AGAMA ISLAM
Oleh:
1. NATASYA UTARI VITRIANA WIBOWO ( 162101062)
2. REZKI APRIANA EBA (162101061)
Dosen Pengampu:
DAMRI BATUBARA, SHI, MA
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 2
A. Pengertian, Ruang Lingkup Dan Dasar Hukum Ijtihad..................... 2
B. Macam-Macam dan Syarat Ijtihad....................................................... 5
C. Tingkat Kekuatan Ijtihad dan Tingkatan-Tingkatan Ijtihad............ 8
D. Perkembangan Ijtihad ........................................................................... 10
BAB III PENUTUP................................................................................. 13
A. Kesimpulan.............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hokum yang sudah ada pada zaman
Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangan, ijtihad dilakukan oleh para sahabat tabi’in serta
masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal
dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolahkan, tetapi pada masa periode tertentu pula
(kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai di buka kembali. Karena tidak bisa di pungkiri,
adalah suatu keharusan untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks
problematikanya.
Sekarang banyak ditemui perbedaa-perbedaan madzhab dalam hokum Islam disebabkan
dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental,
ekstrimis, moderat dll. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing
mujtahid berupaya utuk menemukan hokum yang terbaik. Justru dengan ijtihad Islam, Islam
menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan
ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang
semakin kompleks.
Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud Syaltut
berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro’yu mencakup dua pengertian:
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit
oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
b. Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu
ayat atau hadits.
Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup
dalam beribadah kepada Allah SWT di tempat dan waktu tertentu. Fungsi ijtihad adalah sebagai
metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam Al-Quran
dan Hadits. Meski Al-Quran diturunkan secara sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan
manusia diatur secara detil oleh Al-Quran dan Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada
saat turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus
berkembang dan diperlukan aturan aturan baru dalam melaksanakan ajaran islam dalam
kehidupan sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau disuatu
masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah
ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits. Sekiranya sudah ada, maka persoalannya
harus mengikuti ketentuan yang ada berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Namun jika persoalannya
merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits
maka umat Islam memerlukan ijtihad, tapi yang berhak membuat ijtihad adalah mereka yang
paham Al-Quran dan Hadits yang disebut dengan mujtahid.
Ijtihad menurut lughot mempunyai arti:
ٌس ِع فِ ْي َما فِ ْي ِه ُك ْلفَة
ْ بَ ْد ُل ا ْل ُو
“ Mengerahkan kemampuan untuk sesuatu yang sulit”
Sedangkan Ijtihad menurut istilah mempunyai pengertian:
وأ ّما ما فيه االءجتهاد فما كان من األحكام ال ّشرعيّة دليله ظنّى
Ungkapan “hokum-hukum syara’ “kami maksudkan untuk membedakannya dari hokum-
hukm yang dalilnya bersifat qath’I (pasti), seperti ibadat yang lima seumpamanya. Ibadat yang
1[1] Muhammad Sya’roni Ahmadi, Terjemah Tashilut Thuruqot, (Jakarta:Pustaka, 1984), hal. 146
2[2] Chaerul Umam, Ahyar Aminudin, Ushu Fiqih II, ( Pustaka Setia: Bandung, 2001), hal. 131
3[3] Abdul Halim ‘Uways, Fiqih Statis dan Fiqih Dinamis, (Pustaka Hidayah: Bandung, 1998), hal.
181
lima ini bukanlah merupakan bidang berijtihad, karena orang yang keliru dalam bidang ini
dipandang berdosa, sedangkan masalah-masalah ijtihadiyah itu adalah masalah di mana orang
yang keliru dalam ijtihadnya tidak berdosa.
Masalah ke-dua: peristiwa yang dihadapi haruslah peristiwa yang hukumnya tidak
terdapat dalam nash. berdasarkan ini, maka ruang lingkup ijtihad dapat menampung kegiatan
panggilan hokum-hukum bagi peristiwa-peristiwa hokum baru pada saat tidak terdapatnya nash.
hal itu dilakukan dengan jalan berpegang pada tanda-tanda yang telah dipancangkan sebagai
petunjuk bagi hokum, seperti qiyas atau istihlah.4[4]
Dalam buku “Ilmu Ushul Fiqih karangan Prof.Abdul Wahhab Khallaf” ada dua lapangan
ijtihad yaitu:
1) Sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali.
2) Sesuatu yang ada nashnya namun tidak qath’i.
Tidak ada peluang untuk berijtihad mengenai sesuatu yang ada nashnya yang bersifat
qath’i.5[5]
Ada tiga hal yang harus diperhatikan:
1) Bahwa ijtihad itu tidak ada pembagian. Artinya, dia tidak menggambarkan adanya orang alim
sebagai mujtahid, dalam hokum talak, dan mujtahid yang lain dalam hokum jual beli. Atau
mujtahid dalam hokum menjatuhkan sanksi hukuman. Mujtahid adalah seorang yang ahli dan
teguh pendirian.
2) Mujtahid itu mendapat pahala. Orang-orang yang melakukan ijtihad itu mendapat dua pahala.
Satu, pahala untuk ijtihadnya, dan satu lagi kalau ijtihadnya itu benar. Kalau ijtihadnya itu salah,
masih mendapat satu pahala.
3) Ijtihad itu tidak boleh dibatalkan. Kalau mujtahid itu berijtihad untuk suatu masalah dan di
dalamnya itu dia menjatuhkan hukuman dengan hokum yang dijalankan kea arah itu oleh
ijtihadnya. Sudah itu dikemukakan pula kepadanya gambaran dari peristiwa ini lantas dia
4[4] Ibrahim Abbas Al Dzarwy “Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam cet. 1”, (Dina Utama Semarang:
Semarang 1993), hal. 31-32
5[5] Abdul Wahhab Khallaf “Ilmu Ushul Fiqih cet. 1”, (Dina Utama Semrang: Semarang 1994), hal.
340
melakukan ijtihad kepada hokum lain, di sini dia tidak diperbolehkan membatalkan hukumnya
yang lalu.6[6]
6[6] Abdul Wahhab Khallaf “Ilmu Ushul Fiqih cet. 4“, (PT. Rineka Cipta: Jakarta 1999), hal. 279-
281
7[7] Chaerul Umam, Ahyar Aminudin, Op.Cit. hal. 131.
8[8] Abdul Halim ‘Uways, Op.Cit, hal.187
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-
nisa:59)
dan firman-Nya yang lain :
“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.Al-Hasyr : 2)
Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan kepada Allah dan
Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an dan Hadits supaya meneliti
hukum-hukum yang ada alasannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang
lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan
merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka
untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan
ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).
2. Al-Hadits
: .Sabda Nabi SAW -
) (بخارى و مسلم.ٌاب فَلَهُ اَ ْج َرا ِن َواِ ِن ْجتَ َه َد فَا َ ْخطَأ َ فَلَهُ اَ ْج ٌر َوا ِحد
َ ص ْ اَ ْل َحا ِك ُم اِ َذا -
َ َ اجتَ َه َد فَا
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala
(pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian
tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits
riwayat Bukhari dan Muslim)
- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika Muadz
diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
َ َكيْف:س ْو ُل هللاِ لَ َّما أَ َرا َد أَنْ َي ْب َع َث ُم َعا ًذا الِ َي ا ْليَ َم ِن قَا َل
ُ ب ُم َعاذ ْب ِن َجبَ ِل إِنَّ َرِ ص َحا ٍ َ عَنْ أُنا
ْ َس ِّمنْ اَ ْه ِل َح َمص ِمنْ أ
: قَا َل.ِس ْو ِل هللا
ُ سنَّ ِة َرُ ِ فَب:ب هللا؟ قَا َل ِ فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد فِي ِكتَا: قَا َل.ِب هللا ِ ضى بِ ِكتَا ِ أَ ْق:ضا ٌء؟ قَا َل َ ض إِ َذا َع َر
َ َض لَكَ ق ِ تَ ْق
:صد َْرهُ َوقَا َل
َ ِس ْو ُل هللا َ َ ف. اَ ْجتَ ِه ُد َرا ْي ِئ َواَل آلُ ْو:ب هللاِ؟ قَا َل
ُ ض َر َب َر ِ س ْو ِل هللاِ َواَل فِي ِكتَا ُ سنَّ ِة َر ُ فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد فِي
.) (رواه ابوداود ِس ْو ُل هللا ُ ضي َر َ س ْو ِل هللاِ لَ َّما يَ ْر
ُ س ْو َل َر َ َّي َوف
ُ ق َر ْ اَ ْل َح ْم ُدهَّلِل ِ الَّ ِذ
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika
bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu
satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan
memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan
dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan
Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah
menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah
yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-
Nya.”(HR.Abu Dawud)
14
Ketika pemerintahan (khalifah) dipegang Bani Umayyah, para sahabat pergi
meninggalkan kota Madinah menuju ke kota-kota yang baru dibangun, seperti kuffah, makkah,
basrah, syam, mesir dll. Di ibukota-ibukota itu, mereka mengerjakan fiqih, mengembangkan
agama, dan meriwayatkan Hadits. Umat Islam di daerah-daerah itupun berdatangan ke kota-kota
pusat daerah untuk menerima fiqih dan ilmu para sahabat tersebut. Murid-murid para sahabat itu
dinamai tabi’in, sedangakan murid tabi’in dinamai tabi’it tabi’in. berkat pelajran-pelajaran itu,
banyak para tabi’in yang tersohor, yang pandai dalam urusan fiqih dan hokum Islam.
Ulama’ulama pada periode ini terbagi kepada dua golongan besar:
a. Golongan Ahli Hadits
b. Golongan Ahli Ra’yu (ahli qiyas)
5. Ijtihad dan Fiqih di Masa Bani Abbas
Pada permulaan bani abbaslahirlah imam-imam mujtahid kenamaan dari golongan ahli
hadits dan golongan ahli qiyas yang mempunyai pengikut dan telah membukukan fatwa-
fatwanya. Para imam mujtahidin yang timbul pada periode ini adalah imam yang empat, yang
terus menerus hingga masa kini mendpaat sambutan yang ramai dan banyak dianut orang.
Dalam periode-periode ini barulah dibuat aturan-aturan ijtihad disusun ushul fiqih dan
barilah ijtihad (hasil-hasil ijtihad) itu tampak jelas karena pada periode inilah fiqih itu dibukukan.
Pada periode ini pula para mujtahidin mulai memperluas (membuat) hukum dan membuat
macam-macam masalah yang di taqdir-taqdirkan. Pada periode sebelumnya, hokum-hukum itu
diberikan dan dicari, jika ada suatu kejadian. Pada periode ini muncul pula berbagai madzhab
dan berjangkitnya perselisihan dengan hebat dan luas.
1. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau
hukum.
Contoh ijma’ di masa sahabat nabi adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang
berbentuk lembaran- lembaran terpisah menjadi sebuah mushaf al-Qur’an yang seperti kita
saksikan sekarang ini.
2. Qiyas
menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh Al-Quran
dan As-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya
oleh Al-Quran atau Hadits, karena ada kesamaan sifat atau karakternya.
Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, vodka,
wisky, topi miring, dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr,
yaitu memabukkan. Khamr dalam al-Qur’an diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt. yang
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban
untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk
perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan
minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian
di antara kamu dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat
maka tidakkah kamu mau berhenti?" (Al-Maa’idah ayat 90-91)
3. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada kemanfaatan
suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at Islam. Misalkan seseorang wajib
mengganti atau membayar atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar
kesepakatan yang telah ditetapkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengertian Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum
syara’ dari dalilnya.
Ruang lingkup ijtihad ada dua lapangan ijtihad yaitu:
a. Sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali.
b. Sesuatu yang ada nashnya namun tidak qath’i.
Dasar hukum ijtihad:
a. Wajib ‘ain
b. Wajib Kifayah
c. Sunnah
d. Haram.
2. Macam-macam dan syarat ijtihad:
a. Ijtihad Fardhi
b. Ijtihad Jami’i.
Syarat-syarat ijtihad:
a. Benar-benar Muslim
b. Menguasai bahasa Arab
c. Mempunyai pengetahuan mengenai Al-Quran
d. Mengetahui sunnah
e. Mengetahui segi-segi qiyas
f. Mengetahui kesepakatan-kesepakatan para ulama
g. Memahami istinbath hukum dari dalil-dalil
h. Memahami tujuan-tujuan syariat.
3.Bentuk-bentuk ijtihad
a. Ijma
b. Qiyas
c. Maslahah Mursalah
a.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim ‘Uways, 1998, Fiqih Statis dan Fiqih Dinamis, Pustaka Hidayah: Bandung.
Chaerul Umam, Ahyar Aminudin, 2001, Ushu Fiqih II, CV. Pustaka Setia: Bandung.
Dr. Ibrahim Abbas Al Dzarwy, 1993,“Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam cet. 1”, CV. Dina Utama
Semarang: Semarang .
Muhammad Sya’roni Ahmadi, Terjemah Tashilut Thuruqot, 1984
Prof. Abdul Wahhab Khallaf , 1999,“Ilmu Ushul Fiqih cet. 4“, PT. Rineka Cipta: Jakarta .
Prof. Abdul Wahhab Khallaf 1994, “Ilmu Ushul Fiqih cet. 1”, Dina Utama Semrang: Semarang .
i