Anda di halaman 1dari 23

I.

Identitas Pasien
Nama : Ny.M
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Bawen
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
No CM : 064xxx
Tanggal Kontrol Poli RS : 12/01/18

II. Data Dasar


Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis (suami pasien) pada 14 Januari 2018 pukul
11.30 WIB di rumah pasien.

II.1 Keluhan Utama


Lemas pada kedua tangan dan kaki.

II.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli saraf RSUD Ambarawa dengan keluhan lemas pada kedua tangan
dan kaki sejak ± 3 bulan SMRS. Keluhan lemas ini sudah diderita pasien sejak 1 tahun yang
lalu namun semakin memberat sampai menganggu aktivitas pada 3 bulan terakhir ini.
Keluhan lemas dirasakan hilang-timbul. Lemas terutama timbul/bertambah berat pada siang
atau sore hari jika pasien beraktivitas dan hilang/berkurang pada pagi hari setelah pasien
bangun tidur atau beristirahat. Selain itu pasien juga merasakan kelopak mata sebelah kanan
lebih turun dibandingkan kelopak mata kirinya sejak 6 bulan yang lalu. Pasien menyadari
kelopak mata sebelah kanan lebih turun hampir separuhnya dari kelopak mata kiri dan
terkadang disertai penglihatan ganda terutama ketika mata lelah karena banyak membaca atau
menonton televisi dalam waktu yang lama dan pulih kembali setelah pasien beristirahat.
Pasien juga mengeluhkan sejak 2 bulan terakhir ini. ketika ia berbicara terlalu banyak,
semakin lama suaranya semakin serak, melemah dan bahkan menghilang tetapi pasien masih
dapat memberikan jawaban dengan jelas. Keluhan bahu dan leher bagian belakang terasa
berat sehingga pasien ingin menunduk saja serta cepat lelah jika beraktifitas namun pulih
1
kembali setelah beristirahat juga dirasakan oleh pasien. Keluhan lain seperti sulit menelan,
suara sengau, sulit mengunyah, sesak nafas, pusing, mual-muntah, kelemahan anggota gerak,
bicara pelo, tremor, kesemutan/kebas/kekakuan anggota gerak, demam, batuk-batuk lama dan
penurunan berat badan disangkal oleh pasien. BAK dan BAB tidak terdapat keluhan. Dipoli
dokter spesialis saraf menduga pasien menderita miastenia gravis, kemudian dokter
menyarankan pasien untuk dirujuk ke RS Karyadi namun pasien menolak karena kendala
tempat sehingga dokter memberikan obat mestinon tablet 2x1. Pasien mengatakan setelah
mengkonsumsi obat mestinon selama 3 minggu, keluhan yang dialami pasien berangsur
membaik.

II.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sudah menderita servical syndrom sejak 1 tahun yang lalu dengan keluhan nyeri
pada leher yang menjalar ke bahu. Pasien rajin kontrol ke poli saraf untuk keluhan cervical
sindrom. Di poli saraf keluhan servical sindrom ini sudah diobati dengan meticobalamin
2x500 mg dan paracetamol 2x650 mg. Selain itu pasien juga sudah memakai collar neck dan
rutin kontrol ke fisioterapi sehingga keluhan berangsur membaik.

II.4 Riwayat Pengobatan


Pasien Pasien mengatakan setelah mengkonsumsi obat mestinon selama 3 minggu,
keluhan yang dialami pasien berangsur membaik.

II.5 Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama : disangkal
2. Riwayat Hipertensi, DM , keganasan : disangkal

II.6 Riwayat pribadi dan Sosial Ekonomi


Pasien tinggal dirumah bersama suaminya saja. Kedua anak pasien sedang berkuliah
diluar kota. Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk dengan higienitas yang cukup baik.
Kesan ekonomi pasien menengah. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS non PBI. Pasien
tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman keras dan bukan pengguna obat-obatan
terlarang. Pasien berprofesi sebagai wiraswasta. Pasien sehari-hari bekerja di rumahnya
membuat keripik gembus bersama suaminya.

2
II.7 Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal : tidak ada keluhan
Sistem neurologi : kelopak mata kanan turun (+), penglihatan ganda (+),
suara mengecil (+)
Sistem kardiovaskular : tidak ada keluhan
Sistem respiratorius : tidak ada keluhan
Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
Sistem urogenital : tidak ada keluhan
Sistem musculoskeletal : lemas pada kedua tangan dan kaki (+), bahu dan leher
terasa berat dan cepat lelah (+)
Sistem integumen : tidak ada keluhan

II.8 Resume Anamnesis


Pasien perempuan berusia 44 tahun datang dengan keluhan lemas pada kedua tangan
dan kaki sejak ± 3 bulan SMRS. Keluhan lemas ini sudah diderita pasien sejak 1 tahun yang
lalu namun semakin memberat sampai menganggu aktivitas pada 3 bulan terakhir ini.
Keluhan lemas dirasakan hilang-timbul. Lemas bertambah berat pada siang atau sore hari jika
pasien beraktivitas dan berkurang pada pagi hari setelah pasien bangun tidur atau beristirahat.
Selain itu pasien juga mengeluh kelopak mata sebelah kanan lebih turun dibandingan mata
kirinya yang terkadang disertai dengan penglihatan ganda saat terlalu lama
membaca/menonton tv (+), suara serak dan makin mengecil ketika terlalu banyak berbicara
(+), bahu dan leher terasa berat dan cepat lelah (+) saat jika beraktifitas namun pulih kembali
setelah beristirahat. Keluhan lain seperti sulit menelan, suara sengau, sulit mengunyah, sesak
nafas, pusing, mual-muntah, kelemahan anggota gerak, bicara pelo, tremor,
kesemutan/kebas/kekakuan anggota gerak, demam, batuk-batuk lama, penurunan berat badan,
konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama disangkal oleh pasien. Dipoli dokter
spesialis saraf menduga pasien menderita miastenia gravis, kemudian pasien diberikan obat
mestinon tablet 2x1. Pasien mengatakan setelah mengkonsumsi obat mestinon selama 3
minggu, keluhan yang dialami pasien berangsur membaik.

3
III. Diskusi I
Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan maka dapat didiagnosis secara klinis
pasien mengalami miastenia gravis. Pada miastenia gravis awitan biasanya tidak jelas dan
progresivitas relatif lambat. Hal ini sesuai dengan keluhan pasien yang sudah berlangsung
selama beberapa bulan. Keluhan pertama pasien adalah adanya keluhan pada mata yaitu
kelopak mata kanan lebih turun dan penglihatan menjadi ganda. Hal ini sesuai teori MG
dimana pada 90% kasus, awal mulanya mengeluh kelemahan otot levator palpebrae (ptosis)
dan otot ekstraokuler (diplopia). Ptosis kemudian akan diikuti dengan kesulitan menutup
mata (dikarenakan kelemahan m.orbicularis oculi). Keluhan pada mata relatif lebih dirasakan
mengganggu ketimbang kelemahan pada otot lainnya.
Pada stadium selanjutnya akan mengenai otot wajah, otot pengunyah, otot menelan dan
otot untuk bicara (pada 80% kasus). Setelah banyak bicara suara dapat menghilang dan
menjadi sengau. Otot leher, gelang bahu dan panggul jarang terkena. Bila otot leher terkena,
maka ada keluhan sulit untuk mempertahankan posisi tegak kepala. Pada kasus yang parah,
semua otot terkena termasuk otot abdomen, interkostal,diafragma bahkan otot sfingter
kandung kemih dan anus. Sifat kelemahan pada miastenia gravis bersifat fluktuatif, gejala
bervariasi dari hari ke hari dan dari jam ke jam, biasanya akan membaik pada pagi hari atau
saat istirahat dan memburuk pada saat siang/sore hari saat aktivitas. Hal ini sesuai dengan
keluhan yang dialami pasien saat ini dimana semua keluhan seperti kelopak mata jatuh ,
penglihatan ganda, suara serak dan mengecil, leher dan bahu terasa berat serta cepat lelah saat
jika beraktifitas namun pulih kembali setelah beristirahat. Selain itu riwayat pengobatan
dimana pasien mempunyai responsi yang baik terhadap pemberian obat mestinon dapat
memperkuat kecurigaan terhadap miastenia gravis. Sehingga pada kasus ini kecurigaan
bahwa pasien mengalami miastenia gravis ditegakan atas dasar gambaran klinis yang khas
dan responsi yang baik terhadap pemberian obat mestinon.

4
IV. Miastenia Gravis
IV.1 Definisi
Miasthenia gravis (MG) adalah suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh
rusaknya reseptor asetilkolin pada post sinaptik sehingga menganggu transmisi
neuromuscular dan menyebabkan kelemahan dan kelelahan otor rangka.1,2 Sedangkan krisis
miastenik adalah salah satu kegawatan neurologi yang terjadi pada kasus-kasus MG. Krisis
miastenik ditandai oleh kelemahan otot-otot bulbar dan otot pernafasan. Krisis miastenia
adalah komplikasi MG yang paling berbahaya dan mengancam hidup yang memerlukan
perawatan intensif. Krisis miastenia biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama setelah onset MG
(74% pasien) dan 15-20% pasien dengan MG akan mengalami krisis miastenia.3,4

IV.2 Epidemiologi
Insiden MG bervariasi antara 1-9 kasus/1000 penduduk, sedangkan prevalensi MG
diperkirakan antara 25-142 kasus/1000 penduduk. MG lebih banyak dijumpai pada wanita
ketimbang pria. Usia puncak pada wanita yaitu 20-24 tahun dan 70-75 tahun, sedangkan pada
pria 30-34 tahun dan 70-74 tahun.2

IV.3 Faktor Pencetus


Sebuah studi menunjukan 38% kasus krisis miastenik dipresipitasi oleh adanya infeksi
sebelumnya. Infeksi yang paling sering adalah pneumonia bakterialis. Kondisi lain yang
dapat menyebabkan krisis miastenik antara lain penggunaan obat-obatan tertentu, pneumonia
aspirasi, premenstruasi, stess fisik dan psikis, suhu ekstrim, nyeri, kurang tidur, dan
kehamilan. Namun perlu diingat, sekitar sepertiga sampai setengah dari pasien dengan krisis
miastenik tidak dijumpai faktor pemicunya.3,4
Kortikosteroid dapat digunakan dalam pengobatan MG, namun di sisi lain pengobatan
awal dengan prednison dapat menyebabkan eksaserbasi krisis miastenik. Krisis miastenik
yang disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid berkisar antara 9-18%.3,4

5
Tabel 1. Obat-obatan yang menginduksi krisis miastenik

IV.4 Patofisiologi
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka
membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan
dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung
dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan
perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan
depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini
mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan
dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu
serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati
hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.6
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam
penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps.
Membran  postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak

6
antara membran  presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin
dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu
jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end
plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat
berlangsung lama.7,8

Gambar 1. Perbandingan NMJ normal dan NMJ pada MG

IV.5 Manifestasi Klinis 3


1. Gejala utama MG adalah kelemahan otot yang selalu sebelumnya terjadi kelelahan otot
akibat aktivitas.
2. Kelemahan yang timbul bersifat intermitten/fluktuatif
3. Berdasar distribusi otot yang terkena :
 otot-otot penggerak kelopak mata, menyebabkan diplopia(41%)
 otot kelopak mata menyebabkan ptosis (25%)
 Otot lidah menyebabkan disatria (16%)
 Otot-otot ekstremitas bawah menyebabkan gangguan gerak flasid (13%)
 Kelemahan otot tubuh secara umum (11%)
 Otot menelan-bulbar : kesulitan menelan(11%)
 Otot-otot ekstremitas atas meyebabkan kelemahan yang bersifat flasid (7%)
 Otot-otot pengunyah (7%)
 Otot leher dan pernafasan akan menyebabkan gangguan nafas sampai gagal nafas.

7
Gambar 2. Tanda dan gejala miasthenia gravis

IV.6 Klasifikasi
IV.6.1 Klasifikasi Osserman (derajat keparahan penyakit) 1
I. Miastenia Okuler
II. A. Miastenia umum derajat ringan : progresivitasnya lambat, tak terjadi krisis dan
respon terhadap obat baik.
B. Miastenia umum derajat sedang : terjadi kelemahan berat pada otot skeletal dan
bulber, tak terjadi krisis, tapi respons tehadap obat kurang memuaskan.
III. Miastenia Fulminasi Akut :
Gejala-gejala memberat dengan sangat cepat, terjadi krisis pernafasan, respons terhadap
obat sangat buruk, sering ditemukan adanya timoma, mortalitas sangat buruk.
IV. Miastenia berat yang berkembang lamban :
Klinis seperti golongan III, tapi memerlukan waktu lebih dari 2 tahun untuk beralih dari
golongan I atau II.

Distribusi penderita MG berdasar klasifikasi di atas : golongan I mencakup 20 %


penderita dan biasanya tak pernah masuk ke Unit Perawatan Intensif. Dua puluh lima persen
penderita pada saat awitan masuk golongan II-A, sedang golongan II-B meliputi 30 %
penderita dan golongan III sebanyak 10 %.

8
IV.6.2 Klasifikasi Myathenia Gravis Foundation ( klinis ) 1

Tabel 2 . Klasifikasi Myasthenia berdasarkan klinis dari MGFA

IV.6.3 Klasifikasi berdasarkan onset 8


 Early onset MG (usia onset <50, terdapat hiperplasia timus, banyak dijumpai pada wanita)
 Late onset MG (usia onset >50, terdapat atrofi timus, banyak dijumpai pada laki-laki)

IV.6.4 Klasifiaksi berdasarkan Anti- AChR antibodies


a. Seropositif
Tipe ini merupakan tipe yang paling banyak dari acquired autoimmune MG. Hampir 85%
penderita generalized MG dan 50%-60% penderita ocular myasthenia menunjukkan hasil

yang positif untuk anti-AChR antibody dengan radioimmunoassay.8 Antibodi AChR hampir
selalu dijumpai pada pasien MG dengan timoma. Selain itu, pasien tymoma associated MG
juga memiliki antibodi antivoltage gated K+ dan Ca2+, anti-Hu, antidihydropyrimidinase
related protein 5, dan antiglutamic acid decarboxylase).8

9
b. Seronegatif
Lebih kurang 15% pasien MG tidak ditemukan adanya antibodi AChR dan 40% di antaranya
didapatkan adanya antibodi MuSK. Pada pasien-pasien ini pada umumnya didapatkan gejala
kelemahan otot nafas, paralisis bulbar, kelemahan otot leher, namun jarang dijumpai adanya
gangguan pada otot mata. MG yang tidak dijumpai adanya antibodi anti AChR dan anti
MuSK disebut dengan MG seronegative. MG seronegatif hanya memiliki gejala mata saja.8

IV.7 Diagnosis
IV.7.1 Anamnesis
Awitan biasanya tidak jelas dan progresivitas relatif lambat. Biasanya diawali dengan
mata, muka, rahang tenggorok dan leher. Tetapi ditemui juga yang mulai dengan ekstremitas.
Sembilan puluh persen kasus, awal mulanya mengeluh kelemahan otot levator palpebrae
(ptosis) dan otot ekstraokuler (diplopia). Ptosis kemudian akan diikuti dengan kesulitan
menutup mata (dikarenakan kelemahan m.orbicularis oculi). Dan bisa juga ditemui suatu
tanda Cogan twitch pada mata yang ptosis. Pasien biasanya datang ke dokter dengan keluhan
pada mata yaitu melihat dobel atau kelopak mata sulit membuka. Keluhan pada mata relatif
lebih dirasakan mengganggu ketimbang kelemahan pada otot lainnya. Pada stadium
selanjutnya muncul akan mengenai otot wajah, otot pengunyah, otot menelan dan otot untuk
bicara (pada 80% kasus). Setelah banyak bicara suara dapat menghilang dan menjadi sengau.
Otot leher, gelang bahu dan panggul jarang terkena. Lebih sering terkena adalah m.erector
spinae. Bila otot leher terkena, maka ada keluhan sulit untuk mempertahankan posisi tegak
kepala. Pada kasus yang parah, semua otot terkena termasuk otot abdomen,
interkostal,diafragma bahkan otot sfingter kandung kemih dan anus. Kelemahan yang timbul
sering didahului emosional upset dan infeksi. Sifat kelemahan akan membaik pada pagi hari
atau saat istirahat, kelemahan yang sedang atau berat bisa berlangsung sampai 1 bulan. Gejala
pada mata (diplopia atau pandangan kabur) akan memburuk saat membaca lama, menonton
TV, menyetir kendaraan atau mengunyah dalam waktu lama.7

10
IV.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien MG meliputi otot yang terkena atau
dicurigai terkena, antara lain :1,2
1. Kelemahan otot penggerak bola mata/kelopak mata penderita disuruh melirik
ke atas selama 30 detik akan terjadi kelopak mata dan bola mata akan turun ke bawah
atau bola mata mata melirik ke samping akan terjadi gangguan
2. Kelemahan m. Levator palpebra akan terlihat bila pasien diminta untuk
melihat ke atas selama 1 menit, kelemahan ini akan membaik setelah pasien diminta
untuk menutup mata secara maksimal (Tes Wartenberg)

Gambar 3. Tes Wartenberg


3. Diplopia stress test yaitu pasien diminta untuk melihat ke samping secara
maksimal selama 30 detik
4. Pasien diminta tidur terlentang dan melihat ke arah ujung jari kaki selama 60
detik, bila positif akan muncul gejala diplopia
5. Red glass test yaitu gelas berwarna merah diletakan pada depan mata kanan
dan sumber cahaya diletakan pada depan mata kiri, hal ini berfungsi untuk memeriksa
apakah terdapat pandangan dobel
6. Tanda Cogan yaitu tampak kedutan transien pada kelopak mata segera setelah
pasien diminta untuk melihat ke bawah dan ke atas secara cepat
7. Otot menelan (bulbair palsy):penderita di suruh menghitung berurutan agak
lama, angka-angka (1-50) akan terjadi kelemahan suara jadi bindeng atau serak
(Counting Test)
8. Anggota gerak : penderita di suruh menggerakkan anggota gerak abduksi ke
atas kira-kira 20 kali atau menggerakkan tangan ke arah mulut dan dibandingkan akan
terjadi kelemahan
9. Flexi leher lebih lemah pada waktu ekstensi leher

Tes Prostigmine
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau
11
subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.2,6

Tes Edrophonium
Edrophonium (Tensilon) adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat
bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau
hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia
gravis. Tes ini dijumpai >90% positif pada pasien dengan MG.2,6
Tes dilakukan dengan cara menyuntikan 2 mg edrophonium intravena. Pemeriksa harus
memperhatikan munculnya efek samping seperti sesak nafas, atrial fibrilasi, dan bradikardi.
Observasi dilakukan selama 2 menit, apabila tidak ada efek samping yang muncul maka
dapat diberikan edrophonium lagi hingga dosis maksimal 8 mg. Tes dianggap positif apabila
ada perbaikan kekuatan otot yang jelas dalam waktu 30-45 menit setelah penyuntikan.
Perbaikan kekuatan otot akan bertahan selama 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif,
maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan
sindrom miastenik.2,6

Gambar 4. Sebelum dan setelah tes edrophonium


Ice test
Prinsip dari pemeriksaan ini adalah fungsi otot pada pasien pasien MG akan membaik
pada kondisi temperatur yang rendah. Hal ini disebabkan oleh aktivitas AChE akan turun
pada temperatur yang rendah dan efek depolarisasi ACh akan meningkat pada NMJ.2,6
Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengkompres keloopak mata yang tertutup dengan
es selama 2 menit. Hasil dianggap positif bila celah kelopak mata membuka lebih dari 2 mm
daripada sebelumnya.2,6

12
Gambar 5. Sebelum dan setelah ice test
IV.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi 9
 Chest x-ray dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen
thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
 Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
 MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

Gambar 6 CT scan othoraks memperlihatkan massa pada bagian anterior mediastinum


pada pasien dengan myasthenia gravis.

Pemeriksaan antibodi anti AChR& anti MuSK


Antibodi anti AChR dapat ditemukan pada 85% pasien dengan MG dengan gejala
general dan 50% pada pasien MG okuler. Hasil yang positif merupakan diagnosis definitif
MG, namun jika dijumpai hasil yang negatif kemungkinan MG belum dapat disingkirikan.
Antibodi anti MuSK didapatkan pada 40% pasien dengan hasil pemeriksaan antibodi anti
AChR yang negatif. Besar kecilnya kadar antibodi yang terdeteksi dalam serum tidak
menggambarkan derajat keparahan penyakit MG.10
Selain pada MG, antibodi anti AChR yang positif juga dapat dijumpai pada pasien
dengan systemic lupus erythematosus, inflammatory neuropathy, amyothropic lateral
sclerosis, rheumatoid arthritis dengan pengobatan D-penicillamine, dan timoma tanpa gejala

13
MG.10

Single-fiber Electromyography (SFEMG)


Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat
otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial
diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density
(jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan
jitter dan fiber density yang normal.

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)


Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga
pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

Gambar 7. Gambaran decrement pada EMG RNS

V. Diagnosis Sementara
Diagnosis klinik : ptosis unilateral, diplopia, disfonia, astenia, fatique
Diagnosis topis : neuromuscular junction
Diagnosis etiologi : autoimmune susp myasthenia gravis dd/ guillain barre syndrome,
periodiuc paralysis hypokalemic, lambert-eaton myasthenic
syndrome (LEMS)
Diagnosis tambahan : cervical syndrom

14
VI. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 14 Januari 2018 pukul 13.00 WIB

VI.1 Status Praesens :


KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (GCS E4-V5-M6)

Tanda Vital : TD130/80 mmHg RR20 x/menit


HR87 x/menit T  36,4℃
Antropometri : BB  84 kg
TB  163 cm
BMI  31.62 (obesitas)

VI.2 Status Internus


Kepala : normocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP tidak meningkat, kelenjar tiroid dbn
Thoraks : tidak ada deformitas
Pulmo dan Cor : sonor, vesikuler di seluruh lapangan paru, suara tambahan (-)
Abdomen : hepar dan lien tidak teraba, supel, NT (-)
Ekstremitas : edema (-), atrofi otot (-), deformitas (-)

VI.3 Status Psikiatri


Tingkah laku : normoaktif
Perasaan hati : normoritmik
Orientasi : dalam batas normal
Kecerdasan : dalam batas normal
Daya ingat : dalam batas normal

VI.4 Status Neurologis


Mata : pupil isokor 3 mm/ 3mm, refleks cahaya +/+, refleks kornea +/+,
ptosis OD (+/-)
nervi craniales : parese N.III, IV,VI ,X
Leher : meningeal sign kaku kuduk (-)
Badan
- Kolumna vertebralis : dbn
- Sensibilitas : dbn

15
- Vegetatif : dbn

Nervus Cranialis
Lubang hidung Lubang hidung
N. I (OLFAKTORIUS)
Kanan Kiri
Daya Pembau N N

N. II (OPTIKUS) Mata Kanan Mata Kiri


Daya Penglihatan N N
Pengenalan Warna N N
Sulit dinilai karena
Medan Penglihatan N
mata kanan ptosis

N. III (OKULOMOTORIS) Mata Kanan Mata Kiri


Ptosis + -
Gerak Mata Ke Atas - +
Gerak Mata Ke Bawah + +
Gerak Mata Ke Media + +
Ukuran Pupil 3 mm 3 mm
Bentuk Pupil Isokor Isokor
Reflek Cahaya Langsung + +
Reflek Cahaya Konsesuil + +
Strabismus Divergen - -
Diplopia + -

N. IV (TROKHLEARIS) Mata Kanan Mata Kiri


Gerak Mata Lateral Bawah + +
Strabismus Konvergen - -
Diplopia + -

N. V (TRIGEMINUS) Kanan Kiri


Mengigit N N
Membuka Mulut N N
Sensibilitas Muka Atas N N
Sensibilitas Muka Tengah N N
Sensibilitas Muka Bawah N N
Reflek Kornea + +
Trismus - -

N. VI (ABDUSEN) Mata Kanan Mata Kiri


Gerak Mata Lateral Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Starbismus Konvergen - -
Diplopia + -

16
N. VII (FASIALIS) Kanan Kiri
Kerutan Kulit Dahi + +
Menutup Mata + +
Lipatan Nasolabial + +
Sudut Mulut + +
Tik Fasial - -

N. VIII (AKUSTIKUS) Kanan Kiri


Mendengar Suara Berbisik Normal Normal
Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. IX
KANAN KIRI
(GLOSSOFARINGEUS)
Arkus Faring Simetris Simetris
Daya Kecap 1/3 Belakang Normal Normal
Reflek Muntah Normal Normal
Sengau - -
Tersedak - -

N. X (VAGUS) Kanan Kiri


Arkus faring Simetris Simetris
Reflek muntah Normal Normal
Bersuara Disfonia (+)
Menelan + +

N. XI (AKSESORIUS) Kanan Kiri


kontur otot
kontur otot tegas
tegas dan
Memalingkan Kepala dan konsistensi
konsistensi
keras, adekuat
keras, adekuat
Sikap Bahu simetris Simetris
Mengangkat Bahu adekuat Adekuat
Trofi Otot Bahu - -

N. XII (HIPOGLOSUS)
Sikap lidah Tidak ada Deviasi
Artikulasi Cukup jelas
Menjulurkan lidah Tidak ada Deviasi
Fasikulasi lidah -

17
VI.5 Motorik

B B 4+ 4+ N N Eu Eu
G B B K 4+ 4+ Tn N N Tr Eu Eu
+ + – –
RF + + RP – – Cl –

VI.6 Pemeriksaan Khusus


 Tes Wartenberg (+ )
 Cogan lid twitch (+)
 Tes counting (+)

VI.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium 12/01/2018

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN


KIMIA KLINIK
SGOT 16 0 – 35 U/L
SGPT 13 0 – 35 U/L
Ureum 20.4 10 – 50 mg/dL
Kreatinin 0.82 (H) 0.45 – 0.75 mg/dL
Calsium 8.0 (L) 8.8-10.2 mg/dL
Natrium 139 136-146 mmol/L
Kalium 3.5 3.5-5.1 mmol/L
Chlorida 104 98-106 mmol/L

Rontgen Thoraks PA 12/01/2018

18
Kesan:
 Kardiomegali
 Pulmo tidak tampak infiltrat
 Tidak tampak hiperplasia timus atau maasa mediastinum anterior (timoma)  konsul
dr.Novita spRad saran rontgen thoraks lateral dextra atau ct-scan

19
VII. Diskusi II
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos
mentis, GCS 15 (E4M6V5) dengan tanda vital: TD: 130/80 mmHg, N: 87x/menit,
RR: 20x/menit, S: 36,4oC. Pada pemeriksaan nervus cranialis diidapatkan adanya
parese N.III ditandai dengan adanya ptosis pada palpebra kanan pasien, Parase N.IV
dan N.VI ditandai dengan adanya diplopia, serta N.X ditandai dengan disfonia. Hal
ini sesuai dengan teori dimana pada MG keluhan yang paling sering terjadi adalah
keluhan pada wajah yang mengenai otot eksta okular dan okular sehingga timbul
manifstasi ptosis dan diplopia serta otot orofaringeal yang menimbulkan disfonia.
Sehingga berdasarkan derajat keparahannya pasien termasuk kedalam kategori MG
ringan stadium II yang ditandai dengan kelemahan otot okular yang semakin parah,
serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Pada pemeriksaan counting test didapatkan hasil (+) dimana penderita disuruh
menghitung 1-100 maka akan terjadi kelemahan suara menjadi serak dan menghilang
secara bertahap. Sedangkan pada test wartenberg (+) penderita diminta untuk
memandang objek yang letaknya lebih tinggi antara kedua bola mata selama >30
detik maka akan terlihat ptosis dengan reaksi pupil tetap normal pada penderita MG
namun kelemahan ini akan membaik setelah pasien diminta untuk menutup mata
secara maksimal. Tanda Cogan (+) yaitu tampak kedutan transien pada kelopak mata
segera setelah pasien diminta untuk melihat ke bawah dan ke atas secara cepat.
Pemeriksaan khusus pada MG ini yang menunjukan hasil (+) dapat memperkuat
diagnosis MG karena tes provokasi ini mencetuskan terjadinya kelelahan otot pada
pasien. Hal ini sesuai dengan teori MG dimana keluhan biasanya diperberat oleh
aktivitas dan membaik setelah pasien beristirahat.
Pemeriksaan penunjang laboratorium elektrolit dilakukan untuk mencari
penyebab kelemahan otot pada pasien sehingga dapat menyingkirkan diagnosis
banding periodic paralysis hipokalemia karena pada pasien ini tidak ditemukan
adanya penurunan kalium. Sedangkan pemeriksaan rontgen thoraks dilakukan untuk
mencari tahu ada tidaknya hiperplasia timus ataupun timoma dikarenakan
myasthenia gravis sering terjadi bersamaan dengan timoma (15%) dan hiperplasi
timus (65%). Kelenjar timus terdiri atas sel myoid yang mengandung AChR. Sel
limfosit B dan T yang diproduksi kelenjar timus akan merusak AChR sehingga

20
menimbulkan manifestasi kelemahan otot. Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks
PA pada pasien ini tidak didapatkan adanya kesan hiperlasia timus maupun timoma.
Hal ini terjadi dikarenakan foto toraks tidak sensitif untuk skreening timoma. Hasil
roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya timoma ukuran kecil
sehingga terkadang perlu dilakukan CT-Scan thoraks untuk mengidentifikasi timoma
pada semua kasus miastenia gravis. Oleh karena itu untuk dapat memperkuat
diagnosis miastenia gravis sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya
seperti pemeriksaan serologis antibodi anti AChR& anti MuSK, elektrofisiologi
Single-fiber Electromyography (SFEMG) & Repetitive Nerve Stimulation (RNS) dan
bipsi kelenjar timus.

VIII. Diagnosis Akhir


Diagnosis klinik : ptosis unilateral, diplopia, disfonia, astenia, fatique
Diagnosis topis : neuromuscular junction
Diagnosis etiologi : autoimun susp miastenia gravis dd/ guillain barre syndrome,
periodiuc paralysis hypokalemic, lambert-eaton myasthenic
syndrome (LEMS)
Diagnosis tambahan : cervical syndrom

IX. Terapi
1. Non Medikamentosa
 Tirah Baring
 Edukasi keluarga mengenai penyakitnya
- Diagnosis pasien
- Tata laksana yang akan dilakukan
- Prognosis dari penyakit yang diderita pasien
2. Medikamentosa
 Mestinon tab 2x60 mg
 Lactas calsicus 2x1

X. Plan
1. Tes Prostigmin dan edrophonium (tensilon test)
2. CT Scan thoraks

21
3. Serologi ( antibodi anti AChR & anti MuSK )
4. Elektrofisiologi (SFEMG & RNS)
5. Biopsi timus

XI. Prognosis
Death : Ad bonam
Disease : Dubia ad bonam
Dissability : Dubia ad bonam
Discomfort : Dubia ad bonam
Dissatisfaction: Dubia ad bonam
Distutition : Dubia ad bonam

XII. Diskusi III


Pada pasien ini diberikan AChEIs sebagai tata laksana medikamentosa yaitu
piridostigmin (mestinon) 2x60 mg. Hal ini sesuai dengan teori dimana AChEIs masih
merupakan pengobatan lini pertama pada tahap awal MG atau apabila dijumpai
gejala yang masih ringan. Pasien ini termasuk kedalam MG derajat IIa sehingga
pemberian AchEIs akan sangat bermanfaat. AchEIs bekerja dengan cara
memperlambat degradasi ACh oleh AChE. AChEIs akan meningkatkan kadar ACh
di celah sinaps dan dengan demikian akan mengkompensasi jumlah AChR yang
sedikit. Namun, AChEIs hanya merupakan pengobatan simtomatik dan tidak
mengobati penyebab utama MG. Efek samping yang sering muncul adalah gangguan
gastrointestinal yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas muscarinic.
Gangguan tersebut antara mual, muntah, kram perut, dan diare. Efek samping ini
dapat diobati dengan pemberian antimuscarinics (loperamide hidroklorida,
diphenoxylate hidroklorida, bromide propantheline) tanpa mengurangi efek nicotinic
AChEIs. Pemberian AChEIs dapat menyebabkan krisis kolinergik yang ditandai oleh
kelemahan otot yang lebih besar disertai dengan peningkatan sekresi bronkial, diare,
sakit perut, hipersalivasi dan bradikardia sehingga pemberian AChEIs harus
dihentikan pada kasus krisis miastenik.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Amato AA, Russel JA. Neuromuscular Disorders. New York: The McGraw-Hill
Companies; 2008.
2. Drachman DB. Myasthenia Gravis. The New England Journal of Medicine.
1994;330(25):1797-810.
3. Chaudhuri A, Behan P. Myasthenic crisis. QJ Med. 2009;102:97-107.
4. Godoy DA, Mello LJVd, Masotti L, Napoli MD. The myasthenic patient in
crisis: an update of the management in Neurointensive Care Unit. Arq
Neuropsiquiatr. 2013;1(9):628-43.
5. Baehr M, Frotscher M. Duus' Topical Diagnostic in Neurology. New York:
Thieme Stuttgart; 2005.
6. Schneider-Gold C, Toyka KV. Myasthenia Gravis: Pathogenesis and
Immunotherapy. Dtsch Arztebl. 2007;104(7):420-6.
7. Hughes BW, Casillas MLMD, Kaminski HJ. Pathophysiology of Myasthenia
Gravis. Seminars in neurology. 2004;24(1):21-31.
8. Trouth AJ, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M, Kalyanam J. Myasthenia
Gravis: A Review. Autoimmune Diseases. 2012;20(12):346-53.
9. Jani-Acsadi A, Lisak RP. Myasthenic crisis: Guidelines for prevention and
treatment. Journal of the Neurological Sciences. 2007;261:127-33.
10. G. O. Skeiea, S. Apostolskib, A. Evolic, N. E. Gilhusd, I. Illae, L. Harmsf, et al.
Guidelines for treatment of autoimmune neuromuscular transmission
disorders. European Journal of Neurology. 2010;11:143-56.

23

Anda mungkin juga menyukai