Presus Miastenia Gravis Revisi
Presus Miastenia Gravis Revisi
Identitas Pasien
Nama : Ny.M
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Bawen
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
No CM : 064xxx
Tanggal Kontrol Poli RS : 12/01/18
2
II.7 Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal : tidak ada keluhan
Sistem neurologi : kelopak mata kanan turun (+), penglihatan ganda (+),
suara mengecil (+)
Sistem kardiovaskular : tidak ada keluhan
Sistem respiratorius : tidak ada keluhan
Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
Sistem urogenital : tidak ada keluhan
Sistem musculoskeletal : lemas pada kedua tangan dan kaki (+), bahu dan leher
terasa berat dan cepat lelah (+)
Sistem integumen : tidak ada keluhan
3
III. Diskusi I
Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan maka dapat didiagnosis secara klinis
pasien mengalami miastenia gravis. Pada miastenia gravis awitan biasanya tidak jelas dan
progresivitas relatif lambat. Hal ini sesuai dengan keluhan pasien yang sudah berlangsung
selama beberapa bulan. Keluhan pertama pasien adalah adanya keluhan pada mata yaitu
kelopak mata kanan lebih turun dan penglihatan menjadi ganda. Hal ini sesuai teori MG
dimana pada 90% kasus, awal mulanya mengeluh kelemahan otot levator palpebrae (ptosis)
dan otot ekstraokuler (diplopia). Ptosis kemudian akan diikuti dengan kesulitan menutup
mata (dikarenakan kelemahan m.orbicularis oculi). Keluhan pada mata relatif lebih dirasakan
mengganggu ketimbang kelemahan pada otot lainnya.
Pada stadium selanjutnya akan mengenai otot wajah, otot pengunyah, otot menelan dan
otot untuk bicara (pada 80% kasus). Setelah banyak bicara suara dapat menghilang dan
menjadi sengau. Otot leher, gelang bahu dan panggul jarang terkena. Bila otot leher terkena,
maka ada keluhan sulit untuk mempertahankan posisi tegak kepala. Pada kasus yang parah,
semua otot terkena termasuk otot abdomen, interkostal,diafragma bahkan otot sfingter
kandung kemih dan anus. Sifat kelemahan pada miastenia gravis bersifat fluktuatif, gejala
bervariasi dari hari ke hari dan dari jam ke jam, biasanya akan membaik pada pagi hari atau
saat istirahat dan memburuk pada saat siang/sore hari saat aktivitas. Hal ini sesuai dengan
keluhan yang dialami pasien saat ini dimana semua keluhan seperti kelopak mata jatuh ,
penglihatan ganda, suara serak dan mengecil, leher dan bahu terasa berat serta cepat lelah saat
jika beraktifitas namun pulih kembali setelah beristirahat. Selain itu riwayat pengobatan
dimana pasien mempunyai responsi yang baik terhadap pemberian obat mestinon dapat
memperkuat kecurigaan terhadap miastenia gravis. Sehingga pada kasus ini kecurigaan
bahwa pasien mengalami miastenia gravis ditegakan atas dasar gambaran klinis yang khas
dan responsi yang baik terhadap pemberian obat mestinon.
4
IV. Miastenia Gravis
IV.1 Definisi
Miasthenia gravis (MG) adalah suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh
rusaknya reseptor asetilkolin pada post sinaptik sehingga menganggu transmisi
neuromuscular dan menyebabkan kelemahan dan kelelahan otor rangka.1,2 Sedangkan krisis
miastenik adalah salah satu kegawatan neurologi yang terjadi pada kasus-kasus MG. Krisis
miastenik ditandai oleh kelemahan otot-otot bulbar dan otot pernafasan. Krisis miastenia
adalah komplikasi MG yang paling berbahaya dan mengancam hidup yang memerlukan
perawatan intensif. Krisis miastenia biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama setelah onset MG
(74% pasien) dan 15-20% pasien dengan MG akan mengalami krisis miastenia.3,4
IV.2 Epidemiologi
Insiden MG bervariasi antara 1-9 kasus/1000 penduduk, sedangkan prevalensi MG
diperkirakan antara 25-142 kasus/1000 penduduk. MG lebih banyak dijumpai pada wanita
ketimbang pria. Usia puncak pada wanita yaitu 20-24 tahun dan 70-75 tahun, sedangkan pada
pria 30-34 tahun dan 70-74 tahun.2
5
Tabel 1. Obat-obatan yang menginduksi krisis miastenik
IV.4 Patofisiologi
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka
membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan
dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung
dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan
perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan
depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini
mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan
dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu
serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati
hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.6
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam
penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps.
Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak
6
antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin
dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu
jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end
plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat
berlangsung lama.7,8
7
Gambar 2. Tanda dan gejala miasthenia gravis
IV.6 Klasifikasi
IV.6.1 Klasifikasi Osserman (derajat keparahan penyakit) 1
I. Miastenia Okuler
II. A. Miastenia umum derajat ringan : progresivitasnya lambat, tak terjadi krisis dan
respon terhadap obat baik.
B. Miastenia umum derajat sedang : terjadi kelemahan berat pada otot skeletal dan
bulber, tak terjadi krisis, tapi respons tehadap obat kurang memuaskan.
III. Miastenia Fulminasi Akut :
Gejala-gejala memberat dengan sangat cepat, terjadi krisis pernafasan, respons terhadap
obat sangat buruk, sering ditemukan adanya timoma, mortalitas sangat buruk.
IV. Miastenia berat yang berkembang lamban :
Klinis seperti golongan III, tapi memerlukan waktu lebih dari 2 tahun untuk beralih dari
golongan I atau II.
8
IV.6.2 Klasifikasi Myathenia Gravis Foundation ( klinis ) 1
yang positif untuk anti-AChR antibody dengan radioimmunoassay.8 Antibodi AChR hampir
selalu dijumpai pada pasien MG dengan timoma. Selain itu, pasien tymoma associated MG
juga memiliki antibodi antivoltage gated K+ dan Ca2+, anti-Hu, antidihydropyrimidinase
related protein 5, dan antiglutamic acid decarboxylase).8
9
b. Seronegatif
Lebih kurang 15% pasien MG tidak ditemukan adanya antibodi AChR dan 40% di antaranya
didapatkan adanya antibodi MuSK. Pada pasien-pasien ini pada umumnya didapatkan gejala
kelemahan otot nafas, paralisis bulbar, kelemahan otot leher, namun jarang dijumpai adanya
gangguan pada otot mata. MG yang tidak dijumpai adanya antibodi anti AChR dan anti
MuSK disebut dengan MG seronegative. MG seronegatif hanya memiliki gejala mata saja.8
IV.7 Diagnosis
IV.7.1 Anamnesis
Awitan biasanya tidak jelas dan progresivitas relatif lambat. Biasanya diawali dengan
mata, muka, rahang tenggorok dan leher. Tetapi ditemui juga yang mulai dengan ekstremitas.
Sembilan puluh persen kasus, awal mulanya mengeluh kelemahan otot levator palpebrae
(ptosis) dan otot ekstraokuler (diplopia). Ptosis kemudian akan diikuti dengan kesulitan
menutup mata (dikarenakan kelemahan m.orbicularis oculi). Dan bisa juga ditemui suatu
tanda Cogan twitch pada mata yang ptosis. Pasien biasanya datang ke dokter dengan keluhan
pada mata yaitu melihat dobel atau kelopak mata sulit membuka. Keluhan pada mata relatif
lebih dirasakan mengganggu ketimbang kelemahan pada otot lainnya. Pada stadium
selanjutnya muncul akan mengenai otot wajah, otot pengunyah, otot menelan dan otot untuk
bicara (pada 80% kasus). Setelah banyak bicara suara dapat menghilang dan menjadi sengau.
Otot leher, gelang bahu dan panggul jarang terkena. Lebih sering terkena adalah m.erector
spinae. Bila otot leher terkena, maka ada keluhan sulit untuk mempertahankan posisi tegak
kepala. Pada kasus yang parah, semua otot terkena termasuk otot abdomen,
interkostal,diafragma bahkan otot sfingter kandung kemih dan anus. Kelemahan yang timbul
sering didahului emosional upset dan infeksi. Sifat kelemahan akan membaik pada pagi hari
atau saat istirahat, kelemahan yang sedang atau berat bisa berlangsung sampai 1 bulan. Gejala
pada mata (diplopia atau pandangan kabur) akan memburuk saat membaca lama, menonton
TV, menyetir kendaraan atau mengunyah dalam waktu lama.7
10
IV.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien MG meliputi otot yang terkena atau
dicurigai terkena, antara lain :1,2
1. Kelemahan otot penggerak bola mata/kelopak mata penderita disuruh melirik
ke atas selama 30 detik akan terjadi kelopak mata dan bola mata akan turun ke bawah
atau bola mata mata melirik ke samping akan terjadi gangguan
2. Kelemahan m. Levator palpebra akan terlihat bila pasien diminta untuk
melihat ke atas selama 1 menit, kelemahan ini akan membaik setelah pasien diminta
untuk menutup mata secara maksimal (Tes Wartenberg)
Tes Prostigmine
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau
11
subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.2,6
Tes Edrophonium
Edrophonium (Tensilon) adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat
bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau
hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia
gravis. Tes ini dijumpai >90% positif pada pasien dengan MG.2,6
Tes dilakukan dengan cara menyuntikan 2 mg edrophonium intravena. Pemeriksa harus
memperhatikan munculnya efek samping seperti sesak nafas, atrial fibrilasi, dan bradikardi.
Observasi dilakukan selama 2 menit, apabila tidak ada efek samping yang muncul maka
dapat diberikan edrophonium lagi hingga dosis maksimal 8 mg. Tes dianggap positif apabila
ada perbaikan kekuatan otot yang jelas dalam waktu 30-45 menit setelah penyuntikan.
Perbaikan kekuatan otot akan bertahan selama 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif,
maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan
sindrom miastenik.2,6
12
Gambar 5. Sebelum dan setelah ice test
IV.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi 9
Chest x-ray dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen
thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
13
MG.10
V. Diagnosis Sementara
Diagnosis klinik : ptosis unilateral, diplopia, disfonia, astenia, fatique
Diagnosis topis : neuromuscular junction
Diagnosis etiologi : autoimmune susp myasthenia gravis dd/ guillain barre syndrome,
periodiuc paralysis hypokalemic, lambert-eaton myasthenic
syndrome (LEMS)
Diagnosis tambahan : cervical syndrom
14
VI. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 14 Januari 2018 pukul 13.00 WIB
15
- Vegetatif : dbn
Nervus Cranialis
Lubang hidung Lubang hidung
N. I (OLFAKTORIUS)
Kanan Kiri
Daya Pembau N N
16
N. VII (FASIALIS) Kanan Kiri
Kerutan Kulit Dahi + +
Menutup Mata + +
Lipatan Nasolabial + +
Sudut Mulut + +
Tik Fasial - -
N. IX
KANAN KIRI
(GLOSSOFARINGEUS)
Arkus Faring Simetris Simetris
Daya Kecap 1/3 Belakang Normal Normal
Reflek Muntah Normal Normal
Sengau - -
Tersedak - -
N. XII (HIPOGLOSUS)
Sikap lidah Tidak ada Deviasi
Artikulasi Cukup jelas
Menjulurkan lidah Tidak ada Deviasi
Fasikulasi lidah -
17
VI.5 Motorik
B B 4+ 4+ N N Eu Eu
G B B K 4+ 4+ Tn N N Tr Eu Eu
+ + – –
RF + + RP – – Cl –
18
Kesan:
Kardiomegali
Pulmo tidak tampak infiltrat
Tidak tampak hiperplasia timus atau maasa mediastinum anterior (timoma) konsul
dr.Novita spRad saran rontgen thoraks lateral dextra atau ct-scan
19
VII. Diskusi II
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos
mentis, GCS 15 (E4M6V5) dengan tanda vital: TD: 130/80 mmHg, N: 87x/menit,
RR: 20x/menit, S: 36,4oC. Pada pemeriksaan nervus cranialis diidapatkan adanya
parese N.III ditandai dengan adanya ptosis pada palpebra kanan pasien, Parase N.IV
dan N.VI ditandai dengan adanya diplopia, serta N.X ditandai dengan disfonia. Hal
ini sesuai dengan teori dimana pada MG keluhan yang paling sering terjadi adalah
keluhan pada wajah yang mengenai otot eksta okular dan okular sehingga timbul
manifstasi ptosis dan diplopia serta otot orofaringeal yang menimbulkan disfonia.
Sehingga berdasarkan derajat keparahannya pasien termasuk kedalam kategori MG
ringan stadium II yang ditandai dengan kelemahan otot okular yang semakin parah,
serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Pada pemeriksaan counting test didapatkan hasil (+) dimana penderita disuruh
menghitung 1-100 maka akan terjadi kelemahan suara menjadi serak dan menghilang
secara bertahap. Sedangkan pada test wartenberg (+) penderita diminta untuk
memandang objek yang letaknya lebih tinggi antara kedua bola mata selama >30
detik maka akan terlihat ptosis dengan reaksi pupil tetap normal pada penderita MG
namun kelemahan ini akan membaik setelah pasien diminta untuk menutup mata
secara maksimal. Tanda Cogan (+) yaitu tampak kedutan transien pada kelopak mata
segera setelah pasien diminta untuk melihat ke bawah dan ke atas secara cepat.
Pemeriksaan khusus pada MG ini yang menunjukan hasil (+) dapat memperkuat
diagnosis MG karena tes provokasi ini mencetuskan terjadinya kelelahan otot pada
pasien. Hal ini sesuai dengan teori MG dimana keluhan biasanya diperberat oleh
aktivitas dan membaik setelah pasien beristirahat.
Pemeriksaan penunjang laboratorium elektrolit dilakukan untuk mencari
penyebab kelemahan otot pada pasien sehingga dapat menyingkirkan diagnosis
banding periodic paralysis hipokalemia karena pada pasien ini tidak ditemukan
adanya penurunan kalium. Sedangkan pemeriksaan rontgen thoraks dilakukan untuk
mencari tahu ada tidaknya hiperplasia timus ataupun timoma dikarenakan
myasthenia gravis sering terjadi bersamaan dengan timoma (15%) dan hiperplasi
timus (65%). Kelenjar timus terdiri atas sel myoid yang mengandung AChR. Sel
limfosit B dan T yang diproduksi kelenjar timus akan merusak AChR sehingga
20
menimbulkan manifestasi kelemahan otot. Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks
PA pada pasien ini tidak didapatkan adanya kesan hiperlasia timus maupun timoma.
Hal ini terjadi dikarenakan foto toraks tidak sensitif untuk skreening timoma. Hasil
roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya timoma ukuran kecil
sehingga terkadang perlu dilakukan CT-Scan thoraks untuk mengidentifikasi timoma
pada semua kasus miastenia gravis. Oleh karena itu untuk dapat memperkuat
diagnosis miastenia gravis sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya
seperti pemeriksaan serologis antibodi anti AChR& anti MuSK, elektrofisiologi
Single-fiber Electromyography (SFEMG) & Repetitive Nerve Stimulation (RNS) dan
bipsi kelenjar timus.
IX. Terapi
1. Non Medikamentosa
Tirah Baring
Edukasi keluarga mengenai penyakitnya
- Diagnosis pasien
- Tata laksana yang akan dilakukan
- Prognosis dari penyakit yang diderita pasien
2. Medikamentosa
Mestinon tab 2x60 mg
Lactas calsicus 2x1
X. Plan
1. Tes Prostigmin dan edrophonium (tensilon test)
2. CT Scan thoraks
21
3. Serologi ( antibodi anti AChR & anti MuSK )
4. Elektrofisiologi (SFEMG & RNS)
5. Biopsi timus
XI. Prognosis
Death : Ad bonam
Disease : Dubia ad bonam
Dissability : Dubia ad bonam
Discomfort : Dubia ad bonam
Dissatisfaction: Dubia ad bonam
Distutition : Dubia ad bonam
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Amato AA, Russel JA. Neuromuscular Disorders. New York: The McGraw-Hill
Companies; 2008.
2. Drachman DB. Myasthenia Gravis. The New England Journal of Medicine.
1994;330(25):1797-810.
3. Chaudhuri A, Behan P. Myasthenic crisis. QJ Med. 2009;102:97-107.
4. Godoy DA, Mello LJVd, Masotti L, Napoli MD. The myasthenic patient in
crisis: an update of the management in Neurointensive Care Unit. Arq
Neuropsiquiatr. 2013;1(9):628-43.
5. Baehr M, Frotscher M. Duus' Topical Diagnostic in Neurology. New York:
Thieme Stuttgart; 2005.
6. Schneider-Gold C, Toyka KV. Myasthenia Gravis: Pathogenesis and
Immunotherapy. Dtsch Arztebl. 2007;104(7):420-6.
7. Hughes BW, Casillas MLMD, Kaminski HJ. Pathophysiology of Myasthenia
Gravis. Seminars in neurology. 2004;24(1):21-31.
8. Trouth AJ, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M, Kalyanam J. Myasthenia
Gravis: A Review. Autoimmune Diseases. 2012;20(12):346-53.
9. Jani-Acsadi A, Lisak RP. Myasthenic crisis: Guidelines for prevention and
treatment. Journal of the Neurological Sciences. 2007;261:127-33.
10. G. O. Skeiea, S. Apostolskib, A. Evolic, N. E. Gilhusd, I. Illae, L. Harmsf, et al.
Guidelines for treatment of autoimmune neuromuscular transmission
disorders. European Journal of Neurology. 2010;11:143-56.
23