Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3 , No. 1, 2018, hlm.

3-12

NASIONALISME, NEGARA-BANGSA, DAN


INTEGRASI NASIONAL INDONESIA: MASIH PERLUKAH?

Singgih Tri Sulistiyono

Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya


Universitas Diponegoro

Alamat korespondensi: singgihtrisulistiyono@undip.ac.id

Diterima/ Received: 8 Maret 2018; Disetujui/ Accepted: 30 Maret 2018

Abstract

This article based on small and trivial statements but actually has a very basic content that is often raised by some
of the younger generations about the lack of importance of nationalism, nation-state and national integration of
Indonesia. Perhaps such a statement is a reflection of the mood of thinking and taste of the young generation who
are the mile-generation immersed in the euphoria of globalization and the advances in technology and
communications and information that make the world like a village, often referred to as a 'global village'. Depart
from that reality, this article aims to reflect the understanding of nationalism, nation-state, and national integration,
utilizing previous studies conducted by the experts.

Keywords: Nationalism; Nation-state; National Integration.

Abstrak

Artikel ini berangkat dari pernyataan kecil dan remeh namun sesungguhnya memiliki muatan yang sangat mendasar
yang seringkali dilontarkan oleh sebagian kalangan generasi muda tentang tidak pentingnya lagi nasionalisme,
negara-bangsa (nation-state), dan integrasi nasional Indonesia. Barangkali pernyataan seperti itu merupakan
refleksi dari suasana berpikir dan berasa dari generasi muda yang merupakan generasi milea yang tenggelam dalam
euforia globalisasi dan berbagai kemajuan di bidang teknologi dan komunikasi dan infomasi yang membuat dunia
seperti sebuah desa, atau sering disebut sebagai ‘desa global’. Bertolak dari realitas itu, artikel ini bertujuan untuk
merefleksikan kembali nasionalisme, negara bangsa, dan integrasi nasional, dengan memanfaatkan kajian-kajian
yang dilakukan oleh para ahli.

Kata Kunci: Nasionalisme; Negara-bangsa; Integrasi Nasional.

PENDAHULUAN interaksi global telah membangkitkan kesan


bahwa keberadaan negara hanya dirasakan
Globalisasi dan perkembangan teknologi sebagai barier atau handycap dalam berbagai hal
informasi dan komunikasi telah mengaburkan baik dalam ekonomi, sosial-budaya, kebebasan,
batas-batas negara, politik, ekonomi, dan budaya. hubungan internasional, dan sebagainya. Mereka
Hubungan internasional bukan hanya terbatas membayangkan jika tidak ada negara maka akan
pada hubungan government to government (atau lebih leluasa untuk mengekspresikan dirinya.
antarbangsa) secara formal, namun juga sudah Dalam konteks inilah barangkali sebagian
mencakup antarkomunitas dan bahkan juga generasi muda berpendapat bahwa negara-
mencakup interelasi antarkomunitas atau pun bangsa dan integrasi nasional tidak diperlukan
antar individu secara face to face. Kemudahan lagi.
3
Singgih Tri Sulistiyono (Nasionalisme, Negara-Bangsa, dan Integrasi Nasional Indonesia)

Apa yang kemudian menjadi pertanyaan pemerintah Indonesia pascakemerdekaan


adalah apakah nasionalisme, negara-bangsa, dan berjuang untuk memasukkan berbagai suku
integrasi nasional Indonesia tidak diperlukan bangsa yang tinggal di Irian Barat sebagai bagian
lagi? Untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan dari bangsa Indonesia. Ternyata secara
kajian terhadap paling tidak dua aspek penting, antropologis mereka memiliki nenek moyang
yaitu aspek historis dan aspek strategis. Aspek yang berbeda yaitu rumpun bangsa Papua-
yang pertama mengacu kepada analisis diakronis Melanesia. Sekali lagi dalam hal ini definisi Renan
terhadap proses formasi negara-bangsa Indonesia tentang bangsa sangat cocok untuk menjadi dalih
dan intergrasi nasional Indonesia sebagai proses guna memasukkan suku-suku bangsa yang
historis yang evolusioner. Sementara itu, aspek ke mendiami pulau Papua Barat menjadi bagian dari
dua menyangkut kajian lingkungan strategis yang bangsa Indonesia sepanjang mereka memiliki
kontekstual terhadap situasi kontemporer dan keinginan atau merasa bahwa mereka merupakan
bahkan prediksi masa depan. bagian dari bangsa Indonesia.
Sebuah definisi bangsa yang lebih aktual
ARAS KONSEP dan kontekstual serta menghargai proses sejarah
telah dirumuskan oleh Anthony Birch. Ia
Bagian ini mengulas secara singkat kaitan antara mendefinikan bangsa sebagai a society which
paham nasionalisme, negara bangsa, dan integrasi either governs itself today, or has done so in the
nasional di Indonesia. Dalam hal ini, past, or has a credible claim to do so in the not-
nasionalisme sering disebut juga paham too-distant future (sebuah masyarakat yang pada
kebangsaan yang secara sederhana dapat saat ini mengatur dirinya (atau dalam konteks
diartikan sebagai suatu atau ideologi yang zaman modern ‘berpemerintahan sendiri’), atau
menekankan kepada para pengikutnya untuk telah melakukannya di masa lalu, atau memiliki
mencintai bangsanya. Lantas, apa definisi bangsa? klaim yang kredibel untuk melakukannya di masa
Seorang teoritikus dari Perancis yang bernama depan yang tidak terlalu lama (Birch, 1989).
Ernest Renan mendefinisikan bangsa sebagai Definisi ini memberikan kemungkinan kepada
sekelompok orang yang percaya bahwa mereka pemerintahan negara-bangsa untuk mem-
merupakan sebuah bangsa (a nation is a group of pertahankan keutuhan bangsa mereka. Apalagi
people who believe themselves to be a nation). Ini jika kinerja pemerintahan mereka mampu
merupakan definisi yang subjektif dan mempertahankan dan bahkan menumbuhkan
kontekstual serta lebih luwes. Oleh sebab itu, perasaan atau keinginan untuk mencintai dan
Bung karno sering mensitir pendapat ini untuk tetap menjadi bagian yang inheren dari bangsa
menjelaskan dan membangkitkan semangat itu, misalnya dengan telah terciptanya
kebangsaan Indonesia pada masa pergerakan kemakmuran dan kesejahteraan, keadilan,
nasional. kemajuan, dan sebagainya.
Memang harus diakui bahwa pengelom- Di samping itu, nasionalisme juga
pokan manusia ke dalam sistem pengelompokan dipahami sebagai identitas bangsa yang salah
yang disebut sebagai ‘bangsa’ bukan merupakan satunya harus berdasar pada kesamaan wilayah
sesuatu yang alamiah. Pada masa awal teritorial. Sejak gelombang anti-kolonial
keberadaan manusia yang merupakan keturunan melanda, turut mendukung adanya penguatan
homo sapien, keberadaan manusia terbagi-bagi definisi teritorial kebangsaan. Dalam setiap kasus
ke dalam kelompok-kelompok suku bangsa klaim atas batas-batas kolonial secara sewenang-
dengan skala kecil. Pengelompokan mereka wenang ditetapkan secara sepihak dan bukan
didasari atas kepercayaan bahwa mereka berasal berdasar pada etnokultural. Mereka harus
dari keturunan yang sama (faktor genealogi). bersandar pada gagasan sipil bahwa semua orang
Pada masa pergerakan nasional, kampanye bahwa yang tinggal pada wilayah perbatasan adalah
apa yang disebut sebagai ‘bangsa Indonesia’ anggota bangsa yang setara. Negara-negara
memiliki keturunan yang sama yaitu rumpun kepulauan seperti Indonesia tampaknya lebih
bangsa Austronesia menghadapi problema ketika cocok menganut paham nasionalisme teritorial
4
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3 , No. 1, 2018, hlm. 3-12

dengan alasan batas-batas yang tampaknya dan Pribumi di pihak lain. Pada awalnya kategori
dibatasi oleh alam, bukan oleh takdir yang Pribumi juga mencakup orang-orang pendatang
ambivalen (Reid, 2001: 296). Namun demikian, dari Asia seperti orang Cina, India, Arab, dan
yang dimaksud sebagai identitas bersama itu sebagainya. Namun, kemudian mereka
selalu berurusan dengan rangkaian simbol sentral dipisahkan menjadi kelompok sendiri dengan
(nama, bahasa, mitos-mitos sejarah, pakaian, dan sebutan golongan Timur Asing yang menduduki
gaya nasional). kelas ke dua setelah golongan Eropa. Jadi kriteria
Nasionalisme Indonesia menggambarkan etnik dan ras dijadikan dasar dari struktur hukum
ikatan budaya yang menyatukan dan mengikat masyarakat kolonial (Houben dalam Dick,
rakyat Indonesia yang majemuk menjadi satu 2002). Jadi pada waktu itu masyarakat Indonesia
bangsa dalam ikatan negara-bangsa (nation memang sedang menghadapi ketidakadilan
state). Dalam upaya menyatukan pada sebuah struktural yang sengaja diciptakan oleh penguasa
ikatan itu, maka diperlukan ikatan budaya sebagai kolonial yang menempatkan rakyat pribumi pada
pendorong hidup bangsa. Berkembangnya posisi yang paling hina dalam struktur masyarakat
nasionalisme Indonseia sangat bergantung pada kolonial. Secara kultural, kebijakan semacam ini
kohesivitas dalam bentuk ketahanan budaya yang telah menjadikan rakyat pribumi mengidap
bertumpu pada ikatan budaya tersebut. Ikatan ini minder-wardigheidscomplex, semacam sindrom
mampu menjadi daya tahan yang kuat dalam rendah diri yang kronis.
menghadapi arus globalisasi yang cenderung Dalam masyarakat kolonial tersebut, batas-
berdampak pada peniadaan batas-batas teritorial batas sosial ditetapkan dengan tegas antara
dan kedaulatan bangsa (Thung Ju Lan & Manan, golongan penjajah sebagai penguasa (ruller)
2011: 5-6). dengan golongan terjajah (rulled), atau antara
Dalam konteks keindonesiaan, perkem- golongan Eropa (Europeanen) dan golongan
bangan rasa kebangsaan lebih dulu berkembang Pribumi (Inlanders). Memang ada golongan
daripada rasa kenusaan. Rasa kebangsaan yang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) namun
muncul dalam masyarakat Indonesia dipicu oleh sebagian besar dari mereka lebih condong
formasi masyarakat kolonial yang bersifat rasial. berpihak kepada penjajah daripada kepada
Seperti diketahui bahwa periode munculnya inlanders sebab mereka merupakan kelas sosial
pergerakan nasional bersamaan dengan puncak yang diuntungkan dalam sistem seperti itu.
perkembangan masyarakat kolonial yang Dengan demikian, ingroup dan outgroup feeling
merupakan produk dari kolonialisme Belanda di yang membedakan atau bahkan mempertentang-
Indonesia. Dalam masyarakat kolonial itu posisi kan antara kaum terjajah dengan kaum penjajah
dan peranan masyarakat Indonesia dipinggirkan tumbuh dengan pesat. Hal ini menjadi dasar yang
oleh kaum kolonialis. Dengan berbagai cara, kuat rasa kebangsaan atau nasionalisme di
kaum kolonialis menguasai kehidupan masya- kalangan kaum pribumi. Namun demikian, ketika
rakat Indonesia: intimidasi, mengadu domba, komitmen untuk menjadi suatu bangsa, yaitu
hingga invasi dan aneksasi. Bahkan kekuatan bangsa Indonesia terbentuk, mereka belum
kolonial berusaha melanggengkan perampasan memiliki tanah air atau nusa sebab wilayah
itu dengan menciptakan tata hukum yang mereka Hindia Belanda waktu itu diklaim sebagai milik
buat, sehingga seolah-olah kehadiran mereka Belanda. Jadi pada waktu itu terbentuknya sebuah
memiliki dasar legalitas. Dengan cara begitu, bangsa baru yaitu bangsa Indonesia pada waktu
mereka mencoba untuk menciptakan masyarakat diikrarkan pada 28 Oktober 1928 belum memiliki
kolonial dengan semangat apartheid. Basis rasial wilayah negara. Mereka masih ndhompleng di
digunakan untuk menciptakan hukum-hukum wilayah yang dimiliki oleh Belanda. Mereka
kolonial. Dalam Pasal 109 Peraturan Pemerintah adalah sebuah bangsa tanpa negara (stateless
(Regeering Reglement) 1854 misalnya, nation). Barulah tahun 1945 ketika Soekarno-
ditetapkan adanya pembedaan golongan Hatta atas nama bangsa Indonesia mempro
masyarakat: golongan Eropa dan orang-orang klamasikan kemerdekaan maka bangsa Indonesia
yang dipersamakan dengan Eropa di satu pihak, sudah memiliki negara-bangsa (nation-state)
5
Singgih Tri Sulistiyono (Nasionalisme, Negara-Bangsa, dan Integrasi Nasional Indonesia)

yaitu Republik Indonesia. Untuk selanjutnya, have been brought together by various economic,
baru 12 tahun kemudian wilayah Negara social and political developments which takes
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru place at the national level” (Birch, 1989).
diumumkan secara pasti pada tahun 1957 dengan Sementara itu, Drake mendefinisikan
dikeluarkannya Deklarasi Djuanda. Dengan konsep integrasi nasional mengacu kepada: the
demikian sejak 1957 bangsa Indonesia (yang way people in different areas of a country and of
diformulasikan tahun 1928 oleh para pemuda different ethnic, socio-cultural and economic
dalam Sumpah Pemuda) sudah memiliki negara- backgrounds feel themselves to be united and
bangsa (sejak 1945) dan telah memiliki wilayah function as one nation and one identity (Drake,
negara yang definitif dengan dikeluarkannya 1989). Sementara itu, menurut Hardstone
Deklarasi Djuanda. Semangat nasionalisme (1976) bahwa integrasi nasional mengacu
Indonesia telah mendapatkan momentum untuk kepada: “the process of bringing together
memberikan kesetiaan kepada bangsa, negara dan culturally and socialy discrete groups into a single
wilayah tanah air (patriotisme). territorial unit and the establishment of a national
Bagaimana kaitan antara konsep nasional- identity”. Aspek historis dalam mendefinisikan
isme dan negara-bangsa dengan konsep integrasi konsep integrasi nasional disampaikan oleh
nasional? Sebagaimana yang dikemukakan oleh Birch. Ia menyatakan:
Birch pada awalnya pengelompokan manusia
lebih didasarkan oleh kesukuan yang biasanya “modern nations are an amalgam of historical
memiliki genealogi yang sama dan memiliki latar communities which possessed a fairly clear
belakang budaya yang sama sehingga bersifat sense of separate identity in the past but have
homogen. Dalam tahap perkembangan selanjut been brought together by various economic,
nya negara yang berbasis etnisitas (ethno-nation) social and political developments. The process
muncul dan berkembang. Dalam sejarah by which they are brought together is known
Indonesia kerajaan-kerajaan klasik yang muncul as political integration, and when it takes place
di Nusantara sebagian besar berbasis pada etnik, at the national level (as distinct from the
seperti kerajaan Mataram, Sunda, Bone, Gowa, regional or international levels) it is best
dan sebagainya. Oleh karena terjadi described as national integration”.
pertumbuhan penduduk dan peningkatan
jaringan komunikasi dengan dunia luar, maka Dari berbagai pengertian konsep integrasi
komunitas etnik ini kemudian berintegrasi nasional tersebut dapat ditarik beberapa poin
dengan penglompokan sosial yang lebih besar. penting. Pertama, ketika formasi sebuah bangsa
Semenjak abad ke-19 dan ke-20 mereka sudah terwujud sebagai hasil dari tumbuhnya
tergabung dalam pengelompokan yang secara semangat nasionalisme dan selanjutnya berhasil
populer disebut sebagai bangsa. Dalam hal ini membentuk sebuah negara-bangsa, maka negara-
hampir tidak ada sebuah bangsa di dunia yang bangsa ini akan meminta kepada segenap warga
betul-betul homogen dalam konteks sosio- negara-bangsa itu untuk memiliki kesetiaan.
kultural. Proses transformasi yang terjadi pada Tuntutan itu bukan saja ditujukan kepada
dekade pertama abad kedua puluh tentang sekelompok orang atau komunitas yang sejak
kemajuan dan moderenitas, memfasilitasi awal memperjuangkan terbentuknya bangsa
munculnya sebagai organisasi 'pribumi' moderen tersebut, tetapi juga orang-orang yang kemudian
pertama yaitu Budi Utomo (Aspinall & Berger, menjadi warga negara-bangsa itu. Mereka
2014: 1005). Dalam konteks ini, bangsa yang dituntut untuk memberikan kesetiaan kepada
telah terbangun dan negara yang telah didirikan bangsa dan negara baik dalam masa-masa sulit
memerlukan sebuah proses lanjutan yaitu maupun masa-masa kejayaan, diwajibkan untuk
integrasi nasional. Birch mendefinisikan integrasi membayar pajak, mengikuti wajib militer di saat
nasional sebagai “The process of combining perang, mengikuti pemilihan umum dan
historical communities which possessed a fairly sebagainya. Berbagai kebijakan itu merupakan
clear sense of separate identity in the past but bagian dari tanggung jawab negara-bangsa untuk
6
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3 , No. 1, 2018, hlm. 3-12

mewujudkan integrasi nasional di dalam negara- dipandang sebagai penghalang kebebasan dan
bangsa itu. Tanpa upaya untuk mewujudkan hanya menarik pajak yang peruntukannya sering
integrasi bangsa, maka tidak menutup kali dipandang tidak jelas. Dengan demikian,
kemungkinan bangsa yang semakin heterogen sering kali kelompok ‘pemuda moderen’
akan mengalami keterpecahan atau disintegrasi. semacam ini terhanyut dalam provokasi
Disintegrasi itu bisa bersumber baik dari ‘berakhirnya negara-bangsa’ yang menempatkan
dinamika internal maupun pengaruh eksternal. negara-bangsa dan nasionalisme tidak penting
Demikian juga bangsa dan negara-bangsa lagi di masa kini dan mendatang.
Indonesia yang menurut konsep Ben Anderson Dalam beberapa hal Fukuyama memang
bisa disebut sebagai imagine nation (bangsa yang benar. Namun demikian, perkembangan pasca-
dicita-citakan) bisa saja mengalami ‘gagal cita’ Perang Dingin justru menunjukkan gejala lain.
jika di dalam proses perjalanannya mengalami Memang komunisme sudah mati. Meskipun
proses pembusukan (Anderson, 1983). negara Republik Rakyat Cina (RRC) masih
dijalankan oleh Partai Komunis, namun ini
LINGKUNGAN STRATEGIS- hanyalah sebuah kulit yang aneh yang berbeda
KONTEKSTUAL dengan apa yang dikehendaki oleh Karl Marx. Di
Barat, ideologi pasar bebas mencapai
Untuk menjawab pertanyaan apakah kemenangan yang menyusul Perang Dingin telah
nasionalisme, negara-bangsa, dan integrasi terbukti menjadi sesuatu yang aneh juga, karena
nasional masih diperlukan atau tidak maka perlu bank-bank telah meminta campur tangan negara
untuk mengkaji lingkungan strategis kontekstual ketika menghadapi masalah. Hal semacam itu
yang bersifat kontemporer dan mungkin juga juga pernah menjadi kasus di Indonesia, seperti
masih berlangsung di masa yang akan datang. kasus Bank Century. Pasar bebas sering kali
Dalam konteks inilah akan terlihat dengan jelas memiliki dampak destruktif yang pada akhirnya
apakah semangat nasionalisme, negara-bangsa, negara yang turun tangan untuk memperbaiki.
dan integrasi nasional masih penting untuk Negara Inggris yang merupakan salah satu
kehidupan sekarang atau tidak. dedengkot globalisasi, pasar bebas, dan
demokrasi masih saja tetap memerangi Gerakan
Lingkungan Eksternal Irlandia Utara dan mempertahankan integrasi
nasional mereka. Dengan demikian dunia yang
Pada 2009 Francis Fukuyama seorang ahli politik bebas ideologi yang diprediksikan oleh
ekonomi Amerika Serikat (AS) menyatakan Fukuyama tidak jadi berlangsung. Semangat
bahwa berakhirnya Perang Dingin menandai nasionalisme dan berbagai bentuk fanatisme
“akhir sejarah”, dan “akhir dari negara-bangsa”. masih terus berkembang menyusul berakhirnya
Hal itu terkait dengan kecenderungan perjuangan perang ideologi selama periode Perang Dingin.
ideologis global antara Blok Kiri dan Blok Kanan Bisa dilihat chauvinisme Cina makin tampak dan
telah selesai dan dimenangkan oleh Blok diaspora yang mereka lakukan semakin menjadi
Kanan/Barat yang merupakan kekuatan gerakan yang sistematis. Di berbagai nagara,
demokrasi liberal. Dalam hubungan itu, tugas bukan hanya negara-negara bekas jajahan,
politisi bukan lagi untuk memenangkan muncul juga gerakan separatis dan keinginan
pertarungan politik dan militer, namun untuk untuk menjadi negara merdeka yang lepas dari
mengelola ekonomi agar bisa memaksimalkan ikatan sebelumnya. Demikian juga gerakan-
kemanfaatannya bagi semua (Fukuyama, 1989). gerakan mini-nationalisms-ethnic, gerakan
Slogan “berakhirnya negara bangsa” keagamaan dan sebagainya telah muncul dan
sempat memengaruhi cara berpikir para pemuda berhadap-hadapan dengan kekuatan negara-
yang melihat globalisasi dengan segala macam bangsa yang represif (Henley, 1996).
kemudahan, kesenangan, dan kegemerlapannya Bahkan perkembangan mutakhir yang
sebagai sesuatu yang tampaknya sangat indah di menimbulkan sinisme muncul dari Amerika
mata pemuda, sedangkan negara sering kali hanya Serikat sendiri yang dipandang sebagai
7
Singgih Tri Sulistiyono (Nasionalisme, Negara-Bangsa, dan Integrasi Nasional Indonesia)

dedengkot globalisasi dan liberalisme. Presiden tingan nasional mereka bukan selalu disebabkan
ke-45 Donald John Trump dalam pidato politik oleh ulah negara lain namun bisa juga disebabkan
perdana sebagai kepala negara dan oleh kebijakan Amerika Serikat sendiri yang
pemerintahannya pada 20 Januari 2017 terlalu ekspansif dan mungkin kurang produktif.
menekankan kebijakan yang bersifat protektif Kebijakan protektif yang diterapkan Amerika
dan mendahulukan kepentingan nasional AS. Ia Serikat bukan saja menunjukkan sikap ‘anti-
mengatakan melalui CNN bahwa: globalisasi’, namun juga anti-imigrasi
“Kebijakan-kebijakan baru akan disampaikan sebagaimana Trump pernah melarang masuknya
di setiap kota dan negara bagian. Mulai hari ini orang-orang dari tujuh negara Islam, yaitu Iran,
dan seterusnya visi yang baru akan berlaku di Irak, Libia, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman
negara kita, yaitu menempatkan Amerika yang dipandang sebagai sarang teroris
sebagai yang pertama (America First). Kita (http://www.bbc.com/ indonesia/dunia-
akan tetap menjalin hubungan yang 38808189, diakses 6 November 2017).
bersahabat dan beritikad baik dengan berbagai Sementara itu, proteksionisme dalam ekonomi
negara dengan tetap mendahulukan mengacu pada kebijakan atau doktrin yang
kepentingan Amerika. Ini merupakan hak melindungi perusahaan dan pekerja di suatu
setiap bangsa untuk mendahulukan negara dengan membatasi atau mengatur
kepentingan nasionalnya. Kebijakan ekonomi perdagangan luar negeri (The Economist, 28
AS yang baru akan mengikuti dua aturan January 2017).
utama, yaitu membeli produk-produk dalam Uraian di atas memberikan gambaran yang
negeri AS (Buy American) dan jelas bagaimana negara-negara maju yang
mempekerjakan warga Amerika (Hire semenjak dominasi mereka melalui kolonialisme
American). Kita akan membuat warga langsung mengalami keruntuhnya menyusul
Amerika kembali bekerja dan membangun Perang Dunia II meneriakkan slogan globalisasi
negara ini dengan tangan warga Amerika. dan pasar bebas. Kini setelah eksperimen mereka
Perlindungan akan kembali di negara ini. mengalami tantangan yang berat mereka mulai
Amerika akan mulai berjaya lagi, berjaya lebih melakukan proteksi terhadap kepentingan
lagi dari sebelumnya. Kita akan membawa nasional mereka baik kepentingan kemakmuran
kembali lapangan kerja (ke dalam negeri) dan bangsa, negara, maupun kuutuhan entitas mereka
kita akan membawa kembali impian-impian (integrasi nasional). Dengan demikian, tampak
kita” (http://www.antaranews.com/berita/ jelas bahwa meskipun mereka meneriakkan
608029/trump-tekankan-kebijakan-protektif- globalisasi namun pada kenyataannya
as, diakses 7 November 2017). kepentingan nasional masih tetap mereka
dahulukan bahkan kelihatan dengan jelas bahwa
Apa yang disampaikan oleh Trump slogan globalisasi digunakan sebagai pintu masuk
tersebut merupakan kebijakan yang protektif untuk melakukan dominasi. Demikian juga
untuk melindungi kepentingan bangsa dan slogan pasar bebas sering kali digunakan untuk
negara mereka. Padahal kebijakan proteksi melakukan sanksi dan embargo kepada negara-
semacam itu jelas bertentangan dengan sistem negara yang mengambil sikap yang bertentangan
perdagangan bebas yang menyerahkan geliat dengan negara-negara kapitalis. Oleh sebab itu,
ekonomi pada mekanisme pasar yang pemikiran dan sikap untuk mengebiri dan
meminimalkan pembatasan perdagangan oleh mendistorsi eksistensi negara-bangsa Indonesia
negara. Seperti diketahui bahwa Amerika Serikat hanya karena latah globalisasi dan pasar bebas
merupakan salah satu negara utama yang sejak merupakan sesuatu yang menyesatkan.
awal mendorong penerapan sistem perdagangan
besar di dunia. Namun demikian kebijakan itu Lingkungan Internal
secara mengejutkan diubah ke arah yang lebih
protektif ketika kepentingan negara dan bangsa Pentingnya semangat nasionalisme, eksistensi
mereka terusik meskipun keterusikan kepen- negara-bangsa, dan integrasi nasional dapat juga
8
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3 , No. 1, 2018, hlm. 3-12

dilihat dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia antara lokal dan nasional. Seperti diketahui
dan beberapa negara dunia ketiga yang bahwa meskipun negara Indonesia telah berdiri
merupakan bekas negara-negara jajahan. Banyak lebih dari tujuh dekade sejak proklamasi
negara telah dilanda perang saudara yang kemerdekaan 17 Agustus 1945, namun
menyebabkan disintegrasi negara dan bangsa sebetulnya formasi dari apa yang disebut sebagai
karena mereka tidak mampu lagi memupuk dan bangsa dan komunitas Indonesia masih terus
mempertahankan integrasi nasional mereka, dalam proses. Artinya, ‘proses menjadi Indonesia’
seperti Yugoslavia, Pakistan, Libanon, bahkan dalam konteks sosio-kultural masih terus
negara perserikatan adidaya seperti Uni-Soviet berlangsung dan sulit diprediksikan kapan proses
juga mengalami kehancuran. Utamanya negara- itu berakhir. Ben Anderson memformulasikan
negara Dunia Ketiga seperti Indonesia yang proses formasi komunitas dan bangsa Indonesia
batas-batas wilayah negara disesuaikan dengan itu dengan konsep yang menarik, yaitu imagined
batas-batas wilayah yang dipaksakan begitu saja community dan bahkan imagined nation
oleh negara kolonial yang mewariskannya tanpa (Anderson, 1983). Dengan demikian, apa yang
kompromi terlebih dahulu dengan penduduk disebut sebagai komunitas dan bangsa Indonesia
setempat, maka pemupukan integrasi nasional merupakan sebuah masyarakat dan bangsa yang
menjadi amat penting. Selain itu, pemerintah dibayangkan atau mungkin dicita-citakan yang
nasional yang baru merdeka itu tidak memiliki berbeda dengan komunitas dan bangsa secara
kesempaan yang cukup untuk mengatur daerah- realitas.
daerah yang dikuasainya sesuai dengan kehendak Tentu sebuah cita-cita memerlukan proses
kelompok-kelompok etnik yang berbeda-beda. untuk mencapainya. Pencapaian sebuah cita-cita
Dalam konteks itulah maka integrasi nasional dan tujuan akan memberikan dua kemungkinan:
dirasakan menjadi sesuatu yang sangat urgen. berhasil atau gagal. Jika berhasil, hal itu berarti
Apalagi jika negara-bangsa yang baru merdeka itu ada sinkronisasi antara negara Republik
merupakan negara yang luas dan memiliki Indonesia (RI) sebagai wadah dan komunitas
keanekaragaman potensi wilayah, ras, etnik, dan atau pun bangsa sebagai isi. Sebaliknya, jika
latar belakang budaya, maka integrasi nasional proses itu mengalami kegagalan maka proses
merupakan sesuatu yang sangat urgen. Hal pembentukan komunitas dan bangsa Indonesia
seperti inilah yang dihadapi oleh Indonesia itu tidak seiring dengan proses pembentukan
(Harvey, 1990; Leirissa, 1991; Syamsudin, negara RI yang pada gilirannya akan
1985). menyebabkan runtuhnya negara RI atau setidak-
Ancaman disintegrasi nasional di tidaknya apa yang disebut sebagai negara RI tidak
Indonesia muncul selama Perang Kemerdekaan sama dengan seperti ketika pertama kali berdiri
(1945 -1949) dan bahkan semakin menggejala tahun 1945, misalnya jika Papua, Aceh,
pada periode segera sesudahnya. Berbagai Kalimantan memisahkan diri dari negara RI.
perlawanan terhadap pemerintah pusat muncul Proses menjadi komunitas dan bangsa
seperti DI/TII/ PRRI/PERMESTA, RMS, Indonesia (process to become Indonesian
Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan Papua community and nation) terkait erat dengan
Merdeka, dan sebagainya. Bahkan gerakan tumbuhnya rasa keindonesiaan atau rasa menjadi
seperatis yang disebut terakhir ini masih belum bagian yang inheren dari bangsa Indonesia dan
bisa diselesaikan dengan baik. Gerakan-gerakan bahkan ini juga terkait erat dengan rasa memiliki
itu merupakan gerakan yang sangat kompleks (sense of belonging) di setiap anggota komunitas
meskipun sering kali mereka menuduh bangsa Indonesia. Rasa memiliki (Jawa:
pemerintah pusat terlalu mementingkan Jawa handarbeni) terkait dengan perasaan mencintai
dan mengabaikan daerah-daerah luar Jawa (Jawa: hanresnani) dan kerelaan untuk
(Ricklefs, 1981). memepertahankannya (Jawa: hangrungkebi) dari
Dalam konteks tertentu, keutuhan bangsa segala macam tantangan yang dipandang
Indonesia dan NKRI banyak bergantung kepada destruktif yang akan menghancurkannya.
hubungan antara pusat dan daerah atau pun Munculnya gerakan untuk memisahkan diri dari
9
Singgih Tri Sulistiyono (Nasionalisme, Negara-Bangsa, dan Integrasi Nasional Indonesia)

negara RI, apa pun alasannya, barangkali Indonesia. Namun demikian, yang menjadi
merupakan sebuah refleksi bagaimana ‘sense of persoalan adalah adanya upaya untuk
Indonesianess’ masih di dalam persoalan yang mengembangkan budaya lokal sebagai bagian
serius. dari upaya politis untuk melepaskan diri dari
Apa yang selama ini menjadi persoalan bingkai NKRI.
adalah bahwa fenomena resistensi daerah dan Proses tersebut di atas dengan cepat
gerakan separatisme di berbagai daerah seringkali ditunjukkan oleh berbagai kejadian yang dengan
hanya dilihat dari perspektif ‘pusat’ yang dalam jelas mencerminkan adanya peningkatan eskalasi
hal ini adalah pemerintah RI di Jakarta. Setiap fanatisme etnisitas dan kelompok yang
bentuk resistensi dan separatisme dipandang ditunjukkan dengan terjadinya konflik-konflik
sebagai manifestasi sikap tidak loyal dan yang bernuansa suku bangsa, agama, ras, dan
pengingkaran terhadap ‘konsensus luhur’ dari antarkelompok. Persoalan itu semakin
para founding fathers yang telah merintis bertambah rumit sejalan dengan berkembangnya
berdirinya negara RI. Logika kekuasaan semangat ‘putra daerah’ yang sering kali dijadikan
pemerintah pusat sering kali didasari atas premis kedok sebagai media untuk mengakses kekuasaan
bahwa pemadaman terhadap setiap resistensi dan politik dan keuntungan ekonomi tanpa banyak
separatisme daerah merupakan sebuah misi mempertimbangkan ekses-ekses berkembangnya
untuk menegakkan ‘konsensus luhur’ menegak- semangat kedaerahan dan primordialisme yang
kan negara RI. Jadi setiap tindakan represif mengancam proses integrasi nasional.
pemerintah pusat mendapatkan justifikasi dari Paling tidak ada dua kemungkinan untuk
premis berpikir seperti itu. Dalam melakukan menangani kondisi tersebut di atas: pertama,
represi, hampir tidak pernah terdengar bahwa dibiarkan secara alamiah yang memungkinkan
pemerintah pusat melakukan mawas diri untuk tumbuh kembangnya kesetiaan primordial
menjawab pertanyaan mengapa resistensi dan kesukuan di atas rasa kebangsaan karena
gerakan separatisme itu terjadi. Jadi memang kesetiaan terhadap suku bangsa merupakan
sudah waktunya pemerintah pusat harus konsen sesuatu yang lebih alamiah jika dibandingkan
terhadap kemajuan daerah-daerah secara dengan kesetiaan terhadap bangsa mengingat
berimbang. bahwa entintas negara-bangsa yang plural
Disintegrasi nasional tentu saja bukan merupakan hasil sebuah rekayasa (Birch, 2009).
hanya selalu terkait dengan gerakan politik yang Kedua, perlu adanya policy yang memungkinkan
berupa separatisme. Pada awal reformasi, campur tangan negara yang bisa juga melibatkan
berbagai persoalan juga muncul terkait dengan pejabat-pejabat negara dan tokoh-tokoh
gejala-gejala keretakan rasa keindonesiaan masyarakat untuk ikut menentukan arah
sebagai hasil dari konsensus kebangsaan yang perjalanan kebudayaan bangsa di masa yang akan
telah dilakukan oleh para founding fathers. Hal datang. Policy ini sering kali disamakan dengan
itu bisa dilihat dari wacana kebudayaan nasional startegi kebudayaan atau mungkin bisa disebut
Indonesia yang hampir tidak pernah disinggung, sebagai rekayasa kebudayaan atau cultural
sebaliknya wacana kebudayaan lokal dan etnis engineering. Hal ini terkait erat dengan kenyataan
terus berkembang (Sulistiyono, 2009). Di bahwa apa yang disebut sebagai kebudayaan
beberapa daerah, revitalisasi budaya lokal dan nasional bagi Indonesia sesungguhnya masih
etnik tampak sebagai upaya antitesis terhadap merupakan ‘imagined culture’ atau sebuah
proses dominasi kebudayaan nasional yang bentuk kebudayaan yang dicita-citakan. Hal ini
didorong oleh pemerintah pusat. Mereka mulai akan memperkuat integrasi negara-bangsa.
khawatir akan kehilangan identitas lokal dan/ Dalam konteks itulah maka sesungguhnya
atau etnik, sehingga reformasi dan otonomi semangat nasionalisme, eksistensi negara-bangsa,
daerah dimanfaatkan sebagai momentum untuk dan proses integrasi nasional masih sangat
merevivalisasi budaya lokal dan/etnik. Memang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini dan
hal itu tidak menjadi masalah dan bahkan mungkin juga di masa mendatang.
sebaliknya akan memperkaya kebudayaan
10
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3 , No. 1, 2018, hlm. 3-12

SIMPULAN /files/2012/10/Fukuyama-End-of-
history-article.pdf , diakses 9 November
Dengan melihat kompleksitas persoalan yang 2017.
dihadapi oleh bangsa Indonesia, baik yang Hardstone, P. C. N. (1976). ‘Nationalism and the
bersumber dari ekspansi kekuatan eksernal Plural Society: Some Problems in
maupun dinamika internal masyarakat Indonesia, Integration’. Singapore: Occasional paper
maka sesungguhnya semangat nasionalisme, No. 28, Institute of Humanities and Social
keberadaan negara-bangsa Indonesia, dan Sciences, Nanyang University.
pemupukan integrasi nasional masih sangat Harvey, D. (1990). The Condition of
dibutuhkan oleh segenap rakyat Indonesia. Postmodernity: An Enquiry into the
Negara-negara bekas kolonialis yang setelah Origins of Cultural Change. Cambridge:
Perang Dunia II yang meneriakkan dengan Blackwell.
nyaring globalisasi melakukan eksperimen untuk Henley, D. (1996). Nationalism and Regionalism
pasar bebas jika menghadapi persoalan tetap in a Colonial Context: Minahasa in the
kembali kepada otoritas negara. Negara akhirnya Dutch East Indies. Leiden: KITLV Press.
menjadi semacam tumbal yang digunakan untuk Houben, V. J. H. ‘Java in the 19th Century:
membayar kebobrokan yang diakibatkan oleh apa Consolidation of A Territorial State’,
yang diyakini sebagai pasar bebas. Mungkin pasar dalam H. Dick (2002). The Emergence of
tidak akan pernah bisa melindungi warga negara, A National Economy: An Economic
rakyat, yang kelaparan dan tidak beruntung. Di History of Indonesia, 1800-2000. Leiden:
sinilah negara yang semestinya harus KITLV Press.
diberdayakan untuk ‘melindungi segenap bangsa “In Retreat: Global Companies in the Era of
dan seluruh tumpah darah, memajukan Protectionism”, The Economist, 28
kesejahteraan umum dan mencerdaskan January 2017.
kehidupan bangsa’ sebagaimana cita-cita dan Lerissa, R. Z. (1991). PRRI, Permesta: Strategi
konsensus luhur para founding fathers. Kenapa Membangun Indonesia Tanpa Komunis.
kita sekarang lebih mendewakan pasar bebas Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
daripada membangun negara ini menjadi lebih “Mengapa Trump larang warga tujuh negara
baik? masuk ke Amerika Serikat?”, http://www.
bbc.com/indonesia/dunia-38808189,
REFERENSI diakses 6 November 2017.
Reid, A. (2001). “Understanding Malay as a
Anderson, B. (1983). Imagined Community: Source of Diverse Modern Identities.”
Reflections on the Origin and Spread of Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32
Nationalism. London: Verso. (3): 295-313.
Aspinall, E. & Mark T. Berger (2010). “The Ricklefs, M.C. (1981). A History of Modern
Break-up of Indonesia? Nationalisms after Indonesia Since ca. 1300. London:
Decolonisation and the Limits of the Macmillan.
Nation-state in Postcold War Southeast Sulistiyono, Singgih T. (2009). “Historiografi
Asia”. Third World Quarterly, Vol. 22 (6): Pembebasan: Suatu Alternatif”, makalah
1003-1024. disampaikan pada Seminar Akademik
Birch, A. H. (1989). Nationalism and National dengan Tema Historiografi Indonesia
Integration. London: Unwin Hyman. Modern yang diselenggarakan oleh
Drake, C. (1989). National Integration in Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Indonesia: Patterns and Policies. Universitas Gadjah Mada.
Honolulu: University of Hawaii Press. Syamsudin, N. (1985). Integrasi Nasional di
Fukuyama, F. (1989). “The End of History?”. Indonesia. Jakarta: Gramedia.
The National Interest, Summer 1989, Thung Ju Lan, M. A. Manan (2011).
dalam https://ps321.community.uaf.edu Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
11
Singgih Tri Sulistiyono (Nasionalisme, Negara-Bangsa, dan Integrasi Nasional Indonesia)

Indonesia: Sebuah Tantangan. Jakarta:


LIPI Press.
“Trump tekankan kebijakan protektif AS”,
http://www.antaranews.com/berita/608
029/trump-tekankan-kebijakan-protektif-
as, diakses 7 November 2017.

12

Anda mungkin juga menyukai