Anda di halaman 1dari 20

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN

AGAMA ISLAM

Oleh:
1. NATASYA UTARI VITRIANA WIBOWO ( 162101062)
2. REZKI APRIANA EBA (162101061)

Dosen Pengampu:
DAMRI BATUBARA, SHI, MA

JURUSAN EKONOMI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
UNIVERSITAS MUHAMMADIAH BUTON
(UM) BUTON
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit
sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas
segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak  bantuan dari berbagai
pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
seluruh yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun agar dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar
makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Baubau, Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
A.    Latar Belakang ....................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah .................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 2
A.    Pengertian, Ruang Lingkup Dan Dasar Hukum Ijtihad..................... 2
B.     Macam-Macam dan Syarat Ijtihad....................................................... 5
C.     Tingkat Kekuatan Ijtihad dan Tingkatan-Tingkatan Ijtihad............ 8
D.    Perkembangan Ijtihad ........................................................................... 10
BAB III PENUTUP................................................................................. 13
A.    Kesimpulan.............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 14
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hokum yang sudah ada pada zaman
Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangan, ijtihad dilakukan oleh para sahabat tabi’in serta
masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal
dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolahkan, tetapi pada masa periode tertentu pula
(kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai di buka kembali. Karena tidak bisa di pungkiri,
adalah suatu keharusan untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks
problematikanya.
Sekarang banyak ditemui perbedaa-perbedaan madzhab dalam hokum Islam disebabkan
dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental,
ekstrimis, moderat dll. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing
mujtahid berupaya utuk menemukan hokum yang terbaik. Justru dengan ijtihad Islam, Islam
menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan
ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang
semakin kompleks.

B.     Rumusan Masalah


Berdasarkan pendahuluan di atas, dapat mengambil permasalahan sebagai berikut
yaitu:
1. Bagaimana definisi, ruang lingkup dan dasar hukum Ijtihad ?
2. Berapa macam-macam Ijtihad dan syarat  Ijtihad ?
3. Bagaimana tingkat kekuatan Ijtihad dan tingkatan-tingkatan dalam Ijtihad?
4. Bagaimana perkembangan Ijtihad ?
5. Apa saja bentuk-bentuk ijtihad?
6. Apa sajah kedudukan ijtihad?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian, Ruang Lingkup Dan Dasar Hukum Ijtihad
1.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadan yang berartu mengerahkan segala
kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh
dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan, menurut istilah,Ijtihad adalah mencurahkan segenap
tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Oleh karena itu,
tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Secara
terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui
metode tertentu. Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran
dan hadis, serta turut memegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam. Telah banyak
contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad ini. Orang yang melakukan ijtihad disebut
mujtahid.

Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud Syaltut
berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro’yu mencakup dua pengertian:
a.    Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit
oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
b.    Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu
ayat atau hadits.
Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup
dalam beribadah kepada Allah SWT di tempat dan waktu tertentu. Fungsi ijtihad adalah sebagai
metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam Al-Quran
dan Hadits. Meski Al-Quran diturunkan secara sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan
manusia diatur secara detil oleh Al-Quran dan Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada
saat turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus
berkembang dan diperlukan aturan aturan baru dalam melaksanakan ajaran islam dalam
kehidupan sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau disuatu
masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah
ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits. Sekiranya sudah ada, maka persoalannya
harus mengikuti ketentuan yang ada berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Namun jika persoalannya
merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits
maka umat Islam memerlukan ijtihad, tapi yang berhak membuat ijtihad adalah mereka yang
paham Al-Quran dan Hadits yang disebut dengan mujtahid.
Ijtihad menurut lughot mempunyai arti:
ٌ‫س ِع فِ ْي َما فِ ْي ِه ُك ْلفَة‬
ْ ‫بَ ْد ُل ا ْل ُو‬
“ Mengerahkan kemampuan untuk sesuatu yang sulit”
Sedangkan Ijtihad menurut istilah mempunyai pengertian:

‫ص ْو ِد ِم َن ا ْل ِع ْل ِم‬ ِ ‫بَ ْذ ُل ا ْلفَقِ ْي ِه ا ْل ُم ْجتَ ِه ِد َم ْج ُه ْو َدهُ فِى نَ ْي ِل ا ْل َغ َر‬


ُ ‫ض ا ْل َم ْق‬
“Mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang ahli fiqh, untuk
memperoleh ilmu yang ingin dihasilkannya”.1[1]
Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum
syara’ dari dalilnya. Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalah qiyas untuk mengeluarkan
(istinbat) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.
Adapun ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) adalah jalan yang diikuti
hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan teks undang-undang maupun
dengan mengistinbatkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.2[2]
Pelestarian “pohon” fiqih dengan akar syari’at tidaklah mungkin dapat dilakukan
selama disana tidak ada ijtihad yang sistematis dan terus menerus, yakni sebuah ijtihad yang
mampu mengendalikan berbagai tantangan zaman. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr.
Wahbah al-Zuhayli (syria), ijtihad itu menghidupkan syariat. Syariat tidak akan bisa bertahan
selama fiqih ijtihad tidak hidup dan elastis, memiliki daya kerja dan daya gerak.3[3]
2.      Ruang Lingkup Ijtihad
Dalam memberi batasan-batasan bagi ruang lingkup ijtihad, Al-Amidi mengatakan: “…
bidang yang dapat diijtihadi adalah hokum-hukum syara’ yang dalilnya zhanni…

‫وأ ّما ما فيه االءجتهاد فما كان من األحكام ال ّشرعيّة دليله ظنّى‬
Ungkapan “hokum-hukum syara’ “kami maksudkan untuk membedakannya dari hokum-
hukm yang dalilnya bersifat qath’I (pasti), seperti ibadat yang lima seumpamanya. Ibadat yang

1[1] Muhammad Sya’roni Ahmadi, Terjemah Tashilut Thuruqot, (Jakarta:Pustaka, 1984), hal. 146
2[2] Chaerul Umam, Ahyar Aminudin, Ushu Fiqih II, ( Pustaka Setia: Bandung, 2001), hal. 131
3[3] Abdul Halim ‘Uways, Fiqih Statis dan Fiqih Dinamis, (Pustaka Hidayah: Bandung, 1998), hal.
181
lima ini bukanlah merupakan bidang berijtihad, karena orang yang keliru dalam bidang ini
dipandang berdosa, sedangkan masalah-masalah ijtihadiyah itu adalah masalah di mana orang
yang keliru dalam ijtihadnya tidak berdosa.
Masalah ke-dua: peristiwa yang dihadapi haruslah peristiwa yang hukumnya tidak
terdapat dalam nash. berdasarkan ini, maka ruang lingkup ijtihad dapat menampung kegiatan
panggilan hokum-hukum bagi peristiwa-peristiwa hokum baru pada saat tidak terdapatnya nash.
hal itu dilakukan dengan jalan berpegang pada tanda-tanda yang telah dipancangkan sebagai
petunjuk bagi hokum, seperti qiyas atau istihlah.4[4]
Dalam buku “Ilmu Ushul Fiqih karangan Prof.Abdul Wahhab Khallaf” ada dua lapangan
ijtihad yaitu:
1)      Sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali.
2)      Sesuatu yang ada nashnya namun tidak qath’i.
Tidak ada peluang untuk berijtihad mengenai sesuatu yang ada nashnya yang bersifat
qath’i.5[5]
Ada tiga hal yang harus diperhatikan:
1)        Bahwa ijtihad itu tidak ada pembagian. Artinya, dia tidak menggambarkan adanya orang alim
sebagai mujtahid, dalam hokum talak, dan mujtahid yang lain dalam hokum jual beli. Atau
mujtahid dalam hokum menjatuhkan sanksi hukuman. Mujtahid adalah seorang yang ahli dan
teguh pendirian.
2)        Mujtahid itu mendapat pahala. Orang-orang yang melakukan ijtihad itu mendapat dua pahala.
Satu, pahala untuk ijtihadnya, dan satu lagi kalau ijtihadnya itu benar. Kalau ijtihadnya itu salah,
masih mendapat satu pahala.
3)        Ijtihad itu tidak boleh dibatalkan. Kalau mujtahid itu berijtihad untuk suatu masalah dan di
dalamnya itu dia menjatuhkan hukuman dengan hokum yang dijalankan kea arah itu oleh
ijtihadnya. Sudah itu dikemukakan pula kepadanya gambaran dari peristiwa ini lantas dia

4[4] Ibrahim Abbas Al Dzarwy “Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam cet. 1”, (Dina Utama Semarang:
Semarang 1993), hal. 31-32
5[5] Abdul Wahhab Khallaf “Ilmu Ushul Fiqih cet. 1”, (Dina Utama Semrang: Semarang 1994), hal.
340
melakukan ijtihad kepada hokum lain, di sini dia tidak diperbolehkan membatalkan hukumnya
yang lalu.6[6]

3.      Dasar Hukum Ijtihad


Para fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum
yang terdapat dalam nash Al-Quran.7[7]
Ulama membagi hukum Ijtihad menjadi tiga macam:
1)      Wajib Ain, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum diketahui
hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin
mengetahui hukumnya.
2)      Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sementara
masih ada mujtahid lain selain dirinya.
3)      Sunnah, ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik ditanya maupun tidak.
4)      Haram, ijtihad haram pada perkara yang telah ditunjukkan oleh nash atau yang telah ditetapkan
oleh ijma’ sahabat. Oleh karena itu, tidak boleh berijtihad didalam masalah-masalah itu seperti di
dalam masalah akidah dan ibadah yang telah dinashkan dan disepakati oleh umat.8[8]
Ada 2 dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu :
1.    Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah

6[6] Abdul Wahhab Khallaf “Ilmu Ushul Fiqih cet. 4“, (PT. Rineka Cipta: Jakarta 1999), hal. 279-
281
7[7] Chaerul Umam, Ahyar Aminudin, Op.Cit.  hal. 131.
8[8] Abdul Halim ‘Uways, Op.Cit, hal.187
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-
nisa:59)
dan firman-Nya yang lain :
“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.Al-Hasyr : 2)
Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan kepada Allah dan
Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an dan Hadits supaya meneliti
hukum-hukum yang ada alasannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang
lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan
merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka
untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan
ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).

2.    Al-Hadits
: .Sabda Nabi SAW                    -
)‫ (بخارى و مسلم‬.ٌ‫اب فَلَهُ اَ ْج َرا ِن َواِ ِن ْجتَ َه َد فَا َ ْخطَأ َ فَلَهُ اَ ْج ٌر َوا ِحد‬
َ ‫ص‬ ْ ‫ اَ ْل َحا ِك ُم اِ َذا‬      -
َ َ ‫اجتَ َه َد فَا‬
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala
(pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian
tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits
riwayat Bukhari dan Muslim)

-       Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika Muadz
diutus menjadi hakim di Yaman  berikut ini:
َ‫ َكيْف‬:‫س ْو ُل هللاِ لَ َّما أَ َرا َد أَنْ َي ْب َع َث ُم َعا ًذا الِ َي ا ْليَ َم ِن قَا َل‬
ُ ‫ب ُم َعاذ ْب ِن َجبَ ِل إِنَّ َر‬ِ ‫ص َحا‬ ٍ َ ‫عَنْ أُنا‬
ْ َ‫س ِّمنْ اَ ْه ِل َح َمص ِمنْ أ‬
:‫ قَا َل‬.ِ‫س ْو ِل هللا‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬ُ ِ‫ فَب‬:‫ب هللا؟ قَا َل‬ ِ ‫ فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد فِي ِكتَا‬:‫ قَا َل‬.ِ‫ب هللا‬ ِ ‫ضى بِ ِكتَا‬ ِ ‫ أَ ْق‬:‫ضا ٌء؟ قَا َل‬ َ ‫ض إِ َذا َع َر‬
َ َ‫ض لَكَ ق‬ ِ ‫تَ ْق‬
:‫صد َْرهُ َوقَا َل‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ َ‫ ف‬.‫ اَ ْجتَ ِه ُد َرا ْي ِئ َواَل آلُ ْو‬:‫ب هللاِ؟ قَا َل‬
ُ ‫ض َر َب َر‬ ِ ‫س ْو ِل هللاِ َواَل فِي ِكتَا‬ ُ ‫سنَّ ِة َر‬ ُ ‫فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد فِي‬
.)‫ (رواه ابوداود‬ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ضي َر‬ َ ‫س ْو ِل هللاِ لَ َّما يَ ْر‬
ُ ‫س ْو َل َر‬ َ َّ‫ي َوف‬
ُ ‫ق َر‬ ْ ‫اَ ْل َح ْم ُدهَّلِل ِ الَّ ِذ‬
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika
bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu
satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan
memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan
dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan
Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah
menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah
yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-
Nya.”(HR.Abu Dawud)

B.     Macam-Macam dan Syarat Ijtihad


Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jam’i.
1)        Ijtihad fardi:

‫ي فِى‬ ٍ ‫ق ا ْل ُم ْجتَ ِه’’ ِد ْي َن فِ ْي’’ ِه َعلَى َر ْأ‬


ُ ‫اجتِ َه’’ا ٍد َولَ ْم يَ ْثبُتْ اِتّفَ’’ا‬
ْ ‫ُ’’و ُك’’ ُّل‬
َ ‫يه‬ ْ َ‫اَاْل ْجتِ َه’’ا ُد ا ْلف‬
ُّ ‫’’ر ِد‬
ْ ‫ا ْل َم‬.
‫سئَلَ ِة‬
Artinya:
“Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang namun tak ada
keterangan bahwa semua Mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara”.
2.         Ijtihad Jami’i:
“Setiap ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin”.9[9]
Menurut jenisnya, mujtahid dapat dibedakan menjadi 4 macam
a)      Mujtahid Mutlak: Seorang mujtahid harus memeras fikiran dan mencurahkan seluruh waktunya
untuk meneliti secara mendalam terhadap dalil-dalil fiqh, sehingga bisa menghasilkan dhonn
atau dugaan hukum.
b)      Orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dari Al-Quran dan Hadits,
dan sering kali mendirikan madzhab sendiri seperti halnya para sahabat dan imam yang empat,
yaitu Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki.
c)      Mujtahid Madzhab: orang yang mempunyai kemampuan mengetahui kaidah-kaidahnya imam
madzhab, kemudian ia bisa menggali pendapat yang melebihi pendapat imamnya dari sebuah
dalil. Seperti Imam Buwaithi.10[10]

9[9] Chairul Umam, Achyar Aminudin, Op.Cit, hal. 139


10[10] Muhammad Sya’roni Ahmadi, Op.Cit, hal. 147
Para mujtahid yang mengikuti suatu madzhab dan tidak membentuk madzhab tersendiri, tetapi
dalam beberapa hal, dalam berijtihad mereka berbeda pendapat dengan imamnya, misalnya,
Imam Syafi’i tidak mengikuti pendapat gurunya Imam Malik dalam beberapa masalah.
d)     Mujtahid Fatwa: orang yang sangat mendalam pengetahuannya tentang madzhab Imam-nya,
sehingga bisa mentarjih salah satu diantara dua qoul, ketika dua qoul tersebut dimutlak-kan oleh
Sang Imam.
Para ulama yang sudah mencapai derajat sebagai mujtahid fatwa ihi, seperti; Imam Ar-
Rofi’i dan Imam An-Nawawi.mereka ini mempunyai otoritas (sewenang) untuk menyeleksi
mana yang lebih kuat diantara qoul-qoulnya Asy-Syafi’i, sebab Imam As-Syafi’i sendiri sering
kali mengeluarkan beberapa qoul yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainya.
Para mujtahid diatas, baik mujtahid mutlak, Mujtahid madzhab maupun mujtahid fatwa,
apabila hasil ijtihadnya benar maka akan mendapatkan dua pahala dan apabila salah akan
mendapatkan satu pahala.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda:

‫واخطأ َ فلهُ اج ٌر واح ٌد‬


ْ ‫واصاب فلهُ اجرا ِن ومن اجته َد‬
َ ‫من اجته َد‬
ِ .
“Barang siapa melakukan ijtihad dan hasil ijtihadnya benar maka akan memperoleh dua
pahala. Dan barang siapa melakukan ijtihad dan hasil ijtihadnya keliru maka akan mendapatkan
satu pahala”. (H.R. Bukhori Muslim).
Para mujtahid yang mendapatkan pahala adalah mereka yang benar-benar punya
keahlian dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Untuk mereka yang tidak punya
keahlian untuk melakukan ijtihad, maka harus taqlid atau mengikuti pendapat yang telah
ditetapkan oleh para Imam Madzhab. Dan apabila mereka memaksakan diri untuk melakukan
ijtihad, maka sama sekali tidak mendapatkan pahala, bahkan akan mendapat dosa, disebabkan
kecerobohannya.11[11]
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk melakukan
ijtihad adalah sebagai berikut:
1)             Benar-benar Muslim, beriman kepada Allah dan sifat-sifat-Nya; beriman kepada Rasul-Nya dan
manaatinya.
2)             Menguasai bahasa Arab, cara-cara dalalah, susunan kalimatnya dan satuan-satuan katanya

11[11] Muhammad Sya’roni Ahmadi, Op.Cit, hal. 148


3)             Mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur’an. Haruslah mengetahui hokum-hukum syar’iyyah
yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan ayat-ayat yang menyebutkan hokum-hukum tersebut, serta
cara-cara mengambil, memetik hokum itu dari ayat-ayatnya
4)             Mengetahui tentang sunnah. Yaitu, ia harus mengetahui hokum-hukum syara’ yang disebut
sunnah Nabi., sekiranya ia mampu menghadiran sunnah yang menyebutkan hokum pada tiap-tiap
bab dari perbuatan mukallaf, mengetahui peringkat sanad sunnah tersebut, dari segi
kesahihannya, atau kedhaifannya dalam periwayatan.
5)             Mengetahui segi-segi qiyas. Misalnya ia megetahui tentang illat, dan hikmahpembentukan
hokum yang karenanya hokum disyari’atkan, menegnai jalur-jalur yang dipersiapkan oleh syari’
untuk mengetahui illat hukumnya. Ia juga harus mengetahui berbagai hal ihwal manusia dan
muamalah mereka, sehingga ia dapat mengetahui sesuatu kasus yang tidak ada nashnya yang
terbukti illat hukumnya.
6)             Mengetahui kesepakatan-kesepakatan para ulama, baik di dalam masalah pokok-pokok syariat
seperti ijma’ tentang wajibnya shalat, dll.
7)             Memahami istinbath hukum dari dalil-dalil yang ada melalui metode yang tercakup dalam ilmu
ushul fiqih.
8)             Memahami tujuan-tujuan syariat. Ini merupakan salah satu syarat yang terpenting bagi seorang
mujtahid. Sebab syariat datang sebagai rahmat bagi hamba-hamba Allah.12[12]

C.    Tingkat Kekuatan Ijtihad dan Tingkatan-Tingkatan Ijtihad.


a.       Tingkat Kekuatan Ijtihad
Seorang ahli fiqih yang menghabiskan tenaga dan pikirannya untuk memperoleh
persangkaan kuat terhadap suatu hukum agama dengan jalan istinbat dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah, atau dari suatu dalil yang dibenarkan syara’. Ijtihad ada dua tingkatan:
1)        Ijtihad Darakil Ahkam (menghasilkan hukum yang belum ada)
2)        Ijtihad Tatbiqil Ahkam (menerapkan hukum atau kaidah atas segala tempat menerimanya) .13
[13]
b.      Tingkatan-Tingkatan Ijtihad
Ijtihad itu terdiri dari beberapa tingkatan:

12[12] Abdul Halim ‘Uways, Op.Cit, hal. 192


13[13] Chaerul Umam,  Op Cit., hal. 142
1)      Ijtihad mutlaq
2)      Ijtihad dalam satu madzhab
3)      Ijtihad dalam satu macam ilmu saja
4)      Ijtihad dalam beberapa masalah atau satu masalah dari satu macam ilmu.
Para mujtahid demikian pula, berbeda-beda tingkatannya sesuai tingkat ijtihadnya.
a. Ijtihad yang berdiri sendiri.
b. Ijtihad yang tidak berdiri sendiri.
Mujtahid yang berdiri sendiri ialah orang yang mandiri dalam mengetahui ketentuan-
ketentuan hokum syari’at yang bersifat furu’, dari dalildalil tanpa bertaqlid atau terikat dengan
madzhab tertentu. Diantar mujtahid-mujtahid mutlaq tersebut adalah ahli-ahli fiqih dari sahabta
dan tabi’in serta imam-imam yang empat.
Adapun mujtahid yang tidak mandiri, atau disebut Al-Muntashib, ialah mujtahid yang
membangun pendapat-pendapatnya di atas madzhab seorang imam tertentu dalam berhujjah
dengan sebagian dalil saja, seperti istihsan dan maslahah mursalah, di saat mujtahid lain tidak
mau menerimanya, karena dia sendiri mengikuti imam tertentu seperti sahabat-sahabat imam
empat atau yang sejalan dengan mereka dalam hal mengkuti madzhab tertentu, padahal ia sendiri
mampu mandiri dalam menetapkan hokum-hukum yang bersifat furu’.
Adapun ijtihad yang terikat pada madzhab, tercakup di dalamnya mujtahid yang menggali
berbagai hokum dari dalil-dalilnya, berdasarkan pada kaidah-kaidah imam madzhabnya dan
dapat menampilkan berbagai kemungkinan pendapat dari beberapa riwayat yang diterima dalam
bentuk nash dan imamnya.
Mujtahid terikat mempunyai 4 kelas:
Pertama: ia tidak bertaqlid kepada imamnya dalam menentukan hokum dan dalil, tetapi ia
menempuh cara imamnya dalam berijtihad. Fatwa mujtahid seperti ini sama dengan fatwa
mujtahid mutlaq dalam sisi pengalamannya.
Kedua: mujtahid yang terikat dengan madzhab imamnya, tetapi dia mandiri dalam
menetapkan madzhabnya dengan dalil, namun dia tidak pernah melampaui dasar-dasar dan
kaidah-kaidah imamnya. Ijtihad seperti ini hanya dapat dipakai sebagai alat untuk menunaikan
fardhu kifayah tetapi tidak untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang dijadikan sebagai bahan
suplai fatwa, karena ia telah mendudukkan fatwanya pada kedudukan fatwa imam mutlaq dan
memilah-milahnya terhadap bolehnya taqlid kepada yang sudah tiada (wafat) dibolehkan.
Ketiga: ia memelihara madzhab serta mengetahui dalil-dalinya, tetapi dia tidak sampai
pada tingkat para mujtahid dalam madzhab. Fatwa mujtahid kelas ini dapat diterima.
Keempat: ia bekerja memlihara madzhab, mengajarkan dan memahaminya, tetapi ia tidak
mahir dalam menetapkan dalil-dalilnya. Mujtahid seperti ini dapat dipegang periwayatannya dan
fatwanya tentang nash-nash imamnya atau rincian dari pendapat sahabat-sahabatnya yang
mujtahid dalam madzhabnya serta komentar-komentar tambahan dari mereka. Sebab, orang yang
seperti ini keadaannya, jelaslah seorang yang alim dalam bidang fiqih.14[14]

D.    Perkembangan Ijtihad


1.            Ijtihad dan Fiqih di Masa Nabi SAW
Umat Islam di masa Rasul tidak melakukan ijtihad bila menghadapi suatu masalah yang
baru, mereka mendatangi Nabi untuk bertanya. Mereka bertanya, lalu Nabi menjawab dengan
petunjuk wahyu yang diturunkan kepadanya, atau dengan petunjuk ijtihadnya yang mendapat
kebenaran dari wahyu. Mereka hnay mempergunakan ijtihad bila mereka tak dapat bertanya.
Ijtihad itu mereka sampaikan kepada Nabi, lalu Nabi memberi putusannya.
2.            Periode-Periode Ijtihad Sesudah Nabi SAW
Ijtihad sesudah wafat Nabi melalui tiga periode:
a)      Periode sahabat besar, periode Khulafar Rosyidin.
b)      Periode sahabat kecil, pemuka tabi’in di masa Bani Umayyah.
c)      Periode tabi’in dan Imam Mujtahiddin di permulaan masa Bani Abbas.

3.            Ijtihad dan Fiqih di Masa Khulafaur Rosyidin


Para sahabat besar, sepeninggal Rasul menghadapi berbagai permasalahan baru. Maka
mereka melakukan istinbat terhadap permasalahan tersebut, namun tidak menetapkan masalah-
masalah yang belum terjadi dan tidak member jawaban (fatwa) terhadap yang elum timbul.
Bila terjadi masalah, barulah mereka melakukan ijtihad. Mereka berpegang dalam urusan
tersebut kepada:
a)      Al-Qur’an.
b)      Sunatur Rasul.
4.            Ijtihad dan Fiqih di Masa Bani Umayyah

14
Ketika pemerintahan (khalifah) dipegang Bani Umayyah, para sahabat pergi
meninggalkan kota Madinah menuju ke kota-kota yang baru dibangun, seperti kuffah, makkah,
basrah, syam, mesir dll. Di ibukota-ibukota itu, mereka mengerjakan fiqih, mengembangkan
agama, dan meriwayatkan Hadits. Umat Islam di daerah-daerah itupun berdatangan ke kota-kota
pusat daerah untuk menerima fiqih dan ilmu para sahabat tersebut. Murid-murid para sahabat itu
dinamai tabi’in, sedangakan murid tabi’in dinamai tabi’it tabi’in. berkat pelajran-pelajaran itu,
banyak para tabi’in yang tersohor, yang pandai dalam urusan fiqih dan hokum Islam.
Ulama’ulama pada periode ini terbagi kepada dua golongan besar:
a.              Golongan Ahli Hadits
b.             Golongan Ahli Ra’yu (ahli qiyas)
5.            Ijtihad dan Fiqih di Masa Bani Abbas
Pada permulaan bani abbaslahirlah imam-imam mujtahid kenamaan dari golongan ahli
hadits dan golongan ahli qiyas yang mempunyai pengikut dan telah membukukan fatwa-
fatwanya. Para imam mujtahidin yang timbul pada periode ini adalah imam yang empat, yang
terus menerus hingga masa kini mendpaat sambutan yang ramai dan banyak dianut orang.
Dalam periode-periode ini barulah dibuat aturan-aturan ijtihad disusun ushul fiqih dan
barilah ijtihad (hasil-hasil ijtihad) itu tampak jelas karena pada periode inilah fiqih itu dibukukan.
Pada periode ini pula para mujtahidin mulai memperluas (membuat) hukum dan membuat
macam-macam masalah yang di taqdir-taqdirkan. Pada periode sebelumnya, hokum-hukum itu
diberikan dan dicari, jika ada suatu kejadian. Pada periode ini muncul pula berbagai madzhab
dan berjangkitnya perselisihan dengan hebat dan luas.

Pada periode ini timbullah pertentangan pendapat tentang:


a.              Memakai hadits untuk menjadi dasar syara’ (hukum) karena telah bertebaran hadits palsu dibuat
oleh para pendusta, para perusak agama. Pada masa ini timbul perselisiahan dalam hal itu dan
yang menjadi titik berat perselisiahan ialah: apakah hadits itu meripakan suatu pokok dari dasar-
dasar tasyri’ dan kalau benar merpakan suatu dasar, maka apakah harus berpegang kepadanya?
b.             Memakai ijma’ sebagai dasar tasri’
Sebagaimana mereka berselisish tentang hal istihsan, para ahli qiyas dengan ahli hadits pun
berselisih dalam perkara mempergunakan qiyas.
6.            Ijtihad Dewasa Ini
Banyak orang berkata bahwa pintu ijtihad telah ditutup, namun pendapat ini tidak benar
melihat permasalahan-permasalahan timbul silih berganti. Di dalam penghidupan masyarakat
dari hari ke hari bahkan dari saat ke saat, terdapat maslah-maslah yang memerlukan pemecahan
hukum yang pasti, yang tidak terdapat nash-nash Al-Qur’an atau Al-Hadits. Oleh karena itu,
ijtihad sangat perlu dan sangat erat kaitannya dengan permasalahan-permasalahn itu, sebab
ijtihad pada dasarnya adalah daya upaya karya otak para mujtahid untuk menemukan dalil dalam
Al-Qur’an maupun di dalam As-Sunnah.i[15]

E.    Kedudukan ijtihat.


Berbeda dengan Al-Quran dan Hadits , ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan berikut:
a.    Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak
absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk
pikiran manusia yang relatif, maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif,
b.    Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak
berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat tapi tidak berlaku pada masa/tempat
yang lain,
c.    Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah (murni). Sebab urusan ibadah
mahdhah hanya oleh Allah SWT dan Rasulullah,
d.   Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, dan
e.    Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi, akibat,
kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada
ajaran Islam.
F. Bentuk-bentuk  ijtihad
Bentuk-bentuk Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran Islam Ijtihad sebagai sebuah metode atau
cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, seperti berikut.

1.  Ijma’
 Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau
hukum.
Contoh ijma’ di masa sahabat nabi adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang
berbentuk lembaran- lembaran terpisah menjadi sebuah mushaf al-Qur’an yang seperti kita
saksikan sekarang ini.

 2. Qiyas
menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh Al-Quran
dan As-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya
oleh Al-Quran atau Hadits, karena ada kesamaan sifat atau karakternya.
Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, vodka,
wisky, topi miring, dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr,
yaitu memabukkan. Khamr dalam al-Qur’an diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt. yang
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban
untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk
perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan
minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian
di antara kamu dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat
maka tidakkah kamu mau berhenti?" (Al-Maa’idah ayat 90-91)
 3. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada kemanfaatan
suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at Islam. Misalkan seseorang wajib
mengganti atau membayar atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar
kesepakatan yang telah ditetapkan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.   Pengertian Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum
syara’ dari dalilnya.
Ruang lingkup ijtihad ada dua lapangan ijtihad yaitu:
a. Sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali.
b. Sesuatu yang ada nashnya namun tidak qath’i.
Dasar hukum ijtihad:
a. Wajib ‘ain
b. Wajib Kifayah
c. Sunnah
d. Haram.
2.  Macam-macam dan syarat ijtihad:
a. Ijtihad Fardhi
b. Ijtihad Jami’i.
Syarat-syarat ijtihad:
a. Benar-benar Muslim
b. Menguasai bahasa Arab
c. Mempunyai pengetahuan mengenai Al-Quran
d. Mengetahui sunnah
e. Mengetahui segi-segi qiyas
f. Mengetahui kesepakatan-kesepakatan para ulama
g. Memahami istinbath hukum dari dalil-dalil
h. Memahami tujuan-tujuan syariat.
3.Bentuk-bentuk ijtihad
a. Ijma
b. Qiyas
c. Maslahah Mursalah
a.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim ‘Uways, 1998, Fiqih Statis dan Fiqih Dinamis, Pustaka Hidayah: Bandung.
Chaerul Umam, Ahyar Aminudin, 2001, Ushu Fiqih II, CV. Pustaka Setia: Bandung.
Dr. Ibrahim Abbas Al Dzarwy, 1993,“Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam cet. 1”, CV. Dina Utama
Semarang: Semarang .
Muhammad Sya’roni Ahmadi, Terjemah Tashilut Thuruqot, 1984
Prof. Abdul Wahhab Khallaf , 1999,“Ilmu Ushul Fiqih cet. 4“, PT. Rineka Cipta: Jakarta .
Prof. Abdul Wahhab Khallaf 1994, “Ilmu Ushul Fiqih cet. 1”, Dina Utama Semrang: Semarang .
i

Anda mungkin juga menyukai