Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PERJANJIAN BAKU DALAM HUKUM


PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dosen Pengampu :
Dr. Yuniar Rachmatiar, SH,.MH.

Disusun oleh :
Muhamad Safei
NIM : 20416274201149
Kelas : HK20A

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUANA PERJUANGAN KARAWANG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu dan juga
tanpa pertolongan-Nya tentu penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya
di akhirat nanti. Aamiin yaa robbalalamiin.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “Perjanjian Baku Dalam
Hukum Perlindungan Konsumen” sebagai Tugas dari mata kuliah Hukum
Perlindungan Konsumen, serta penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun dari pembaca agar makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Terima kasih.

Karawang, 16 Oktober 2021

Muhamad Safei

i
DAFTAR ISI

HAL
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
B. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
C. Manfaat Penulisan ................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
A. Pengertian Perjanjian Baku .................................................................. 3
B. Perlindungan Konsumen dalam Pemberlakuan Perjanjian Baku ........ 4
C. Bentuk Perjanjian Baku Dan Klausula Baku ....................................... 7
1. Bentuk tertulis pada Kertas (paper based) ..................................... 7
2. Bentuk tertulis secara Digital (digital based/paperless) ................ 8
D. Hakikat Perjanjian Baku dan Klausula Baku ....................................... 9
E. Contoh Kasus Perjanjian Baku............................................................. 10
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 12
A. Kesimpulan .......................................................................................... 12
B. Saran .................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semakin luas dan terbukanya pasar nasional merupakan akibat dari proses
perekonomian yang sebaiknya dapat menjamin kepastian hukum, baik dari segi
mutu, jumlah, dan keamanan barang atau jasa. Kemandirian konsumen diuji
untuk melindungi dirinya dari sikap perilaku pelaku usaha yang bertanggung
jawab. Dalam jual beli sangat erat hubungannya dengan perjanjian, baik itu
lisan atau pun tertulis, dalam hal ini perusahaan-perusahaan menciptakan
bentuk kontrak sebagai bagian untuk menstabilkan hubungan pasar, bentuk
kontrak yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak
yaitu perjanjian baku.
Menurut Prof. Johanes Gunawan, pakar perlindungan konsumen
perjanjian baku merupakan perjanjian yang didalamnya terdapat syarat-syarat
tertentu yang dibuat oleh pelaku usaha, tanpa mengikutsertakan konsumen
dalam menyusun kontrak, sehingga konsumen tidak memiliki pilihan lain, dan
dalam keadaan dibawah kekuasaannya. Sedangkan klausula baku adalah pasal-
pasal yang terdapat dalam perjanjian baku baik berbentuk elektronik/digital atau
non-digital, keberadaan perjanjian baku seringkali ditemui pada beberapa
kasus, yaitu pada lembaga pembiayaan mengenai perjanjian kredit, seluruh
syarat-syarat yang terdapat pada perjanjian sepenuhnya atas kehendak pihak
pelaku usaha barang dan/atau jasa. bagi konsumen hanya ada pilihan mau atau
tidak mau sama sekali. dalam konteks perlindungan konsumen, pihak yang
posisi tawarnya lemah adalah konsumen. Pihak konsumen dinilai sangat rentan
terhadap penyalahgunaan yang bersifat kontraktual dalam hubungannya dengan
produsen. Senada dengan Yohanes Gunawan, Menurut akademisi, Soemali
“Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi
yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele, tetapi bagi konsumen, justru
merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada
suatu pilihan, yaitu, menerima walaupun dengan berat hati.”

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan Perjanjian Baku dalam Hukum Perlindungan
Konsumen ?
2. Bagaimana Bentuk-Bentuk Perjanjian Baku pada saat ini ?
3. Bagimana Hakikat Perjanjian Baku Dalam Implementasinya di
Masyarakat ?
4. Menganalisa Contoh Kasus Perjanjian Baku !

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mempelajari tentang Perjanjian Baku dalam Hukum Perlindungan
Konsumen.
2. Meningkatkan wawasan serta kemampuan menganalisa contoh kasus
Perjanjian Baku.
3. Sebagai salah satu tugas yang diberikan kepada penulis dalam menempuh
jenjang pendidikan S1 Program Studi Ilmu Hukum.

D. Manfaat Penulisan
Dapat bermanfaat dengan mengimplemetasikannya dalam kehidupan
sehari-hari sebagai salah satu Konsumen yang menggunakan Barang dan/atau
Jasa.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian Baku


Perjanjian baku/perjanjian standar (standard form contracts/standardized
contracts/adhesion contracts) adalah perjanjian tertulis berupa dokumen yang
isi, bentuk, serta cara penutupannya telah dibakukan secara sepihak oleh salah
satu pihak, kemudian digandakan, dan digunakan secara massal tanpa
mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki para pihak (take-it or
leave-it contracts). Di dalam perjanjian baku terdapat satu atau lebih ketentuan,
dapat berupa pasal yang disebut sebagai klausula baku/klausula standar
(standardized clauses/standardized terms).
Ada sejumlah rumusan mengenai apa itu perjanjian baku (dalam bahasa
Inggris diindikasikan sebagai contract of adhesion, leonine contract, take-it-or-
leave-it contract, atau boilerplate1 contract). Namun saya memahami perjanjian
baku (standard agreement) sebagai suatu perjanjian yang berbagai ketentuannya
dibuat secara sepihak oleh suatu pihak tertentu, yang akan dia gunakan untuk
bertransaksi dengan banyak pihak lain yang berkepentingan dengan pokok yang
sama dari perjanjian yang pihak tertentu itu menawarkannya, selagi “the other
party has little or no ability to negotiate more favorable terms and is thus placed
in a “take it or leave it” position.” Sulit disangkal, bahwa pembuat perjanjian
baku adalah pihak yang daya-tawarnya lebih kuat atau jauh lebih kuat daripada
pihak (atau para pihak) yang dia tawari perjanjian baku itu. Para pihak yang
potensial ditawari perjanjian baku itu umumnya disebut “konsumen”, yang
biasanya memang merupakan anggota masyarakat biasa yang berurusan
misalnya dengan bank atau asuransi, tetapi bisa juga merupakan para pemasok
di kalangan industri atau para petani dan peternak yang memasok produknya
kepada pabrik pengolahan.
Perjanjian baku pada umumnya memuat klausula baku, untuk mana Pasal
1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

1
Supra note 32, hlm.185.

3
Konsumen (UUPK) menetapkan rumusannya sebagai berikut: “Klausula Baku
adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen.” Artinya, UUPK mengisyaratkan bahwa perjanjian
baku memang merupakan tawaran yang bersifat “take it or leave it” dari pelaku
usaha kepada para calon konsumen. Pelaku usaha sebagai pembuat perjanjian
baku sudah tahu betul apa yang hendak dia tawarkan, maupun apa yang hendak
dia dapatkan sebagai kontra-prestasi dari konsumen. Dan biasanya tidak
demikianlah halnya dengan konsumen. Konsumen akan memerlukan usaha
ganda untuk memahami rumusan dari ketentuan mengenai hak dan kewajiban
timbal- balik dalam perjanjian baku.

B. Perlindungan Konsumen dalam Pemberlakuan Perjanjian Baku.


Perkataan konsumen bukanlah hal yang baru dikalangan masyarakat.
Dalam pengertian yang sederhana, konsumen berarti adalah pemakai yang
berasal dari kata consumer. Secara harfiah arti kata consumer itu adalah (lawan
dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang2. Dalam kamus Inggris-
Indonesia, consumer adalah pemakai atau konsumen3, Selanjutnya menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kosumen adalah pemakai barang hasil
produksi atau pemakai jasa (pelanggan)4. UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen memberikan rumusan konsumen yaitu setiap orang
pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahkluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap konsumen, menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, “perlindungan” sebagai kata benda diartikan
sebagai tempat berlindung, hal (perbuatan) atay melindungi. Kata “melindungi”

2
AS. Hornby, Oxford Advance Learners Dictionary of Current English, Oxford University Press,
Oxford 1987, hal. 183.
3
John. M. Echols & Hasan Sadely, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1986, hal. 124.
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2005,
hal. 590.

4
(kata kerja) mempunyai arti menjadikan atau menyebabkan berlindung5.
Sudikno Mertokusu- mo mengemukakan, “perlindungan hukum adalah adanya
jaminan hak dan kewajiban untuk manusia dalam rangka memenuhi
kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia lainnya.
Kepentingan manusia yang dilindungi oleh hukum biasa disebut hak dan
memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan perbuatan dapat
dipersamakan kepada siapun dan sebaliknya setiap orang harus menghormati
hak itu”.
Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur dalam undang-undang
untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Untuk itu, agar tidak terjadi
pelanggaran hukum yang dapat merugikan kepentingan umum dapat dilakukan
dengan menegakkan aturan-aturan hukum guna menjamin perlindungan hukum
tetap berlangsung selama jangka waktu tertentu. Oleh sebab itu, dalam
perlindungan hukum terkait juga masalah penegakan hukum artinya,
keberhasilan penegakan hukum akan memberikan perlindungan hukum bagi
masyarakat secara optimal. Saat ini, perlindungan terhadap konsumen telah
diatur secara khusus dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Lembaran Negara tahun 1999 No. 3821. Undang-undang ini
merupakan salah satu piranti hukum yang berfungsi sebagai pedoman dan
landasan bagi perekonomian Indonesia dalam menghadapi era globalisasi,
khususnya dalam kaitannya dengan kepentingan perlindungan terhadap
konsumen.
Penjelasan Umum UU No. 8 tahun 1999 mengemukakan bahwa dalam
kondisi dan fenomena kedudukan pelaku usaha dan konsumen yang tidak
seimbang, konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan
yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan
serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Tujuan utama
dari undang-undang ini adalah untuk memberdayakan konsumen dengan
meningkatkan harkat dan martabat konsumen. Perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum dan memberi perlindungan kepada

5
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit, halaman 674.

5
konsumen melalui asas keseimbangan. Bukan berarti undang-undang ini tidak
melindungi hak dan kepentingan produsen atau pelaku usaha. Perlindungan
diberikan kepada masing-masing pihak melalui pengaturan hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
Dalam kaitannya dengan perjanjian baku, Undang Undang Perlindungan
Konsumen ini telah mengatur secara limitatif tentang batasan-batasan yang
harus dipenuhi pelaku usaha manaka pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang diproduksinya melalui perjanjian baku. Pembatasan ini
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi konsumen atas resiko
pemberlakuan perjanjuian baku oleh pelaku usaha. Hal ini diatur dalam Pasal
18 yang menentukan sebagai berikut:
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/ atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang memuat atau mencantumkan klausula baku
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen.
d. Menyatakan pemberian kuasa dari komsumen kepada pelaku usaha,
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual
beli jasa.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan lanjutan yang

6
dibuat sepihak oleh pelaku usaha selama masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya.
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan baik gadai atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksuddalam ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demihukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undang-undang ini.

C. Bentuk Perjanjian Baku Dan Klausula Baku


Dalam perkembangannya Perjanjian Baku yang berisi Klausula Baku
dapat berbentuk:
1. Bentuk tertulis pada Kertas (paper based)
Pembuatan Perjanjian Baku Tertulis yaitu dalam bentuk dokumen
yang sudah dicetak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan siap digunakan
oleh pihak lain yang akan membuat perjanjian di luar jaringan (luring/face
to face). Dokumen perjanjian baku yang berisi klausula baku dapat terdiri
atas:
a. 1 (satu) Dokumen
Pembuatan Perjanjian Baku 1 (satu) Dokumen dapat dilakukan
dengan cara mensyaratkan pembubuhan tandatangan para pihak dalam
perjanjian baku. Pembubuhan tandatangan para pihak ini dapat
dilakukan dengan cara yang pertama di bawah tangan, yaitu
pembubuhan tandatangan tidak dilakukan di hadapan notaris atau
pejabat yang berwenang sehingga menghasilkan perjanjian baku di
bawah tangan; kemudian yang kedua secara otentik di hadapan notaris

7
atau pejabat yang berwenang, sehingga menghasilkan perjanjian baku
otentik.
b. Lebih dari 1 (satu) Dokumen
Yaitu terdiri atas Lembar Pengesahan dan Isi Perjanjian (General
Condition) yang berisi pasal atau klausula baku di dalam perjanjian baku
tersebut. Adapun pembuatan perjanjian baku yang terdiri atas lebih dari
1 (satu) dokumen sama dengan pembuatan perjanjian baku yang terdiri
atas 1 (satu) dokumen sebagaimana di kemukakan di atas.
2. Bentuk tertulis secara Digital (digital based/paperless)
Pembuatan Perjanjian Baku Digital yaitu dalam bentuk dokumen yang
telah dibuat secara digital secara sepihak oleh salah satu pihak, dan siap
digunakan oleh pihak lain yang akan membuat perjanjian dalam jaringan
(daring/on-line). Dokumen digital perjanjian baku yang berisi klausula baku
dapat terdiri atas:
a. 1 (satu) Dokumen Digital.
Pembuatan Perjanjian Baku 1 (satu) Dokumen secara Digital dapat
dilakukan dengan cara yang pertama mensyaratkan pembubuhan
tandatangan digital (digital signature) para pihak dalam perjanjian baku
digital. Pembubuhan tandatangan digital para pihak ini dilakukan secara
di bawah tangan yaitu pembubuhan tandatangan tidak dilakukan di
hadapan notaris atau pejabat yang berwenang, sehingga menghasilkan
perjanjian baku digital di bawah tangan. kemudian yang kedua dapat
dilakukan dengan tidak mensyaratkan pembubuhan tandatangan digital
para pihak dalam perjanjian baku digital. Perjanjian baku digital yang
tidak mensyaratkan pembubuhan tandatangan digital pada dokumen
perjanjian digital antara lain dapat berupa dokumen digital yang
ditempatkan dalam laman (websites) atau bentuk lain yang serupa.
b. Lebih dari 1 (satu) Dokumen Digital
Yaitu terdiri atas Lembar Pengesahan Digital dan Isi Perjanjian
(General Conditions) Digital yang berisi pasal atau klausula baku di
dalam perjanjian baku digital tersebut. Adapun pembuatan perjanjian
baku digital yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) dokumen digital sama

8
dengan pembuatan perjanjian baku digital yang terdiri atas 1 (satu)
dokumen digital sebagaimana di kemukakan di atas.

D. Hakikat Perjanjian Baku dan Klausula Baku


Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak
Keabsahan klausula baku sebetulnya menyangkut juga dengan asas kebebasan
berkontrak yang diatur pada pasal 1338 KUHper. Asas kebebasan berkontrak
menjadi payung hukum terhadap implementasi suatu perjanjian, akan tetapi
dalam hal ini setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat
perjanjian sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum.
dengan adanya UUPK, pelaku usaha diberikan larangan untuk menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa perjanjian.
Sehingga, apabila masih terdapat pencantuman klausula demikian pada
perjanjian, maka perjanjian ini adalah dapat dimintakan pembatalan oleh
konsumen. Di antaranya, larangan mencantumkan klausula baku pada setiap
perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha,
mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, dan lain sebagainya yang
tercantum dalam UUPK. Ketentuan ini sepenuhnya bertujuan untuk
meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang
bertanggung jawab.
Implementasi ketentuan tersebut merupakan suatu kebutuhan dari
beberapa pelaku usaha sebagai suatu tindakan prefentif untuk memberikan
proteksi dari tindakan konsumen yang dapat merugikan pelaku usaha. tapi,
sekalipun dalam kontrak baku tersebut menyatakan pembatasan atau pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha, namun dalam pelaksanaanya sebagian besar
pelaku usaha memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat pada klausula baku,

9
karena sejatinya pelaku usaha harus tetap bertanggung jawab penuh dalam
memberikan ganti rugi kepada konsumen sesuai dengan kerugian yang
senyatanya berdasarkan pertimbangan yang layak sepanjang kerugian
konsumen tersebut disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan dari pihak pelaku
usaha.
Keberlakuan perjanjian baku kerap kali merugikan konsumen, semua
bergantu kepada kesadaran konsumen oleh sebab itu mau ambil atau tidak (take
it or leave it) sebelum implementasi peraturan mengenai perlindungan
konsumen dilakukan sebaik-baiknya, untuk mereduksi kerugian dari klausula
baku, dengan demikian maka mengharuskan juga adanya pengawasan terhadap
klausula baku. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen
serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan
oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat. Sementara, pengawasan klausula baku yang saat ini diperankan
oleh BPSK dinyatakan belum efektif, menurut David Tobing, fungsi utama
BPSK adalah penyelesaian sengketa konsumen, dalam peraturan perundang-
undangan, “Negara sudah mengatur larangan tentang klausula baku tetapi tidak
disertai dengan aturan lanjutan. Ketiadaan aturan lanjutan membuat lembaga
pengawas yang sudah dibentuk masih kurang dalam tugas pengawasannya”.
Setidaknya ada sekitar 250 juta jiwa adalah sebagai konsumen yang rentan
merugi terhadap klausula baku, sementara para pelaku usaha mengambil
kesempatan dalam ketidaktahuan konsumen. Perlindungan konsumen serta
pengawasannya terhadap adanya klausula baku tidak pernah menjadi skala
prioritas pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Ini merupakan ihwal untuk
melindungi konsumen, meningkatkan harkat dan mertabat konsumen,
kesadaran pengetahuan, kepedulian dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang
bertanggung jawab.

E. Contoh Kasus Perjanjian Baku


Contoh kasus klausula baku banyak terjadi di berbagai tempat seperti
contoh peristiwa kehilangan kendaraan bermotor ataupun mobil yang terjadi di

10
tempat parkir dan tidak semua pengelola parkir mau bertanggung jawab
terhadap kehilangan tersebut, sehingga banyak terjadi sengketa akibat peristiwa
tersebut, seperti kasus gugatan yang dilakukan oleh Anny R Gultom dan Hontas
Tambunan terhadap PT Securindo Packatama Indonesia terhadap pengelola
parkir. Kasus tersebut sudah mencapai pada tahap peninjauan kembali yang
dilakukan dan menghasilkan putusan dengan nomor 124 PK/Pdt/2007 yang
memperkuat keputusan kasasi No 1264k/PDT/2003 yang menenangkan pihak
pihak penggugat sehingga pihak tergugat wajib memberikan ganti sebanyak Rp.
137.800.000,- (seratus tiga puluh tujuh juta delapan ratus ribu rupiah) kepada
pihak penggugat.
Dalam contoh kasus diatas tentu dapat kita sadari bersama bahwa faktor
utama yang sering menjadi persoalan dalam kasus perjanjian baku adalah
adanya sebuah sikap yang memaksa konsumen untuk mengikuti ketentuan yang
telah dibuat oleh para pelaku usaha yang mana hal tersebut tentu sangat
merugikan konsumen, dari kasus tersebut dalam kaitannya dengan upaya
perlindungan hukum terhadap konsumen sesuai undang-undang, kiranya para
pelaku usaha benar-benar memperhatikan syarat-syarat dan ketentuan tentang
pemberlakuan perjanjian baku dalam masyarakat sebagaimana diatur dalam
undnag-undang, khususnya Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan KonsumenPemerintah sebagai eksekutif kiranya dapat melakukan
pengawasan dan pembinaan terhadap para pelaku usaha yang memberlakukan
perjanjian baku dalam mendistribusikan produk barang dan/atau jasa yang
dihasilkan sehingga hak dan kepentingan konsumen tidak dirugikan.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemberlakuan perjanjian baku dalam praktik kehidupan ekonomi sehari-
hari sudah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar dan
keabsahannya didasarkan kepada asas kebebasan berkontrak yang ada dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dalam upaya memberikan perlindungan
terhadap konsumen dalam pemberlakuan perjanjian baku, UU No. 18 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur sedemikian rupa syarat-
syarat perjanjian baku yang dapat diberlakukan dalam praktik dengan ancaman
kebatalan bila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, diantaranya perjanjian baku
dalam praktiknya tidak boleh memuat kalusula eksonerasi atau klausula yang
mengalihkan dan/atau membebaskan tanggung jawab pekaku usaha.

B. Saran
Dalam kaitannya dengan upaya perlindungan hukum terhadap konsumen
sesuai undang-undang, kiranya para pelaku usaha benar-benar memperhatikan
syarat-syarat dan ketentuan tentang pemberlakuan perjanjian baku dalam
masyarakat sebagaimana diatur dalam undnag-undang, khususnya Pasal 18 UU
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan KonsumenPemerintah sebagai
eksekutif kiranya dapat melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap para
pelaku usaha yang memberlakukan perjanjian baku dalam mendistribusikan
produk barang dan/atau jasa yang dihasilkan sehingga hak dan kepentingan
konsumen tidak dirugikan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Dr. David M.L. Tobing, SH.,M.Kn., 2019. Klausula Baku: Paradoks dalam
Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Gramedia
Prof. Dr. Johannes Gunawan, SH., LL.M. – Prof. Dr. Bernadette M.Waluyo,
SH.,MH,. CN. 2021, Perjanjian Baku Masalah dan Solusi : German
Cooperation, Jakarta : GIZ
Ahmad Fikri Assegaf, 2014. Penejelasan Hukum (Restatement):Klausula Baku,
Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI).

Undang-Undang
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) No.8 Tahun 1999

13

Anda mungkin juga menyukai