PENDAHULUAN
Bahasa semenjak lama telah berhasil menarik perhatian para pemikir, sebab
bahasa adalah salah satu roda utama yang menjalankan kehidupan manusia semenjak
diciptakannya, baik dalam berfikir terlebih lagi dalam hal berkomunikasi antar
sesama manusia. Peranan bahasa tak seorang pun akan memungkirinya. Dan dengan
bahasa pula sejarah pun tecatatkan dalam buku-buku. Bahkan kita-kitab suci yang
dianggap sakral bagi umat-umat terdahulu oleh manusia termaktubkan dengannya.
Namun, tidak ada yang luput dari berdebatan dan perselisihan terhadap
sesuatu yang belum jelas secara pasti keberadaannya atau kelahirannya. Demikian
halnya dengan bahasa, sejarah lahirnya pun menuai perdebatan. Banyak pendapat
yang dilontarkan oleh para saintis sejarah dan bahasa mengenai kapan dan dari awal
kemunculan bahasa di tengah manusia. Di antara sederetan pendapat itu, ada yang
mengatakan: “Keberadaan bahasa erat kaitannya dengan hubungan antara kata dan
makna, sama halnya hubungan erat antara api dan asap.”
Semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang baru, membahas tentang dalalah
bahasa dan tunduk apada aturan-aturan bahasa dan simbol-simbolnya tanpa selainnya.
Bahasannya ialah studi makna bahasa terhadap kosakata (mufradaat) dan kalimat-
kalimat (taraakiib). Adapun tujuan pokok makalah semantik adalah agar pembaca
memahami dengan baik makna yang dimaksud dari perkataan/pembicaraan lawan
bicara atau ungkapan-ungkapan yang dibacanya.
Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang bahasa
sejak zaman Yunani (abad 6 SM). Secara garis besar studi tentang bahasa dapat
dibedakan antara tata bahasa (gramatika) tradisional dan linguistik modern. Semantik
merupakan salah satu cabang dari linguistik yang menjadi perbincangan sejak zaman
klasik hingga abad modern.
1
BAB II
PEMBAHASAN
دراسة املعىن أو العلم الذي يدرس املعىن أو ذلك الفرع من علم اللغة الذي يتناول
نظرية املعىن أو ذلك الفرع الذي يدرس الشروط الواجب توافرها ىف الرمز حىت يكون
قادرا على محل املعىن.
“Kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas tentang makna, atau
cabang linguistik yang mengkaji teori makna, atau cabang linguistik yang
mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengungkap lambang-lambang
bunyi sehingga mempunyai makna.”
2
Ilmu ini tidak hanya menjadi fokus kajian para linguis, melainkan juga
menjadi objek penelitian para filsuf, sastrawan, psikolog, ahli fiqh dan ushul al-
fiqh, antropolog, dan lain sebagainya. Karena itu, penamaan terhadap ilmu ini
pun beragam. Selain disebut semantik, ilmu ini juga dinamai sematologi,
semologi, semasiologi, dirasat al-mana, dan ilm al-mana, dengan mufrad,
bukan dengan jamak maani, karena ilm al-maani merupakan bagian dari ilm al-
balagah. Namun demikian, ilmu ini diposisikan sebagai salah satu cabang
linguistik. Di kalangan sebagian ulama bahasa Arab, ilmu ini merupakan
cabang dari fiqh al-lugah. Ilmu ini merupakan puncak studi linguistik karena
melibatkan kajian fonologi, morfologi, gramatika, etimologi, dan leksikologi
(Matsna, 2018).
3
d. Polisemi (ta’addud al-makna) yaitu, satu lafadz yang mengandung lebih
dari satu makna; jika dua makna itu tidak saling berlawanan, maka disebut
al-musytarok al-lafdzi dan jika saling berlawanan, maka disebut al-
tadhadh (antonimi).
2. Perkembangan makna, sebab dan kaedahnya, dan hubungan kontekstual dan
situasional dalam kehidupan, ilmu dan seni.
Perubahan makna kata disebabkan oleh:
a. Faktor kebahasaan.
b. Faktor kesejarahan.
c. Sebab Sosial.
d. Faktor psikologis.
e. Pengaruh bahasa asing.
f. Karena kebutuhan akan kata-kata baru.
3. Majaz (kiasan) berikut aplikasi semantik dan hubungan stilisiknya.
Majaz dibedakan dari gaya. Arti majazi diperoleh jika denotasi kata
atau ungkapan dialihkan dan mencangkupi juga denotasi lain bersamaan
dengan tautan pikiran lain. Adapun tujuan pokok dalam penelitian semantik
adalah agar pendengar memahami dengan baik makna yang dimaksud dari
perkataan/pembicaraan lawan bicara atau ungkapan-ungkapan yang
dibacanya. Dan juga untuk menghindari pengguna bahasa arab dari kesalahan
semantik menyangkut pemilihan dan penggunaan kosa-kata yang tepat sesuai
dengan struktur dan konteks kalimat. Termasuk juga kesalahan penggunaan
istilah dan idiom dan ungkapan kinayah, isti’arah dan majaz (Abdul Wahab,
2008).
Dalam kajian makna semantik bahasa Arab, dikenal tiga metode kajian, yaitu:
1. Metode historik atau diachronic, yaitu suatu metode kajian yang meneliti arti
kata-kata bahasa Arab, bagaimana kedudukan bahasa Arab di wilayah lain
yang bahasanya terpengaruh oleh bahasa Arab.
4
2. Metode deskriptif atau synchronik, yaitu metode kajian yang meneliti makna
kata-kata bahas Arab pada kurun waktu dan tempo tertentu.
3. Metode komparatif, yaitu metode kajian yang megadakan penelitian kajian
makna kata-kata bahasa Arab dengan membandingkan dengan salah satu
bahasa yang serumpun, yaitu dengan bahasa Ibrani, bahasa Aramani, bahasa
Akadi, bahasa Habsy, dan sebagainya yang termasuk rumpun bahasa Semit.
Kajian semantik komparatif ini bias mengambil bentuk kajian mengenai
sejarah kata dan asal-usulnya(https://suaraedu.blogspot.com/2016/12/tinjauan-
sejarah-ilmu-dilalah.html).
5
d. Pemberian harokat pada mushaf Al-Qur’an
Perhatian terhadap ilmu dilalah ini telah mengantarkan kepada
perkembangan kamus dalam bahasa Arab, dan karena itu pembahasan
tentang perkamusan dalam bahasa Arab sangat erat dengan ilmu dilalah,
hal ini dapat dipahami karena salah satu fungsiperkamusan adalah
memberikan pemaknaan terhadap suatu kata atau kalimat, sedangkan
pemaknaan itu sendiri merupakan bagian dari ilmu dilalah, dengan
demikian kajian tentang ilmu dilalah dimulai sejak timbulnya kajian
perkamusan yaitu sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, yang
diprekarsai oleh Al-Kholil Ibnu Ahmad Al- Farohidi dengan kitabnya
Al-‘Ain.
2. Masa Modern
Kegiatan para ilmuan di masa klasik dalam mengkaji makna belum
bisa dikatakan sebagai kajian semantik, sebagi ilmu yang berdiri sendiri, akan
tetapi kajian mereka itu merupakan embrio dari semantik. Baru di akhir abad
ke-19, istilah “semantik” di Barat, sebagai ilmu yang berdiri sendiri ini
dikembangkan oleh ilmuan Prancis, Michael Breal. Kajian semantik menjadi
lebih terarah dan sistematis setelah tampilanya Ferdinand de Saussure dengan
karyanya Course de Linguistique Generale (1916), ia dijuluki sebagai bapak
linguistik moderen.
Setelah de Saussure ada juga ilmuan yang dianggap cukup
memberikan corak, warna dan arah baru dalam kajian bahasa yaitu Leonard
Bloomfield dalam bukunya Language. Tokoh lain yang berjasa dalam
perkembangan linguistik khususnya semantik adalah Noam Chomsky,
seorang tokoh aliran tata bahasa transformasi. Ia menyatakan bahwa makna
merupakan unsur pokok dalam analisis bahasa.
Kajian semantik bukan hanya menarik perhatian para ahli bahasa tapi
juga menarik perhatian para ahli di luar bahasa, salah satunya yaitu Odgen dan
Richard dengan karyanya yang berjudul The meaning of meaning yang
6
membahas kompleks sebuah makna. Dalam kalangan linguis Arab muncul
nama Ibrohim Anis, guru besar bidang linguistik Arab di universitas Cairo
dengan kitabnya yang berjudul Dilalah Al-alfadz, yang diantaranya membahas
tentang sejarah perkembangan bahasa manusia dan bagaimana hubungan
antara lafadz dan maknanya seerta jenis hubungan keduanya, selain itu
dibahas pula tentang macam-macam makna yaitu fonologi, morfologi,
sintaksis dan leksikologi.
Sebagai bentuk konkrit dari perhatian para ulama Arab terhadap
semantik adalah upaya penyusunan kamus yang berlangsung melalui beberapa
fase. Pertama, tahap penyusunan kata-kata dengan penjelasanya yang belum
disusun secara teratur. Kedua, tahap pembukuan lafadz-lafadz secara teratur,
akan tetapi berbentuk risalah-risalah yang terpisah-pisah denagn materi yang
terbatas, contohnya Kitab Al-Mathar karya Abu Zaid Al-Anshori. Ketiga,
tahap penyusunan kamus secara komprehensif dan sistematis yang dipelopori
oleh Al-Kholil Ibnu Ahmad Al-Farohidi, dialah yang memberikan inspirasi
bagi para ahli bahasa lainnya untuk menyuisun kamus. Walhasil, semantik
atau ilmu dilalah telah ada sejak zaman Yunani kuno meskipun belum disebut
secara jelas dan tegas sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Pada akhir abad ke-
19, semantik menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagai cabang
linguistik dan yang mempeloporinya adalah Michael Breal kemudian
disempurnakan oleh Ferdinand de Saussure (Resmini, 2006).
Dalam kajian linguistik, kita mengenal apa yang disebut dengan fonologi
(ilmu al-ashwat), morfologi (ash-sharf), dan sintaksis (an-nahwu). Fonologi
merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang bertugas mempelajari fungsi
bunyi untuk membedakan dan mengidentifikasi kata-kata tertentu (Al-
Wasilah, 1985). Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari
7
pembentukan kata (Yule, 1985). Sementara itu, sintaksis adalah cabang ilmu
bahasa yang mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda bahasa
(Levinson, 1992), yakni hubungan antara kata/frasa yang satu dengan lainnya
dalam suatu kalimat.
Contoh 1:
Apabila kalimat (1) dan (2) pada contoh 1 tersebut diungkapkan secara lisan
dengan nada yang sama (nada datar), maka keduanya memiliki makna yang
sama. Akan tetapi, apabila diungkapkan dengan nada yang berbeda, maka
kedua kalimat tersebut mempunyai makna yang berbeda. Kalimat (1) bernada
informatif (memberi informasi), sedangkan kalimat (2) bernada introgatif
(bertanya). Secara semantik, keduanya memiliki makna yang berbeda karena
perbedaan nada.
8
Dengan demikian, bunyi suatu ujaran (nada) mempengaruhi makna. Oleh
karena itu, cukup beralasan apabila Umar (1982) menyatakan bahwa
tanghim (nada suara) dan nabr (tekanan suara) termasuk kalimat (jumlah).
Contoh 2:
(2) اهلل:استغفرنا
Kata yang digaris bawahi pada kalimat (1) dan pada kalimat (2)
berasal dari akar kata yang sama, yaitu ر- ف- غ. Akan tetapi, setelah
mengalami proses morfologis, maka keduanya memiliki makna yang berbeda.
Kata pada kalimat (1) berarti mengampuni (Tuhan mengampuni dosa-dosa
kita), sementara itu kata pada kalimat (2) berarti ‘meminta ampun’ (lith-
thalab). Dengan demikian huruf tambahan (afiksasi) berupa ت- س-اpada awal
kata mempunyai arti, sehingga kalimat (2) di atas berarti Kami (telah)
meminta ampun kepada Allah. Hal yang sama juga terjadi pada kata yang
digaris bawahi dalam kalimat (3) dan (4). Keduanya berasal dari akar kata
yang sama (س-ل-)ج.
Akan tetapi, karena mengalami proses morfologis, maka kedua kata
tersebut memiliki makna yang berda. Kata yang digarisbawahi pada kalimat
(3) merupakan verba intransitif (fi’l lazim), sementara itu, pada kalimat (4)
disebut verba transitif (fi’l mutta’addi). Dengan demikian, kalimat (3) berarti
9
‘Ali duduk di atas kursi’, sedangkan kalimat (4) berarti ‘Ali mendudukkan
anak kecil di atas kursi. Dari contoh A2 (1), (2), (3) dan (4) di atas dapat
disimpulkan, bahwa makna dipengaruhi oleh hasil proses morfologis.
Contoh 3:
(2) ان:: : : :اد يقتنص األرنب ك:: : : :ذي ك:: : : :ين ال:: : : :الثعلب الب
سريعا.
Kalimat (1), (2), dan (3) pada contoh 3 di atas pada dasarnya memiliki pesan
yang sama. Substansi yang dibicarakan berkisar tentang serigala yang hampir
menangkap kelinci. Akan tetapi, karena kata-kata tertentu urutannya tidak sama,
maka pengutamaan pesan yang dikandung oleh ketiganya berbeda (Umar, 1982).
Pesan kalimat (1) pada contoh A3 lebih menekankan pada serigala yang cepat dan
berwarna coklat (kecepatan berlari dan warna serigala), pesan kalimat (2) pada
contoh A3 lebih menekankan identitas warna serigala (coklat), sedangkan pesan
kalimat (3) lebih menekankan pada kecepatan lari serigala.
Sebagai pembanding dari contoh A.3, perhatikan contoh A.4 berikut ini:
Contoh 4:
10
4. Pemuda itu berhasil karena bekerja keras.
Kalimat (1) (3) dan (2) (4) pada contoh 4 pada dasarnya mempunyai pesan
yang kurang lebih sama, yaitu hubungan sebab akibat (dua kluasa). Perbedaannya
pada pengutamaan pesan yang dikandung oleh setiap klausa. Pesan yang ditekankan
pada (1) adalah keputusasaan orang tua (klausa pertama sebagai klausa primer) yang
merupakan sebab, sementara itu klausa “bunuh diri” sebagai klausa kedua (skunder)
merupakan akibat. Dengan demikian, pesan yang ditekankan adalah sebab, bukan
akibat. Sebaliknya, pesan yang ditekankan pada kalimat (3) adalah akibat, yakni
bunuh diri, sedangkan klausa sebab merupakan klausa skunder. Hal yang sama juga
terjadi pada kalimat (2) dan (4). Dengan demikian, urutan kata dalam suatu struktur
kalimat mempengaruhi makna.
Semantik sebagai studi makna bukan saja berkaitan dengan cabang linguistik
lainnya (fonologi, morfologi, dan sintaksis), tetapi juga berhubungan dengan disiplin
ilmu lainnya. Disiplin ilmu yang dimaksud misalnya antropologi, sosiologi,
psikologi, dan filsafat. Antropologi berkepentingan di bidang semantik, antara lain
karena analisis makna di dalam bahasa dapat menyajikan klasifikasi budaya pemakai
bahasa secara praktis. Sosiologi memiliki kepentingan dengan semantik, karena
ungkapan atau ekspresi tertentu menandai kelompok sosial atau identitas sosial
tertentu. Psikologi berhubungan erat dengan semantik, karena psikologi
memanfaatkan gejala kejiwaan yang ditampilkan manusia secara verbal atau
nonverbal. Sementara itu, filsafat berhubungan erat dengan semantik karena
persoalan makna tertentu dapat dijelaskan secara filosofis, misalnya makna ungkapan
dan peribahasa (Djajasudarma, 1999).
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah semantik dalam kajian linguistik yaitu, sejarah semantik atau makna
telah digunakan oleh Aristoteles sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa
384-322 SM. Ia adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah ‘makna’ lewat
batasan pengertian kata yang menurut Aristoteles adalah satuan terkecil yang
mengandung makna. Bahkan Plato pada masa 429-347 SM dalam Cratylus
mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung
makna-makna tertentu.
Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran bahasa yang
meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi-sintaksis), dan semantik. Semantik
diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna. Jadi semantik adalah
makna, membicarakan makna, bagaimana mula adanya makna sesuatu,
bagaimana perkembangannya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam
bahasa. Semantik tidak bisa dipisahkan dari cabang-cabang ilmu bahasa lain.
Karena dalam menganalisis, ilmu-ilmu bahasa lain memerlukan bantuan
semantik.
B. Saran
Setelah penulis memaparkan panjang lebar hal-hal yang berklaitan dengan
sejarah ilmu ad-Dilalah (semantik) ini, penulis mengharapkan kritik dan masukan
dari segenap pembaca dan pemerhati makalah ini. Selain itu penulis juga
menyarankan agar pembaca mengkaji ulang hal yang berkaitan dengan tema ini
dalam berbagai sumber yang ilmiah.
12
13