya 5% yang
diekskresi lewat urin dalam bentuk asli.
Dosis rata-rata untuk pemberian oral umumnya antara 0,5-3 mg/kgBB. Dengan dosis
1-2 mg/70kgBB intravena dapat mengatasi over dosis narkotik. Untuk mengatasi depresi
pasca anestesi umum dengan narkotik diberikan dosis oral 0,25-1 g/kgBB, diulang setiap 5
menit sampai efek yang diinginkan tercapai.
Nalmefene juga dapat mengurangi kebutuhan obat anti pruritus dan anti emetik
pada penderita yang mendapat PCA (Patient Controlled Analgesia) dengan morfin.
METHYL NALTREKSON
Methyl naltrekson adalah antagonis opiat yang tidak dapat menembus blood brain
barrier, sehingga obat ini dapat menetralisir efek opioid pada reseptor perifer, tetapi efek
opioid pada reseptor SSP seperti analgesi tidak terpengaruh.
Perlambatan pengosongan lambung yang disebabkan oleh 0,04 mg/kgBB morfin
dapat diatasi dengan 0,3 mg/kgBB methyl naltrekson pada orang sehat. Obat ini juga dapat
mengatasi mual dan muntah akibat opioid, dapat memulihkan konstipasi akibat
penggunaan metadon yang kronis. Methyl naltrekson tidak dapat menembus duramater
karena itu dapat dipakai untuk mengatasi efek samping opioid epidural.
180 || Anestesiologi
Intu basi sadar : 0,025-0,1 mg/kgBB iv.
Terapi agitasi pasien psikotik : 0,05-0,2 mg/kgBB iv/im.
Kontra indikasi
Pasien-pasien yang mendapat MAO-Inhibitor.
Parkinson.
Kecanduan alkohol.[]
1. Fukuda K: Intravenous Opioid Anesthetics dalam Miller RD: Miller's Anesthesia, 6th ed.
Philadelphia, Elsevier Churchill Livingstone, 2005. p 379-424.
2. Stoelting RK, Hillier SC: Opioid Agonist & Antagonist dalam Pharmacology &
Physiology in Anesthetic Practice. 4th ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins,
2006, p 87-122.
3. Stoelting RK: Opioids dalam Stoelting RK, Miller RD (eds): Basics of Anesthesia, 5th ed.
Philadelphia, Churchill Livingstone, 2007, p 112-122.
4. Morgan GE, Mikail MS, Murray MJ: Non Volatile Anesthetic Agents dalam Clinical
Anesthesiology, 4th ed. New York. Lange Medical Books/Mc Graw Hill, 2006 p 179-
204.
182 || Anestesiologi
BAB X
PENDAHULUAN
KEMAMPUAN menjaga jalan nafas tetap bebas merupakan ketrampilan yang harus
dimiliki dalam mengelola pasien kritis dan untuk melakukan tindakan anestesi yang aman.
Kesulitan atau kegagalan dalam mengelola jalan nafas merupakan faktor utama
morbiditas dan mortalitas akibat tindakan anestesi. Insiden kesulitan ventilasi dengan
sungkup muka (didefinisikan sebagai ketidakmampuan mempertahankan Sp02 lebih dari
90 %) berkisar antara 0,09 % sampai 5 %. Kesulitan intubasi endotrakea (didefinisikan
sebagai intubasi berhasil dilakukan setelah lebih 3 kali usaha atau lebih dari 10 menit) terjadi
1,1 % sampai 3,8 % pasien. Insiden kegagalan intubasi endotrakea terjadi antara 0,0001 %
sampai 0,02 %}
Pada penderita gawat darurat menjaga jalan nafas tetap bebas merupakan prioritas
utama. Kegagalan oksigenasi merupakan pembunuh tercepat. Kematian dini karena
masalah jalan nafas disebabkan:
Gagal mengetahui kebutuhan jalan nafas tetap bebas.
Gagal membuka jalan nafas.
Kekeliruan memasang alat bantu nafas atau posisi berubah.
Aspirasi isi lambung.
Kompetensi dalam mengelola jalan nafas memerlukan:
Pengetahuan anatomi dan fisiologi jalan nafas.
Kemampuan menilai jalan nafas pasien dari gambaran anatomi yang berkorelasi
dengan kesulitan mengelola jalan nafas.
184 || Anestesiologi
Hard palate
Gambari
Anatomi Jalan Nafas Bagian Atas5
Laring
Laring pada orang dewasa terletak antara vertebra cervical 3 sampai 6. Laring disusun
oleh otot, ligament, dan kartilago. Pita suara dibentuk dari ligament tiroaritenoid dan
merupakan bagian tersempit pada jalan nafas orang dewasa. Laring diinervasi oleh N.
superior laryngeal dan N. recurrent laryngeal yang merupakan percabangan dari N. X
(Vagus). Hambatan yang sering terjadi karena obstruksi benda asing, laringospasme, oedem
mukosa.
Trakea
Trakea dimulai dari Vertebra cervical 6 sampai carina yang rata rata setinggi vertebra
thorakal 5. Panjang trakea 10-15 cm dan diperkuat oleh 16- 20 cincin kartilago. Hambatan
jalan nafas yang sering terjadi karena obstruksi benda asing.
Gambar 2 Look-Listen-Feel5
yang paling sering adalah obstruksi lidah karena relaksasi m. genioglossus, obstruksi oleh
darah atau benda asing, dan spasme laring. Penyebab lain dapat terjadi karena spasme
bronkus, obstruksi sekret, sembab mukosa, dan aspirasi. Hal tersebut di atas sering terjadi
pada pasien tak sadar.
Secara klinis dapat dikenali tanda adanya hambatan jalan nafas. Suara mendengkur
(snoring) disebabkan obstruksi lidah, suara berkumur (gargling) menunjukkan adanya
sumbatan berupa cairan di faring, stridor karena odem di pita suara atau laring.
Kondisi pasien dengan sumbatan jalan nafas akan semakin parah bila tidak segera
ditolong. Pasien menjadi gelisah akibat hipoksi. Tampak gerakan otot-otot pernafasan
tambahan untuk membantu proses respirasi, atau
186 11 Anestesiologi
gerakan nafas paradoksal. Sianosis merupakan tanda yang lambat akibat obstruksi
jalan nafas.
Obstruksi jalan nafas total harus segera dikoreksi. Henti nafas lebih dari 5 menit dapat
menyebabkan kerusakan otak yang permanen dan henti jantung. Obstruksi naifas parsial
harus juga segera dikoreksi. Hipoksia dapat menyebabkan oedem paru, oedem otak, henti
jantung, henti paru sekunder, dan kerusakan otak.
Penderita dengan tanda-tanda obstruksi jalan nafas harus segera ditolong. Hal itu
dilakukan dengan cara:
Membersihkan jalan nafas
Membebaskan jalan nafas
Gambar3
Pembersihan Manual5
Gerak jari di belakang gigi dan gerak angkat mandíbula lidah hanya boleh dilakukan
pada pasien koma untuk menghindari jari penolong tergigit pasien. Obstruksi jalan nafas
karena cairan (ditandai suara gargling) diatasi dengan penghisapan/suction.
Gambar S
188 11 Anestesiologi
Apabila chin lift atau jaw thrust belum membebaskan jalan nafas maka dapat dibantu
dengan alat. Tindakan yang dapat dilakukan adalah memasang oropharyngeal airway,
nasopharyngeal tube, Laryngeal Mask Airway (LMA), atau pemasangan endotracheal tube
(ET).
Oropharingeal airway jangan dipasang apabila reflex muntah masih ada.
Oropharyngeal airway dipasang pada pasien dengan kesadaran GCS < 10 atau tingkat
kesadaran P, U pada System AVPU. Perkiraan ukurannya adalah dari bawah telinga sampai
sudut mulut pasien.
Nasopharyngeal tube tidak merangsang muntah. Pemasangan nasopharyngeal tube
harus dilakukan hati-hati pada pasien dengan fraktur basis cranium. Ukuran nasopharyngeal
tube untuk pasien dewasa diperkirakan sekitar 7 mm atau jari kelingking kanan pasien.
Endotacheal Tube (ET) dilakukan bila:
Cara-cara lain untuk Airway gagal.
Sukar memberikan nafas buatan.
Risiko aspirasi ke paru besar.
Mencegah pC02 'h (cedera kepala).
- GCS <8.
Pemasangan ET juga mempunyai resiko. Resiko yang mungkin ditemukan adalah
hipoksia karena spasme pita suara, naiknya tekanan darah, aritmia bradikardi sampai
asistole, kenaikan tekanan intra cranial, dan gerakan leher dapat memperberat cedera
servical. Idealnya intubasi harus dibantu obat anestesi dan obat pelumpuh otot.
Masalah yang sering ditemukan saat pemasangan ET adalah intubasi endo bronchial,
intubasi esofageal, dan kesulitan intubasi. Intubasi endo bronchial menyebabkan ventilasi
satu paru, shunting, dan kolaps paru. Insidennya paling sering di paru kanan.
Intubasi esofageal terjadi bila ET masuk ke oesophagus. Untuk menghindari hal itu
maka setelah intubasi dilihat naik turunnya dada dan dilakukan auskultasi di dada dan di
lambung.
Kesulitan intubasi terjadi 1 diantara 65 tindakan intubasi. Penyebabnya berbagai
factor yang akan dijelaskan di bab tersendiri.
LMA dapat digunakan untuk menguasai jalan nafas secara rutin maupun untuk
pasien yang sulit diintubasi. LMA diinsersikan di hipofaring.
Gambar €
Tabel 1
Perkiraan Ukuran LMA Berdasar Berat Pasien5
Ukuran LMA Berat Badan (kg) Volume Inflasi Cuff (ml)
1 <5 4
1,5 5-10 7
2 10-20 10
2,5 20-30 14
3 30-50 20
4 50-70 30
5 70-100 40
190 11 Anestesiologi
Krikotiroidotomi dipertimbangkan apabila intubasi gagal padahal jalan nafas masih
tersumbat dan pada pasien yang tidak dapat diberikan nafas buatan dari atas
(mulut/hidung). Krikotiroidotomi merupakan jalur darurat untuk oksigenasi. Tindakan ini
hanya dapat dipertahankan dalam 10 menit karena tidak dapat membuang C02.
Gambar 7
Tempat Tusukan krikotiroidotomi5
APreservation ot spontaneous
Develop primary vs. Ab'ation
and alternative of spontaneous
ventiialion ventilation
strategies. A Awake Intubation 3. Intubation Attempts after Induction of
General Anesthesia
“I
Airway approached Airway secured
by noninvasve by Imbal intubation Initial intubation
intubation invasve access' attempts attempts UNSUCCESSFUL
successful' FROM THIS POiNT ONWARD
Succeed' CONSIDER:
1 Calling for help.
if- | FAIL
~lf 2 Returning to spontaneous
Cancel Consider feasibility Invasive ventilation 3. Awakening the
airway case of other options11 patient
access11'
r
ventilation0
h
Successful intubation* FAIL after multiple attempts —| |—
Emergency
Successful rventilation'
}
-1 FAIL -*■
^ ^ invasive
airway
access*
Invasive airway ventilation15' Consider feasibility of other options3 Awaken patieril
3' d
Copyright ©2006 by The McGraw-Hill Companies, Inc. All
rights reserved.
192 11 Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
1. Stoelting RK. Airway Management. In: Stoelting RK, Miller RD. Basics of Anesthesia. 5th.
ed. Philadelphia: Churchill Llvlngstones, 2007:207-39.
2. Willson W.C, Bemenof J.L. Respiratory Physiology and Respiratory Function During
Anesthesia. In: Miller RD. Miller's Anesthesia. 9th ed. Philadelphia: Churchill
Livingstones, 2005:679-718
3. Ellis H, Feldman S, Griffiths WH. The Respiratory Pathway. In: Anatomy for
Anaesthetists. 8th ed. Massachusetts: Blackwell Publishing, 2004:10- 55.
4. Barash P, Cullen BF, Stoelting RK. Airway Management. In: Barash P. ed. Clinical
Anesthesia. 4th ed. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins, 2001:441-66.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway Management. In: Morgan GE. ed. Clinical
Anesthesiology. 4th ed. Philadelpia: McGraw-Hill Companies, 2006.
INTUBASI ENDOTRAKEA
Doso Sutiyono, Yulia Wahyu Villyastuti, Danu Susilowati
SEJARAH
DEFINISI
ET untuk orang dewasa memiliki sistem inflasi cujf yang terdiri dari katup, balon
pilot, infiating tube, dan cuff. Katup berfungsi untuk mencegah hilangnya udara setelah
ct/J^diinflasi. Balon pilot sebagai indikator inflasi cuff. Infiating tube menghubungkan
Gambari
Pipa Endotrakea untuk Dewasa
Cuff diinflasi sampai dengan tidak ada udara inspirasi yang bocor, tetapi dapat
mencegah dari aspirasi dan tidak menimbulkan kerusakan dari dinding mukosa.
Tube non cuff digunakan pada anak untuk mengurangi resiko trauma tekanan dan
batuk setelah intubasi. ET r\or\-cuff digunakan untuk anak kurang dari 8 tahun, ini
dikarenakan bentuk anatomi subglotis yang sempit.1
Ukuran ET dinyatakan dalam mm berdasarkan diameter internal yang tertera dan
ada pula yang dinyatakan dalam French Unit ET juga mempunyai ukuran panjang dalam
cm. ukuran rata-rata untuk wanita ialah 7,0-7,5 mm, sedang untuk pria 7,5-8,0 mm1,3A5,6'7
Ada cara lain dalam menentukan ukuran ET yaitu dengan menggunakan patokan
besar jari kecil (kelingking) dari pasien, sedang kedalaman insersinya yaitu besar diameter
internal (ukuran ET) dikalikan tiga. Misalnya ukuran ET nomor 4, maka kedalaman insersinya
4 x 3 = 12 cm7,8
Tabel 1
Ukuran Rata-Rata ET Sesuai Umur Pasien
Diameter Panjang insersi dari
Umur Internal French Unit (mm) bibir ke m/e/trakea
(mm) (cm)
Prematur 2,5 10-12 10
Aterm 3,0 12-14 11
1-6 bulan 3,5 16 11
6-12 bulan 4,0 18 12
2 tahun 4,5 20 13
4 tahun 5,0 22 14
6 tahun 5,5 24 15-16
8 tahun 6,5 26 16-17
10 tahun 7,0 28 17-18
12 tahun 7,5 30 18-20
>14 tahun 8,0-9,0 32-36 20-24
Tabel 2
Pedoman Ukuran ET Oral
196 | | Anestesiologi
INDIKASI PEMASANGAN PIPA ENDOTRAKEA
Ada beberapa indikasi khusus intubasi endotrakeal pada pasien, diantara-
nya adalah:
1. Untuk patensi jalan nafas. Intubasi endotrakeal diindikasikan untuk menjamin
ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan jalan nafas.
2. Perlindungan terhadap paru dengan penutupan cuff dari ET harus dilaksanakan pada
pasien-pasien yang baru saja makan atau pasien dengan obstruksi usus.
3. Operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru, misalnya torakotomi,
penggunaan pelumpuh otot, atau ventilasi kontrol yang lama.
4. Operasi yang membutuhkan posisi selain terlentang. Pemeliharaan patensi jalan
nafas atau penyampaian ventilasi tekanan positif pada paru tidak dapat diandalkan.
5. Operasi daerah kepala, leher atau jalan nafas atas.
6. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran sekret pulmo (bronchialpulmonairtdlet)
7. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau dengan depresi
reflek muntah (misal selama anestesi umum).6
8. Adanya penyakit atau kelainan jalan nafas atas. Misalnya paralisis pita suara, tumor
supraglotis dan subglotis.
9. Aplikasi pada ventilasi tekanan positif
KONTRA INDIKASI
197 || Anestesiologi
2. Lubricants/Jeli dan Spray Trakea.
3. Suction Cathether.
4. Spuit (Semprit).
5. Plester.
6. Stilet.
7. Self-refilling bag-valve combination (misalnya Ambu bag) atau bag-valve unit (Ayres
bag), konektor, tube, sumber oksigen.
8. Laringoskop dengan blade lengkung (tipe Macintosh) atau lurus (tipe Miller)
disesuaikan dengan pasien.
9. ET dengan berbagai ukuran.
10. Nasofaringeal airway atau orofaringeal airway.
11. Sarung tangan.
Prosedur Persiapan
Ketika akan melakukan intubasi pada pasien, pastikan akan dilakukan dengan aman,
ini dapat diingat dengan kata SALT.
Suction. Ini sangat penting, sering pada pasien terdapat material yang membuat
kesulitan visualisasi plika vokalis. Aspirasi pulmo harus dihindari.
Airway. Alat airway oral adalah alat yang dapat mengangkat lidah dari faring
posterior, alat ini sering memudahkan untuk ventilasi sungkup. Ketidakmampuan untuk
memberikan ventilasi kepada pasien adalah suatu yang buruk. Juga sumber 02 dengan
mekanisme penghantar (ambu-bag atau sungkup) harus ada.
Laryngoscope atau laringoskop. Pencahayaan alat ini penting untuk menempatkan
ET.
Tube endotrakea yang sesuai.
198 || Anestesiologi
Gambar
3 - - +
4 -
Hard palate
Indikasi:
Operasi intra oral dan operasi plastik daerah wajah.
Jika terdapat bentuk anatomis abnormal atau penyakit jalan nafas atas yang
membuat kesulitan laringoskopi direk.
Ankilosis sendi temporomandibuler.
Kondisi yang menyebabkan tak memungkinkan untuk dilakukan laringoskopi direk.
202 || Anestesiologi
Repair fraktur rahang.
Kondisi yang menyebabkan tidak memungkinkan intubasi oral, misalnya pada pasien
yang terpasang kawat pada rahang atas dan bawah. Sindroma Piere Robín, di mana
terdapat hipoplasia mandíbula, mikrognatia, palatosisis, lidah terletak di belakang
(glossoptosis) dan epigotis kecil.
Keuntungan:
Fiksasi ET lebih stabil.
Lebih nyaman pada pasien sadar.
Lebih sedikit sekresi orofaring.
Kerugian:
Teknik lebih sulit dan lebih lama.
Lebih traumatik (epistaksis).
Resiko kuman hidung masuk ke dalam trakea.
Tidak cocok untuk penguasaan jalan nafas darurat pada pasien asfiksi.
1. http://www.fpnotebook.com
2. Atkinson et al, Tracheal Intubation In A synopsis of Anaesthesia. 11th edition. NBristol: P
G Limited, 1990.
3. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesblogy. Prentice-Hall International Inc.,
1992:47-65.
4. Stoelting RK. Endotracheal Intubation. Dalam: Miller RD. Anesthesia. New York:
Churchill Livingstone, 1990:523-45.
5. Ovassapian A, Meyer RM. Airway Management. Dalam: Longnecker DE, Murphy FL.
Introduction to Anaesthesia. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1989:146-57.
6. Lee JA. Synopsis of Anaesthesia. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1999: 233-54.10.
Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anaesthesiology. Prentice- Hall International Inc.,
1992:47-65.
TERAPI OKSIGEN
Widya Istanto Nurcahyo, Danu Susilowati,
Doso Sutiyono
206 11 Anestesiologi
Anatomi Saluran Nafas
Traktus respiratorius dimulai dari kedua lubang hidung (nares anteriores) dan
berakhir dalam alveoli di paru-paru. Saluran pernafasan dibagi menjadi dua yaitu saluran
nafas bagian atas dan saluran nafas bagian bawah di mana keduanya dipisahkan oleh batas
setinggi plika vokalis.
Saluran nafas atas, terdiri atas:
1. Hidung dan rongga hidung:
Persarafan dari hidung ada dua:
a. N. Olfaktorius: mensarafi mukosa olfaktoris
b. N. Trigeminus (nervus cranialis V). Mensarafi mukosa hidung.
Suplai darah ke daerah hidung berasal dari a. oftalmika, a.maksilaris dan
a. fasialis.
Soft paiate
Oropharynx
Epiglottis
Vocal cords
207 11 Anestesiologi
Nasofaring : Bermula dari koana dan berlanjut ke orofaring sampai setinggi palatum
mole.
Orofaring : Kelanjutan dari nasofaring dan berlanjut sebagai laring- ofaring sampai
batas setinggi tepi atas epiglotis. Laringofaring : Dimulai dari sekitar anterolateral
laring samapai lamina kartilago tiroid.
Persaratan Faring:
Suplai untuk sensoris, motoris dan otonom berasal dari pleksus faringeus. Suplai
darah untuk faring berasal dari a. faringeal ascenden, a.thyroidea superior, aJingualis,
a.Fasialis dan a. Maksilaris di mana semuanya merupakan cabang a. Karotis eksterna.
4. Laring
Soft paiate
Oropharynx
Epiglottis
Vocal cords
Terdiri atas plica vocalis untuk proses fonasi dan organ yang berfungsi sebagai
spinkter untuk mencegah aspirasi. Tulang rawan utama dalam faring:
a. Kartilago tiroid (adam's apple): paling besar dan paling superior.
b. Kartilago aritenoid (sepasang).
c. Kartilago kornikulata (sepasang).
d. Kartilago krikoid.
Antara tulang rawan tiroid dan krikoid terdapat membran krikotiroid yang sering kali
untuk melakukan tindakan krikotiroidotomi pada keadaan emergensi bila terjadi
sumbatan pada saluran nafas atas. Plika vokalis menutup sebagian saat inspirasi dan
relaks mendekati garis
208 | | Anestesiologi
tengah saat ekspirasi. Glotis merupakan ruang antara plika vokalis. Selam proses
menelan epiglotis menutup ke bawah sehingga mencegah material masuk laring.
Saluran Nafas Bawah
Epiglottis -
Body of hyoid bone
Body of hyoid bone Thyrohyoid
Cuneiform membrane Fatty pad
Vestibular fold (false
Thyroid cartilage cartilage
vocal cord)
Laryngeal prominence Corniculate cartilagi
Thyroid cartilage
(Adam's apple) Arytenoid cartilage vocal fold (true vocal
Cricothyroid ligament— Arytenoid muscle - cord) Cricothyroid
Cricotracheal ligament
—, ----- Cricoid cartilage ------- ligament Cricotracheal
ligament
I ___ —Tracheal cartilages
(a)
Base of
tongue
Epiglottis
False vocal
cord True
vocal cord
Glottis
fa)
0)
Saluaran nafas bagian bawah terdiri atas serangkaian tuba yang dibagi menjadi
cabang-cabang seperti pohon yang menjadi lebih sempit, lebih pendek dan menjadi lebih
banyak cabangnya menembus ke paru-paru. Saluran ini berfungsi sebagai saluran udara
dan memberikan pertahanan mukosilier dan yang paling penting adalah untuk pertukaran
gas eksterna. Dibagi menjadi;
a. Saluran penghubung: daerah nonalveolet
Kurang lebih cabang trakheobronkial cabang 16 pertama, tidak terlibat secara
langsung pada pertukaran gas namun sebagai daerah penghubung. Volumenya berkisar
150 ml dan dikenal sebagai dead space anatomi.
Trakhea tersusun atas tulang rawan berbentuk C meluas mulai dari kartilago krikoid
hingga bercabang menjadi cabang bronkus utama setinggi
210 | | Anestesiologi
Persarafan saluran nafas:
Saraf parasimpatis berasal dari N. Vagus di mana rangsangan dari saraf ini akan
menyebabkan bronkokonstriksi. Sedangkan sistem saraf simpatis di mana reseptor
dominan 02 agonis di mana rangsangan sistem saraf simpatis (katekolamin, epinefri dan
norepinefrin) menyebabkan bronkodilatasi.
Vaskularisasi:
Paru mempunyai dua sistem sirkulasi:
1. Sistem sirkulasi bronkial: mendarahi dari bronkus hingga bronkiolus terminalis dan
menerima darah 2% dari kardiak output.
2. Sistem sirkulasi Pulmonal: menerima darah yang tidah teroksigenasi dari jantung
kanan. Setelah darah teroksigenasi akan mengalir melalui vena pulmonalis ke atrium
kiri.
Figure 10.1 Anatomy of the tracheobronchial tree. (After Gothard J, KelleherA. Essentials of cardiac and thoracic
anaesthesia. Oxford: Butterworth Heinemann: 1999, with permission.)
Otot Pernafasan
a. Otot-otot Inspirasi:
Diafragma: penopang terbesar, m.
Intercostalis externa, m. Scaleni.
m. Sternocleidomastoideus.
b. Otot-otot ekspirasi:
m. Intercostalis interna.
211 11 Anestesiologi
m. Obliqus externa dan m.obliqus interna, m.
Rectus abdominis. m. Tranversus abdominis.
Kontrol Pernafasan
Ventilasi dikontrol oleh beberapa proses yang kompleks yang memastikan
tersedianya oksigen yang adekuat untuk metabolisme dan di mana produk metabolisme
karbondioksida dikeluarkan dan terpeliharanya keseimbangan asam basa. Pernafasan
terutama dikontrol oleh proses humoral melalui aksi rangsangan kimia pada pusat nafas di
batang otak.
Kontrol Volunter: Pusat kortek
Pada keadaan tidur atau konsentrasi kerja, regulasi sadar nafas diatur oleh korteks
serebri. Yaitu oleh korteks motorik dan area limbik. Sehingga melalui jalur ini
memungkinkan seseorang untuk hiperventilasi secara sadar, menahan nafas, merubah pola
nafas, nyanyi, berbicara.
Kontrol involunter: Medulla, Pons, Pusat di perifer
Dalam susunan saraf pusat ada tiga pusat nafas involunter: dua di pons dan satu di
medulla oblongata. Input yang datang ke pusa ini berasal dari propioseptif dan
kemoreseptor perifer melalui N. Vagus dan N. Glosofaringeus. Aktivitas eferen melalui N.
Frenikus ke diafragma dan nervi interkostales 1-12 ke otot interkostal.
Pusat medulla merupakan pusat koordinasi utama dari semua sumber input dari
sumber lain yang terlibat dalam kontrol ventilatori. Pusat inspirasi dan ekspirasi terletak
dalam medulla, sedangkan di pons terletak pusat apneustik (meningkatkan dalamnya nafas
dan inspirasi yang lama) dan pneumotaksik (menghambat inspirasi).
Reseptor perifer terletak pada arkus aortikus dan bifurkasio antara karotis interna dan
eksterna di mana jaringan ini bertindak sebagai kemoreseptor yang sensitif terhadap kadar
oksigen, karbondioksida dan ion hidrogen dalam darah. Impuls dari badan karotis ke medula
dikirim melalui N. Glosofaringeus dan yang berasal dari badan aortikus melalui N. Vagus.
Kontrol Humoral terhadap Ventilasi
Pernafasan terutama dikontrol oleh mekanisme umpan balik yang melibatkan aksi
rangsangan kimia pada kemoreseptor di batang otak dan perifer.
Kemoreseptor Pusat
Terletak dalam medulla terutama dipengaruhi oleh konsentrasi ion hidrogen (pH)
cairan LCS. Peningkatan PaC02 menyebabkan peningkatan maksimal konsentrasi ion
hidrogen dalam LCS. Ketika pusat nafas terangsang oleh penurunan pH karena peningkatan
konsentrasi ion hidrogen maka akan terjadi peningkatan dalam dan kecepatan respirasi,
begitu sebaliknya jika terjadi alkalosis akan terjadi penahanan nafas. Pusat kemoreseptor
tidak respon terhadap kadar p02 yang rendah.
Kemoreseptor Perifer
Kemoreseptor perifer sangat sensitif baik terhadap penurunan tekanan maupun isi
212 11 Anestesiologi
oksigen dalam darah. Hipoksemia akan meningkatkan aktivitas reseptor perifer yang
selanjutnya akan meningkatkan dalam dan kecepatan nafas. Tekanan oksigen yang tinggi
akan mengakibatkan hipoventilasi ringan akan tetapi proses ini pada umumnya akan
tumpang tindih dengan respon pusat nafas dengan terhadap kenaikan pC02. Kemoreseptor
perifer juga berespon terhadap peningkatan pC02 dan konsentrasi ion hidrogen dengan
meningkatkan ventilasi namun hal ini kurang sensitif dibandingkan dengan reseptor pusat.
TINJAUAN FISIOLOGI
Ventilasi
Tujuan dari proses ventilasi adalah menyediakan udara segar ke dalam paru, untuk
ditukar pada membran alveolo-kapiler. Prinsip dasar yang melandasi pergerakan gas adalah
adanya perbedaan tekanan di mana gas akan bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan yang
lebih rendah. Tekanan fisiologik berhubungan dengan aliran gas ke dalam dan keluar paru
pada tekanan atmosfer, tekanan intrapleura, tekanan intrapulmoner dan tekanan
transpulmoner.
Pada keadaan istirahat tekanan dalam paru sama dengan tekanan atmosfer. Ketika
inspirasi spontan dimulai, akan terjadi kontraksi diafragma dan otot inrtkostalis eksterna.
Dari hasil kontraksi ini akan memperluas rongga dada. Karena rongga dada bertambah
besar maka tekanan intrapulmoner menjadi negatif sehingga udara akan mengalir ke dalam
paru. Proses inspirasi merupakan proses aktif yang memerlukan energi. Diafragma
bertanggung jawab 60% udara ventilasi pada posisi supine dan 70% pada posisi tegak.
Sedang proses ekspirasi merupakan proses pasif yang terjadi karena adanya daya
recoil paru. Bila proses inspirasi berakhir maka rongga dada akan kembali ke ukuran semula.
Bila P02 tinggi, seperti dalam kapiler paru, oksigen berikatan dengan Hb, tetapi bila P02
rendah seperti pada kapiler jaringan oksigen dilepaskan dari hemoglobin.
Kurva Disosiasi Oksihemoglobin
Untuk dapat mengetahui kapasitas angkut oksigen dengan jelas maka kita harus
mengetahui afinitas oksigen untuk jaringan maupun pengambilan oksigen oleh paru-paru,
yang sangat tergantung pada hubungan tersebut. Ketika sel darah merah melalui kapiler
alveoli, oksigen akan berdifusi ke plasma dan meningkatkan Pa02. Oksigen berdifusi dan
berikatan dengan hemoglobin.
214 11 Anestesiologi
Kurva dissosiasi oksihemoglobin menghubungkan saturasi hemoglobin dengan PO*
Penurunan afinitas oksigen paling sering dikenal dengan pergeseran kurva dissosiasi oksigen
ke kanan. Peningkatan afinitas oksigen paling sering dikenal dengan pergeseran kurva
disosiasi ke kiri.
Jika darah menjadi sedikit lebih asam, dengan penurunan pH, maka akan terjadi
pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kanan, jadi afinitas Hb terhadap oksigen
menurun, tapi pelepasan oksigen ke jaringan lebih mudah, dan bila terjadi peningkatan pH
kurva akan bergeser ke kiri, di mana afinitas Hb terhadap oksigen lebih tinggi, namun
oksigen lebih susah dilepas ke jaringan oleh Hb. Selain pH, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kurva bergeser ke kanan:
1. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida.
2. Peninggian temperature darah.
3. Peningkatan 2,3 difosfogliserat (DPG) yaitu senyawa yang secara normal berada
dalam darah yang berfungsi mengurangi afinitas Hb terhadap oksigen.
Keadaan yang menggeser kurva ke kiri adalah Peningkatan pH, penurunan suhu,
penurunan konsentrasi C02, dan penurunan 2,3 DPG. Adanya hemoglobin fetus dalam
jumlah besar dalam darah juga akan menyebabkan kurva bergeser ke kiri.
The nxyhacmoglobin dissociation curves for normal adult haemoglobin at
o
J5
a>
r J.
0 ■0
0 5 10 15
Oxygen tension (kPa)
normal pH and n-ith acidosis and alkalosis.
Fig. 9.10
'n,- ..... .i ________
Tujuan:
1. Mempertahankan oksigen jaringan yang kuat.
2. Menurunkan kerja nafas.
3. Menurunkan kerja jantung.
Indikasi Terapi Oksigen:
1. Gagal nafas akut,
2. Syok oleh berbagai penyebab,
3. Infark miokard akut,
4. Keadaan di mana metabokisme rate tinggi (tirotoksikosis, sepsis, hipertermia),
5. Keracunan gas CO (karbonmonoksida),
6. Tindakan preoksigenasi menjelang induksi anestesi,
7. Penderita tidak sadar,
8. Untuk mengatasi keadaan-keadaan: enfisema pasca bedah, emboli udara,
pneumothoraks,
9. Asidosis,
10. Anemia berat.
Pemberian oksigen selalu tepat untuk pasien dengan gangguan sirkulasi atau nafas
akut dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Tanpa gangguan nafas, oksigen diberikan 2 liter/menit melalui kanul binasai.
2. Dengan gangguan nafas sedang oksigen diberikan 5-6 liter/menit melalui kanul
binasai.
3. Dengan gangguan nafas berat, gagal jantung, henti jantung gunakan sistem yang
dapat memberikan oksigen 100%.
4. Pada pasien di mana rangsang nafas tergantung pada keadaan hipoksia (asma)
berikan oksigen kurang dari 50% dan awasi ketat.
5. Atur oksigen berdasarkan kadar gas darah (P02) atau saturasi (Sa02).
6. Dalam keadaan darurat gunakan alat bantu nafas yang lebih canggih (mis. bangging),
lakukan intubasi dan berikan oksigen 100%.
Persiapan Alat
1. Sumber oksigen (tabung atau sumber oksigen sentral).
216 11 Anestesiologi
2. Tabung pelembab (humidifer).
218 11 Anestesiologi
Kanul Binasai
Paling sering digunakan untuk pemberian oksigen, memberikan Fi02 24- 44% dengan
aliran 1-6 liter/menit. Merupakan alat dengan aliran rendah dan konsentrasi rendah
(lowflow low concentration), kadar yang dihasilkan tergantung pada besarnya aliran dan
volume tidal nafas pasien. Kadar oksigen bertambah 4% untuk setiap tambahan 1
liter/menit oksigen, misalnya aliran 1 liter/menit= 24%, 2 liter/menit=28% dan seterusnya
maksimal 6 liter/menit.
Keuntungan:
Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju nafas teratur.
Baik diberikan pada jangka waktu lama.
Pasien dapat bergerak bebas, makan, minum dan bicara.
Kerugian:
Dapat menyebabkan iritasi pada hidung, bagian belakang telinga tepat tali binasai.
Fi02 akan berkurang bila pasien bernafas dengan mulut.
219 || Anesteslologl
Sungkup Muka dengan Kantong Rebreating
Aliran yang diberikan 6-10 liter/menit degan konsentrasi oksigen mencapai 80%.
Udara inspirasi sebagian bercampur dengan udara ekspirasi sepertiga bagian volume
ekshalasi masuk ke kantong, dua pertiga bagian volume ekshalasi melewati lubang-lubang
pada bagian samping.
Tabel
Pemberian Oksigen
221 11 Anestesiofogi
Aliran Oksigen Konsentrasi
No Car Pemberian
(Liter/menit) (%FiOz)
1 Nasal kateter/kanul 1-2 24-28
3-4 30-35
5-6 38-44
222 11 Anestesiologi
Oleh karena itu pada penderita PPOM, oksigen diberikan dengan konsentrasi rendah
dan diberikan secara bertahap sambil memantau respon penderita dengan pedoman
kondisi pasien membaik tapi masih bernafas seperti biasa.
5. Atelektasis paru
Hal ini bisa terjadi apabil oksigen yang diberikan sangat tinggi (hampir 100%) dalam
jangka waktu yang lama. Hal ini diakibatkan karena N2 terusir dari alveoli, sehingga
dinding alveoli tidak teregang lagi dan akhirnya kolaps. Pencegahannya adalah jangan
memberikan oksigen dengan konsentrasi 100% lebih dari 24 jam.
6. Keracunan oksigen
Ada 2 macam:
a. Keracunan menyeluruh
Disebabkan karena Pa02 melebihi 100 torr dan diberikan dalam jangka waktu
lama (bervariasi untuk setiap individu). Pada keadaan akut bisa terjadi kejang.
Pada keadaan kronis gejalanya berupa nyeri dibelakang tulang dada, nyeri
sendi, kesemutan, mual, muntah dan nafsu makan menurun. Pada bayi
prematur dapat terjadi retrolental fibroplasia yaitu penyempitan pembuluh
darah retina akibat fibrosis.
b. Keracunan setempat
Sel epitel paru akan mengalami kerusakan sehingga mengganggu proses difusi
gas dalam paru.
Pencegahan:
1. Jangan memberikan oksigen dengan konsentrasi 50% lebih dari 48 jam
2. Setiap pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi harus disertai pemantauan Pa02.
[]
DAFTAR PUSTAKA
1. The Respiratory Pathway. In: Ellis H, Feldman S. Anatomy for Aenesthetist. 5th. ed.
oxford: Blackwell scientific; 1993:3-56.
2. Stoelting RK. Lungs. In: Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. 4th. ed.
Philadelphia: Lippincot William & Wilkins; 2006:611-22.
3. Practical Physiology of Th Pulmonary System. In: Pierece LN. Guide to Mechanical
Ventilation and Intensive Respiratory Care. Philadelphia: W.B. saunders; 1995:24-55.
4. Dripps RD, Eckenhoff J, Vandam L. Respiration and Respiratory Care. In: Introduction to
Anesthesia the Principles of Safe Practice. 6th ed. Philadelphia: Saunders WB
Company, 1982:421-42.
5. Guyton Ac, John E Hall,. Ventilasi Paru-paru dan Prinsip-prinsip Pertukaran Gas. Dalam:
Fisiologi Manusia. Edisi III. Alih bahasa: Andrianto P. Jakarta: EGC, 1992: 343-63.
6. Collins VJ. Lungs, In Collins VJ, Editors. Physiologic and Pharmacologic Bases of
Anesthesia. 1st ed. Baltimore: Williams and Wilkins, 1996:1-35.
7. Alan R Aitkenhead, David J Rowbotham, Graha Smith. Respiratory Physiology. In:
224 11 Anestesiologi
BAB XIII
PENDAHULUAN
tidak akan mati karena overdosis analgetika atau sedativa, tetapi akan mati karena
overdosis anestetika di jantung, kekurangan perfusi di otak, kekurangan oksigen dalam
darah, pendarahan hebat, depresi ventilasi atau salah transfuse.3
Pada pasien sadar dengan orientasi terhadap personal, waktu dan tempat baik, maka
oksigenasi otaknya dapat dikatakan adekuat. Pada pasien yang teranestesi, pemantauan
sistem saraf pusat (SSP) dilakukan terhadap tingkat kedalaman anestesia, yang antara lain
dapat dilihat pada perubahan tekanan darah, nadi, pernafasan, pupil, refleks-refleks,
pergerakan bola mata dan kesadaran.2,6
Dalam prakteknya, pasien diberikan anestesia pada stadium tertentu, kemudian kita
dapat melihat respon terhadap rangsang operasi. Kalau tingkat anestesia terlalu ringan,
nafas akan bertambah dalam dan cepat, tekanan darah meningkat dan nadi bertambah
cepat atau sebagian anggota badan bergerak. Jika hal ini terjadi, maka konsentrasi obat
anestesi inhalasi harus dinaikkan atau obat anestesi intravena ditambah.2,6
Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) dapat pula menggambarkan tingkat
kedalaman anestesia.2,5,6 Elektroensefalogram biasanya digunakan selama tindakan
pembedahan serebrovaskuler, bypass kardiopulmoner dan teknik hipotensi kendali untuk
mengetahui keadekuatan oksigenasi serebral. Setiap obat anestesi mempunyai pengaruh
neuroelektrik tertentu yang dipengaruhi oleh struktur kimia obat tersebut.4
Interpretasi EEG tidak mudah dan memerlukan pengalaman tersendiri. Keadaan
Secara prinsip tujuan dari pemantauan kardiovaskuler selama anestesi adalah untuk
memastikan bahwa pasien tidak mengalami gangguan penyediaan oksigen. Hal ini
merupakan hasil daripada curah jantung, konsentrasi hemoglobin dan saturasi hemoglobin.
Secara klinis, konsentrasi dan saturasi hemoglobin dari pasien dapat kita lihat atau kita
perkirakan dengan melihat
226 11 Anestesiologi
kulit, dan curah jantung dapat diperkirakan dari kehangatan anggota gerak tubuh.
Sehingga, apabila denyut nadi pasien baik, kuat, kulit berwarna merah muda dan jari-jari
hangat serta ditambah dengan produksi urin lebih dari 0, 5 ml/kgBB/jam, hampir dapat
dikatakan tidak ada gangguan dari sistem kardiovaskuler.5,7
Pada pasien anak-anak, di mana penyakit vaskuler perifer jarang dijumpai, waktu
pengisian kapiler merupakan petunjuk yang dapat dipakai untuk menilai curah jantung.
Waktu pengisian adalah waktu yang dibutuhkan kapiler untuk pengisian kembali setelah
dilakukan penekanan pada ujung jari. Dikatakan normal apabila setelah ujung jari ditekan
selama 3 detik, waktu pengisian tidak lebih dari 1,5 detik. Apabila waktu pengisian lebih dari
5 detik, maka dapat dikatakan mengalami syok.5
A. Pengukuran secara Non-lnvasif
1. Inspeksi
Seperti telah diuraikan di atas, kita dapat mengetahui kecukupan penyediaan oksigen
jaringan dengan melihat warna kulit atau keadaan perifer pembuluh darah di ujung jari
apakah warnanya merah muda (oksigenasi baik), pucat (vasokonstriksi, anemia) atau
kebiruan (sianosis).2'5,7
2. Palpasi
Pemantauan frekuensi dan irama nadi dapat dilakukan dengan mudah misalnya
dengan meraba arteri temporalis, arteri radialis, arteri femoralis atau arteri karotis. Dengan
meraba nadi, kita mendapatkan informasi tentang kuat lemahnya denyut nadi, teratur
tidaknya irama nadi, cepat lambatnya irama nadi. Selain itu kita dapat mengetahui curah
jantung dengan meraba kulit atau anggota gerak pasien apakah terasa kering, lembab atau
hangat.2'5,7
3. Pengukuran tekanan darah
Tindakan anestesi umum atau regional adalah indikasi mutlak untuk dilakukan
pengukuran tekanan darah. Teknik dan macam pengukuran tekanan darah tersebut sangat
tergantung pada kondisi pasien dan jenis tindakan pembedahan. Pada banyak kasus,
pengukuran setiap 3 sampai 5 menit dengan cara auskultasi dianggap sudah memenuhi
syarat.2'5,7 Tetapi dalam kasus pasien dengan kegemukan, akan lebih baik menggunakan
teknik Doppler atau teknik oskilometer. Pengukuran harus dihindari pada anggota gerak
tubuh dengan abnormalitas (misalnya dialysis shunts) atau dengan jalur intravena.4
Perlengkapan yang digunakan untuk mengukur tekanan darah secara non invasif
yang sederhana antara lain adalah manset (kaf), manometer dan
stetoskop (Gambari). Yang perlu diperhatikan adalah ukuran kaf tidak boleh terlalu kecil
atau terlalu besar, karena akan mempengaruhi nilai pembacaan tekanan darah. Apabila kaf
yang digunakan terlalu kecil, maka tekanan darah yang terbaca akan lebih tinggi dari
seharusnya dan begitu pula sebaliknya (Gambar 2). Dianjurkan lebar manset adalah 2/3
panjang lengan atau 20%- 50% lebih besar dari diameter lengan (Gambar 3). Manometer
standar yang baik digunakan adalah manometerair raksa.2-5 7 Namun dapat juga digunakan
Nilai tekanan darah dinyatakan dalam mmHg atau torr2"5,7. Tekanan tertinggi disebut
sebagai tekanan darah sistole dan tekanan terendah disebut diastole. Tekanan arteri rerata
(TAR) atau mean arterial pressure (MAP) dapat dihitung dengan rumus tekanan diastole
+1/3 (tekanan sistole-tekanan diastole) atau {(tekanan sistole + 2 tekanan diastole): 3 }.2
Teknik pengukuran
a. Metode palpasi
Sebelum melakukan pengukuran, kita harus menentukan terlebih dahulu denyut
arteri perifer yang dapat dirasakan. Setelah itu, kita kembangkan kaf sampai denyut nadi
tidak teraba. Perlahan-lahan kaf kita kempeskan sampai teraba kembali denyut nadi.
Tekanan sistolik terbaca saat arteri terasa berdenyut untuk pertama kali. Tetapi oleh karena
ketidaksensitifan perabaan kita dan adanya perbedaan waktu antara aliran di bawah kaf
dan pulsasi pada sebelah distal, maka kita tidak dapat menentukan tekanan diastolik dan
tekanan arteri rerata.2'5'7
228 11 Anestesiologi
Figure 6-9. Blood pressure cuff width influences the pressure readings. Three cuffs, all inflated to the
same pressure, are shown. The narrowest cuff (/l) will require more pressure and the widest cuff (C)
less pressure to occlude the brachial artery for determination of systolic pressure. Too narrow a cuff
may produce a large overestimation of systolic pressure. While the wider cuff may underestimate the
systolic pressure, the error with a cuff 20% too wide is not as significant as that with a cuff 20% too
narrow. (Reproduced with permission from Gravenstein JS, Paulus DA: Monitoring Practice in Clinical
Anesthesia, 2nd ed. Lippincott, Philadelphia, 1987, p 58.)
b. Metode "flush"
Metode ini biasanya dilakukan pada bayi atau anak-anak. Lengan atas pasien
ditinggikan agar darah turun, kemudian kaf dikembangkan sampai tidak teraba denyut nadi.
Perlahan-lahan kaf dikempeskan sampai lengan berwarna merah kembali. Saat perubahan
warna inilah menunjukkan tekanan sistolik.2
c. Metode korotkoff atau auskultasi
Teknik yang digunakan pada metode Korotkoff atau auskultasi hampir sama dengan
metode palpasi, hanya ditambah stetoskop yang ditempatkan di sekitar arteri brakialis.
Tekanan sistolik ditunjukkan saat pertama kali bunyi nadi terdengar dan tekanan diastolik
adalah saat bunyi tersebut menghilang. Bunyi Korotkoff biasanya sulit didengarkan jika
terjadi keadaan hipotensi atau vasokonstriksi pembuluh darah perifer.25'7
d. Metode doppler
Metode ini sangat baik digunakan pada pasien dengan kegemukan, pasien anak-anak
atau pasien yang dalam keadaan syok. Prinsip dari alat ini adalah pulsasi dari dinding arteri
atau pergerakan darah yang melalui suatu transduser memancarkan suatu gelombang
ultrasonik. Mula-mula kaf dipompa sampai melewati batas tekanan sistolik. Perlahan-lahan
kaf dikempeskan dan setelah melalui batas tekanan sistolik, dinding arteri akan berpulsasi
dan akan diteruskan melalui transduser. Penempatan probe harus tepat di atas arteri
(Gambar 4). Pada metode Doppler, tekanan yang dapat diukur hanyalah tekanan sistolik
saja.4,7
\
\
A
230 11 Anestesiologi
--- Brachial artery
Gambar 4
Probe Doppler harus selalu tepat di atas arteri agar pengukuran tekanan darah akurat.4
e. Oskilometer
Pulsasi arteri akan menyebabkan oskilasi pada tekanan kaf. Oskilasi ini kecil apabila
kaf dikembangkan di atas tekanan sistolik. Saat tekanan kaf turun sampai tekanan sistolik,
pulsasi akan dihantarkan ke seluruh kaf dan oskilasi akan meningkat. Oskilasi maksimal
terjadi saat mencapai tekanan arteri rerata, setelah itu akan turun kembali. Monitor tekanan
darah elektronik akan secara otomatis mencatat perubahan gelombang oskilasi ini (Gambar
5). Monitor oskilometer sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang menjalani pem-
bedahan bypass kardiovaskuler. Sampai sekarang ini, peralatan oskilometer ini masih terus
dikembangkan, dan di Amerika Serikat menjadi pilihan dalam pemantauan tekanan darah
non-invasif.2 57
4. Elektrokardiografî (EKG)
Semua pasien yang menjalani tindakan anestesi harus selalu dipantau gambaran
elektrokardigramnya. Tidak ada kontraindikasi dalam pelaksanaan tindakan ini. Gambaran
EKG menunjukkan aktivitas listrik dari jantung. Selama tindakan anestesi, EKG dipakai untuk
pemantauan kejadian disritmia kordis, iskemia miokard, perubahan elektrolit, henti jantung
dan aktivitas alat pacu jantung.4
Gambar 5
Gambaran Perubahan Gelombang pada Oskilometer4
Pada umumnya digunakan lead I atau lead II untuk memantau kejadian disritmia
kordis.2-5'7 Standar yang digunakan untuk pemantauan EKG adalah penempatan three-limb
lead (Gambar 6).4 Konfigurasi CM5 yaitu elektroda negatif pada ruang interkostal 1 atau 2
sebelah kanan manubrium sterni dan elektroda positif pada ruang interkostal 5 garis aksiler
kiri, ideal untuk mendeteksi adanya iskemia subendokardial yang sering terjadi (Gambar 7) 4
Besarnya gambaran gelombang yang muncul, akan berkurang dengan peningkatan
ketebalan dinding dada atau elektroda yang digunakan tidak baik. Gambaran ini juga dapat
dipengaruhi oleh aktivitas peralatan listrik (misalnya elektro kauter) yang digunakan selama
tindakan pembedahan.4
Dalam EKG, potensial listrik yang diukur adalah kecil, sehingga artefak merupakan
masalah yang sering timbul. Pergerakan dari pasien atau kabel lead, penggunaan
elektrokauter, 60-cycle interference dan elektroda yang kualitasnya tidak baik akan dapat
memberikan gambaran seperti terjadi disritmia.3-5'7
232 11 Anestesiologi
Gambar €
Konfigurasi Penempatan 3 Lead EKG pada Pasien4
Meskipun EKG merupakan pemantauan yang harus dilakukan dalam tindakan anestesi,
tapi tindakan ini hanya dapat memantau frekuensi dan irama nadi dari penderita. Aktivitas
listrik masih dapat muncul tanpa adanya curah jantung, seperti contohnya pada tamponade
jantung atau syok hipovolemikyang berat.5
Gambar 7
Konfigurasi Lead CM5 pada Pemeriksaan EKG.5
234 11 Anestesiologi
udara atau trombus, nekrosis dari kulit, kerusakan saraf, infeksi, iskemia daerah distal dan
masuknya obat ke intra arteri. Hal-hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi
adalah prolonged cannulation, hiperlipidemia, percobaan pemasangan berulang kali, sirkulasi
ekstrakorporeal dan penggunaan obat-obatan vasopresor. Resiko terjadinya komplikasi dapat
dikurangi dengan penggunaan kateter ukuran kecil, he- parinisasi kontinyu (2-3 mL/jam),
pembatasan pemakaian jalur intraarteri dan teknik aseptik harus selalu dilaksanakan.2'5'8
236 11 Anestesiologi
kiri akan meningkatkan resiko vascular érosion, efusi pleura dan chylothorax.
Ada tiga teknik dalam melakukan kanulasi vena sentral, yaitu4:
a. Teknik seperti pada pemasangan vena perifer {jarum berada di dalam kateter).
b. Teknik kateter dimasukkan ke dalam jarum (membutuhkan large-bore needle stick).
c. Kateter dimasukkan dengan menggunakan kawat pemandu (Teknik Seldinger).3'4'8
(Gambar 9)
1) Penderita berada dalam posisi Trendelenberg untuk meminimalkan emboli udara
dan mengembangkan vena jugularis interna. Teknik ini memerlukan kondisi
aseptik (sarung tangan steril, masker, desinfeksi kulit dan kasa steril).
2) Pada ujung segitiga yang dibentuk oleh otot sternokleido-mastoid dan klavikula
dilakukan infiltrasi dengan obat lokal anestesi menggunakan jarum ukuran 25 G.
Vena jugularis interna dapat ditemukan dengan cara menusukkan jarum ukuran
18 G pada sisi medial dari otot sternokleidomastoid lateral, menuju puting susu
pada sisi yang sama dengan sudut 30°, sambil dilakukan aspirasi. Alternatif lain
adalah dengan menggunakan ultrasonografi.
3) Setelah terlihat darah mengalir lewat jarum, maka kawat berbentuk huruf J
dimasukkan melalui jarum tersebut, kemudian jarum dilepaskan.
4) Sebuah pliable kateter (contoh Silastic), kemudian dimasukkan dengan panduan
kawat-J tadi. Setelah diperkirakan cukup, maka kawat dilepaskan dan kemudian
kateter dihubungkan dengan jalur intravena. Jangan sampai udara luar masuk
melalui kateter. Dilakukan fiksasi kateter dengan kuat, dan ditutup menggunakan
kasa steril. Apabila perlu, dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan foto
toraks.
Gambar 9
Teknik Pemasangan Kanulasi Vena Jugularis Interna dengan Teknik Seldinger4
Komplikasi yang dapat terjadi selama tindakan kanulasi vena sentral termasuk di
dalamnya adalah infeksi, emboli udara atau trombus, disritmia (jika ujung kateter masuk ke
atrium kanan atau ventrikel), hematom, pneu- motoraks, hidrotoraks, chylothorax, perforasi
jantung, tamponade jantung, trauma pembuluh darah atau nervus dan trombosis. Komplikasi
ini dapat terjadi bila kita tidak menggunakan teknik yang benar.2'5,8
Tabel 1
Derajat Kemudahan Pemasangan Kateter Vena Sentral4
Basilika Jugularis Jugularis Subklavia Femoralis
Eksterna Interna
Kemudahan 1 3 2 5 3
kanulasi
Penggunaan jangka
4 3 2 1 5
panjang
238 11 Anestesiologi
Tingkat 4 5 1 2 3
keberhasilan
Komplikasi (tergantung
1 2 4 5 3
teknik)
Keterangan: 1: terbaik,
5: terburuk
PEMANTAUAN SISTEM RESPIRASI
Pemantauan secara klinis dari sistem respirasi meliputi pengamatan terhadap
gerakan balon reservasi, warna mukosa bibir dan lidah, penilaian patensi jalan nafas dan
pola respirasi3. Secara fisiologis, respirasi adalah proses pertukaran oksigen, pertukaran
karbondioksida dan pengaturan pH darah. Proses ini terutama meliputi aktivitas respirasi
eksternal (pertukaran gas antara darah dan udara sekitar) dan respirasi internal (pertukaran
gas antara darah dan jaringan)9.
Pemantauan secara klinikterutama adalah untuk mengenal tanda- tanda
hipoksemia, hiperkarbi dan obstruksi jalan nafas. Pemantauan sistem respirasi yang
umumnya digunakan adalah penggunaan stetoskop (prekordial dan esofageal),
penggunaan oksimeter denyut, kapnografi dan analisa gas dara3'4'5'9.
1. Stetoskop prekordial3'4'5'9
Stetoskop prekordial (Wenger chestpiece) terbuat dari metal, sangat bereat dan
berbentuk seperti bel. Stetoskop ini diletakkan diatas dada atau pada suprasternal
match3'4'5'9 (Gambar 10). Meskipun berat disini bertujuan untuk mempertahankan
posisinya saat dipasang, tetapi masih diperlukan perekat dua sisi untuk lebih memperkuat,
disamping untuk memperjelas usara yang keluar4.
Stetoskop ini dihubungkan dengan menggunakan extension tubing ke telinga
dokter anestesi, dan dapat memantau keadaan pasien dan lingkungan kamar operasi
secara bersama-sama3'4'5'9.
Komplikasi yang dapat timbul dari penggunaan alat ini adalah reaksi alergi pada
kulit, abrasi kulit dan rasa sakit saat pelepasan stetoskop dari tubuh pasien4.
240 11 Anestesiologi
Komplikasi pemasangan melalui mulut atau lubang hidung dapat secara tidak sengaja
mengakibatkan iritasi mukosa dan pendarahan. Yang mungkin tapi jarang terjadi adalah
stetoskop ini masuk ke trakea, sehingga mengakibatkan kebocoran disekitar kaf dari pipa
endotrakeal.4
Informasi yang didapatkan pada penggunaan baik itu stetoskop pre- kordial atau
esofageal adalah konfirmasi tentang ventilasi, kualitas dari suara nafas (misalnya wheezing),
keteraturan dari denyut nadi dan kualitas dari irama jantung.**'9 2
Gambar 11
Stetoskop Esofageal4
pada cahaya inframerah (960 nm), sedangkan deoksihemoglobin diserap lebih pada cahaya
merah (660 nm) sehingga pada mata telanjang nampak biru atau sianosis (Gambar 13).
Rasio dari penyerapan pada panjang gelombang merah dan inframerah dianalisa oleh
mikroprosesor sehingga menghasilkan saturasi oksigen dari pulsasi arteri.3’4’5,910
242 11 Anestesiologi
Gambar 13
Perbedaan Penyerapan Oksihemoglobin dan Deoksihemoglobin
pada Cahaya Merah dan Infra Merah4
Gambar 14
Kurva Disosiasi Oksihemoglobin
Komplikasi penggunaan oksimeter denyut sangat jarang terjadi, tetapi bila probe
dipasang pada ekstremitas untuk jangka waktu yang lama, akan dapat menimbulkan
Tabel 2
Perkiraan Tekanan Parsial Oksigen (Pa02) Dibandingkan Tingkat Saturasi
Oksigen (Sa02)11
Tabel 3
Penggunaan Oksimeter Denyut secara Khusus dalam Praktek5
244 11 Anestesiologi
Pengukuran kadar C02 dalam sirkuit nafas ini berguna untuk menilai ventilasi yang
adekuat, deteksi intubasi esofageal, diskoneksi sirkuit nafas atau ventilator, problem sirkulasi
dan deteksi hipertermia maligna.12 Kapno- grafi adalah standar emas untuk mendeteksi
intubasi esofageal, di mana tidak ada atau sangat kecil C02 terdeteksi bila terjadi intubasi
esofageal10. Peningkatan tekanan intrakranial dengan menurunkan PaC02 dapat dengan
mudah dipantau dengan menggunakan analisa ETC02. Penurunan secara cepat ETC02
adalah indikator yang sensitif terhadap terjadinya emboli udara yang sering terjadi pada
kraniotomi dengan posisi duduk.4 Nilai normal PaC02 adalah 5,3 kPa (40 mmlHg).45,12
Ada beberapa teknik pengukuran. Yang paling sering digunakan adalah infrared
absorption spectroscopy. Teknik yang lain adalah photo-acoustic spectroscopy, Raman
scattering dan mass spectrometry“ Gambaran kapno- grafi yang normal terdiri dari 4 fase.
Fase pertama terjadi saat inspirasi. Fase kedua adalah mulai terjadinya ekspirasi, yang
hasilnya adalah peningkatan C02. Fase ketiga adalah expiratory plateau, merupakan
pengeluaran C02 dari seluruh alveoli. Titik tertinggi dari plateau dikenal sebagai end-tidal C02
(ETC02). Ini adalah tanda dari akhir ekspirasi. Fase keempat adalah mulai terjadinya kembali
inspirasi.512 (Gambar 16)
3: Expiratory plateau
4: Inspiratory downstrokc
vU End-tidal CO, (ETCO,)
Gambar 16
Gambaran Normal Kapnografi12
246 11 Anestesiologi
b. Kapasitas vital sekurang-kurangnya 15-20 ml/kgBB.
c. Kekuatan inspirasi pada tekanan negatif 20-25 cmH20.
3. Respon pada pemantauan stimulator syaraf
a. Kembalinya respon pada twitch tunggal setinggi kontrol.
b. Respon tetanik terus menerus pada stimulasi frekuensi tinggi.
c. Kembalinya reson TOF pada rasio di atas 75%.
Gambar 17
Stimulasi Saraf Perifer
A. Nervus U Inaris. B. Nervus Fasialis4
Gambar 18
Pola Penurunan Suhu Selama Anestesia Umum4
Disritmia jantung
Peningkatan tekanan vaskuler perifer Pergeseran ke kiri
248 11 Anestesiologi
kurva saturasi hemoglobin-oksigen Koagulopati reversibel
Katabolisme protein dan respon stress pasca operasi
Penurunan status mental
Gangguan fungsi renal
Penurunan metabolisme obat-obatan
Penyembuhan luka menjadi buruk
Tabel 5
Cara-cara untuk Mencegah Terjadinya Hipotermia14
Perioperatif
Suhu kamar operasi yang nyaman bagi pasien yaitu pada suhu 72°F (22°C).
Humidifikasi dan penghangatan dari campuran obat-obat anestesi inhalasi.
Penggunaan sistem low-flow atau sistem tertutup pada pasien kritis atau pasien
resiko tinggi.
Penggunaan sistem pemanas udara bertekanan.
Pe nggunaan cairan kristaloid intravena yang dihangatkan:
a. Kristaloid untuk keseimbangan cairan intravena.
b. Larutan untuk irigasi luka pembedahan.
c. Larutan yang digunakan untuk prosedur sistoskopi.
Penggunaan larutan irigasi yang dihangatkan pada luka pembedahan atau
prosedur sistoskopi urologi.
Penggunaan penghangat darah untuk pemberian darah dan larutan
kristaloid/koloid hangat atau fraksi darah.
Menghindari genangan air/larutan di meja operasi.
Pemberian dosis kecil obat narkotik pada akhir operasi untuk nyeri operasi dan
encegahan menggigil.
Meperidin adalah obat paling efektif untuk mengurangi menggigil.
Ruang pemulihan yang hangat dengan suhu ruangan 75°F (24°C). Enfluran diduga
berhubungan dengan kejadian menggigil pasca anestesi.
Penghangatan obat anestesi yang digunakan untuk anestesi epidural bisa dilakukan,
meskipun efikasinya belum dapat dibuktikan.
Dikutip dari: Collins VJ. Temperature regulation and heat problems. In: Collins VJ (ed).
Physiologic and pharmacologic bases of anesthesia. Baltimore: William &
Wilkins, 1996: 316-39.
PEMANTAUAN PERDARAHAN
Dalam tindakan pembedahan besar, kehilangan darah menjadi masalah yang
penting. Selama tindakan anestesi dan pembedahan, kita harus menghitung jumlah
perdarahan, baik itu dari botol penghisap, dari kasa operasi yang mengandung darah, dari
kain penutup pasien, dari baju ahli bedah maupun dari darah yang mungkin ada di lantai.
Selain itu kita harus mengamati warna perdarahan apakah merah tua, merah muda atau
hitam.2,5
Pada anak-anak atau bayi, jumlah perdarahan sedikit sudah dapat mengakibatkan
anemia. Sebagai contoh, kehilangan darah sekitar 20 ml pada bayi dengan berat badan 2 kg
sudah menunjukkan kehilangan darah yang banyak.5 Pada pasien dewasa dengan Hb yang
normal, perdarahan sampai 20% volume darah total atau penurunan Hb sampai 9-10 gr%
masih dapat ditoleransi oleh tubuh.2
Penggantian darah yang hilang hendaknya sesuai dengan kebutuhan. Pemberian
darah lengkap memungkinkan terjadinya penyulit lebih besar, seperti infeksi atau kelebihan
volume sirkulasi. Transfusi dengan komponen darah lebih spesifik, sehingga lebih tepat guna
dan lebih ekonomis. Komponen darah yang dapat diberikan antara lain adalah eritrosit
konsentrat (packed red cell), lekosit, trombosit atau plasma.2,5
250 11 Anestesiologi
RINGKASAN
Pemantauan atau monitoring berasal dari kata kerja "to monitor" yang berarti to
watch (memperhatikan), to observe (mengawasi) atau to check (memeriksa) dengan suatu
tujuan tertentu. Dalam anestesiologi, tindakan pemantauan sangat vital dalam menjaga
keselamatan pasien, dan hal ini harus dilakukan secara terus-menerus, dan jika ada
penyimpangan dapat segera dikembalikan ke keadaan sefisiologis mungkin. Pemantauan ini
ditekankan khususnya terhadap fungsi pernafasan dan jantung. Dasar dari semua
pemantauan ini adalah pemantauan tanpa alat.
Pada sistem saraf pusat, pemantauan dilakukan terhadap tingkat kedalaman
anestesia, yang antara lain dapat dilihat pada perubahan tekanan darah, nadi pernafasan,
pupil, refleks-refleks, pergerakan bola mata dan kesadaran. Selain itu dapat pula dengan
pemeriksaan elektroensefalogram, tetapi hal ini tidak mudah dan memerlukan pengalaman
tersendiri.
Pemantauan sistem kerdiovaskuler secara prinsip bertujuan untuk memastikan
bahwa pasien tidak mengalami gangguan penyediaan oksigen., yang merupakan hasil
daripada curah jantung, konsentrasi hemoglobin dan saturasi hemoglobin. Pada
pemantauan sistem kardiovaskuler dapat dilakukan secara noninvasif (inspeksi, palpasi,
pengukuran tekanan darah dan EKG) atau secara invasif (kateterisasi arteri dan kateterisasi
vena sentral). Yang harus diperhatikan selama tindakan invasif adalah kita harus menjaga
terjadinya komplikasi tindakan seminimal mungkin.
Pada pemantauan sistem respirasi secara klinik adalah untuk mengenal tanda-tanda
hipoksemia, hiperkarbia dan obstruksi jalan nafas. Pemantauan yang umumnya digunakan
adalah penggunaan stetoskop (prekordial dan esofageal), oksimeter denyut, kapnografi dan
analisa gas darah.
Pemantauan blokade neuromuskuler mempunyai kepentingan utama untuk
memastikan keefektifan penawaran blok neuromuskuler pada akhir operasi. Kecukupan
pulihnya penderita pada akhir operasi terhadap obat pelumpuh otot, umumnya
berdasarkan kriteria paremeter non respirasi, parameter respirasi dan respon pada
pemantauan stimulator syaraf.
Pada pemantauan temperatur tubuh alat yang digunakan dapat berupa termistor
atau thermocouple. Alat ini dapat ditempatkan pada membrana timpani, rektum,
nasofaring, esofagus, kandung kencing atau kulit. Keadaan hipotermi sering terjadi selama
tindakan anestesi dan pembedahan. Menggigil dapat menimbulkan efek yang berbahaya.
Aktivitas otot yang meningkat akan meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi
karbondioksida. Kebutuhan oksigen otot jantung juga akan meningkat, dapat mencapai
200% hingga 400%. Hal ini tentunya akan sangat berbahaya bagi pasien dengan kondisi fisik
yang jelek.
Dalam tindakan anestesi, pemantauan produksi urin menjadi hal yang penting.
Produksi urin menggambarkan fungsi sistem urogenital dan secara tidak langsung
menunjukkan keadaan curah jantung, volume intravaskuler dan aliran darah ke ginjal.
252 11 Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
254 11 Anestesiologi
BAB XIV
TERAPI CAIRAN
CAIRAN TUBUH
1. Elektrolit, terpenting:
Intrasel
K* dan P04- Na+ dan Cl'
Ekstrasel
2. Non elektrolit:
BM kecil Glukosa
BM besar : Protein
Cairan intravaskuler (5% BB) bila ditambah erythrocyt (3% BB) merupakan darah, jadi
volume darah berkisar 8% dari BB.
256 11 Anestesiologi
Jumlah volume darah berdasarkan estimated blood volume (EBV):
Neonatus Bayi 90 ml/kg BB Antara cairan intrasel dan
dan anak 80 ml/kg BB ekstrasel dibatasi oleh
Dewasa 70 ml/kg BB semipermiable cell membrane,
yang relatif lebih mudah dilalui oleh air. Primary solute yang mempengaruhi osmotic
gradient adalah natrium, di mana natrium ini kadarnya lebih tinggi di dalam cairan ekstrasel
(140 mEq/L), sedang di dalam intrasel hanya 10 mEq/L.
Pergerakan sodium di antara kedua kompartemen ini akan mendorong air untuk
melewati membran bersama molekul natrium.
Pada cairan ekstrasel, elektrolit dan tekanan onkotik secara bersama-sama
mempertahankan keseimbangan antara cairan intravaskuler dan interstisial.
Bila terdapat perbedaan konsentrasi protein di antara kedua kompartemen, akan
terjadi perbedaan tekanan onkotik, sehingga akan terjadi perpindahan cairan melewati
membran. Tekanan onkotik ini sangat berperan untuk menjaga keseimbangan antara cairan
intravaskuler dan interstisial. Cairan intravaskuler dan cairan interstisial dibatasi oleh kapiler
yang permeabel terhadap air dan elektrolit, tetapi impermiabel terhadap makromolekul
seperti plasma protein.
Komposisi elektrolit antara cairan intravaskuler dan interstisial relatif sama, tetapi
komposisi protein sedikit berbeda, di mana lebih tinggi pada cairan intravaskuler. Sehingga
protein ini paling berperan dalam tekanan onkotik.
Kompartemen cairan tubuh dipengaruhi oleh tekanan osmotik dan tekanan
hidrostatik. Tekanan hidrostatik ini yang akan mendorong cairan intravaskuler keluar melalui
kapiler menuju interstisial. Sebaliknya tekanan onkotikini akan menarik cairan dari interstisial
ke intravaskuler.
Bila konsentrasi protein intravaskuler turun, maka tekanan hidrostatik lebih besar,
sehingga cairan dari intravaskuler akan keluar ke interstisial. Jadi tekanan onkotik (yang
ditentukan oleh konsentrasi albumin/protein) dapat dianggap sebagai barrier untuk
mencegah keluarnya cairan dari intravaskuler ke interstisial.
PERDARAHAN
Klasifikasi Perdarahan
Variabel Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Sistolik (mmHg) >110 >100 >90 <90
.. Nadi (x/mnt) ....................... <100 ................... >100 ................... >120.....................>140
257 11 Anestesiologi
Nafas (x/mnt) 16 16-20 21-26 >26
Status mental anxious agitated confuse lethargic
Kehilangan darah 750-1500ml 1500-2000ml
<750ml <15% 15%30% 30%40% >2000ml >40%
Maximal allowable blood loss : (Ht-30)/Ht x EBV.
Hematokrit (Ht) normal : 36-45% (40%).
Pada dewasa,
perdarahan > 15% EBV
harus dilakukan : (Hbx-Hbpasien) x BB x 6 =... ml.
transfusi. : (Hbx-Hbpasien) x BB x 3 =... ml.
Transfusi dengan:
Whole blood : 3 x volume darah yang hilang.
Packed red cell : Sesuai dengan volume darah yang hilang.
Bila diganti cairan:
Kristaloid Koloid
CAIRAN
258 || Anestesiologi
TERAPI CAIRAN
Cairan resusitasi terbaik, sampai saat ini masih menjadi perdebatan, karena masing-
masing mempunyai keuntungan dan kerugian.
Kontroversi Kristaloid dan Koloid
Kristaloid Koloid
Efek volume intravaskuler lebih baik (efisien, volume
lebih kecil dan menetap lebih
lama).
Efek volume interstisial lebih baik -
D02 sistemik - lebih tinggi
Edema paru + +
Edema perifer sering jarang
Koagulopati - dextran > hetastarch
Aliran urine lebih besar GFR menurun
Reaksi-reaksi tidak ada jarang
Harga murah albumin mahal, non albumin
sedang
KESIMPULAN
1. Resusitasi cairan
a. Kristaloid:
NaCI maksimal 15 ml/kg
Lactate Ringer -> sesuai hemodinamik, walaupun dapat lebih besar dari NaCI.
b. Koloid: pada umumnya, maksimal 20 ml/kg
6%HES0,5 dalam NaCI 0,9% : maksimal 15 ml/kg
SHOCK
Adalah sindroma klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi kebutuhan oksigen
jaringan tubuh.
Stadium shock
1. Stadium kompensasi
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme kompensasi
fisiologis tubuh, dengan cara meningkatkan refleks simpatis, sehingga terjadi:
a. Resistensi sistemik meningkat:
Distribusi selektif aliran darah dari organ sekunder ke organ primer (otak,
jantung)
Resistensi arteriol meningkat -> diastolic pressure meningkat.
b. Heart rate meningkat -> cardiac output meningkat
c. Sekresi vasopressin, rennin-angiotensin-aldosteron meningkat ginjal menahan air dan
Na* di dalam sirkulasi
Manifestasi klinis: takikardia, gelisah, kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler lambat (>
2 detik).
2. Stadium dekompensasi
Pada stadium ini telah terjadi:
a. Perfusi jaringan buruk -> 02 sangat turun -> metabolisme anaerob -> laktat 'T" -> lactic
262 11 Anestesiologi
Sedangkan Ca02 berkaitan dengan saturasi 02 arterial (Sa02) dan Hb.
V02 (02 uptake = deman = consumption) akan meningkat setelah cardiac output
meningkat, V02 tidak akan meningkat setelah peningkatan Ht pasca transfusi.
Stroke volume dipengaruhi oleh preload, contractility dan afterload. Transfusi sel
264 11 Anestesiologi
BAB XV- Syoir dan Pengelolaan Hemodinamik || 265
BAB XV
266 11 Anestesiologi
1. Syok hipovolemik disebabkan oleh kehilangan volume akut sebesar > 20%-25% dari
volume darah yang beredar. Penyebab dari syok hipovolemik termasuk hemoragi
dan penumpukan cairan dalam tubuh, misalnya pada obstruksi usus. Syok
hipovolemik dikenali dari penurunan tekanan darah (Blood Pressure/BP), penurunan
kardiak output (Cardiac Output/CO), penurunan tekanan vena sentral (Central
Venous Pressure/CVP) dan penurunan tekanan arteri pulmonal (PulmonaryArtery
Pressure/PAP).
2. Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan utama dari jantung untuk menghasilkan
CO (cardiac output) yang adekuat. Ini bisa dikarenakan kegagalan ventrikel kiri,
ventrikel kanan atau keduanya. Penyebab umum tersering dari syok kardiogenik
adalah infark miokard dan komplikasi akutnya, disritmia ventrikuler, miokarditis,
kontusio kardiak dan pembedahan aorta proksimal. Wujud fisiologis syok kardiogenik
termasuk hipotensi, CO rendah walaupun status volume adekuat, peningkatan PAP
(Pulmonary arterial pressure) dan tekanan oklusi arteri pulmonal (Pulmonal Artery
Occlusion Pressure/?AOP) serta tanda-tanda klinis hipoperfusi.
3. Syok distributif dikenali dari penurunan denyut vaskuler akibat vasodilatasi arterial,
venous pooling, dan redistribusi aliran darah. Hal ini dapat dikarenakan oleh bakteria
hidup dan produk mereka dalam syok septik, mediator sindrom respon inflamasi
sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome/SIRS), berbagai macam bahan
vasoaktif dalam syok anafilaktik, atau dikarenakan hilangnya denyut vaskuler dalam
syok neurogenik atau apopleksi adrenal. Syok distributif dikenali dari BP yang rendah
dan CO yang tinggi.
4. Syok obstruktif dikaitkan dengan kesukaran mekanis pada arus balik vena dan/atau
aliran arteri ke jantung. Penyebab-penyebabnya antara lain tension pneumothorax,
emboli pulmonal, pericardial tamponade, sindrom kompartemen abdominal dan
kadang-kadang ventilasi tekanan positif, positive end-expiratory pressure (PEEP) dan
auto-PEEP. Syok obstruktif dikenali
Hipovolemik U u U
Kardiogenik u n U
Distributif
Septik u U
Anafilaktik (i (i <=>
Neurogenik u 0 <=>
Obstruktif u ft U
Tabel 2
Tanda-tanda Klinis Hipoperfusi Jaringan dan Disfungsi Seluler
Tekanan darah arteri dan cardiac output rendah, pengeluaran urin sedikit,
penurunan turgor kulit, perubahan status mental.
Asidosis metabolik, defisit basa, bikarbonat serum rendah. Peningkatan laktat
serum. pH intra gastric rendah.
Mixed venous P02 rendah
Tabel3
Determinan Mixed Venous P02
Cardiac Output Pa02
02 dissociation curve shift
Konsumsi 02jaringan (V02) ________________________
E. Pengelolaan Syok
1. Pengukuran menyeluruh dilakukan dengan segera termasuk terapi suportif dan studi
diagnostik.
a. Akses intravena (IV) yang adekuat harus terjamin, termasuk saluran IV perifer
kaliber besar mendekati akses sentral, dengan tujuan untuk memastikan
pengaturan volume aliran.
b. Evaluasi jalan napas harus dilakukan karena intubasi endotrakheal dan ventilasi
mekanik mungkin diperlukan ketika terjadi hipoksemia, hiperkarbia, edema
270 11 Anestesiologi
jalan napas atau perubahan status mental.
2. Penggantian volume intravaskuler merupakan dasar dari perawatan hipotensi dan
syok, terutama syok hipovolemik dan syok distributif. Pasien dengan diagnosis tipe
syok yang lain juga memerlukan evaluasi dan optimalisasi status cairan mereka.
Penggantian volume yang tepat membutuhkan pengertian tentang hemodinamik
dan pilihan sistem pengawasan yang tepat. Sayangnya, tidak ada parameter tunggal
yang dapat digunakan sebagai pedoman terpercaya volume resusitasi. Re- susitasi
yang inadekuat dapat terlihat dari hipoperfusi jaringan, tetapi penggantian volume
yang berlebihan dapat menyebabkan edema jaringan, gagal jantung kongestif,
kekacauan metabolisme dan koagulopati.
a. Kristaloid. Larutan kristaloid yang paling sering dipakai adalah Ringer Lactate
dan normal saline. Larutan-larutan ini hampir isotonik, cepat keluar dari ruang
intravaskuler dan volumenya setara % kali defisit intravaskuler yang dibutuhkan
untuk mengembalikan volume sirkulasi. Keuntungan larutan kristaloid
termasuk biaya rendah, penyimpanan yang mudah dan ketersediaan. Larutan
yang mengandung Dextrose tidak boleh digunakan dalam resusitasi volume
karena bahaya hiperglikemia dan kesukaran mengawasi level glukosa darah
dengan tepat selama resusitasi. Sedikit volume Hypertonic saline [3% NaCI)
dapat memenuhi volume intravaskuler tanpa menaikkan volume intravaskuler
secara signifikan dan dapat berguna pada resusitasi pasien dengan/tanpa cidera
kepala.
Tabel 4
Inotropik dan Vasopresor yang Umum Digunakan
Katekolamin Sintetis
Dobutamin ßl/ ß2 CO, HR, / BP
Inhibitor BP, H R, / / CO
Fosfodiesterase-lll Cyclic GMP
Milrinon mediated / BP, HR, CO
Hormon
Vasopresin G protein mediated BP
274 11 Anestesiologi
A. Zat inotropik Menaikkan Kontraktilitas Jantung
1. Dopamin adalah pelopor norepinefrin dan epinefrin. Pada dosis rendah akan
mempengaruhi vascular rdopamine receptors (ginjal dan mesen- terika) mengarah ke
vasodilatasi. Pada dosis yang lebih tinggi, dopamine akan mempengaruhi
6radrenergic receptors yang bergabung dengan inotropik positif dan efek kronotropik.
Pada dosis yang jauh lebih tinggi dopamine akan mengajak aradrenergik receptors
yang akan bergabung dengan efek vasokonstriktif. Dopamine sering dipilih sebagai
zat utama untuk syok karena potensi efeknya yang bermanfaat dalam sirkulasi ginjal
dan CO. Namun efek kronotropik dan prodisritmik yang diperkirakan akan berkurang
pada pasien dengan iskemia miokardial.
2. Dobutamin juga menstimulasi reseptor 3-adrenergik, tetapi tidak berefek pada -dan
a-mediated. Oleh karena itu dobutamine menaikkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut vaskuler. Kombinasi dua efek ini membuat dobutamine menjadi
zat yang sempurna untuk perawatan syok kardiogenik. Yang membatasi kerja
dobutamine adalah efek vasodilator intrinsiknya, di mana hal ini menyebabkan
hipotensi sistemik dan efek kronotropik yang lumayan.
3. Dopexamin adalah turunan sintetis dari dopamine dengan dan (32yang lebih baik
dibandingkan aktifitas Pi serta tidak ada aktifitas a, sehingga mengurangi tipikal efek
kronotropik dan efek pro-disritmik dopamine. Dopexamine tidak diizinkan untuk
penggunaan klinis di USA, dan penggunaannya di Eropa dihindari karena harganya
yang mahal.
4. Epinefrin adalah katekolamin kuat yang menstimulasi reseptor a-, pr dan p2-
adrenergik. Epinefrin tetap pilihan utama untuk resusitasi kardio- pulmonar. Efeknya
terhadap BP tergantung pada efek positif inotropik dan kronotropik serta dasar
vasokonstriksi vaskuler, terutama kulit, mukosa dan ginjal. Efek ß2 epinefrin yang kuat
memicu bronkodilasi dan menghambat degranulasi sel mast. Sehingga membuat
epinefrin menjadi obat pilihan untuk anafilaksis. Pada dewasa, pemberian epinefrin
IV 0, 1-0, 5 mg (0,1-0, 5 ml dalam larutan 1:1000) merupakan dosis awal umum yang
tepat untuk pasien hipotensi berat, diikuti infus kontinyu 1-4 pg/menit.
5. Norepinefrin atau katekolamin, memiliki aktifitas a-dan ß-adrenergik. Efek
vasokonstriksi dan inotropiknya yang kuat menjadikan norepinefrin sebagai obat
pilihan di ICU untuk mengatasi ketidakstabilan hemodi- namik pada pasien yang
membutuhkan bantuan untuk denyut vaskuler dan kontraktilitas miokardial. Contoh
tipikal adalah pasien-pasien syok septic yang memiliki derajat preexistent atau
disfungsi miokardial akut. Dibandingkan dengan epinefrin, norepinefrin tidak memiliki
aktifitas ß2.
6. Inhibitor Phosphodiesterase-lll (PDE-III). Amrinone dan milrinone
menggunakan efek hemodinamiknya melewati inhibisi dari PDE-III, di mana hal ini
meningkatkan jumlah cydic guanosine monophosphate (GMP) dalam
endothelium, sehingga meningkatkan kontraktilitas miokardial dan relaksasi diastolik
V. Oliguria
Oliguria didefinisikan sebagai pengeluaran urin <0, 5 mL/kg/jam untuk >2 jam. Hal ini
276 11 Anestesiologi
merupakan penanda penting untuk hipoperfusi. Oliguria bisa juga karena cidera ginjal
langsung atau obstruksi postrenal. Dua keadaan ini menghalangi penggunaan output urin
sebagai target adekuatnya resusitasi syok. Penyebab oliguria dibagi menjadi prerenal, renal
dan postrenal (lihat table 7-3).
Untuk pasien anak, output urin <1 mL/kg/jam menunjukkan oliguria. Untuk bayi <2
tahun, output urin <2mL/kg/jam menunjukkan oliguria.
Tabel 5-1
Diagnosis Deferensial Oliguria
Prerenal
Penurunan kardiak output (mis. Deplesi volume, gagal jantung, tamponade).
Redistribusi aliran darah (syok distributif) dengan vasodilatasi perifer dan/atau
shunting
Renal
Penyakit glomeruler (mis. glomerulonefritis)
Penyakit vaskuler (mis. vaskulitis)
Penyakit interstisial (mis. antibiotik)
Penyakit tubulus renalis Iskemia
Obat-obat nefrotoksik Postrenal (Obstruktif)
Obstruksi ureter bilateral Striktur uretra Obstruksi
bladder outlet Obstruksi karena kateter urin
Pada pasien kritis, penilaian status volume dengan pemeriksaan fisik seringkali sulit
dilakukan dan pengawasan hemodinamik invasive dapat sangat membantu. Pada pasien
dengan oliguria, pemeriksaan laboratorium tambahan dapat membantu untuk menilai
kemampuan ginjal mengolah sodium dan air. Beberapa tes laboratorium untuk menilai
fungsi ginjal terangkum dalam Tabel 7-4. Hasil dari tes-tes tsb harus didapatkan sebelum
pemberian diuretik.
Tabel 5-2
Tes Laboratorium untuk Membedakan Kondisi Prerenal
dari Nekrosis Tubulär Akut (ATN)
*Fraksional Ekskresi Sodium (FENa) = ([sodium urin Sodium serum] * [kreatinin urin ■* Kreatinin
serum]) x 100
VI. Manajemen Insufisíensi Renal Akut
Syok kerena hipoperfusi dapat mengarah pada insufisiensi atau kegagalan, seperti
penyebab langsung renal lainnya yang berkaitan dengan kritisnya sakit. Manajemen
insufisiensi ginjal akut harus difokuskan pada koreksi penyebab pokoknya, bila
memungkinkan. Volume intravaskuler yang adekuat harus dijaga. Walau jarang, obstruksi
traktus urinarius amat mudah mengancam dan harus diwaspadai. Diagnosis obstruksi
didasarkan pada adanya dilatasi ginjal atau sistem kolektif urin pada USG. Pengawasan yang
teliti terhadap output urin disempurnakan dengan penggunaan kateter urin. Resusitasi
volume telah digunakan untuk menjaga output urin dan mencegah gagal ginjal sebelum
dan sesudah pemberian agen radiokontras atau pada keadaan cedera mayor jaringan
lunak. Loop diuretics juga digunakan dalam perawatan pasien dengan oliguria. Walau
output urin bisa meningkat setelah pemberian diuretik, hal ini jangan diartikan sebagai
peningkatan filtrasi glomerular. Volume intravaskuler harus diperbaiki sebelum penggunaan
diuretik. Dopamin dengan dosis rendah, walau belum terbukti efektif, telah digunakan
dalam usaha meningkatkan aliran darah ke ginjal. Sekali oliguria gagal ginjal akut terjadi,
cairan harus dibatasi hanya untuk penggantian cairan yang hilang teerus-menerus
(termasuk kehilangan yang tidak disadari). Dalam status penyakit yang dikaitkan dengan
kehilangan cairan terus-menerus, pemberian cairan penting untuk menjaga preload
ventrikuler kiri yang adekuat. Kehilangan ini bisa substansial, seperti pada pancreatitis, sepsis
parah dan luka terbuka yang luas.
Dosis obat yang bisa diekskresi ginjal harus disesuaikan, dan obat-obat nefrotoksik
harus dihindari bila memungkinkan. Elektrolit dan status asam basa pasien dengan gagal
ginjal akut harus diawasi ketat. Perhatian khusus harus ditujukan pada konsentrasi
potassium, fosfat, kalsium, dan bikarbonat. Hiperkalemia biasanya dapat diatasi secara
medis sampai diálisis bisa dilakukan. Diálisis atau hemofiltrasi harus dilakukan untuk
manajemen uremia, overload volume, hiperkalemia atau asidosis persisten. Diálisis bisa saja
tercapai dalam hemodialisis, peritoneal diálisis, hemofiltrasi arteriovena berkelanjutan
dengan diálisis, atau hemofiltrasi vena-vena berkelanjutan dengan diálisis. []
278 11 Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
1. Stacey Remchuk, Keith Baker and Luca Bigatello. Hemodinamic Management. In:
Critical Care Hand Book of Massachusetts General Hospital. 4th edition.
2. FCCS Fundamental Critical Care Suport 3rd ed. Society of Critical Care Medicine. USA
2002.
3. Marino PL. The Litle ICU Book of Fact and Formula. Lippincott Williams Wilkins, a
Wolters Kluwer. 2009:97-171.
BAB XVI
RESUSITASI CAIRAN
Soenarjo
PENDAHULUAN
RESUSITASI cairan adalah pemberian cairan adekwat dalam waktu relative cepat
pada penderita gawat akibat kekurangan cairan. Kekurangan cairan pada penderita gawat
umumnya perdarahan akibat kecelakaan atau kekurangan cairan karena sebab yang lain.
Penderita masih dapat bertahan hidup walaupun kehilangan fungsi 85 % hepar, 75 % renal,
55 % kapasitas paru, dan 75 % butir darah merah, tetapi berakibat fatal bila penderita
kehilangan cairan tubuh sebanyak lebih dari sepertiga cairan tubuh.
Adakah pengaruh macam cairan resusitasi terhadap hasil akhir?
CAIRAN TUBUH
Cairan tubuh dibagi dua, yaitu cairan intrasel dan cairan ekstrasel. Cairan intrasel
antara infant dan dewasa jumlahnya sama sebanyak 40 %, sedangkan cairan ekstrasel
berbeda, infant 30 % dan dewasa 20 %.
Cairan tubuh rata-rata pada laki-laki 60 % dari berat badan, wanita 50 %, dan infant
70 %. Angka-angka tersebut berbeda pada penderita gemuk dan kurus. (Gambari)
Cairan intrasel berisi ion kalium, protein dan P04- . Cairan ekstrasel terdiri atas, cairan
interstitial, dan cairan intravaskuler. Cairan interstitial berisi ion Na+ dan CI-, sedangkan
cairan intravaskuler berisi darah.
Gambar 1
280 11 Anestesiologi
TOTAL BODY WATER
INFANT MALE FEMALE
THIN 80 65 55
AVERAGE 70 50
60
FAT 65 55 45
As % of BODY WEIGHT
Komposisi Cairan
Cairan pada infant berbeda komposisinya bila dibanding dengan dewasa, yaitu
bedanya terletak pada cairan ekstra sel. Pada infant cairan interstitial sebanyak 25 %, dan
cairan intravaskuler 5 %. Cairan intrasel sama dengan dewasa, sebesar 40 %.
Cairan pada dewasa, interstitial sebesar 15 %, dan cairan intravaskuler sama sebesar
5 %. (Gambar 2,3)
Cairan ekstrasel merupakan bantalan terhadap cairan intrasel, sehingga cairan yang
keluar dan masuk lewat cairan ekstrasel, seolah olah cairan intrasel terlindung. Cairan masuk
ke dalam tubuh secara fisiologis lewat minum atau oral, sedangkan secara tidak fisiologis
lewat infus. Cairan keluar dari tubuh lewat paru, kulit intestinal dan urin.
Kapan Mulai Memberi Cairan?
Pemberian cairan dimulai bila penderita mengalami hipovolemia. Hipovolemi dapat
dilihat dari tanda-tanda klinis dan laboratoris.
Tanda klinis: mulut kering, haus, tensi rendah, nadi cepat, respirasi cepat, dingin,
produksi urin kurang dan kesadaran terganggu.
Tanda laboratories dapat dilihat dari tekanan vena sentral, cardiac output, oxygen
consumption, pH darah, mixed venous oxygen saturation dan serum laktat.
Apa yang Harus Diberikan?
Ada empat macam cairan yang perlu diberikan pada penderita mengalami
kekurangan cairan mendadak: 1. kristaloid 2. koloid 3. "whole blood" dan 4. larutan
hipertonis.
1. Kristaloid
Ada beberapa macam cairan kristaloid: a) NaCI isotonis. b) hartman's ringer lactate. c)
ringer acetate.
Pemberian NaCI isotonis harus hati-hati pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal, karena kalau kebanyakan NaCI isotonis akan menyebabkan asidosis hiperkloremik.
Ringer lactate merupakan cairan yang ideal, sebab komposisinya hampir sama dengan
cairan tubuh.
Ringer asetat dapat digunakan pada penderita dengan gangguan fungsi hepar, karena
ringer acetate dimetabolisir di otot dan jaringan lain.
Dalam keadaan darurat di mana perlu cairan banyak tidak dianjurkan menggunakan
cairan NaCI 'A %, 1/4 %, dan glukosa, karena dapat menyebabkan intoksikasi air. Kalau
memberikan infus NaCI isotonis, maka cairan tersebut akan masuk intravaskuler,
282 11 Anestesiologi
selanjutnya menuju ke interstitial. Cairan kristaloid akan didistribusikan ke seluruh ruang
ekstrasel, sehingga kristaloid merupakan indikasi dan sangat efektif mengisi ruang ekstrasel
bila ruang tersebut kehilangan cairan.
2. Koloid
Cairan koloid secara luas digunakan untuk resusitasi cairan pada penderita sakit
kritis.Ada beberapa macam koloid, antara lain: albumin, larutan gelatine, larutan dextrans,
larutan HES. Ada beberapa pilihan cairan koloid, tetapi masih terjadi perbedaan pendapat
tentang efektifitas relatif antara koloid dan kristaloid. Cairan koloid (misalnya, hydroxyethyl
starch, albumin, dextrans) efektif untuk penggantian volume cairan selama perdarahan
hebat. Protein atau starch bermolekul besar sehingga tetap dalam sirkulasi antara 1 sampai
4 jam, tergantung pada larutan yang digunakan.2 Koloid bila diberikan lewat infus akan
mengisi seluruh ruang intravaskuler, dengan demikian koloid sangat efektif pada penderita
yang mengalami hipovolemik. Dalam praktek sering digunakan koloid sintetik, karena reaksi
anapilaktoidnya sedikit. Reaksi anapilaktoid yang paling besar adalah gelatin, kemudian
disusul dextran dan selanjutnya albumin dan yang terakhir HES. Pemberian koloid
menaikkan aliran mikrosirkulasi usus halus dan tekanan oksigen jaringan usus, sedangkan
krestaloid tidak mempunyai efek yang sama.5 Meskipun secara teori koloid lebih dibanding
dengan kristaloid, tetapi belum ada pembuktian perbedaan dalam survival*
Indikasi koloid sintetik
Absolute: hipovolomi karena perdarahan, kehilangan darah perioperatif. Relatif: hipovolemi
akibat sepsis atau anestesi, luka bakar, teknik penyimpanan darah (penghemat penggunaan
darah), priming ofthe heartlung machine. dan plasmaphersis
Keuntungan koloid sintetik
Keuntungan penggunaan kolod sintetik: harga tidak mahal dan bebas dari infeksi,
mudah didapat dalam jumlah banyak, stabil dalam waktu lama, tekanan osmotic koloid dan
viskositas sama dengan plasma, dieliminasi lewat ginjal secara lengkap, tidak lama disimpan
dalam tubuh, efek volume dan durasi cukup, bebas dari gangguan koagulasi, tidak toksik,
alergi dan reaksi antigenik.
Efek koloid sintetik
Setelah cairan koloid masuk intravena, tekanan onkotik naik menyebabkan volume
intravena bertambah, sehingga dapat menyebabkan hemodilusi dan juga menaikkan
venous flowback (preload). Hemodilusi mengakibatkan menurunnya hematokrit dan
menaikkan rheology. Akibat dari preload dapat menyebabkan meningkatnya cardiac
output, sedangkan meningkatnya perbaikan rheology menyebabkan menurunnya flow
resistance dengan akibat naiknya cardiac output. Menurunnya hematokrit dapat
menyebabkan menurunnya konsentrasi oksigen arterial. Kenaikan rheology dapat
menyebabkan menurunnya flow resistance, dengan akibat meningkatnya D02, dan
meningkatnya cardiac output. Venous flowback (preload) yang naik juga dapat menaikkan
Albumin
Efek albumin pada hasil akhir masih kontroversi dan butuh waktu menunggu hasil
penelitian prospektif, multi sentrik dan acak. Keuntungan penggunaan albumin bila
dibanding dengan koloid sintetik, adalah bahwa albumin dosisnya berkurang, mengurangi
risiko coagulopathy, mengurangi risiko pruritus dari HES, dan mengurangi risiko anaphylaxis
(Groeneveld Crit Care 2000; 4: S16-S20).
Menurut meta-analisis pro-albumin, pencatatan kejadian serius mulai tahun 1009-
1997 dari 100 juta dosis albumin, terjadi 123 kejadian serius, tidak ada kematian akibat
pemberian albumin. Reaksi fatal akibat albumin sekitar 5, 2 per 100 juta dosis. (Van Hoegen.
Crit Care Med 2001; 29:994-996, Groeneveld. Crit Care 2000; 4: S16-S 20)
Penggunaan koloid dan kristaloid mempunyai beberapa keuntungan dan
kerugiannya, sehingga ada yang pro dan yang kontra pada penggunaan antara koloid dan
kristaloid.
Ada beberapa hal yang perlu kesepakatan yaitu bahwa:
1. Resusitasi dengan cairan sangat bermanfaat.
2. Anemia ditoleransikan lebih baik daripada hipovolemia. Pada perdarahan akut pada
orang sehat anemia dapat ditoleransikan sampai 50%, sedangkan hipovolemia hanya
30%.
3. Dijaga jangan sampai kelebihan cairan.
4. Mempertahankan TOK sebagai tujuan terapi cairan yang diinginkan; larutan koloid
lebih efektif dalam mempertahankan tekanan osmotik koloid.
Larutan koloid merupakan bentuk penggantian volume darah yang lebih efisien
daripada larutan kristaloid. Untuk mencapai titik akhir tertentu diperlukan lebih sedikit
larutan koloid daripada larutan kristaloid. Larutan koloid harganya lebih mahal bila
284 11 Anestesiologi
dibandingkan dengan larutan kristaloid. Larutan kristaloid tidak menyebabkan reaksi
anakfilaktoid, sedangkan koloid dapat menyebabkan reaksi anakfilaktoid, walaupun reaksi
tersebut jarang terjadi pada syok.
Hemodilusi sebelum transfusi baik dengan kristaloid maupun koloid bermanfaat pada
restorasi volume darah.
Mana yang kita pilih, kristaloid atau koloid?
Pro koloid:
1. Koloid diperlukan untuk ekspansi ruang intrvaskuler
2. Koloid mempertahankan TOK (tekanan onkotik) dan meminimalkan akumulasi cairan
interstisial.
3. Kristaloid menurunkan TOK, sehingga memudahkan terjadi edema paru.
4. Penurunan TOK, dapat menyebabkan laju mortalitas meninggi.
5. Pemberian koloid menyebabkan perbaikan hemodinamik, tanpa ada bukti
meningkatnya air paru atau terperangkapnya albumin.8
6. Pemberian kristaloid menyebabkan pertukaran gas di paru lebih buruk, terjadi
penurunan V02, sedangkan perbaikan hemodinamik sedang- sedang saja.8
7. Koloid menyebabkan perbaikan nyata pada semua variable hemodinamik dan D029.
8. Kristalloid hanya sedikit perbaikan pada hemodinamik.9.
9. Dengan kritaloid ruang interstitial sangat membesar dan tidak ada mekanisme
kompensasi untuk mobilisasi dan ekskresi cairan9.
10. Pemberian koloid selama pembedahan berhubungan dengan perbaikan profil
penyembuhan dan kenyamanan pasien lebih baik, dibanding dengan pemberian
kristaloid. Perbedaan ini mengakibatkan memperpendek masa rawat inap, sehingga
biaya lebih ringan.
Pro kristaloid:
1. Koloid harga lebih mahal, sehingga biaya mahal, dan kemungkinan bisa terjadi reaksi
anafilaktoid.
2. Koloid dapat keluar ke interstisium dan dapat terperangkap, sehingga dapat
menyebabkan edema.
Koloid lebih unggul bila dibanding dengan kristaloid pada waktu digunakan untuk
resusitasi cairan. Pada penelitian menunjukkan bahwa kelompok koloid pada variabel
hemodinamik menunjukkan keadaan lebih baik, tanpa ada bukti meningkatnya air paru
atau terperangkapnya albumin. Sedangkan kelompok kristaloid, pertukaran gas lebih buruk,
terjadi penurunan V02, dan perbaikan hemodinamik sedang saja8. Dalam penelitian yang
lain, menunjukkan bahwa koloid menyebabkan perbaikan nyata pada semua variabel
hemodinamik dan D02, sedangkan kristaloid menunjukkan perbaikan sedikit. Ruang
interstitial sangat membesar dan tidak ada mekanisme kompensasi untuk mobilisasi dan
ekskresi cairan.9
Resusitasi cairan pada penderita syok menunjukkan bahwa koloid sendiri mungkin
286 11 Anestesiologi
Berapa batas penggantian cairan?
Penggantian cairan bukan tanpa batas, karena kalau terjadi
hyperdilution oxygen carrying capacity akan menurun. Demikian sebaliknya
jika underdilution oxygen carrying capacity juga menurun, (gambar
bawahjPemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu, karena kalau
hematokrit kurang dari 10 % dikhawatirkan terjadi hipoksi jaringan, dan bila
berlanjut dapat terjadi kegagalan sistem.
Pada penelitian terakhir menunjukkan bahwa hemoglobin 7 gram %
pada orang sehat tanpa kelainan jantung, paru dan pembuluh darah masih
dalam batas aman, kecuali bila mengalami perubahan fisiologik, misalnya
tampak lelah, napas cepat, maka batas hemoglobin 7 gr % perlu dinaikkan.
Dengan batasan hemoglobin 7 gr% maka dapat menghemat transfusi darah,
selain menghindari terjadinya efek samping transfusi.
Gambar hubungan antara hypervolemia, normovolemia dan under-
volemia terhadap oxygen transport capacity.
Ilcmodilution Ilcmoconccnlralion
288 11 Anestesiologi
katkan general well being. Darah merupakan bahan penyelamat nyawa namun dapat
mengancam nyawa bila diberikan secara salah.
Whole blood merupakan campuran koloid, elektrolid, butir dan darah merah.
Keuntungan penggunaan darah:dapat mengisi ruang intravaskuler, merupakan oxygen
carrying capacity, dan merupakan pengganti utama bila terjadi syok karena perdarahan.
Whole blood sering digunakan, tetapi banyak permasalahan sehingga
penggunaannya harus secara tepat, perlu hati-hati dan rasional.
Penyimpanan darah mengandung:l. acid citrate dextrose (ACD), atau 2. citrate
phosphate dextrose (CPD). merupakan antikoagulan yang sering dipakai. Citrate berperan
sebagai antikoagulan.
CPD lebih baik dari ACD karena CPD mengandung fosfat (buffer), mempertahankan
level ATP sel darah, penyimpanan memanjang, level 2.3 di phospho glycerate (2.3 DPGjlebih
banyak, pH lebih tinggi, kalium lebih rendah. CPD sering ditambah adenine (CPD-A).
Darah simpan dapat menyebabkan penurunan 2.3 DPG secara progresif, tetapi
penurunannya reversible, kurva disosiasi oksihemoglobin bergeser kekiri, dan darah simpan
yang dingin dapat menyebabkan hipoksi jaringan.
Cara untuk mengurangi risiko hipoksi jaringan akibat pemberian transfusi dingin yaitu
dengan: menghangatkan darah, jangan memberi natrium bikarbonat berlebihan, gunakan
darah simpan CPD dan gunakan darah simpan kurang dari 7 hari. Jangan memberikan
natrium bikarbonat secara rutin, perlu pemeriksaan analisa gas darah. (Groeneveld Crit Care
2000; 4: S16-S20)
Keuntungan transfusi darah: Mengembalikan volume darah, tetap di intravaskuler,
menaikkan 02 delivery ke jaringan.
Risiko transfusi darah
Pemberian transfusi dapat menimbulkan risiko, sehingga perlu hati-hati karena dapat
menyebabkan:
1. Infeksi.
2. Incompatible blood transfusión.
3. Lung injury akibat transfuse massif.
4. Alergi.
5. Alloimunisasi.
6. Hipotensi akibat terlepasnya bradikinin.
7. Renalfailure akibat hemolisis dan free haemoglobin load.
Cara menghindari
Tidak ada satu test pun yang aman. Selalu banyak perubahan dan perkembangan
penyakit yang tidak diketahui dan kematian terhadap transfusi darah akibat mengabaikan
protap atau kesalahan manusia.
Ada beberapa macam efek biokimia dan fisiologik misalnya, hiperkalemi, hipokalsemi
290 11 Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
1. Smith K, Brain E. Fluids & Electrolyte. A conceptual Approach. New York: Churchill
Livingstone; 1980.
2. Weil MH. Shock and fluid resuscitation. Merck Manual. May 2007. Available from:
http://www. merck. com/mmpe/sec06/ch067/ch067a. html.
3. SHOCK. Shock: Assessment and management priorities. Available from: robeeon.
net/search/MANAGEMENT+OF+SHOCK.
4. Krausz MM. Initial resuscitation of hemorrhagic shock. World Journal of Emergency
Surgery 2006,1:14).
5. Hinterland LB, Kimberger 0, Arnberger M, Brandt S, Kurz A, and Sigurdsson GH.
Crystalloids versus colloids for goal-directed fluid therapy in major surgery. Critical
Care 2009 Available from: (http://creative commons, org/licenses/by/2.0) koa.
6. Groeneveld Crit Care 2000; 4 : S16-S20.
7. Van Hoegen. Crit Care Med 2001;29 :994-996.
8. Hansen □, Shoemaker WC. Turpin I, Golberg □. Oxygen transport responses to colloid
and crystalloids in critically surgical patient. Surgery 1980; 150:811-6).
9. Appel PL, Shoemaker WC. Evaluation of fluid therapy in adult respiratory failure. Crit
Care Med 1981; 9:862 - 9).
10. Scheinkesiel CD, Tuxen DV, Cade JF et al 1989. Rady M. 1994).
11. Snyder E, Walker M. Shock. Department Surgery Huntington Memorial Hospital.
Available from www. physicianeducation. org/downloads/. . . /Shock/
12. Walsh TS and Saleh Ezz-Del-Din. Anemia during critical illness. British Journal of
Anaesthesiology 97 (3): 278-91 (2006).
MASALAH NYERI
Witjaksono, Yulia Wahyu Villyastuti, Doso Sutiyono
PENDAHULUAN
NYERI adalah salah satu alasan utama penderita mencari pertolongan medis,
Mekanisme neurobiologi yang mendasari sudah semakin jelas, sehingga pendekatan terapi
berdasar mekanisme sudah dapat dilakukan sejak awal sampai akhir sekalipun. Nyeri
digolongkan ke dalam tanda vital ke 5, dapat memberikan perubahan fisiologi, ekonomi,
sosial dan emosional yang berkepanjangan, seperti ditunjukkan pada tabel 1, sehingga perlu
dikelola secara baik.
Definisi nyeri menurut IASP: nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau
yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.
Tabel 1
Akibat Nyeri Akut Karena Trauma Jaringan
292 || Anestesiologi
Definisi nyeri tersebut menjelaskan konsep bahwa nyeri adalah produk kerusakan
struktural, bukan saja respon sensorik dari suatu proses nosisepsi, harus dipercaya seperti
yang dinyatakan penderita, tetapi juga merupakan respon emosional (psikologik) yang
didasari atas pengalaman termasuk pengalaman nyeri sebelumnya.
Persepsi nyeri menjadi sangat subyektif tergantung kondisi emosi dan pengalaman
emosional sebelumnya. Toleransi terhadap nyeri meningkat bersama pengertian, simpati,
persaudaraan, alih perhatian, pendekatan kepercayaan- budaya, pengetahuan, pemberian
analgesi, ansiolitik, antidepresan dan pengurangan gejala. Sedangkan toleransi nyeri
menurun pada keadaan marah, cemas, kebosanan, kelelahan, depresi, penolakan sosial,
isolasi mental dan keadaan yang tak menyenangkan.
Plastisitas saraf sentral maupun perifer menjadi dasar pengetahuan nyeri patologik
atau yang diidentikkan sebagai nyeri kronik.
KLASIFIKASI NYERI
1. Berdasarkan waktu durasi nyeri:
a. Nyeri akut: < 3 bulan, mendadak akibat trauma atau inflamasi, tanda respon
simpatis, penderita anxietas sedangkan keluarga suportif.
b. Nyeri kronik: > 3 bulan, hilang timbul atau terus menerus, tanda respon
parasimpatis, penderita depresi sedangkan keluarga lelah.
2. Berdasarkan etiologi, ke dalam:
a. Nyeri nosiseptik; rangsang timbul oleh mediator nyeri, seperti pada paska
trauma-operasi dan luka bakar.
b. Nyeri neuropatik: rangsang oleh kerusakan saraf atau disfungsi saraf, seperti
pada diabetes mellitus, herpes zoster.
3. Berdasarkan intensitas nyeri, ke dalam:
a. Skala visual analog score: 1-10
b. Skala wajah Wong Baker: tanpa nyeri, nyeri ringan, sedang, berat, tak
tertahankan.
4. Berdasarkan lokasi:
a. Nyeri superfisial: nyeri pada kulit, subkutan, bersifat tajam, terlokasi
b. Nyeri somatik dalam: nyeri berasal dari otot, tendo, tumpul, kurang terlokasi.
No humor Kriout
9 9
Hi Furrow«! brow Mow blink Eyes dosed
CAN purvd lip* open mouth moaning
BE breath holding crying
IGNORED BEDREST
REQUIRED
phantom: persepsi nyeri dihubungkan dengan bagian tubuh yang hilang seperti
pada amputasi ekstremitas.
01 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Wrinkle«! nose raised upper lips rapid breathing
INTERFERES INTERFERES INTERFERES
WITH WITH WITH BASIC
TASKS CONCENTRATION NEEDS
Gambari
Skala Intensitas Nyeri
Nyeri dikelompokkan pula berdasar area nyeri, ke dalam: nyeri kepala, leher, dada,
abdomen, punggung, pinggang bawah, pelvik, ekstremitas dan sebagainya.
Berdasarkan sifat nyeri ke dalam nyeri tusuk, teriris, terbakar, kemang, nyeri sentuh,
nyeri gerak, berdenyut, menyebar, hilang timbul, dan sebagainya.
Klasifikasi nyeri akan sangat berguna untuk menentukan penyebab, membedakan
nyeri neuropatik dari nosisepsi, merencanakan terapi dan evaluasi penderita.
294 || Anestesiologi
MEKANISME NYERI
Nyeri adalah fenomena yang rumit dan komplek dan sekurang terdapat 3 hal yang
penting, yakni: mekanisme nosisepsi, perilaku nyeri (neuromatrik melzack) dan plastisitas
saraf.
Sensitizing “Soup"
Gambar 2
SupSensitisasi
295 || Anestesiologi
2. Perilaku nyeri [neuromatrik meizaek)
Descending Modulation Pathway
Neuromatrik adalah sistem yang komplek, meliputi jaras-jaras yang melibatkan
medula spinalis,talamus, jaringan abu-abu periaquaductal, kortek somatosensorik dan
sistem limbik. Faktor yang mempengaruhi neuromatrik termasuk faktor genetik, keadaan
fisiologik, faktor psikososial, termasuk masukan aferen primer yang dianggap dari kerusakan
jaringan, sistem imuno endokrin, sistem inhibisi nyeri, tekanan emosi dan status penyakit.
Neuromatrik dianggap bertanggung jawab terhadap pembentukan persepsi kita terhadap
nyeri dan menentukan perilaku nyeri.
Ascending Pain Pathway
296 || Anestesiologi
Gambar4
Neuromatrik Melzack
baru di
bagian distal
lesi dan di
ganglion radik dorsal saraf lesi, interaksi antar serabut saraf dan timbulnya reseptor
adrenergik alfa 2. Pada tingkat sentral, mekanisme ditimbulkan oleh: sensitasi sentral
berhubungan dengan reseptor glutamat pasca sinap, reorganisasi sentral dari serabut alfa
beta, dan hilangnya kontrol inhibisi nyeri.
U
Gambar 6
Obat Anti Inflamasi Nonsteroid
Golongan obat anti inflamasi nonsteroid yang sering dipakai dapat dilihat pada
tabel 2 berikut ini.
Tabel 2
Obat Anti Inflamasi Non Steroid
300 || Anestesiologi
Nama Obat Dosis Cara Pemberian
Golongan opioid
Obat ini bekerja pada reseptor opioid mu, kappa, delta dan sigma yang berada di
sentral maupun perifer. Sebagian besar opioid bekerja sebagai agonis mu.
Golongan opioid dibedakan antara opioid lemah seperti kodein, tramadol dan opioid
kuat seperti morfin, fentanil. Opioid diberikan untuk nyeri sedang sampai berat dengan
efek samping seperti mual, muntah, konstipasi, retensi urine dan sedasi. Ketakutan akan
timbulnya toleransi, ketergantungan fisik dan psikik bukan alasan untuk menunda
pemberian morfin pada penderita kanker karena resiko adiksi pada penderita kanker
dengan nyeri adalah kecil,
Kodein digunakan pada step 2 dari WHO analgesik ladder, dosis awal 6 X 10 mg
dengan dosis maksimal 6X40 mg, seringkah bersama parasetamol.
Morfin adalah opioid kuat, tersedia dalam bentuk sediaan oral (paling cocok untuk
nyeri kanker) dan parenteral. Dosis ekivalensi morfin adalah: 100 mg oral, 10 mg parenteral,
1 mg epidural, 0,1 spinal.
Golongan obat ajuvan
Obat ajuvan seperti anti konvulsi, anti depresi, neuroleptik dan korti- kosteroid
dipakai seringkah pada nyeri kronik berat.
Anti depresi trisiklik seperti amitriptilin 25-50 mg/hari dipakai pada nyeri kronik, nyeri
neuropatikyang bersifat membakar, dengan gangguan tidur dan depresi.
NYERI OPERASI
Nyeri operasi merupakan keadaan yang sudah terduga sebelumnya, akibat trauma dan
proses inflamasi, terutama bersifat nosiseptif, pada waktu istirahat dan seringkah bertambah
pada waktu bergerak. Nyeri operasi memicu respon stress yaitu respon neuro endokrin yang
berpengaruh pada mortalitas dan berbagai morbiditas komplikasi paska operasi. Nyeri operasi
bersifat self limiting (tak lebih dari 7 hari) dan nyeri hebat memicu kejadian nyeri kronik di
kemudian hari. Nyeri berat dijumpai pada operasi torakal, abdomen atas, sendi lutut, operasi
aorta. Nyeri sedang pada operasi abdomen bawah, mandibula, replasemen pinggul
sedangkan nyeri ringan timbul menyertai operasi herniorafi inguinal, varisektomi, laparaskopi.
Terdapat berbagai konsep penanggulangan nyeri operasi:
1. Analgesi balans atau analgesi multi modal
Konsep ini merujuk pada perjalanan nyeri nosispsi dan penggunaan NSAID pada proses
transduksi, anestetik lokal pada proses transmisi dan opioid pada proses modulasi dan
persepsi, seperti ditunjukkan gambar 6.
i'rnT"ii:i:
Gambar 7
Analgesi Balans atau Analgesi Multi Modal
2. Konsep penanganan nyeri akut
Nyeri akut hebat memicu kejadian nyeri kronik di kemudian hari, penyebab penting
respon stres dan alasan humanitas maka nyeri operasi harus ditanggulangi berbeda dengan
nyeri kronik berdasar three step analgesic ladderWHO.
302 || Anestesiologi
Nyeri operasi berat umumnya berlangsung 24 jam, minimal pada hari ke 3-4 dan tak
lebih dari 7 hari. Prinsip terapi nyeri akut adalah descending the ladder.
Gambar 8
Three Step Analgesic Ladder
NYERI KANKER
Nyeri kanker seringkali bersifar nyeri neuropatik akibat infiltrasi tumor, paska bedah,
khemoterapi, radiasi meskipun dapat pula bersifat nosisepsi akibat kerusakan jaringan atau
proses infiamasi yang terjadi. Bagi seorang klinikus, sangat penting membedakan berapa
besar komponen fisik tersebut di atas dengan komponen psikologik akibat rasa marah, cemas
dan depresi, seperti digambarkan pada gambar 9, untuk kepentingan pengobatan.
2 3 4
Gambar 9
Komponen Fisik dan Psikologik
304 11 Anestesiologi
Tujuan pengobatan nyeri kanker adalah meredanya nyeri secara nyata, pemeliharaan
status fungsional, kualitas hidup yang realistik dan proses kematian yang tenang. Perawatan
kanker seringkali memerlukan total care atau pendekatan holistik (bio-psiko-sosio-kultural-
spiritual) multidisiplin, sehingga penderita dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan
meninggal dalam keadaan damai dan iman.
Penanggulangan nyeri dilakukan dengan berbagai modalitas seperti tindakan operasi,
modalitas fisik, psikologik, farmaka dan sebagainya.
Prinsip pengobatan secara farmaka antara lain:
1. Gunakan anak tangga three step ladder WHO.
2. Tepat obat atas indikasi dan tepat dosis secara individual. Dosis dinaikkan sampai dosis
tinggi bila respon pengobatan kurang memadai dan efek samping obat dapat
ditoleransi penderita. Bila obat dosis tinggi tidak efektif atau efek samping obat telah
timbul, hentikan obat dan ganti dengan obat golongan lain.
3. Kombinasi obat mungkin lebih efektif daripada obat tunggal meskipun interaksi obat
seringkali menimbulkan masalah.
4. Gunakan medikasi ajuvan dan perhatikan efek samping obat dan respon pasien.
5. Usahakan pemberian lewat mulut/oral.
6. Pemberian berdasarkan waktu/sesuai jadwal lebih menguntungkan daripada
penggunaan bila perlu saja.
7. Pada nyeri kanker berat, morfin sulfat oral adalah obat yang terpilih dan hanya gunakan
parenteral bila ada gangguan pemberian oral.
8. Gunakan VAS, pembagian nyeri ringan sedang berat dan analisa komponen nyeri
nosisepsi neuropatik psikogenik untuk menentukan macam analgetik terpilih. Tak
semua nyeri membutuhkan opioid, seperti pada nyeri neuropatik, maka pemberian
antidepresan untuk nyeri terbakar dan atau antikonvulsan untuk nyeri tajam seperti
tertusuk lebih bermanfaat dari pada opioid.[]
306 11 Anestesiologi
BAB XVIII
ANESTESI LOKAL/REGIONAL
Marwoto, Aria Dian Primatika
PENDAHULUAN
ANESTESI lokal semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai
keuntungan yang ditawarkan, di antaranya relatif murah, pengaruh sistemik minimal,
menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respons stress secara lebih
sempurna.1'3 Namun demikian tanpa keterampilan dan pengetahuan tentang farmakologi
obat anestesi (anestetik) lokal, komplikasi dan manajemennya serta pencegahan dan
persiapannya akan membahayakan karena datangnya komplikasi sangat cepat dan tak
terduga. Bila pemahaman teori kurang memadai bisa berakibat fatal karena tidak terdeteksi
dan terantisipasi dengan cepat dan tepat.
SEJARAH
Carl Koller (1884), seorang ahli mata telah memperkenalkan untuk yang pertama kali
penggunaan kokain secara topikal pada operasi mata. Gaedicke (1885) mendapatkan kokain
dalam bentuk ester asam benzoat yang diisolasi dari tumbuhan koka (erythroseylon coca)
yang banyak tumbuh di pegunungan Andes. Kemudian oleh Albert Neiman (1860) dalam
bentuk ekstrak.
William Halsted (1884), seorang ahli bedah telah menggunakan kokain intradermal
dan blok saraf fasialis, pudendal, tibialis posterior dan plexus brachialis. Selanjutnya August
Bier (1898), menggunakan 3 ml kokain 0, 5 % intratekal untuk anestesi spinal dan pada 1908
memperkenalkan anestesi regional intravena (Bierblock). Alfred Einhorn (1904) mensintesa
prokain dan pada tahun yang sama digunakan untuk anestesi lokal oleh Heinrich Braun.
Penambahan epinefrin untuk memperpanjang aksi anestetik lokal dilakukan pertama kali
Berdasar struktur kimianya dibagi menjadi 2 golongan, yaitu ester-amide dan amide-
amide.3
Tabel 1
Penggolongan Anestetik Lokal, Potensi dan Durasi
Perbedaan penting antara anestetik lokal ester dan amid adalah efek samping yang
ditimbulkan dan mekanisme metabolisme metabolitnya, di mana golongan ester kurang
stabil dalam larutan (prokain, ametokain), lebih mudah dipecah oleh kolinesterase plasma,
waktu paruh sangat pendek, sekitar 1 menit. Adapun produk degradasi hasil metabolisme
ester adalah asam p-aminobenzoik.1'4,5 golongan ini antara lain: prokain, kokain, kloro-
prokain dan tetrakain.3
Sedangkan golongan amid sedikit dimetabolisisr dan cenderung terjadi akumulasi
dalam plasma. Ikatan amid dipecah menjadi N-dealkilasi dengan cara hidrolisis, terutama di
308 11 Anestesiologi
hepar. Penderita penyakit hepar berat lebih banyak mengalami reaksi-reaksi yang
merugikan. Eliminasi waktu paruh sekitar 2-3 jam. Bentuk amid lebih stabil dan larutan dapat
disterilkan dengan autoklaf. Golongan ini antara lain: lidokain, mepivakain, bupivakain,
etidokain dan ropivakain.3
Dikenal 3 macam anestetik lokal yang lazim dipakai di Indonesia, yaitu Prokain,
Lidokain dan Bupivakain.
Perbedaan ke 3 jenis anestetik lokal tersebut terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2
Perbedaan antara Prokain, Lidokain dan Bupivakain
MEKANISME KERJA
Infiltrasi anestetik lokal di sekitar saraf, menyebabkan keluarnya Ca** dari reseptor
dan anestetik lokal akan menempati reseptor tersebut sehingga terjadi blokade gerbang Na+.
Selanjutnya terjadi hambatan konduksi Na+ dan depresi kecepatan induksi, sehingga tidak
dapat mencapai nilai potensial dan tidak terjadi potensial aksi.3,6
310 11 Anestesiologi
Anestetik lokal juga digunakan untuk terapi aritmia jantung, misalnya prokain dan
lignokain. Dapat menembus blood brain barrier, berdepolarisasi cepat dan repolarisasi pada
fokus epileptik sangat sensitif, sehingga lignokain dapat digunakan untuk terapi status
epileptikus. Konsentrasi lebih tinggi akan menghambat neuron-neuron sentral,
mengakibatkan depresi pusat pernafasan diikuti oleh pusat-pusat lainnya.5
Anestetik lokal memiliki efek venodilatasi, kecuali kokain. Infiltrasi ke daerah inflamasi
tidak menghasilkan efek anestetik yang optimal, karena jaringan yang inflamasi tersebut
keasamannya meningkat, di mana pH nanah adalah 5, sehingga akan menurunkan aktivitas
anestetik lokal.2
Tabel 3
pKa Anestetik Lokal
Local Anesthetic pKa
Benzocaine 7,5
Mepivacaine 7,7
Lidocaine 7,8
Etidocaine 7,9
Prilocaine 7,9
Ropivacaine 8,1
Bupivacaine 8,1
Tetracaine 8,4
Cocaine 8,6
Dibucaine 8,8
Procaine 8,9
Chloroprocaine 9,1
Hexilcaine 9,3
Procainamide 9,3
Piperocaine 9,8
312 11 Anestesiologi
Klirens
Klirens dan eliminasi waktu paruh amid-amid terutama di hepar,
ekskresi oleh ginjal dalam bentuk tak berubah adalah minimal. Studi
farmakokinetik ester-amid sangat sedikit, karena eliminasi waktu paruhnya
cepat; hal ini disebabkan oleh karena cepat terhidrolisis dalam plasma dan
hepar.5
Toksisltas
Efek toksik anestetik lokal terutama berakibat pada sistem
kardiovaskuler dan susunan saraf pusat (SSP). Konsentrasi yang sangat tinggi
dalam darah menyebabkan depresi otot jantung dan dilatasi pembuluh darah
perifer.2,3
Metabolisme
Degradasi masing-masing anestetik lokal bervariasi dan tergantung
enzim- enzim dalam darah dan hepar. Produk-produknya akan dieliminasi
oleh ginjal sebagian dalam bentuk tak berubah.2
Ikatan ester dipecah oleh kolinesterase plasma, waktu paruh ester
dalam sirkulasi sangat pendek, sekitar 1 menit. Produk degradasi
metabolisme ester adalah p-aminobenzoic acid3
Ikatan amid dipecah lewat N-dealkylation diikuti dengan hidrolisis, yang terjadi
terutama di hepar. Penderita penyakit hepar lebih mudah terkena reaksi yang merugikan
Tabel 4
Dosis Anestetik Lokal untuk Topikal2
Obat Konsentrasi Durasi Dosis Maksimal
Tabel 5
Dosis Anestetik Lokal untuk Infiltrasi dan Blok Saraf2
Obat Konsentrasi Durasi Dosis
Maksimal
Prokain (Novocaine) 2-4% 0,5 jam 1000 mg
Lidokain (xylocaine) 1-2% 1-2 jam 500 mg
Mepivakain (Carbocaine) 1-2% 1-2 jam 500 mg
Tetrakain (Pantocaine) 0,1-0, 25 % 2-3 jam 75 mg
Kloroprokain (Nesacaine) 1-2% 1000 mg
Piperokain (Metycaine) 1-2% 750 mg
Heksilkain (Cyclaine) 1-2% 500 mg
Prilokain (Citanest) 1-2% 500 mg
Bupivakain (Marcaine) 0,5 % 5-7 jam 200 mg
Etidokain (Duranest) 0, 5-1 % 4-6 jam 200 mg
Indikasi4,5'8
Tindakan anestesi lokal diindikasikan pada keadaan-keadaan sbb:
1. Setiap prosedur, di mana anestesi lokal akan menghasilkan kondisi operasi yang
nyaman/memuaskan. Misalnya pada operasi "Trans Urethral Resection" Prostat, bila
dilakukan anestesi regional hasilnya tidak banyak perdarahan karena tensi tidak
meningkat, disamping itu bila ada komplikasi hipo- natremi akibat tertariknya Na+
oleh air irrigator dapat cepat dikenali dengan adanya penurunan kesadaran, mual,
kejang.
2. Penyakit paru, di mana posisi operasi masih dapat ditolerir oleh pasien. Misalnya
operasi tumor paha depan pada pasien paru yang sikap terpaksanya tidur setengah
duduk (agar napas tidak sesak).
3. Riwayat reaksi yang tidak baik dengan anestetik umum. Kadang-kadang pasien setelah
anestesi umum, muntah-muntah cukup lama, pulih sadar terlambat dan lain-lain.
314 11 Anestesiologi
4. Antisipasi masalah-masalah dengan rumatan jalan napas atau intubasi. Misalnya
pasien dengan adhesi leher-dada akibat sikatriks pasca luka bakar. Dilakukan
pemotongan perlekatan dengan anestesi lokal dulu, baru intubasi dan anestesi
umum.
5. Operasi darurat tanpa puasa yang adekwat.
Ini dimaksudkan untuk menghindari aspirasi isi lambung (bila terjadi muntah, pasien
dalam keadaan sadar sehingga dapat melakukan proteksi).
Indikasi kontra8-10'13
1. Absolut/Mutlak:
a. Pasien menolak anestesi lokal.
b. Riwayat alergi terhadap anestetik lokal.
c. Infeksi di tempat suntikan.
d. Pasien dengan terapi anti koagulan.
e. Pasien dengan gangguan perdarahan.
f. Pemakaian adrenalin pada anestetik lokal untuk pasien-2 dengan terapi tricyclic
anti depressants.
Juga tidak diperbolehkan pada organ end-arteri (jari, penis) karena akan terjadi
nekrosis akibat konstriksi end-arteri.
2. Relatif:
a. Pasien kurang atau tidak kooperatif.
b. Pasien dengan kelainan neurologis. Sebab terjadinya eksa serbasi akan
menyalahkan tehnik anestesi tersebut.
Khusus untuk anestesi spinal dan epidural, indikasi kontra:8,14 1.
Absolut/mutlak:
a. Infeksi didekat atau pada tempat suntikan.
b. Terapi anti koagulan.
c. Gangguan perdarahan.
d. Hipovolemi dan syok.
e. Terapi beta blocker.
f. Septikaemia.
g. Curah jantung yang terbatas.
h. Tekanan intra kranial yang meningkat.
Penyulit mungkin saja terjadi tanpa diduga sebelumnya. Akan tetapi apabila
pelaksanaannya telah disiapkan dengan matang, maka sebagian besar penyulit akan dapat
di atasi.
1. Komplikasi lokal
Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah yang cukup
besar, atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan atau ada gangguan
pembekuan darah, maka akan dapat timbul hematom. Hematom ini bila terinfeksi akan
dapat membentuk abses Apabila tidak infeksi mungkin saja terbentuk infiltrat dan akan
diabsorbsi tanpa meninggalkan bekas.
Tindakan yang perlu adalah konservatif dengan kompres hangat, atau insisi apabila
telah terjadi abses disertai pemberian antibiotika yang sesuai. Apabila suatu organ end arteri
dilakukan anestesi lokal dengan campuran adrenalin, dapat saja terjadi nekrosis yang
memerlukan tindakan nekrotomi, disertai dengan antibiotika yang sesuai.
2. Komplikasi sistemik
Penyulit ini terjadi akibat masuknya anestetik lokal ke dalam sirkulasi sistemik.
316 11 Anestesiologi
Hal ini dapat terjadi oleh karena beberapa sebab:
a. Overdosis
Penyuntikan yang berulang-ulang tanpa memperhatikan volume dan konsentrasi
yang dipakai merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya overdosis. Hal ini sering
terjadi pada penderita yang menjalani operasi yang cukup luas, di mana penderita kurang
kooperatif. Operator sering tanpa menyadari berapa banyak obat anestesi lokal yang telah
disuntikkan. Asisten operator berkewajiban mengingatkan volume yang sudah disuntikkan.
b. Hiperabsorbsi
Penyuntikan anestesi lokal di daerah yang kaya pembuluh darah menyebabkan
anestetik lokal cepat diabsorbsi dan beredar ke sirkulasi sistemik.
Daerah muka, leher, axilla, inguinal, perineum memerlukan perhatian karena
banyaknya pembuluh darah. Dengan demikian penyuntikan pada daerah ini diperlukan
pengurangan dosis.
c. Hipersensitif
Dengan dosis yang masih jauh dari maksimal penderita sudah menunjukkan gejala
terjadinya komplikasi karena penderita memang hipersensitif. Sangat sulit dibedakan antara
hipersensitif dengan allergi akibat reaksi immunologis.
d. Intravasasi
Komplikasi terjadi akibat anestetik lokal langsung masuk ke dalam pembuluh darah
saat penyuntikan dilakukan. Hal ini dapat dihindari dengan cara melakukan aspirasi setiap
akan menyuntikkan obat, lebih-lebih penyuntikan pada daerah kaya pembuluh darah.
Gejala Komplikasi Sistemik
1. Susunan syaraf pusat
a. Korteks serebri
Pada tingkat korteks serebri manifestasinya dapat berupa stimulasi maupun depresi.
Stimulasi dapat berupa gelisah, agitasi dan bahkan sampai kejang- kejang.
Tindakannya adalah dengan menjaga jalan nafas, memberikan oksigen 100%
serta memberikan suntikan anti konvulsi yang tersedia, misal thiopental atau
diazepam. Tiopental dapat diberikan 1-2 mg/kg BB atau 50 mg pada dewasa.
Diazepam dapat diberikan sebesar 5-10 mg.
Keduanya diberikan secara intravena.
Depresi dari korteks serebri manifestasinya dapat sebagai kantuk, lemas,
kesadaran yang menurun. Berikan oksigen 100% dan segeralah berikan infus
larutan NaCI, Ringer Laktat atau 2A.
b. Medulla
Pada tingkat medulla efek sistemik dari anestetik lokal dapat berupa stimulasi maupun
318 11 Anestesiologi
4. Lain-lain
Komplikasi lain yang kadang terjadi adalah menggigil dan disarthri yang
penanganannya juga bersifat konservatif berupa pemberian oksigen dan penenang seperti
diazepam.
Pencegahan dan Persiapan8,10,12,14
Harus selalu diingat bahwa obat apapun yang diberikan secara parenteral dapat
menimbulkan reaksi yang mengejutkan. Persiapan dan antisipasi untuk timbulnya
komplikasi hendaknya selalu diperhatikan:
1. Persiapkanlah alat dan obat seperti anestesi umum. Dengan demikian apabila terjadi
komplikasi, semua obat dan alat yang diperlukan untuk terapi dan resusitasi sudah
tersedia di tempat yang mudah dicapai.
Kita dapat memakai panduan penanganan syok anafilaktik yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan 1989
2. Hindari over dosis.
Dosis yang berlebihan dapat dihindari dengan cara:
a. Menggunakan anestetik lokal yang paling dikenal sifat farmakologinya misalnya
lidokain dan prokain saja.
b. Tidak melebihi dosis yang dianjurkan.
c. Menggunakan konsentrasi yang paling kecil yang masih efektif Lidokainl% atau
prokain 2%. Yang tersedia di pasaran, umumnya lidokain 2% dan prokain 4%
sehingga diperlukan tambahan aqua- bidest dengan volume yang sama untuk
menjadi lidokain 1% dan prokain 2%.
d. Memberikan suntikan dengan hati-hati, selalu melakukan aspirasi setiap
memasukkan 2 ml obat anestesi akan dapat mencegah kemungkinan
masuknya obat ke dalam pembuluh darah.
3. Anamnesa yang baik untuk menentukan anestetik lokal yang dipilih. Pilihlah obat
golongan ester apabila ada riwayat reaksi terhadap obat golongan amide dan
sebaliknya. Dengan cara ini akan dikurangi kemungkinan terjadinya reaksi yang tidak
diinginkan.
4. Monitorlah selalu keadaan penderita.
Bercakap cakaplah dengan penderita selama operasi bermanfaat untuk mengetahui
perubahan sensorium secara dini.
Seorang penderita yang mula-mula tidak kooperatif kemudian mendadak tenang,
dapat merupakan tanda awal dari reaksi sistemik.
Diperlukan seorang asisten yang mengamati tanda-tanda vital secara kontinyu pada
pemakaian anestesi lokal dosis besar.
PENUTUP
Golongan, potensi dan durasi anestetik lokal harus dipahami betul agar tak terjadi
reaksi yang tak diharapkan, demikian juga konsentrasi dan penggunaan sesuai waktu yang
dibutuhkan untuk pembedahan. Harus dipahami juga nilai pKa, absorbsi dan distribusi,
klirens, toksisitas, metabolisme, dosis maksimal topikal maupun infiltrasi dan blok saraf.
Komplikasi pada anestesi lokal/regional dapat datang secara tiba-tiba, cepat dan tak
terduga sehingga dapat berakibat fatal bila tidak terdeteksi dan terantisipasi dengan cepat
dan tepat. Untuk itu diperlukan keterampilan dan pemahaman mengenai: farmakologi
anestetik lokal, indikasi, indikasi kontra, teknik/cara pemberian, komplikasi dan managemen
serta pencegahan dan persiapannya.[j
320 11 Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. In: Clinical Anesthesiology. 4th
ed. New York: Me Graw Hill Lange Medical Books; 2006,151-52, 263-75.
2. Snow JC. Manual of Anesthesia. Boston: Little Brown & CO. ; 1979; 149-65.
3. Brown DL. Local Anesthetics Toxicity. In: Finucane BT. Complications of Regional
Anesthesia. New York: Churchill Livingstone; 2000,94-102
4. Brown DL, Factor DA. Regional Anesthesia and Analgesia. Philadelphia: WB Saunders
Co. ; 1996,125^1,232-38.
5. Stoelting R Hillier SC. Pharmacology and Physiology in Anesthetics Practice. 4th ed.
Philadelphia: JB Lippincott-Raven; 2006,179-83.
6. Berde CB, Strichartz GR. Local Anesthetics. In: Miller RD Anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Churchill Livingstone; 2000,491-517.
7. Lenz G, Kotter B, Schorer R, Spoerzl WE. Pocket Manual of Anesthesia. Singapore; BC
Decker Inc.; 1988,137-54.
8. Mudzakkir, Marwoto. Komplikasi Anestesi Lokal dan Penanganannya. Majaiah Ilmiah
PKMI Mantap. Penerbit: Perkumpulan Kontrasepsi Mantap. Indonesia, No. 2 Tahun
XII, April-Juni 1992:44-9
9. Gaiser RR. Pharmacology of Local Anesthetic. In: Longnecker DE, Murphy SL, ed.
Introduction to Anaesthesia. Philadelphia: WB Saunders Company, 1997: 201-14.
10. Astrom A. The Pharmacology of Local Anaesthetic-Some Observation. In: Erickson E,
ed. Illustrated Hand Book in Local Anaesthesia. London: Lloyd-lake Ltd. 1979:10-3.
11. Sweitzer B. Local Anaesthetics. In: Davidson JK, Eckhardt WF, Perese DA. Clinical
Anaesthesia Procedure of the Massacluisets General Hospital, 4th ed, Little Brown &
Co Boston, Toronto, London 1993:197-205.
12. Strichartz GR, Covino BG. Local Anaesthetics. In: Miller RD, ed. Anaesthesia. New York:
Churcill Livingstone 1990:437-40.
13. Stoelting RK. Local Anaesthetics. In: Stoelting RK. Pharmacology and Physiology in
Anaesthetic practice. Philadelphia: JB Lippincott Company 1987:148-66.
14. Tetzlaff JE. Spinal, Epidural & Caudal Blocks. In: Morgan GE, Mikhail MS. Clinical
Anaesthesiology, A Lange Medical Book, 1st ed. 1992: 189-229.
ANESTESI EPIDURAL
ANESTESI epidural (ekstradural) merupakan pemberian obat anestesi lokal ke dalam
rongga potensial di luar duramater. Rongga ini dimulai dari perbatasan kranioservikal pada
Cl sampai membrana sakrokoksigea di mana secara teoritis anestesi epidural dapat
dilakukan pada setiap daerah ini.
Dalam praktik, anestesi epidural dilakukan pada tempat di dekat akar saraf yang
menginervasi daerah pembedahan; misalnya epidural lumbal untuk operasi daerah pelvis
dan ekstremitas bawah, dan epidural thorakal untuk operasi daerah abdomen atas. Injeksi
obat anestesi lokal dapat berupa bolus tunggal atau dengan kateter untuk injeksi intermiten
atau infus kontinyu. Untuk membantu mengidentifikasi rongga epidural, dapat digunakan
teknik "loss of resistance" ataupun "hanging drop".
ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal (intratekal) didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal
secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis di dalam ruang suba- raknoid. Jarum spinal
hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis 1; batas atas ini
dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan
vertebra sakralis yang tidak me-
Tabel 1
Perbedaan Anestesi Spinal dan Epidural
Cauda
equina
Ventral
ramus
Dorsal
ramus
Intrathecal
space
Subdural
space
Gambari
Anatomi Struktur Medula Spinalis dan Tempat Injeksi Obat
Anestesi Lokal Spinal dan Epidural3
323 11 Anestesiologi
TEKNIK ANESTESI
Persiapan
Perlengkapan yang harus dipersiapkan sebelum melakukan blok epidural/ spinal
antara lain:
Monitor standar: EKG, tekanan darah, pulse oksimetri.
Obat dan alat resusitasi: Oksigen, bagging, suction, set intubasi. Terpasang akses
intravena untuk pemberian cairan dan obat-obatan. Sarung tangan dan masker steril.
Perlengkapan desinfeksi dan doek steril.
Obat anestesi lokal untuk injeksi epidural/spinal dan untuk infiltrasi lokal kulit dan
jaringan subkutan.
Obat tambahan untuk anestesi epidural seperti narkotik dsb, serta NaCI 0,9%.
Syringe, kateter dan jarum epidural (Touhy atau Crawford)/jarum spinal. Kasa
penutup steril.
Gambar 2
Set Epidural dan Kateter4
324 11 Anestesioiogi
Teknik insersi
1. Anestesi epidural: pada anestesi epidural dengan panduan teknik "/oss of resistance"
sebuah jarum "Touhy" diinsersikan sampai ujungnya tertancap pada ligamentum
flavum. Ligamentum ini akan memblok ujung jarum dan menimbulkan tahanan kuat
terhadap injeksi udara maupun larutan NaCI 0,9% dari sebuah spurt yang dilekatkan
pada jarum. Bila jarum dimasukkan lebih dalam, ligamentum akan ditembus dan
tahanan akan hilang seketika sehingga udara atau NaCI 0, 9% dapat diinjeksikan
dengan mudah. Ini merupakan pertanda telah dicapainya ruang epidural dan obat
anestesi lokal dapat disuntikkan atau kateter dapat diinsersikan.
Gambar 4
Anestesi Epidural1'6
Gambar S
Anestesi Spinal1'6
1. Gwinnutt CL, Clinical Anesthesia: Lecturer Notes, Second Edition. Library of Congress
Cataloging-in-Publication Data, 2004.
2. Longnecker DE, Anesthesiology, The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008.
3. Miller MD, Eriksson LI, Fleishr LA, Wiener-kronish JP, Young WL Anesthesia: Seventh
Edition. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. 2009.
4. Fleisher LA, Gaiser R, Thoracic Epidural: Midline Approach, available from URL: www.
proceduresconsult. com/medical-procedures/thoracic- epidural-midline-approach-
AN-procedure. aspx-73k.
5. Middleton C, Epidural Analgesia in Acute Pain Management, John Wiley & Sons, Ltd,
West Sussex, 2006.
6. Szadkowski C. Local and Regional Anesthesia. Kantonsspital St Gallen, 2005.
ANESTESI OBSTETRI
Danu Susilowati, Ery Leksana, M. Sofyan Harahap
FISIOLOGI KEHAMILAN
A. Perubahan Fisiologi Selama Kehamilan
Parameter Perubahan
Neurologis
MAC -40%
Respirasi
Konsumsi oksigen + 20% sampai 50%
Resistensi jalan nafas -35%
FRC -20%
Ventilasi semenit + 50%
TV/RR + 40%/+15%
Kardiovaskuler
Volume darah + 35%
Volume plasma + 45%
328 11 Anestesiologi
Cardiac output + 40%
Tekanan darah sistolik -5%
Tekanan darah diastolic -15%
Hematologi
Hemoglobin -20%
Trombosit -10%
Faktor pembekuan + 30 sampai 250%
Ginjal
Laju filtrasi glomerulus (GFR) + 50%
B. Jalur Nyeri
1. Persalinan kala I: nyeri berasal dari kontraksi uterus dan dilatasi servik dijalarkan
melalui serabut saraf eferen yang berasal dari uterus bersama rantai simpatis dan
memasuki medula spinalis pada level Th 10 sampai segmen L1
2. Akhir kala I dan awal kala II: stimulasi nyeri struktur pelvis yang diper- sarafi oleh
serabut saraf sensorik lumbal bawah memberikan nyeri tambahan.
3. Selama persalinan: distensi perineum oleh bagian terbawah janin, peregangan dan
tarikan perineum menyebabkan transmisi sinyal nyeri dari tiga segmen sakral: S2-S4
4. Selama bedah caesar: stimulus nyeri berasal dari peritoneum abdomen, uterus,
kandung kencing, dan rektum. Dengan demikian, serabut saraf yang berasal dari level
Th2 sampai S4 perlu dihambat.
FARMAKOLOGI
A. Obat Anestesi Lokal
Ester : Prokain, kloroprokain, tetrakain Amida :
Lidokain, bupivakain, ropivakain
Obat anestesi lokal dalam dosis besar, khususnya lidokain, dapat menyebabkan
vasokonstriksi arteri uterine. Anestesi spinal dan epidural tidak menurunkan aliran darah
uterus, bahkan aliran darah uterus selama persalinan membaik pada pasien preeklampsia
yang mendapat anestesi epidural, penurunan katekolamin dalam sirkulasi menyebabkan
berkurangnya vasokonstriksi uterus.
B. Sedatif dan Hipnotik
1. Barbiturat: digunakan untuk induksi pada GA karena onsetnya yang cepat. Semua
barbiturat mendepresi ibu dan janin tergantung dosis yang diberikan. Barbiturate
tidak digunakan untuk sedasi.
2. Benzodiazepin: merupakan ansiolitik dan antikonvulsi (diberikan dalam dosis kecil 2-5
mg iv). Dalam dosis besar menyebabkan hipotonia dan hipotermia janin, kelambatan
330 11 Anestesiologi
menghilangkan nyeri secara sementara. Teknik ini diindikasikan pada parturien
dengan riwayat persalinan singkat. Blok pudenda kadang diperlukan pada saat
melahirkan bayi. Komplikasi: durasi singkat, dapat menyebabkan kadar obat yang
tinggi dalam tubuh janin dan uterus sehingga terjadi bradikardi janin dan
vasokonstriksi uterus.
4. Blok pudendus, infiltrasi perineum: tidak memblok nyeri akibat kontraksi uterus,
terdapat risiko injeksi intravaskuler dan overdosis ibu.
5. Anestesi regional: analgesia epidural, spinal, segmental lumbal dan kaudal untuk
persalinan normal.
a. Efek terhadap ibu: analgesia segmental sampai dermatom Th 10 menyebabkan
sedikit atau tidak merubah status kardiovaskuler ibu atau aliran darah uterus
bila hidrasi cukup dan dilakukan pencegahan kompresi aortokaval.
b. Efek terhadap janin: sejumlah kecil anestesi lokal tidak akan mempengaruhi
janin
c. Jalannya persalinan: kontraksi uterus dapat membaik dengan hilangnya nyeri
akibat menurunnya norepinefrin ibu.
d. Kontraindikasi anestesi regional: pasien menolak, kelainan perdarahan, penyakit
neurologist aktif, infeksi di tempat injeksi, ibu tak dapat berkomunikasi.
e. Pilihan obat: spinal dengan tetrakain 4-5 mg atau lidokain 30-40 mg biasanya
mencukupi untuk persalinan. Epidural: blok awal: bupi- vakain 0, 25% 10 ml
(ditambah fentanyl 1 mcg/mL), bolus intermiten sama dengan dosis awal, atau
infus kontinyu bupivakain 0, 0625 + fentanyl 1-2 mcg/ml dengan kecepatan
infus 10-12 ml/jam.
PENDAHULUAN
Pasien anak bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil. Terdapat
pembagian anak berdasarkan umur: neonatus bila umur kurang dari 30 hari, bayi bila umur
1 bulan-1 tahun, balita 1 tahun-5 tahun, anak 6 tahun-12 tahun. Secara fisiologi, anatomis,
farmakologis pada anak dan orang dewasa berbeda, oleh karenanya resiko terjadinya
morbiditas serta mortalitas juga semakin tinggi dengan makin mudanya usia.
Arteri dan vena kecil sehingga sulit untuk pemasangan kanulasi, ventrikel kiri kurang
komlpians, struktur otot jantung yang berfungsi untuk kontra- ktilitas belum matur.
Fisiologi
334 11 Anestesiologi
Sistem Kardiovaskuler
Anatomi
Pada neonatus dan bayi isi sekuncup terbatas (180-240 ml/kg BB/menit) karena
ventrikel kiri kurang komplians sehingga curah jantung sangat tergantung pada frekuensi
denyut jantung. Denyut jantung neonatus 140x/ menit, bayi 120x/menit, balita 100x/menit,
anak 80x/menit. Meskipun denyut jantung lebih tinggi namun aktifitas sistem saraf simpatis,
over dosis obat anestesi, hipoksia dapat menyebabkan bradikardi yang mengakibatkan
curah jantung turun drastic. Keadaan curah jantung yang tergantung frekuensi denyut
jantung sampai umur 2 tahun. Reflek baroreseptor dan sistem saraf simpatis belum
sempurna. Cadangan katekolamin pada bayi rendah dan tidak berespon terhadap
katekolamin dari luar. Sistem vaskuler kurang berespon terhadap hipovolemi sehingga
kekurangan cairan intravaskuler pada neonatus dan bayi mengakibatkan hipotensi tanpa
takikardi. Tekanan darah neonatus 65/40 mmHg, bayi 95/65 mmHg, balita 100/70 mmHg,
anak 110/60 mmHg.
Ginjal
Fungsi ginjal normal dimulai pada umur 6 bulan dan sempurna pada umur 2 tahun.
Akibat fungsi ginjal yang belum sempurna maka obat-obat yang diekskresi lewat ginjal akan
berefek lebih lama. GFR meningkat 2-3x pada 3 bulan pertama sehingga waktu paruh dari
ekskresi obat diperpanjang. ECF 40% pada berat badan bayi baru lahir. Neonatus premature
sering mengalami defek multiple pada ginjal termasuk penurunan bersihan kreatinin
(creatinine clearance), gangguan retensi sodium, ekskresi glukosa dan reabsorbsi bikarbonat
dan gangguan pada kemampuan dilusi dan konsentrasi, ini penting agar lebih teliti dan
perhatian pada saat pemberian cairan pada awal kehidupan.
Hati
Fungsi hati belum berkembang baik. Hampir semua sistem enzyme yang diperlukan
untuk metabolism obat sudah berkembang namun belum aktif. Ada 2 cara metabolism
obat meningkat sesuai dengan umur anak. Pertama dengan meningkatnya aliran darah ke
hati sehingga semakin banyak obat yang masuk ke hati, kedua seiring dengan
bertambahnya umur maka sistem enzyme akan semakin berkembang dan aktif.
336 11 Anestesiologi
C02, curah jantung dan ventilasi alveolar) lebih tergantung pada luas permukaan disbanding
BB.
Pada neonatus kehilangan panas lebih mudah terjadi karena kulit yang tipis,
cadangan lemak yang sedikit serta luas permukaan tubuh yang lebih besar. Terdapat 2
mekanisme produksi pada neonatus, pertama non shivering thermogenesis oleh
metabolism lemak coklat kedua, menggigil. Pada 3 bulan pertama kelahiran bayi kurang
mempunyai kemampuan menggigil, oleh karena itu mekanisme produksi panas lebih
utama pada metabolisme lemak coklat. Proses tersebut menjadi terbatas pada bayi
prematur dan anak yang sakit.
Hipotermi merupakan hal yang serius mengakibatkan terlambatnya pulih sadar,
gangguan irama jantung, depresi nafas, peningkatan resistensi pembuluh pulmoner dan
perubahan respon terhadap obat-obatan.
Kebutuhan cairan
Rumus 4:2:1
Berat badan sampai 10 kg : 4 ml/kg/jam
Berat badan 10-20 kg : BB 10 kg + 2 ml/kg/jam sisa BB
Berat badan >
20 kg : BB 10 kg I + BB 10 kg II +1 ml/kg/jam sisa BB
50-60 ml/kg/hari D10 W 100
Terapi cairan
pemeliharaan ml/kg/hari D101/2 NS 100-
Hari pertama 150 ml/kg/hari D 5-D10 'Á NS
Hari kedua Hari
ketujuh >
Volume darah
Prematur ±uu mi/Kg 85-
Neonatus 90 ml/kg 80
Bayi Anak ml/kg 75-80
ml/ke
Hematokrit
Neonatus : 55 %
Bulan ke-3 : 30%
Bulan ke-6 : 35%
1. Morgan GE, Mikhail MS. Pediatric Anesthesia. In: Clinical Anesthesiology. 4th. United
State of America: Me Graw-Hill Companies, 2006; 922-31.
2. Needlam PD. Hmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15, Jakarta: EGC, 1999; 37
3. Cote G. Pediatric anesthesia. In: Miller's Anesthesia. 6th ed. San Fransisco: Elsevie
Churchill Livingstone, 2005; 5250-62.
4. Rupp, Katrin. Pediatric Anesthesia. Amsterdam: Drager Medical, 1999; 27
5. Wetzel RC. Evaluationof children. In: Anesthesiology. USA: The McGraw- Hill
Companies, 2008; 317.
6. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologis Kedokteran, ed 9. Jakarta: EGC, 1997; 1323-
30.
7. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Indonesia, 2001;13.
8. Holzman RS. Fundamental Differences Between Children And Adults. In: A Practical
Approach to Pediatric Anesthesia. Philadhelpia: Lippincott William dan Wilkins,
2008;1-15.
338 11 Anestesiologi
BAB XXII
PENDAHULUAN
PADA periode tahun 1920-1930, di United State terdapat peningkatan keaneka
ragaman prosedur operasi dan komplikasi mayor maupun minor dari anestesi maupun
pembedahan dapat terjadi setiap saat pada beberapa hari pertama setelah pembedahan.
Oleh karena itu perawatan penderita post operasi dengan anestesi umum
merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam suatu pembedahan, hal ini
disebabkan secara bermakna dapat menurunkan komplikasi dan angka kematian pasca
operasi.
Pernyataan di atas didukung oleh laporan dari 'The Anesthessia Study Commission of
the Philadelphia County Medical Society" pada tahun 1947 yang melaporkan bahwa selama
11 tahun penelitian ternyata hampir setengah dari kematian post operasi terjadi pada 24
jam pertama setelah pembedahan dan minimal sepertiga dari kematian yang terjadi akibat
komplikasi post operasi.
Studi prospektif yang baru juga mengatakan bahwa lebih dari 12. 000 pasien yang
telah di laporkan, ternyata 7 % dari komplikasi yang bermakna terjadi di ruang pulih sadar.
Komplikasi post operasi pasca anestesi umum dapat terjadi komplikasi ringan sampai
dengan berakibat fatal, yang berupa hipovolemia, kegagalan nafas, pengelolaan pasca
bedah yang tidak adekuat bahkan bisa terjadi kematian.
Beberapa keadaan sulit memprediksi apakah hal-hal ini akibat komplikasi anestesi
atau bukan, sebab:
1. Keadaan umum penderita sebelum operasi sudah tidak baik.
2. Prosedur operasi yang tidak baik.
3. Penanganan anestesi yang tidak baik.
ANESTESI UMUM
Sebelum kita mempelajari komplikasi post operatif ada baiknya kita mempelajari
anestesi umum.
Definisi
Anestesi umum merupakan suatu keadaan hilangnya sensasi di seluruh tubuh yang
bersifat reversible yang disebabkan oleh obat-obat anestesi dengan jalan mendepresi
seluruh sistem saraf melalui aliran darah ke otak sehingga menghasilkan ketidaksadaran.
Cara pemberian
Inhalasi.
340 11 Anestesiologi
Intravenous.
Intramuskuler/subkutan.
Perektal.
RUANG PEMULIHAN
1. Komplikasi saat perjalanan dari kamar bedah ke ruang pemulihan.
2. Persyaratan pasien yang kondisinya tidak stabil dari kamar bedah ke ruang
pemulihan.
3. Petugas ruang pemulihan menerima pasien di ruang pemulihan.
4. Di ruang pemulihan:
a. Periode pulih sadar:
Sejak penderita meninggalkan meja operasi, karena setiap saat dapat terjadi
komplikasi s/d ruang pulih sadar.
b. Ruang pemulihan:
Suatu ruangan tempat pengawasan dan pengelolaan secara ketat penderita
yang baru saja menjalani operasi sampai dengan keadaan stabil.
c. Letak ruang:
Dekat kamar operasi dan mudah dijangkau dokter anestesi sehingga mudah
dibawa kembali ke ok, bagian radiologi & bagian lab.
d. Syarat ruang pulih sadar:
Pintu lebar.
Penerangan cahaya cukup.
Jumlah tempat tidur sesuai jumlah ok.
INFRASTRUKTUR
Di bawah pengawasan dokter anestesi:
1. Perawat terlatih khusus & trampil dalam pengawasan keadaan darurat.
2. Rasio: pasien = 3 (IDEAL); 2 (GAWAT); 1 (SANGAT GAWAT)
1 11
3. Peralatan:
Satu tempat punya 1 sumber o 2
Suction, stetoskop, tensimeter.
Termometer.
Monitor: ecg dan sao2
Resusitasi set.
Obat-obat emergency/cairan.
342 11 Anestesiologi
BAB XXII - Perawatan Pasca Operasi di Ruang Pemulihan \ | 343
KOMPLIKASI POST
OPERASI
1. Lambat bangun
2. Masalah jalan nafas
3. Kardiovaskular
344 11 Anestesiologi
4. Akibat posisi penderita
5. Vomitus dan regurgitasi
6. Kegagalan hati
7. Kegagalan urologi
8. Neurologis
9. Hiperpireksia maligna
10. Reaksi anafilaksis
10. Komplikasi lain:
a. Mata
b. Lokal
c. Reaksi termal
1. Lambat bangun
Lambat bangun terjadi bila ketidaksadaran selam 60-90 menit setelah anestesi
umum. Hal ini bisa diakibatkan:
Sisa obat anestesi Sedatif
Obat analgetik
Penderita dengan kegagalan organ, misalnya:
Disfusi hati, ginjal dll
Hipoproteinemia
Umur Hipotermia
Ada beberapa obat untuk menetralisir obat anestesi, misalnya:
a. Nalokson (0,2 mg), terhadap efek opiat.
b. Flumazenil (0,5 mg) terhadap efek benzodiazepine.
c. Phisostigmin (l-2mg) terhadap efek obat pelumpuh otot.
2. Masalah jalan nafas
a. Obstruksi jalan nafas atas:
1) Lidah jatuh ke hipofaring
Yang mengakibatkan penyumbatan saluran nafas atas.
Pulih sadar yang tidak sempurna akibat anestesi umum dapat timbul terjadinya
hiperventilasi dan penurunan regangan dan koordinasi refleks jalan nafas bisa diakibatkan
obat pelumpuh otot dan sedasi yang berlebihan. Ditandai:
Berkurangnya pertukaran udara.
Retraksi interkostal dan suprasternal.
Gerakan dinding abdomen tidak sesuai dengan elevasi dinding dada.
Penanganan:
Harus segera diberi pertolongan.
Membuka mulut.
Membersihkan jalan nafas.
346 11 Anestesiologi
Penyebab hipoventilasi:
Cedera SSP setelah trauma kepala/pembedahan saraf.
Sisa-sisa obat anestesi: volatile dan golongan opiat.
Nyeri
Bronkospasme
Pneumotorak
Gejala:
Somnolen
Nafas melambat
Takipneu dengan nafas dangkal
Penanganan:
Menghilangkan penyebab:
Bila penyebab gol opiat: nalokson 0,2 mg.
Bila penyebab gol benzodiazepin: flumazenil 0,5 mg.
Bila penyebab gol pelumpuh otot: physostikmint 2 mg.
Bila penyebab nyeri: analgetik adekuat.
Bila penyebab bronkospasme: steroid, simpatomimetik (epinefrin) dan aminofilin.
Bila penyebab pneumotorak oleh karena operasi, maka dikerjakan: ventilasi 02 100%
dan suntik dengan jarum no. 14-16 pada interkostal II garis medioklavikuler dan
diaspirasi udaranya.
3. Masalah kardiovaskuler
a. Hipotensi
Menurut Barbour dan Little dikatakan hipotensi bila tekanan darah sistolik di bawah
90 mmHg atau menurun 40-60 mmHg pada penderita hipertensi.
Penyebab hipotensi:
Hipovolemia: tanda dan gejala: haus, membrana mukosa kering, takikardi dan
oliguria dan terapi infus kristaloid 250-500 ml, bila dipasang CVP. Peningkatan
tekanan intratorak/ekstratorak, misalnya penggunaan ventilator, tension
pneumotorak, tamponade perikard.
Penurunan tonus vaskuler disebabkan vasodilatasi, misal: pada anestesi spinal dan
epidural, reaksi anafilaksis, sepsis dan obat antihipertensi. Disfungsi miokard:
disebabkan iskemik/infark miokard, gagal jantung kongestif, sepsis, hipertiroid dan
aritmia.
b. Hipertensi
Etiologi hipertensi pasca operasi:
Nyeri (post operasi, kandung kencing penuh).
Agitasi.
Hipoksemia.
Hiperkarbia.
348 11 Anestesiologi
4. Akibat posisi penderita
Posisi penderita tergantung jenis operasi yang dilakukan, macam posisi bisa
trendelenberg, prone, litotomi, lateral atau supine.
Posisi ini sering menyulitkan pelaksanaan anestesi berupa:
Menimbulkan penekanan pada saraf tepi sehingga terjadi parese, jadi bagian tubuh
tidak boleh tertekan, tertarik dan teregang.
Menimbulkan gangguan respirasi, misal: posisi trendelenberg menekan diafragma,
posisi telungkup dan lain-lain.
Tertekuknya pipa endrotrakeal pada posisi kepala tertentu.
5. Vomitus dan regurgitasi
Vomitus dapat terjadi karena rangsangan pada pusat muntah, penyebabnya bisa
karena rangsangan pada lambung/esofagus, obstruksi intestinal, lambung kosong terlalu
lama.
Bahaya vomitus:
Aspirasi isi lambung ke dalam paru dan terjadi trauma kimia.
Spasme laring dan terjadi hipoksia.
Refleks vagal dan terjadi bradikardi.
Dikatakan berbahaya jika volume yang teraspirasi mencapai 25 ml dengan pH kurang
dari 2,5.
Regurgitasi terjadi bila ada ketidakseimbangan antara tekanan intragastrik dengan
kontraksi sfingter esofagus bagian bawah.
Faktor predisposisi:
Cairan lambung pH nya kurang dari 3.
Tekanan intra abdominal tinggi.
Tekanan intra torakal rendah.
Kegemukan.
Kehamilan.
Pencegahan:
Jangan beri sedasi dosis besar sebelum operasi.
Pastikan lambung kosong: puasa, pasang pipa gastrik.
Sekresi asam lambung dihambat dengan H2 antagonis.
Asam lambung di netralisir dengan antasida.
Induksi cepat, oksigenasi adekuat dan "Sellick Manuvre".
Bisa dikerjakan blok regional.
Intubasi sadar.
Bila operasi selesai, miringkan penderita dan ekstubasi atau ekstubasi bila penderita
susah sadar.
Penanganan:
Intubasi pipa trakea, isap lendir dari pipa trakea segera oksigenasi, bila perlu beri
bronkodilator, antibiotika dan fisioterapi.
350 11 Anestesiologi
globus pallidus, hal ini dapat terjadi beberapa hari/minggu setelah tampak gambaran
anoksia dan bila berlanjut bisa terjadi" brain death".
Penanganan:
Oksigenasi dan pengawasan ketat oleh dokter.
c. Neuropati
Penyebab:
Tekanan dan peregangan saraf, iritasi saraf akibat suntikan intravena/intramuskuler,
penggunaan torniquet yang kurang benar, iskemi/hipotensi, efek toksik obat anestesi dan
hipotermi.
352 11 Anestesiologi
11. Komplikasi lain:
a. Mata
Kornea mengering karena mata tidak tertutup selama anestesi, sehingga bisa
mengalami kebutaan.
b. Lokal
Tromboplebitis dan hematom pada tempat suntikan dan infus yang lama.
c. Reaksi termal
Suhu kamar operasi yang terlalu dingin menimbulkan reaksi termal dan
kebutuhan oksigen meningkat, sehingga penderita menggigil selain itu juga bisa
diakibatkan pemakaian thiopental dan halotan.
Penanganan:
Selimuti penderita Oksigenasi Largaktil 5-10 mg iv.
Kriteria keluar dari ruang pemulihan
Setelah pasien dilakukan anestesi dan masuk ruang pemulihan, dokter anestesi harus
mencatat dan melakukan instruksi tabel 1
Tabel 1
Assesment Open Admission Into Post Anesthesia Care Unit
1. Airway patency and oxygen saturation
2. Administration of suplemental oxygen
3. Basic vital sign, blood pressure, pulse, respiration rate and temperature
4. Position of the patient
5. Condition of dressing (s) or wound (s) if evident
6. Types and patency of catheters and drainage tubec (amount and type of draiage)
7. Location of lines, tipe and amount of fluid infusing
8. Level of conciousness
9. Muscular strength and response
10. Level of pain
Tabel 2
Modified Aldrete Scoring System
Steward Score
Tanda Kriteria Score
Kesadaran Bangun 2
Respon terhadap rangsang 1
Tidak ada respon 0
Pernapasan Batuk/menangis 2
Pertahankan jalan napas 1
Perlu bantuan napas 0
Motorik Gerak bertujuan 2
Gerak tanpa tujuan 1
Tidak bergerak 0
Score >=5 boleh keluar dari recovery room
354 11 Anestesiologi
Bromage Score
Kriteria Score
Gerak penuh dari tangkai 0
Tidak mampu ekstensi tungkai 1
Tidak mampu fleksi lutut 2
Tidak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Score <=2 boleh keluar dari recovery room
Lama tinggal di ruang pulih sadar tergantung dari teknik anestesi yang digunakan
(premedikasi, lama operasi dan komplikasi anestesi (ponim, agitasi, airway instability).
Pasien dikirim ke ICU (Intensive care Unit) apabila hemo- dinamik tak stabil perlu support
inotropik dan membutuhkan ventilator (mechanical respiratory support).[]
1. Feeley TW, MD. The recovery room. In: Miller R D, MD. Anethesia. 2n ed. New York:
Churchill Livingstone, 1998:1921-42
2. Smith G, Aitkenhead AR. Postoperative Care. In: Text-Book of Anesthesia, 3th ed. New
York: Livingstone, 1996:406-33.
3. Morgan GE, Mikhail MS. Postanesthesia Care. In: Clinical Anesthesiology, 1 th ed.
California: Appleton & Lange, 1992:686-93.
4. Bigatello L. The Postanesthesia Care Unit. In: Davidson Jk, Eckhardt III WF, Parese DA.
Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital, 4 th ed.
London: Litle Brown and company, 1993: 527- 43.
5. Snow JC. Complications During Anesthesia and the Recovery Period. In: Manual of
Anesthesia. Asean ed. Boston, Toronto, London: Litle Brown and company, 1978:355-
64
6. Atkinson R S, Rushman G B, Lee Z A. A Synopsis of Anaesthesia. 10 ed. Bristol: John
Wright and Sons Ltd, 1985:318-63.
7. Thorton FI L. Postoperative Anaesthesic Complication. In: Emergency Anaesthesia. 2
nd ed, London: Edward Arnold, 1974:421-50.
8. Brunce Prissonnette, Bernard Daleus. Emergency and Post Operative Care in Pediatric
Anesthesia. The McGrow-Flill Companies. 2002. 661- 675.
9. Thomas WF, Alex Macanio. The Post Anesthesia Care Unit Filer's Anesthesia Sixth
Edition Churchill Livingstone, USA. 2005.2703-2727.
356 || Anestesiologi
BAB XXIII
TANDA-TANDA KEMATIAN
DAN MATI OTAK
M. Sofyan Harahap, Abdul Lian, Himawan Sasongko
PENDAHULUAN
PADA kondisi normal pada umumnya tidaklah terlalu sulit bagi seorang dokter untuk
menentukan kematian, karena kita telah mempelajari dasar- dasar ilmu kedokteran seperti
Biologi, Fisiologi dan Anatomi yang semuanya membekali kita dengan teori kehidupan dan
kematian.
Hanya pada kondisi tertentu kita tidak dapat dengan mudah menentukan kematian
apalagi dengan ditemukannya alat bantu kehidupan yang sangat beragam, sedangkan disisi
lain kita harus dapat memberi keputusan yang tepat karena kematian merupakan sesuatu
yang sangat penting dan mempunyai implikasi luas pada berbagai hal, mulai dari kebijakan
terapi, sebagai keterangan yang mempunyai kekuatan hukum dan yang penting
berhubungan dengan keluarga pasien.
Dalam tulisan ini akan dibahas secara ringkas tanda-tanda kematian, dan bagaimana
menentukan mati otak, mudah-mudahan dapat digunakan sebagai bahan bacaan dasar
yang diperuntukkan untuk mahasiswa Fak. Kedokteran, untuk selanjutnya dilengkapi
dengan sumber kepustakaan lain untuk penyempurnaan.
KEMATIAN
Kematian dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu: somatic death (Kematian Somatik) dan
biological death (Kematian Biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian di mana
358 11 Anestesiologi
kompleks QRS (asistol ventrikel yang "membandel" atau mitrai table) pada pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG) menjadi indikator. Tanda kematian dini:
1. Pernafasan terhenti > 10 mnt, inspeksi, palpasi, ausklts.
2. Sirkulasi brenti 15 mnt, carotis tak teraba.
3. Kulit pucat.
4. Tonus otot hilang.
5. Kornea kering dalam 10 mnt.
Tanda kematian lanjut/tanda pasti kematian:
1. Lebam mayat/livor mortis.
2. Kaku mayat/rigor mortis.
3. Penurunan suhu tubuh/algor mortis.
4. Pembusukan/dekomposisi.
5. Adiposera, lilin mayat.
6. Mummifikasi.
Otak adalah pengendali utama seluruh fungsi tubuh. Andaikata jantung dan paru
masih bekerja tetapi otak dinyatakan kehilangan fungsinya, maka seseorang dinyatakan
mati. Meskipun demikian, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap memasukkan kondisi henti
jantung dan henti napas yang ireversibel dalam pengertian mati. Para ahli anestesi
menyimpulkan indikator kematian seseorang terbagi menjadi dua. Pertama, tanda klinis
mati otak, yaitu apabila telah dilakukan RJP dengan tahap-tahap Airway-Breathing-
Circulation selama 15-30 menit pada seorang pasien dewasa, namun kesadaran tetap tidak
dapat pulih, tidak mampu bernapas spontan, serta tak adanya refleks gag (gerakan
mulut/rahang) disertai dilatasi pupil. Yang kedua adalah mati jantung.
Beberapa Pengertian tentang Mati
Mati klinis: adanya henti nafas dan jantung (sirkulasi) dan berhentinya aktivitas otak,
tetapi tidak irreversibel dalam arti, masih dapat dilakukan resusitasi jantung-paru dan
kemungkinan dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi.
Mati sosial: hal ini terjadi pada penderita dengan kerusakan otak yang berat oleh
sebab apapun dan tidak reversibel, penderita tidak sadar dan tidak dapat memberi respon
terhadap rangsang/berbicara, tetapi jika dilakukan pemeriksaan EEG (electro encephalo
graphy) masih tampak aktifitas otak dan beberapa refleks masih positif. Bahkan mungkin
masih dapat terjadi siklus tidur dan bangun, tetapi secara sosial sudah tidak dapat memberi
respon/ berinteraksi. Keadaan ini disebut keadaan vegetatif yang menetap atau sindroma
apalika.
Mati biologis: mati biologis akan terjadi setelah/merupakan kelanjutan mati klinis jika
pada saat mati klinis tidak dilakukan resusitasi jantung-paru. Mati biologis berarti tiap organ
tubuh secara biologis akan mati dengan urutan: otak, jantung, ginjal, paru-paru, hati.
Disebabkan karena daya tahan hidup tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian seluler
Tes Klinis:
Setelah menyingkirkan hal-hal yang dapat menurunkan kesadaran maka selanjutnya
diperiksa:
1. Hilangnya fungsi otak/serebral.
Ditandai dengan: koma, syok, hipotensi, tidak ada respon terhadap rangsang, tidak
bergerak.
2. Hilangnya fungsi batang otak.
360 11 Anestesiologi
Ditandai dengan: hasil negatif dari tes fungsi batang otak (7 tes).
a. Tes tidak ada respon terhadap nyeri
Beri tekanan pada supra orbital dengan ibu jari atau tekan sternum dengan ibu
jari, lihat respon. Positif jika tidak ada gerak salah satu ekstremitas.
b. Pupil tidak respon terhadap cahaya.
Periksa bahwa penderita tidak mendapat tetes mata antikolinergik
sebelumnya. Arahkan cahaya ke kedua pupil bergantian dan lihat respon pupil.
Positif jika tidak ada kontraksi pupil pada kedua mata.
c. Tidak ada refleks kornea.
Sentuh kornea dengan kapas basah, jika tidak ada respon coba beri tekanan
dengan cotton bud basah dengan hati-hati. Positif jika tidak ada kontraksi otot
sekitar (M. Orbikularis Okuli).
Gambari
Tes Refleks Kornea
h. Tes apneu
Beri oksigen 100% selama 10-20 menit sebelum tes. Periksa BGA (analisa gas
darah) untuk menentukan PaC02 dasar (sekitar 35-40 mmHg). Monitor E KG,
362 11 Anestesiologi
tekanan darah dan saturasi oksigen untuk memastikan tekanan sistolik di atas
90 mmHg dan saturasi oksigen di atas 90% selama tes berlangsung. Jika terjadi
penurunan tekanan darah maupun saturasi maka ventilator harus segera
disambungkan kembali. Beri insuflasi oksigen 6 liter/menit dengan suction
cathether lewat pipa endotrakea, lepaskan hubungan dengan ventilator dan
amati adakah nafas spontan selama 5-8 menit, lalu periksa BGA lagi sebelum
dihubungkan kembali dengan ventilator. Hasil: positif jika tidak ada gerak nafas
selama dilepas dari ventilator, dan ada kenaikan PC02 > 50 mmHg atau
kenaikan > 20 mmHg dari dasar. Jika belum terjadi kenaikan PC02 seperti yang
diinginkan, tes dapat diulangi dengan memperpanjang periode lepas ventlator
(apneu) sampai 10 menit.
Pemeriksaan ulang
Setelah pemeriksaan pertama, penderita harus dievaluasi kembali dalam jarak waktu
tertentu yang disepakati banyak ahli yaitu 6 jam baik untuk penderita dewasa maupun
anak-anak di atas 1 tahun. Pada anak kurang dari 1 tahun diperlukan waktu lebih lama. Jika
pemeriksaan pertama menunjukkan tanda jelas mati batang otak, pemeriksaan ulangan
dapat dipersingkat yaitu 2 jam kemudian.5
Jika salah satu dari 7 tes tersebut tidak menunjukkan mati otak, walaupun yang lain
positif, maka dapat dikonfirmasi dengan angiografi serebral dan EEG.D
364 11 Anestesiologi
BAB XXIV
Dengan karakteristik:
1. p02 yang rendah (<60 mmHg)
Karakteristik dari tipe ini ditandai dengan peningkatan pC02 (> 50 mmHg). p02
mungkin normal atau menurun tetapi pA02-pa02 tetap normal.
Penyebab:
1. Overdosis narkotik/barbiturat/benzodiazepin/anestesi
2. Kelumpuhan akibat efek sisa pelumpuh otot
3. Penyebab SSP seperti infark otak/pendarahan
4. Kelainan yang mempengaruhi transmisi sinyal menuju otot pernafasan seperti GBS
(guillian barrel syndrom), mystenia gravis, multiple sclerosis, cedera spinal.
5. Kelainan pernafasan akut seperti poliomyelitis, muscular dystrophies.
6. Cedera pada dada seperti flail chest
366 11 Anestesiologi
6. Perawatan fungsi organ lain
7. Nutrisi
8. Perawatan umum
PEMBERIAN OKSIGEN
Untuk kasus ringan sampai sedang, pemberian oksigen akan dapat membantu P02
agar dapat mencapai 80 mmHg. Pemberian oksigen dapat diberikan dengan berbagai cara
seperti masker, kanul nasal, masker venture atau dengan T-piece jika pasien di intubasi
untuk menjaga volume tidal tetap adekuat.
Idealnya konsentrasi inspirasi Oksigen (FI02) harus tidak melebihi dari 50%, jika
sebaliknya akan terjadi keracunan oksigen. Jika pasien tidak dapat mempertahankan
saturasi oksigen pada konsentrasi ini dan yang disebut sebagai peralatan non invasive
positive pressure ventilasi (NIPPV) dapat dicoba jika situasi mendesak sebelum proses
intubasi dan ventilator mekanik.
Terapi oksigen membantu meningkatkan saturasi oksigen segala tipe hipoksia kecuali
hipoksia hipotoksis.
Hipoksia yang dihasilkan dari shunt (antara intracardial atau intrapulmoler) tidak
semuanya dapat dikoreksi dengan inhalasi oksigen 100%.
Indikasi
1. Berdasarkan hasil analisa gas darah:
PO2<50 mmHg didalam udara ruangan atau <60 mmHg pada FI02(inspirasi 02) >0,5
(50%)
pH< 7,25 (gagal nafas akut)
PCO2>50 mmHg
P02/FI02< 50mmHg (normal > 400)
P(A-a) 02 gradient > 350mmHg pada 02 100%
2. Berdasarkan fungsi paru Frekwensl
pernapasan > 35kall/menit Kapasitas vital
<15 ml/kg
Volume dead space (VD/VT)> 0,6 (60%)
Tekanan peak negatif £ h20 cmFI20
Volume tidal <5ml/kg
3. Yang lainnya
Kelelahan otot pernafasan
Kehilangan reflek nafas yang membuat pasien memungkinkan mengalami
VENTILATOR
368 11 Anestesiologi
pertimbangan tersebut perlu dipikirkan selama mengatur volume tidal dan volume tidal
yang akurat dapat dihitung dengan meletakkan spirometer pada ET.
Seperti yang didiskusikan diatas, kelemahan dari ventilasi-siklus-volume adalah bahwa
volume tidal yang tetap itu dikirimkan sehingga bila tekanan airway menjadi tinggi dan tidal
volume yang sama itu dikirimkan maka kemungkinan dari barotrauma akan meningkat.
2. Insiatif tergantung waktu/pasien dan siklus tekanan:
Pernafasan disini juga dimulai oleh waktu atau pernafasan spontan pasien. Ventilator
akan memulai sklus ekspirasi (atau dengan kata lain inspirasi dihentikan) setelah mencapai
tekanan yang diatur terhadap waktu preset atau sampai pengiriman dari aliran preset(siklus
aliran). Karena tekanan tetap, volume tidal dapat bervariasi tergantung dari tekanan airway
MODE VENTILASI
a. Ventilasi Mode Terkontrol/Ventilasi Tekanan Positif Intermiten
Pada mode ini tidak ada usaha spontan dari pasien. Seluruh pernafasan sepenuhnya
disediakan oleh ventilator pada volume-tidal/tekanan yang ditentukan dan frekuensi
yang ditentukan.
b. Ventilasi Terkontrol dengan Bantuan
Serupa dengan mode kontrol, volume tidal dan frekuensi ditetapkan. Pada mode
kontrol bantuan, nafas spontan pasien dibantu dengan volume tidal yang ditetapkan.
Bila nafas spontan pasien melebihi rate yang ditetapkan, tidak ada pernafasan
terkontrol yang diberikan dan ventilator akan sepenuhnya berjalan dalam Mode
Bantuan, tetapi bila
370 11 Anestesiologi
nafas spontan pasien kurang dari rate ventilator yang ditetapkan maka ventilator akan
memberikan pernafasan terkontrol. Contohnya bila rate yang ditetapkan 10
pernafasan/menit dan pernafasan spontan pasien 12 kali/menit maka ventilator akan
memberikan bantuan pada ke-12 kali pernafasan tersebut untuk mencapai volume
tidal yang ditetapkan. Tetapi bila nafas spontan pasien hanya 5 maka ventilator akan
memberi bantuan pada ke-5 kali pernafasan tersebut, dan 5 kali pernafasan yang
tersisa akan dikirm dalam mode control.
c. Ventilasi Intermiten Tersinkronisasi Pilihan
Serupa dengan mode kontrol dalam hal apapun rate yang ditetapkan, dianggap
sebagai pilihan (ventilasi pilihan intermiten) oleh ventilator tetapi dalam mode ini
ventilator akan melakukan sinkronisasi pernafasan dengan pernafasan pasien
sehingga ventilator hanya akan mengirimkan diantara usaha pasien atau bersamaan
dengan awal usaha spontan, tidak saat ekspirasi.
Keuntungan dari SIMV atau CMV
Gangguan hemodinamik lebih sedikit. Pada IPPV dapat dilihat penurunan cardiac
output dan penurunan aliran balik vena yang lebih signifikan
Pasien dengan SIMV/IPPV memerlukan sedasi atau pelumpuh otot, hal
ini dapat dihindari pada SIMV
Kekeliruan yang kecil dari V/Q
Weaning dapat lebih cepat
Kerugian
Usaha napas yang meningkat akan menyebabkan kelelahan otot.
Meningkatnya potensi terjadinya hipokapnea (karena adanya hiperventilasi)
d. Positive end expiratory pressure (PEEP):
Seperti namanya, pada PEEP diberikan tekanan positif pada akhir respirasi untuk
mencegah kolapsnya alveolus, sehingga pertukaran gas tetap terjadi walaupun saat
ekspirasi. Sangat berguna jika kurang terjadi pertukaran gas. Dapat digunakan pada
kasus:
Edema pulmonum
ARDS (acute respiratory distress syndrome/sindroma distress respirasi akut)
Pada pembedahan thorax untuk meminimalisasi perdarahan pasca operasi.
PEEP fisiologis (pada pasien normal yang diintubasi untuk mencegah atelektasis.
Efek samping PEEP
Hipotensi dan menurunnya cardiac output:
PEEP mengkompresi venule pada septa alveoli sehingga menyebabkan
penurunan aliran balik vena. Sehingga PEEP optimal adalah jumlah yang dapat
mempertahankan saturasi oksigen > 90% tanpa menurunkan cardiac output
secara signifikan.
Peningkatan tekanan arteri pulmonalis dan adanya ketegangan pada ventrikel
372 11 Anestesiologi
kemudian diganti dengan IPAP. IPAP kemudian dihentikan jika telah melewati waktu
yang ditentukan (siklus waktu) atau jika alirannya turun hingga ke tingkat tertentu
(siklus aliran).
j. Airway Pressure Release Ventilation (APRV)
Digunakan pada pasien dengan PEEP atau CPAP jika terdapat pelepasan periodik PEEP
atau CPAP untuk mengurangi insidensi barotrauma dan hipotensi.
Ventilasi Mode Ganda
Kini telah tersedia ventilator baru yang dapat menggabungkan dua kelebihan baik
ventilasi tekanan dan volume untuk memberikan napas campuran. Walaupun terminologi
yang berbeda digunakan oleh pabrik yang juga berbeda telah membuat hal ini
membingungkan, tetapi karakteristik model ini yang paling dasar adalah napas diberikan
dengan volume yang cukup (mencegah hipoventilasi) dan tekanan yang teregulasi
(mencegah barotrauma).
Mode yang biasa digunakan untuk ventilasi ganda (pabrik yang berbeda
menggunakan terminology yang berbeda untuk menyebut mode ini):
a. Ventilasi dengan tekanan terkontrol-volume yang terjamin (atau control volume
dengan tekanan yang teregulasi): tekanan tingkat tinggi ditetapkan untuk mencegah
barotrauma dan tekanan tingkat rendah ditetapkan untuk mencegah kolaps alveoli
(PEEP). Ventilator disesuaikan diantara dua batas ini untuk memberikan volume tidal
yang telah ditentukan.
b. Bi level-volume yang terjamin (atau ventilasi dengan bantuan tekanan dengan volume
yang terjamin): batas atas tekanan (disebut tinggi tekanan) dan batas bawah (disebut
rendah tekanan) ditentukan dahulu. Ventilator memberikan aliran yang konstan
untuk mempertahankan rendah tekanan (sama seperti CPAP) dan aliran tinggi untuk
memperoleh tinggi tekanan saat pasien menginisiasi napas (kebutuhan aliran).
Tekanan yang tinggi ini akan dipertahankan (bantuan tekanan) hingga volume tidal
telah diberikan (volume yang terjamin).
Ventilasi tekanan positif non invasif (NIPPV) (ventilasi tanpa trakhe- ostomi atau
intubasi)
Intubasi dan trakheostomi memiliki beberapa komplikasi, sehingga dapat dicoba
untuk diberikan NIPPV. Kandidat ideal untuk dilakukan NIPPV adalah:
a. Pasien dengan gagal napas tetapi tidak terlalu memerlukan intubasi
b. Pasien yang sadar dan kooperatif
c. Pasien yang tidak mempunyai resiko aspirasi
d. Masker kepala harus dapat dipasang dengan erat.
NIPPV dikontraindikasikan pada
a. Gagal jantung atau napas
374 11 Anestesiologi
dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi. Jika terjadi perbaikan dapat dilakukan
pemantauan setiap 4 jam.
Komplikasi
1. Kebocoran- kebocoran adalah problem yang serius dan signifikan selama NIPPV.
Walaupun beberapa mesin dapat mengkompensasi kebocoran ringan sampai
sedang, tetapi kebocoran yang besar dapat menyebabkan hipoventilasi. Hal ini dapat
dihindari dengan pemasangan masker secara tepat dan benar.
2. Ketidaknyamanan pasien dapat menyebabkan claustrophobia.
(terutama pada penggunaan helmet dan masker.)
3. Meningkatkan kemungkinan aspirasi.
4. Pengelupasan kulit, pembengkakan wajah pada penggunaan jangka panjang.
5. Keterlambatan intubasi.
Ventilasi Frekuensi Tinggi:
Pada mode ini dapat digunakan untuk kondisi dengan tidal volume yang adekuat
tidak cukup untuk dialirkan sehingga minute volume dikompensasi dengan frekuensi
yang tinggi. Frekuensi tinggi ventilasi dapat dialirkan dengan menggunakan alat
khusus untuk frekuensi tinggi.
Indikasi
Fistula Bronchopleural dimana tidal volume yang besar dapat menyebabkan
pneumothorak.
Bronchoscopies: pasien harus diberikan ventilasi melalui alat kecil sehingga
tidak mendapat tidal volume yang memadai. Microlaryngeal surgery: Pada
kasus dimana terjadi pembukaan glottis menjadi sempit sehingga pada saat itu
hanya dapat dilewati oleh kateter, padahal kateter tersebut tidak dapat
mengalirkan tidal volume yang cukup.
Ventilasi emergensi melalui membrane crycotyroid.
Ventilasi frekuensi tinggi dapat terjadi pada:
Frekuensi tinggi ventilasi tekanan positif, dengan frekuensi 60-120 kali per
menit.
Frekuensi tinggi ventilasi jet dimana frekuensi nya 100-300 kali per menit
dengan gas pada tekanan tinggi 60 psi. Metode ini yang paling sering
digunakan.
High Frequency Oscilator dimana frekuensi nya 600 sampai 3000 kali per menit.
Komplikasi dari penggunaan Ventilasi Mekanik dan masalah yang berhubungan.
1. Pulmonary Barotrauma Angka
kejadian 7-10 persen
Pneumothorak
Pneumomediastinum
Bronchopleural fistula
Pneumopericardium
376 11 Anestesiologi
Proses penyapihan beragam dari satu pasien ke pasien lain, rumah sakit yang satu ke
rumah sakit yang lain (bergantung type ventilator yang digunakan), dari dokter ke dokter
dan sangat memungkinkan melakukan penyapihan terhadap pasien pada semua jenis
ventilasi kecuali pada mode ventilasi control).
Pendekatan yang biasa digunakan pada pasien dengan mode control/assisted control
ventilasi adalah dengan berpindah ke SIMV dan menjaga mereka untuk menugurangi
frekuensi nafas secara bertahap hingga mencapai 1-2 nafas per menit. Tidal volume tidak
mencukupi maka bantuan tekanan dapat dimulai. Bantuan tekanan dapat dikurangi secara
bertahap sampai pasien mendapat tidal volume yang cukup. Ketika tidal volume dan
frekuensi nafas sudah adekuat maka ventilator bisa dilepaskan dan T tube disambungkan ke
endotracheal tube.
Jika pasien mampu untuk mengontrol fungsi dari jantung dan paru dan menunjukkan
analisa gas darah yang normal dalam waktu lebih dari 2 jam, ekstubasi bisa dilakukan.
Panduan untuk penyapihan:
1. p02> 60 mmHg (atau Oxygen saturation > 90%) diatas FI02< 50 % dan PEEP<5 mmHg
2. p C02< 50mmFlg
3. Frekuensi pernapasan < 20 x/mnt
4. Kapasitas vital > 15 ml/Kg
5. VD/VT <0.6
6. Tidal volume > 5 ml /Kg
7. Ventilasi menit < 10 liters/menit
8. Tekanan inspirasi <-30cm H20
9. Rapid Shallow Breathing Index (RSBI) harus < 100
ke jantung
Pemeliharaan fungsi normal jantung sangatlah penting pada pasien gagal napas.
Dopamin atau dobutamin infus mungkin dibutuhkan untuk pemeliharaan cardiac output
normal.
Manajemen Shock
Shock sering disertai dengan gagal napas atau sebaliknya, sehingga manajemen shock
berjalan seiring dengan manajemen pernapasan.
NUTRISI DI ICU
Menentukan kebutuhan kalori awal menggunakan salah satu metode sebagai
berikut:
1. Perhitungan sederhana:
a. 25-30 kkal/kg/hari pada kasus pasien criticall ill tanpa sepsis atau luka bakar
b. 30-35 kkal/kg/hari pada kasus sepsis dan luka bakar
Menentukan kebutuhan protein yaitu:
a. l,2-l,5g/kg/hari (atau 15-20% total kalori) untuk stress ringan
b. 1,5-2,0 g/kg/hari (atau 20-25% total kalori) untuk kasus stress sedang sampai
berat atau luka bakar > 25% luas permukaan tubuh (body surface area)
c. Kurangi protein (1,0-1,2 g/kg/hari) pada pasien icu dengan uremia progresif
sebelum dilakukan dialysis dan pasien dengan ensefalopati hepatikum:
• Kebutuhan cairan tergantung:
Usia tua: 25-30 m L/kg/ha ri
Dewasa Muda: 35 mL/kg/hari
Usia muda/olahragawan: 40 mL/kg/day
• Kebutuhan cairan meningkat pada pasien dengan demam dan pada
pasien dengan kehilangan cairan tubuh yang meningkat.
• Kebutuhan cairan menurun pada pasien dengan kelebihan cairan
(overload), gagal jantung kongestif, gagal ginjal, gagal hati, SIADH dan
edema pulmo
-> Pemberian mikronutrisi (karbihidrat, protein, lemak):
• Karbohidrat (CHO) diberikan dalam bentuk dekstrosa.
1 g dekstrosa = 3.4 kkal
55-65% dari total kkal harus diberikan dalam bentuk larutan secara
total parenteral nutrisi.
378 11 Anestesiologi
Tidak lebih dari 4-5 mg/kg/min; karena dapat berkaitan dengan
hiperglikemi, pembentukan dan penyimpanan lemak, disfungsi
hepar dan peningkatan produksi C02 Minimal 100 g/hari dibutuhkan
untuk menghindari protein dipecah menjadi sumber energi.
• Protein diberikan dalam bentuk asam amino (AA)
lg AA = 4.0 kkal
Larutan khusus asam amino atau modifikasinya sudah tersedia
tetapi dukungan eviden klinis terhadap efikasi ini
masih terbatas. Misalnya larutan dengan asam amino rantai high
branched untuk (trauma dan gagal hepar) dan esensial asam amino
(gagal ginjal).
• Lemak diberikan dalam bentuk lipid:
10% lipid mengandung 1,1 kkal/mL 20% lipid mengandung 2,0
kkal/mL Sebaiknya 20-30 % dari total kalori diberikan dari lipid, (> 30
% dari total kkal dapat menyebabkan immunosuppressive)
Dibutuhkan minimal 2-4 % dari total kkal dari asam linoleic untuk
mencegah kekurangan asam lemak esensial.
Jika trigliserida serum meningkat > 400 mg/dL, berikan lipid harian
dan dilanjutkan ~1 g/kg lipid dua kali seminggu.
Elektrolit
• Fungsi Ginjal normal
Natrium : 100-150 mEq/hari
kalium : 60-120 mEq/hari
Chloride : 100-150 mEq/hari
Calcium : 9-22 mEq/hari
Magnesium : 8-24 mEq/hari Fosfat :
15-30 mmol/hari
• Pengaturan elektrolit diperlukan pada disfungsi ginjal, kehilangan yang
besar atau peningkatan status cairan.
• Asetat (dimetabolisme menjadi bicarbonate di hati) mungkin dibutuhkan
pada asidosis metabolik.
• Bikarbonat sebaiknya tidak diberikan untuk larutan Total Parenteral
Nutrisi TPN (tidak dapat dilarutkan dengan Ca & Mg)
• Endapan Kalsium Fosfat berbahaya pada Total Parenteral Nutrisi.
Konsentrasi pH, Ca & P04 mempengaruhi kelarutan. Seorang pharmacist
yang baik dapat memprediksi forlumarium untuk pemberian kalsium dan
fosfat pada larutan.
Mikronutrisi (vitamin/mineral/element tambahan)
• Preparat komersial saat ini tersedia dan mengandung vitamin A, D, E, K,
380 11 Anestesiologi
• Tingginya kkal dan karbohidrat dapat meningkatkan produksi C02dan
kebutuhan ventilasi.
• Kebutuhan total cairan perlu dibatasi.
CONTOH KASUS
Pasien BB50 kg, kebutuhan kalori 30 kalori/kgBB/hari Cairan :
30cc/kgBB/hari
Protein : 1,5 gr/kgBB/hari
Lemak -> Perbandingan karbohidrat: lemak = 60:40 dari seluruh kalori (KH) Jadi KH:
Lemak = 900 kalori: 600 kalori.
Kesimpulan: nutrisi pada pasien ini adalah:
Kalori KH = 900 kalori/hari
Kalori Lemak = 600 kalori/hari
Protein = 75 gr/hari
Cairan = 1500 cc/hari
Untuk nutrisi enteral, bila kita harus meracik sendiri, kita dapat meng
gunakan nutrisi dari susu instan misal:
Ensure
Parenteral
Dapat kita sesuaikan sesuai kebutuhan dengan melihat kandungan nutrisi dari susu
instan tersebut.
Kardiovaskular Respirasi
Gangguan kontraksi ototjantung Hiperventlasi
Penurunan kekuatan otot nafas
Dilatasi Arten.konstnksi vena, dan
dan menyebabkan kelelahan otot
sentralisasi volume darah
Sesak
Metabolic Peningkatan kebutuhan
Peningkatan tahananvaskularparu
metabolisme Resistensi insulin M e
n g ha mba t g I i ko 11 si s a n a
Penurunan curah jantung,
tekanan darah arteri, dan erob Penurunan sinteasATP
aliran darah hati dan ginjal Hiperkalemia
Peningkatan degradasi protein
Sensitif thdreentranfarr/yt/rma dan Otak
penurunanambang fibnlasi ventrikel
Penghambatan metabolisme dan
regulasi volume sel otak
Menghambat respon kardiovaskular Koma
terhadap katekolamin
384 11 Anestesiologi
AKIBAT DARI ALKALOSIS BERAT
Kardiovaskular
Konstriksiarten
Penurunan aliran darah koroner
Penurunan ambangangina
Predisposisi terjadinya supraventnkel dan ventnkel
aritmia yg refrakter
Respirasi
Hipoventilasi yang akan menjadi hiperkart» dan
hipokserma
Metabolic
Stimulasi glikolisis anaerot) dan produksi asam organik Hipokalerma
Penurunan konsentrasi Ca terionisasi plasma
Hipomagnesema and hipophosphatema Otak
Penurunan alirandarahotak
Tetam. kejang lemahdelmumdan stupor
Definisi
Asam didefinisikan sebagai substansi kimia yang dapat bertindak sebagai donor
proton (H4), sedangkan basa adalah substansi kimia yang bertindak sebagai aksptor proton
(Brownsted-Lowry). Pada cairan fisiologis, akan lebih baik jika kita menggunakan definisi oleh
Arrhenisu: Asam adalah bahan yang mengandung hidrogen dan bereaksi dengan air untuk
membentuk ion hidrogen. Basa adalah bahan yang menghasilkan ion hidroksida di air.
Penilaian Hendersen-Hasselbach
Penilaian adanya gangguan terhadap keseimbangan asam basa tubuh telah dikenal
adanya formula dari Hendersen-Hasselbach: PH=PK+log mco,i PC02
Dari penilaian Hendersen-Hasselbach penentuan pH normal berkisar 7,35 - 7,45,
dimana bila gangguan yang cenderung untuk menurunkan pH disebut asidosis, sedangkan
yang cenderung menaikan pH disebut alkalosis. Jika gangguan terutama mempengaruhi
[HC03], maka dinamakan gangguan metabolik. Jika gangguan terutama mempengaruhi PC02
maka dinamakan dengan respiratorik. Kompensasai sekunder harus digambarkan demikian
dan tidak mengguanakan "~osis". Sebagai contoh, istilah alkalosis metabolik dapat
diistilahkan dengan kompensasi respiratorik.
Paradigma Baru
1. SID (Strong ions difference)
SID = (jumlah total konsentrasi kation kuat) dalam larutan dikurangi (jumlah total
konsentrasi anion kuat) dalam larutan.
Di dalam plasma, rumus untuk menentukan SID adalah:
Ion-ion kuat in-organik seperti Na+, Cl' pada umumnya diabsorpsi dari usus dan
dikeluarkan melalui sistim ekskresi ginjal. Sedangkan ion-ion kuat organik (laktat, keto-anion)
di produksi dan dimetabolisme di jaringan dan dieksresi lewat urin.
Cairan tubuh
Cairan tubuh adalah larutan encer yang mengandung beberapa ion-ion kuat
(inorganik dan organik) dan ion lemah (yang volatile; sistim C02/HC03- dan asam lemah non
volatile HA).
Jadi setiap perubahan pada variabel independen akan menyebabkan gangguan pada
keseimbangan asam basa tubuh: pertama, perubahan pada pC02 akan menyebabkan
asidosis respiratori, dan kedua, perubahan pada SID dan/atau ATot akan menyebabkan
asidosis metabolik.
Perubahan pada pC02 terjadi secara cepat oleh ventilasi, sedangkan perubahan pada
SID yang disebabkan oleh adanya perubahan pada konsentrasi ion-ion kuat dalam tubuh
berjalan lebih lambat. Regulasi dari ion- ion kuat diatur oleh usus (absorpsi) dan ginjal
(ekskresi).
SKETSA HUBUNGAN ANTARA SI D, H+ DAN OH-
Gamblegram
388 11 Anestesiologi
I
SDSp-iSTj
i D D-iiTU - -t
!
D ptfttmi
romi'
tao t t
i a
: 7,35-7,45 : 35-45
mmHg : 24-26
mEq/L : -3 sampai
+3 : 96-98 %
389 || Anestesiologi
pH normal dipertahankan dengan ratio normal 20:1 dari bicarbonate dan karbon
dioksida seperti yang dijelaskan oleh rumus Henderson-Hasselbalch dimana:
HC03'
pH =pK+ log ---------------------------------
0. 03 x pC02
Jadi jika rasio ini dipertahankan pada 20:1, pH akan tetap normal meskipun terjadi
ketidakseimbangan asam basa atau dengan kata lain abnormalitas asam basa telah
terkompensasi.
Untuk kompensasi atau mempertahankan rasio tetap normal, peningkatan lain
dalam pC02 akan diikuti dengan peningkatan bikarbonat (retensi bikarbonat dengan ginjal)
dan penurunan pC02 akan diikuti dengan penurunan bikarbonat (peningkatan ekskresi
bikarbonat oleh ginjal)
lihat pCO,
I
pCO, normal
1 pCO, menurun
pCO, meningkat
HCOj turun
_J __ HCO,menin^cat HfO, Normal
I
HCOj turun
Asidosis _ f __
Asidosis respirasi
metabolik Asidosis respirasi Asidosis respirasi
kompensasi ♦asidosis Metabolik unkonpensata
unkompensata sebagian
Asidosis
metabolit
kompensasi
390 I) Anestesiologi
pC0
pC0
2 meningkat
2 normal pC0pC0 2 menurun
pH meningkat(> 7,45) {ALKALOSIS)
2 meningkat pC0
pC0 2 Normal
2 menurun
i i
HCOa HCOj meningkat HCO3 menurun
lihat pC02
ASIDOSIS RESPIRASI
Definisi
Didefinisikan sebagai peningkatan pC02 dengan jumlah cukup untuk menyebabkan
turunnya pH kurang dari 7.35.
Penyebab
1. Hipoventilasi mungkin disebabkan karena overdosis dari obat dan anestesi.
2. Kelainan neuromuscular junction yang bereefiek pada otot respirasi.
3. Depresi sentral dari SSP
4. Penyakit paru seperti PPOK dll.
5. Peningkatan produksi C02 misalnya, hipertemia maligna
Kesimpulan Temuan Gangguan Asam Basa
Abnormalitas PH PC02 HCOj
Asidosis respirasi
ringan.
ALKALOSIS RESPIRASI
Didefinisikan sebagai turunnya pC02 yang cukup untuk meningkatkan pH lebih dari
7.45
Penyebab
Hiperventilasi: Ini adalah penyebab yang sering terjadi saat anestesi
umum (ventilasi manual selalu terdapat kecenderungan hiperventilasi)
latrogenik
Kehamilan
Keracunan salisilat
Hipoksia
Cidera SSP
Penanganan
Penyesuaian pengaturan ventilator (mengurangi frekuensi) dan meningkatkan
rebreathing.
Inhalasi C02.
Penanganan penyebab utama.
ASIDOSIS METABOLIK
BAB XXIV - Manajemen Perawatan Intensive / Intensive Care Unit (ICU) 11 393
memperburuk asidosis. Komplikasi lain adalah hipeprtonus (6 kali lebih banyak daripada
plasma) yang dapat menyebabkan hipernatremi dan hiperosmolaritas.
Bufferlain:
Carbicarb: (Sodium bicarbonate + sodium karbonat): ini adalah non C02 alternatif
umum selain sodium bikarbonat tetapi dengan penelitian klinis yang kurang
THAM: komponen non sodium
2. Menangani penyebab utama.
ALKALOSIS METABOLIK
Didefinisikan sebagai pH > 7,45.
Penyebab
Muntah
Aspirasi tune Ryle's (kehilangan HCI)
Diuretik.
Hipovolemia.
Diare dengan kehilangan klorida
latrogenik
Pananganan
Tangani penyebab utama
Infus IV ammonium klorida, 0.1 N asam hidroclorid (tidak lebih dari 0.2 Eq/kg/hari)
atau AAcetazoIamide untuk kasus berat.
INTERPRETASI BGA/CARA PEMBACAAN BGA
Skema berikut adalah ringkasan untuk membuat penilaian secara cepat terhadap
hasil BGA dan gangguan asam-basa dalam tubuh:
Interpretasi Sederhana
Cara termudah untuk menginterpretasikan hasil gas darah adalah dengan metode
langkah demi langkah.
1. Langkah 1
Apakah pH dalam kisaran normal atau tidak? Jika pH berada di luar kisaran normal,
harus ditentukan apakah ada alkalosis atau asidosis.
pH> 7.45 = alkalosis (misalnya 7,52) pH
<7.35 = asidosis (misalnya 7,24)
2. Langkah 2
Apa yang menyebabkan kelainan pada pH? Hanya ada dua kemungkinan, respiratorik
(perubahan PaC02) dan/atau metabolik (perubahan HC03-atau BE)
Respiratorik
394 || Anestesiologi
Lihatlah PaC02 - Bila PaC02 meningkat dan pH menurun = asidosis respiratorik atau
menurun PaC02 dan pH meningkat = Alkalosis Respiratorik Metabolik
Lihatlah HC03-atau B.E. - bila Base Excess atau bikarbonat meningkat dan pH
meningkat = Alkalosis Metabolik atau Base Excess atau bikarbonat menurun dan pH
menurun = asidosis metabolik
Pada pasien kritis, pH mungkin sangat rendah, yaitu <7.00 karena asidosis metabolik
yang terjadi(metabolisme anaerobik, asidosis laktat) bersama dengan asidosis respiratorik
(ventilasi tidak memadai) akan menyebabkan pH turun.
3. Langkah 3
Menilai kompensasi terhadap ketidakseimbangan asam basa. Kompensasi adalah
usaha mengembalikan pH abnormal menuju normal (7,35-7,45) oleh sistem organ yang
tidak terpengaruh terutama.
Misalnya, jika terjadi hipoventilasi dan retensi C02, pH akan turun menyebaban
asidosis Respiratorik. Jika kondisi ini berlangsung selama beberapa jam ginjal akan mulai
mengkompensasi dengan mempertahankan HC03-sehingga meningkatkan pH kembali ke
normal. Jika pH hanya dalam batas normal tetapi PaC02 atau BE adalah luar batas normal,
maka ada kompensasi penuh. Kadang-kadang pH tidak dapat dikembalikan ke batas normal
dan hanya ada kompensasi parsial.
4. Langkah 4
Bagaimanakah status oksigenasi? Lihatlah Pa02 dan Sa02%. Pa02 rendah (<77-88
mmHg) menunjukkan masalah dengan paru-paru sementara Sa02% rendah (<90%) bisa
disebabkan oleh masalah di mana saja dalam sistem transportasi tubuh oksigen, paru-paru,
darah atau jantung pompa.
Ingat bahwa pasien PPOK dapat 'normal' dengan Sa02% = 88%.
BAB XXIV - Manajemen Perawatan Intensive / Intensive Care Unit (ICU) 11 395
PaC02 = [1,5 x HC03 + 8]± 2 asidosis metabolik murni PaC02 < PaC02
perkiraan -> bersamaan alkalosis respiratorik. PaC02> PaC02 perkiraan -
> bersamaan asidosis respiratorik
5. Jika HC03- \U, maka periksa Anion Gap (AG).
6. Jika AG tidak berubah maka asidosis metabolik hiperkloremik.
7. Jika AG 'f -> maka asidosis AG lebar.
8. Periksa gap-gap rasio :AA G/ A HC03-
= 1, t asidosis metabolik AG meningkat murni <1
metabolik asidosis AG normal > 2 asidosis metabolik.
9. Jika pH menunjukkan alkalosis, kemudian lihat HC03-dan PaC02.
10. Jika paC02 -i, -> maka alkalosis respiratorik primer.
a. Apakah itu akut atau kronis (dengan rumus yang sama seperti di atas).
b. Hitung kompensasi oleh metode masing-masing:
Akut: [HC03-] 4, 2 mEq / L untuk setiap ^ lOmmHg pada paC02di bawah
40.
Kronis: [HC03-] 5 mEq / L untuk setiap -i' lOmmHg pada
PaC02 di bawah 40.
11. Jika PaC02 't dan HC03-juga -> maka alkalosis metabolik primer. Hitung perkiraan
PaC02.
PaC02 = [0,7 x HC03-+ 21] ± 2 Atau 40 + [0,7 AHC03] -> alkalosis metabolik
murni
PaC02 <PaC02 perkiraan -> bersamaan alkalosis respiratorik. PaC02> PaC02
perkiraan bersamaan asidosis respiratorik.
12. Periksa klorida urin
jika klorida urin <20 responsif klorida atau ECV deplesi. jika klorida
urin> 20 -> resisten klorida.
13. Jika pH BGA normal mungkin gangguan normal atau campuran
a. 'T" PaC02 dan ^ HC03--> asidosis respiratorik dan metabolik.
b. vl/ PaC02 dan ^ HC03--> alkalosis respiratorik dan metabolik. Hitung selisih%
(AHC03-/HC03-and ApaC02/paC02) untuk melihat gangguan
yang dominan.[]
396 || Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan EG, Mikhail SM, Murray JM, Larson PCM. Clinical anesthesiology. 4th Edition.
New York: McGraw Hill; 2005.708-724
2. Wilkes P. Acid-base lecture in Acid-base management. University of Ottawa
Departemen of Anesthesiology, Physics and Fluids Core Program, October 11,2001.
3. Kellum JA. Determinants of Blood pH in Health and Disease. Critical Care 2000;4:6-14.
4. Schalkwyk JV.m A Basic Approach to Body pH.. Cited on 1999, Available on;
http://www.anaesthetist.com/icu/elec/ionz
5. Brandis «.Quantitative Analysis of Acid-Base Disorders, In: Acid-Base Physiology
An Online Tutorial, chapter lO.Cited On 14 March 2002, Available on:
http://www.qldanaesthesia.com.
6. Magder S. Pathophysiology of metabolic acid-base disturbances in patients
with critical illness.ln: Critical Care Nephrology. Kluwer Academic Publishers,
Dordrecht, The Netherlands, 1998. pp 279- 296.Ronco C, Bellomo R (eds).
7. Orlando Health. Interpretation of the Arterial Blood Gas. 2010 . Orlando Health,
Education & Development
8. Pramod Sood, Gunchan Paul, and Sandeep Puri. Interpretation of arterial blood gas.
Indian J Crit Care Med. 2010 Apr-Jun; 14(2): 57-64.
BAB XXIV - Manajemen Perawatan Intensive / Intensive Care Unit (ICU) 11 397
BAB XXV
398 11 Anestesiologi
sehari. Yang tidak diperbolehkan adalah bayi prematur hingga post konsepsi minggu
ke-60 karena beresiko tinggi untuk terjadi komplikasi respirasi hingga post konsepsi
minggu ke-60.
3. Prosedur pembedahan dengan durasi satu setengah jam diperboleh-
kan untuk pelayanan bedah sehari. Bila durasi pembedahan lebih dari satu setengah
jam, beresiko terjadi perubahan hemodinamik mayor, kemungkinan terjadi
komplikasi operasi, memerlukan ¡mobilisasi lama dan menggunakan analgesik
parenteral/epidural tidak diperbolehkan masuk dalam bedah sehari.
4. Pasien yang tidak didampingi oleh orang lain yang dapat bertanggung jawab atas
pasien tidak diperbolehkan menjalani pelayanan bedah sehari.
Penilaian Preoperatif dan Premedikasi
Penilaian awal untuk pasien pelayanan bedah sehari harus dilakukan untuk
menghindari pembatalan yang menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien.
Pemeriksaan:
ASA I, usia kurang dari 40 tahun, tidak diperlukan pemeriksaan khusus. Pria usia lebih
dari 40 tahun atau wanita usia lebih dari 50 tahun diperlukan EKG.
Usia lebih dari 65 tahun diperiksa fungsi ginjal.
Premedikasi dalam pelayanan bedah sehari masih menjadi bahan perdebatan.
Sebelumnya karena tidak tersedianya benzodiazepine dengan kerja pendek,
penggunaannya dibatasi tetapi sekarang dengan adanya midazolam, benzodiazepine dapat
digunakan untuk pelayanan bedah sehari terutama untuk pasien sadar. Midazolam harus
diberikan pagi hari saat hari operasi [(1-2 jam sebelum operasi(oral) dengan seteguk air atau
30 menit sebelum pembedahan(IM)].
Untuk mencegah mual dan muntah, antiemetik pilihan adalah dolasetron/
granisetron (jika tidak ada dapat digunakan ondansentron). Karena efek sedative antiemetic
seperti metoclopramide dan droperidol tidak dipilih. Karena dapat menyebabkan lambat
bangun.
Premedikasi dengan NSAID oral dapat sangat berhuna untuk mengurangi kebutuhan
analgsik opioid. Pemberian premedikasi secara oral sama dalam pembedahan rutin.
TEKNIK ANESTESI DAN OBAT IDEAL UNTUK PELAYANAN BEDAH
SEHARI
Monitoring
Selain monitoring biasa, Bispectral index monitor untuk menentukan kedalaman
anestesi (untuk menghindari anestesi terlalu dalam) lebih dipilih dalam pelayanan bedah
sehari (tetapi masih menjadi pertimbangan karena harganya mahal)
Anestesi Umum
Anestesi Umum dengan Laryngeal mask airway (LMA) lebih dipilih daripada intubasi
Induksi Intravena
Propofol adalah obat pilihan karena onset cepat, pulih bangun yang cepat, efek
antiemetic dan antipruritus dan tidak ada kemungkinan sedasi ulang (karena semua produk
metaboliknya adalah inaktif)
Agent Inhalasi
Desflurane memiliki onset dan sadar lebih cepat, sangat ideal untuk pelayanan bedah
sehari. Karena harga desflurane yang mahal dan belum terdapat pada banyak rumah sakit,
sevoflurane dapat menjadi alternatif terbaik.
Penggunaan nitrous oxide mengurangi kebutuhan agent inhalasi sehingga pemulihan
lebih cepat (nitrous oxide dieliminasi dari tubuh dalam waktu 3-5 menit).
Analgesik Intravena
Non opioid seperti NSAID dapat digunakan secara aman. Remifentanil memiliki
waktu paruh sangat pendek (10 menit) sehingga menjadi opioid yang paling banyak dipilih.
Muscle Relaxants
Mivacurium karena durasinya kerjanya pendek adalah pelumpuh otot pilihan untuk
pelayanan bedah sehari. Walaupun succinylcholine juga memiliki kerja yang pendek tetapi
tidak menjadi pilihan karena menyebabkan myalgia yang signifikan paska operasi yang
dapat berlangsung selama 2-3 hari.
Total Intravenous Anestesi (TIVA)
Teknik ini digunakan apabila hanya menggunakan anestesi intravena (tidak ada
inhalasi, pelumpuh otot). Kombinasi pilihan untuk TIVA adalah propofol + remifentanil.
Anestesi Regional
Blok saraf regional seperti Bier's block dan anestesi lokal adalah teknik yang mudah
dan aman untuk pelayanan bedah sehari. Pada blok seperti blok plexus brachial
supraclavicular dimana terdapat resiko pneumothoraks paska operasi harus dihindari.
Spinal/epidural: Walaupun spinal/epidural sekarang banyak digunakan dalam
pelayanan sehari tetapi terdapat resiko seperti nyeri kepala paska pungsi dural (PDPH),
retensi urin dan efek sisa blokade sensorik/motorik/ simpatis, tetapi masih
direkomendasikan apabila (1) hanya menggunakan anestesi lokal kerja pendek atau
intermediate (2) spinal harus diberikan hanya dengan jarum ukuran kecil dengan jenis dura
separating needles.
Pelayanan Monitoring Anestesi
Sudah lama pelayanan anestesi digunakan hanya untuk memberikan sedasi dan
monitoring saat operasi dilakukan dengan anestesi lokal.
400 11 Anestesiologi
Obat pilihan untuk sedasi adalah midazolam. Dapat juga diberikan propofol.
Periode Paska Operasi
Keluar dari Rumah Sakit lebih awal bergantung pada kelancaran operasi. Lebih dari
70% komplikasi pada pelayanan bedah sehari terjadi pada periode paska operasi.
Komplikasi paska operasi yang sering adalah mual dan muntah paling banyak,
nyeri, sedasi, myalgia, kelemahan, dan perdarahan.
Kriteria Pulang
Fast tracking adalah perpindahan pasien dari ruang operasi ke ruang pemulihan fase
II (step down) melalui post anesthesia care unit (PACU). Hal ini akan mengurangi
pengeluaran biaya dan membantu keluar rumah sakit lebih awal.
Kriteria keluar rumah sakit pada pasien yang menjalani pelayanan bedah sehari
adalah;
Tanda vital stabil lebih dari 30 menit
Tidak terdapat mual (atau mual yang minimal) dalam 30 menit.
Pasien berorientasi baik pada waktu, tempat, dan personal.
Mampu duduk atau berjalan.
Mampu menerima cairan secara oral tanpa muntah, dulu digunakan sebagai kriteria
utama, tetapi sekarang hanya dijadikan pilihan.
Bebas nyeri (atau nyeri yang minimal) dengan analgesik oral. Kemampuan untuk
mengeluarkan urin tidak dijadikan kriteria untuk pasien yang diberikan GA tetapi
masih menjadi bahan pertimbangan pada pasien dengan spinal atau epidural.
Tidak ada perdarahan aktif.
Ditemani oleh orang lain yang dapat bertanggung jawab.
Sebaiknya tetap tinggal di lingkungan yang terjangkau rumah sakit pada 24 jam
pertama.
Intruksi Paska operasi Pada Pasien Pelayanan Bedah Sehari
Pasien tersebut harus diinstruksikan untuk tidak melakukan aktivitas berat dan kerja
penuh seperti mengemudi, menjalankan mesin setidaknya dalam 24 jam. Pasien yang
datang dari luar kota disarankan untuk tinggal disekitar lingkungan rumah sakit untuk satu
hari sehinga apabila terjadi komplikasi dapat segera dibawa ke Rumah Sakit. Insidensi
perawatan kembali adalah 2-3%, paling sering terjadi disebabkan oleh perdarahan.[]
402 11 Anestesiologi
ANESTESIOLOGI
Dengan semakin meningkatnya peran bagian anestesi dalam pelayanan di rumah sakit tentunya juga
harus di imbangi dengan peningkatan pengetahuan tentang perkembangan terbaru Ilmu Anestesiologi
sehingga pelayanan yang kita berikan telah sesuai dengan standart yang telah ada baik di level
Nasional maupun Internasional.
Buku Anestesiologi edisi kedua ini diharapkan lebih lengkap dan lebih baik dari edisi sebelumnya
sehingga dapat memberikan sumbangsih yang lebih baik bagi pelayanan Bagian Anestesiologi pada
umumnya serta dapat membantu adik-adik mahasiswa, coas, residen dalam mendalami Ilmu Anestesi
pada khususnya.
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
(Kepala SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP Dr. Kariadi)
Kami bangga dengan kerja keras dari para staf Bagian Anestesiologi demi kemajuan pendidikan Ilmu
Anestesi di FK Undip dan demi perkembangan Ilmu Anestesiologi pada umumnya, oleh karena itu FK
Undip akan terus memberikan dukungan kepada Bagian Anestesiologi. Hasil yang positif ini juga
diharapkan
mampu mendorong bagian-bagian yang lain untuk menghasilkan karya yang serupa.
Semoga buku edisi kedua ini bisa bermanfaat bagi para mahasiswa, coas, residen, dan civitas
akademik yang terkait dalam mendalami Ilmu Anestesi.
dr. Hj. Endang Ambarwati, Sp.KFR (K)
(Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro)
Prof. dr. Soenarjo, SpAn, KIC, KAKV., lahir di Mojokerto - Jawa Timur pada 19 Maret
1939. Tinggal di Jl. Menteri Supeno No. 26 Semarang. Telp. 08122888005/024-
8311754/Fax. 024-8441378. Beliau adalah Guru Besar Anestesiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. Pendidikan Dokter Umum tahun 1969 dari
Fakultas Kedokteran UNAIR, Spesialis Anestesiologi tahun 1974 dari Institute voor
Anaesthesiologie Faculteit der Geneeskunde Katholieke Universiteit Nijmegen,
Nederland). Beliau aktif sebagai Konsultan Intensive Care tahun 1997 dari IDSAI
Pusat Jakarta dan Konsultan Anestesi Kardio Vascular 2009 dari Kolegium
Anestesiologi IDSAI. Alamat kantor beliau di RS. dr. Kariadi Jl. Dr. Soetomo 16
Diterbitkan oleh:
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS ANESTESI DAN TERAPI
INTENSIF (PERDATIN)
CABANG JAWA TENGAH
RS. dr. Kariadi Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang
2. Mulut dan rongga mulut Persarafan
rongga mulut:
a. Sensasi secara umum mendapat persarafan dari n. Maksilaris dan n. Mandibularis di mana
keduanya cabang dari n. Trigeminus.
b. Persarafan sekretomotor untuk kelenjar sublingualis dan subman- dibularis berasal dari n.
Glosofaring.
Suplai darah untuk daerah mulut merupakan cabang dari a. Karotis eksterna.
3. Faring
Dibagi menjadi: nasofaring, orofaring dan laringofaring.
PEMANTAUAN atau monitoring berasal dari kata kerja "to monitor" yang berarti to watch
(memperhatikan), to observe (mengawasi) atau to check (memeriksa) dengan suatu tujuan tertentu.1,2
Tindakan pemantauan akan melibatkan beberapa hal yang penting, yaitu:2
1. Tugas dan tanggung jawab yang terlibat dalam proses ini.
2. Pengumpulan data-data dan disertai data-data peringatan.
3. Mempunyai tujuan tertentu.
Dalam anestesiologi, tindakan pemantauan sangat vital dalam menjaga keselamatan pasien, dan
hal ini harus dilakukan secara terus-menerus. Pemantauan anestesi berarti memantau untuk
mendapatkan informasi supaya ahli anestesi dapat bekerja dengan aman dan jika ada penyimpangan
dapat segera dikembalikan ke keadaan sefisiologis mungkin * 1 2 3'2,3,4. Pemantauan ini ditekankan
khususnya terhadap fungsi pernafasan dan jantung. Dasar dari semua pemantauan ini adalah
pemantauan tanpa alat. Peralatan pemantauan hanyalah sarana bantuan, yang dapat saja terjadi
malfungsi, terputus hubungannya, berkurang dayanya, sehingga informasi yang kita dapatkan tidak
akurat.3
Walaupun alat monitor dilengkapi dengan segala macam alat yang canggih dan tanda bahaya,
tetapi ia tetap tidak dapat menggantikan fungsi atau kedudukan ahli anestesi.3,5 Pemantauan terutama
ditujukan terhadap fungsi organ vital dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pasien
4. Kapnografi
Kapnografi adalah alat non-invasif, yang berguna untuk mengukur karbondioksida (C02) pada satu
siklus respirasi di dalam sirkuit nafas. Alat ini menggambarkan pola kadar C02 (diukur dalam kilo Pascal
atau mmHg) pada fase inpirasi dan ekspirasi serta menunjukkan kadar C02 pada akhir ekshalasi [End
Tidal C02 atau ETC02).3'4'5'9,12 (Gambar 15)