Anda di halaman 1dari 30

PERHITUNGAN, PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK

PENGHASILAN(PPH) PASAL 21 PEGAWAI TETAP PADA DINAS

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA PROVINSI SUMATERA BARAT

TUGAS TEKNIK PENULISAN TUGAS AKHIR

OLEH:

FAHREL ANDHIKA FEONDA

NIM. 18133026

PROGRAM STUDI AKUNTANSI DIPLOMA III

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai

pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan, sebagai sumber kekayaan Negara, pemerintah

berupaya memasukan uang sebanyak-banyaknya untuk kas Negara (Siti Resmi,

2017:2).Dengan adanya pajak maka pemerintah bisa menjadikan Negara ini menjadi Negara

maju, Negara yang bisa terbebas dari utang, dan Negara yang memiliki tingkat perekonomian

yang tinggi.Pajak juga memiliki peran dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBN/APBD).Berbagai kebijakan dalam bentuk

ekstensifikas(penambahan jumlah wajib pajak) dan intensfikasi (penggalian peningkatan

penerimaan wajib pajak) pajak telah di buat oleh pemerintah untuk mencapai penerimaan

pajak.Tentunya kebijakan ini membawa pengaruh terhadap masyarakat, dunia usaha dan

pihak-pihak terkait lainya dengan penerimaan pajak.

Di Indonesia, penerimaan pajak sangat besar perannya dalam mengamankan anggaran

Negara dalam APBN dan APBD setiap tahunnya. Pada tahun 2019 penerimaan pajak dalam

APBN mencapai 72,02% dari target Rp. 1.577,56 triliun (Kementrian Keuangan RI,

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/apbn-kita/). Penerimaan Negara dimungkinkan dan

layak di bangun adalah perolehan dari sector pajak sebagai pos penerimaan terbesar bagi

Negara.

Pajak selalu menjadi pemasukan yang signifikan bagi Negara yang perlu terus

ditingkatkan, sehingga pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan kemampuan


sendiri berdasarkan prinsip kemandirian. Kesadaran setiap Wajib Pajak (WP) dibidang

perpajakan juga harus ditingkatkan, karena pada kenyataannya masih banyak Wajib Pajak

(WP) yang belum mengetahui akan hak dan kewajibanya dalam membayar pajak, salah satu

cara untuk menyadarkan wajib pajak akan kewajiban membayar pajaknya dengan pertisipasi

seluruh masyarakat serta para penyelenggara pemerintah sebagai abdi bangsa sangat perlu

untuk melancarkan administrasi perpajakan dalam rangka meningkatkan pendapatan Negara.

Salah satu bentuk wujud pelaksanaan perpajakan di Indonesia berupa pemotongan atau

pemungutan pajak atas penghasilan. Pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan

terhadap subjek pajak penghasilan yang diterima dan diperoleh dalam satu tahun pajak.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia tertuang

dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang merupakan

perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983. Berdasarkan Undang-

Undanng ini dikatakan bahwasanya yang menjadi objek pajak penghasilan adalah setiap

tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak (WP), bagi

yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dikonsumsi atau untuk

menambah kekayaan Wajib Pajak (WP) yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk

apapun, dimana termasuk penggantian atau imbalan berkenaan dengan perkerjaan atau jasa

yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, honorium, tunjangan, komisi, bonus, uang

pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainya.

Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 selalu disesuaikan dengan tarif PTKP

yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP)NO.PER-16/PJ/2016.Perhitungan yang

sesuai dengan peraturan yang berlaku, dapat menjadi acuan yang benar bagi perusahaan

dalam menetukan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 terutang. Perusahaan bertanggung jawab

sebagai pemotong pajak yang baik dan benar bagi karyawannya karena pada umumnya Wajib

Pajak (WP) sering melakukan kesalahan dalam perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) yang
dapat menyebabkan terjadinya pajak yang disetor tidak sesuai dengan seharusnya. Sehingga

kantor pajak mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan

dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP)

orang pribadi dilakukan oleh pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, badan yang

membayar uang pensiun, honorium dan penyelenggara kegiatan, Subjek dari Pajak

Penghasilan ini telah diatur berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2008

diantaranya orang pribadi sebagai subjek pajak bertempat tinggal atau berada di Indonesia

ataupun diluar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan

subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.Badan atau badan

usaha yang merupakan sekumpulan orang dan modal yang merupakan kesatuan, baik yang

melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,

perseroan komanditer, perseroan lainya, BUMN dan BUMD.

Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dilakukan dalam tahun berjalan melalui

pemotongan oleh pihak-pihak tertentu. Pihak yang wajib melakukan pemotongan,

penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pihak pemberi kerja,

bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.

Pemerintah telah membuat sistem dan kebijakan untuk mencapai target penerimaan

pajak yang tercantum dalam Pasal 21 Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak

Penghasilan. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari kewajiban dan peran serta Wajib

Pajak (WP) untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan

yang diperlukan untuk membiayai pembangunan Negara dan pembangunan nasional. Sistem

yang telah dibuat oleh pemerintah untuk mencapai target penerimaan yaitu : Official

Assement System yang mana Wajib Pajak (WP) diberi kepercayaan untuk menghitung,
membayar serta melaporkan sendiri pajak terutangnya, Self Assement System yang mana

pemungutan pajak oleh aparatur perpajakan, dan With Holding TaxSystem yang mana

pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Sumatera Barat adalah Dinas yang

bergerak di bidang Masyarakat dan Desa yang berkerja berdasarkan Peraturan-Peraturan yang

berlaku dan berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur.Untuk turut

mendukung tercapainya tujuan pemerintah. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

Provinsi Sumatera Barat memiliki kewajiban dalam pemenuhan Pajak Penghasilan (PPh)

Pasal 21 dengan with holding tax system dan telah menetapkan semua karyawannya sebagai

wajib pajak dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh

masing-masing keryawan.

Berdasarkan uraian yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis mempunyai

ketertarikan untuk membahas masalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dalam tugas akhir

ini berjudul “PERHITUNGAN, PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK

PENGHASILAN (PPH) PASAL 21 PEGAWAI TETAP PADA DINAS

PEMBERDAYAAN MASYAKAT DAN DESA PROVINSI SUMATERA BARAT”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, rumusan masalah yang

timbul menyangkut PPh Pasal 21 yaitu :

1. Bagaimana Perhitungan, Pemotongan dan Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal

21 Pegawai Tetap pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi

Sumatera Barat ?
2. Apakah penerapan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Pegawai Tetap pada Dinas

Pemberdayaan Masyakat dan Desa Provinsi Sumatera Barat sudah sesuai dengan

UU Nomor 36 Tahun 2008 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan tugas ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menjelaskan bagaimana Pemotongan, Perhitungan dan Pelaporan Pajak

Penghasilan (PPh) pasal 21 Pegawai Tetap pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat

dan Desa Provinsi Sumatera Barat.

2. Untuk mengetahui apakah pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

Provinsi Sumatera Barat penerapan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 telah sesuai

dengan UU Nomor 36 Tahun 2008.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan adanya pembahasan ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang

Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Dinas Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa Provinsi Sumatera Barat.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis

Menambah pengetahuan penulis mengenai Perhitungan,Pemotongan dan

Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 pada Dinas Pemberdayaan


Masyarakat dan Desa Provinsi Sumatera Barat untuk menambah wawasan

tentang perpajakan di indonesia, khususnya mengenai Pajak Penghasilan

(PPh) Pasal 21 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

b. Bagi Universitas

Dapat menciptakan Sumber Daya Manusia yang professional yang dapat

bersaing dalam dunia kerja.

c. Bagi Perusahaan

Ikut berpartisipasi dengan dapat mematuhi peraturan-peraturan yang

dianjurkan oleh pemerintah, khususnya dalam pelaksanaan Pajak

Penghasilan (PPh) Pasal 21.


BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Pajak

2.1.1 Pajak

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 Ayat (1) : Pajak adalah kontribusi

wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara

langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2018:1) Pajak adalah iuran

raktyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan)

dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontrapretasi) yang lansung dapat ditunjuk

dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan tentang cirri-ciri

yang melekat pada pengertian pajak yaitu :

1. Pajak dipungut oleh Negara (pemerintahan pusat maupun daerah),

berdasarkan kekuatan undang-undang dan peraturan yang berlaku.

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya mendapat jasa

timbal balik (kontrapretasi) yang lansung kepada individu oleh pemerintah.

3. Penyelenggaraan pemerintah secara umum adalah kontrapretasi dari Negara.

4. Diperuntukan bagi pengeluaran rutin pemerintah dan apabila masih

surplusakan digunakan untuk public investment.


2.1.2 Fungsi Pajak

Menurut Siti Sri Rahayu dalam Perpajakan (2017:31), ada 4 fungsi pajak, yaitu :

1. Sebagai fungsi penerimaan (budgetair)

Pajak sebagai sumber dana yang digunakan pemerintah untuk membiayai

pengeluaran-pengeluarannya.

2. Sebagai fungsi mengatur (regulerend)

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah

dalam bidang social dan ekonomi.

3. Sebagai fungsi pemerataan (Pajak Distribusi)

Bisa digunakan untuk menyesuaikan dan menyeimbangkan antara pembagian

pendapatan dengan kesejahteraan masyarakat.

4. Sebagai fungsi stabilitas

Pajak sebagai penerimaan Negara dapat digunakan untuk menjalankan

kebijakan-kebijakan pemerintah. Contohnya dengan menetapkan pajak yang

cukup tinggi, pemerintah bisa mengatasi inflasi.Sebab jumlah uang yang

beredar bisa dikurangi.Serta untuk mengatasi deflasi, pemerintah bisa

menurunkan pajak. Selain itu, dengan menurunkan pajak, jumlah uang yang

beredar bisa ditambah sehingga deflasi bisa diatasi.


2.1.3 Pengelompokan Pajak

Menurut Mardiasmo (2018;7), Pajak dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu :

1. Menurut Golongan.

a. Pajak Lansung

Pajak yang harus dipikul oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan

atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)

b. Pajak Tidak Lansung

Pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada

orang lain.

Contoh : Pajak Pertambahan nilai (PPn)

2. Menurut Sifatnya.

a. Pajak Subjektif

Pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti

memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)

b. Pajak Objektif

Pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memeperhatikan keadaan diri

Wajib Pajak.

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah (PPnBM)

3. Menurut Lembaga Pemungutnya.

a. Pajak Pusat (Negara)


Pajak yang dipungut oleh pemerintahan pusat dan digunakan untuk

membiayai rumah tangga Negara.

Contoh : PPh, PPN, PPnBM.

b. Pajak Daerah

Pajak yang dipungut oleh pemerintahan daerah dan digunakan untuk

membiayai rumah tangga daerah.

Pajak daerah terdiri atas :

1. Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan

Bakar Kendaraan Bermotor.

2. Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak

Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan

perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

2.1.4 Asas Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak harus mengutamakan asas pemungutan yang berlaku dan

menjadikan asas pemungutan pajak menjadi landasan utama dalam pemungutan pajak

agar pemungutan pajak sesuai dengan tujuan dan perlakuan pajaknya.Menurut

Mardiasmo (2016:9), asas-asas pemungutan pajak didasarkan pada :

1. Asas Domisili

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang

bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam

maupun luar negeri.Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.

2. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di

wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.

3. Asas Kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.

2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2018;7), Sistem Pemungutan Pajak terdiri atas :

1. Official Assesment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada

pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh Wajib

Pajak (WP).

Ciri-ciri sistem ini adalah :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.

b. Wajib pajak bersifat pasif.

c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh

fiskus.

2. Self Assesment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada Wajib

Pajak (WP) untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

Ciri-ciri sistem ini adalah :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib

Pajak (WP) itu sendiri.

b. Wajib Pajak (WP) aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan

melaporkan sendiri pajak terutang.

c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi


3. With Holding Tax System

Suatu sistem pemungutan pajak yang mencari wewenang kepada pihak ke

tiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak) untuk menentukan besarnya pajak

yang terutang oleh Wajib Pajak (WP).

Ciri-ciri sistem ini adalah :

Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ke tiga,

yaitu selain fiskus dan wajib pajak.

2.1.6 Tarif Pajak

Ada 4 (empat) macam tarif pajak, yaitu :

1. Tarif Proposional

Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah pajak yang

dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proposional terhadap

nilai yang dikenakan pajak.

2. Tarif Tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai

pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.

3. Tarif Progresif

Presentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai

pajak semakin besar.

4. Tarif Degresif

Presentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak

semakin besar.
2.2 Pajak Penghasilan

2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan (PPh) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap setiap

tambahan kemampuan ekonomis yang diterimaatau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik

yang berasal dari dalam negri maupun luar negri yang dapat dipakai untuk konsumsi

atau menambah kekayaan Wajib Pajak (WP) yang bersangkutan.

2.2.2 Subjek Pajak Penghasilan

Subjek Pajak Penghasilan terbagi menjadi 2 bagian yaitu :

1. Yang Termasuk Subjek Pajak Penghasilan.

a. Orang Pribadi.

Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal di dalam

negeri maupun di luar negeri.

b. Warisan yang belum terbagi sebagi satu kesatuan.

Warisan yang belum terbagi dimaksud merupakan subjek pajak pengganti

yang menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.

c. Badan.

Suatu sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang

melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan

terbatas, perseroan komenditer, perseroan lainya, badan usaha milik

Negara atau Daerah dengan naman dan bentuk apapun, firma, kongsi,

koperasi, dana pensiun, persektuan, perkumpulan, yayasan, organisasi

masa, organisasi sosial politik, lembaga, bentuk usaha tetap, reksadana,


BUMN dan BUMD sebagai subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan

bentuknya.

d. Bentuk Usaha Tetap.

Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat

tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari

dalam jangka waktu 12 bulan, badan yang tidak didirikan dan tidak

bertempat kedudukan di Indonesia namun menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan di Indonesia. Perlakuan pajaknya dipersamakan

dengan subjek pajak badan.Pengenaan pajak penghasilan bentuk usaha

tetap ini mempunyai eksitensi sendiri dan tidak termasuk dalam pengetian

badan.

2. Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan.

Menurut undang-undang pajak penghasilan yang tidak termasuk Subjek

Pajak Penghasilan adalah :

a. Badan perwakilan Negara Asing.

b. Perjabat-pejabat perwakilan dari Negara Asinng, Diplomatik dan

Konsultan.

c. Organisasi-organisasi Internasional.

d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi Internasional.

2.2.3 Objek Pajak Penghasilan

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan (PPh) disebutkan bahwa yang

menjadi Objek Pajak antara lain :


1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan perkejaan atau jasa yang

diterima atau diperoleh, termasuk : gaji, upah, tunjangan, honorium, komisi,

bonus, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainya kecuali ditentukan

lain dalam UU PPh.

2. Hadiah dari undian, pekerjaan, kegiatan dan penghargaan.

3. Laba usaha.

4. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta.

5. Penerimaan kembali penerimaan pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

6. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan

pengembalian uang.

7. Deviden dengan nama dan bentuk apapun.

8. Royalti.

9. Sewa dan penghasilan lain-lain sehubungan dengan penggunaan harta.

10. Penerimaan atau pembayaran berkala.

11. Keuntungan karena pembebesan utang, kecuali sampai dengan jumlah

tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

14. Premi Asuransi.

15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggota yang terdiri

dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak.

17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.

18. Imbalan Bunga.


19. Surplus Bank Indonesia.

2.2.4 Surat Setoran Pajak

Bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak

(WP) dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas

Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Mentri Keuangan.

2.2.5 Surat Pemberitauan Terutang (SPT)

Laporan pajak yang dilaporkan kepada pemerintah Indonesia melalui Direktorak

Jendral Pajak (DJP).Semua pajak diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 36 tahun 2008.

Surat Pemberitahuan Terutang (SPT) dibagi menadi 2 bagian yaitu :

1. Surat Pemberitahuan Terutang (SPT) Tahunan.

Pelaporan pajak yang dilakukan dalam kurun waktu satu tahun sekali

(tahunan).

2. Surat Pemberitahuan Terutang (SPT) Masa.

Sarana yang digunakan oleh Wajib Pajak (WP) untuk melaporkan kegiatan

perpajakannya dalam satu masa pajak (bulan). Surat Pemberitahuan Terutang

(SPT) Masa memiliki 10 jenis yaitu :

a. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21/26.

b. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22.

c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23/26.

d. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25.

e. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2).

f. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15.


g. PPN (Pajak Pertumbuhan Nilai).

h. PPN bagi pemungut.

i. PPN bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Enceran yang menggunakan

nilai lain sebagai Dasar Penggenaan Pajak.

j. Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Dalam pelaporan SPT, terdapat sanksi apabila tidak atau terlambat melaporkan

SPT. Jika SPT tidak dilaporkan tepat pada waktunya, maka akan dikenakan sanksi

sebesar :

a. Rp 100.000,00 untuk SPT Tahunan bagi Wajib Pajak (WP) Pribadi.

b. Rp 1.000.000,00 untuk SPT Tahunan Bagi Pengusaha Kena Pajak.

c. Rp 500.000,00 untuk SPT Masa PPN.

d. Rp 100.000,00 untuk SPT Masa lainya.

2.3 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

2.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 manurut Peraturan Diruktur Jendral Pajak

Nomor PER-16/PJ/2016, merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,

honorium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun

sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh

Wajib Pajak (WP) orang pribadi dalam negeri. Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh)

Pasal 21 dilakukan dalam tahun berjalan melalui pemotongan oleh pihak tertentu.

Pihak yang berwajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak

Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, pensiun,

badan perusahaan, dan penyelenggaraan kegiatan. Jumlah pajak yang telah dipotong

dan disetorkan dengan benar oleh pemberi kerja dan pemotongan lainya dapat
digunakan oleh Wajib Pajak (WP) untuk dijadikan kredit pajak atas Pajak Penghasilan

(PPh) yang terutang pada akhir tahun.

2.3.2 Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 berdasarkan UU Nomor 36 Tahun

2008 untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 sehubungan dengan Wajib

Pajak (WP) orang pribadi dalam negri dilakukan oleh :

1. Pemberi kerja atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai dan bukan

pegawai.

2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah.

3. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan

pembayaran lain.

4. Badan yang membayar honorium atau pembayaran lain sebagai imbalan

sehubungan dengan jasa.

5. Penyelenggaraan kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan

pelaksanaan kegiatan.

6. Pemberi kerja yang melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

dikecualikan untuk Kantor Perwakilan Negara Asing dan Organisasi-

organisasi Internasional.

2.3.3 Wajib Pajak (WP) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Wajib Pajak (WP) yang dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah orang

pribadi yang merupakan :

1. Pegawai.

2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun.


3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan

dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :

a. Tenaga ahli, pengajar, pengarang, pemberi jasa, agen iklan.

b. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan

sehubungan dengan keikutsertaan dalam suatu kegiatan, seperti peserta

perlombaan segala bidang, peserta rapat, peserta pendidikan.

2.3.4 Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yaitu :

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh pegawai tetap.

2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penerima pensiun.

3. Penghasilan yang sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja.

4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas.

5. Imbalan kepada bukan pegawai.

6. Imbalan kepada peserta kegiatan.

7. Penerimaan dalam bentuk natural.

2.3.5 Tata Cara Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Dalam menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi penerima penghasilan

pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan Wajib Pajak (WP) orang pribadi yaitu

wajib pajak dalam negri selain pengangguran berupa PTKP, juga diberikan

pengurangan-pengurangan penghasilan berupa biaya jabatan, biaya pensiun, dan iuran

pensiun. Selain itu, tarif yang diterapkan dalam peraturan pemerintah atau aturan

pelaksanaan lainya.
Aturan dan cara perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dapat diuraikan

sebagai berikut :

1. Pegawai Tetap

Cara menentukan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap :

a. Untuk menentukan besarnya penghasilan neto pegawai tetap, penghasilan

bruto dikurangi dengan :

 Biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-

tingginya Rp. 6.000.000,00 setahun atau Rp. 500.000.00 per bulan.

Biaya jabatan berlaku setiap orang yang berkerja sebagai pegawai

negri tetap tanpa memandang menpunyai jabatan atau tidak.

 Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada

dana pensiun yang pendirianya telah disahkan oleh mentri

keuangan.

b. Pengurangai biaya jabatan tersebut tidak berlaku bagi penghasilan yang

diterimanya berupa upah harian, uang tebusan pensiun, honorium.

c. Pengurangan biaya jabatan dan iuran diatas juga tidak berlaku terhadap

penghasilan Wajib Pajak (WP) luar negri yang terhutang PPh Pasal 26.

d. Untuk menentukan besarnya PKP, penghasilan neto dikurangi dengan

PTKP yang sebenarnya.

 Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah

hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal tidak kawin

pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri di tambah dengan

keluarga yang menjadi tangguhan sepenuhnya.

 Bagi karyawati yang menunjukan keterangan tertulis dari

pemerintah daerah setempat bahwa seuaminya tidak menerima


atau memperoleh penghasilan, diberikan tambahan PTKP sebesar

Rp. 4.500.000,00 setahun atau Rp. 375.000,00 per bulan dan

ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan

sepenuhnya paling banyak tiga orang, masing-masing sebesar Rp..

4.500.000,00 setahun atau Rp. 375.000.00 per bulan. Hal ini

menyesuaikan dengan PTKP yang berlaku 1 Januari 2016.

2. Pegawai tidak tetap atau pekerja lepas.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 102 PMK.010 Tahun

2016, yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan adalah :

a. Pegawai dengan penghasilan yang kurang daro Rp. 450.000,00 per hari

tidak dikenakan pajak.

b. Ketentuan penghasilan tidak kena pajak itu tidak berlaku dalam hal :

 Penghasilan bruto tersebut jumlahnya tidak melebihi Rp.

4.500.000,00 sebulan

 Penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan

3. Penerima pensiun

Untuk perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi penerima

pensiuanan berkala perlu diperhatikan rumus perhitungannya sebagai

berikut :

a. Terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan

cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian

dikalikan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima

pensiun sampai dengan bulan Desember.

b. Penghasilan neto pensiun sebagaimana yang disebut di huruf a ditambah

dengan penghasilan neto dalam tahun bersangkutan yang diterima atau


diperoleh dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan

pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh

Pasal 21 sebelum pensiun.

c. Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah penghasilan pada

yang disebut di huruf d dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung

PPh Pasal 21 atas penghasilan kena pajak tersebut.

d. PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung

dengan cara mengurangi PPh Pasal 21 adalah huruf c PPh Pasal 21 yang

terutang dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun

dengan yang tercantum pada bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum

pensiun.

e. PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21

seperti tersbut dalam huruf d dibagi dengan banyaknya bulan

sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

4. Pegawai yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah

borongan, dan uang saku harian.

Dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 pada pasal 12 ayat 3

bahwa karyawan tidak tetap yang memperoleh penghasilan kumulatif dalam

1 bulan kalender melebihi Rp. 4.500.000,00 (PTKP 2016), maka perhitungan

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang digunakan sama dengan perhitungan

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 karyawan tetap. Cara menghitung PPh

Pasal 21 untuk karyawan tidak tetap atau keryawan lepas harian/borongan :

a. Menentukan jumlah upah harian atau rata-rata upah yang diterima dalam

sehari.
 Untuk upah mingguan, dibagi dengan jumlah hari bekerja dalam

seminggu.

 Untuk upah satuan, dikalikan jumlah rata-rata satuan yang

dihasilkan dalam sehari.

 Untuk upah borongan, dibagi dengan jumlah hari dalam

menyelesaikan pekerjaan borongan.

b. Tidak ada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang dipotong, jika upah

harian atau rata-rata upah harian kurang dari Rp. 450.000,00 dan jumlah

kumulatif dalam satu bulan belum melebihi Rp. 4.500.000,00.

c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 harus dipotong sebesar upah harian

atau rata-rata upah harian dikurangi Rp. 450.000,00 lalu dikalikan 5%

jika upah harian rata-rata upah harian sudah lebih dari Rp. 450.000,00

tetapi jumlah kumulatif dalam satu bulan kalender belum melebihi Rp.

4.500.000,00.

d. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 harus dipotong sebesar upah harian

atau rata-rata upah dikurangi PTKP sehari lalu dikalikan 5%, jika jumlah

kumulatif dalam satu bulan kalender sudah lebih dari Rp. 4.500.000,00

tetapi kurang dari RP. 10.200.000,00.

e. Berlaku tarif pada UU Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (1) huruf (a), jika

jumlah kumulatif dalam satu bulan kalender sudah lebih dari Rp.

10.200.000,00.

5. Uang Lembur

Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas uang lembur dan

penghasilan lain sejenis yang diterima atau diperoleh pegawai bersamaan


dengan gaji bulanannya, yaitu dihitung dengan cara menggunakan

penghasilan lain tersebut dengan gaji bulananya.

6. Jasa Produksi, tentiem, gratifikasi, tunjangan hari raya atau tahun baru, bonus,

premi, dan penghasilan sejenis lainya yang sifatnya tidak tetap dan pada

umumnya diberikan sekali setahun.

Aturan yang berlaku di perundang-undangan perpajakan adalah :

a. Tarif yang diterapkan adalah tariff Pasal 17 UU PPh

b. Terlebih dahulu dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur yang

disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tentiem,

jasa produksi dan lainya.

c. Dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa

tentiiem, jasa produksi dan sebagainya.

d. Selisih antara PPh Pasal 21 menurut perhitungan butir 2 dan 3 adalah PPh

Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa tentiem, jasa produksi dan

sebagainya.

e. Dalam hal pegawai tetap yang berkewajiban pajak subjektif sudah ada

sejak awal tahun, namun baru mulai bekerja setelah bulan Januari, maka

PPh Pasal 21 atas penghasilan yang tidak teratur tersebut dihitunng

sebagaimana pada butir 2 dengan memperhatikan ketentuan mengenai

perhitungan Pasal 21 bulanan atas penghasilan teratur.

f. Dalam hal penerimaan penghasilan berupa jasa produksi, tentiem,

gratifikasi, tunjangan hari raya atau tahun baru, bonus dan premi tersebut

adalah mantan pegawai, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan

tarif Pasal 17 UU Pajak Penghasilan, atas jumlah penghasilan bruto.


7. Imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya tidak dihitung atas dasar

banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa/kegiatan yang

diberikan. Seperti pemain musik, pelawak, bintang iklan, sutradara film, agen

iklan, pengelola proyek, peserta pendidikan, dan kegiatan sejenis lainya.

Dilakukan dengan cara mengalikan tarif yang bersumber dari Pasal 17 dengan

penghasilan bruto.

8. Penghasilan Wajib Pajak (WP) yang diterima dari kegiatan multilevel

marketing dikenakan PPh berdasarkan tarif Pasal 17 UU Pajak Penghasilan

(PPh) yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak yaitu penghasilan bruto

dikurangi dengan PTKP.

9. Perhitungan PPh Pasal 21 atas honorium yang diterima atau diperoleh anggota

dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai

pegawai tetap pada perusahaan yang sama, dihitung dengan cara mengalikan

tarif Pasal 17 dengan kumulatif penghasilan bruto yang diterima selama satu

tahun kalender.

10. Atas jasa produksi, tantiem, gratifikasi, dan bonus yang diterima atau

diperoleh mantan pegawai, PPh Pasal 21 dihitung dengan cara mengalikan

Tarif Pasal 17 dengan kumulatif penghasilan bruto yang dibayarkan selama

satu tahun kalender.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi

Sumatera Barat yang bertempat di Jl. Pramuka Raya NO. 13, Lolong Belanti, Kec. Padang

utara, Sumatera Barat.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Pada tahap ini penulis mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dengan

observasi dan melakukan wawancara langsung dengan pegawai yang bersangkutan dengan

penelitan tugas akhir proposal ini di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi

Sumatera Barat.

3.3 Jenis dan Sumber Data

3.3.1 Jenis Data

a. Data Kuantitatif

Menurut Sugiyono (2016:23), data yang berbentuk angka, atau data

kuantitatif yang diangkakan (scoring). Data kuantitatif yang didapat pada

tugas akhir ini berupa bukti foto Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak

Penghasilan (PPh) Pasal 21.

b. Data Kualitatif

Menurut Sugiyono (2016:23), data yang berbentuk kalimat, kata atau

gambar. Data kualitatif yang diperoleh untuk tugas akhir ini berupa

informasi langsung yang di dapat melalui wawancara dengan pegawai Dinas


Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Sumatera Barat yang

berangkutan dengan penelitian ini.

3.3.2 Sumber data

a. Data Primer

Menurut Wardiyanta dalam Sugiarto (2017:87), data primer merupakan

informasi yang diperoleh dari sumber-sumber primer yaitu informasi dari

narasumber. Data primer yang didapat untuk tugas akhir ini berupa informasi

langsung yang di dapat melalui wawancara dengan pegawai Dinas

Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Sumatera Barat yang

berangkutan dengan penelitian ini.

b. Data Sekunder

Menurut Wardiyanta dalam Sugiarto (2017:87), data sekunder merupakan

informasi yang diperoleh tidak secara lansung dari narasumber malainkan

dari pihak ketiga. Data sekunder yang di dapat oleh penulis untuk membuat

tugas akhir ini berupa foto Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak

Penghasilan (PPh) Pasal 21, buku perpajakan dari perpustakaan, penelitian

terdahulu yang diperoleh dari perpustakaan.

3.4 Metode Analis

Metode analisis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode

analisis deskriptif. Menurut Sugiyono (2016:147), analisis deskiptif adalah menganalisis data

dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana

adanya tenpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau

generalisasi.Penulis menganalisis dan menggambarkan data yang didapat dari Dinas


Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Sumatera Barat sebagaimana adanya tanpa

mengurangi atau melebihkan informasi yang didapat.


DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo. 2018. “Perpajakan Edisi Terbaru 2018”Andi : Yogyakarta.

Siti Kurnia Rahayu. 2017. “Perpajakan : Konsep dan Aspek Formal” Rekayasa Sains :
Bandung.

Siti Resmi. 2017. “Perpajakan Teori dan Kasus” Salemba Empat : Jakarta Selatan.

Sugiarto. 2017. “Metode Penelitian Bisnis”Andi : Yogyakarta.

Sugiyono. 2016. “Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods)”Alfabeta : Bandung.

Anda mungkin juga menyukai